Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak

Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak

(Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009)

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Disusun oleh :

ANNISA ROHMAH D0205039 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk diuji dan dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta, 24 Maret 2010

Pembimbing,

Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D NIP. 19540805 198503 1 002

PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Panitia Penguji :

1. Prof. Drs. H. Totok Sarsito, S.U, M.A, sebagai Ketua (......................) NIP 19490428 197903 1 001

2. Tanti Hermawati, S.Sos, M.Si sebagai Sekretaris (.....................) NIP. 19690207 199512 2 001

3. Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D sebagai Penguji (......................) NIP. 19540805 198503 1 002

Mengetahui Dekan,

Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP 19530128 198103 1 001

MOTTO

”Laa haulaa walaa quwwata illaa billaah” (Tiada daya upaya selain dari Allah SWT)

”Kekuatan doa dan energi positif mampu menembus keterbatasan dan ketidakmungkinan” (Annisa Rohmah)

”Dalam menghadapi keadaan apapun, jangan lengah! Sebab kelengahan menimbulkan kelemahan, Dan kelemahan menimbulkan kekalahan, Sedang kekalahan menimbulkan penderitaan” (Panglima Besar Jenderal Soedirman)

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini peneliti persembahkan untuk:

1. Ibunda, atas kasih sayang dan pengorbanan yang tidak pernah putus.

2. Bapak, atas doa dan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi peneliti.

3. Kakak-kakak peneliti, Ichsan Adhie dan Sarah Fauziah, untuk doa dan dukungannya.

4. Almamater peneliti.

KATA PENGANTAR

Puji syukur tiada terhingga hanya kepada Allah SWT, Tuhan yang memberi nafas dan kesempatan hidup yang berharga. Hanya karena ridho dan petunjukNya-lah, peneliti mampu menyelesaikan tugas yang tampak berat ini dengan lancar. Skripsi ini merupakan pertanggungjawaban peneliti atas perjuangan empat tahun menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi FISIP UNS.

Meski tidak sedikit menemui hambatan dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang tak pernah lelah memberi dukungan dan membagi ilmunya kepada penulis. Untuk itulah, penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang begitu mendalam kepada berbagai pihak berikut ini.

1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Prahastiwi Utari, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret yang memiliki dedikasi begitu luar biasa.

3. Dra. Christina T.H, M.Si, selaku pembimbing akademik peneliti yang banyak memberikan kemudahan dan motivasi kepada peneliti.

4. Prof. Drs. Pawito, Ph.D, selaku dosen pembimbing yang selalu mengarahkan dan membantu peneliti menulis skripsi ini hingga akhir.

5. Ibunda, Bapak, Kakak-kakakku: Ichsan dan Sarah, Pakde, Uti, serta seluruh keluarga yang memberi doa dan dukungan yang tak pernah putus.

6. Sahabat-sahabat yang selalu menjadi pelipur lara, Leonie Bunga, Ayoe Niken, Sovya Marda, dan Aditya Kundhala. Serta sahabat-sahabat dari kampus tercinta: Paramita Sari, Sri Hartini, dan Arin Prasetyo, terimakasih untuk tawa dan tangis bersama, semoga kisah kecil di kampus ini akan kita bawa sampai kita tua nanti.

7. Kisbandi Virdha Kurniawan, untuk semua diskusi yang berarti, serta perhatian, kesabaran, dan motivasi yang diberikan kepada peneliti dalam menghadapi setapak demi setapak proses kehidupan selama setahun ini.

8. Kawan-kawan seperjuangan di Nolima Organizer: Albert, Pandu, Agung, Densa, Indah, Yaninta; dan keluarga Komunikasi 2005 yang istimewa: Azizah, Sumi, Filia, Heni, Nanda, Dini, Ida, Festy, Windy, Ajeng, dll.

9. Keluarga besar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) VISI FISIP UNS. Sebuah “rumah” kecil, yang sering terlupakan, tapi nyatanya dari sinilah langkah kecil itu dimulai. Terimakasih “tetua-tetua” VISI: Haris, Tedy, Joni, Abdul, Ika, Nila, Rini; serta adik-adikku: Ema, Adinda, Rizky, Wahyu, Wida, Nosi, Nanda, Alina, Intan, dan lain-lain.

10. Responden skripsi ini, Suhartono, Sutta Dharma, Eko, Ansyor, Nanda, Rorie, Haris, Joni, dan Mita. Terimakasih untuk waktu dan diskusinya.

11. Seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi yang peneliti susun ini dapat memberikan manfaat, bagi

siapa saja yang membacanya. Terimakasih.

Surakarta, April 2010 Peneliti,

ABSTRAK

ANNISA ROHMAH, D0205039, Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak

(Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada

Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010.

Pemberitaan peristiwa besar, seperti Munas Partai Golkar, melalui surat kabar dipercaya memberi kecenderungan dan efek tertentu bagi khalayak. Pembaca sebagai khalayak aktif memiliki pemahaman tersendiri terhadap sebuah berita. Pemahaman ini diolah dalam diri individu dan membentuk pandangan tertentu. Pendapat pembaca juga dimungkinkan mendapat pengaruh dari cara penyajian berita oleh media massa.

Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan menggabungkan analisis framing model Pan dan Kosicki dengan teori Dietram Aren Scheufele terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII pada Harian Kompas bulan Oktober 2009. Tujuan penelitian ini ialah mengetahui kontruksi Partai Golkar yang dibangun Harian Kompas pada Munas Partai Golkar dan persepsi pembaca Kompas tentang Partai Golkar. Penelitian ini memakai orientasi bingkai khalayak (audience frames) sebagai variabel dependen. Untuk mengetahui bingkai khalayak, peneliti meletakkan fokus pada tiga unsur: bagaimana persepsi setelah membaca berita, faktor yang mendasari persepsi, dan apakah bingkai khalayak sama dengan bingkai media.

Penelitian ini secara umum menyimpulkan bahwa Kompas melihat Partai Golkar memiliki kemiripan dengan Golkar masa orde baru yang lekat dengan kekuasaan. Kompas banyak mengkritisi dinamika politik dan perilaku elite yang negatif pada pelaksanaan munas. Sementara pembaca Kompas menilai banyak masalah dalam munas yang mencitrakan Partai Golkar sebagai partai yang tidak solid. Namun pragmatisme Partai Golkar dianggap sebagai kesalahan yang membudaya dan sulit dihapuskan. Faktor yang mempengaruhi persepsi khalayak diantaranya intensitas membaca berita, penggunaan media lain, pemahaman mengenai Partai Golkar, serta kegiatan keseharian. Pada dasarnya, sebagian besar persepsi khalayak dipengaruhi oleh frame media, akan tetapi ada pula persepsi khalayak yang bertolak belakang dengan frame media yakni terkait persaingan calon ketua umum dan terjadinya politik uang.

Kata kunci : Partai Golkar, bingkai khalayak, bingkai media

ABSTRACT

ANNISA ROHMAH, D0205039, The Construction of Golkar Party (Audience

Framing Analysis on Reporting to the 8 th National Conference of the Golkar

Party in Kompas daily newspaper Period on October 2009), Thesis, Department of Communication Sciences, Faculty of Social and Political Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010.

Reporting the big event, such as the National Conference of Golkar Party, on the newspaper is believed to give certain trends and effects for the audience. Reader as an active audience has its own understanding of a story. This understanding is processed within the individual and establish in a particular view. Opinions reader is also possible under the influence of how the presentation of news by the media.

This research is a study combining qualitative framing analysis of Pan and Kosicki model with the theory of Dietram Aren Scheufele preaching to the 8 th

National Conference of the Golkar Party in Kompas daily newspaper period on October 2009. The purpose of this research is to know the construction of the Golkar Party, which was built by Kompas daily newspaper on the National Conference of the Golkar Party and the Kompas readers’ perception of the Golkar Party. This study used an audience frame oriented (audience frames) as the dependent variable. To find the audiences frame, researchers put the focus on three elements: how the perception after reading the news, the factors underlying perception, and whether the frame of audiences same with the media frame.

These studies generally conclude that Kompas see the Golkar party still has a similar character with Golkar in Orde Baru which is closely with power. Kompas criticize the political dynamics and the negative behavior of elite on National Conference. All that is shown through the choice of words, in writing, the choice of interviewees, and the results of interviews with reporters of Kompas. While Kompas readers assess many problems on National Conference that the imaging Golkar Party as the party that is not solid. But pragmatism in Golkar Party is considered as the entrenched error and difficult to be abolished. Factors that affect the public perception are the intensity of read news, use of other media, understanding of the Golkar Party, and daily activities. Basically, almost all perception of the audiences is under the influence of the media frame, but some perception of the audiences has an opposite frame with the media frame, such as the election of the political party’s leader and money politics.

Keywords: Golkar Party, media frame, audience frames

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hingar bingar pesta demokrasi di Indonesia baru saja usai. Dua perhelatan besar bangsa tahun 2009, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada 9 April dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 8 Juli lalu telah mendapatkan hasil. Partai Demokrat merebut kemenangan dari Partai Golongan Karya (Golkar) dengan jumlah suara 20,85%, padahal Demokrat pada Pemilu lima tahun lalu hanya memperoleh suara 7,45%. Sedang Golkar harus menelan kekalahan dengan jumlah suara yang turun drastis dari Pemilu 2004, yakni 14,45%. Fakta ini merupakan catatan sejarah, karena inilah jumlah suara terkecil yang diperoleh partai berlambang pohon beringin ini dalam sembilan kali pemilu.

Sejak Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1997 Golkar −yang pada awal berdiri bernama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar −dibawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto berhasil mengemban kepercayaan rakyat dengan memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal. 1

Meskipun pada Pemilu 1999, Golkar hanya mendapat peringkat kedua dengan jumlah 22,43% suara, namun pada Pemilu 2004 Golkar berhasil mengembalikan kejayaannya dengan menjadi juara pertama. Akan tetapi kecenderungan suara Partai Golkar terus mengalami penurunan, bahkan pada pemilu tahun 2004, Golkar hanya mendapat suara 21,58%. Padahal pada Pemilu 1997 Golkar berhasil

1 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04 1 www.golkar.or.id akses tanggal 28 Oktober 2009 pukul 19.04

Sama halnya dengan pemilu legislatif (Pileg), Pilpres pun membawa hasil yang sangat mengecewakan bagi partai bernomor urut 23 ini. Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung Partai Golkar dan rekan koalisinya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), yakni Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto, kalah telak dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono serta Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subianto. SBY-Boediono menyempurnakan kemenangan Partai Demokrat dengan memperoleh kemenangan dengan jumlah suara 60,80% dalam

satu putaran saja 2 . Sementara JK-Wiranto hanya bercokol pada posisi ketiga dengan jumlah suara 15.081.814 atau 12,41% dari total suara pemilih.

Dua pukulan ini membuat posisi politik Partai Golkar semakin sulit. Dalam alur sejarah, Golkar selalu menjadi partai yang masuk dalam pemerintah. Golkar tidak pernah memiliki sejarah menjadi oposisi, karena sejak era orde baru,

Golkar kental dengan image sebagai partai penguasa (the ruler’s party) 3 . Bahkan politisi Partai Golkar banyak yang duduk sebagai pejabat penting, seperti dewan

legislatif, menteri, gubernur, kepala daerah, hingga kepala camat ataupun lurah.

2 Wacana Pilpres Satu Putaran digulirkan Denny J.A, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Lembaga Studi Demokrasi (LSD) , serta menjadi salah satu materi iklan

kampanye SBY-Boediono. Hal ini memicu protes dari kedua pasangan calon lain yang mengharapkan pilpres dapat berlangsung dua putaran agar dapat mengalahkan SBY-Boediono. Dalam berbagai survei pra-pilpres, SBY-Boediono selalu mendapat dukungan lebih dari 50%.

3 Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 39

Padahal, Partai Golkar tergolong partai berbasis massa bukan partai kader 4 . Pada saat krisis, persatuan partai cenderung melemah bahkan bisa dengan

mudah hilang sama sekali. Sehingga dimungkinkan sekali satu per satu golongan dalam partai ini akan memisahkan diri dari partai dan membentuk partai baru karena ketidakpuasannya terhadap Partai Golkar. Hal ini pernah dibuktikan Golkar sebelum Pemilu 1999 dimana beberapa kader dan ormas pendukungnya memisahkan diri. Diantaranya, Edi Sudradjat yang mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Hj. Mien Sugandhi dengan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Partai MKGR) yang berganti nama menjadi Partai Gotong Royong (PGR), R. Hartono yang membentuk Partai Karya Peduli Bangsa

(PKPB) dan Yapto Soerjosoemarno yang mendirikan Partai Patriot Pancasila. 5 Pada kondisi yang sekarang, keadaan internal partai Golkar terus

bergejolak. Partai yang memiliki banyak tokoh penting ini sering mengalami konflik kepentingan antar kadernya. Kondisi ini mau tidak mau menuntut Partai Golkar untuk segera merumuskan kembali arah dan ideologi partai secara cermat. Jika tidak, sejumlah pengamat politik memastikan Golkar akan kehilangan “taringnya” dan segera menemui kematiannya. Pengamat politik Bima Arya Sugiarto misalnya, mengatakan ada lima krisis yang sebenarnya tengah dihadapi

4 Jika dilihat dari segi komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dibedakan menjadi dua, yakni partai massa dan partai kader. Partai massa lebih mengutamakan kekuatan berdasarkan

keunggulan jumlah anggota. Sedang partai kader lebih mementingkan keketatan organisasi dan disiplin kerja anggotanya. Selengkapnya lihat Prof. Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal: 166

5 Selengkapnya lihat Op.Cit, hal 106-111

Partai Golkar, yakni krisis elektoral, krisis orientasi, krisis kader muda, krisis basis sayap, dan krisis loyalitas 6 .

Pertama, krisis elektoral, yakni tingkat kepercayaan publik yang menurun drastis. Dibuktikan dengan perolehan jumlah suara yang jatuh secara signifikan meskipun Partai Golkar memiliki figur JK yang cukup bersinar ketika menjadi Wakil Presiden periode 2004-2009. Kedua, krisis orientasi, artinya Partai Golkar tidak mengedepankan visi misi dan kekokohan partai dalam gerak politiknya, akan tetapi justru berkutat pada masalah oposisi atau mendukung pemerintah, masuk atau tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Ketiga, krisis kader muda, yakni Partai Golkar kurang memberi tempat kepada kader mudanya dalam kepengurusan. Akibatnya kaum muda dalam partai lebih tersisih sehingga kepengurusan masih banyak didominasi golongan senior. Krisis keempat, yakni organisasi sayap Partai Golkar yang semakin terpecah dan seakan berdiri sendiri. Kelima, krisis loyalitas, yakni munculnya berbagai faksi dalam partai yang justru saling menyerang, sehingga kesatuan partai tidak lagi harmonis.

Maka Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke VIII yang dilaksanakan pada 5-8 Oktober 2009 di Pekanbaru, Riau, menjadi titik tolak Partai Golkar untuk bangkit dari keterpurukan Pemilu 2009. Munas yang secara rutin dilaksanakan per 5 tahun ini mengevaluasi kepemimpinan JK selama menjadi Ketua Umum Partai Golkar periode 2004-2009 sekaligus memutuskan langkah kongkrit Golkar untuk memenangi Pemilu 2014. Munas Golkar ini juga

6 Kompas, “Lima Krisis Lilit Golkar”, edisi 10 Agustus 2009 6 Kompas, “Lima Krisis Lilit Golkar”, edisi 10 Agustus 2009

Namun ada yang berbeda dalam proses penyelenggaraan Munas kali ini. Pemilihan ketua umum dipilih secara langsung oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) serta masing-masing Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I dan DPD tingkat II. Pada Munas sebelumnya pemilihan ketua umum terlebih dahulu dipilih dalam Konvensi Ketua Umum Partai Golkar, setelah itu baru dilakukan proses pemilihan pada munas. Sistem pemilihan langsung ini, sesuai dengan platform partai, merupakan kebijakan partai untuk menyesuaikan diri dengan sistem demokrasi Indonesia.

Seperti diketahui, pada awalnya pemilu di Indonesia memang ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR , DPRD Provinsi , dan DPRD Kabupaten / Kota . Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002 , pilpres yang semula dilakukan oleh MPR , disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Kemudian pada 2007 , berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) pun juga dimasukkan sebagai

bagian dari rezim pemilu. 7 Ada empat calon kandidat yang lolos seleksi menjadi calon Ketua Umum

Partai Golkar, yakni Aburizal Bakrie, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto),

7 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia akses data tanggal 19 Desember 2009 pukul 13.12

Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Keempatnya secara sengit terus bersaing jelang munas dilaksanakan, mulai dari penayangan iklan, saling klaim dukungan, hingga perang opini di media massa. Aburizal akhirnya menang dengan mendapatkan suara 296, mengalahkan Surya Paloh dengan jumlah suara 250. Sementara Tommy Soeharto dan Yuddy Chrisnandi sama sekali tidak mendapat dukungan suara atau nol.

Munas yang berlangsung panas dan penuh dengan kericuhan ini tentu saja menjadi titik perhatian media. Bagaimana tidak, tokoh-tokoh yang mengajukan diri menjadi ketua umum adalah tokoh-tokoh besar Golkar yang royal mengeluarkan uang untuk melakukan kampanye. Bahkan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh adalah pemilik media besar di negeri ini. Aburizal Bakrie adalah pemilik VIVA News, TV One, dan ANTV. Sedangkan Surya Paloh memiliki Metro TV serta Media Indonesia. Tommy Soeharto sebenarnya juga merupakan salah satu pemilik saham di MNC Group–terdiri dari RCTI, TPI, Global TV, Global Radio, Koran Seputar Indonesia dan Tabloid Genie–, akan tetapi MNC lebih berkonsentrasi pada siaran entertainment bukan media berita.

Pemberitaan media massa pun tidak hanya berkutat pada pelaksanaan teknis Munas, tetapi lebih menyoroti pada persaingan antar calon ketua umum. Isu-isu sensitif seperti politik uang, klaim dukungan, hingga tekanan pada calon lain pun terus menghiasi surat kabar mendekati pelaksanaan Munas. Sejenak masalah kebimbangan ideologi Golkar seperti terabaikan oleh media, bahkan oleh politisi Golkar sendiri. Image dan posisi politik Partai Golkar kini seakan kembali bergeser seperti masa orde baru dahulu −yakni partai yang sangat dekat dengan Pemberitaan media massa pun tidak hanya berkutat pada pelaksanaan teknis Munas, tetapi lebih menyoroti pada persaingan antar calon ketua umum. Isu-isu sensitif seperti politik uang, klaim dukungan, hingga tekanan pada calon lain pun terus menghiasi surat kabar mendekati pelaksanaan Munas. Sejenak masalah kebimbangan ideologi Golkar seperti terabaikan oleh media, bahkan oleh politisi Golkar sendiri. Image dan posisi politik Partai Golkar kini seakan kembali bergeser seperti masa orde baru dahulu −yakni partai yang sangat dekat dengan

pragmatis sehingga idealisme partai telah melemah 8 . Salah satu media massa yang memberi perhatian khusus terhadap

pelaksanaan Munas Golkar adalah Harian Kompas. Kompas adalah media cetak nasional yang memiliki oplah terbesar di Indonesia. Sebagai salah satu media nasional yang dianggap netral −meskipun tak ada media yang benar-benar netral−, Kompas secara kontinyu menuliskan pemberitaan tentang persiapan, persaingan antar calon ketua umum, memberi space khusus pada hari pelaksanaan munas, serta melakukan follow-up pemberitaan pasca Munas berlangsung.

Meskipun Kompas memiliki ideologi tak terlalu jauh dengan Partai Golkar yakni nasionalis moderat 9 , tetapi Kompas pasti memiliki kepentingan dan arah

kebijakan tersendiri dalam pemilihan serta pemuatan berita. Seperti yang diungkapkan Pemimpin Umum Harian Kompas Jacoeb Oetama, bahwa tidak ada peristiwa yang begitu saja jatuh dari langit. Senantiasa ada latar belakang, ada

proses, ada kait-kaitan, dan ada konteks 10 . Ada dua konteks dalam pemberitaan surat kabar, yakni konteks yang berhubungan langsung dengan fakta dan

persoalan di lapangan, serta konteks dalam kerangka referensi (frame of

8 Lihat berita Kompas, “Penentuan Nasib Partai”, edisi 2 Oktober 2009 9 Kompas menyatakan diri sebagai koran yang moderat, tidak condong ke salah satu pihak, berada

ditengah-tengah. Sementara Partai Golkar, dalam internalnya pun sebenarnya masih terjadi silang pendapat mengenai ideologi Partai Golkar. Aburizal dan Tommy menyatakan Partai Golkar memperjuangkan NKRI dengan berpegang pada Pancasila dan UUD ‘45. Surya Paloh mengklaim ideologi Partai Golkar adalah Nasionalis moderat, sedang menurut Yuddy Partai Golkar berbasis nasionalis religius kerakyatan. Selengkapnya lihat wawancara Harian Kompas dengan empat kandidat Ketua Umum Partai Golkar, Kompas, edisi 5 Oktober 2009, hal: 5

10 Jacoeb Oetama, “Sampaikan Informasi secara Menarik dan Bermakna”, artikel, Kompas, edisi

28 Juni 2000, dalam Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 141 28 Juni 2000, dalam Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 141

Jacoeb Oetama juga menegaskan bahwa dengan kelebihan surat kabar tersebut, isi surat kabar akan menimbulkan kecenderungan tertentu bagi khalayak pembacanya. Pun demikian, pemberitaan Kompas mengenai pelaksanaan Munas Golkar ini tentu juga memberikan gambaran dan perspektif sendiri bagi pembacanya.

Pembaca sebagai audience, mau tidak mau pasti mendapatkan efek dari pemberitaan yang termuat pada Harian Kompas. Seperti yang diungkapkan Keith R Stamm dan John E Bowes, ada dua bagian dasar dari efek yang timbul dari komunikasi massa, yakni efek primer dan efek sekunder. Efek primer meliputi terpaan, perhatian, dan pemahaman. Sedang efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif (perubahan pengetahuan dan sikap) dan perubahan perilaku

(menerima dan memilih). 12 Oleh karena itu, setiap individu pembaca Kompas, meskipun dengan

tingkat perhatian yang terbatas dimungkinkan memiliki pemahaman tertentu terhadap pemberitaan Munas Partai Golkar yang disajikan Harian Kompas. Pemahaman ini diolah sedemikian rupa dalam diri individu pembaca dan kemudian membentuk sebuah pandangan tertentu mengenai Partai Golkar. Pendapat pembaca Kompas ini juga sangat dimungkinkan mendapat pengaruh dari cara pemberitaan dan framing berita yang sengaja dibentuk oleh Kompas.

11 Kerangka referensi bisa berasal dari pengalaman empiris, visi misi, otonomi, independensi, pandangan dan sikap dasar surat kabar tersebut. Selengkapnya lihat Jacoeb Oetama, Ibid

12 Selengkapnya lihat Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 192-200

Penelitian ini memfokuskan diri pada tiga hal, antara lain konstruksi Partai Golkar pada pelaksanaan Munas Partai Golkar yang dibentuk oleh Harian Kompas, persepsi dari pembaca Kompas mengenai pemberitaan Munas Partai Golkar, serta perbedaan dan persamaan diantara dua konstruksi tersebut. Melalui penelitian ini dengan memperhatikan muatan berita pada Harian Kompas, peneliti berharap mengetahui konstruksi Partai Golkar pada pemberitaan Munas Gokar ke-

VIII yang terbentuk oleh Harian Kompas (frame media) dan oleh pembacanya (frame khalayak pembaca) sehingga dapat melihat perbandingan konstruksi frame media dan frame pembaca. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul:

Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Analisis Audience Framing Pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada Harian Kompas Periode Bulan Oktober 2009)

B. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana Harian Kompas mengkonstruksi dan mengemas berita Munas Golkar ke VIII di Pekanbaru?

2. Bagaimana persepsi pembaca Kompas tentang Partai Golkar pada pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru?

3. Bagaimana hubungan konstruksi Partai Golkar yang dibentuk oleh Kompas dan pembaca Kompas?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui frame Harian Kompas pada pemberitaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru

2. Untuk mengetahui persepsi pembaca Kompas mengenai Partai Golkar dan pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII di Pekanbaru pada Harian Kompas

3. Untuk mengetahui hubungan konstruksi Partai Golkar dalam pelaksanaan Munas Partai Golkar ke VIII yang dibentuk oleh Harian Kompas dan pembaca Kompas

D. Manfaat Penelitian

1. Secara khusus bagi peneliti, memberi gambaran tentang kecenderungan Kompas dalam membingkai dan mengemas berita Munas Golkar VIII, mengetahui frame pembaca setelah membaca pemberitaan di Kompas, serta mencari tahu perbedaan dan persamaan kedua frame tersebut.

2. Dalam tataran yang lebih umum dan praktis, penelitian ini diharapkan memberi gambaran bagi mahasiswa, dosen, akademisi komunikasi, praktisi media massa bahwa perkembangan politik sangat dinamis. Politik terus berubah sesuai dengan arah kepentingan partai politik dan aktor dibelakangnya, sehingga politik harus selalu diawasi dan mendapat pengawalan masyarakat agar tidak melenceng dari hakikat awalnya.

3. Memberikan kesadaran bahwa pada dasarnya pemberitaan media tidak sepenuhnya obyektif dan informatif, sehingga khalayak diharapkan lebih 3. Memberikan kesadaran bahwa pada dasarnya pemberitaan media tidak sepenuhnya obyektif dan informatif, sehingga khalayak diharapkan lebih

E. Tinjauan Pustaka

1. Demokrasi, Partai Politik dan Pers Indonesia

Demokrasi merupakan dambaan setiap rakyat yang menginginkan persamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi sulit didefiniskan karena selalu berkembang sesuai dinamika masyarakat. Menurut negarawan Athena, Pericles, ada empat kriteria yang dapat mendefinisikan istilah demokrasi. Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung. Kedua, kesamaan di depan hukum. Ketiga, pluralisme yakni penghargaan atas bakat, minat, keinginan, dan pandangan. Keempat, penghargaan terhadap pemisahan dan

wilayah pribadi untuk memenuhi kepribadian individual. 13 Pada kriteria pertama, masyarakat membutuhkan sebuah wadah untuk menyalurkan aspirasi

dan partisipasi politiknya. Maka dari itu muncul partai politik atau parpol.

Parpol adalah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Parpol lahir karena kesadaran bahwa rakyat mempunyai hak untuk berpartisipasi menentukan siapa yang membuat kebijakan umum bagi dirinya. Parpol secara lebih sederhana sebenarnya telah menjadi buah pikir masyarakat sejak peradaban Yunani Kuno, atau dalam

13 Lihat Roy C Macridis, Contemporary Political Ideologies: Movements and Regimes, Boston, Toronto: Little, Brown, and Company, 1983, hal: 19-20 dalam Eep Saefulloh Fatah,

Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 17 Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 17

menjamin efisiensi dan efektivitas dalam perjuangan politik. 14 Secara umum partai politik dapat diringkas sebagai kelompok yang

terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya ialah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik–(biasanya) dengan cara konstitusionil–untuk melaksanakan

kebijaksanaan mereka. 15 Sedang, Max Weber dalam bukunya Economie et Societe (1959) justru melihat parpol dalam aspek profesionalime. Menurutnya,

parpol adalah organisasi publik yang bertujuan membawa pemimpinnya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk

mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. 16 Partai politik setidaknya memiliki empat karakteristik pokok 17 , yakni

memiliki orientasi jangka panjang, memiliki struktur organisasi dari level lokal hingga nasional, bertujuan untuk merebut dan mendapatkan kekuasaan, serta berupaya untuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat.

14 Firmanzah, Ph.D, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2008, hal: 56

15 Prof. Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal: 161

16 Op. Cit, hal: 66 17 La Palombara dan Weiner dikutip dalam Firmanzah, Ph.D, Op.Cit, hal: 67-68

Setiap negara menerapkan sistem kepartaian yang berbeda-beda, tergantung pada pola pemerintahan negara yang bersangkutan. Secara mudah

Maurice Duverger mengklasifikasikan sistem kepartaian sebagai berikut 18 :

a. Sistem partai tunggal (one-party system) Yakni hanya terdiri dari satu partai penguasa atau partai yang memiliki posisi dominan diantara partai kecil lain. Dalam sistem kepartaian ini, pihak yang kalah tidak diperbolehkan melakukan perlawanan terhadap partai dominan dan pimpinan yang terpilih.

b. Sistem dwi-partai (two-party system) Yakni adanya dua partai atau adanya beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Dalam sistem ini, fungsi kepartaian tampak jelas karena partai yang menang akan berkuasa sedangkan partai yang kalah akan menjadi partai oposisi.

c. Sistem multi partai (multi-party system) Sistem kepartaian ini membuka kesempatan partai-partai kecil karena kesadaran keberagaman budaya dan politik. Dalam sistem ini, pada akhirnya partai-partai kecil akan berkoalisi dengan partai pemenang untuk memperkuat pemerintahan. Akan tetapi peran oposisi sangat lemah, sehingga posisi partai pemenang lebih diuntungkan.

Indonesia pada masa kolonial Belanda sempat menerapkan sistem multi partai. Parpol sempat dilarang pada masa kependudukan Jepang, namun sistem multi partai kembali digunakan usai kemerdekaan, tepatnya pada masa

18 Ibid, hal: 167-170 18 Ibid, hal: 167-170

periode 1957-1965 sebagai periode “Demokrasi Terpimpin”. 19 Berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No. X, 3 November 1945 tentang penganjuran

pembentukan parpol, pemerintahan dijalankan perdana menteri, kabinet, dan parlemen. Akibatnya, terjadi pergulatan politik yang ditandai tarik menarik kekuatan partai dalam lingkaran kekuasaan, dan tarik menarik antara partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik diluar kekuasaan: pihak

kedua mencoba menarik pihak pertama keluar dari lingkaran kekuasaan. 20

Keadaan yang demikian melegalkan peranan partai “koalisi” dan partai “oposisi”. Oposisi menurut Prof. Dr. A. Hoogerwerf disebabkan ketidakpuasan pada kekuasaan yang terpolarisasi pada kelompok-kelompok

yang mampu menampung tuntutan-tuntutan (artikulasi kepentingan) mereka. 21 Ketidakpuasan pada sistem demokrasi parlementer membuat Soekarno

mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai sistem Demokrasi Terpimpin. Kekuasaan menjadi tersentralisasi pada Presiden dan secara

signifikan diimbangi kekuasaan PKI dan Angkatan Darat. 22 Setelah kudeta PKI gagal di akhir September 1965, kekuasaan bergeser kearah terbentuknya

peta baru yakni lahirnya orde baru.

19 Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 17 20 Ibid

21 Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 31

22 Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 19

Pada masa orde baru, tepatnya tahun 1973, terjadi penyederhanaan parpol, yakni dua parpol (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Pembangunan) dan Golkar yang bisa ikut pemilu. Golkar selalu menang mutlak pada setiap pemilu hingga pemilu 1997. Afan Gaffar, seperti dikutip Amir Effendi Siregar, menyebut sistem kepartaian ini The Hegemonic Party System (Sistem Kepartaian Hegemonik) dengan Golkar sebagai

pemenang hegemoni 23 . Sistem kepartaian hegemonik, menurut La Palombara dan Weiner dalam tulisannya “Political Parties and Political Development”

yang dikutip Afan Gaffar, ditandai sebuah partai atau koalisi partai yang mendominasi proses politik dalam suatu negara dalam kurun waktu lama. 24

Usai reformasi, pemilu 1999 diselenggarakan dengan membuka kesempatan pendirian partai kecil. Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai dikombinasikan dengan sistem pemerintah presidensial. Perbedaan antara sistem partai Indonesia tahun 1950 dan pasca reformasi menurut Marcus Mietzner berkaitan dengan sifat dan arah kompetisi antar-partai.

“Indonesia's party system in the immediate post-independence period was eroded by the centrifugal tendencies of the key parties, the institutional stability of current party politics is to a large extent due to the centripetal direction of inter-party competition. In other words, if in the 1950s the parties undercut the effectiveness of the party system by rushing to the margins of the politico-ideological spectrum, in the post-Suharto period they have converged inward towards the centre.”

(Sistem partai di Indonesia dalam periode pasca-kemerdekaan terkikis oleh kecenderungan sentrifugal oleh partai utama, sementara stabilitas kelembagaan politik partai pada era ini adalah sentripetal kearah persaingan antar-partai. Dengan kata lain, jika di tahun 1950-an partai-

23 Ibid, hal: 191 24 Ibid, hal: 192 23 Ibid, hal: 191 24 Ibid, hal: 192

Dalam sistem presidensial, kedudukan presiden dan parlemen sama- sama kuat. Kedua lembaga tersebut tidak bisa saling menjatuhkan atau

membubarkan. 26 Meskipun ada perbedaan antara partai pemenang yang berkoalisi dengan partai yang kalah–bisa disebut oposisi, namun peranan

oposisi sangat lemah dan tidak diakui dalam peraturan negara. Indonesia pasca reformasi berusaha menjalankan demokrasi yang seadil-adilnya. Eep Syaefullah Fatah, menyebutkan empat kriteria pokok

praktek politik demokrasi yang benar. Diantaranya adalah 27 :

a. Partisipasi politik yang luas dan otonom dari seluruh elemen masyarakat, tidak ada pembatasan dan eksklusivitas dalam penentuan sumber rekruitmen politik dan formulasi kebijakan publik.

b. Sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif, berkala, dan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam prosesnya.

c. Kontrol terhadap kekuasaan yang efektif, melalui kelembagaan politik formal dari tingkat suprastruktur dan infrastruktur sehingga sikap kritis terhadap pemerintah/oposisi adalah prasyarat yang penting.

d. Kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan sehingga perbenturan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan

25 Marcus Mietzner, “Comparing Indonesia's party systems of the 1950s and the post-Suharto era: From centrifugal to centripetal inter-party competition” , Journal of Southeast Asian Studies, 39

(3), The National University of Singapore, 2008, hal: 433

Maswadi Rauf,dkk, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal: 30 27 Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 14-15 Maswadi Rauf,dkk, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal: 30 27 Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Op.Cit, hal: 14-15

kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama 28 .

Sementara, Alfian dalam bukunya “Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia” seperti dikutip oleh Eep Syaefullah, menjelaskan bahwa sistem demokrasi merupakan upaya memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Sehingga, demokrasi memberikan peluang perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan diantara individu, kelompok, atau diantara keduanya, diantara individu dengan pemerintah, dan diantara lembaga

pemerintah sendiri. 29 Dalam bahasa Eep Syaefullah, harus ada pendamaian paradoks yang inhern dalam demokrasi, yaitu antara kebebasan dan konflik di

satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus disisi lain. 30 Kebebasan berpolitik tidak hanya berimbas pada kehidupan politik

bangsa, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kemerdekaan pers yang sempat terbungkam selama 32 tahun. Jaminan kemerdekaan pers di Indonesia dikukuhkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada 23 September 1999 oleh Presiden BJ Habibie. Pertalian antara sistem pers dan kehidupan politik ini, menurut Jacoeb Oetama

dalam artikelnya “Kebebasan Pers dan Demokrasi” 31 , karena pers menjadi

28 Ibid, hal: 9 29 Ibid, hal: 10 30 Ibid, hal: 10-11

31 Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 50-51 31 Jacoeb Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Kompas, Jakarta, 2001, hal: 50-51

“Almost equally important is how a party is actually represented in the media. Due to the media's highly influential role in shaping public opinion, no party can afford to have a hostile relationship with the media for an extended period of time. In other words, a party that consistently receives bad publicity will sooner or later run the risk of being abandoned by its supporters and eventually face disappearance into oblivion.”

(Hampir sama pentingnya adalah bagaimana partai politik diberitakan media. Hal ini dikarenakan media sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik, jadi sebuah partai tidak boleh bermusuhan dengan media dalam jangka waktu yang lama. Misalnya, partai tertentu yang secara konsisten menerima publikasi yang buruk dari media, cepat atau lambat akan menanggung risiko ditinggalkan oleh para pendukungnya dan

akhirnya menghilang dan terlupakan). 32 Partai Golkar pun sempat mengalami pemberitaan buruk berkali-kali, terutama

pada masa reformasi 1998 dan masa transisi antara tahun 1999-2004.

2. Proses Produksi Berita

Manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Secara umum dikenal empat jenis komunikasi, yakni komunikasi internal, komunikasi antar personal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Seiring dengan perkembangan era informasi yang pesat, komunikasi massa menjadi salah satu solusi agar tidak tertinggal dalam globalisasi. Komunikasi massa secara mudah

32 Dirk Tomsa, Party Politics and the Media in Indonesia: Creating a New Dual Identity for

Golkar, Contemporary Southeast Asia , Singapore, 2007, Vol. 29, Iss. 1 Golkar, Contemporary Southeast Asia , Singapore, 2007, Vol. 29, Iss. 1

Pers, berdasar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, adalah lembaga dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam menjalankan kegiatannya, pers memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bernard C Cohen, seperti yang dikutip Luwi Ishwara,

menyebutkan sedikitnya ada lima peran utama yang dimiliki pers yaitu 34 :

1. Pers sebagai pelapor (informer) peristiwa-peristiwa diluar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka

2. Pers sebagai interpreter yang memberikan penafsiran atau arti pada sebuah peristiwa, misalnya dengan analisis atau komentar berita

3. Pers sebagai wakil dari publik (representative of the public), sehingga reaksi pers adalah reaksi atau respon dari masyarakat umum

4. Pers sebagai anjing penjaga (watchdog) atau pengkritik pemerintah

5. Pers sebagai pembuat kebijaksanaan (advokasi) yang tampak pada kolom editorial (tajuk rencana), artikel, dan jenis berita yang dipilih dan cara penyajiannya.

33 Nurudin, Komunikasi Massa, Cespur, Malang, 2004, hal: 2 34 Luwi Ishwara, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Kompas, Jakarta, 2005, hal: 7-8

Pada dasarnya, penerbitan pers berisi tiga komponen. 35 Komponen pertama adalah penyajian berita; kedua adalah pandangan atau pendapa; dan

ketiga adalah periklanan. Sesuai dengan tujuan penerbitan pers untuk ikut memajukan kecerdasan bangsa dan menegakkan keadilan 36 , komponen berita

mendapat porsi dan spot yang paling besar diantara komponen yang lain. Kata berita berasal dari kata “Vrit” dalam Bahasa Sansekerta yang berarti “ada” atau “terjadi”. Ada yang menyebut “Vritta” yang berarti “kejadian” atau “yang terjadi”. Kata “Vritta” kemudian berubah menjadi “berita” atau “warta” dalam Bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rumusan Depdikbud Republik Indonesia, berita diartikan “laporan

mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.” 37 Definisi berita sangat beragam. Menurut Charnley, berita merupakan

laporan hangat, padat, dan cermat mengenai suatu kejadian, bukan kejadian itu sendiri. 38 Sedangkan Dean M Lyce Spencer mengartikan berita sebagai suatu

kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik perhatian sebagian besar dari pembaca. 39 JB Wahyudi berpendapat bahwa berita adalah laporan tentang

peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai penting, menarik bagi khalayak, masih baru, dan dipublikasikan secara luas melalui media massa periodik. 40

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa berita merupakan laporan yang ditulis sesuai fakta, menarik bagi pembaca,

35 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Remaja Rosdakarya, 2000, Bandung, hal: 45 36 Ibid. 37 Ibid, hal: 46

38 Mursito BM, Penulisan Jurnalistik: Konsep dan Teknik Penulisan Berita, Studi Pemberdayaan

Komunikasi, Solo, 1999, Hal: 37

39 Totok Djuroto. Op.Cit, hal: 47 40 Ibid 39 Totok Djuroto. Op.Cit, hal: 47 40 Ibid

seperti apa adanya, bukan bagaimana yang diharapkan semestinya. 41 Prinsip ini bisa diwujudkan dengan asas keberimbangan atau cover both sides.

Setiap berita akan berusaha untuk menjawab enam unsur pertanyaan: Apa, Siapa, Dimana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana. Keenam unsur pokok ini lazim disebut 5 W dan 1 H, yakni What (apa yang sedang terjadi), Who (siapa subyek pemberitaan), Where (dimana kejadiannya), When (kapan peristiwa itu terjadi), Why (mengapa peristiwa itu dapat terjadi), dan How

(bagaimana peristiwa itu berlangsung). 42 Secara umum, berita dibagi menjadi empat. Pertama, straight news

atau berita langsung (lugas). Menurut Totok Djuroto, informasi yang dituangkan dalam berita diperoleh langsung dari sumber berita. Penulisan

berita langsung lebih mengutamakan aktualitas informasinya. 43 Dalam berita jenis ini, potongan-potongan peristiwa disusun secara piramida terbalik, yakni

potongan yang paling penting diletakkan di atas (lead berita). Semakin ke bawah, informasi yang ditulis dalam berita semakin kurang penting.

Kedua, soft news atau berita ringan. Berita ringan tidak mengutamakan unsur penting yang hendak diberitakan namun sesuatu yang menarik dan menyentuh sisi emosional. Berita ringan, berdasar kejadiannya, bisa dibagi

41 Luwi Ishwara, Op.Cit, hal: 44 42 Mursito BM, Op.Cit, hal: 58 43 Totok Djuroto, Op.Cit, hal: 49 41 Luwi Ishwara, Op.Cit, hal: 44 42 Mursito BM, Op.Cit, hal: 58 43 Totok Djuroto, Op.Cit, hal: 49

Ketiga, feature atau berita kisah. Cara penyajian feature dapat mengabaikan pegangan utama penulisan berita 5 W + 1 H. 44 Berita jenis ini

merupakan tulisan kejadian yang dapat menyentuh pembaca lewat penjelasan rinci, lengkap, serta mendalam. Nilai utamanya adalah kemanusiaan atau informasi yang dapat menambah pengetahuan baru. Menurut Walter Fox dan

Ken Metzler 45 , ada sembilan jenis feature, yakni sketsa kepribadian, profil organisasi atau proyek, berita feature (news feature), artikel pengalaman

pribadi, feature layanan, wawancara, untaian mutiara, dan narasi. Keempat, indepth news atau berita mendalam. Berita mendalam pada dasarnya memiliki struktur dan cara penulisan yang sama dengan berita kisah. Perbedaannya terletak pada unsur manusiawi pada berita kisah belum tentu ada dalam berita mendalam. Berita jenis ini digunakan untuk menuliskan permasalahan secara lengkap, mendalam, dan analitis. Berita mendalam ditulis berdasarkan liputan terencana dan sering membutuhkan waktu yang lama.

Dalam pemberitaan Munas Partai Golkar di Harian Kompas, pemberitaan lebih didominasi dengan bentuk straight news dan soft news. Akan tetapi pada saat beberapa hari pelaksanaan Munas, Kompas menyelipkan beberapa tulisan feature yang menggambarkan sisi lain pelaksanaan Munas. Bahkan pada pemberitaan pada hari pertama pelaksanaan

44 Ibid, hal: 64 45 Luwi Ishwara, Op.Cit, hal: 62-65

Munas, Kompas menyediakan satu halaman khusus yang berisi wawancara eksklusif dengan masing-masing kandidat calon Ketua Umum Partai Golkar.

3. Framing Sebagai Bagian dari Paradigma Konstruktivisme

Paradigma konstruksionis pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif yang banyak meneliti mengenai konstruksi sosial atas realitas, Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Bagi Berger realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi

sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. 46 Sebagai hasil dari konstruksi sosial, realitas dalam berita merupakan

realitas subyektif dan realitas obyektif sekaligus. Dalam realitas subyektif, realitas menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan obyek. Sedangkan realitas obyektif, yakni sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada diluar, misalnya rumusan, institusi, aturan, dan lain

sebagainya. 47 Dalam menerapkan gagasan Berner pada berita, sebenarnya teks berita

tidak bisa disamakan dengan realitas, ia harus dilihat sebagai sebuah konstruksi atas realitas. Karenanya, sebuah peristiwa yang sama bisa dikonstruksi secara berbeda. Wartawan dimungkinkan mempunyai pandangan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan pandangan tersebut dapat dicermati melalui konstruksi peristiwa yang diwujudkan dalam teks berita.

46 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 15

47 Ibid, hal: 16

Ada dua karakteristik dalam pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pesan tidak menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberi pemaknaan