Isu Strategis Riset Partisipasi Pemilih
2.5. Isu Strategis Riset Partisipasi Pemilih
Sebagai studi penjajakan, tentu saja kajian mengenai tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif dan presiden 2014 terutama dalam kasus DKI Jakarta ini tidak dapat menyajikan hasil yang komprehensif dan mendalam. Hal ini tentu saja terkait dengan metode yang digunakan dan rentang waktu riset dalam penelitian yang singkat ini. Namun demikian terdapat beberapa dimensi penting terkait partisipasi pemilih yang dapat digaris-bawahi dan perlu diperdalam dalam riset selanjutnya.
Sebelum studi penjajakan ini dilakukan, KPU se-DKI Jakarta telah melakukan serangkaian penelitian yang berkaitan dengan partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014. Meskipun riset payungnya mengenai partisipasi pemilih, kajian yang
dilakukan enam KPU di wilayah Jakarta mengambil sudut pandang yang berbeda. 78 Dari hasil penelitian tersebut terlihat banyak hal yang perlu didalami dan perlu dikembangkan
terutama jika ingin melakukan studi perbandingan antarwilayah. Dari studi penjajakan dan juga melihat hasil kajian yang telah dilakukan oleh KPU di Jakarta sebelumnya, faktor demografi merupakan hal yang perlu mendapat perhatian dan pendalaman kajian terkait tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu. Terkait faktor ini, sayangnya KPU hanya mendata pemilih dari sisi jenis kelamin. Padahal jika melihat lima
78 KPU Jakarta Barat memfokuskan pada Partisipasi Pemilih Kesukarelaan Warga dalam Berpolitik di Wilayah Jakarta Barat. KPU Jakarta Pusat melakukan Survey tentang
Faktor-faktor Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS di Wilayah Jakarta Pusat. KPU Jakarta Selatan melakukan kajian mengenai Perilaku Pemilih pada Pemilu Legislatif 2014 di Jakarta Selatan. KPU Jakarta Timur meneliti Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Tingkat Ekonomi terhadap Tingkat Melek Politik di Jakarta Timur. KPU Jakarta Utara menyoroti tentang Politik Uang dalam Pemilu 2014. Sementara itu, KPU Kepulauan Seribu mengambil studi mengenai Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kepulauan Seribu terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.
segmen kelompok yang disasar atau diperhatikan tingkat partisipasinya, masih ada empat segmen yang belum terekam dengan baik oleh KPU. Keempat segmen kelompok itu adalah kelompok agama, pemilih pemula, kelompok pinggiran, dan penyandang disabilitas. Data atau riset mengenai tingkat partisipasi dari segmen kelompok pemilih ini perlu lebih didalami, karena hal ini penting untuk mengambil strategi peningkatan partisipasi mereka dalam pemilu selanjutnya.
Dari data yang ada menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki baik di dalam pemilu legislatif maupun presiden. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh KPU Jakarta Selatan juga hanya menyebutkan fenomena ini namun sayangnya tidak ada elaborasi mengapa hal ini terjadi. Faktor apa yang melatarbelakangi pemilih perempuan lebih antusias datang ke TPS daripada laki-laki perlu dicari lebih mendalam dalam riset berikutnya.
Kaitan agama dengan partisipasi pemilih tampak menarik untuk diteliti karena terdapat pemahaman yang berbeda diantara pemeluk agama meskipun dalam satu agama terkait bagaimana mereka mempersepsikan partisipasi dalam pemilu. Terdapat kecenderungan sebagian pemeluk agama meyakini bahwa ikut pemilu bertentangan dengan mekanisme pemilihan pemimpin di dalam agama mereka. Pendalaman mengenai faktor ini penting karena studi ini menangkap fenomena bahwa golput disumbang oleh mereka yang memiliki pemahaman berbeda dalam agama. Memilih calon yang bukan golongan dari agama mereka juga dianggap tidak dibenarkan. Ini sebabnya terdapat perbedaan kemenangan pasangan presiden dan wakil presiden berdasarkan wilayah di DKI Jakarta. Sebagian juga menganggap bahwa peran tokoh agama dan media tempat ibadah tidak layak digunakan untuk mensosialisasikan pemilu. Hal-hal semacam ini tampaknya perlu didalami untuk memetakan persoalan dan merancang strategi peningkatan partisipasi pemilih dari sisi agama.
Penelitian mengenai partisipasi pemilih pemula seharusnya sudah mulai dilakukan dengan meninggalkan pendekatan murni kualitatif. Tidak tersedianya data mengenai pengguna hak pilih berdasarkan rentang usia menyebabkan studi mengenai partisipasi pemilih pemula hanya berkutat maksimal pada persoalan motivasi. Studi yang komprehensif dengan metode khusus perlu dilakukan untuk memetakan partisipasi pemilih dari rentang usia.
Studi penjajakan ini menemukan kemungkinan tingkat partisipasi angkatan kerja dan kepadatan penduduk yang berpengaruh pada rendahnya tingkat partisipasi pemilih di Jakarta Pusat. Kajian yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk melihat korelasi ini termasuk Studi penjajakan ini menemukan kemungkinan tingkat partisipasi angkatan kerja dan kepadatan penduduk yang berpengaruh pada rendahnya tingkat partisipasi pemilih di Jakarta Pusat. Kajian yang lebih mendalam perlu dilakukan untuk melihat korelasi ini termasuk
KPU Jakarta Timur sudah memulai memikirkan korelasi antara tingkat pendidikan dan ekonomi dengan partisipasi pemilih. Sayangnya, penelitian tersebut tidak mengelaborasi lebih lanjut mengenai karakteristik tingkat pendidikan dan ekonomi. Pertanyaannya adalah apakah pendidikan yang dimaksud pendidikan formal atau pendidikan politik. Jika pendidikan formal yang dimaksud, bagaimana perbedaan antara pengaruh masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah atau tinggi terhadap tingkat partisipasi pemilih. Jika pendidikan politik yang dimaksud, perlu lebih dirinci atau dijelaskan mengenai kategorisasinya. Melihat hubungan antara pendidikan politik dengan tingkat partisipasi masyarakat juga tidak mudah. Terdapat kemungkinan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat yang tinggi dapat mendorong masyarakat datang ke TPS atau juga sebaliknya, mengkampanyekan golput.
Hal terakhir yang tampaknya perlu digali lebih dalam adalah pengaruh kinerja lembaga penyelenggara pemilu dengan tingkat partisipasi pemilih. Banyak hal yang dapat dieksplorasi dalam menjelaskan faktor ini termasuk pengalaman, usia, latarbelakang pendidikan, dan mungkin kematangan emosi dan kemampuan berjejaring penyelenggara pemilu. Dari pengamatan penulis, sebagian besar penyelenggara pemilu di DKI Jakarta juga belum dapat mengolah data yang dimilikinya untuk dijadikan pijakan pengambilan strategi peningkatan partisipasi pemilih. Mereka bahkan tidak mampu menelaah atau melakukan kritik atas studi yang dilakukan oleh lembaga mitra yang notabene masih sangat dangkal. Hal-hal yang terkait kapasitas penyelenggara pemilu seperti ini yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan partisipasi pemilih perlu dikaji lebih lanjut.