Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman Jagung. Seleksi dan Karakter Genotipe Jagung Toleran Cekaman Kekeringan pada Beberapa Fase Pertumbuhan

kemampuan menurunkan hantaran epidermis untuk regulasi stomata, pengurangan absorbsi radiasi dengan pembentukan lapisan lilin, bulu yang tebal, dan penurunan permukaan evapotranspirasi melalui penyempitan luas daun serta pengguguran daun tua. 3. Toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah dehydration tolerance, yaitu kemampuan tanaman untuk menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan potensial airnya melalui akumulasi solut seperti gula, asam amino dan prolin. Prolin yang terbentuk pada tanaman berasal dari karbohidrat melalui pembentukan alfa-ketoglutarate dan glutamate. Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman mengakumulasi prolin dalam jumlah yang besar, namun setelah keadaan normal terjadi oksidasi prolin dengan cepat untuk menjaga kandungan prolin yang rendah dalam tanaman. 4. Mekanisme penyembuhan drought recovery, dimana proses metabolisme berjalan normal kembali setelah mengalami cekaman kekeringan. Mekanisme ini penting manakala cekaman kekeringan terjadi pada awal perkembangan tanaman. Pengaruh cekaman kekeringan bergantung pada genetik tanaman, dimana perbedaan morfologi, anatomi dan metabolisme akan menghasilkan respon yang berbeda terhadap cekaman kekeringan Hamim 2004. Pada umumnya tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan menggunakan lebih dari satu mekanisme tersebut untuk menjaga kelangsungan hidupnya Mitra 2001 dalam Sopandie 2006. Tanaman yang tidak mampu beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan akan mati apabila mengalami cekaman lebih lanjut.

D. Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman Jagung.

Salah satu faktor tanaman jagung mengalami cekaman kekeringan adalah sistem perakaran yang cenderung menyebar dekat permukaan tanah, sehingga sangat peka terhadap fluktuasi kadar air tanah. Dengan sistem perakaran tersebut maka akar tidak dapat menjangkau ke lapisan tanah yang lebih dalam dimana lengas tanah lebih tinggi dibanding lapisan dekat permukaan tanah. Kekeringan pada tanaman jagung menyebabkan penutupan stomata, penggulungan, senenscence daun, dan degradasi klorofil. Penggulungan daun disebabkan oleh rendahnya turgiditas sel daun dengan potensial air daun tanaman mencapai -1.5 MPa. Kekeringan juga dapat menyebabkan pertumbuhan luas daun, tinggi dan batang menjadi menurun serta organ reproduktif yang terbentuk lebih kecil dari ukuran normal. Kekeringan yang terjadi pada masa generatif akan mempercepat waktu panen dan kualitas biji menjadi rendah Banziger et. al. 2000. Seleksi kekeringan jagung berdasarkan prosedur CIMMYT dengan perlakuan cekaman kekeringan saat fase pembungaan atau fase pengisian biji, hasilnya hanya 30- 60 dari hasil pada kondisi optimum. Jika tanaman mengalami kekeringan pada fase pembungaan sampai masak fisiologis, hasilnya 15 - 30 dari hasil pada kondisi optimum, sedangkan kekeringan pada masa vegetatif tidak berakibat langsung terhadap hasil Banziger et. al. 2000.

E. Seleksi dan Karakter Genotipe Jagung Toleran Cekaman Kekeringan pada Beberapa Fase Pertumbuhan

Penanaman varietas toleran kekeringan dapat mengatasi permasalahan lahan- lahan kering yang tidak dimanfaatkan pada musim kemarau. Varietas tersebut dapat diperoleh dari hasil seleksi atau penapisan genotipe yang mampu beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan. Langkah penting yang perlu dikembangkan terlebih dulu dalam program perakitan varietas toleran adalah memperoleh genotipe jagung toleran cekaman kekeringan dengan cara melakukan seleksi genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan. Seleksi dapat dilakukan mulai dari fase perkecambahan, vegetatif hingga generatif. E.1 . Penggunaan polietilena glikol PEG 6000 untuk simulasi lingkungan cekaman kekeringan Simulasi cekaman kekeringan banyak dilakukan dengan menggunakan larutan osmotikum yang dapat mengontrol pontensial air dalam media tanaman. Terdapat tiga jenis bahan osmotikum yang sering digunakan yaitu melibiose, mannitol dan polietilena glikol polyethilen glycol, PEG. Menurut Verslues et al. 2006 diantara ketiga bahan osmotikum tersebut ternyata PEG merupakan bahan yang terbaik untuk mengontrol potensial air dan tidak dapat diserap tanaman atau menyebabkan keracunan pada tanaman. PEG adalah senyawa inert non ionik dan polimer dari ethylene oxyde dengan rumus HCOH 2 CH 2 OCH 2 n CH 2 OH; n adalah banyaknya grup oksi etilen. Senyawa ini tidak mudah dipecah oleh organisme hidup sehingga tidak bersifat toksid. PEG juga bersifat non metabolik sehingga tidak dapat disintesa oleh tanaman. PEG memiliki berat molekul 3.000 – 20.000 yang dapat larut sempurna dalam air Mexal et al.1975. Penggunaan larutan PEG meyebabkan penurunan potensial air secara homogen sehingga dapat digunakan untuk meniru besarnya potensial air tanah Michel Kaufman 1973. Penurunan potensial air tergantung pada konsentrasi dan bobot molekul PEG yang terlarut. Total massa -CH 2 -O-CH 2 - atau kekuatan matriks subunit-etilen dalam mata rantai polimer PEG merupakan faktor penting yang mengontrol besarnya penurunan potensial air. Bila PEG dilarutkan dalam air maka molekul air H 2 O akan tertarik ke atom oksigen pada subunit etlien oksida melalui ikatan hidrogen sehingga menyebabkan potensial air menurun. Fenomena ini menunjukkan bahwa PEG lebih berperan sebagai “matrikum” daripada sebagai osmotikum. Meskipun kekuatan osmotikum juga muncul namun kekuatan matriks merupakan komponen utama potensial air dalam larutan PEG. Semakin pekat kosentrasi PEG semakin banyak zat terlarut yang menahan masuknya air ke dalam jaringan tanaman akibatnya akar tanaman semakin sulit untuk menyerap air. Menurut Chazen dan Neuman 1994 penggunaan PEG 6000 dalam jangka panjang pada tanaman relatif aman, karena PEG 6000 tidak dapat masuk ke dalam jaringan akar tanaman atau dinding selulosa hanya dapat dilewati oleh PEG dengan berat maksimum 3500. Namun menurut Blum 2006 akar yang rusak atau putus dapat mengabsorbsi PEG 6000-8000 sehingga dalam percobaan dihindari terjadinya kerusakan akar. Asay dan Johnson 1983 menyatakan bahwa simulasi cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG dapat mendeteksi dan membedakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan. Keunggulan sifat PEG tersebut memungkinkan PEG dapat digunakan sebagai alternatif dalam seleksi genotipe jagung pada kondisi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan Ogawa Yamauchi 2006 dan fase vegetatif dengan media pasir Chazen Neuman 1994. E.2. Toleransi cekaman kekeringan pada fase perkecambahan Alternatif penapisan toleransi genotipe jagung pada fase perkecambahan dapat dilakukan di laboratorium atau rumah kaca untuk melihat respon genotipe tersebut pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian Rumbough dan Jhonson 1981 bahwa tanaman alfalfa Medicago sativa L. yang mampu berkecambah pada tekanan osmotik -0.65 MPa di labotarium, menunjukkan kemampuan tumbuh yang baik di lapangan dan bertahan hidup pada kondisi cekaman kekeringan. Respon perkecambahan tiap genotipe berbeda pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian Saint-Clair 1980 menunjukkan bahwa genotipe pearmillet yang toleran kekeringan yaitu HB-5 dan K-559, memperlihatkan kemampuan berkecambah yang tinggi jika dibandingkan dengan genotipe peka. Hal tersebut disebabkan genotipe toleran lebih efisien menggunakan air untuk berkecambah jika dibandingkan dengan genotipe peka. Fenomena yang sama juga diperlihatkan pada penelitian Krisnashmay dan Irulappan 1992 pada genotipe cabe yang toleran cekaman kekeringan mampu menggunakan air yang lebih sedikit untuk dapat berkecambah dibanding genotipe yang peka. Setiap spesies memerlukan penyerapan air yang cukup untuk bisa berkecambah dan mempunyai batas tegangan tersendiri. Nilai batas tersebut -1.25 MPa untuk jagung, -0.79 MPa untuk padi, -0.66 MPa untuk kedelai dan -0.35 MPa untuk bit gula Levitt 1980. Hasil penelitian Blum et al. 1980 menyatakan bahwa penggunaan PEG 6000 dengan tingkat potensail air -0.59 sampai -1.13 Mpa dapat digunakan untuk penapisan toleransi genotipe gandum terhadap cekaman kekeringan. Rumbough dan Johnson 1981 menyatakan bahwa seleksi genotipe toleran kekeringan pada fase perkecambahan merupakan upaya untuk mengatasi biaya yang mahal, lamanya waktu yang dibutuhkan, dan jumlah genotipe yang banyak untuk diuji di lapang. Perusahaan Pioneer telah mengevaluasi hasil seleksi genotipe jagung pada fase awal pertumbuhan dimana perlakuan cekaman diberikan 0 - 14 hari setelah tanam. Genotipe jagung yang dikelompokkan memiliki karater akar yang lebih panjang dan cabang akar yang banyak dan bobot kering akar yang besar ternyata berproduksi lebih baik dibanding genotipe yang memiliki karakter akar yang kecil Bruce et al. 2002. Hasil penelitian Oemar et al. 1997 menyatakan bahwa untuk keperluan penyaringan ketahanan genotipe kedelai terhadap cekaman kekeringan pada tingkat perkecambahan, paling tepat menggunakan kriteria panjang akar dan bobot kering akar. E.3. Toleransi cekaman kekeringan pada fase pertumbuhan vegetatif Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman mampu melakukan strategi adapatsi yang berbeda untuk mengurangi efek kerusakan akibat cekaman kekeringan. Adaptasi tersebut dapat terjadi secara mofologi, fisiologi dan biokimia Davis et al. 1986. E.3.1. respon morfologi Pada kondisi cekaman kekeringan, tanaman mengintesifkan perkembangan akar terutama ke arah vertikal, sedangkan pertumbuhan tajuk dihambat. Tanaman dengan panjang akar yang dalam dan perluasan akar yang besar akan mampu meningkatkan absorbsi air pada lapisan tanah yang lebih dalam, sementara kehilangan air melalui proses transpirasi dari tajuk ditekan Karmer 1980; Sammons et. al. 1980; Creellman et al. 1990; Herawati 2000. Hal tersebut yang menyebabkan rasio bobot kering akarpucuk meningkat pada kondisi cekaman kekeringan. Pertumbuhan akar berupa panjang, densitas akar, dan bobot kering akar yang tinggi merupakan suatu indikasi tanaman menghindar dari cekaman kekeringan. Terjadinya kehilangan air pada tanaman, hampir 90 melalui stomata daun sehingga tanaman akan menekan kehilangan air dari tajuk dengan cara a mengurangi luas daun b mengubah sudut daun pada posisi hampir sejajar dengan datangnya cahaya agar suhu daun tidak cepat meningkat, dan c memiliki jumlah stomata daun yang rendah. Menurut Banziger et al. 2000 bahwa jumlah stomata pada tiap genotipe akan berbeda dan dikendalikan secara genetik. Tanaman yang memiliki jumlah stomata daun yang lebih kecil akan mengalami laju tranpirasi yang lebih rendah namun demikian tidak mempengaruhi laju fotosintesis. Titik kritis pengaruh cekaman kekeringan adalah kelayuan, yaitu suatu gejala defisit air yang diakibatkan laju kehilangan air melalui transpirasi lebih besar dari pada laju penyerapan air oleh akar. Oleh karena itu toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat diamati dari kecepatan muculnya gejala layu Banziger et al. 2000. E.3.2. Respon fisiologi dan biokimia Respon fisiologi tanaman untuk beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan diantaranya adalah kemampuan tanaman mempertahankan tekanan turgor dengan meningkatkan potensial osmotik Jones et al. 1981. Menurut Hale dan Orchutt 1987, beberapa faktor yang dapat membantu mempertahankan turgor adalah 1 meningkatkan potensial osmotik, 2 kemampuan mengakumulasi zat-zat terlarut, 3 elastisitas sel, dan 4 ukuran sel yang kecil. Pengaturan osmotik sel merupakan respon tanaman untuk mengatasi cekaman kekeringan. Pada mekanisme ini terjadi sintesis dan akumulasi senyawa organik yang dapat meningkatkan potensial osmotik dan menurunkan potensial air sel tanpa membatasi fungsi enzim. Beberapa senyawa yang berperan dalam penyesuaian osmotik sel antara lain mannitol, fructan, trehalose, ononitol, prolin, glycinebetaine, ectoine dan betain. Senyawa tersebut dapat menjaga turgor dan menurunkan potensial air sel Gupta 1997; Ober Sharp 2003. Pembentukan senyawa osmoregulasi merupakan penanda biokimia terhadap toleransi cekaman kekeringan. Banyak peneliti menyatakan bahwa prolin banyak diakumulasi sebagai respon terhadap cekaman air yang dapat diamati pada daun dan akar. Hasil penelitian Sharp dan Davies 1979 menyatakan bahwa pada akar primer jagung, senyawa prolin berkontribusi lebih dari 50 pada osmotic adjustment dibandingkan dengan senyawa osmoregulasi lainnya. Akumulasi asam absisik ABA berkaitan juga dengan respon tanaman yang toleran cekaman kekeringan. Akar yang mengalami cekaman kekeringan, menurut Salisbury dan Ross 1992 akan membentuk ABA lebih banyak dan diangkut melalui xylem menuju daun untuk menutup stomata. Menurut Zeevaart dan Creelman 1988 bahwa ABA yang diproduksi dalam akar tanaman yang mengalami cekaman kekeringan berperan sebagai sinyal kimia pada tajuk sehingga mendorong penutupan stomata, sehingga tanaman dapat mengoptimalkan penggunaan air dengan cara mengurangi kehilangan air melalui transpirasi. Kondisi cekaman air akan memicu peningkatan produksi bentuk-bentuk oksigen reaktif yang bersifat merusak seperti singlet oksigen O 2 1 , superoxide radical O 2 - , hidrogen peroxide H 2 O 2 dimana molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen spesies ROS. Pada kondisi cekaman kekeringan produksi ROS akan meningkat dan menyebabkan kerusakan enzim, pigmen kloroplas, membran lipid dan protein. Namun demikian kloroplas merupakan tujuan utama terhadap kerusakan ROS, karena kloroplas merupakan tempat aerobik di dalam sel tanaman Levitt 1980. Kloroplas akan mengalami degradasi sehingga daun akan cepat mengalami klorosis dan senenscence. Oleh karena itu dalam seleksi genotipe jagung toleran cekaman kekeringan, CIMMYT memperhitungkan kemampuan tanaman untuk memperlambat senescence daun atau tanaman tetap hijau sampai waktu panen Banziger et al. 2000. Strategi penting kemampuan tanaman untuk melindungi sel dari kerusakan akibat ROS yang diproduksi pada kondisi cekaman kekeringan adalah menghasilkan senyawa antioksidan. Senyawa antioksidan berguna untuk intervensi awal yang memutuskan rentetan rantai reaksi untuk mencegah produksi ROS, senyawa tersebut antara lain: superoxide dismutase SOD, ascorbate peroxidase APX, catalase CAT, guaiacol peroxydase POD, indolacetate oxidase IAA ox dan polyphenol oxidase PPO. Bukti dari genetik dan fisiologi menunjukkan bahwa peningkatan produksi antioksidan pada tanaman merupakan komponen yang penting sebagai mekanisme perlindungan tanaman terhadap cekaman kekeringan Levitt 1980 E.4. Toleransi cekaman kekeringan pada fase generatif Kekeringan dapat terjadi pada awal pertumbuhan, fase berbunga, fase pengisian biji sampai panen. Pada umumnya, kekeringan pada masa vegetatif tidak berakibat langsung terhadap hasil namun sebaliknya bila cekaman dialami pada fase generatif. Evaluasi dan seleksi genotipe jagung toleran kekeringan dengan menggunakan prosedur CIMMYT dengan perlakuan cekaman saat fase berbunga sampai fase pengisian biji ”tingkat cekaman sedang”, hasil jagung hanya 30-60 dibanding pada kondisi optimum. Jika tanaman mengalami kekeringan saat fase berbunga sampai panen ”tingkat cekaman berat” hasilnya 15-30 dibandingkan hasil pada kondisi optimum Banziger et. al. 2000. Dalam melakukan genotipe jagung toleran cekaman kekeringan perlu diketahui karakter-karakter yang dapat membedakan genotipe yang toleran dan peka cekaman kekeringan. Banziger et al. 2000 menyatakan karakter-karakter tersebut sebaiknya mudah dan murah untuk diamati, memiliki heritabilitas yang tinggi, dan dikendalikan oleh gen. CIMMYT merekombinasikan penggunaan karakter yang diamati untuk seleksi genotipe cekaman kekeringan untuk program pemuliaan pada fase generatif adalah sebagai berikut: a. Hasil pipilan biji, seleksi dilakukan berdasarkan hasil pipilan biji yang tetap atau sedikit berkurang pada kondisi cekaman kekeringan. b. Jumlah tongkol pertanaman yang lebih banyak prolipic. c. Anhtesis silking interval ASI merupakan kriteria utama dalam merakit varietas jagung toleran cekaman kekeringan dan pengaruh terhadap produksi cukup besar. Nilai ASI sekitar -1.0 sampai +3.0 hari merupakan nilai terbaik untuk varietas jagung toleran cekaman kekeringan Bolanos Edmeades 1993. Semakin tinggi nilai ASI semakin rendah hasil karena tidak terjadi sinkronisasi pembungaan. ASI negatif diartikan bahwa rambut terlebih dahulu siap diserbuki sebelum tersedia bunga jantan, sehingga seleksi dilakukan berdasarkan ASI yang kecil atau minus. Pengamatan ASI dilakukan pada saat 50 jumlah dari seluruh tanaman telah berbunga jantan dan betina. Perhitungan ASI adalah hari berbunga betina dikurangi hari berbunga jantan. d. Ukuran tasel, seleksi berdasarkan ukuran malai yang kecil dengan sedikit cabang, pengukuran dilakukan berdasarkan skor 1 malai kecil dengan sedikit cabang sampai skor 5 malai besar dengan jumlah cabang malai banyak. Ringkasan karakter untuk seleksi, tingkat heritabilitas dan korelasinya dengan hasil disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakter seleksi toleransi genotipe jagung terhadap cekaman kekeringan Karakter Heritabilitas Seleksi Korelasi dengan hasil Hasil pipilan jagung Sedang Genotipe yang mampu menghasilkan bobot bijitanaman yang besar Tinggi Jumlah tongkoltanaman Tinggi Jumlah tongkoltanaman yang lebih banyak dan tongkol aborsi sedikit Tinggi Anthesis-silking interval ASI Sedang ASI yang kecil atau minus Tinggi Senescence daun Sedang Tanaman stay green Sedang Menggulung daun kelayuan Sedang- tinggi Daun yang tidak menggulung Sedang Pertumbuhan daun dan batang Rendah Medium - rendah Klorofil daun Rendah Daun yang lebih lambat senescense Rendah Kemamun hidup pada fase perkecambahan sampai awal pertumbuhan vegetatif 14 hari setelah tanam Rendah Medium- rendah Osmotik adjusment Rendah rendah Sumber: Banziger et al. 2000. E.5. Karakter Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Menurut Blum 2002, karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat dipilah menjadi karakter konstitutif dan adaptif. Karakter konstitutif merupakan a karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, b berperan dalam mengendalikan status air jaringan dan produktivitas dalam keadaan cekaman kekeringan, dan c terekspresi tanpa ada pengaruh cekaman kekeringan. Karakter tersebut adalah umur berbunga, pertumbuhan akar, warna daun, bulu daun, stay green leaves, luas daun dan densitas stomata. Sedangkan karakter adaptasi adalah karakter yang dikendalikan oleh gen-gen yang terekspresi sebagai respons terhadap cekaman, meliputi: a kompatibel solut yang berperan dalam menjaga turgor dan melindungi organel sel seperti manitol, sorbitol, inositol, fructan dan prolin, b senyawa antioksidan seperti superoxide dismutase SOD, ascorbate peroxidase APX, catalase CAT, guaiacol peroxydase POD, indolacetate oxidase IAA ox dan polyphenol oxidase PPO. Menurut Blum 2002 bahwa mempertahankan turgor atau status air sangat penting dalam toleransi kekeringan. Kemampuan ini dapat dikendalikan oleh karakter konstitutif yang secara kuantitatif lebih besar peranannya dalam toleransi terhadap cekaman kekeringan dibanding karakter adaptasi. Sehingga implikasi bagi seleksi adalah karakter konstitutif dapat diseleksi pada lingkungan tanpa cekaman.

BAB III PENDUGAAN TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP