0.63 0.88 0.63 0.88 0.63 0.88 GCCCAT GCTT CTCTT CAT GT R; GGGAAAT GAGAAGGGT GT GA

yang kemudian dikenal dengan kelompok Trinitario. S ifat morfologi dan fisiologi keturunannya amat beragam demikian pula daya hasil dan mutu bijinya Prawoto 2008. Hasil pengamatan morfologis terhadap 22 klon kakao yang selanjutnya dianalisis, menunjukkan keragaman yang tinggi. Pada tingkat kemiripan 75 terdapat tiga kelompok. Kondisi seperti ini akan sangat menguntungkan bagi upaya peningkatan kualitas bibit kakao melalui pengembangan hibrida kakao, yang memerluka n tetua de ngan keragaman yang tinggi . Gambar 5. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data ketahanan terhadap P. palmivora. Tahan merah , moderat biru ; rentan hijau . Berdasarkan ketahanannya terhadap P. palmivora, klon-klon kakao yang diamati dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu tahan, moderat dan rentan. Hasil klastering menunjukkan bahwa kon-klon kakao pada kelompok pertama memiliki karakter tahan, kelompok kedua bervariasi antara yang tahan de ngan rentan, sedangkan pada kelompok tiga juga bervariasi antara tahan, rentan maupun moderat. Hal ini menunjukkan bahwa penyilangan antar ketiga kelompok memiliki peluang untuk menghasilkan keragaman yang tinggi baik pada sifat morfologi maupun ketahanannnya terhadap P. palmivora. Di antara 22 klon kakao yang diamati, pada umumnya memiliki ukuran biji yang besar 18 klon baik pada kelompok pertama, kedua maupun ketiga. Hal Coefficient

0.50 0.63

0.75 0.88

1.00 SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7 Gambar 6. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data ukuran biji. Besar merah , sedang biru ; kecil hijau ini juga mengindikasikan bahwa klon-klon yang dianalisis memiliki potensi yang baik untuk dijadikan sebagai tetua dalam penyilangan. Gambar 7. Dendogram Hasil analisis klastering untuk mengelompokan keragaman morfologis 22 klon kakao berdasarkan karakter morfologis, dilengkapi dengan data potensi daya hasil kghath. 1000 – 1100 hijau, 1500-1750 biru, 2000-2050 merah Coefficient

0.50 0.63

0.75 0.88

1.00 SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7 Coefficient

0.50 0.63

0.75 0.88

1.00 SCa12 SCa6 ICCRI4 ICCRI3 ICS60 DRC16 ICCRI1 ICCRI2 DR38 TSH858 ICS13 RCC72 RCC70 RCC71 DR2 PA300 PA303 UF667 DR1 NIC4 NIC7 GC7 Analisis SSR Dalam penelitian yang dilakukan, 39 primer yang digunakan merupakan primer SSR terpilih yang telah dilaporkan oleh Lanaud et al. 1999. Seluruh primer yang digunakan mampu menghasilkan produk hasil amplifikasi PCR, yang ditunjukkan dengan hasil elektroforesis pada gel agarose Lampiran 3. Contoh elektroferogram hasil poly-acryllamide gel electrophoresis PAGE untuk memvisualisasi alel-alel marker SSR yang diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 8. Selanjutnya, skoring alel dari marker SSR dilakukan dengan menggunakan elekroferogram yang dihasilkan. Contoh hasil scoring yang didapat untuk elektroferogram pada Gambar 9 disajikan pada Tabel 3. Gambar 8. Contoh elektroferogram hasil PCR menggunakan primer spesific SSR MTcCIR 211 dengan 29 contoh DNA klon kakao. Amplifikasi dengan pr imer MTcCIR 211 menghasilkan enam macam pita yang berbeda ukuran masing- masing menjadi alel 1, Alel 2, alel 3, alel 4, dan alel 5, dan alel 6. Berdasarkan hasil skoring alel-alel pada masing- masing lokus yang diamplifikasi denga n primer SSR tertentu, maka masing- masing klon kakao yang dianalisis akan dapat ditentukan apakah mempunyai genotip dalam kondisi heterosigot atau homosigot. Dalam lokus tertentu, klon yang diuji dalam kondisi heterosigot apabila mempunyai dua macam alel yang berbeda pada lokus yang dievaluasi. Dalam Tabel 3, pada lokus MTcCIR 211 untuk klon No. 10, mempuny ai alel 1: “pita no. 3” dan alel 2: “pita no. 4”. Hal ini mengindikasikan bahwa genotip klon No. 10 adalah heterosigot Ht. Sebaliknya, klon yang diuji dalam kondisi homosigot apabila mempunyai satu macam alel yang sama pada lokus yang dievaluasi. Dalam Tabel 3, klon No. 1 dan 2, sama-sama mempunyai 1 2 4 5 6 3 alel 1: “pita no. 4” dan alel 2: “pita no. 4”. Hal ini mengindikasikan bahwa genotip k lon No. 1 dan 2 pada lokus MTcCIR 211 adalah homosigot Hm. Tabel 3. Contoh data hasil skoring untuk masing- masing individu pada elektroferogram Gambar 7. Hasil sko ring merepresentasika n genotip individu berdasarkan lokus SSR MTcCIR 211. Sampel kakao MTcCIR 211 Genotip Alel 1 Alel 2 1 4 4 Hm 2 4 4 Hm 3 3 4 Ht 4 4 6 Ht 5 3 3 Hm 6 2 4 Ht 7 4 4 Hm 8 1 4 Ht 9 4 6 Ht 10 3 4 Ht 11 4 4 Hm 12 4 4 Hm 13 4 4 Hm 14 4 4 Hm 15 4 5 Ht 16 1 1 Hm 17 1 2 Ht 18 1 2 Ht 19 3 4 Ht 20 3 4 Ht 21 3 4 Ht 22 1 3 Ht 23 3 4 Ht 24 4 6 Ht 25 3 4 Ht 26 1 3 Ht 27 4 6 Ht 28 2 3 Ht 29 4 4 Hm Catatan: Ht – heterosigot: mempunyai dua alel yang berbeda pada satu lokus yang dianalisis contoh: pada individu No. 3, mempuny ai alel 1: “3” dan alel 2: “4”., Hm - Homosigot: mempunyai dua alel yang sama pada satu lokus yang dianalisis contoh: pada individu No. 1 da n 2, pada mempunyai alel 1: “4” dan alel 2: “4”. Identifikasi dan analisis keragaman genetik pada plasma nutfah kakao telah dilakukan dengan pengamatan mor fologi Mot ilal da n Butler 2003; Bekele et al. 2006, akan tetapi hasilnya masih kurang sempurna karena karakter morfologi dapat berubah dan sangat dipengaruhi lingkungan. Analisis molekuler dapat membantu mengatasi kekurangan tersebut. Penggunaan marka molekuler mikrosatelit SSR telah dilakukan pada tanaman kakao untuk berbagai tujuan, seperti karakterisasi dan analisis keragaman genetik Lanaud et al 1999; Zhang et al. 2006; Bruno et al. 2008 , karakterisasi kakao koleksi internasional Zhang et al., 2009, dan pembuatan linkage map Risterucci et al. 2000; Pugh et al. 2004. Meskipun primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan primer yang telah digunakan sebelumnya, akan tetapi beberapa lokus tidak menghasilkan pita yang jelas sehingga tidak dapat diskoring. Hal ini diduga karena urutan basa pada beberapa lokus tersebut tidak dapat mengamplifikasi genom kakao dari sampel yang digunakan. Pita polimorfik yang dihasilkan pada 24 lokus menunjukkan adanya keragaman di antara sampel kakao yang dianalisis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan marka SSR cukup efektif untuk mempelajari keragaman genetik plasma nutfah kakao Saunders et al. 2004. Keragaman Genetik Dengan menggun aka n pe ndeka tan seperti yang telah disebutkan di atas, maka tingkat heterosigositas atau homosigos itas lokus- lokus dalam setiap klon kakao yang dievaluasi akan dapat ditentukan. Tingkat heterosigositas pada lokus- lokus yang ada di dalam genom masing- masing klon akan menentukan kedekatan genetik antar klon kakao yang dianalisis. Informasi tentang tingkat heterosigositas atau homosigositas klon kakao sangat penting dalam kaitannya dengan pembentukan galur hibrida F1 sebagai bahan tanaman kakao. Dari hasil skoring yang dilakukan, primer SSR yang digunakan rata-rata mampu mengidentifikasi alel per lokus sebanyak 5.50 dengan rata-rata Poymorphic Information Content PIC sebesar 0.665. Total jumlah alel diperoleh sebanyak 132 dari 24 lokus, jumlah alel terkecil 4 pada beberapa lokus, dan terbesar 8 pada lokus mTcCIR 155. Rata-rata jumlah alel per lokus lebih kecil dibandingka n de ngan pe nelitian terdahul u yang dilakuka n oleh Zang et al. 2009 yaitu 14.2 alellokus. Nilai PIC sebesar 0.665 tergolong tinggi dan hal ini mengindikasikan bahwa marker SSR yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi klon-klon kakao yang dianalisis. Jumlah alel dan nilai PIC masing- masing lokus yang didapatkan dari hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabe l 5. Jumlah alel dan tingkat heterosigos itas lokus- lokus SSR pada 29 klon kakao Parameter Genetik Lok us Jumlah alel Ho He PIC mTcCIR 213 mTcCIR 198 mTcCIR 82 mTcCIR 16 mTcCIR 209 mTcCIR 218 mTcCIR 255 mTcCIR 190 mTcCIR 276 mTcCIR 167 mTcCIR 291 mTcCIR 211 mTcCIR 10 mTcCIR 144 mTcCIR 251 mTcCIR 184 mTcCIR 91 mTcCIR 155 mTcCIR 162 mTcCIR 76 mTcCIR 109 mTcCIR 95 mTcCIR 67 mTcCIR 69 6 4 4 5 6 4 7 6 5 4 6 6 4 7 5 7 4 8 4 6 7 7 5 5 0.759 0.379 0.630 0.793 0.407 0.964 0.643 0.250 0.357 0.393 0.556 0.862 0.577 0.714 0.808 0.960 0.310 0.962 0.552 0.889 0.821 0.964 0.414 0.593 0.802 0.693 0.540 0.759 0.798 0.679 0.605 0.727 0.779 0.666 0.760 0.751 0.608 0.831 0.689 0.826 0.603 0.817 0.673 0.767 0.799 0.822 0.607 0.681 0.757 0.623 0.471 0.700 0.749 0.606 0.542 0.681 0.729 0.601 0.712 0.701 0.513 0.791 0.624 0.783 0.536 0.775 0.613 0.713 0.752 0.780 0.566 0.633 Mean 5.50 0.720 0.665 Catatan: PIC – polimorphic information content parameter untuk menentukan tingkat keragaman alel di dalam populasi tanaman yang dianalisis. Dari Tabel 5 juga dapat diketahui bahwa pada 24 lokus SSR yang dianalisis, sebagian besar klon yang diuji mempunyai pasangan alel yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa genotip klon-klon kakao yang diuji pada sebagian besar dari 24 lokus ada dalam kondisi heterosigot. Di antara 24 lokus yang digunakan dalam penelitian ini, 15 lokus yang sama digunakan Zhang et al. 2009 menghasilkan rata-rata jumlah alel per lokus 5,70 pada populasi semi natural dari Rio Ucayali Peru, dan 3,68 pada populasi Rio Huallaya. Sementara itu dengan menggunakan 11 lokus SSR, Sereno et al. 2006 melaporkan rata-rata jumlah alel 4,45 dari 94 aksesi yang mewakili 14 populasi di wilayah Amazon. Rendahnya rata-rata jumlah alel yang diperoleh pada penelitian ini diduga karena jumlah aksesi yang digunakan hanya 29 sedangkan Zhang et al. 2009 menggunakan 688 aksesi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh rata-rata gen diversity He 0.720 dan rata-rata heterosigos itas Ho sebesar 0.651. Keragaman genetik tertinggi 0.831 dihasilkan pada lokus mTcCIR 144, sedangkan terrendah 0.540 pada mTcCIR 82. Heterosigositas tertinggi 0.964 pada lokus mTcCIR 218 dan mTcCIR 95, sedangkan yang terrendah 0.250 pada lokus mTcCIR 190. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik yang cukup tinggi menunjukkan bahwa lokus SSR yang digunakan dapat membedakan klon-klon yang dianalisis. Setelah dikembangkannya marka SSR untuk kakao oleh Lanaud et al.1999, maka identifikasi dan karakterisasi plasma nutfah kakao berkembang cukup signifikan Zang et al. 2009. Pada umumnya, tingkat heterosigositas yang tinggi pada lokus- lok us yang dianalisis akan berkorelasi positif dengan nilai PIC yang tinggi pula. Hal ini dapat dilihat pada hasil analisis yang disajikan dalam Tabel 5 di atas. Sebagian besar lokus- lok us yang dianalisis mempunyai persentase heterosigos itas yang tinggi dan sekaligus mempunyai nilai PIC untuk masing- masing lokus yang tinggi pula. Namun demikian, pada lokus MTcCIR 190, MTcCIR 276, dan MTcCIR 67 teramati mempunyai tingkat heterosigositas yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lokus-lokus tersebut, klon-klon kakao yang dievaluasi mempunyai lebih banyak genotipe homosigot dibandingkan de ngan heterosigot. Selain tingkat heterosigos itas, hal lain yang perlu diperhatikan dalam menentukan tetua untuk persilangan adalah ada tidaknya kesamaan alel dalam masing- masing primer yang digunakan untuk menghasilkan marka molekuler SSR. Berkaitan dengan hal tersebut, klon-klon yang diharapkan menghasilkan hibrida yang baik adalah klon-klon yang tingkat heterosigositasnya tinggi dan kombinasi alel dalam setiap primernya berbeda. Seluruh set data marker SSR yang diperoleh juga dapat digunakan untuk menentuka n jarak genetik a ntar klon yang dieva luasi. Besar kecilnya jarak genetik antar klon yang dievaluasi merupakan informasi penting dalam pemanfaatan klon- klon tersebut untuk pe muliaan tanaman. Dua klon yang mempunyai jarak genetik yang tinggi, apabila disilangkan akan menghasilkan turunan yang variasinya sangat tinggi. Sebaliknya, dua klon yang jarak genetiknya rendah, apabila disilangkan akan menghasilka n tur unan yang variasinya renda h. Dalam pembuatan hibrida F1 sebagai bahan perbanyakan tanaman, masing- masing klon kakao yang digunakan sebagai tetua diharapkan mempunyai karakter agronomis yang baik dan keduanya mempunyai jarak genetik yang tinggi. Dengan menyilangkan dua tetua yang demikian itu maka didapatkan populasi hibrida F1 yang heterogeneous dan mempunyai keragaman yang tinggi. Populasi F1 yang heterogeneous tersebut sangat efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungk in menjadi ke ndala di lapangan seperti: stres lingkungan abiotik seperti: nutrisi, kekeringan, keracunan hara, stres biotik seperti: serangan hama dan penyakit. Selain itu, karena kedua tetua yang digunakan masing- masing mempunyai karakteristik agronomis yang diinginkan, hibrida F1 yang didapat diharapkan juga mewarisi sifat-sifat baik tetuanya. Dalam kondisi tertentu, heterosis juga dapat ditemuka n pada individu- individu hibrida F1 yang dihasilkan. Analisis klaster juga telah dilakukan untuk mengelompokan 29 klon kakao yang dievaluasi berdasarkan marka SSR. Hasil klastering 29 klon kakao berdasarkan marka SSR dihubungkan dengan tingkat resistensinya terhadap P.palmivora Rubiyo 2009, disajikan pada Gambar 10. Hasil klastering pada koefisien kemiripan 0.5 menunjukkan adanya pengelompokan menjadi lima kelompok. Kelompok pertama terdiri atas klon-klon PA300, KEE2, TSH908, RCC72, dan DRC16 memiliki sifat tahan. Kelompok ke dua terdiri atas RCC 78, PA303, ICCRI4, DRC15, UIT1, da n DR38, bervariasi antara yang taha n, rentan maupun moderat. Hal yang sama jua terdapat pada kelompok ke tiga yang terdiri atas ICCRI2, UF667, NIC4, NIC7, ICS13, ICS60, TSH 858, dan GC7. Klon-klon Gambar 9 Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data resistensi terhadap P. palmivora. Tahan merah , moderat biru ; rentan hijau . Gambar 10. Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data ukuran biji: biji besar merah , biji sedang hijau , biji kecil biru Coefficient 0.00 0.25 0.50 0.75 1.00 PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC Coefficient 0.00 0.25 0.50 0.75 1.00 PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC DR2, DR1, RCC70, ICCRI1, ICCRI3, dan NW6261 berada pada kelompok empat dengan tingkat ketahanan yang juga bervariasi, sedangkan SCa 6, SCa 12, dan SCa 89 pada kelompok terakhir memiliki sifat tahan. Berdasarka n ukuran bijinya data diperoleh dari Puslit kopi dan kakao Indonesia, klon-klon yang diamati pada umumnya memiliki ukuran biji besar terutama klon-klon yang terdapat pada kelompok dua dan empat, sedangkan pada kelompok lima ketiga klon SCa memiliki ukuran biji kecil. Gambar 11. Hasil klastering 29 klon kakao dengan 24 lokus SSR, dilengkapi dengan data potensi daya hasil kghath. 1000 – 1100 hijau, 1500-1750 biru, 2000-2050 merah. Apabila dikaitkan dengan daya hasil, klon-klon kakao yang diamati cukup bervariasi, dimulai dari 1000 kghatahun SCa6, SCa 12, dan SCa 89, 1500-1750 kghatahun hingga 2050 kghatahun tersebar pada kelompok satu samapi empat. Berdasarkan hal tersebut maka klon-klon koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia memiliki keragaman yang cukup tinggi, sehingga berpotensi menjadi tetua pada persilangan untuk mendapatkan hibrida yang unggul. Coefficient 0.00 0.25 0.50 0.75 1.00 PA 300 1 ICCRI 2 PA 303 DR 38 ICCRI DR DRC 15 DRC RCC RCC 1 2 DR 3 ICCRI 4 16 71 72 RCC ICCRI 70 RCC SIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan terhadap karakter morfologis ditemukan bahwa keragaman plasma nutfah kakao ko leksi Puslit Kopi dan Kakao Indo nesia cukup tinggi. Marka SSR dapat digunakan untuk evaluasi keragaman plasma nutfah kakao dengan tingkat polimorfisme yang cukup tinggi. Tingkat heterosigositas dan keragaman genetik plasma nutfah kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indo nesia yang tinggi memiliki peluang yang amat potensial untuk dijadikan sebagai tetua dalam persilangan, untuk mendapatkan hibrida yang unggul dan bermutu. DAFTAR PUSTAKA Bekele F, Bekele I, Butler D, and Bidai GSEE. 2006. Patterns of morphological variation in a sample of cacao Theobroma cacao L. germplasm from the International Cocoa Genebank, Trinidad. Genet Resour Crop Evol. 53:933-948 Borrone JW, Brown JS, Kuhn DN, Motamayor JC, and Schnell RJ. 2007. Microsatellite markers developed from Theobroma cacao L.expressed sequence tags. Mol Ecol Notes. 7: 236–239 Bruno I et al. 2008. Genetic diversity and structure of farm and Gene Bank accession of cacao Theobroma cacao L. in Cameroo n revealed b y microsatellite markers. Tree Genet Genomes. 4: 821-831 Clement D, Risterucci AM, Grivet L,Motamayor JC, Goran JN, and Lanaud C, 2003. Mapping QTL for yield components, vigor and resistance to Phytophthora palmivora in Theobroma cacao L. Genome. 46:204-212. Freeman S, West J, James C, Lea V, and Mayes S. 2004. Isolation and characterization of highly polymorfic microsatellites in Tea Camellia sinensis. Mol. Ecol. Notes. 4: 324-326. Kacar YA, Lezzoni A, and Cetiner S. 2005. Sweetcherry cultivar identification by using SSR Markers. J. of Biosci. p. 616-619. Kumar Pradep S, Manimekalai R, and Kumari BDR. 2011. Microsatellite marker based characterization of south pacific coconut Cocos nucifera L. Accessions. Int. J. Plant Breed. and Genet. 51: 34-43. Lanaud C et al. 1999. Isolation and characterization of microsattellites in Theobroma cacao L. Mol Ecol. 8:2141-2143 Lanaud C, Risterucci AM, Pieretti I, N’goran JAK, and Fargeas D.2004. Characterisation and genetic mapping of resistance and defence gene analogs in cocoa Theobroma cacao L.. Mol. Breed. 13:211-227 Motilal L, Butler D. 2003. Verification of identities in global cacao germplasm collections. Genet Resour Crop Evol. 50:799-807. Prawoto AA. 2008. Botani dan Fisiologi. Di dalam: Wahyudi T, editor. Panduan Lengkap Kakao. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 38-47 Priolli RHG, Mendez CT, Arantes NE, and Contel EPB. 2002. C haracterization of brazilian soybean cultivars using microsatellite markers, Gen and Mol. Biol. 25.2: 185-193. Pugh T et al. 2004. A new cacao linkage map based on codominant markers: development and integration of 201 new microsatelite markers. Theor Appl Genet 108:1151 – 1161. Saunder, JA, Mischke S, Leany EA, Hemeida AA.2004. Selection of International molecular standards for DNA fingerprinting of Theobroma cacao L. Theor Appl Genet. 110: 41-47 Schnell RJ et al. 2007. Development of a marker assisted selection program for cacao. phytopat. 12: 1664-1669 Sereno ML., Albuquerque PSB, Vencovsky R, Fiqueira A. 2006. Genetic diversity and natural population structure of cacao Theobroma cacao from the Brazillian Amazon evaluated by microsatellite marker. Conserv Genet 7: 13-24 Solodenko A, and Yu S. 2005. Genot yping of Helianthus-Based on Microsatelite Sequences. Helia. 2842: 19-26. Weising K, Nybom H, Wolff K, and Meyer W. 1995. DNA Fingerprinting in Plant and Fungi. CRC Press, Boca Raton, F la. Zhang D, Mischke S, Goenaga R, Hemeida AA, Saunders JA. 2006. Accuracy and Reliability of High-Throughput Microsatellite Genotyping for Cacao Clone Ide ntification. Crop Sci. 46:2084–2092. Zhang D et al. 2006. Genetic diversity and structure of managed and semi- natural populations of cocoa Theobroma cacao L. in Huallaga and Ucayali Valleys of Peru. Annals of Bot. 98: 647-655. Zhang D, Mischke S, Johnson ES, Phillips-Mora W, Meinhardt L.2009. Molecular characterization of an international cacao collection using microsatellite markers. Tree Genetics Genomes 5:1–10

BAB IV HUBUNGAN ANTARA JAR AK GENETIK AN TAR TETUA DAN

HIBRIDA F1 KAKAO DENGAN RESISTENSI TERHADAP IN FEKSI Phytophthora palmivora Butl. Abstrak Peningkatan permintaan biji kakao mendorong tersedianya bibit kakao yang unggul da n be rmutu, yaitu bibit yang berda ya hasil tinggi da n tahan terhadap penyakit khusus nya pe nyakit busuk buah yang disebabka n oleh Phytophthora palmivora. Salah satu upa ya untuk mendapatka n bibit tersebut adalah dengan melakukan penyilangan antara tetua yang memiliki daya hasil tinggi dengan yang tahan terhadap P.palmivora. Salah satu keberhasilan penyilangan ditentukan oleh keragaman sifat dari tetua yang disilangkan. Pada penelitian sebelumnya telah dipilih lima tetua de ngan ke tahanan terhadap infeks i busuk buah da n da ya hasil yang tinggi dan digunakan untuk memproduksi satu rangkaian populasi hibrida F1 dengan metode semi-dialel. Tetua terpilih yang digunakan dalam persilangan tersebut adalah klon kakao ICCRI 3, TSH 858, ICS 13, DR1 dan Sca 6. Penelitian ini bertuj uan untuk menganalisis jarak genetik antar tetua da n antar individu pada populasi hibrida kakao berdasarkan marka SSR, juga mempelajari hubungan antara jarak genetik antar tetua dan jarak genetik antar individu hibrida F1 dengan sifat resistensi terhadap penyakit busuk buah akibat infeksi P. palmivora. Hasil analisis klaster menunjukkan ba hwa tingkat kesamaan di antara lima klon kakao yang dijadikan sebagai tetua bervariasi antara 0.15 – 0.48. Hal ini berarti jarak genetik antar tetua yang digunakan untuk menghasilkan galur kakao hibrida F1 memiliki nilai yang relatif tinggi, yaitu berkisar antara 0.52 – 0.85. Semakin jauh jarak genetic diharapkan keragaman individu hibrida semakin tinggi. Hasil analisis SSR pada sepuluh silangan individu hibrida, menunjukkan bahwa karagaman genetik individu hibrida relatif tinggi. Tetua dengan jarak genetic yang jauh ternyata juga menghasilkan hibrida dengan keragaman yang relatif tinggi. Kata kunci: Phytophthora palmivora, hibrida F1, jarak genetic, heterosigositas GENETIC DISTANCE AND THE RELATIONS WITH CACAO RESISTANCE AGAINST Phytophthora palmivora Butl. Abstrac t Demands for cocoa beans have encourage the availability of cocoa seedlings that have superior quality, high yield and resistant to diseases, especially pod rot caused by Phytophthora palmivora. One of the efforts to get these kinds of seeds is by crossing the parents which have a high yield with the parents which have a resistance to P.palmivora. The success of the crossing is determined by the diversity of parents. Before, it has selected five parents which have high yield and resistance to black pod infection to be used to produce a series of F1 hybrid population using semi- dialel method. Selected parents used in these crosses are clones of cocoa ICCRI 3, TSH 858, ICS 13, DR1 and SCA 6. The aims of this study is to analyze the genetic distance between parents and among individuals in a population of hybrid cocoa based on SSR markers, and also to study the relationship of genetic distance among the parents and genetic distance between the F1 hybrid individuals with the nature of resistance to black pod disease caused by infection with P. palmivora. The results of cluster analysis showed that the degree of similarity among the five parents varies between 0.15 to 0.48. This means that the genetic distance between the parents used to produce F1 hybrid strains of cocoa has a relatively high value, which ranges from 0.52 - 0.85. The farther the distance of genetic between the parents the higher genetic diversity of hybrid individuals is expected. SSR analysis results of ten individual crossed hybrids, suggests that individual genetic hybrid has a relatively high genetic diversity. Parents which have a further genetic distance were also produced hybrids with a relatively high diversity. Pendahuluan Tanaman kakao telah lama dibudidayakan di Indonesia, baik oleh masyarakat maupun perkebunan yang dikelola perusahaan swasta ataupun pemerintah. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal pertanaman kakao paling luas di dunia dengan luas areal penenaman mencapai 917 ribu hektar dan teersebar di seluruh provinsi kecuali DKI Jakarta. Sealain itu Indonesia juga termasuk negara penghasil kakao terbesar ke tiga setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan nilai produksi tahunan mencapai 572 ribu ton Wahyudi dan Raharjo 2008. Akan tetapi di pasaran internasional harga kakao asal Indonesia masih rendah karena kualitas bijinya yang kurang baik, yaitu