Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat-Sifat Tanah di Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat

(1)

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN

TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH

DI KECAMATAN BESITANG KABUPATEN LANGKAT

DRAFT HASIL PENELITIAN

Oleh :

MUHAMMAD HATTA 031202031/BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK

Kebakaran merupakan penyebab kerusakan hutan yang paling besar, dimana dalam waktu singkat dapat menghancurkan kawasan yang cukup luas. Kebakaran hutan ternyata lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif terhadap sifat-sifat tanah dan terutama terhadap erosi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terhadap sifat-sifat tanah dan erosi periode 1 tahun setelah terbakar.

Penelitian ini menggunakan metode perbandingan 2 tanah hutan yaitu tanah hutan periode 2 tahun setelah terbakar dan tanah hutan tidak terbakar, yang mana proses pengambilan contoh tanah dilakukan secara komposit. Berdasarkan hasil penelitian pada sifat-sifat tanah periode 1 tahun bekas kebakaran dan tanah hutan utuh, sebagian besar sifat-sifat tanah berdampak negatif dan hanya sebagian kecil yang berdampak positif. Sedangkan pengaruhnya terhadap erosi, kebakaran hutan memberikan dampak yang merugikan tanah bekas kebakaran. Parameter yang diamati pada sifat-sifat tanah yaitu sifat fisik (tekstur, warna tanah, kerapatan lindak, ruang pori, kadar air tanah, dan permeabilitas), kimia (nitrogen (N), fosfat (F), kalium (K), C-Organik, Al, kapasitas tukar kation (KTK), pH tanah) dan biologi (jumlah mikrobiologi) sedangkan pada erosi yaitu prediksi erosi yang terjadi. Sisa-sisa abu/arang, bahan organik, kandungan Al dalam tanah dan kedalaman tanah merupakan faktor yang mempengaruhi terhadap perubahan dari sifat-sifat tanah sesudah terbakar.


(3)

Judul Penelitian : Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat-Sifat Tanah di Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat.

Nama : Muhammad Hatta Nim : 031202031 Departemen : Kehutanan Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

DR. Budi Utomo SP., MP. DR. Delvian SP., MP NIP : 132 305 100 NIP : 132 299 348

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan dan melimpahkan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat-Sifat Tanah di Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Ir. Azwar Hamid M.Sc, dan Ibunda Hj. Habibah Lubis serta seluruh keluarga atas semua bentuk dukungannya baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan usul penelitian ini.

2. DR. Budi Utomo SP., MP. sebagai ketua komisi pembimbing serta DR. Delvian SP., MP., sebagai anggota komisi pembimbing atas

bimbingannya selama penyelesaian usul penelitian ini.

3. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen Kehutanan USU beserta dosen-dosen dan staf-staf yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan usul penelitian ini.

4. Paranita Asnur yang selalu memberikan penulis semangat, yang selalu hadir dalam suka maupun duka. Teman-temanku :Heri Muda Setiawan, Rr. Sri Dewi Kurniati S.Hut, Asri Susanti S.Hut., Raya, Wibowo, Dodi Marahakim, Dicky Wahyudi S.Hut., Muhammad Yusuf S.Hut. yang telah memberikan bantuan dan dukungannya baik fisik/materi, motivasi, semangat maupun keceriaan bagi penulis.


(5)

5. Seluruh mahasiswadan Alumni Kehutanan USU yang sengaja maupun tidak sengaja membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

6. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya baik moral maupun material.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, atas bantuan dan doa dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam hasil penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, November 2008


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesa Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Kebakaran Hutan ... 3

Kebakaran Hutan ... 3

Pengertian Kebakaran Hutan ... 3

Proses dan Tipe Kebakaran Hutan ... 4

Faktor Penyebab Timbulnya Kebakaran Hutan ... 8

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Tanah ... 10

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Erosi ... 14

BAHAN DAN METODE Lokasi danWaktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat ... 18

Metode Penelitian ... 19

Pengambilan Contoh Tanah ... 19

Parameter Pengamatan ... 19

Prosedur Penelitian ... 20

Analisa Data ... 34

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi Penelitian ... 35

Iklim dan Cuaca ... 35

Jenis Tanah dan Topografi ... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN Kronologis Kejadian Kebakaran ... 37


(7)

Sifat Fisik Tanah ... 37

Sifat Kimia Tanah ... 46

Sifat Biologi ... 56

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Erosi ... 57

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 60

Saran ... 60 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR GAMBAR

1. Prinsip Segitiga Api ... 5

2. Kondisi hutan bekas kebakaran ... 36

3. Menuju hutan utuh didampingi warga sekitar ... 36

4. Analisis tekstur tanah ... 37

5. Tanah hutan bekas kebakaran ... 39

6. Tanah hutan utuh ... 39

7. Analisis Bulk Densiti ... 40

8. Analisis Partikel Densisti ... 40

9. Analisis Volume Total Ruang Pori ... 42

10 Analisis Total Ruang Pori ... 42

11. Analisis Kadar Air ... 43

12. Analisis Kapasitas Lapang ... 44

13. Analisis Titik Lyu Permanen ... 44

14. Analisis Kadar Air Tersedia ... 44

15. Analisis Permeabilitas ... 46

16. Analisis N-Total ... 47

17. Analisis P-Tersedia ... 48

18. Analisis K-Tersedia ... 49

19. Analisis C – Organik ... 51

20. Analisis Bahan Organik ... 51

21. Analisis C/N ... 51

22. Analisis Aldd ... 53

23. Analisis KTK ... 54

24. Analisis pH ... 55

25. Analisis Mikroorganisme ... 56


(9)

DAFTAR TABEL

1. Penilaian struktur tanah ... 32

2. Penilaian permeabilitas tanah ... 33

3. Penilaian kelas kemiringan lahan ... 33

4. Perbandingan Sifat Tanah Hutan Sebelum dan Sesudah Terbakar ... 64

5. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) ... 65

6. Nilai C oleh DepHut Dirjen RRL ... 66

7. Nilai P oleh DepHut Dirjen RRL ... 68

8. Data Curah Hujan Daerah Besitang Kabupaten Langkat tahun 2003 – 2007 ... 69

9. Tabel Nomograf ... 70


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Bahan dan Alat Penelitian ... 62

2. Perbandingan Sifat Tanah Hutan Sebelum dan Sesudah Terbakar ... 64

3. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) ... 65

4. Nilai C oleh DepHut Dirjen RRL ... 67

5. Nilai P oleh Dephut Dirjen RRL ... 68

6. Data Curah Hujan daerah Besitang Kabupaten Langkat Tahun 2003-2007 ... 69


(11)

ABSTRAK

Kebakaran merupakan penyebab kerusakan hutan yang paling besar, dimana dalam waktu singkat dapat menghancurkan kawasan yang cukup luas. Kebakaran hutan ternyata lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif terhadap sifat-sifat tanah dan terutama terhadap erosi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kebakaran hutan terhadap sifat-sifat tanah dan erosi periode 1 tahun setelah terbakar.

Penelitian ini menggunakan metode perbandingan 2 tanah hutan yaitu tanah hutan periode 2 tahun setelah terbakar dan tanah hutan tidak terbakar, yang mana proses pengambilan contoh tanah dilakukan secara komposit. Berdasarkan hasil penelitian pada sifat-sifat tanah periode 1 tahun bekas kebakaran dan tanah hutan utuh, sebagian besar sifat-sifat tanah berdampak negatif dan hanya sebagian kecil yang berdampak positif. Sedangkan pengaruhnya terhadap erosi, kebakaran hutan memberikan dampak yang merugikan tanah bekas kebakaran. Parameter yang diamati pada sifat-sifat tanah yaitu sifat fisik (tekstur, warna tanah, kerapatan lindak, ruang pori, kadar air tanah, dan permeabilitas), kimia (nitrogen (N), fosfat (F), kalium (K), C-Organik, Al, kapasitas tukar kation (KTK), pH tanah) dan biologi (jumlah mikrobiologi) sedangkan pada erosi yaitu prediksi erosi yang terjadi. Sisa-sisa abu/arang, bahan organik, kandungan Al dalam tanah dan kedalaman tanah merupakan faktor yang mempengaruhi terhadap perubahan dari sifat-sifat tanah sesudah terbakar.


(12)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan terus berjalan, seiring dengan pembukaan lahan hutan untuk berbagai kepentingan, seperti perkebunan, transmigrasi, peternakan dan kehutanan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan dalam periode dua dasawarsa terakhir. Bencana kebakaran hebat yang terjadi pada tahun 1982/1983, 1994/1995 dan tahun 1997/1998 telah menyebabkan kerugian besar, baik secara ekonomi maupun ekologi. Namun demikian, kebakaran hutan sepertinya sulit dihindari lagi, terbukti bencana tersebut terulang kembali pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002, dan sampai tahun 2006. Terjadinya kebakaran hutan lebih banyak disebabkan dari kegiatan manusia daripada faktor alam.

Menurut Purbowaseso (2004), kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sifat fisik dan kimia tanah, sedangkan menurut Sutedjo dan Kartasapoetra (2005), sebagai suatu sistem dinamis tanah akan selalu mengalami perubahan-perubahan yaitu pada sifat fisik, kimia, ataupun biologinya. Perubahan-perubahan ini terutama karena pengaruh berbagai unsur iklim, tetapi tidak sedikit pula yang dipercepat oleh tindakan atau perlakuan manusia. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan ekosistem ini sangat diperlukan monitoring kondisi kesehatan hutan secara periodik terutama dilihat dari aspek kepadatan/struktur dan kandungan kimia tanah sehingga diperoleh informasi terkini tentang perkembangan kesuburan tanah di areal terbakar. Hal di atas merupakan faktor utama penelitian ini diadakan, agar nantinya dalam


(13)

pemulihan lahan/hutan dapat lebih mudah menentukan jenis tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan tersebut.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya kebakaran hutan terhadap sifat-sifat tanah (fisik, kimia dan biologi).

C. Hipotesis Penelitian

Kebakaran hutan dapat mengakibatkan perubahan sifat-sifat tanah dan erosi tanah yang akan berpengaruh terhadap perubahan tingkat kesuburan tanah pada areal terbakar.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Selain sebagai bahan penelitian dalam menyusun skripsi yang merupakan salah satu syarat menyelesaikan studi.

2. Diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkannya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam usaha pengendalian kebakaran hutan maupun pemuliaan pasca kebakaran.


(14)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Kebakaran Hutan

Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah (“tropical rain forest”) di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18. kebakaran yang terjadi pada tahun 1877, diketahui di kawasan hutan antara Sungai Kalanaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Sungai Katingan) Propinsi Kalimantan Tengah. Laporan lain juga menyebutkan bahwa kebakaran hutan terjadi di wilayah timur laut yang saat ini dikenal dengan Suaka Danau Sentarum, Propinsi Kalimantan Barat (United Nations Development Programme and State Ministry for Environment, 1998). Sayangnya kebakaran yang terjadi pada saat itu tidak diketahu berapa luasnya dan disebabkan oleh apa. Sedangkan Bowen (1999), menyatakan bahwa sekitar 400 tahun yang lalu, diceritakan bahwa seorang penjelajah Eropa menemukan Pulau Borneo setelah para pelautnya mencium bau asap; mereka berpaling ke arah angin dan menemukan pulau (Purbowaseso, 2004).

B. Kebakaran Hutan

B.1. Pengertian Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan biasa terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh


(15)

beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, perkebunan (PIR), HTI, penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini.

Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh factor alami ataupun karena kelalaian manusia. Contoh kebakaran hutan karena kelalaian manusia seperti akibat membuang puntung rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak terkendali dan kebakaran hutan dan lahan alami oleh deposit batu bara di kawasan hutan Bukit Soeharto (Purbowaseso, 2004).

B.2. Proses dan Tipe Kebakaran Hutan B.2.1. Proses Kebakaran

Proses pembakaran/kebakaran adalah proses kimia-fisika yang merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesa yaitu

C6H12O6 + O2 + Sumber Panas CO2 + H2O+ Panas Pada proses fotosintesa, energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan pada proses pembakaran energi yang berupa panas dilepaskan dengan cepat. Selain panas, proses pembakaran juga menghasilkan beberapa jenis gas dan partikel-partikel. Dapat dilihat bahwa terjadinya proses pembakaran/kebakaran apabila ada tiga unsur yang bersatu yaitu bahan bakar (fuel), oksigen (oxygen) dan panas (heat). Bila salah satu dari ketiganya tidak ada maka kebakaran tidak akan terjadi. Prinsip ini dikenal dengan istilah prinsip segitiga api (Gambar 1) yang


(16)

merupakan kunci utama dalam mempelajari kebakaran hutan dan lahan yang termasuk dalam upaya pengendalian kebakaran. Bahan bakar dan oksigen tersedia di hutan dalam jumlah yang berlimpah, sedangkan sumber panas penyalaan sangat tergantung kepada kondisi alami suatu daerah dan kegiatan manusia.

Gambar 1. Prinsip Segitiga Api (De Bano et al.,1998).

Menurut De Bano et al. (1998), proses pembakaran terdiri dari lima fase yaitu:

1. Pre-ignition (Pra- Penyalaan)

Dehidrasi/distilasi dan pirolisis merupakan proses-proses yang terjadi pada fase Pre-ignition. Karena bahan bakar berada di bagian depan nyala api, maka pemanasan melalui radiasi dan konveksi akan lebih dari 100◦C, sehingga uap air, bahan organik yang tidak terbakar, dan zat ekstraktif berkumpul di permukaan bahan bakar dan dikeluarkan ke udara. Radiasi dan konveksi dapat memindahkan panas untuk pirolisis pada permukaan bahan bakar, tetapi perpindahan panas ke bagian interior bahan bakar terjadi melalui proses konduksi. Karena itu konduksi merupakan proses yang dominan dalam proses combuction (pembakaran). Distilasi dari bahan bakar halus (dedaunan, daun jarum, dan rerumputan) pada

OXYGEN HEAT


(17)

temperatur di atas 100◦C menghasilkan emisi uap air dan ekstraktif organik volatil (misal: terpenes, aldehida aromatic).

Pirolisis adalah reaksi endotermik melalui radiasi atau konveksi dari bagian depan api yang mengeluarkan air dari permukaan bahan baker, meningkatkan suhu bahan bakar, dan merombak rantai molekul bahan organik yang panjang dalam sel tanaman menjadi rantai yang lebih pendek. Laju pembakaran yang lambat akan meningkatkan produksi arang dan menurunkan produksi gas yang mudah terbakar dan ter. Sebaliknya, laju pemanasan yang cepat akan menghasilkan gas yang mudah terbakar dan ter.

2. Flaming combustion (Penyalaan)

Fase ini berupa reaksi eksotermik yang menyebabkan kenaikan suhu dari 300 - 500◦C. Pirolisis mempercepat proses oksidasi (flaming) dari gas-gas yang mudah terbakar. Akibatnya, gas-gas yang mudah terbakar dan uap hasil pirolisis bergerak ke atas bahan bakar, bersatu dengan O2 dan terbakar selama fase flaming. Panas yang di hasilkan dari reaksi flaming mempercepat laju pirolisis dan melepaskan jumlah yang besar dari gas-gas yang mudah terbakar. Api akan membesar dan sulit dikendalikan, terlebih jika ada angin. Pada fase ini dihasilkan berbagai produk pemabakaran seperti: air, CO2, sulfur oksida, gas nitrogen dan nitrogen oksida. Kemudian terjadi kodensasi dari tetesan ter dan soot < 1 urn membentuk asap (smoke) yang merupakan polutan udara yang penting.

3. Smoldering (Pembaraan)

Fase ini biasanya mengikuti fase “flaming combustion” di dalam suatu pembakaran. Pada fase ini, pembakaran yang kurang menyala menjadi proses yang dominant. “Smoldering” adalah fase awal di dalam pembakaran untuk tipe


(18)

bahan bakar “duff” dan tanah organic. Laju penjalaran api menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap. 4. Glowing (Pemijaran)

Fase glowing merupakan bagian akhir dari proses smoldering. Pada fase ini sebahagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Produk utama dari fase “glowing” adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran. Pada fase ini temperature puncak dari pembakaran bahan bakar berkisar antara 300 – 600 0C.

5. Extinction

Kebakaran akhirnya berhenti pada saat semua bahan bakar yang tersedia habis, atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau flaming tidak cukup untuk menguapkan sejumlah air dari bahan bakar yang basah. Panas yang diserap oleh air bahan bakar, udara sekitar, atau bahan inorganik (seperti batu-batuan dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas yang tersedia untuk pembakaran, sehingga mempercepat proses extinction.

B.2.2. Tipe Kebakaran Hutan 1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan control. Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling


(19)

merusak lingkungan.tipe kebakara ini didominasi oleh proses smoldering, biasanya bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama dengan kecepatan penjalaran sekitar 1,5 g/m²/jam atau 0,025 cm/jam.

2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah pembakaran dan bahan bakar lainya yang terdapat dilantai hutan. Energi kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh angin permukaan sehingga dapat membakar tumbuhan yang lebih tinggi hingga ke tajuk pohon (crowing out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api menjalah dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada tegakan conifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu kebakaran tipe ini juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat lain.

(De Bano et al, 1998).

C. Faktor Penyebab Timbulnya Kebakaran Hutan

Kebakaran biasa terjadi karena tiga hal. Pertama, kedatangan musim kemarau. Pada musim ini Koran, televisi dan radio penuh berita peristiwa


(20)

kebakaran. Betul, tetapi kedatangan musim kemarau tidak boleh dijadikan alasan atau kambing hitam. Bukankah kedatangan musim kemarau itu telah diketahui jauh sebelumnya. Seharusnya segala sesuatu telah dipersiapkan (Sagala, 1994).

Kedua, karena ada sumber api buatan manusia. Pada dasarnya 99% kejadian kebakaran akibat ulah manusia dan untuk itu diperlukan penyuluhan mengenai api lahan. Tetapi perlu diingat, di lapangan banyak sekali orang, ada peladang, anak sekolah, pengembala, orang rekreasi, dan lain-lain. Diantara orang banyak itu tentu ada saja yang alpa menggunakan api. Sampai saat ini api merupakan alat yang efektif dan murah untuk pembersihan tapak penanaman. Kenyataan di berbagai tempat menunjukkan, dengan adanya penyuluhan api jumlah kejadian api dapat berkurang drastis. Tapi apa yang terjadi, luas areal terbakar justru semakin luas dan kerugian lebih besar. Kenapa? Sebab luas areal terbakar tidak tergantung pada jumlah kejadian api. Penyuluhan penting, tetapi bukan berarti otomatis akan mengurangi luas areal terbakar. Ketiga, karena ada bahan bakar. Inilah jawaban akurat. Sebab kalau tidak ada bahan bakar, sekalipun datang musim kemarau dan ada yang melakukan penyulutan, kebakaran tidak akan terjadi. Oleh karena itu supaya menghilangkan atau mereduksi (manipulasi) bahan bakar merupakan kegiatan utama.

Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan meliputi bahan bakar, cuaca, waktu dan topografi. Faktor bahan bakar yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan terdiri atas ukuran, susunan, volume, jenis dan kandungan kadar airnya. Kelima hal tersebut memiliki pengaruh yang saling mempengaruhi, sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (Purbowaseso, 2004).


(21)

Faktor cuaca merupakan faktor penting kedua yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan, meliputi : angin, suhu, curah hujan, keadaan air tanah dan kelembaban relatif. Waktu juga mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan, karena waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Waktu dipisahkan atas waktu siang dan malam hari. Terdapat hubungan antara waktu dengan kondisi kebakaran hutan dan lahan. Faktor topografi yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan mencakup tiga hal yaitu kemiringan, arah lereng dan medan. Masing-masing faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku api kebakaran hutan dan lahan.

D. 1. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Tanah

Akibat dari kebakaran hutan pada tanah dapat terbentuk perubahan pada sifat fisik tanah dan kimia tanah (Tabel. 1) (terlampir). Pengaruh yang merugikan pada sifat fisik tanah akan jelas nampak, sedang pengaruh pada sifat kimia tanah biasanya tidak merugikan tetapi menguntungkan. Sifat fisik dari tanah sangat ditentukan oleh keadaan humus dan serasah pada permukaan tanah yang mempunyai hubungan yang rapat dengan tata air di hutan. Udara yang panas akibat kebakaran hutan tidak banyak berarti bagi serasah dan humus tetapi apabila serasah dan humus ikut terbakar maka sifat fisik tanah akan memburuk. Ditambah dengan pengaruh sinar matahari dan angin maka tanah akan sulit menyerap air, sehingga air hujan akan mengalir di permukaan tanah yang mengakibatkan terjadinya erosi (Sumardi dan Widyastuti, 2002).

Kebakaran serasah akan secara langsung dapat menaikkan suhu tanah. Hasil pembakaran yang terbentuk arang dan berwarna hitam akan banyak


(22)

menyerap sinar matahari sehingga suhu tanah akan naik. Pemanasan tanah akan berakibat buruk pada organisme renik atau dapat mempercepat tumbuhnya gulma (Sumardi dan Widyastuti, 2002).

Pengaruh sifat kimia tanah dari tanah akibat kebakaran hutan berbentuk penambahan mineral-mineral yang terdapat pada abu dan arang, sehingga dapat menaikkan nilai nutrisi tanah bagi tanaman. Misalnya kadar kalsium (Ca), kalium (K), dan fospat akan bertambah, sedangkan nitrogen dari bahan organik yang terbakar akan menguap. Kebakaran juga menurunkan keasaman tanah, tetapi penurunan ini biasanya tidak berarti bagi pohon (Sumardi dan Widyastuti, 2002).

Biasanya penurunan kadar organik dan nitrogen berlangsung secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau didapatkan pada tanah yang sudah dibuka kandungan bahan organik jauh lebih rendah, mungkin 30 sampai 60 % bila di bandingkan dengan tanah asli. Penurunan semacam ini wajar dan sukar untuk diatasi (Buckman dan Brady, 1982).

Kebakaran hutan dan lahan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur tanah akan mengalami kerusakan karena kebakaran hutan. Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapatkan energi pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini akan menyebabkan rusaknya struktur tanah (Purbowaseso, 2004).

Menurut Pyne et all (1996), dampak kebakaran hutan terhadap tanah mengakibatkan terjadinya :


(23)

1.Water Repellency

Water Repellency yaitu kondisi dimana tanah itu kering seperti kuarsa yang disebabkan oleh kebakaran yang sangat hebat sekali. Kondisi ini terjadi tergantung pada kelas dari bahan kimia organik yang semula bersifat hidrofobik dan pada saat terjadinya kebakaran menjadi bersifat tidak hidrofobik lagi (tidak dapat mengikat air). Water Repellency ini di pengaruhi oleh tekstur tanah, biomassa yang di konsumsi, bahan bakar dan intensitas dari kebakaran. Ada dua variabel yang berpengaruh terhadap Water Repellency ini yaitu jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dan intensitas dari kebakaran itu sendiri. Jumlah bahan bakar yang berada didekat sumber kebakaran rata-rata suhunya akan lebih tinggia sehingga berpengaruh terhadap proses penyerapan bahan kimia organik. Water Repellency ini terjadi pada rentang suhu 350 – 400 0F (176 – 204 0C).

2. Nutrisi Tanah

Dalam peristiwa biokimia, kebakaran cenderung dapat meningkatkan konsentrasi dan pergerakkan yang pasti dari elemen-elemen yang mudah larut, khususnya dari kation potassium, kalsium dan magnesium; mengurangi persen dari beberapa anion seperti fosfat dan sulfat; mengurangi jumlah dari nitrogen organik dan meningkatkan daripada nitrogen inorganik; menaikkan kadar pH dan membebaskan residu dari karbon dalam bentuk abu dan arang. Adapun kaitannya dalam intensitas dan pusat terjadi kebakaran, material-material ini akan hilang/lepas dari sistem yang disebabkan oleh angin, erosi oleh air dan proses leaching yang terjadi secara terus menerus pada profil tanah. Kondisi seperti ini mungkin saja terjadi pada profil tanah, sebagian pada beberapa tempat penting


(24)

untuk cadangan makanan di permukaan tanah dan lainnya seperti pada lapisan Water Repellency dalam tanah.

3. Organisme Tanah

Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian populasi dan organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme itu sendiri. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun.

Perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat tanah selama pemanasan berlangsung menurut Pyne et all (1996), yaitu meliputi peristiwa diantaranya : 1. Sifat biologi tanah merupakan sifat yang sangat sensitif sekali terhadap proses

pemanasan pada tanah. Dengan suhu yang fatal organisme dapat bertahan hidup pada suhu di bawah 100 0C.

2. Dehidrasi komplet pada tanah terjadi ketika suhu mencapai 220 0C, walaupun tidak signifikan pengaruhnya terhadap sifat atau kimia tanah.

3. Pemanasan antara 220 0C – 460 0C, terjadi pembakaran terhadap bahan organik. Pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah tergantung pada bahan organik. Kerusakan terhadap bahan organik menjadi bermanfaat karena nutrisi


(25)

makanan untuk tumbuhan menjadi tersedia dalam jumlah yang besar. Bagaimanapun juga, ini menyebabkan kerugian berupa rusaknya struktur tanah. Dengan luasnya kerugian/kerusakan yang terjadi tergantung dari penambahan bahan organik pada kebakaran yang terjadi selanjutnya. Hal itu, menyebabkan kerusakan lingkungan berupa kekeringan dimana lambatnya proses bahan organik untuk saling melengkapi.

4. Pemanasan di atas 460 0C, pergerakan dari kumpulan hidroxil (OH) mati pada kondisi tanah liat dan hingga mengacaukan struktur dari karbonat. Sifat irreversible ini merubah produksi dari tanah menjadi lebih kurang menyerap air, kuran plastis dan kurang elastis serta lebih mudah terjadi erosi.

Respon-respon terhadap tanah yang digambarkan di atas dapat digunakan untuk menghasilkan daftar dari sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah dan juga mengenai ambang batas temperatur tanah (Tabel. 2) (terlampir). Ambang batas temperatur adalah temperatur dimana nutrisi-nutrisi tervolatilisasi atau kandungan-kandungan tanah berubah menjadi irreversible (De Bano et all, 1998). Daftar ini berisi mengenai kandungan tanah yang berubah bila suhu melebihi 460 0

C (tidak sensitif), antara 100 – 400 0C (agak sensitif) atau kurang dari 100 0C (sensitif).

D. 2. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Erosi

Erosi adalah peristiwa terkikisnya atau terangkutnya bagian tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alami air, angin atau es. Erosi meliputi proses pelepasan, penghanyutan dan pengendapan partikel tanah (Arsyad, 1989). Secara alami erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim, topografi, vegetasi dan


(26)

tanah. Akan tetapi dengan adanya aktivitas manusia di alam, maka manusia menjadi faktor penting dalam mempengaruhi erosi (Sinukaban, 1986).

Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi menurut Hardjowigeno (2003) adalah:

• Curah hujan

Jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila hujan tersebut terjadi merata, sedikit demi sedikit (intensitas hujan rendah), sepanjang tahun. Sebaliknya curah hujan rata-rata tahunan yang rendah mungkin dapat menyebabkan erosi berat bila hujan tersebut jatuh sangat deras (intensitas hujan tinggi) meskipun hanya sekali-sekali.

• Sifat-sifat tanah

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah:  Tekstur tanah

Tanah-tanah dengan teksyur kasar seperti pasir adalah tahan terhadap erosi karena butiran-butiran yang besar (kasar)tersebut memerlukan lebih banyak tenaga untuk mengangkut. Demikian pula dengan tanah-tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga gumpalan-gumpalan sukar dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Oleh karena itu, makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah makin peka terhadap erosi.

 Bentuk dan kemantapan (tingkat perkembangan) struktur tanah

Bentuk sturktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat), menghasilkan tanah dengan porositas tinggi sehingga air


(27)

mudah meresap kedalam tanah, dan aliran permukaan menjadi kecil, sehingga erosi juga kecil. Demikian pula dengan tanah-tanah yang mempunyai struktur tanah mantap (kuat), yang berarti tidak mudah hancur oleh pukulan-pukulan air hujan, akan tahan terhadap erosi. Sebaliknya struktur tanah yang tidak mantap, sangat mudah hancur oleh pukulan-pukulan air hujan, menjadi butir-butir halus sehingga menutupi pori-pori tanah. Akibatnya air infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat yang berarti erosi juga akan meningkat.

 Daya infiltrasi atau permebilitas tanah

Apabila daya infiltrasi tanah besar, berarti air mudah meresap kedalam tanah, sehingga aliran permukaan kecil. Akibatnya erosi yang terjadi juga kecil.

 Kandungan bahan organik

Kandungan bahan organik tanah menentukan kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah. Tanah-tanah yang cukup mengandung bahan organik umumnya menyebabkan struktur tanah menjadi mentap sehingga tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organikkurang dari 2% pada umumnya peka terhadap erosi

• Lereng

Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula. Lereng yang semakin panjang menebabkan volume air yang mengalir semakin besar.


(28)

Apabila dalamnya air menjadi dua kali lipat, maka kecepatan aliran menjadi 4 kali lebih besar, akibatnya maka besar benda ataupun berat benda yang dapat diangkut jga dapat berlipat ganda.

• Vegetasi

Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah:

 Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung dipermukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat dikurangi. Hal ini tergantung dari kerapatan dan tingginya vegetasi tersebut. Makin rapat vegetasi yang ada, makin efektif terjadinya pencegahan erosi. Pohon-pohon yang terlalu tinggi kadang-kadang kurang efektif karena air yang tertahan dipohon apabila jatuh kembali dari ketinggian lebih dari 7 m, tenaganya akan kembali menjadi besar (memperoleh 90% dari tenaga semula). Disamping itu butir-butir air yang tertahan di daun-daun akan saling terkumpul membentuk butir-butir air yang lebih besar, sehingga kalau jatuh ke tanah mempunyai tenaga yang lebih besar pula

 Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi.

 Penyerapan air ke dalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan air) melalui vegetasi.

• Manusia

Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih baik atau lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlerengcuram merupakan pengaruh baik menusia karena dapat mencegah erosi. Sebaliknya pengundulan hutan di daerah yang berlereng curam merupakan pengaruh manusia yang jelek karena dapat erosi dan banjir.


(29)

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada dua tempat pengambilan contoh tanah yaitu pengambilan contoh tanah hutan periode 1 tahun terbakar dan sebagai pembandingnya juga diambil contoh tanah hutan normal kedua daerah tersebut terletak di Desa Halaban Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Analisa tanah dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli 2008 sampai dengan selesai.

B. Bahan dan Alat B. 1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dari hutan pasca kebakaran dan tidak terjadi kebakaran di areal Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang diambil secara komposit dan bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian di laboratorium (terlampir).

B. 2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah : ring sample, kantong plastik, kertas label, meteran, parang, cangkul, gunting, alat tulis dan peralatan lain yang digunakan di laboratorium (terlampir).


(30)

C. Metode Penelitian

Pengambilan Contoh Tanah

Tanah diambil dari lahan terbakar seluas ± 10 Ha dan hutan normal yang menjadi pembanding seluas ± 10 Ha. Pengambilan contoh tanah diambil sebanyak 15 titik secara zigzag pada masing-masing wilayah. Pada setiap titik diambil ± 1 kg tanah pada kedalaman 0 - 20 cm setelah dibersihkan tumbuhan di atasnya, sedangkan pengambilan contoh tanah utuh diambil dengan menggunakan ring sample. Pengambilan contoh tanah utuh diambil sebanyak 3 titik secara zigzag dari lahan yang terbakar maupun hutan normal. Contoh tanah dari hutan terbakar yang diambil dari setiap titik tersebut dicampurkan secara merata dan ditempatkan pada wadah/goni yang bersih sedangkan contoh tanah dari hutan normal diletakkan pada wadah/goni yang terpisah dan dicampur secara merata. Perlakuan selanjutnya adalah mengeringudarakan tanah-tanah tersebut sebelum dilakukan analisa tanah di laboratorium.

D. Parameter Pengamatan D. 1. Sifat Fisik Tanah

Parameter yang diamati untuk sifat fisik tanah yaitu : 1. Tekstur Tanah

2. Warna tanah

3. Kerapatan Lindak (pengambilan sampel dengan menggunakan ring sample)


(31)

5. Kadar Air Tanah (Kapasitas Lapang, Titik Layu Permanen, Kadar Air tersedia).

6. Permeabilitas (pengambilan sampel dengan menggunakan ring sample)

D. 2. Sifat Kimia Tanah

Parameter yang diamati untuk sifat kimia tanah yaitu : 1. Nitrogen (N)

2. Fosfat (F) 3. Kalium (K) 4. C – Organik 5. Al

6. Kapasitas Tukar Kation (KTK) 7. pH tanah

D. 3. Sifat Biologi Tanah

Parameter yang diamati untuk sifat biologi tanah yaitu total mikroorganisme tanah (makro dan mikro organisme) dengan metode cawan agar. D. 4. Erosi

Parameter yang diamati untuk erosi yaitu jumlah tanah yang terosi

E. Prosedur Penelitian E. 1. Sifat Fisik Tanah a. Tekstur Tanah

1. Ditimbang 25 g tanah kering udara yang telah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml


(32)

2. Ditambahkan 50 ml larutan natrium pirofosfat, kocok sampai rata, lalu biarkan selama 24 jam

3. Goncang pada alat penggoncang (shaker) selama 15 menit

4. Selanjutnya pindahkan ke dalam silinder (gelas ukur) volume 500 ml dan tambahkan aquades sampai tanda garis

5. Kocok 20 kali sebelum pembacaan, bila perlu dapat ditambahkan amil alkohol untuk menghilangkan buih yang dapat mengganggu pembacaan

6. Dimasukkan hydrometer ke dalam silinder dengan hati-hati untuk pembacaan pertama setelah 40 detik dari saat pengocokan

7. Setelah 3 jam masukkan lagi hydrometer untuk pembacaan yang kedua, untuk mendapatkan jumlah liat

8. Selanjutnya dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut :

% Liat + debu = x100%

Tanah Contoh

Berat

I hydrometer Pembacaan

% liat = x100%

Tanah Contoh

Berat

II hydrometer Pembacaan

% debu = % (liat + debu) - % liat % pasir = 100 % - % (liat + debu)

b. Kerapatan Lindak

1. Diambil contoh tanah dari lapang yang dilakukan dengan tabung besi (ring sample)

2. Ditimbang contoh tanah dengan tabungnya ( x gram ) 3. Diketahui bobot tabung sebelumnya ( y gram )


(33)

4. Bobot tanah basah (BB) = x – y gram

5. Berat kering tanah (BKM) = xBBgram KA

+ 100

100

KA ditetapkan dengan mengambil sebagian contoh tanah dari ring, yaitu :

KA = x100%

BK BK

B

B = Bobot contoh tanah BK = Bobot contoh kering KA = Kadar air

- Kerapatan Lindak = gr/cm3 Tanah

Isi BKM

c. Kadar Air Tanah

1. Ditimbang sebanyak 10 g tanah kering udara dan dimasukkan ke dalam botol timbang atau cawan timbang yang telah diketahui beratnya

2. Dimasukkan cawan timbang ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu 105 0C

3. Setelah 24 jam, dikeluarkan cawan yang berisi tanah dari dalam oven lalu dimasukkan ke eksikator sebentar, kemudian ditimbang

4. Kadar air tanah dapat dihitung sebagai berikut :

100% ker ker x ing Berat ing Berat Basah Berat Air

Kadar = −

• Kadar Air Kapasitas Lapang

1. Dimasukkan pasir ke dalam beker gelas dengan hati-hati sejumlah 1/3 dari tinggi gelas


(34)

2. Diletakkan pipa kaca ditengah-tengahnya, kemudian tuangkan contoh kering udara setinggi 2/3 dari beker gelas, pipa kaca berfungsi untuk mengalirkan udara

3. Disiramkan air dengan hati-hati menggunakan botol semprot pada permukaan tanah sampai air merembes ke pasir

4. Ditutup dengan plastik untuk mencegah penguapan air dan diletakkan di tempat sejuk selam 24 jam

5. Setelah 24 jam, dipindahkan sejumlah tanah dari beker gelas ke cawan timbang yang telah diketahui beratnya. Sebaiknya tanah yang diambil adalah tanah yang terletak agak ke tengah, sisihkan terlebih dahulu tanah yang dipermukaan

6. Ditimbang contoh tanah beserta cawan timbangnya

7. Dimasukkan kedalam oven selama 24 jam pada suhu 105 0C

8. Setelah 24 jam cawan yang berisi tanah dikeluarkan dari oven, masukkan ke eksikator sebentar, lalu ditimbang

9. Maka kadar air kapasitas lapang dapat dihitung sebagi berikut :

% 100

x BTKO

BTKO BTKL

Air

Kadar KL = −

Dimana :

BTKL : Berat Tanah Kapasitas Lapang BTKO : Berat Tanah Kering Oven

• Kadar Air Titik Layu Permanen

Penentuan nilai pada titik layu permanen dengan menggunakan kurva pF dengan ketentuan nilai pF yang digunakan sebesar 4,2 dan pF untuk kapasitas lapang sebesar 2,54


(35)

• Kadar Air Tersedia

Selisih antara kadar air pada kapasitas lapang dan titik layu permanen. Kadar Air Tersedia = Kadar Air KL - Kadar Air TLP

d. Ruang Pori

1. Isi gelas ukur 100 ml dengan air sampai tanda 70 ml

2. Masukkan perlahan-lahan contoh tanah hasil dari percobaan bulk densiti ke dalam gelas ukur yang telah berisi air tersebut

3. Aduk dengan pengaduk dan biarkan selama 5 menit agar udara keluar 4. Lakukan perhitungan :

Volume Ruang Pori = (volume tanah + volume air) – volume air tanah

Total Ruang Pori = ×100% Tanah

Volume

Pori Ruang Volume

Partikel Densiti =

( )

VolumeRuang Pori Tanah Volume Tanah Berat − e. Permeabilitas

1. Diambil tanah dari lapangan denga ring sampel 2. Dimasukkan ring sampel

3. Dimasukken kedalam alat permeabilitas

4. Direndam sampai air memenuhi alat selam 24 jam 5. Dialirkan air kealat tersebut

6. Dilakukan pengukuran dengan beaker 7. Dihitung permeabilitas dengan rumus

K = t Q x n L x A I cm/jam


(36)

Dimana :

Q : banyaknya air yang mengalir (mL) T : waktu

L : tebal contoh tanah h : tinggi permukaan air

A : luas permukaan contoh tanah (Sarief, 1988).

E. 2. Sifat Kimia Tanah a. Nitrogen Total Tanah

1. Tahapan Destruksi. Ditimbang 2 gr tanah, tempatkan ke tabung digester.

2. Tambahkan 2 gr katalis campuran dan tambahkan H2O 10 ml; kemudian tambahkan lagi 10 ml campuran H2SO4 – asam salisilat. Biarkan 1 malam.

3. Destruksi pada alat digestor dengan suhu rendah dan dinaikkan secara bertahap hingga larutan jernih (temperatur < 200o C). Setelah larutan jernih suhu dinaikkan dan dilanjutkan selama 30 menit.

4. Didinginkan dan encerkan dengan menambahkan 15 ml H2O 5. Tahapan Destilasi. Tempatkan tabung destruksi pada alat destilasi 6. Pipet 25 ml H3BO3 4 %, tempatkan pada erlenmeyer 250 cc dan

tambahkan 3 tetes indikator campuran; dan tempatkan sebagai penampung hasil destilasi.


(37)

7. Tambahkan NaOH 40 % ± 25 ml ke tabung destilasi dan langsung didestilasi.

8. Amoniak hasil destilasi akan ditampung di erlenmeyer yang berisi H3BO3. Destilasi dihentikan bila larutan di erlenmeyer berwarna hijau dan volumenya ± 75 ml.

9. Tritrasi. Pindahkan erlenmeyer hasil destilasi dan tritrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir tritrasi ditandai oleh perubahan warna dari hijau menjadi merah.

10. Perhitungan :

N (%) =

1000 100 14

x BeratTanah

x x mlHClxNHCl

= ml HCl x 0,014 b. Fosfat tersedia

1. Ditimbang 2 gr contoh tanah dan tempatkan pada segelas erlenmeyer 250 cc.

2. Tambahkan larutan Bray I sebanyak 20 ml, dan goncang pada shaker selama 30 menit.

3. Saring dengan kertas saring Whatman No.42.

4. Pipet filtrat sebanyak 5 ml dan tempatkan pada tabung reaksi .

5. Tambahkan pereaksi fosfat B sebanyak 10 ml. Biarkan selama 5 menit 6. Ukur transmitan pada spectronic dengan panjang gelombang 600nm. 7. Pada saat yang bersamaan pipet juga masing-masing 5 ml larutan

standar P 0 - 0,5 - 1,0 - 2,0 - 3,0 - 4,0 dan 5,0 ppm P ke tabung reaksi, kemudian tambahkan 10 ml peraksi fosfat B.


(38)

8. Ukur juga Transmitran standar pada spectronic dengan panjang gelombang yang sama yaitu 660 nm.

9. Perhitungan :

Pavl (ppm) = Pelarut × 2 20

×faktor pengencer (bila ada) c. Kalium Tukar Tanah

1. Hasil perkolasi dari penetapan kapasitas tukar kation ditampung pada erlenmeyer.

2. Ukur absorben perkolat pada Flamephotometer atau Atomic Absorption Spectrophometer (AAS).

3. Ukur juga larutan standar K dengan konsentrasi 0 – 10 – 20 – 30 dan 40 ppm K pada Flamephotometer atau Atomic Absorption Spectrophometer (AAS).

4. Perhitungan :

K tukar (

gr me

100 ) = Klarut × 390 20

×Faktor Pengencer a. pH Tanah

1. Dimasukkan 10 g tanah ke dalam botol kocok, sebanyak 3 botol 2. Ditambahkan aquades sebanyak 25 ml

3. Dikocok dengan menggunakan shaker selama 10 menit 4. Kemudian diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter

b. C – Organik

1. Ditimbang 0,5 g tanah kering udara telah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml


(39)

2. Ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 (menggunakan pipet), goncang dengan tangan

3. Ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat, kemudian goncang 2 – 3 menit, selanjutnya diamkan selama 30 menit

4. Ditambahkan 200 ml air 10 ml H3PO4 85%, ditambahkan 20 tetes difenilamin, goncang (larutan berwarna biru tua)

5. Dititrasi dengan FeSO4 0,5 N dari buret hingga warna berubah menjadi hijau

6. Dibuat juga blanko dan titrasi 7. Dihitung :m

% C = 5 ( 1 –

S T

) X 0,78 --- untuk tanah 0,5 g

Dimana : T = titrasi S = blanko

% Bahan organik = 1,72 x % C c. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

1. Ditimbang 5 gr contoh tanah kering udara dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 100 ml

2. Ditambahkan 20 ml larutan NH4OAC N pH 7.0. Diaduk dengan pengaduk gelas sampai merata dan dibiarkan selama 24 jam.

3. Diaduk kembali lalu disentrifuse selama 10 menit sampai 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm.

4. Ekstrak NH4OAC didekantasi, disaring lewat saringan dan filtrat ditampung dalam labu akar 100 ml.


(40)

5. Penambahan NH4OAC N pH 7.0 diulangi sampai 4 kali. Setiap kali penambahan diaduk merata, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml sampai tanda tera. Ekstrak ini digunakan dalam penetapan kadar K, Na, Ca, Mg yang dapat dipertukarkan. 6. Untuk pencucian NH4 + ditambahkan 20 ml alkohol 80 % ke dalam

tabung sentrifuse yang berisi endapan tanah tersebut. Diaduk sampai merata, sentrifuse, dekantasi dan filtratnya dibuang. Pencucian NH4 dengan alkohol ini dilakukan beberapa kali sampai bebas NH4. Hal ini dapat diketahui dengan menambahkan beberapa tetes pereaksi Nessler pada filtrat tersebut. Apabila terdapat endapan kuning berarti masih terdapat ion NH4.

7. Setelah bebas dari NH4+, tanah dipindahkan secara kuantitatif dari tabung sentrifuse ke dalam labu didih. Ditambahkan air kira-kira berisi 450 ml.

8. Pada labu didih ditambahkan beberapa butir batu didih, 5-6 tetes paraffin cair dan 20 ml NaOH 50 %, kemudian didestilasi.

9. Destilat ditampung dalam Erlenmeyer 250 ml yang berisi 25 ml H2SO4 0.1 N dan 5-6 tetes indikator Conwai. Destilasi dihentikan jika destilat yang ditampung mencapai kira-kira 150 ml.

10. Kelebihan asam dititrasi dengan NaOH 0.1 N. Titik akhir titrasi dicapai bilamana warna berubah menjadi hijau.

11. Dilakukan destilasi tanpa tanah sebagai blanko. 12. Besarnya KTK dihitung menurut rumus :

(

me/100gr

) (

mlBlankoBobotml ContohContoh

)

x) NNaOH x100


(41)

*)

Bobot contoh pada 105 0C

E. 3. Sifat Biologi Tanah Total Organisme Tanah :

1. Dibuat suatu seri pengenceran dengan memasukkan 10 g tanah ke dalam 90 ml larutan fisiologi pada erlenmeyer 250 ml, campuran ini sebagai pengenceran 10-1. Lalu dipipet 1,0 ml suspensi larutan 10-1 dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologi pada tabung reaksi, campuran ini sebagai pengenceran 10-2 dan seterusnya sampai pengenceran 10-7.

2. Setelah seri pengenceran dibuat, dipipet 1,0 ml dari suspensi dengan pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7, dipindahkan ke cawan petri steril. Pada setiap cawan Petri dicantumkan informasi berupa nomor contoh/perlakuan, seri pengenceran, tanggal inkubasi, dan jenis media yang digunakan

3. Sediakan media (Natrium Agar) tempat mikroorganisme yang akan diinkubasi. Cairkan media dengan cara memanaskannya dengan Autoclaf. Media yang telah disiapkan didinginkan sampai temperaturnya sekitar 40 – 45 0C. Jumlah media yang dituangkan ke cawan kira-kira 10 ml. Supaya suspensi tersebar merata maka setelah media dituangkan secara pelan-pelan cawan yang telah berisi media diputar kekanan tiga kali dan kekiri tiga kali.


(42)

5. Dilakukan pengamatan setelah tiga hari inkubasi. Dipilih cawan yang berisi antara 30 – 300 koloni per cawan dan dilakukan perhitungan koloni

6. Dari hasil yang diperoleh, rata-rata jumlah koloni per cawan dikalikan dengan faktor pengenceran untuk mendapatkan jumlah organisme total (SPK/ml).

E. 4. Pendugaan Erosi

Rumus Pendugaan Erosi Universal Soil Loss Equation (USLE) tersebut adalah sebagai berikut:

A= R . K . L . S . C . P

Dimana: A : jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)

R : indeks daya erosi curah hujan (erosivitas hujan)

K : indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah) L : faktor panjang lereng

S : faktor kemiringan lereng

C : faktor penutup dan pengelolaan tanaman P : faktor tindakan konservasi tanah

Nilai erosivitas hujan (R)

Nilai R menurut Dephut Dirjend RRL (1990) dihitung dengan persamaan: Rb = 2,21 Hb1,36

Dimana: Rb = Erosivitas bulanan

Hb = Curah hujan bulanan rata-rata


(43)

Nilai erodibilitas tanah (K)

Nilai K dihitung dengan menggunakan nomograf. Contoh penggunaan nomograf dapat dilihat dalam lampiran. Nilai K yang didapat merupakan hasil kalibrasi dari beberapa komponen penyusun tanah. Komponen-komponen tersebut adalah:

- %Debu, didapat dari hasil laboratorium. - % Pasir, didapat ari hasil laboratorium.

- %Pasir sangat halus = 20% dari % Pasir (Sinukaban,1986).

- % Bahan organik = 1,72 x C-Organik (C-Organik didapat dari hasil laboratorium).

- Struktur Tanah. Nilai struktur tanah dapat dilihat pada tabel 1.

- Permeabilitas Tanah didapat dari hasil laboratorium. Nilai Permeabilitas dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1 Penilaian struktur tanah

Tipe Struktur Penilaian

Granular sangat halus 1

Granular halus 2

Granular kasar 3

Gumpal, lempeng, pejal 4

Sumber: Dephut Dirjen RRL (1998) Tabel 2 Penilaian permeabilitas tanah

Kelas Permeabilitas cm/jam Penilaian

Cepat > 12,7 1


(44)

Sedang 2,0-6,3 3

Sedang samapi lambat 0,5-2,0 4

Lambat 0,125-0,5 5

Sangat lambat <0,125 6

Sumber: Dephut Dirjend RRL (1998)

Nilai kelerengan (LS)

Nilai LS didapat dengan mengukur kelerengan dengan menggunakan alat Clinometer. Kemudian dengan melihat Tabel 3. Penilaian Kelas Kemiringan Lereng di bawah ini:

Tabel 3 Penilaian kelas kemiringan lereng

Kelas Kemiringan Lereng % Penilaian (LS)

0-8 0,6

8-15 1,4

15-25 3,1

25-45 6,8

>45 11,9

Sumber: Dephut Dirjen RRL (1998)

Nilai pengelolaan tanaman (C)

Nilai C didapat dengan melihat Tabel Pengelolaan Tanaman yang disusun oleh Dephut Dirjed RRL (1998). Tabel 6 tersebut ada pada lampiran.


(45)

Nilai konservasi tanah (P)

Nilai P didapat dengan melihat tabel Pengelolaan Tanah yang disusun oleh Dephut Dirjend RRL (1998). Tabel 7 tersebut ada pada lampiaran

Besar erosi (A) tiap land unit

Nilai Besarnya Erosi tiap land unit didapat dari perkalian seluruh faktor yang mempengaruhi erosi (R.K.L.S.C.P). Hasil yang didapat merupakan erosi yang berpotensi terjadi pada masing-masing land unit dalam cm/tahun.

Tingkat Bahaya erosi (TBE)

Tingkat Bahaya Erosi merupakan hasil pembagian Nilai Besarnya Erosi dengan Luas setiap lahan.

F. Analisa Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk histogram (grafik), pembanding antara hutan yang masih utuh dengan hutan yang bekas terbakar.


(46)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kronologis Kejadian Kebakaran

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap hutan. Kebakaran hutan menimbulkan kerusakan-kerusakan hutan paling besar yang dapat menimbulkan banyak kerugian-kerugian dari beberapa aspek seperti vegetasi yang punah, hilangnya habitat bagi berbagai satwa, polusi udara, dan dampak yang berkepanjangan lainnya. Dari hasil investigasi di lapangan didapat, kebakaran terjadi pada musim kemarau yang melanda desa Halaban Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat yang tepatnya bulan April 2007 yang menghabiskan areal ± puluhan Ha.

B. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat Tanah B.1. Sifat Fisik Tanah

B.1.1. Tekstur Tanah

Adapun hasil yang didapat dalam analisa didalam laboratorium, tekstur pada hutan utuh dan bekas kebakaran yang didapat yaitu Lempung Pasiran. Hasil analisa tersebut dapat dilihat pada gambar 4

42,667 5,33 52 10,4 42,667 4 53,33 10,67 0 10 20 30 40 50 60

Liat Debu Pasir Pasir Sangat Halus

T ek st u r (% )

Utuh Bekas Kebakaran


(47)

Dilihat data tekstur yang diperoleh, persentase pasir, debu,dan liat mengalami sedikit perubahan, tetapi diketahui bahwa tekstur pada hutan bekas kebakaran dan hutan utuh masih tetap sama yaitu Lempung Pasiran (Liat Berpasir) berdasarkan segitiga tekstur USDA dalam Sutanto, (2005). Hal ini diduga karena banyaknya sisa-sisa abu dan arang hasil pembakaran hutan yang dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah setelah terbakar. Menurut Gumailina dkk (2003), secara fisik arang hasil pembakaran berpengaruh terhadap struktur dan tekstur tanah, oleh karena itu semakin banyak suplai arang hasil pembakaran kedalam tanah maka akan mengurangi kepadatan tanah (bulk density). Perbedaan tekstur pada tanah bekas kebakaran hutan dan tanah hutan utuh tidak terlalu signifikan hal ini disebabkan tekstur tanah merupakan komposisi antara fraksi debu, liat dan pasir dalam tanah. Perubahan pada tekstur tanah terjadi akibat perlakuan manusia itupun dalam kurun waktu yang panjang, beda halnya pada struktur tanah.

B. 1. 2. Warna Tanah

Berdasarkan pengamatan secara visual warna tanah hutan bekas kebakaran lebih gelap yaitu coklat kehitam-hitaman, sedangkan warna tanah hutan utuh yaitu coklat. Warna tanah hutan bekas kebakaran terlihat pada gambar 5 sedangkan warna tanah hutan utuh terlihat pada gambar 6.


(48)

Gambar 5. Tanah hutan bekas kebakaran.

Gambar 6. Tanah hutan utuh.

Perubahan warna tanah tersebut diakibatkan karena adanya sisa-sisa pembakaran berupa arang yang terurai pada proses pembakaran, hal ini yang menyebabkan warna tanah hutan bekas kebakaran lebih gelap bila dibandingkan dengan warna tanah hutan utuh. Menurut Sutedjo dan Kartasapoetra (2005), semakin tua warna tanah itu menunjukkan makin tinggi pula kesuburunnya, penilaian demikian tentunya jika penyebabnya adalah bahan organik dan menunjukkan penumpuan hara-hara yang terjadi. Warna tanah yang terang umumnya disebabkan karena kuarsa (suatu mineral yang nilai gizinya demikian


(49)

kurang). Menurut Hardjowigeno (2003), warna tanah merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya oleh perbedaan kandungan bahan organik. Semakin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah semakin gelap.

B. 1. 3. Kerapatan Lindak (Bulk Density) dan Partikel Densiti (gr/cc)

Dari hasil yang didapat kerapatan lindak dan partikel densiti pada tanah hutan utuh lebih besar dari pada tanah hutan bekas kebakaran seperti terlihat dalam gambar 7 dan gambar 8.

1,125 1,089 1,07 1,08 1,09 1,1 1,11 1,12 1,13 B D ( g r/ c c )

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 7. Analisis Kerapatan Lindak.

2,185 2,167 2,155 2,16 2,165 2,17 2,175 2,18 2,185 2,19 P a rt ik e l D e n s it i (g r/ c c )


(50)

Berdasarkan hasil yang didapat kerapatan lindak pada hutan bekas kebakaran lebih rendah bila dibandingkan dengan kerapatan lindak pada hutan utuh. Menurut Gumailina dkk (2003), secara fisik arang hasil pembakaran berpengaruh terhadap struktur dan tekstur tanah, oleh karena itu semakin banyak suplai arang hasil pembakaran kedalam tanah maka akan mengurangi kepadatan tanah (bulk density). Dengan adanya sisa-sisa abu dan arang yang terendap ke dalam tanah maka semakin banyak ruang pori yang terdapat di dalam tanah sehingga perakaran tanaman dapat tumbuh lebih baik. Menurut Hardjowigeno (2003), kerapatan lindak merupakan petunjuk kepadatan tanah. Semakin padat suatu tanah semakin tinggi kerapatan lindak, yang berarti semakin sulit meneruskan air dan ditembus oleh akar tanaman. Kerapatan lindak pada hutan kebakaran mengalami penurunan hal ini dikarenakan hilangnya sebagian bahan organik tanah yang dapat mengikat tanah sehingga tanah pada hutan bekas kebakaran memiliki kerapatan lindak yang lebih rendah bila dibandingkan dengan yang tanah hutan utuh.

Partikel density yang didapat dari tanah utuh lebih tinggi sebesar 0,018 gr/cc bila dibandingkan dengan tanah bekas kebakaran. Menurut Hakim dkk. (1986), perbedaan partikel density diantara jenis – jenis tanah tidak begitu besar, kecuali terdapat variasi yang besar di dalam kandungan bahan organik dan komposisi mineral tanah. Perhitungan pada partikel densiti dipengaruhi oleh kerapatan lindak, sehingga partikel densiti pada tanah hutan utuh lebih tinggi daripada tanah hutan bekas kebakaran.


(51)

B. 1. 4. Volume Ruang Pori dan Total Ruang Pori

Dari hasil yang didapat dari laboratorium volume ruang pori dan total ruang pori pada tanah hutan utuh lebih kecil daripada tanah hutan bekas kebakaran. Terlihat pada gambar 9 dan gambar 10.

22,83 23,167 22,6 22,7 22,8 22,9 23 23,1 23,2 V o lu m e R u a n g P o ri ( m l)

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 9. Analisis Volume Ruang Pori .

48,42 49,84 47,5 48 48,5 49 49,5 50 T o ta l R u a n g P o ri ( % )

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 10. Analisis Total Ruang Pori

Hasil yang didapat menunujukkan volume dan total ruang pori pada tanah hutan yang utuh lebih rendah dari hutan bekas kebakaran. Menurut Gumailina dkk (2003), hal ini disebabkan secara fisik arang hasil pembakaran berpengaruh terhadap struktur dan tekstur tanah, oleh karena itu semakin banyak suplai arang hasil pembakaran kedalam tanah maka akan mengurangi kepadatan tanah (bulk


(52)

density). Dengan adanya sisa-sisa abu dan arang yang terendap ke dalam tanah maka semakin banyak ruang pori yang terdapat di dalam tanah sehingga perakaran tanaman dapat tumbuh lebih baik. Menurut Hardjowigeno (2003), porositas tanah tinggi kalau bahan organik tinggi. Tanah-tanah dengan struktur granular atau remah, mempunyai porositas yang lebih tinggi dari pada tanah-tanah dengan struktur pejal.

B.1.5. Kadar Air (%), Kapasitas Lapang (%), Titik Layu Permanen (%), Kadar Air Tersedia (%)

Dari hasil yang didapat bahwa kadar air, kapasitas lapang, titik layu permanen dan kadar air yang tersedia pada tanah bekas kebakaran hutan lebih besar daripada tanah hutan utuh. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 11, 12, 13 dan 14.

8,3

11,94

0 2 4 6 8 10 12 14

K

a

d

a

r

A

ir

(

%

)

Utuh Pasca Kebakaran


(53)

15,3867 32,72 0 5 10 15 20 25 30 35 K a p a s it a s L a p a n g ( % )

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 12. Analisis Kapasitas lapang.

12,5 23 0 5 10 15 20 25 T it ik L a y u P e rm a n e n ( % )

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 13. Analisis Titik Layu Permanen.

2,8867 9,72 0 2 4 6 8 10 12 K a d a r A ir T e rs e d ia ( % )

Utuh Pasca Kebakaran


(54)

Kadar air, kapasitas lapang, titik layu permanen, dan kadar air tersedia pada tanah hutan bekas kebakaran lebih besar daripada kadar air tanah hutan utuh. Hal ini disebabkan karena kemampuan menyerap air yang lebih baik pada tanah hutan bekas kebakaran. Hal ini sesuai menurut Hardjowigeno (2003), air terdapat di dalam tanah karena ditahan/diserap oleh massa tanah, tertahan oleh lapisan kedap air, atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Sedangkan menurut Hakim dkk (1986), diantara sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap jumlah air tersedia dalam tanah adalah daya hisap (matrik dan osmotik), kedalaman tanah dan pelapisan tanah. Daya hisap matrik tanah sangat jelas mempengaruhi jumlah air tersedia. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap daya menahan air pada kapasitas lapang dan berikutnya juga terhadap koefisien layu, menentukan jumlah air tersedia. Faktor-faktor tersebut antara lain, tekstur, struktur dan bahan organik. Kapasitas tanah menahan air berhubungan dengan luas permukaan adsorpsi dan volume ruang pori, sehingga ia ditentukan baik oleh tekstur maupun struktur tanah. Tanah bertekstur halus mempunyai kapasitas total menahan air tertinggi, tetapi jumlah air tersedia tertinggi dipunyai oleh tanah bertekstur sedang. Pengaruh bahan organik bukan semata-mata disebabkan oleh kemampuan bahan organik menahan air, tetapai juga peranannya dalam pembentukan struktur dan porositas.

Besarnya kadar air pada tanah hutan bekas kebakaran dipengaruhi oleh hilangnya bahan organik yang dapat mengikat tanah, sehingga ruang pori semakin banyak dan pada saat hujan datang maka ruang pori tersebut diisi oleh air sehingga kadar air pada tanah hutan bekas kebakaran lebih tinggi. Hal ini dapat berpengaruh pada kapasitas lapang, titik layu permanen da kadar air yang tersedia.


(55)

B. 1. 6. Permeabilitas (cm/jam)

Hasil permeabilitas yang didapat dari tanah hutan utuh lebih rendah bila dibandingkan dengan tanah hutan bekas kebakaran, walaupun hasil permeabilitas kedua tanah tersebut tergolong Cepat. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada tabel 2. Hasil permeabilitas dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar 15.

16,273 19,25 6 8 10 12 14 16 18 20 P e rm e a b il it a s ( c m /j a m )

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 15. Analisis Permeabilitas.

Berdasarkan Dephut Dirjen RRL (1998). Hal di atas dikarenakan faktor pori-pori tanah. Menurut Hakim dkk (1986), permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk mentransfer air dan udara, permeabilitas biasanya diukur dengan istilahnya jumlah air yang mengalir melalui tanah dalam waktu yang ditetapkan. Menurut Buckman and Brady (1982), kecepatan gerakan air dipengaruhi oleh gaya yang menggerakkan air dan gaya hantar hidrolik. Gaya hantar hidraulik ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk ukuran pori.

B. 2. Sifat Kimia Tanah B. 2.1. N-Total (%)

Hasil yang didapat menunujukkan bahwa kandungan N pada tanah hutan utuh lebih kecil bila dibandingkan tanah hutan bekas kebakaran. Dari hasil yang


(56)

didapat kandungan N-total pada tanah hutan utuh dan pada tanah hutan bekas kebakaran tergolong rendah. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3. tabel 5. Hasil N-Total dapat dilihat pada gambar 16.

0,15 0,156

0,05 0,1 0,15 0,2

N

-

T

o

ta

l

(%

)

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 16. Analisis N-Total.

Hal ini dikarenakan penambahan unsur hara pasca kebakaran. Menurut Chandler et al (1983) dalam Priandi (2006), terjadinya peningkatan secara relatif pada unsur-unsur hara disebabkan karena adanya penambahan unsur hara sisa abu/arang kebakaran dari material organik. Menurut Hardjowigeno (2003), bahan organik merupakan sumber N yang utama di dalam tanah. Faktor yang mempengaruhi (dekomposisi) salah satunya adalah suhu, dimana suhu tinggi akan mempercepat proses dekomposisi, sehingga proses dekomposisi lebih meningkat pada areal hutan bekas kebakaran yang dikarenakan tidak adanya penutupan lahan dan menyebabkan peningkatan suhu. Menurut Daniel dkk (1987) dalam Marjenah (2007), pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena karena endapan abu yang bersifat basa. Abu terutama terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor. Kenaikan pH ini cenderung menambah ketersedian fosfor dan proporsi nitrogen nitrat yang lebih mudah tercuci. Pembakaran mengurangi


(57)

populasi mikroba tanah, tetapi kenaikan pH menambah perkembangannya dan bisa didapatkan bahwa populasi bertambah dengan cepat ketingkat sebelumnya. Kenaikan aktivitas mikrobial merangsang nitrifikasi yang menyebabkan areal terbakar biasanya mempunyai nitrogen nitrat lebih tinggi daripada sebelum terbakar. Hal di atas yang menyebabkan peningkatan kandungan unsur N pada tanah pasca kebakaran walaupun peningkatannya sangat sedikit. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) dalam Priandi (2006), kandungan unsur N pada kedua jenis tanah tersebut tergolong rendah.

B. 2.2. P - tersedia(ppm)

Dari hasil laboratorium didapat hasil P – tersedia terjadinya peningkatan pada areal tanah hutan bekas kebakaran. P-tersedia pada tanah hutan bekas kebakaran tergolong sedang, sedangkan pada tanah hutan utuh tergolong rendah. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3. tabel 5. Hasil P-tersedia dapat dilihat pada gambar 17

11,197

16,087

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

P

-

Te

rs

ed

ia

(p

pm

)

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 17. Analisis P-tersedia.

Hasil Fosfor (P) yang didapat dari tanah hutan utuh lebih kecil dibandingkan Fosfor yang terdapat pada tanah bekas kebakaran, hal ini disebabkan terjadinya penambahan unsur hara pada tanah bekas kebakaran,


(58)

Menurut Hardjowigeno (2003), unsur P di dalam tanah berasal dari bahan organik dimana P dalam tanah terbentuk dalam P-organik dan P-anorganik. Menurut Daniel dkk (1987) dalam Marjenah (2007), pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena karena endapan abu yang bersifat basa. Abu terutama terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor. Kenaikan pH ini cenderung menambah ketersedian fosfor dan proporsi nitrogen nitrat yang lebih mudah tercuci. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) dalam Priandi (2006), kandungan fosfor yang terdapat pada tanah bekas kebakaran tergolong sedang dan pada tanah hutan utuh tergolong rendah.

B. 2. 3. K (me/100)

Dari hasil laboratorium didapat hasil Kalium terjadinya peningkatan pada areal tanah hutan bekas kebakaran. Kandungan Kalium pada tanah hutan bekas kebakaran tergolong rendah, sedangkan pada tanah hutan utuh tergolong sangat rendah. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3. tabel 5.Hasil kalium tersebut dapat dilihat pada gambar 18.

0,082

0,29

0 0,1 0,2 0,3 0,4

K

(

m

e/

10

0)

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 18. Analisis Kalium.

Hasil Kalium (K) yang didapat dari tanah hutan utuh lebih kecil dibandingkan Kalium yang terdapat pada tanah bekas kebakaran, hal ini


(59)

disebabkan terjadinya penambahan unsur hara pada tanah bekas kebakaran, sehingga tanah pada tanah bekas kebakaran lebih subur kandungan kaliumnya. Menurut Daniel dkk (1987) dalam Marjenah (2005), pembakaran cenderung menaikkan pH tanah karena karena endapan abu yang bersifat basa. Abu terutama terdiri atas elemen-elemen kalsium, magnesium, kalium dan fosfor. Kenaikan pH ini cenderung menambah ketersedian fosfor dan proporsi nitrogen nitrat yang lebih mudah tercuci. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) dalam Priandi (2006), kandungan kalium yang terdapat pada tanah bekas kebakaran tergolong rendah dan pada tanah hutan utuh tergolong sangat rendah.

B.2. 4. C-Organik (%), Bahan Organik/BO (%) , C/N (%)

Dari hasil laboratorium didapat hasil C-Organik, BO, CN terjadinya penurunan pada areal tanah hutan bekas kebakaran. Kandungan C-organik pada tanah hutan bekas kebakaran tergolong sedang, sedangkan pada tanah hutan utuh tergolong tinggi. Pada tanah hutan utuh bahan organiknya tergolong sangat tinggi sedangkan pada tanah hutan bekas kebakaran tergolong tinggi. C/N pada tanah hutan utuh dan pada tanah hutan bekas kebakaran tergolong tinggi. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3. tabel 5.Hasil C-Organik, BO dan C/N dalam bentuk grafik dapat dilihat pada gambar 19, 20, dan 21.


(60)

3,575 2,871 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 C - O rg a n ik (% )

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 19. Analisis C-Organik.

6,149 4,93 0 1 2 3 4 5 6 7 B O ( % )

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 20. Analisis Bahan Organik.

23,83 18,4 0 5 10 15 20 25 30 C /N ( % )

Utuh Pasca Kebakaran


(61)

Hasil C-organik yang didapat dari tanah hutan utuh lebih besar bila dibandingkan dengan C-organik pada tanah pasca kebakaran. Hal ini disebabkan karena hilangnya vegetasi pada tanah bekas kebakaran sehingga tidak adanya suplai karbon kedalam tanah. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), tanaman mengambil unsur karbon berupa CO2 dari udara bebas. Kegiatan ini dilakukan oleh organ tanaman yang memiliki klorofil, umumnya bagian tanaman yang berwarna hijau dan terdapat di atas tanah. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) dalam Priandi (2006), kandungan C-Organik yang terdapat pada tanah bekas kebakaran tergolong sedang dan pada tanah hutan utuh tergolong tinggi.

Hasil bahan organik didapat dari perkalian C-Organik, semakin tinggi kandungan C-Organik semakin tinggi pula bahan organik, hal tersebut yang menyebabkan bahan organik pada tanah hutan bekas kebakaran lebih rendah daripada bahan organik pada hutan utuh.. Menurut De Bano et al (1998) bahan organik memiliki ambang batas temperatur dimana bahan organik memiliki ambang batas sebesar 100 oC, sehingga bahan organik yang ada pada areal tanah hutan bekas kebakaran lebih rendah daripada bahan organik pada tanah hutan utuh yang disebabkan terbakarnya bahan organik tersebut. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) dalam Priandi (2006), kandungan bahan organik yang terdapat pada tanah bekas kebakaran tergolong tinggi dan pada tanah hutan utuh tergolong sangat tinggi. Sedangkan hasil dari C/N didapat dari pembagian kandungan C dibagi kandungan N masing-masing jenis tanah. Hal tersebut yang menyebabkan kandungan C/N pada tanah hutan bekas kebakaran lebih rendah dari kandungan C/N pada tanah hutan utuh. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor


(62)

(1981) dalam Priandi (2006), kandungan C/N kedua jenis tanah tersebut tergolong tinggi.

B. 2.5. Aldd (me/100)

Hasil Al yang didapat pada tanah hutan utuh lebih tinggi daripada tanah hutan bekas kebakaran, hal ini disebabkan karena pH dihutan terbakar lebih tinggi daripada pH pada tanah hutan utuh. Hasil ini dapat dilihat pada gambar 22

2,183

1,05

0 0,5 1 1,5 2 2,5

A

L

d

d

(

m

e

/1

0

0

)

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 22. Analisis Aldd.

Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), tanah yang mengandung Al3+ dan Fe3 + menyebabkan tanah mempunyai pH yang rendah. Al tertukar dianggap kation yang dominan pengaruhnya terhadap kemasaman tanah. Semakin banyak kandungan Al yang ada pada suatu tanah maka semakin asam pula kandungan tanah tersebut.

B.2. 6. Kapasitas Tukas Kation/KTK (me/100)

Hasil yang didapat dari analisa laboratorium Kapasitas Tukar Kation dapat dilahat pada gambar 23. Kandungan Kapasitas Tukar Kation pada tanah hutan


(63)

utuh dan pada tanah bekas kebakaran tergolong rendah. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3. tabel 5.

8,567

10,503

0 2 4 6 8 10 12

K

T

K

(

m

e

/1

0

0

)

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 23. Analisis KTK.

Hasil yang di dapat dari analisa laboratorium Kapasitas Tukar Kation pada tanah hutan utuh lebih rendah dibandingkan Kapasitas Tukar Kation pada tanah hutan bekas kebakaran, hal tersebut terjadi karena pengaruh jenis tanah pH tanah. Menurut Hardjowigeno (2003), tanah-tanah tua seperti tanah Oxisol memiliki KTK rendah karena koloidnya banyak terdiri dari seskuioksida. Menurut Hakim dkk (1986), pada kebanyakan tanah ditemukan bahwa pertukaran kation berubah dengan berubahnya pH tanah. Pada pH rendah, hanya muatan permanen liat dan sebagian muatam koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah, hal ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan beberapa fraksi liat, H dan mungkin hidroksi Al terikat kuat, sehingga sulit dipertukarkan. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) dalam Priandi (2006), KTK kedua jenis tanah tersebut tergolong rendah. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3. tabel 5


(64)

B. 2. 7. pH (Aquadest)

Hasil pH dapat dilihat dalam gambar 24. pH pada tanah hutan bekas kebakaran lebih netral daripada tanah hutan utuh.

4,69 4,9167

2 4 6

p

H

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 24. Analisis pH.

Hasil analisa laboratorium didapat pH pada tanah hutan utuh lebih rendah daripada pH pada tanah hutan bekas kebakaran. Hal tersebut karena kandungan Al yang lebih banyak pada kondisi tanah hutan utuh dari tanah hutan bekas kebakaran. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), tanah yang mengandung Al3+ dan Fe3 + menyebabkan tanah mempunyai pH yang rendah. Al tertukar dianggap kation yang dominan pengaruhnya terhadap kemasaman tanah. Menurut Syumanda (2007) dan Pyne et al (1996), dalam peristiwa biokimia, kebakaran cenderung meningkatkan konsentrasi dan pergerakkan yang pasti dari elemen-elemen yang mudah larut, dimana pembakaran hutan dan lahan ditujukan untuk menaikkan pH dan membebaskan residu karbon dalam bentuk abu dan arang. Menurut Pusat Penelitian Tanah Bogor (1981) dalam Priandi (2006), pH kedua jenis tanah tersebut tergolong masam. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada lampiran 3. tabel 5


(65)

B. 3. Sifat Biologi

B. 3. 1. Mikroorganisme (pengenceran 10-5)(SPK)

Dari hasil pengamatan di laboratorium mikroorganisme pada tanah hutan utuh lebih banyak daripada tanah hutan bekas kebakaran. Hasil ini dapat dilihat pada gambar 25.

104,667

75,333

0 20 40 60 80 100 120

M

ik

ro

o

rg

a

n

is

m

e

(

S

P

K

)

Utuh Pasca Kebakaran

Gambar 25. Analisis Mikroorganisme.

Hasil yang didapat dari analisa laboratorium, jumlah mikroorganisme yang berada pada tanah hutan utuh lebih banyak daripada jumlah mikroorganisme yang terdapat pada tanah hutan bekas kebakaran. Jumlah mikroorganisme yang berada pada tanah hutan bekas kebakaran akan mengalami pemulihan dalam waktu beberapa tahun. Menurut Pyne et al (1996), terjadinya kebakaran hutan menyebabkan jumlah cadangan makanan mikroorganisme menjadi sedikit, kebanyakan dari mikroorganisme mati karena api dan menyebabkan perubahan dalam habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi mikroorganisme akan meningkat menjadi banyak lagi setelah beberapa tahun.


(66)

C. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Erosi (dalam luasan 10 ha)

Hasil erosi di atas dengan didapat berdasarkan perhitungan dengan metode USLE dengan rumus : A = R x K x L x S x C x P, dengan ketentuan :

Tanah Hutan utuh :

 Nilai R = 1695,14  Nilai K = 0,38  Nilai LS (9 %) = 1,4  Nilai C = 0,005

 Nilai P = 1

Tanah Hutan Bekas Kebakaran :

 Nilai R = 1695,14  Nilai K = 0,36  Nilai LS (22 %) = 3,1

 Nilai C = 1

 Nilai P = 1

Hasil perhitungan tersebut disajikan dalam bentuk histogram dalam gambar 26.


(67)

0,4509 189,177 4,509 1891,776 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000

Utuh Bekas Kebakaran

E ro s i (t o n )

TBE (ton/ha/thn) Erosi (ton/thn)

Gambar 26. Analisis Erosi.

Sedangkan untuk hasil Tingkat Bahaya Erosi (TBE) didapat dari pembagian Erosi dengan luas lahan. Pendugaan erosi yang didapat pada areal tanah hutan utuh jauh lebih rendah dari pada areal tanah hutan bekas kebakaran. Hal ini disebabkan faktor kelerengan yang berbeda pada kedua areal, nilai erodibilitas dan nilai pengelolaan tanaman. Hal di atas sesuai menurut Hardjowigeno (2003), tanah-tanah yang mempunyai struktur tanah yang mantap (tidak mudah hancur oleh pukulan air hujan) akan tanah terhadap erosi. Sebaliknya struktur tanah yang tidak mantap, sangat mudah hancur oleh pukulan air hujan, menjadi butir-butir halus yang akan menutupi ruang pori. Akibatnya air infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat yang berarti erosi juga akan meningkat. Pada kelerengan yang curam juga akan menimbulkan dampak erosi


(68)

yang lebih besar bila dibandingkan dengan lereng yang datar atau landai. Hal ini sesuai menurut Hardjowigeno (2003), erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut semakin besar pula. Dari hasil yang didapat menurut Hudson (1976) dalam Sarief (1985), apabila erosi kurang dari 12,5 ton/ha/thn, maka erosi tersebut masih dapat diperbolehkan. Dengan ketentuan di atas erosi yang terjadi pada areal hutan bekas kebakaran sebesar 189,177 ton/ha/thn tidak di perbolehkan karena melampaui ambang batas yang diperbolehkan, sedangkan erosi pada areal hutan utuh sebesar 0,4509 ton/ha/thn masih dapat dibiarkan. Apabila erosi yang terjadi besar atau melampaui ambang batas maka dampak yang ditimbulkan pasti akan negatif. Menurut Arsyad (1989), erosi akan menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi merupakan kemunduran sifat-sifat kimia dan fisika tanah.

Kebakaran akan menimbulkan dampak yang berkepanjangan terhadap ekosistem dan menyebabkan musnahnya flora dan fauna (terutama fauna-fauna yang lambat bergeraknya). Kerugian yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dari berbagai aspek baik kesehatan, ekonomi, sosial dan kemungkinan punahnya/berkurang salah satu flora atau fauna endemik Indonesia.


(69)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kebakaran hutan memiliki dampak yang negatif bagi beberapa sifat fisik dan kimia tanah, tetapi ada beberapa sifat fisik dan kimia tanah yang mengalami dampak yang positif. Lain halnya terhadap sifat biologi, kebakaran hutan hanya memberikan dampak negatifnya.

2. Erosi yang ditimbulkan pada areal yang terbakar atau sudah tidak bervegetasi lagi akan lebih besar bila dibandingkan erosi yang ditimbulkan pada areal yang memiliki vegetasi. Erosi yang terjadi pada lahan terbuka akan memberi kerusakan-kerusakan terhadap sifat-sifat tanah.

Saran

Diharapkan adanya penelitian lanjutan terhadap bahaya kebakaran dari segi ekonominya, dan diharapkan adanya penelitian yang memberikan gambaran contoh pemetaan areal hutan yang terbakar pada kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.


(70)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Buckman, H. O. dan Brady, N. C. 1982. Ilmu Tanah. Penerjemah : Prof. Dr. Soegiman. Bharata Aksara. Jakarta

De Bano, L. F., D. G. Neary dan P. F. Folliot. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem. Jhon Wiley and Sons. USA

Departemen Ilmu Tanah. 1997. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah. IPB Press. Bogor

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan perkebunan. Jakarta

Hakim, N.; M. Y. Nyakpa; A. M. Lubis; S. G. Nugroho; M. A. Diha; Go Ban Hong; dan H.H. Bailey. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung

Hardjowigeno, H. S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta

Jacob, A. 2001. Metode dan Teknik Pengambilan Contoh Tanah dan Tanaman dalam Mengevaluasi Status Kesuburan Tanah.

Pasaribu, J. L. 2006. Prediksi Besarnya Erosi Dengan Metode USLE Pada Aek Asahan Hilir Sub-Das Asahan Hulu Kecamatan Pintu Pohon Meranti. Skripsi Mahasiswa Fakultas Pertanian USU. Medan. Tidak diterbitkan


(1)

Lampiran 5. Tabel 7. Nilai P oleh Dephut Dirjen RRL

Teknik Konservasi P

Teras bangku, baik 0,04

Teras bangku, sedang 0,15

Teras bangku, jelek 0,40

Teras tradisional 0,35

Teras gulud 0,15

Hillside ditch atau field pits 0,30

Kontur cropping kemiringan 1 – 3 % 0,40 Kontur cropping kemiringan 3 – 8 % 0,50 Kontur cropping kemiringan 8 – 15 % 0,60 Kontur cropping kemiringan 15 – 25 % 0,80 Kontur cropping kemiringan > 25 % 0,90 Strip rumput permanen, baik, rapat, dan berjalur 0,04

Strip rumput permanen, jelek 0,40

Strip crotolaria 0,50

Mulsa jerami sebanyak 6 ton/ha/thn 0,15 Mulsa jerami sebanyak 3 ton/ha/thn 0,25 Mulsa jerami sebanyak 1 ton/ha/thn 0,60 Mulsa jagung sebanyak 6 ton/ha/thn 0,35 Mulsa crotolaria sebanyak 6 ton/ha/thn 0,50

Mulsa kacang tanah 0,75


(2)

Lampiran 6. Tabel 8. Data Curah Hujan daerah Besitang Kabupaten Langkat Tahun 2003-2007

BULAN/TAHUN 2007 2006 2005 2004 2003

Januari 108 90 152 222 70

Februari 89 49 60 265 59

Maret 113 110 70 240 266

April 42 153 70 70 20

Mei 329 195 115 440 272

Juni 162 412 147 402 91

Juli 240 113 195 222 178

Agustus 114 156 180 180 174

September 156 180 171 76 312

Oktober 163 306 215 181 867

November 229 176 200 205 22

Desember 312 108 315 76 222

2057 2048 1890 2579 2553

Sumber : - Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat tahun 2003 – 2006 - Badan Meteorologi dan Geofisika tahun 2007


(3)

(4)

RIWAYAT HIDUP

Muhammad Hatta, dilahirkan di Medan Sumatera Utara, pada tanggal 10 November 1984, anak kedua dari 4 bersaudara dari pasangan bapak Ir. Azwar Hamid M.Sc. dan ibu Hj. H. Lubis.

Pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di Sedkolah Dasar Negeri 060893 Medan, lulus pada tahun 1999 dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 19 Medan, Kemudian pada tahun 2002 lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri 15 Medan, pada tahun 2003 penulis diterima di Universitas Sumatera Utara , Fakultas Pertanian, Departemen Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan.

Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada tahun 2005, di Hutan Manggrove Bandar Khalipah Kabupaten Serdang Bedagai dan Hutan Pegunungan Tahura Kabupaten karo Sumatera Utara. Pada Tahun 2007 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Suka Jaya Makmur Ketapang, Kalimantan Barat. Penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat-Sifat Tanah Di Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat ”, dibawah bimbingan bapak DR. Budi Utomo SP., MP. dan Bapak DR. Delvian SP.,MP.

Penulis selama kuliah ikut berperan aktif dalam kegiatan keorganisasian seperti HIMAS Kehutanan USU, KOMBIT kehutanan USU, Parintal FP USU, Rescue Muda Bersatu (RMB), Water Rescue (WR) dan kegiatan organisasi lainnya. Penulis pernah mengikuti menjadi sukarelawan di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Orangutan Information Centre (OIC) selama 2 tahun.


(5)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar dan hutan normal di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser di Desa Halaban, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Lokasi Penelitian termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berada paling luas di Propinsi Nanggroe Aceh Darusallam dan sebagian berada pada kawasan Sumatera Utara. Letak lokasi penelitian areal hutan utuh berada pada koordinat 04o 01’ 26” lintang utara, 098o 02’ 15” bujur timur dan areal hutan bekas terbakar 04o 01’ 28” lintang utara, 098o 02’ 17” bujur timur. Lokasi penelitian tersebut memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan PT. Putri Hijau. - Sebelah Selatan berbatasan dengan TNGL

- Sebelah Barat berbatasan dengan PT. Sisiro - Sebelah Timur berbatasan dengan TNGL

B. Iklim dan Cuaca.

Taman Nasional Gunung Leuser termasuk daerah beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim kemarau yaitu bulan Maret s/d Agustus dan penghujan dari bulan September s/d Februari. Angka curah hujan rata-rata 1000-2500 mm tiap tahun. Suhu minimum rata-rata 22 ºC - 23,3 ºC dan suhu maksimum rata-rata mencapai 28 ºC-32 ºC dengan kelembaban minimum 69 -76 % dan kelembaban maksimum 94-96 %.


(6)

C. Jenis Tanah dan Topografi

Berdasarkan peta satuan lahan dan tanah kecamatan Besitang Kabupaten Langkat yang diterbikan Yayasan Leuser Internasional, jenis tanah pada lokasi penelitian termasuk jenis yang didominasi oleh Inseptisol (75%)dan Oxisol (25%) secara cukup. Topografi di lokasi penelitian berbukit-bukit dan berlembah.

Gambar 2. Kondisi hutan bekas kebakaran.