SUMBER HUKUM PIDANA hukum pidana 001

pelaku yang dapat dipidana. 40 Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan. 41 Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remidium obat terakhir. Sedapat mungkin diba-tasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit. 42

E. SUMBER HUKUM PIDANA

Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan untuk keperluan itu, para ahli hukum pidana telah memikirkan agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil” sehingga timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang dan atau kitab undang-undang kodifikasi. Namun hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap negara di dunia, berbentuk undang-undang dan kodi-fikasi. Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon hampir seluruhnya tidak mengenal hukum pidana dalam bentuk kodifikasi dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang mempunyai kodifikasi hukum pidana. 43 40 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Bandung: Binacipta, 1979, h. 55. 41 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 9 -10. 42 Ibid., h. 10. 43 Bambang Poernomo, Op.Cit., h. 22. 18 Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil. Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut: 44 1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie W.v.S, sebuah Titah Raja Koninklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie turunan dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama. KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-8- 1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1942 Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta, Pasal 1 berbunyi: “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan- peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”. Ini berarti bahwa teks resmi yang sah untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda. Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945 kembali lagi ke Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pen-dudukan Jepang 1942-1945 juga mengadakan perubahan-peru-bahan terhadap W.v.S. v.N.I. KUHP, misalnya dengan Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana Pasal 570. Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang berlakunya sendiri- sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam KUHP peraturan hukum pidana. Guna melenyapkan keadaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 L.N. 44 Sudarto, Op.Cit., h. 15 -19. 19 1958 No. 127 yang antara lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak ada. KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada unifikasi. Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya. 2. Hukum pidana adat Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 L.N. 1951-9 Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP. 3. Memorie van Toelichting Memori Penjelasan M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama dengan Rencana Undang-undang itu kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada tanggal 1 September 1886 mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia Belanda W.v.S.N.I. ini yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal- pasal yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku. Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang- undang hukum tertulis. Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. 20 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 45 ayat 1 Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP WvS selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 itu tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum tertulis UU sebagai kriteriapatokan formal yang utama, Konsep juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya persamaannya atau tidak telah diatur di dalam undang-undang. 46 Diakuinya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat adalah untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Adalah suatu kenyataan bahwa di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak ter-tulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersang-kutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipi-dana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi yang berupa “Pemenuhan Kewajiban Adat” setempat yang harus dilaksanakan oleh pembuat tindak pidana. Hal ini berarti bahwa standar, nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat setempat masih tetap dilindungi untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat ter-tentu. Keadaan seperti ini tidak akan menggoyahkan dan tetap menja-min pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. 47 45 Pasal 1 Konsep KUHP Baru berbunyi: 1 Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. 2 Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. 3 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak mengurangi berla-kunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. 4 Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila danatau prin-sip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa- bangsa. 46 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008, h. 73-74. 47 Penjelasan Buku I angka 3 Konsep KUHP Baru Tahun 20062007. 21 Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa menurut Konsep KUHP Baru sumber hukum pidana itu adalah sumber hukum tertulis undang-undang dan sumber hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat. Penjelasan Pasal 1 ayat 3 Konsep KUHP Baru menyebut-kan, untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan ini meru-pakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa embrio atau cikal-bakal dari pokok pemikiran tetap diakuinya eksistensiberlakunya hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai salah satu sumber hukum pidana itu sebenarnya sudah cukup lama dan tersebar di beberapa produk legislatif, antara lain dapat dilihat sebagai berikut: 48 1. Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang No. 1 Drt. 1951 ... bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara danatau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum…..… Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka…..... terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang…..... tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. 2. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat 1: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya; 48 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 75. 22 Pasal 25 ayat 1: Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan per-undang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; Pasal. 28 ayat 1: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya disebutkan, bahwa dengan bertolak dari kebijakan perundang-undangan nasional seperti dikemukakan di atas Undang-undang No. 1 Drt 1951 dan Undang- undang Kekuasaan Kehakiman, dapat dikatakan bahwa perluasan asas legalitas secara materiil di dalam konsep sebenarnya bukanlah hal baru, tetapi hanya melanjutkan dan mengimplementasikan kebijakanide yang sudah ada. Bahkan kebijakan ide perumusan asas legalitas secara material pernah pula dirumuskan sebagai kebijakan konstitusional di dalam Pasal 14 ayat 2 UUDS50 yang berbunyi: Tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Dalam pasal tersebut digunakan istilah aturan hukum RECHT yang tentunya lebih luas pengertiannya dari sekadar aturan undang-undang WET, karena dapat berbentuk hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. 49

F. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA