Prevalensi Diabetes Mellitus pada Pasien Sindroma Koroner Akut yang Dirawat di Cardiac Center Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Periode Januari sampai dengan Desember 2014
Lampiran 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Arjumardi Azrah K Harahap
Tempat/ Tanggal Lahir : Padangsidimpuan/ 29 Oktober 1993
Agama : Islam
Alamat : Jl. Melati Pasar 5 Setia Budi Komplek Raysa Minimalis No. D7
Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Dasar Negeri 200110 Padangsidimpuan 2001-2006
2. Sekolah Menengah Pertama Swasta Nurul Ilmi Padangsidimpuan 2006-2009 3. Sekolah Menengah Atas Swasta Nurul Ilmi Padangsidimpuan 2009-2012 4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2012- sekarang
Riwayat Pelatihan, Seminar, dan Simposium :
Simposium Breast Cancer SCORA FK USU 2014
Seminar Narkoba SCORA FK USU dan BNN Sumatera UTARA 2014 Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa Lokal FK USU 2012 Seminar Penanganan Awal Luka dan Pelatihan Dasar Penjahitan luka
TBM FK USU 2013
Temu Ilmiah Tahunan Persatuan Onkologi Indonesia 2014
Seminar Cancer Permaked Tabagsel dan Pemerintah Kabupaten Padang Lawas 2015
(2)
(3)
(4)
1 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
2 laki-laki d tengah uap tidak dm
3 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm
4 perempuan d tengah stemi dm tdk trknrtl tidak menggunakan
5 laki-laki d tengah stemi tidak dm 6 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
7 perempuan d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
8 laki-laki d muda nstemi tidak dm 9 laki-laki d tengah stemi tidak dm
10 perempuan d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 11 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
12 laki-laki d tengah stemi tidak dm
13 perempuan d tengah uap dm tdk trknrtl antidiabetik oral
14 perempuan d lanjut uap tidak dm
15 laki-laki d tengah stemi tidak dm 16 perempuan d lanjut nstemi tidak dm
17 perempuan d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 18 laki-laki d tengah stemi tidak dm
19 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
20 laki-laki d tengah stemi tidak dm
21 perempuan d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
22 perempuan d lanjut nstemi tidak dm
23 laki-laki d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 24 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm
25 laki-laki d lanjut uap dm tdk trknrtl injeksi insulin
26 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm
27 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
28 perempuan d lanjut uap tidak dm
29 laki-laki d tengah uap tidak dm
30 laki-laki d tengah stemi tidak dm 31 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm 32 laki-laki d tengah stemi tidak dm
33 laki-laki d tengah uap tidak dm
34 perempuan d tengah uap tidak dm
35 perempuan d lanjut uap tidak dm
36 perempuan d tengah uap tidak dm
37 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
38 laki-laki d lanjut uap tidak dm
(5)
40 laki-laki d tengah stemi tidak dm
41 laki-laki d muda stemi tidak dm
42 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl antidiabetik oral
43 perempuan d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
44 perempuan d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
45 laki-laki d muda stemi tidak dm
46 laki-laki d tengah uap tidak dm
47 laki-laki d tengah stemi tidak dm
48 laki-laki d lanjut uap dm tdk trknrtl kombinasi
49 laki-laki d tengah uap tidak dm
50 laki-laki d tengah uap dm tdk trknrtl injeksi insulin
51 perempuan d lanjut stemi tidak dm
52 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
53 laki-laki d muda stemi tidak dm
54 laki-laki d tengah stemi tidak dm
55 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
56 laki-laki d muda stemi tidak dm
57 perempuan d muda stemi tidak dm
58 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 59 laki-laki d tengah stemi tidak dm 60 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
61 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
62 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
63 laki-laki d muda stemi tidak dm
64 perempuan d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
65 laki-laki d tengah stemi tidak dm 66 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
67 perempuan d lanjut uap tidak dm
68 laki-laki d tengah stemi tidak dm
69 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl kombinasi
70 laki-laki d lanjut uap dm tdk trknrtl injeksi insulin
71 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl kombinasi
72 perempuan d tengah nstemi dm terkontrol tidak menggunakan
73 laki-laki d tengah nstemi tidak dm 74 laki-laki d tengah stemi tidak dm
75 perempuan d lanjut stemi dm tdk trknrtl antidiabetik oral
76 laki-laki d muda stemi tidak dm
77 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
78 perempuan d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 79 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
80 perempuan d tengah stemi dm tdk trknrtl kombinasi
81 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl kombinasi
82 laki-laki d lanjut stemi dm terkontrol tidak menggunakan
(6)
89 perempuan d tengah nstemi tidak dm
90 laki-laki d muda stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
91 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 92 perempuan d lanjut stemi tidak dm
93 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
94 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
95 perempuan d lanjut uap tidak dm
96 laki-laki d tengah stemi tidak dm 97 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
98 laki-laki d tengah uap dm tdk trknrtl injeksi insulin
99 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 100 laki-laki d tengah nstemi tidak dm 101 laki-laki d tengah stemi tidak dm
102 perempuan d tengah nstemi dm tdk trknrtl antidiabetik oral
103 perempuan d lanjut uap dm tdk trknrtl injeksi insulin
104 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
105 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl kombinasi
106 perempuan d muda uap dm tdk trknrtl injeksi insulin
107 perempuan d muda uap tidak dm
108 perempuan d tengah nstemi dm tdk trknrtl kombinasi
109 perempuan d tengah uap tidak dm
110 perempuan d tengah nstemi dm tdk trknrtl kombinasi
111 laki-laki d tengah stemi tidak dm 112 laki-laki d muda stemi tidak dm
113 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
114 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
115 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
116 perempuan d lanjut nstemi dm terkontrol tidak menggunakan
117 laki-laki d tengah uap tidak dm 118 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm 119 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 120 perempuan d lanjut uap tidak dm 121 laki-laki d tengah stemi tidak dm 122 laki-laki d tengah stemi tidak dm 123 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
124 laki-laki d muda stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
125 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 126 laki-laki d tengah stemi tidak dm
(7)
128 laki-laki d tengah stemi tidak dm 129 laki-laki d tengah stemi tidak dm 130 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
131 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
132 laki-laki d muda stemi tidak dm 133 laki-laki d muda stemi tidak dm 134 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
135 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
136 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 137 laki-laki d lanjut uap tidak dm
138 perempuan d tengah nstemi dm tdk trknrtl kombinasi
139 laki-laki d tengah uap tidak dm 140 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm
141 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
142 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 143 laki-laki d lanjut uap tidak dm
144 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
145 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm 146 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm 147 perempuan d tengah nstemi tidak dm
148 perempuan d lanjut uap dm tdk trknrtl injeksi insulin
149 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
150 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
151 laki-laki d tengah stemi tidak dm 152 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
153 laki-laki d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
154 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
155 laki-laki d tengah stemi tidak dm
156 perempuan d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
157 perempuan d lanjut stemi tidak dm 158 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 159 perempuan d lanjut nstemi tidak dm 160 perempuan d lanjut stemi tidak dm 161 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm 162 laki-laki d muda stemi tidak dm
163 laki-laki d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 164 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
165 perempuan d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 166 laki-laki d muda stemi tidak dm
167 perempuan d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 168 laki-laki d lanjut uap tidak dm
169 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 170 laki-laki d tengah stemi tidak dm 171 laki-laki d tengah stemi tidak dm
(8)
177 laki-laki d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 178 perempuan d lanjut nstemi tidak dm
179 perempuan d tengah uap dm terkontrol injeksi insulin
180 perempuan d tengah nstemi tidak dm 181 laki-laki d muda stemi tidak dm 182 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
183 perempuan d lanjut uap dm tdk trknrtl kombinasi
184 laki-laki d muda stemi tidak dm 185 perempuan d lanjut nstemi tidak dm
186 laki-laki d tengah stemi dm terkontrol kombinasi
187 laki-laki d muda stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
188 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 189 laki-laki d lanjut uap tidak dm
190 perempuan d tengah nstemi tidak dm 191 perempuan d lanjut stemi tidak dm
192 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
193 laki-laki d muda stemi tidak dm 194 perempuan d tengah stemi tidak dm
195 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
196 perempuan d lanjut stemi dm tdk trknrtl kombinasi
197 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl kombinasi
198 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
199 perempuan d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
200 laki-laki d tengah stemi tidak dm 201 perempuan d lanjut stemi tidak dm 202 perempuan d lanjut stemi tidak dm
203 laki-laki d lanjut stemi dm terkontrol tidak menggunakan
204 laki-laki d tengah stemi tidak dm 205 laki-laki d tengah stemi tidak dm
206 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
207 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
208 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
209 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
210 laki-laki d muda stemi tidak dm 211 laki-laki d tengah stemi tidak dm
212 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
213 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 214 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
(9)
216 laki-laki d tengah stemi tidak dm 217 laki-laki d tengah stemi tidak dm
218 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 219 laki-laki d tengah stemi tidak dm
220 laki-laki d tengah stemi tidak dm
221 laki-laki d muda uap tidak dm
222 laki-laki d tengah stemi tidak dm 223 laki-laki d muda stemi tidak dm
224 laki-laki d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 225 laki-laki d tengah stemi tidak dm
226 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl kombinasi
227 laki-laki d tengah nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 228 laki-laki d lanjut nstemi tidak dm
229 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 230 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 231 laki-laki d muda stemi tidak dm
232 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
233 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
234 laki-laki d tengah nstemi tidak dm
235 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
236 laki-laki d tengah stemi tidak dm 237 laki-laki d tengah stemi tidak dm 238 laki-laki d tengah stemi tidak dm 239 laki-laki d tengah stemi tidak dm 240 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 241 laki-laki d tengah stemi tidak dm 242 laki-laki d tengah stemi tidak dm 243 laki-laki d tengah nstemi tidak dm 244 laki-laki d muda stemi tidak dm 245 laki-laki d tengah uap tidak dm 246 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 247 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 248 perempuan d tengah nstemi tidak dm 249 perempuan d lanjut nstemi tidak dm
250 laki-laki d lanjut nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 251 laki-laki d tengah uap tidak dm
252 perempuan d lanjut stemi tidak dm
253 perempuan d tengah nstemi dm tdk trknrtl injeksi insulin 254 laki-laki d tengah stemi tidak dm
255 perempuan d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
256 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
257 laki-laki d muda stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
258 laki-laki d lanjut uap tidak dm
(10)
265 laki-laki d tengah stemi tidak dm 266 perempuan d lanjut stemi tidak dm 267 perempuan d tengah stemi tidak dm 268 laki-laki d muda stemi tidak dm 269 laki-laki d tengah stemi tidak dm 270 perempuan d tengah uap tidak dm 271 perempuan d tengah uap tidak dm 272 laki-laki d tengah uap tidak dm
273 perempuan d muda uap tidak dm
274 perempuan d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
275 laki-laki d tengah stemi tidak dm
276 laki-laki d muda stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
277 laki-laki d tengah stemi tidak dm 278 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 279 perempuan d lanjut stemi tidak dm 280 laki-laki d muda stemi tidak dm 281 laki-laki d tengah stemi tidak dm 282 laki-laki d tengah stemi tidak dm 283 perempuan d tengah stemi tidak dm 284 laki-laki d lanjut stemi tidak dm
285 laki-laki d tengah stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
286 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 287 laki-laki d tengah stemi tidak dm 288 laki-laki d tengah stemi tidak dm 289 laki-laki d tengah stemi tidak dm 290 laki-laki d lanjut stemi tidak dm 291 laki-laki d tengah stemi tidak dm 292 perempuan d muda stemi tidak dm 293 laki-laki d tengah stemi tidak dm 294 laki-laki d muda stemi tidak dm 295 laki-laki d muda stemi tidak dm 296 perempuan d lanjut stemi tidak dm 297 laki-laki d tengah stemi tidak dm 298 laki-laki d tengah stemi tidak dm 299 laki-laki d tengah stemi tidak dm
300 laki-laki d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
301 perempuan d lanjut stemi dm tdk trknrtl injeksi insulin
(11)
Lampiran 5
Hasil Pengolahan Data dengan Program SPSS
Frequencies
Statistics
u jk jenis dm hba1c obat
N Valid 302 302 302 302 302 302
Missing 0 0 0 0 0 0
Frequency Table
Usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid dewasa muda 35 11.6 11.6 11.6
dewasa tengah 157 52.0 52.0 63.6
dewasa lanjut 110 36.4 36.4 100.0
Total 302 100.0 100.0
Jenis kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid laki-laki 225 74.5 74.5 74.5
(12)
Valid laki-laki 225 74.5 74.5 74.5
perempuan 77 25.5 25.5 100.0
Total 302 100.0 100.0
Jenis SKA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid stemi 192 63.6 63.6 63.6
nstemi 68 22.5 22.5 86.1
uap 42 13.9 13.9 100.0
Total 302 100.0 100.0
Dm
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid tidak dm 200 66.2 66.2 66.2
dm 102 33.8 33.8 100.0
(13)
hba1c
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 200 66.2 66.2 66.2
terkontrol 6 2.0 2.0 68.2
tdk trknrtl 96 31.8 31.8 100.0
Total 302 100.0 100.0
Obat Anti Diabetik
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 200 66.2 66.2 66.2
insulin 77 25.5 25.5 91.7
oral 4 1.3 1.3 93.0
kombinasi 16 5.3 5.3 98.3
tidak ada 5 1.7 1.7 100.0
(14)
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis ska * jenis kelamin
302 100.0% 0 .0% 302 100.0%
jenis * jk Crosstabulation
Count
jk
Total laki-laki perempuan
Jenis stemi 159 33 192
nstemi 43 25 68
uap 23 19 42
Total 225 77 302
jenis ska* usia Crosstabulation
Count
usia
Total dewasa muda dewasa tengah dewasa lanjut
(15)
nstemi 1 39 28 68
uap 4 19 19 42
Total 35 157 110 302
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis ska * dm 302 100.0% 0 .0% 302 100.0%
jenis * dm Crosstabulation
Count
dm
Total tidak dm dm
jenis stemi 129 63 192
nstemi 41 27 68
uap 30 12 42
(16)
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis ska * dm 302 100.0% 0 .0% 302 100.0%
Jenis ska * dm Crosstabulation
Count
dm
Total tidak dm dm
jenis stemi 129 63 192
nstemi 41 27 68
uap 30 12 42
Total 200 102 302
Jenis ska * hba1c Crosstabulation
Count
hba1c
Total terkontrol tdk trknrtl
jenis stemi 129 3 60 192
(17)
uap 30 1 11 42
Total 200 6 96 302
dm * hba1c Crosstabulation
Count
hba1c
Total terkontrol tdk trknrtl
dm tidak dm 200 0 0 200
dm 0 6 96 102
Total 200 6 96 302
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis * obat 302 100.0% 0 .0% 302 100.0%
dm * obat 302 100.0% 0 .0% 302 100.0%
jenis * obat Crosstabulation
Count
obat
Total insulin oral kombinasi tidak ada
(18)
Total 200 77 4 16 5 302
dm * obat Crosstabulation
Count
Obat
Total insulin Oral kombinasi tidak ada
dm tidak dm 200 0 0 0 0 200
dm 0 77 4 16 5 102
Total 200 77 4 16 5 302
Frequencies Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis * obat 102 100.0% 0 .0% 102 100.0%
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
(19)
N Percent N Percent N Percent
jenis * hba1c 102 100.0% 0 .0% 102 100.0%
jenis * hba1c Crosstabulation
Count
hba1c
Total terkontrol tdk trknrtl
jenis stemi 3 60 63
nstemi 2 25 27
uap 1 11 12
Total 6 96 102
Statistics
hba1c obat
N Valid 102 102
Missing 0 0
Frequency Table
hba1c
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid terkontrol 6 5.9 5.9 5.9
tdk trknrtl 96 94.1 94.1 100.0
Total 102 100.0 100.0
obat
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid insulin 77 75.5 75.5 75.5
oral 4 3.9 3.9 79.4
kombinasi 16 15.7 15.7 95.1
tidak ada 5 4.9 4.9 100.0
(20)
DAFTAR PUSTAKA
Adam, M.F., 2009. Diabetes Melitus Gestasional. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 1952-1956.
Alajbegović, Metelko, Resić et al., 2006. Prevalence and Significance of Diabetes in Patiens with Acute Myocardial Infarction. Kroasia: Diabetologica Croatia. Citted from: http://www.idb.hr/diabetologia/06no4-2.pdf (diakses: 28 Mei 2015)
American Diabetes Association (ADA), 2004. Diagnosis and Classification of DM. Diabetes Care. Citted from: http:// care. diabetesjournals. org/ content/ 27/suppl_1/s5.full.pdf (diakses: 16 April 2015)
American Diabetes Association (ADA), 2014. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care. Citted from:
http://care.diabetesjournals.org/content (diakses: 16 April 2015)
American Heart Association (AHA), 2010. ACCF/AHA Guideline for Assessment of Cardiovascular Risk in Asymptomatic Adults. ACCF/AHA Practice Guidelines. Citted from: http://circ.ahajournals.org (diakses: 16 April 2015) Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction. Dalam: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi 16. USA: McGraw-Hill, 1449- 1450.
Arcellia, Fanny. 2013. Prevalensi dislipidemia pada pasien sindroma koroner akut yang dirawat di unit rawat kardiovaskular Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Tahun 2011. USU Institutional Repository, Medan. Citted from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/38947
Boyer, N. et al., 2012. Trends in Clinical, Demographic, and Biochemical Characteristics of Patients With Acute Myocardial Infarction From 2003 to
(21)
41
http://jaha.ahajournals.org/content/1/4/e001206.full.pdf+html (diakses: 28 Mei 2015).
Brown, T.C., 2006. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M., ed. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 580-587.
Chilton, Robert J, 2004. Pathophysiology of Coronary Heart Disease : A Brief Review. The Journal of the American Osteopathic Association, September 2004, vol. 104.
Departemen Kesehatan (DEPKES RI), 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI (DEPKES RI), 2007. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta.
Esteghamati, Abbasi , Nakhjavani, Yousefizadeh et al., 2006. Prevalence of diabetes and other cardiovascular risk factors in an Iranian population with acute coronary syndrome. Cardiovarcular Diabetology vol. 5. Citted from http://www.cardiab.com/content/5/1/15 (diakses: 26 Mei 2015).
Foo RSY, De Bono DP, 2010. Concepts in Acute Coronary Syndromes. Singapore Med J, 41(12), 606-610.
Haffner, SM., D'Agostino, R,. Mykkanen, L,. et al., 1998. Insulin Sensitivity in Subjects with Type 2 Diabetes, Relationship to Cardiovascular Risk Factors: the Insulin Resistance Atherosclerosis Study. Diabetes Care, April 1999.
Hamm, Christian W., Bassand, Jean-Pierre., Agewall, S., Bax, J., Boersma, E., Bueno, H. et al., 2011. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. European Heart Journal 2011 vol. 32, 2999–3054.
(22)
Hussain, K., 2010. Mutations in Pancreatic ß-cell Glucokinase as a Cause of Hyperinsulinaemic Hypoglycaemia and Neonatal Diabetes Mellitus. Rev Endocrine Metababolic Disorder, November 2010, 179–183.
Ismantri, F., 2009. Prevalensi Penderita Penyakit Jantung Koroner yang Menjalani Intervensi Koroner Perkutan di Rumah Sakit Binawaluya tahun 2008-2009. Jakarta: Jurnal Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah. Jialal, Crettaz, Hachiya, Kahn et al., 1985. Characterization of the Receptors for
Insulin and the Insulin-like Growth Factors on Micro-and Macrovascular Tissues. Endocrinology 117, 1222–1229.
Kleinschmidt, K.C., 2006. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv Stud Med. 6 (6B), 477-482. Citted from http://www.jhasim .com/files/articlefiles/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_R1.pdf (diakses: 20 April 2015)
Kumar, A., Cannon, C.P.,2009. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management, part I-II, Mayo Clinic.
Ligaray, P., 2010. Diabetes Mellitus, Type 2: Treatment & Medication. Medscape. Department of Endocrinology, Diabetes and Metabolism, St Louis University. Citted from: http://emedicine.medscape.com/article/117853-treatmentdm2 (diakses 20 April 2015)
Lazzeri, Chiara, dkk,. 2014. Clinical significance of glycated hemoglobin in the acute phase of ST elevation myocardial infarction. World Journal of Cardiology. Citted from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3999334/
Manaf A., 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam: Insulin : Mekanisme Sekresi Dan Aspek Metabolisme, Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi 4.
(23)
43
Melati, R., Basuki, Setianto, 2008. Relationship Between Job Strain and Myocardial Infarction in The National Cardiovascular Center Patient. Jurnal Kedokteran Indonesia; 29: 12-19.
Muchid, A., Umar, F., Purnama, N.R. et al. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut, Departemen Kesehatan, Jakarta, 15-22.
Nathan, DM., 1993. Long-term Complications of Diabetes Mellitus, New England Journal of Medicine; 328, 1676-1685.
Putri, Asyifa., 2014. Hubungan Kadar Kolesterol dengan Sindrom Koroner Akut di RSUP H. Adam Malik Tahun 2011-2012, USU Institutional Repository, Medan. Citted from : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/42919 Riedker, P.M., Libby, P., 2007. Risk Factor for Atherotrombotic Disease. Dalam:
Sulastomo, H., 2010. Sindroma Koroner Akut dengan Gangguan Metabolik pada Wanita Usia Muda Pengguna Kontrasepsi Hormonal. Departemen Pengobatan Jantung dan Pembuluh FK UI, Jakarta. Citted from http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php? id=355 (diakses: 5 Mei 2015) Santoso, T., 1991. Infark Miokard Akut, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,
Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, hal 297-304.
Shahab, A.,2009. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, edisi 5 , Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 1937-1946.
Sashitharran., 2014. Prevalensi Faktor Resiko Mayor pada Pasien Sindroma Koroner Akut Periode Januari hingga Desember 2013 yang Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik. USU Institutional Repository, Medan.
(24)
Sherwood, Lauralee, 2001. Konsekuensi yang Berkaitan dengan Efek pada Metabolisme Karbohidrat. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem, Edisi 4, Jakarta: EGC , 783-784.
Tjay, T. H., 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 193.
Vague, Juhan., Pyke, Alessi et al. ,1996. Fibrinolytic Factors and the Risk of Myocardial Infarction or Sudden Death in Patients with Angina Pectoris, Circulation, 2057-2063.
(25)
21
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep
Pada penelitian ini kerangka konsep tentang prevalensi Diabetes Mellitus (DM) pada penderita Sindroma Koroner Akut (SKA).
Variabel Independen Variabel Dependen
3.2. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel-variabel yang akan diteliti adalah penderita Diabetes Mellitus (DM) dan penderita Sindroma Koroner Akut (SKA).
a. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan – gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau relatif aktivitas dan atau sekresi insulin. Gejala – gejala yang khas adalah poliuria, polidipsia, polifagia.
Sindroma Koroner Akut ST Elevation Myocardial
Infarction (STEMI)
Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
Unstable Angina Pectoris (UAP)
Diabetes Mellitus Usia
Jenis kelamin
HbA1c
Jenis Obat Anti Diabetik yang
(26)
Diagnosa diabetes mellitus ditegakkan apabila kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah dua jam setelah makan >200 mg/dL, atau sebelumnya telah didiagnosa mengalami DM.
b. Sindroma Koroner Akut
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan klasifikasi kegawatdaruratan koroner dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium yang terdiri dari : infark miokard akut dengan elevasi segmen (STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi ST-segmen (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil (APTS).
c. STEMI
Pada EKG tampak ST-segmen elevasi dan gelombang Q-patologis yang disebut ST-segmen Elevasi Miokard Infark. Apabila hanya cabang profunda yang tersumbat, atau mungkin tidak tersumbat namun tiba-tiba terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang hebat, maka kerusakan miokard terjadi hanya terbatas pada subendokard.
d. NSTEMI
Pada EKG tampak gelombang Q-patologis dan ST-elevasi yang disebut Non ST-segmen Elevasi Miokard Infrak.
e. Angina pektoris tidak stabil
APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Tetapi pada APTS pertanda biokimia nekrosis miokard tidak meninggi.
(27)
23
Tabel 3.1. Defenisi Operasional Variabel Defenisi
Operasional
Alat dan Cara Ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur
Usia Usia pasien
SKA pada penelitian dinyatakan dalam tahun kemudian dikategorikan. Rekam Medik Dikategorikan sebagai: a).18-45tahun
b).46 – 59 tahun c).≥ 60 tahun (WHO, 2010)
Nominal
Jenis Kelamin
Jenis kelamin pasien SKA pada penelitian. Rekam Medik a).Laki-laki b).Perempuan Nominal Diabetes Mellitus
Kejadian DM pada pasien SKA. Rekam Medik a). DM b).Tidak DM Nominal
HbA1c Parameter mengenai kadar glukosa darah rata-rata seseorang selama tiga bulan terakhir pada pasien SKA yang mengalami DM.
Rekam Medik
a). Terkontrol(< 6,5%) b).Tidak terkontrol
(≥6,5%) (ADA, 2014)
(28)
Jenis Obat yang Digunakan
Jenis pengobatan yang diterima oleh pasien SKA yang mengalami DM.
Rekam Medik
a).Obat anti diabetik oral
b).Injeksi insulin
c).Kombinasi obat anti diabetik oral dan injeksi insulin
d).Tidak mengonsumsi obat anti diabetik
(29)
25
BAB 4
METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional (potong lintang) yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap prevalensi Diabetes Mellitus (DM) pada penderita Sindroma Koroner Akut (SKA). Desain cross sectional adalah suatu desain penelitian dimana pengumpulan data atau variabel yang akan diteliti berupa variabel dependen dan independen dinilai secara simultan pada satu waktu yang dalam penelitian ini melalui rekam medis penderita SKA yang dirawat di Cardiac Center Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai dengan Desember 2014.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Cardiac Center Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Lokasi ini dipilih karena merupakan rumah sakit pendidikan dan rujukan di Sumatera Utara serta mudah dijangkau. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2015.
4.3. Populasi dan Sampel Populasi 4.3.1.Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian.Populasi penelitian ini berasal dari data sekunder yaitu rekam medik seluruh pasien yang menderita Sindroma Koroner Akut di Cardiac Center RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari sampai dengan Desember 2014.
4.3.2.Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti dan diharapkan dapat mewakili kondisi dari populasi yang diteliti. Perhitungan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini dilakukan dengan metode total sampling, dimana sampel yang digunakan adalah semua populasi yang sesuai dengan kriteria penelitian.
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah seluruh pasien sindroma koroner akut yang menderita diabetes mellitus, sementara kriteria eksklusi yang digunakan
(30)
adalah pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus dan juga bukan dalam kriteria sindroma koroner akut pada rekam medik sesuai dengan periode waktu yang telah ditentukan.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Dari data sekunder tersebut kemudian dilakukan observasi untuk mengetahui prevalensi diabetes mellitus pada penderita sindroma koroner akut yang dirawat di Cardiac Center Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
4.5. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan dan analisa data dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data, analisis/interpretasi data, dan pengambilan kesimpulan. Data yang diperoleh pada penelitian ini kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Window untuk menentukan prevalensi diabetes mellitus pada penderita sindroma koroner akut.
(31)
27
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1.2.Hasil Penelitian
Pengambilan data penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu mulai bulan September hingga Oktober 2015 di bagian rekam medik RSUP Haji Adam Malik Medan. Dari 459 buah rekam medik pasien dengan Sindroma Koroner Akut yang diperiksa, ditemukan 302 buah rekam medik pasien dengan sindroma koroner akut yang memenuhi kriteria untuk dimasukkan sebagai sampel. Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data rekam medik, maka dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut.
5.1.1.Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan Rumah Sakit Tipe A sesuai dengan SK Menkes No. 355/Menkes/SK/VII/1990. RSUP Haji Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan Rumah Sakit Pusat Rujukan untuk daerah pembangunan A yang meliputi propinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien-pasien dengan latar belakang yang bervariasi. Selain alasan diatas, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5.2.2.Karakteristik Responden
Dari hasil analisis data prevalensi Diabetes Melitus pada pasien Sindroma Koroner Akut di Cardiac Center Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai Desember 2014 diperoleh hasil sebagai berikut :
(32)
Tabel 5.1 Karakteristik Responden
No. Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%) Jenis Kelamin
1 Laki-laki 229 75.8
2 Perempuan 73 24.2
Total 302 100.0
Usia
1 18-45 tahun 35 11.6
2 46-59 tahun 157 51.9
3 ≥ 60 tahun 110 36.5
Total 302 100.0
Jenis SKA
1 UAP 42 13.9
2 STEMI 192 63.6
3 NSTEMI 68 22.5
Total 302 100.0
Diabetes Melitus
1 DM 102 33.8
2 Tidak DM 200 66.2
Total 302 100.0
Kadar HbA1c
1 Terkontrol (< 6.5%) 6 5.8
2 Tidak Terkontrol (≥ 6.5%) 96 94.2
Total 102 100.0
Jenis Anti-diabetik
1 Injeksi Insulin 77 75.5
2 Anti-diabetik Oral 4 3.9
3 Kombinasi 16 15.7
4 Tidak Menggunakan 5 4.9
(33)
29
Dari tabel 5.1 distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin didapatkan 229 pasien dengan jenis kelamin laki-laki (75.8%) dan 73 pasien dengan jenis kelamin perempuan (24.2%). Pada pengamatan berdasarkan usia didapatkan pasien dengan usia 18-45 tahun (dewasa muda) sebanyak 35 pasien (11.6%), pasien dengan usia 46-59 tahun (dewasa tengah) sebanyak 157 pasien (51.9%), dan pasien dengan usia ≥ 60 tahun (dewasa lanjut) sebanyak 110 pasien (36.5%). Pada pengamatan terhadap pasien-pasien SKA berdasarkan jenis SKA yang diderita, didapatkan hasil terbanyak dengan diagnosa STEMI dengan jumlah 192 pasien (63.6%), kemudian diikuti dengan diagnosa NSTEMI dengan jumlah 68 pasien (22.5%), dan pasien dengan diagnosa UAP dengan jumlah 42 pasien (13.9%). Pada pengamatan berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM pada pasien-pasien SKA, didapatkan sebanyak 102 pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM (33.8%), sedangkan 200 pasien tidak memiliki riwayat atau diagnosa DM (66.2%). Pada pengamatan terhadap pasien-pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c sebagai indikator kadar gula darah dalam 3 bulan terakhir didapatkan bahwa 96 pasien (94.2%) dengan kadar gula darah tidak terkontrol dan 6 pasien (5.8%) dengan kadar gula darah terkontrol. Kemudian pada pengamatan terhadap 102 pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis pengobatan anti-diabetik sesuai dengan yang tertera di rekam medik pasien didapatkan hasil sebanyak 77 pasien (75.5%) menggunakan terapi jenis injeksi insulin, 4 pasien (3.9%) menggunakan terapi anti-diabetik oral, 16 pasien (15.7%) menggunakan terapi kombinasi injeksi insulin dan anti-diabetik oral, sedangkan 5 pasien (4.9%) tidak menggunakan terapi anti-diabetik.
(34)
5.1.3.Hasil Analisis Data
Karakteristik pasien SKA yang dirawat di Cardiac Center RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai Desember 2014 berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabulasi silang di bawah ini :
Tabel 5.2 Distribusi Pasien SKA berdasarkan Jenis Kelamin
No. SKA
Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
N % N % N %
1 STEMI 159 52.7 33 10.9 192 63.6
2 NSTEMI 43 14.2 25 8.3 68 22.5
3 UAP 27 8.9 15 5.0 42 13.9
Total 229 75.8 73 24.2 302 100.0
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui distribusi pasien SKA jenis STEMI berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 159 pasien laki-laki (52,7%) dan 33 pasien perempuan (10,9%). Prevalensi pasien SKA jenis NSTEMI berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 43 pasien laki-laki (14,2%) dan 25 pasien perempuan (8,3%). Prevalensi pasien SKA jenis UAP berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 27 pasien laki-laki (8,9%) dan 15 pasien perempuan (5,0%). Dapat disimpulkan bahwa pasien SKA paling banyak menderita STEMI dengan jenis kelamin laki-laki dengan persentase keseluruhan sebesar 75.8%.
(35)
31
Tabel 5.3 Distribusi Pasien SKA berdasarkan Usia
No. SKA
Usia
Total Dewasa
muda (18-45 tahun )
Dewasa Tengah (46-59 tahun)
Dewasa Lanjut (≥60 tahun)
N % N % N % N %
1 STEMI 30 10.0 99 32.8 63 20.8 192 63.6
2 NSTEMI 1 0.3 39 12.9 28 9.3 68 22.5
3 UAP 4 1.3 19 6.3 19 6.3 42 13.9
Total 35 11.6 157 51.9 110 36.5 302 100.0
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui prevalensi pasien SKA jenis STEMI berdasarkan usia terdiri dari 30 pasien berusia 18-45 tahun (10.0%), 99 pasien berusia 46-59 tahun (32.8%), dan 63 pasien berusia ≥ 60 tahun (20.8%). Prevalensi pasien SKA jenis NSTEMI berdasarkan usia terdiri dari 1 pasien berusia 18-45 tahun (0.3%), 39 pasien berusia 46-59 tahun (12.9%), dan 28 pasien berusia ≥ 60 tahun (9.3%). Prevalensi pasien SKA jenis UAP berdasarkan usia terdiri dari 4 pasien berusia 18-45 tahun (1.3%), 19 pasien berusia 46-59 tahun (6.3%), dan 19 pasien berusia ≥ 60 tahun (6.3%). Dapat disimpulkan bahwa pasien SKA terbanyak adalah kategori dewasa tengah (46-59 tahun) dengan persentase 51.9%, diikuti oleh pasien dengan usia kategori dewasa lanjut (≥60 tahun) sebesar 36.5%, dan pasien dengan usia kategori dewasa muda (18-45 tahun) sebesar 11.6%.
(36)
Tabel 5.4 Prevalensi Pasien SKA dengan Riwayat atau Diagnosa DM
No. SKA
Diabetes Melitus
Total
DM Tidak DM
N % N % N %
1 STEMI 63 20.9 129 42.7 192 63.6
2 NSTEMI 27 8.9 41 13.6 68 22.5
3 UAP 12 4.0 30 9.9 42 13.9
Total 102 33.8 200 66.2 302 100.0
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui prevalensi pasien SKA jenis STEMI berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM terdiri dari 63 pasien DM (20.9%) dan 129 pasien tidak DM (42.7%). Prevalensi pasien SKA jenis NSTEMI berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM terdiri dari 27 pasien DM (8.9%) dan 41 pasien tidak DM (13.6%). Prevalensi pasien SKA jenis UAP berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM terdiri dari 12 pasien DM (4.0%) dan 30 pasien tidak DM (9.9%). Dapat disimpulkan bahwa pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM paling banyak adalah jenis STEMI.
Tabel 5.5 Prevalensi Pasien SKA dengan DM berdasarkan Kadar HbA1c
No. Diagnosa
Kadar HbA1c
Total Terkontrol Tidak Terkontrol
N % N % N %
1 STEMI+DM 3 2.9 60 58.8 63 61.7
2 NSTEMI+DM 2 2.0 25 24.5 27 26.5
3 UAP+DM 1 0.9 11 10.9 12 11.8
Total 6 5.8 96 94.2 102 100.0
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui prevalensi pasien SKA jenis STEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c terdiri dari 3 pasien dengan kadar HbA1c terkontrol (2.9%) dan 60 pasien dengan kadar HbA1c
(37)
33
tidak terkontrol (58.8%). Prevalensi pasien SKA jenis NSTEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c terdiri dari 2 pasien dengan kadar HbA1c terkontrol (2.0%) dan 25 pasien dengan kadar HbA1c tidak terkontrol (24.5%). Prevalensi pasien SKA jenis UAP dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c terdiri dari 1 pasien dengan kadar HbA1c terkontrol (0.9%) dan 11 pasien dengan kadar HbA1c tidak terkontrol (10.9%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM memiliki kadar HbA1c yang tidak terkontrol (94.2%), sedangkan pada 6 pasien didapatkan kadar HbA1c yang terkontrol.
Tabel 5.6 Prevalensi Pasien SKA dengan DM berdasarkan Obat Anti-diabetik
No. Diagnosa
Jenis Obat Anti-diabetik
Total Injeksi Insulin Anti-diabetik Oral Kombinasi Tidak Mengguna kan Anti-diabetik
N % N % N % N % N %
1 STEMI+
DM
49 48.0 2 1.9 9 8.8 3 3.0 63 61.7
2 NSTEMI
+DM
19 18.7 1 1.0 5 4.9 2 1.9 27 26.5
3 UAP+DM 9 8.8 1 1.0 2 2.0 0 0.0 12 11.8
Total 77 75.5 4 3.9 16 15.7 5 4.9 102 100.0
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui prevalensi pasien SKA jenis STEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis anti-diabetik yang digunakan terdiri dari 49 pasien menggunakan anti-diabetik jenis injeksi insulin (48.0%), 2 pasien menggunakan anti-diabetik jenis oral (1.9%), 9 pasien menggunakan anti-diabetik kombinasi injeksi insulin dan anti-diabetik oral (8.8%), sedangkan 3 pasien tidak menggunakan obat anti-diabetik (3.0%).
(38)
Prevalensi pasien SKA jenis NSTEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis anti-diabetik yang digunakan terdiri dari 19 pasien menggunakan anti-diabetik jenis injeksi insulin (18.7%), 1 pasien menggunakan anti-diabetik jenis oral (1.0%), 5 pasien menggunakan anti-diabetik kombinasi injeksi insulin dan anti-diabetik oral (4.9%), sedangkan 2 pasien tidak menggunakan obat anti-diabetik (1.9%). Prevalensi pasien SKA jenis UAP dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis anti-diabetik yang digunakan terdiri dari 9 pasien menggunakan anti-diabetik jenis injeksi insulin (8.8%), 1 pasien menggunakan anti-diabetik jenis oral (1.0%), dan 2 pasien menggunakan anti-diabetik kombinasi injeksi insulin dan anti-diabetik oral (1.9%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM menggunakan obat anti-diabetik jenis injeksi insulin dengan persentase 75.5%, kemudian diikuti penggunaan anti-diabetik kombinasi sebesar 15.7%, penggunaan diabetik oral sebesar 3.9% dan sebanyak 4.9% tidak menggunakan anti-diabetik.
5.2. Pembahasan
Dari hasil analisis data berdasarkan karakteristik responden diperoleh hasil distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin didapatkan 229 pasien dengan jenis kelamin laki-laki (75.8%) dan 73 pasien dengan jenis kelamin perempuan (24.2%). Distribusi pasien SKA jenis STEMI berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 159 pasien laki-laki (52.7%) dan 33 pasien perempuan (10.9%). Distribusi pasien SKA jenis NSTEMI berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 43 pasien laki-laki (14.2%) dan 25 pasien perempuan (8.3%). Distribusi pasien SKA jenis UAP berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 27 pasien laki-laki (8.9%) dan 15 pasien perempuan (5.0%). Dapat disimpulkan bahwa pasien SKA paling banyak menderita STEMI dengan jenis kelamin laki-laki. Hal ini mungkin berkaitan dengan beberapa hipotesa yang menyimpulkan bahwa kadar estrogen yang tinggi pada wanita dapat menjadi salah satu faktor proteksi terjadinya SKA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Arcellia (2013) terhadap pasien-pasien di lokasi yang sama dengan kriteria yang hampir sama
(39)
35
yang menunjukkan prevalensi pasien SKA laki-laki (85%) lebih banyak dibandingkan pasien SKA dengan jenis kelamin perempuan (15%).
Berdasarkan usia didapatkan pasien dengan usia 18-45 tahun sebanyak 35 pasien (11.6%), pasien dengan usia 46-59 tahun sebanyak 157 pasien (51.9%), dan pasien dengan usia ≥ 60 tahun sebanyak 110 pasien (36.5%). Distribusi pasien SKA jenis STEMI berdasarkan usia terdiri dari 30 pasien berusia 18-45 tahun (10.0%), 99 pasien berusia 46-59 tahun (32.8%), dan 63 pasien berusia ≥ 60 tahun (20.8%). Distribusi pasien SKA jenis NSTEMI berdasarkan usia terdiri dari 1 pasien berusia 18-45 tahun (0.3%), 39 pasien berusia 46-59 tahun (12.9%), dan 28 pasien berusia ≥ 60 tahun (9.3%). Distribusi pasien SKA jenis UAP berdasarkan usia terdiri dari 4 pasien berusia 18-45 tahun (1.3%), 19 pasien berusia 46-59 tahun (6.3%), dan 19 pasien berusia ≥ 60 tahun (6.3%). Dapat disimpulkan bahwa pasien SKA terbanyak adalah usia 46-59 tahun dengan persentase 51.9%, diikuti oleh pasien dengan usia ≥60 tahun sebesar 36.5%, dan pasien dengan usia 18-45 tahun sebesar 11.6%. Hasil ini menunjukkan bahwa sesuai dengan teori patogenesis SKA berlangsung secara kronik hungga puluhan tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Putri (2014) terhadap pasien-pasien di lokasi yang sama dengan kriteria yang hampir sama yang menunjukkan prevalensi pasien SKA terbanyak berusia 40-60 tahun sebesar 67,0%.
Pada pengamatan berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM pada pasien-pasien SKA, didapatkan sebanyak 102 pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM (33.8%), sedangkan 200 pasien tidak memiliki riwayat atau diagnosa DM (66.2%). prevalensi pasien SKA jenis STEMI berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM terdiri dari 63 pasien DM (20.9%) dan 129 pasien tidak DM (42.7%). Prevalensi pasien SKA jenis NSTEMI berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM terdiri dari 27 pasien DM (8.9%) dan 41 pasien tidak DM (13.6%). Prevalensi pasien SKA jenis UAP berdasarkan adanya riwayat atau diagnosa DM terdiri dari 12 pasien DM (4.0%) dan 30 pasien tidak DM (9.9%).
(40)
Dapat disimpulkan bahwa pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM paling banyak adalah jenis STEMI. Pada penelitian yang dilakukan Sashitharran (2014) terhadap pasien-pasien di lokasi yang sama dengan kriteria yang hampir sama yang menunjukkan prevalensi pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM sebesar 25,3% dengan prevalensi pasien STEMI dengan DM sebesar 20,9%, prevalensi NSTEMI dengan DM sebesar 3,8%, dan prevalensi UAP dengan DM sebesar 0,6%. Pada penelitian lainnya yang dilakukan Esteghamati dkk. (2006) di Iran terhadap pasie-pasien SKA dengan kriteria yang hampir sama dengan penelitian ini didapatkan hasil sebanyak 134 pasien (30%) dari jumlah total 514 pasien SKA menderita DM.
Pada pengamatan terhadap pasien-pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c sebagai indikator kadar gula darah dalam 3 bulan terakhir didapatkan bahwa 96 pasien (94.2%) dengan kadar gula darah tidak terkontrol dan 6 pasien (5.8%) dengan kadar gula darah terkontrol. Distribusi pasien SKA jenis STEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c terdiri dari 3 pasien dengan kadar HbA1c terkontrol (2.9%) dan 60 pasien dengan kadar HbA1c tidak terkontrol (58.8%). Distribusii pasien SKA jenis NSTEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c terdiri dari 2 pasien dengan kadar HbA1c terkontrol (2.0%) dan 25 pasien dengan kadar HbA1c tidak terkontrol (24.5%). Distribusi pasien SKA jenis UAP dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan kadar HbA1c terdiri dari 1 pasien dengan kadar HbA1c terkontrol (0.9%) dan 11 pasien dengan kadar HbA1c tidak terkontrol (10.9%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM memiliki kadar HbA1c yang tidak terkontrol (94.2%), sedangkan pada 6 pasien didapatkan kadar HbA1c yang terkontrol. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lazerri dkk. (2014) terhadap 360 pasien SKA dengan DM didapatkan hasil sebesar 98,3% dari jumlah pasien-pasien tersebut memiliki kadar HbA1c ≥ 6,5% (tidak terkontrol).
(41)
37
Kemudian pada pengamatan terhadap 102 pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis pengobatan anti-diabetik sesuai dengan yang tertera di rekam medik pasien didapatkan hasil sebanyak 74 pasien (72.5%) menggunakan terapi jenis injeksi insulin, 4 pasien (3.9%) menggunakan terapi anti-diabetik oral, 16 pasien (15.7%) menggunakan terapi kombinasi injeksi insulin dan anti-diabetik oral, sedangkan 6 pasien (7.9%) tidak menggunakan terapi anti-diabetik. Distribusi pasien SKA jenis STEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis anti-diabetik yang digunakan terdiri dari 49 pasien menggunakan anti-diabetik jenis injeksi insulin (48.0%), 2 pasien menggunakan anti-diabetik jenis oral (1.9%), 9 pasien menggunakan anti-diabetik kombinasi injeksi insulin dan anti-diabetik oral (8.8%), sedangkan 3 pasien tidak menggunakan obat anti-diabetik (3.0%). Distribusi pasien SKA jenis NSTEMI dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis anti-diabetik yang digunakan terdiri dari 19 pasien menggunakan anti-diabetik jenis injeksi insulin (18.7%), 1 pasien menggunakan diabetik jenis oral (1.0%), 5 pasien menggunakan anti-diabetik kombinasi injeksi insulin dan anti-anti-diabetik oral (4.9%), sedangkan 2 pasien tidak menggunakan obat anti-diabetik (1.9%). Distribusi pasien SKA jenis UAP dengan riwayat atau diagnosa DM berdasarkan jenis anti-diabetik yang digunakan terdiri dari 9 pasien menggunakan anti-diabetik jenis injeksi insulin (8.8%), 1 pasien menggunakan anti-diabetik jenis oral (1.0%), dan 2 pasien menggunakan anti-diabetik kombinasi injeksi insulin dan anti-diabetik oral (1.9%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien SKA dengan riwayat atau diagnosa DM menggunakan obat anti-diabetik jenis injeksi insulin dengan persentase 75.5%, kemudian diikuti penggunaan anti-diabetik kombinasi sebesar 15.7%, penggunaan anti-diabetik oral sebesar 3.9% dan sebanyak 4.9% tidak menggunakan anti-diabetik.
(42)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian prevalensi DM pada pasien SKA yang dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari sampai Desember 2014 diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Angka kejadian SKA di RSUP. Haji Adam Malik pada tahun 2014 yaitu sebanyak 459 orang, sementara yang memenuhi kriteria sebagai sampel yaitu sebanyak 302 orang.
Tipe SKA yang paling banyak dialami pasien yaitu tipe STEMI dengan total jumlah pasien 192 orang (63,6%).
Pasien dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 229 orang dan pasien perempuan yaitu sebanyak 73 orang.
Pasien SKA terbanyak ialah pasien pada kelompok usia 46-59 tahun yaitu sebanyak 157 orang (51,9%).
2. Prevalensi DM pada pasien SKA yang dirawat di Cardiac RSUP. Haji Adam Malik pada tahun 2014 sebesar 102 orang (33,8%), tipe STEMI merupakan tipe SKA dengan tingkat keparahan tertinggi pada faktor resiko Diabetes Melitus (20,9%).
Kadar HbA1c yang tidak terkontrol pada pasien SKA dengan DM sebesar 96 orang (94,2%).
Penggunaan obat anti-diabetik terbanyak pada pasien SKA dengan DM adalah jenis injeksi insulin sebanyak 77 orang (75,5%).
(43)
39
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat disampaikan adalah :
1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar sebagai acuan untuk penelitian-penelitian berikutnya terutama yang berkaitan dengan SKA dan DM. Diharapkan melalui penelitian ini, tenaga kesehatan dapat mengenali lebih dalam tentang DM sebagai salah satu faktor resiko terjadinya SKA.
2. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih peduli terhadap kesehatan terutama yang berkaitan dengan DM dan SKA, dan sangat disarankan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, hal ini untuk menghindari faktor resiko penyakit dan dapat mengambil tindakan preventif.
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar sebagai acuan untuk penelitian-penelitian berikutnya terutama yang berkaitan dengan SKA dan DM.
(44)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1 Defenisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia yang dihasilkan dari cacat sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronis pada pasien diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. DM disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara genetika, faktor lingkungan, dan pilihan gaya hidup (ADA,2014).
2.1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association, DM diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:
a. Diabetes Mellitus tipe 1
DM tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “Insulin dependent” atau “Ketosis prone”. Istilah “juvenile onset” sendiri diberikan karena onset DM tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada akhir usia 30 atau menjelang 40.
Karakteristik dari DM tipe 1 adalah insulin yang beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus yang meningkatkan sekresi insulin (Husain, 2010). b. Diabetes Mellitus tipe 2
DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi pada orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab gangguan kerja insulin, merupakan faktor resiko yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya
(45)
5
penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel ß pankreas terhadap glukosa.
Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar. Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang komplikasi dapat terjadi. Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak‐anak yang obesitas (Ligaray, 2010).
c. Gestational Diabetes
DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan (WHO, 2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya namun memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM gestasional. DM gestasional biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan trimester II atau III (setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan) dan umumnya hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. Diabetes gestasional terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Adam, 2009).
d. Diabetes Mellitus tipe lain Diabetes mellitus tipe lain terdiri dari:
1. Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi di : a) kromosom 12, HNF-α
b) kromosom 7, glukokinase c) kromosom 20, HNF-α
d) kromosom 13,insulin promoter factor
e) kromosom 17, HNF-1β
f) kromosom 2, Neuro D DNA mitokondria
2. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, Eprechaunism, Sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, dan lainnya.
3. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemikromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, dan lainnya.
4. Endokrinopati: akromegali, Sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, dan lainnya.
(46)
5. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, dan lainnya.
6. Infeksi : rubella kongenital, CMV.
7. Immunologi : sindrom Stiffman, antibodi antireseptor insulin.
8. Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, porfiria, sindrom Prader Willi, dan lainnya(ADA, 2014).
2.1.3 Patofisiologi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu :
a. Rusaknya sel-sel β pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll).
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
c. Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer (Manaf, 2009).
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan :
a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel tubuh, disertai peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel. b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang
difiltrasi melebihi kapasitas glomerulus serta kapasitas reabsorbsi sel-sel tubulus akan menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria.
(47)
7
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik cairan bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering berkemih).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan “sel kelaparan” akibatnya nafsu makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan yang berlebihan).
g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida. Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto kearah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan (Sherwood, 2001).
(48)
2.1.4 Kriteria diagnostik Diabetes Mellitus Kriteria untuk diagnosis diabetes mellitus adalah :
Tabel 2.1. Kriteria diagnostik Diabetes Mellitus (ADA, 2014)
1. Gejala klasik diabetes ditambah konsentrasi glukosa darah sewaktu 200 mg / dl ( 11,1 mmol /l ). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat sepanjang hari tanpa memperhatikan waktu sejak makanan terakhir. Gejala klasik diabetes meliputi poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.
Atau
2. Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa didefinisikan sebagai tidak asupan kalori selama minimal 8 jam.
Atau
3. Konsentrasi glukosa darah dua jam post-prandial 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama tes toleransi glukosa oral. Tes harus dilakukan seperti yang dijelaskanoleh WHO , menggunakan beban glukosa yang mengandung setara dengan 75g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air. Dengan tidak adanya hiperglikemia tegas , kriteria ini harus dikonfirmasi oleh tes ulang pada hari yang berbeda. Ukuran ketiga (TTGO) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin
Atau
4. Kadar HbA1c ≥6,5% dan dilakukan sesuai dengan metode yang ditetapkan dan disertifikasi oleh NGSP. HbA1c merupakan parameter mengenai kadar glukosa darah rata-rata seseorang selama tiga bulan terakhir pada pasien SKA yang mengalami DM.
2.1.5 Komplikasi Diabetes Mellitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai (DEPKES RI, 2005).
(49)
9
a. Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun pada orang-orang tertentu sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak.
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur.
c. Komplikasi makrovaskuler
Terdapat tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes, yaitu: penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya juga menderita hipertensi, dislipidemia dan atau obesitas.
d. Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara
lain retinopati, nefropati, dan neuropati .
(50)
a. Insulin
Insulin tergolong hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari pankreas babi maupun sapi, tetapi kini telah dapat disintesis dengan teknologi rekombinan DNA menggunakan E. Coli. Hormon ini dimetabolisme terutama di hati, ginjal, dan otot (DEPKES RI, 2007).
b. Obat hipoglikemia oral (OHO)
Secara umum DM dapat diatasi dengan obat-obat antidiabetes yang secara medis disebut obat hipoglikemia oral (OHO). Obat ini tidak boleh sembarangan dikonsumsi karena dikhawatirkan penderita menjadi hipoglikemia. Pasien yang mungkin berespon terhadap obat hipoglikemik oral adalah mereka yang diabetesnya berkembang kurang dari 5 tahun. Pasien yang sudah lama menderita diabetes mungkin memerlukan suatu kombinasi obat hipoglikemik dan insulin untuk mengontrol hiperglikemiknya. Obat-obat hipoglikemik oral dibagi atas 5 golongan:
Golongan sulfonilurea
Sulfonilurea menstimulasi sel-sel beta dari pulau Langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Di samping itu kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Ada indikasi bahwa obat-obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay, 2007). Golongan Biguanide
Metformin adalah satu-satunya golongan biguanide yang tersedia, bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen. Kelebihan dari golongan biguanide adalah tidak menaikkan berat badan, dapat menurunkan kadar insulin plasma, dan tidak menimbulkan masalah hipoglikemia (DEPKES RI, 2007).
Golongan penghambat alfa glukosida
Obat ini menghambat alfa-glukosidase, suatu enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti sukrose dan karbohidrat kompleks. Akarbose
(51)
11
bekerja menghambat alfa-glukosidase sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat (DEPKES RI, 2007).
Thiazolidindion
Thiazolidindion merupakan obat baru yang efek farmakologinya berupa penurunan kadar glukosa darah dan insulin dengan cara meningkatkan kepekaan insulin dari otot, jaringan lemak, dan hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti pada sulfonilurea (Tjay, 2007).
Meglitinida
Kelompok obat terbaru ini bekerja menurunkan suatu mekanisme khusus, yaitu mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera sesudah makan. Meglitinida harus diminum cepat sebelum makan, dan karena reabsorpsinya cepat maka mencapai kadar puncak dalam satu jam. Insulin yang dilepaskan menurunkan glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat, dalam 1 jam sudah dikeluarkan tubuh (Tjay, 2007).
2.2 Sindroma Koroner Akut
2.2.1 Defenisi Sindroma Koroner Akut
SKA adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan klasifikasi keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/ STEMI). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila pertanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS (DEPKES RI, 2007). Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat hanya mengalami oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitif dan
(52)
spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis serta alur pengobatannya. Penyebab utamanya adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur. Ketiga jenis kejadian koroner itu sesungguhnya merupakan suatu proses berjenjang: dari fenomena yang ringan sampai yang terberat. Dan jenjang itu terutama dipengaruhi oleh kolateralisasi, tingkat oklusinya, akut tidaknya dan lamanya iskemia miokard berlangsung(DEPKES RI, 2007).
2.2.2 Patogenesis Sindroma Koroner Akut
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta penyakit arteri perifer. Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks dan multifaktor serta saling terkait.
Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Sindrom koroner akut biasanya disebabkan karena oklusi mendadak dari arteri koroner bila ada ruptur plaque, yang akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi antara ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri, sehingga menutup lumen pembuluh darah koroner yang sudah mengalami aterosklerosis. Hipoksemia pada daerah distal dari sumbatan menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis miokard. Kematian sel miokardium akibat iskemia disebut infark miokard, dimana terjadi kerusakan, kematian otot jantung, dan terbentuk jaringan parut tanpa adanya pertumbuhan kembali otot jantung (Setianto, 2001). Secara morfologik infark miokard dapat terjadi pada transmural atau subendokardial. Transmural mengenai seluruh dinding miokard yang mendapat distribusi suatu arteri koroner yang mengalami oklusi, sedangkan infark miokard pada subendokardial nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya bercak-bercak dan tidak merata seperti pada transmural. Lebih 90 % penderita infark miokard akut transmural berkaitan dengan trombosis koroner (Santoso, 1991).
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells),
(53)
13
massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil (DEPKES RI, 2007). Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerosis dipahami bukan merupakan proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah (Kleinschmidt, 2006).
Trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya trombus yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet (DEPKES RI, 2006). Dari sumber lain juga di katakan, terdapat dua macam trombus yang dapat terbentuk, yaitu trombus putih yang merupakan bekuan kaya trombosit, trombus ini hanya menyebabkan oklusi sebagian. Dan trombus merah yang merupakan bekuan yang kaya fibrin, terbentuk karena aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri, bekuan ini bersuperimposisi dengan trombus putih, menybabkan terjadinya oklusi total (Kumar dan Cannon, 2009).
Komponen-komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah (Ismantri, 2009).
Faktor resiko untuk trombosis arteri adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan kerusakan endotel atau yang disertai kelainan trombosit. Bila terjadi kerusakan endotel, maka jaringan subendotel akan terpapar, hal ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah diaktifkan dan trombosit melekat pada
(54)
jaringan subendotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikrofibril. Trombosit ini akan melepaskan adenosine diphosphate (ADP) dari granula padat dan menghasilkan tromboksan A2 (TxA2). Kedua macam zat ini akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan kemudian saling melekat yang disebut agregasi. Trombosit yang beragregasi ini akan melepaskan lagi ADP dan TxA2 yang akan merangsang agregasi lebih lanjut. Kerusakan endotel juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah baik melalui jalur intrinsik maupun ekstrinsik yang akan menghasilkan trombin.
Trombin ini akan berperan dalam merubah fibrinogen menjadi fibrin yang akan menstabilkan massa trombosit sehingga terbentuk trombus. Bila kerusakan endotel terjadi sekali dan dalam waktu singkat, maka lapisan endotel normal terbentuk kembali, proliferasi sel otot polos berkurang dan tunika intima menjadi tipis kembali. Sebaliknya bila kerusakan endotel terjadi berulang-ulang atau berlangsung lama, maka proliferasi sel otot polos dan penumpukan jaringan ikat serta lipid berlangsung terus sehingga dinding arteri akan menebal dan terbentuklah bercak aterosklerosis. Bila bercak ini robek maka jaringan yang bersifat trombogenik akan terpapar dan terjadi pembentukan trombus (Gambar 2.1.).
.
(55)
15
Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang rentan mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Tebalnya plak dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner, namun tebalnya plak tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, resiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan plak (Muchid et al, 2006).
2.2.3 Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut
Faktor resiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor resiko konvensional dan faktor resiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses aterotrombosis. Faktor resiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi. Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP, homocystein dan Lipoprotein(a) (Ridker dan Libby, 2007).
Di antara faktor resiko konvensional, ada empat faktor resiko biologis yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik.
Faktor-faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori.
SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan “pasien usia muda” dengan penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda (Brown, 2006). 2.2.4 Kriteria diagnosis Sindroma Koroner Akut
(56)
Untuk diagnosis angina tidak stabil , nyeri dada khas infark, EKG normal / tidak ada perubahan dengan EKG sebelumnya serta tidak ada kenaikan enzim jantung. Diagnosis pasti sindrom koroner akut khususnya untuk infark miokar (STEMI / NSTEMI), dua dari tiga kriteria dibawah ini harus dipenuhi : a. Gejala klinik nyeri dada lebih dari 20 menit
b. Perubahan khas pada EKG serial,antara lain dengan segmen ST
c. Pemeriksaan serial penanda gangguan pada jantung positif atau meningkat antara lain troponin I atau T,myoglobin dan creatine kinase MB.
Secara umum, STEMI menggambarkan oklusi koroner total akut (Foo & De Bono,2000). Bukti oklusi arteri koroner dapat dinilai secara intervensi dengan angiografi koroner. Tujuan terapi adalah tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan angioplasti primer atau terapi fibrinolitik (Antman et al.,2008). Sedangkan pada pasien NSTEMI, strategi awal pada pasien ini adalah meredakan iskemia dan gejala, memantau pasien dengan EKG serial dan mengulangi pengukuran penanda nekrosis miokard.
2.3 Hubungan Diabetes Mellitus dengan Sindroma Koroner Akut
1. Penyebab kematian dan kesakitan utama pada penderita DM (baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular pada diabetes mellitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak). Penyebab aterosklerosis pada penderita DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai keadaan seperti hiperglikemi, hiperlipidemi, stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemi dan/atau hiperproinsulinemi serta perubahan-perubahan dalam proses koagulasi dan fibrinolisis (Shahab, 2006).
(1)
vi DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR SINGKATAN ... viii
DAFTAR GAMBAR ...x
DAFTAR TABEL... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ...1
1.1. Latar Belakang ...1
1.2. Rumusan Masalah ...2
1.3. Tujuan Penelitian ...3
1.3.1. Tujuan Umum ...3
1.3.2. Tujuan Khusus ...3
1.4. Manfaat Penelitian ...3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...4
2.1. Diabetes Mellitus ...4
2.1.1. Defenisi Diabetes Mellitus ...4
2.1.2. Klasifikasi Diabetes Mellitus ...4
2.1.3. Patofisiologi Diabetes Mellitus ...6
2.1.4. Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus ...8
2.1.5. Komplikasi Diabetes Mellitus...8
2.1.6. Terapi Farmakologi Diabetes Mellitus ...10
2.2. Sindroma Koroner Akut ...11
2.2.1. Defenisi Sindroma Koroner Akut ...11
2.2.2. Patogenesis Sindroma Koroner Akut ...12
2.2.3. Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut ...15
2.2.4. Kriteria Diagnostik Sindroma Koroner Akut...16 2.3. Hubungan Diabetes Mellitus dengan Sindroma Koroner Akut.16
(2)
vii
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ...21
3.1. Kerangka Konsep ...21
3.2. Variabel dan Definisi Operasional ...21
BAB 4 METODE PENELITIAN ...25
4.1. Jenis Penelitian ...25
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...25
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ...25
4.3.1. Populasi ...25
4.3.2. Sampel ...25
4.4. Metode Pengumpulan Data ...26
4.5. Pengolahan dan Analisa Data ...26
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ...27
5.1. Hasil Penelitian ...27
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ...27
5.1.2. Karakteristik Responden ...27
5.1.3. Hasil Analisis Data...30
5.2. Pembahasan ...34
5.2.1. Distribusi Pasien SKA berdasarkan Jenis Kelamin ...35
5.2.2. Distribusi Pasien SKA berdasarkan Usia ...35
5.2.3. Prevalensi Pasien SKA dengan DM...36
5.2.4. Distribusi Pasien SKA dengan DM berdasarkan Kadar HbA1c ...37
5.2.5. Distribusi Pasien SKA dengan DM berdasarkan Obat Anti Diabetik...37
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...39
6.1. Kesimpulan ...39
6.2. Saran ...40
DAFTAR PUSTAKA ...41
(3)
viii
DAFTAR SINGKATAN
ADA : American Diabetes Association ADP : Adenosine diphospate
AGEs : Advanced glycosylation endproducts AHA : American Heart Associaton
APTS : Angina Pektoris Tidak Stabil AT-1 : Angiotensin 1
CK-MB : Creatin kinase myocard-brain CMV : Cytomegalo virus
CRP : C-reactive protein DAG : Diacylglycerol
DEPKES RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia DM : Diabetes Mellitus
DNA : Deoxyribonucleic acid EKG : Elektrokardiografi
GMCSF :Granulocyte/monocyte colony stimulating factor HbA1c : Haemoglobin A1 c
IAPP : Islet amyloid polypeptide
IDF : International Diabetes Federation
IGF-1 : Insulin like growth factor 1 IGF-2 : Insulin like growth factor 2
(4)
ix LDL : Low density lipoprotein
MMP-1 : Matrix metalloproteinase-1
NEMJ : New England Journal of Medicine NO : Nitrit oksida
NSEMI : Non ST-elevation myocardial infarction OHO : Obat Hiperglikemi Oral
PAF : Platelet activating factor
PAI-1 : Plasminogen activator inhibitor-1
PDGF : Platelet derived growth factor
PJK : Penyakit Jantung Koroner PKC : Protein kinase C
RAAS : Renin angiotensin activating system RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SKA : Sindroma Koroner Akut SOD : Super oxide dysmutase
STEMI : ST-elevation myocardial infarction UAP : Unstable Angina Pectoris
TGF-α :Transforming growth factor-α
TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral TNFα :Tumor necrosis factor α TxA2 : Thromboxane A2
(5)
x
DAFTAR GAMBAR
(6)
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus...8
Tabel 3.1. Defenisi Operasional...23
Tabel 5.1 Karakteristik Responden...28
Tabel 5.2 Distribusi Pasien SKA berdasarkan Jenis Kelamin...30
Tabel 5.3 Distribusi Pasien SKA berdasarkan Usia ...31
Tabel 5.4 Prevalensi Pasien SKA dengan Riwayat atau Diagnosa DM... 32
Tabel 5.5 Prevalensi Pasien SKA dengan DM berdasarkan Kadar HbA1c...32