ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN DENGAN MODUS PENERIMAAN CPNS (Studi Putusan Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK)

(1)

ABSTRACT

ANALYSIS OF JUDGE’S LEGAL CONSIDERATIONS TOWARD CIVIL SERVANTS THAT DO FRAUD CRIME WITH CIVIL SERVANT

RECRUITMENT MODE

(Study on Decision No. 137/Pid/2013/PT.TK) By

ALAMSYAH AGUNG SAPUTRA

Civil Servants is supposed to be a role model and figure for people in his capacity as state and public servants, but in reality there are civil servants who commit the crime of fraud. The research problem is: (1) How is Judge’s legal considerations toward civil servants that do fraud crime with civil servant recruitment mode? (2) What is the punishment toward civil servants that do fraud crime with civil servant recruitment mode?

This research uses normative juridical and juridical empirical approach. Data collected by literature and field studies. The data were analyzed qualitatively. The results showed: (1) Judge’s legal considerations toward civil servants that do fraud crime with civil servant recruitment mode consists of aggravating circumstances that defendant caused financial losses to the victim and disturbing the public. Mitigating factors is the defendant admit and regret for his actions, willing to compensate victims and courteous in the trial. Based on these considerations, the Judge in Case No. 137/Pid /2013/PT.TK, convict the defendant Lasmidar Binti Wahab with imprisonment for 1 (one) year imprisonment. (2) Punishment of the civil servants who commit criminal fraud with ID receiving mode implemented within the framework of the criminal justice system, the investigation by the police after receiving reports of victims and investigation measures are arranged in a dossier , the charges against civil servants as criminals fraud carried Attorney and forth in the indictment with a lawsuit in accordance with Article 378 of the Criminal Code. Further court proceedings conducted by the judges to impose imprisonment for civil servants who commit fraud with civil servant recruitment mode.

Suggestion of this research are: (1) law enforcement authorities (police, prosecutors and judges) should improve performance in handling criminal fraud by civil servants with the investigation, prosecution and punishment in accordance with applicable law, to give deterrent effect to the perpetrators. (2) The public should increase alertness and caution against the possibility of unscrupulous civil servants who promised that someone would be accepted as a civil servant in the admissions process of civil servant recruitment.


(2)

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN

DENGAN MODUS PENERIMAAN CPNS (Studi Putusan Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK)

Oleh

ALAMSYAH AGUNG SAPUTRA

Pegawai Negeri Sipil (PNS) seharusnya menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat dalam kapasitasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, namun pada kenyataannya terdapat PNS yang melakukan tindak pidana penipuan. Permasalahan penelitian adalah: (1) Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS? (2) Bagaimanakah pemidanaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Pertimbangan hukum hakim terhadap PNS yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS terdiri dari hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian pada korban dan meresahkan masyarakat. Hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui dan menyesali atas perbuatannya, bersedia mengganti kerugian korban dan sopan dalam persidangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim dalam Perkara Nomor 137/Pid/2013/PT.TK, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Lasmidar Binti Wahab dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara. (2) Pemidanaan terhadap PNS yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS dilaksanakan dalam kerangka sistem peradilan pidana, yaitu penyidikan oleh Kepolisian setelah menerima laporan dari korban dan tindakan penyidikan disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dakwaan terhadap PNS sebagai pelaku tindak pidana penipuan dilakukan Kejaksaan dan dituangkan dalam surat dakwaan dengan tuntutan hukum sesuai dengan Pasal 378 KUHP. Selanjutnya dilaksanakan proses pengadilan oleh majelis hakim yang menjatuhkan pidana penjara terhadap PNS yang melakukan penipuan dengan modus penerimaan CPNS. Saran penelitian ini adalah: (1) Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam penanganan tindak pidana penipuan oleh PNS dengan penyidikan, pendakwaan dan penjatuhan hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku, untuk memberikan efek jera kepada para pelaku. (2) Masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap kemungkinan adanya oknum PNS yang menjanjikan bahwa seseorang akan dapat diterima sebagai PNS dalam proses penerimaan CPNS.


(3)

i

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN

DENGAN MODUS PENERIMAAN CPNS (Studi Putusan Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK)

Oleh

ALAMSYAH AGUNG SAPUTRA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN

DENGAN MODUS PENERIMAAN CPNS (Studi Putusan Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK)

(Tesis)

Oleh

ALAMSYAH AGUNG SAPUTRA NPM 1322011007

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Pemikiran ... 9

E. Metode Penelitian ... 19

F. Sistematika Penulisan ... 23

II . TINJAUAN PUSTAKA ... 25

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 25

B. Pengertian Penegakan Hukum Pidana ... 35

C. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana Penipuan ... 47

D. Pengertian Pegawai Negeri Sipil dan Undang-Undang yang Mengatur ... 51

E. Pertanggungjawaban Pidana ... 54

F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana ... 61

G. Ringkasan Putusan Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK ... 64

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Karakteristik Narasumber ... 71

B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Tindak Pidana Penipuan dengan Modus Penerimaan CPNS ... 72

C. Pemidanaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Tindak Pidana Penipuan dengan Modus Penerimaan CPNS ... 83


(6)

A. Simpulan ... 104 B. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

:.

Tim Penguji

Ketua Tim Penguji

Sekretaris

Penguji Utama

Anggota

Anggota

Prof. Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H.

Dr.Ifeni

Siswanto, S.H., M.H.

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Dr, Erna Dewio S.H.,

M.II.

Dr. Eddy

Rifa'i,

S.H., lU.H.

ndi, s.H., M.s. 198703 1 003


(8)

\ama

\o.

Pokok Mahasiswa

Program Kekhususan Fakultas

Prof. narto

\IP

541 121

,{o*ttoh,\gung

$cputro

1322011AA7

Hukum Pidana

Hukum

MENYETUJUI Dosen Komisi Pembimbing

s.H., M.H.

1 003

MENGETAIIUI

Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H.

NrP 19650204

tg90}3I

004

DENGAN MODUS PENERIMAAII CPNS

(Studi Putusan Nomor: 137?id12013/PT.TK)


(9)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1.

Tesis dengan judul: "Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Tindak Pidana Penipuan dengan

Modus Penerimaan CPNS (Studi Putusan Nomor: l37tPidl2O13/PT.TI9',

adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah

yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarisme.

2.

Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas

Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adarrya ketidak

benaran, saya bersedia menanggUng akibat dan sanksi yang diberikan kepada saya; saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukurn yang berlaku.

Bandar Lampung, 29 Januai20l5

Yang Membuat Per"nyataan

,dlamsyah Agung Saputra NPM" 1322411007


(10)

i

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Tesis ini kepada:

Papa dan Mama tercinta

Drs. Hi. Bestari Ismail. MH. dan Ibu Hj. Zuraini S.Pd. yang telah membesarkanku, membimbingku

dan senantiasa mendoakan keberhasilanku Istriku Sari Mulia Imron

dan calon anak ku yang kusayangi yang menjadi motivasi dan memberi dukungan Kalian adalah keluarga kecilku yang berharga

Serta adik adik kandungku Sri Damayanti Selviani Oktavia Mirza Dirhamsyah

Seluruh saudaraku yang telah lama menantikan keberhasilanku dan selalu menasehatiku

agar menjadi lebih baik.

Almamater Tercinta Universitas Lampung


(11)

i

MOTO

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran

dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran"

(Q.S. An-Nahl: 90)

"Bila seorang hakim mengupayakan hukum (dengan jujur) dan keputusannya benar, maka dia akan memperoleh dua pahala, tetapi apabila keputusannya salah

maka ia akan memperoleh satu pahala” (H.R. Bukhari)


(12)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 2 Mei 1982, merupakan putra pertama dari empat bersaudara, pasangan Bapak Drs. Hi. Bestari Ismail. MH. dan Ibu Hj. Zuraini. S.pd.

Penulis menempuh Pendidikan SD Kartika II Persit diselesaikan pada tahun 1994, SLTP Negeri 02 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1997, SMA Negeri 09 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada tahun 2012.


(13)

AlhamdulillatL puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan

yang Matra Menguasai Semesta Alam, sebab hanya dengan kehendak-Nya maka

penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul: Analisis Pertimbengan llukum Hakim terhadap Pegawai Negeri Sipit yang Melakukan Tindak Pidana penipuan dengan Modus Penerimaan CPNS. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Program

Pasca Sarjana Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan sampai terselesaikannya Tesis ini, mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan

ini

penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

l.

Bapak Dr. prof. Sunarto. SH. MH.. selaku Pembatu Rektor

III

Universitas

Lampung sekaligus Pembimbing

I,

atas bimbingan dan saran selama proses

penyusunan Tesis.

2.

Bapak Dr Heni Siswanto, s.H., M.H., selaku Pembimbing

II,

atas bimbingan

dan saran yang diberikan selama proses penyusunan Tesis'

3.

Bapak Prof.

Dr.

Heryandi, S.H., M.S. selaku

Dekan

Fakultas Hukum

Universitas LamPung.

4.

Bapak Dr. Khaidir Anwar,S.H.,M.Hum. selaku Ketua Program Studi Magister


(14)

6.

Ibu. Dr. Erna Dewi,S.H.,M.H. selaku Penguji, atas semua masukan dan saran yang diberikan demi perbaikan Tesis ini.

7.

Bapak Dr. Eddy Rifai,S.H.,M.H. selaku Penguji, atas semua masukan dan saran yang diberikan demi perbaikan Tesis ini.

8.

Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas l,arrpung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

9.

Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis. selama menempuh studi.

10. Seluruh Teman-teman Program Pascasarjana Fakultas Flukum Universitas

Lampung, atas persahabatan dan kebersamaan selama menempuh studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian Tesis ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala yang lebih besar dari sisi Allah SWT. Penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 29 lmuari}Al5

Penulis

Saputra

a

G ^,,^

Y

amsyah Agung AI


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada dasarnya berkedudukan sebagai pegawai negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), negara dan pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan pegawai negara. PNS yang ideal dalam upaya perjuangan dalam mencapai tujuan Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah PNS yang profesional, berbudi pekerti yang luhur, berdaya guna, berhasil guna, sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur pegawai negara, abdi masyarakat dan abdi negara dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.1

Tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan persoalan yang penting dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar dari masyarakat terhadap pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat dan adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintah tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah.

1

Mardiasmo. Kebijaksanaan Desentralisasi Dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah dalam Pembangunan Administrasi Indonesia. LP3ES. Jakarta. 2006.hlm 23.


(16)

Usaha mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkeseimbangan materiiI dan spirituil, diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai Warga Negara, unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Pada aspek lain Pegawai Negeri Sipil sebagai penyelenggara pemerintahan dituntut untuk memiliki kedisiplinan kerja yang optimal.2

Pegawai Negeri Sipil yang disiplin adalah seorang yang pegawai yang memiliki kesetiaan, ketaatan dan pengabdian kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah. Kesetiaan dalam hal ini merupakan tekad dan kesanggupan mantaati, melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang ditaati denan penuh kesadaran dan tanggungjawab. PNS yang disiplin harus memiliki jiwa pengabdian yaitu menyumbangan pikiran dan tenaga secara ikhlas dengan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan golongan atau pribadi.

Disiplin PNS berkaitan dengan moral, yaitu nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi PNS dalam mengatur tingkah lakunya. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Moral

2

Sedarmayanti. Profesionalisme Pegawai Negeri Sipil di Era Otonomi Daerah. Tarsito.Bandung. 2008.hlm 5.


(17)

merupakan asas-asas akhlak yang merupakan nilai tambah pada diri manusia karena menjadi ciri makhluk manusia, yang membedakan dari mahluk lain atau tidak dimiliki oleh mahluk lain ciptaan Tuhan. Dalam kehidupan manusia, seseorang berperilaku bermoral atau tidak, biasanya yang menjadi tolok ukur adalah ajaran agama. Ada juga yang menilai seseorang bermoral atau tidak, dipandang dari sudut kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan atau budaya setempat. Bahkan kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya, karena hukum berisikan sebagai pengaturan tentang kehidupan manusia agar harmonis.3

Pegawai yang disiplin berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan merupakan prestasi kerja, yaitu hasil kerja yang dicapai oleh seseorang PNS dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Prestasi kerja PNS dalam hal ini menunjukkan adanya kecakapan, keterampilan, pengalaman dan kesungguhan PNS yang bersangkutan. Selain itu disiplin merupakan wujud tanggung jawab seorang PNS, yaitu kesanggupan seorang PNS dalam menyelesaikakn pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya. Implementasi disiplin kerja merupakan ketaatan PNS, yaitu suatu kesanggupan ketulusan hati seorang PNS untuk mentaati segala peraturan perundangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. Mentaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang ditentukan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pekerjaan, maka PNS harus memiliki kejujuran, sebagai ketulusan hati PNS dalam melaksanakan tugas dan kemapuan untuk tidak menyalagunakan wewenang yang diberikan

3


(18)

kepadanya. PNS juga harus mampu membangun kerjasama sebagai wujud kemampuan seorang PNS untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan sesuatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya demi mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Adanya PNS yang melakukan melakukan tindak pidana tentunya tidak sesuai dengan program pemerintah, yaitu program Gerakan Disiplin Nasional (GDN) yang mewajibkan kepada semua Pegawai Negeri Sipil untuk disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Apabila permasalahan ketidakdisiplinan pegawai tersebut tidak segera diantisipasi maka dikhawatirkan akan mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan, sebab keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannnya sangat ditentukan oleh tingkat disiplin dan kinerja pegawai yang tinggi.

Langkah konkrit yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan PNS yang memiliki kinerja optimal tesebut adalah dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian yang mengatur kedudukan, kewajiban, hak, dan pembinaan PNS. Produk hukum terbaru yang mengatur masalah ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Upaya untuk mencapai kinerja pegawai yang optimal harus didukung oleh disiplin PNS dalam bekerja. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, disiplin PNS adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan dan/atau


(19)

peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin

Sesuai dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang berhubungan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang berisi tentang setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. PNS yang melakukan tindak pidana penipuan dihadapkan pada dua proses penyelesaian perkara, baik secara hukum pidana maupun hukum administrasi negara. Perbuatan PNS dalam lingkup tugasnya dapat dibedakan atas tindakan perseorangan atau tindakan badan hukum (institusi kepegawaian), dalam lingkup tugasnya tersebut PNS tidak dibenarkan untuk berbuat yang tidak wajar atau sewenang-wenang dan ini dipandang sebagai tindakan perseorangan secara pribadi yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum administratif maupun hukum pidana.

Hukum administrasi dan hukum pidana memiliki peranan penting dalam mengantisipasi setiap perubahan atau gejolak yang berkembang di masyarakat, terkait dengan adanya situasi politik. Setiap sistem hukum menunjukkan empat unsur dasar, yaitu: pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga penegakan hukum. Dalam hal ini pendekatan pengembangan terhadap sistem hukum menekankan pada beberapa hal, yaitu: bertambah meningkatnya diferensiasi internal dari keempat unsur dasar sistem hukum tersebut, menyangkut perangkat peraturan, penerapan peraturan,


(20)

pengadilan dan penegakan hukum serta pengaruh diferensiasi lembaga dalam masyarakat terhadap unsur-unsur dasar tersebut.

Penyesuaian hukum terhadap perubahan sosial sudah dianggap suatu hak yang tidak perlu diragukan lagi, namun apabila kita dihadapkan pada peranan hukum melakukan kontrol sosial, masih dipertanyakan mengenai kemampuan hukum untuk menjalankan perannya, karena hukum sebagai sarana kontrol sosial dihadapkan pada persoalan bagaimana menciptakan perubahan dalam masyarakat sehinga mampu mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Seorang PNS seharusnya menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, namun pada kenyataannya terdapat PNS yang melakukan tindak pidana penipuan, sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Perkara Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK, dengan terdakwa bernama Lismidar Binti Wahab yang berstatus sebagai PNS, melakukan tindak pidana penipuan dengan modus menjadi perantara dalam penerimaan CPNS. Pelaku menerima uang sebesar Rp 40.000.000,00 dari korban bernama Resmawati dengan janji dapat diterima sebagai CPNS. Setelah pengumuman CPNS dipublikasikan, ternyata korban tidak diterima sebagai CPNS sehingga korban mengalami kerugian sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah).

Sesuai dengan perkara di atas terdapat kesenjangan penerapan sanksi pidana tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:


(21)

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pada kenyataannya terdakwa hanya dijatuhi pidana 1 tahun penjara oleh Pengadilan.

Kurang optimalnya sanksi pidana terhadap PNS yang melakukan tindak pidana penipuan ini dapat berdampak pada timbulnya pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dan pengadilan. Rendahnya Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. 4

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dipandang perlu dilakukan penelitian tesis berjudul: “Analisis Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Pegawai Negeri Sipil yang Melakukan Tindak Pidana Penipuan dengan Modus Penerimaan CPNS” (Studi Putusan Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK).

4

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 155.


(22)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS? b. Bagaimanakah pemidanaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan

tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup subjek penelitian ini adalah hukum pidana dengan objek mengenai pertimbangan hukum hakim terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dengan tahun data penelitian yaitu 2013-2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk menganalisis pertimbangan hukum hakim terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS

b. Untuk menganalisis pemidanaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS


(23)

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap PNS yang melakukan tindak pidana

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum terhadap PNS yang melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai proses penyelesaian perkara pidana di masa mendatang.

D. Kerangka Pemikiran

1. Alur Pikir

Alur pikir penelitian ini menggambarkan pertimbangan hukum hakim terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS, sebagaimana dapat dilihat pada skema berikut:


(24)

Bagan 1. Alur Pikir Penelitian

Pegawai Negeri Sipil (Pelaku Penipuan)

Tindak Pidana Penipuan dengan Modus Penerimaan

CPNS (Pasal 378 KUHP)

Penyidikan (Polri) Penuntutan/Dakwaan

(JPU)

Putusan Majelis Hakim Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK

Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana

Pemidaanaan terhadap pelaku

Korban Penipuan

CPNS

Keadilan dan Kepastian Hukum


(25)

2. Kerangka Teori

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum5. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan

5


(26)

putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.6

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 7

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

6

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.

7


(27)

1) Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

2) Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim

3) Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.


(28)

4) Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5) Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6) Teori kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.8

8


(29)

b. Teori Pemidanaan

Terdapat tiga teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan, yaitu:

1) Teori Absolut atau pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan suatu pembalasan yang mutlak dari suatu perbuatan tindak pidana tanpa tawar menawar. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat jelas dalam pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan masyarakat. tetapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakat), pembunuhan terakhir yang masih dipidana di dalam penjara harus dipidana sebelum resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan.

Hal ini harus dilaksanakan karena setiap orang harus menerima ganjaran dari perbuatanya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa menurut teori absolut atau pemba1asan ini pidana merupakan


(30)

tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi mutlak menjadi suatu keharusan kerana hakekat dan pidana adalah pembalasan.9

2) Teori Relatif atau Tujuan

Tujuan pidana bukanlah sekedar melaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhk:an pidana saja, sehingga dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada tujuannya.

Tujuan pidana untuk mencegah kejahatan ini dapat dibedakan antara prevensi khusus (special prevention) dengan prevensi umum (general prevention), prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti telah dikenal dengan rehabilitation theory. Sedangkan prevensi umum dirnaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat, artinya pencegaaan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian prevensi umum, yaitu pengaruh pencegahan, pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral dan pengaruh mendorong suatu kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. 10

9

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori Kebijakan Hukum Pidana. Alumni, Bandung. 1984. hlm.32.

10


(31)

3) Teori Integratif atau Gabungan

Menurut teori ini pemberian pidana di samping sebagai pembalasan dari suatu tindak pidana yang dilakukan juga sebagai usaha mencegah dilakukannya tindak pidana. Selain sebagai pembalasan atas suatu tidak pidana, pidana diberikan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat umum demi perlindungan masyarakat. Tujuan pidana dan pembenaran penjatuhan pidana di samping sebagai pembalasan juga diakui sebagai pidana yang memiliki kemanfaatan baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Ajaran ini memungkinkan adanya kemungkinan untuk menagadakan sirkulasi terhadap teori pernidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus.

Tujuan pidana dalam teori ini adalah untuk mencegah kejahatan sehingga dijatuhkan pidana yang berat oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus, jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat tidak akan memenuhi rasa keadilan bukan hanya masyarakat tidak puas tetapi juga penjahat itu sendiri. 11

3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.12 Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh

11

Ibid. 1984. Hlm.34.

12


(32)

nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana13

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku14

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum15

d. Penipuan menurut Pasal 378 KUHP adalah setiap orang yang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu-muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. e. Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk

13

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.

14

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46.

15

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25


(33)

menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.16

f. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu perundang-undangan dan digaji menurut perundang-undangan yang berlaku.17

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Pendekatan yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus18

2. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan sumbernya, data terdiri

16

Moeljatno, Op. Cit, hlm. 7.

17

Sedarmayanti. Op.Cit.. hlm 33.

18


(34)

dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.

Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut: a. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

d) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

f) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.


(35)

g) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

h) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu menganalisa permasalahan, dari berbagai buku hukum, arsip dan dokumen, brosur, makalah dan sumber dari situs internet.

b. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber penelitian.

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan sebagai berikut:

1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam tesis.


(36)

2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan ini dilaksanakan dengan wawancara (interview) kepada narasumber penelitian sebagai berikut:

a) Penyidik pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung : 1 orang b) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang c) Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 orang d) Akademisi Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 4 orang

b. Pengolahan Data

Tahap pengolahan data adalah sebagai berikut: 1) Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti. 2) Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

3) Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.


(37)

4. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Setelah itu dilakukan analisis kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan secara umum yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus terhadap pokok bahasan yang diteliti.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan Tesis secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan tesis yaitu pengertian dasar pertimbangan hakim. penegakan hukum pidana, tindak pidana penipuan, Pegawai Negeri Sipil, pertanggungjawaban pidana dan faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai dasar pertimbangan hakim


(38)

dalam menjatuhkan pidana terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS dan pemidanaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS.

IV. PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan perma salahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 1

1


(40)

Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,


(41)

misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, maka hal ini menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.2

2


(42)

Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.3

Hukum mempunyai arti penting bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara, unit-unit pemerintah, dan pejabat negara dan pemerintah. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan hukum, Di samping itu hukum dapat dapat pula berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara legal dan etis. Kekuasaan kehakiman dalam sistem tata negara modern, merupakan pilar ketiga dalam perwujudan kekuasaan negara. Cabang kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang terorganisir dan dijalankan sendiri oleh lembaga kekuasaan kehakiman. Teori dan konsep pemisahan kekuasaan, khususnya yang terkait dengan kekuasaan kehakiman, menginginkan suatu independensi peradilan. Konsep tersebut menekankan pentingnya hakim dapat bekerja (memutus perkara/sengketa) secara independen dari pengaruh kekuasaan legislatif dan eksekutif. Bahkan dalam memutus pengujian peraturan perundang-undangan, hakim juga harus terlepas dari pengaruh politik.

3


(43)

Kedudukan hakim berada pada sifatnya yang sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan antara negara (state), pasar (market) dan masyarakat (civil society), hakim harus berada di tengah-tengah, tidak lebih condong ke salah satu kelompok. Oleh karena itu, hakim dan cabang kekuasaan kehakiman sudah sepatutnya harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan tersendiri. Selain itu, keberadaan suatu kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial) juga merupakan salah satu ciri negara hukum yang demokratis (rechtsstaat) atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy). Bagaimana pun sistem hukum yang dipakai oleh suatu negara, prinsip independen dan tidak berpihak harus dijalankan oleh setiap cabang kekuasaan kehakiman (lembaga yudikatif).4

Upaya untuk menjamin terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan, memerlukan jaminan dalam konstitusi atau peraturan perundang-undangan. Dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga selalu mengatur kekuasaan kehakiman dan menjamin independensinya. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip peradilan yang sangat pokok dalam sistem peradilan suatu negara yaitu 1) independensi hakim dan badan peradilan (judiciary Independence), dan 2) ketidakberpihakan hakim dan badan

4

Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian).FH-UII Press. Yogyakarta. 2005. hlm. 16-17.


(44)

peradilan (judiciary impartiality). Prinsip-prinsip tersebut harus diwujudkan oleh para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Independensi peradilan juga tercermin dari berbagai pengaturan secara internal yang berkaitan dengan pengangkatan jabatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem manajemen perkara, penggajian, serta pemberhentian para hakim. Sedangkan prinsip ketidakberpihakan merupakan suatu kebutuhan terhadap keberadaan hakim yang dapat bekerja secara imparsial dan tidak memihak salah satu pihak.

Perkembangan konsep badan peradilan terjadi di berbagai belahan dunia, konsep-konsep dan pemikiran mengenai prinsip-prinsip peradilan yang baik juga ikut terus berkembang. Dalam Forum International Judicial Conference di Bangalore, India pada 2001, berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim se-dunia yang kemudian disebut The Bangalore Draft. Selanjutnya draft tersebut terus mengalami perbaikan dan penyempurnaan sehingga pada akhirnya diterima oleh para hakim di berbagai negara yang digunakan sebagai pedoman bersama atau yang secara resmi disebut sebagai The Bangalore Principles of Judicial Conduct, yang mencantumkan enam prinsip penting yang harus dijadikan pedoman bagi para hakim di dunia, sebagai berikut: 5

1. Prinsip Independensi

Independensi hakim dan badan peradilan merupakan jaminan bagi tegaknya negara hukum dan keadilan. Independensi harus tercermin dalam proses pemeriksaan perkara serta pengambilan keputusan. Independensi hakim dan badan peradilan dapat terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim baik secara sendiri maupun institusi dari berbagai pengaruh dan intervensi dari cabang

5


(45)

kekuasaan lain. Independensi memberikan pencitraan bahwa hakim dan badan peradilan memiliki wibawa, bermartabat dan dapat dipercaya.

2. Prinsip Ketidakberpihakan

Ketidakberpihakan merupakan sikap netral, menjaga jarak dengan semua pihak yang berperkara, dan tidak mengutamakan kepentingan salah satu pihak. Sikap ketidakberpihakan juga harus tercermin dalam proses pemeriksaan perkara serta pengambilan keputusan.

3. Prinsip Integritas

Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan pribadi setiap hakim sebagai pribadi sendiri maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Integritas juga menyangkut sikap jujur, setia, tulus sekaligus kekuatan menolak hal-hal yang dapat merusak citra dan moral para hakim.

4. Prinsip Kepantasan

Merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata suara dalam kegiatan tertentu. Sedangkan kesopanan terwujud dari perilaku hormat hakim dan tidak merendahkan pihak-pihak lain.

5. Prinsip Kesetaraan

Prinsip ini secara esensial harus melekat dalam setiap sikap hakim untuk selalu memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.


(46)

6. Prinsip Kecakapan dan Kesaksamaan

Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

Selain prinsip-prinsip yang terkandung dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct, para hakim Indonesia juga merumuskan mengenai prinsip-prinsip umum peradilan yang baik. Prinsip-prinsip-prinsip tersebut sebagaimana tercantum dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang berisi 13 (tiga belas) butir prinsip-prinsip peradilan umum yang baik, yaitu: 6

a) Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan;

b) Setiap orang berhak mengajukan perkara sepanjang mempunyai kepentingan; c) Larangan menolak untuk mengadili kecuali ditentukan lain oleh

undang-undang;

d) Putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama; e) Asas imparsialitas (tidak memihak);

f) Asas kesempatan untuk membela diri (audi et alteram partem); g) Asas objektivitas (no bias);

h) Menjunjung tinggi prinsip bahwa hakim tidak boleh mengadili perkara di mana ia terlibat dalam perkara a quo (nemo Jude in rex sua);

i) Penalaran hukum (legal reasoning) yang jelas dalam isi putusan;

6


(47)

j) Akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan); k) Transparansi (keterbukaan);

l) Kepastian hukum dan konsistensi;

m) Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Suatu badan ataupun sistem peradilan dipandang harus memenuhi aspek-aspek atau ciri-ciri tertentu agar dapat dinyatakan sebagai peradilan yang baik atau ideal. Jika diringkas, maka aspek-aspek peradilan yang baik dapat dilihat dari sumber daya hakim yang mumpuni dan berkualitas dan manajemen peradilan dan kepaniteraan yang baik.

Keseluruhan aspek-aspek sumber daya manusia (hakim) dalam badan peradilan yang mencakup proses rekrutmen, pelatihan, evaluasi, reward and punishment, remunerasi hakim harus menghasilkan keluaran hakim-hakim yang berkualitas, yaitu para hakim yang dalam menjalankan tugasnya mencerminkan prinsip-prinsip peradilan yang baik. Para hakim berkualitas tersebut dituntut untuk dapat independen, imparsial, memiliki integritas, dan kecakapan. Sehingga putusan-putusan yang dihasilkan para hakim berkualitas dan memenuhi tujuan penegakan hukum dan perwujudan keadilan dalam masyarakat.

Aspek manajemen peradilan dan kepaniteraan yang baik juga merupakan aspek penting dalam keberlangsungan proses perkara di badan peradilan. Manajemen peradilan bertanggung jawab terhadap hal-hal administratif pengadilan, seperti kegiatan rekrutmen pegawai, pelatihan bagi calon-calon hakim, administrasi dan pengelolaan keuangan, dan lain-lain. Sistem kepaniteraan juga harus ditunjang oleh sumber daya manusia yang berkualitas untuk mendukung terwujudnya proses


(48)

persidangan dengan baik. Panitera harus memiliki pengetahuan baik secara teori dan praktik hal-hal yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, seperti misalnya registrasi perkara, alur persidangan, proses administrasi upaya hukum, dan lain-lain. Sistem manajemen peradilan dan kepaniteraan yang baik dan rapi akan membawa manfaat bagi proses kerja badan peradilan yang sistematis dan transparan, sehingga seluruh pihak dapat melihat dan mengawasi jalannya proses peradilan. 7

Upaya untuk mewujudkan peradilan yang baik, Mahkamah Agung sebagai puncak badan peradilan di empat lingkungan peradilan, harus menempuh upaya sistematis untuk menyelesaikan akar masalah tersebut. Permasalahan penumpukan perkara harus cepat diselesaikan dengan proses penyaringan perkara (dismissal procedure) yang ketat untuk tiap-tiap kasus yang masuk dalam tingkat kasasi maupun tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Perbaikan kualitas dan konsistensi putusan juga perlu ditingkatkan sehingga dapat menghilangkan adanya putusan mahkamah yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan untuk perkara yang sama. Pemberdayaan sumber daya manusia yang memadai, termasuk optimalisasi rekrutmen calon hakim yang berkualitas dapat mewujudkan putusan yang berkualitas. Selain itu, Mahkamah Agung juga harus mengambil langkah tegas untuk mengeliminasi jual beli isi putusan. Keterbukaan informasi dan manajemen perkara serta putusan dapat mendorong pengawasan yang lebih kuat baik dari internal maupun eksternal, sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.

7


(49)

B. Pengertian Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan melaksanakan tugas pokok serta fungsinya dalam sistem peradilan pidana. Penegakan hukum pidana menurut Badra Nawawi Arief dalam Heni Siswanto adalah: (a) keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata, dengan aturan hukum dan peraturan hukum dan perundang-undangan yang merupakan perwujudan Pancasilan dan UUD 1945; (b) keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan UUD 19458

Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Heni Siswanto, pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in abstracto dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan system (penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang kebijkaan pembangunan nasional (national development).9 Hni berarti bahwa penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi

8

Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Kejahatan Perdagangan Orang. Penerbit Pusataka Magister, Semarang, 2013, hlm.1

9


(50)

pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan) hukum nasional.10

Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk pada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda dengan penegakan hukum pidana seperti zaman Belanda. Hal ini wajar karena kondisi lingkungan atau kerangka hukum nasional (national legal framework) sebagai tempat dioperasionalisasikannya WvS (tempat dijalankannya mobil) sudah berubah. Menjalankan mobil (WvS) di Belanda atau di jaman Penjajahan Belanda tentunya berbeda dengan di zaman Republik Indonesia. Ini berarti penegakan hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya harus memperhatikan juga rambu-rambu umum proses peradilan (penegakan hukum dan keadilan) dalam system hukum nasional. Dengan kata lain, penegakan hukum pidana positif harus berada dalam konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/national legal framework) dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas. Inilah baru dapat dikatakan penegakan hukum pidana di Indonesia. 11

Penegakan hukum menurut Joseph Goldstein dalam Mardjono Reksodiputro, diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu12

1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali

10

Ibid, hlm.86

11

Ibid, hlm.86

12

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994, hlm.76.


(51)

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas SDM, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana13

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui

13


(52)

penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.14

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan

14


(53)

hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control

suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 15

Sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan

15


(54)

demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum. 16

Pengertian di atas mengandung makna bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. 17

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar

16

Romli Atmasasmita. op cit. hlm. 2

17


(55)

pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.18

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

18

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 1997. hlm. 62.


(56)

Sistem peradilan pidana merupakan arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract sistem dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.

2. Pendekatan administratif

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

3. Pendekatan sosial

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau


(57)

ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial. 19

Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini dikenal dalam lingkup praktik penegakan hukum, terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu integrated criminal justice sistem.

Integrated criminal justice sistem adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:

a. Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

b. Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.

c. Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam maghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 20

Perubahan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah meliputi perubahan hukum tidak tertulis, perubahan di dalam menafsirkan hukum perundang-undangan, perubahan konsepsi mengenai hak milik umpamanya dalam masyarakat industri moderen, perubahan pembatasan hak milik yang bersifat publik, perubahan fungsi dari perjanjian kontrak, peralihan tanggung jawab dari tuntutan ganti rugi ke ansuransi, perubahan dalam jangkauan ruang lingkup hukum internasional dan perubahan-perubahan lain.

19

Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. 1996. hlm. 6

20


(1)

6. Pertimbangan Hakim

Sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat pertama dalam pertimbangan putusannya, bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua, karena semua unsur-unsur dan pasal yang didakwakan itu telah terpenuhi dan pertimbangan Hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan dijadikan pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding, kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa menurut Pengadilan Tinggi terlalu ringan, sehingga perlu ditambah dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Bahwa kerugian yang dialami saksi korban cukup besar, yaitu Rp40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan sampai saat ini belum/ tidak dikembalikan b. Terdakwa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) apalagi seorang guru,

seharusnya memberi contoh tauladan yang baik kususnya bagi siswa-siswa dan masyarakat pada umumnya, akan tetapi justru melakukan perbuatan tercela dan merugikan orang lain;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih tanggal 26 September 2013 Nomor: 237/Pid.B/2013/PN.GS. haruslah diperbaiki sepanjang mengenai pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. Berdasarkan Pasal 197 huruf k KUHAP, maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi memerintahkan terdakwa untuk ditahan dalam tahanan Rutan. Terdakwa dinyatakan bersalah dan dipidana, maka kepadanya dibebankan untuk membayar biaya perkara ini dalam kedua tingkat peradilan.


(2)

70

7. Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang mengingat Pasal 378 KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, serta peraturan perundang-undangan Iainnya yang berkaitan dengan perkara ini, mengadili:

a. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih tersebut;

b. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor:237/Pid.B/ 2013 PN.GS., yang dimintakan banding tersebut sepanjang mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1) Menyatakan Terdakwa Lasmidar Binti Wahab terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "penipuan"

2) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;

3) Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4) Memerintahkan Terdakwa agar ditahan;

5) Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) lembar kwitansi penitipan uang untuk jadi PNS sebesar Rp40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) tertanggal 8 November 2009;

6) 1 (satu) lembar surat pernyataan kesanggupan dari terdakwa Lasmidar untuk mengembalikan uang kepada korban


(3)

IV. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS didasarkan pada hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian pada korban dan meresahkan masyarakat. Hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui dan menyesali atas perbuatannya, bersedia mengganti kerugian korban dan sopan dalam persidangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Majelis Hakim dalam Perkara Nomor 137/Pid/2013/PT.TK, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Lasmidar Binti Wahab dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara.

2. Pemidanaan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tindak pidana penipuan dengan modus penerimaan CPNS dilaksanakan dalam kerangka sistem peradilan pidana, yaitu penyidikan yang dilakukan Kepolisian setelah menerima laporan dari korban dan tindakan penyidikan disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dakwaan terhadap PNS sebagai pelaku tindak pidana penipuan dilakukan Kejaksaan dan dituangkan dalam surat dakwaan dengan tuntutan hukum sesuai dengan Pasal 378 KUHP. Selanjutnya dilaksanakan proses pengadilan oleh majelis hakim yang menjatuhkan pidana


(4)

105

penjara terhadap PNS yang melakukan penipuan dengan modus penerimaan CPNS. Penjatuhan pidana terhadap PNS ini didasarkan pada tujuan pemidanaan yaitu untuk mencapai manfaat untuk melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemidanaan bukan merupakan pembalasan kepada pelaku di mana sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum (kepolisian, jaksa dan hakim) hendaknya meningkatkan kinerja dalam penanganan tindak pidana penipuan oleh PNS dengan melakukan penyidikan, pendakwaan dan penjatuhan hukuman kepada PNS sebagai pelaku tindak pidana penipuan sesuai dengan hukum yang berlaku, untuk memberikan efek jera kepada para pelaku.

2. Masyarakat hendaknya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap kemungkinan adanya oknum PNS yang menjanjikan bahwa seseorang akan dapat diterima sebagai PNS dalam proses penerimaan CPNS. Hal ini penting dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan menjadi korban tindak pidana penipuan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. Hamzah, Andi. 2001. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra

Adityta Bakti, Bandung.

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

---, 2000. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. Sinar Grafika. Jakarta.

Mardiasmo. 2006 Kebijaksanaan Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah dalam Pembangunan Administrasi Indonesia. LP3ES. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Pustaka Megister UNDIP. Semarang.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya.

Nawawi Arief, Barda. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra . Aditya Bakti. Bandung.

---,2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Prodjohamidjojo, Martiman, 1997. Pertanggungjawaban Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.


(6)

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta.

Setiadi, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggung Jawaban Pidana. Alumni.Bandung.

Siswanto, Heni. 2013. Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana

Menghadapi Kejahatan Perdagangan Orang. Penerbit Pusataka Magister, Semarang.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri

Sipil

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Dokumen yang terkait

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMDA PROVINSI LAMPUNG (Studi Putusan No 859/Pid.B/2012/PN TK)

1 19 51

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN DENGAN MODUS PENERIMAAN CPNS (Studi Putusan Nomor: 137/Pid/2013/PT.TK)

1 62 88

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK)

0 0 12

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMDA PROVINSI LAMPUNG (Studi Putusan No 859/Pid.B/2012/PN TK)

0 2 11

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN. (Studi Putusan Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn)

1 1 14

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA MINIMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Putusan Nomor: 1218PID.SUS2016PN.TJK) (Jurnal)

0 1 13

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA (Studi Putusan Nomor: 144/Pid.Sus/2013/PN.M)

0 0 13

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MEMBEBASKAN PELAKU YANG DIDAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk)

0 3 14

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

0 1 15

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEROBOTAN TANAH YANG DIPUTUS LEPAS (Studi Putusan Nomor: 451Pid.B2014PN.Tjk) (Jurnal Skripsi)

0 1 15