THE INVOLVEMENT of MULTISTAKEHOLDER IN THE HANDLING OF STREET CHILDREN, BUMMER AND BEGGARS IN BANDAR LAMPUNG KETERLIBATAN MULTISTAKEHOLDER DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRACT

THE INVOLVEMENT of MULTISTAKEHOLDER IN THE HANDLING OF STREET CHILDREN, BUMMER AND BEGGARS IN BANDAR LAMPUNG

By:

LUSY DIAN IRVETA

The existence of street children, bummer and beggars in the city of Bandar Lampung is a phenomenon that is cause for concern. The problem of street children, bummer, and beggars became a public issue because it involves the public convenience. This problem requires an active role of government. The interaction between multi-stakeholders is necessary, in this case the government in collaboration with the private sector, Yayasan Sinar Jati Lampung, and non-governmental organizations, APIK. The purpose of this research was to analyze (1) Knowing and analyzing multi-stakeholder involvement in handling the problem of street children, bummer, and beggars in Bandar Lampung. (2) analyzing the principle of what is used in the treatment of street children, bummer, and beggars. Type of this research is a descriptive study using a qualitative approach. While the technique of data collection is done by interview, observation, and documentation.

The results show that: (1) the interaction of the three actors involved in the governance of street children, bummer and beggars: (a) the interaction of the demolition permormed by Dinas Sosial and Satpol PP, interaction is good. (b) interaction in development stage includes three interaction. Two associative interaction is cooperation between Dinas Sosial and APIK, then Dinas Sosial and Yayasan Sinar Jati Lampung, already well underway. While the third interaction is the interaction dissociative, ie opposition by NGOs pepper to Social Service, giving rise to conflicts led between them. (2) Application of the Principles of Good Governance in Handling Street Children, Bummer and Beggars. Principles of good governance that are used there are three: law enforcement, Responsiveness, and Accountability.

Researchers recommend several things that: (1) Dinas Sosial should persuade APIK and Yayasan Sinar Jati to controll street vhildre, bummer, and beggars. (2)


(2)

Keywords: The Involvement of multi-stakeholder, street children, bummer and beggars


(3)

ABSTRAK

KETERLIBATAN MULTISTAKEHOLDER DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI BANDAR LAMPUNG

Oleh

LUSY DIAN IRVETA

Keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Kota Bandar Lampung merupakan fenomena yang memprihatinkan. Permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis menjadi permasalahan publik karena menyangkut kenyamanan masyarakat. Permasalahan ini menuntut peran aktif pemerintah. Interaksi antar multistakeholder sangat diperlukan, dalam hal ini pemerintah berkerjasama dengan sektor swasta, yayasan sinar jati lampung, dan lembaga swadaya masyarakat, APIK. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis (1) Mengetahui dan menganalisis keterlibatan multistakeholder dalam penanganan masalah anak jalanan dan gepeng di Bandar Lampung. (2) Menganalisis prinsip apa saja yang digunakan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini, yaitu: (1) interaksi ketiga Aktor governance yang terlibat dalam penanganan anjal dan gepeng: (a) interaksi pada tahap penertiban, terdiri dari dua lembaga pemerintahan yaitu Dinas Sosial dan Satpol PP. Interaksi sudah berjalan cukup baik. (b) interaksi pada tahap pembinaan meliputi tiga interaksi. Dua interaksi asosiatif yaitu hubungan kerja sama antara Dinas Sosial dan APIK, serta Dinas Sosial dan Yayasan Sinar Jati, sudah berjalan dengan baik. Sedangkan Interaksi yang ketiga yaitu interaksi disosiatif, yaitu pertentangan yang dilakukan LSM LAdA kepada Dinas Sosial, sehingga memunculkan konfik diantara keduanya.(2) Penerapan Prinsip Good Governance dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis. Prinsip good governance yang digunakan ada tiga yaitu: Penegakan hukum, Responsif, dan Akuntabilitas.


(4)

berinteraksi. (3) pemerintah seharusnya membuat forum diskusi (4) Perlu dilakukan pelatihan guna peningkatan kualitas SDM.

Kata kunci: keterlibatan multistakeholder, anak jalanan, gelandangan dan pengemis


(5)

Oleh Lusy Dian Irveta

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(6)

Oleh Lusy Dian Irveta

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(7)

(8)

(9)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya Skripsi/Tugas Akhir ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademisi (Sarjana/Ahli Madya), baik di Universitas Lampung maupun perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing dan penguji.

3. Dalam karya tulis ini terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh dari karya tulis ini, serta sanksi lainya sesuai norma yang berlaku di Universitas Lampung.

Bandar Lampung, 16 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,

Lusy Dian Irveta 1016041097


(10)

Riwayat Hidup

Penulis bernama lengkap Lusy Dian Irveta, lahir di Kota Jepara, Jawa Tengah pada 12 July 22 tahun yang lalu. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan suami istri Ayahanda Shokhibi dan Ibunda Siti Suryati. Pada tahun 1997-1998 penulis mulai mengenyam pendidikan di Taman Kanak-Kanak Al-Hikmah Sukarame, kemudian dilanjutkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDAl-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 1998-2004. Pendidikan lanjut tingkat pertama penulis tempuh pada tahun 2004-2007 di SMPAl-Kautsar Bandar Lampung. Selanjutnya pendidikan tingkat atas penulis tempuh di SMAN 10 Bandar Lampung pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010 penulis diterima di Universitas Lampung Jurusan Ilmu Administrasi Negara.


(11)

MOTO

Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan

(Al-Insyiroh:6)

When life gives you a hundred reasons to cry. Remember that

God given you a thousand reasons to smile (Damn Its True)

Masa Lalu adalah Sejarah Hidupmu, Jangan Terlalu

dipusingkan, lakukan yang terbaik hari ini dan hari selanjutnya


(12)

P E R S E M B A H A N

Dengan menyebut nama Allah….

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada :

Bapak dan Ibu serta Adik-adikku tersayang yang

selalu memberikan yang terbaik untukku

Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan,

kesabaran, dan do

’a

dalam menanti keberhasilanku

Keluarga besar yang senantiasa memberikan dorongan

kepadaku

Naunganku HIMAGARA

Teman, Sahabatku, Adik dan Kakak Tingkatku Yang

Selalu Memberi Warna dalam Hidupku


(13)

Alhamdulillahirrabbil’alamin, tercurah segala puji dan syukur kehadirat Allah

S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunianya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Besar Muhamad S.A.W, sang motivator bagi penulis untuk selalu ikhlas dan bertanggung jawab dalam melakukan segala hal. Atas segala kehendak dan kuasa Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Keterlibatan Multistakeholder dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Bandar Lampung”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Ibu Meiliyana, S.IP, M.A. selaku dosen pembimbing utama dan sekaligus Pembimbing Akademik Penulis. Terimakasih atas masukan-masukan,


(14)

3. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.sos, M.si selaku Ketua Jurusan Administrasi Negara dan sekaligus dosen Pembahas Penulis. Terimakasih untuk segala saran-saran agar skripsi ini dapat terlihat lebih baik.

4. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah penulis peroleh di kampus dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan penulis ke depannya.

5. Ibu Nur sebagai Staf Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang selalu memberikan pelayanan bagi penulis yang berkaitan dengan administrasi dalam penyusunan skripsi.

6. Keluargaku tercinta yang tak pernah bosan memberikan doa, dan dukungan kepadaku. Bapak, lelaki yang sangat memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya, semua akan dilakukan agar anak-anaknya dapat berpendidikan tinggi. Ibu, wanita tangguh yang senantiasa berdoa bagi kesuksesan di setiap langkah anak-anaknya dan selalu memberikan dukungan sehingga terselesaikannya skripsi ini. Nanda dan Empi, kedua adikku tersayang yang selalu menjadi penghibur penulis.

7. Bapak Drs. Muzarin Daud selaku Kabid Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Dinas Sosial yang tidak pernah bosan menerima kedatangan penulis serta memberikan saran kepada penulis. Bapak Herman Karim S.H, M.H serta seluruh staf dan jajaran Satpol PP Bandar Lampung yang sudah membantu penulis untuk memperoleh data. LSM LAdA, LSM


(15)

Yayasan Sinar Jati Lampung yang tidak bosan-bosan memberikan data dan semangat kepada penulis.

8. Setiaji Bintang P., yang telah menemani penulis mondar-mandir selama proses pelaksanaan skripsi mulai dari pra riset hingga seminar 2 penulis dilaksanakan.

9. Terima kasih kepada teman-teman semasa SMA, Nevia yang udah mau ngenterin riset, Isti dan Tria makasih ya semangatnya, Nurul Nanda dan Ica.

10.Untuk seluruh keluarga besar Ane ’10, Bunga, Gusti, Helsi “eci”, Lica yang selalu menjadi teman kelompok tugas hingga teman melewati masa kuliah bersama dari awal perkuliahan. Astria yang ramah, baik hati dan yang selalu sabar, Pandu si pemberi informasi, Desmon, Cahya, Enggi, Riska, Sari S. teman diskusi yang baik, Triadi, Ade, Indah, Cita, Jodi, dan teman-teman lainnya.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 16 Juli 2014 Penulis


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 11

C.Tujuan Penelitian ... 12

D.Kegunaan Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

A. Tinjauan Tentang Interaksi ... 13

B. Tinjauan Tentang Good Governance ... 18

1. Pengertian Good Governance ... 18

2. Aktor-Aktor Good Governance ... 21

3. Prinsip-Prinsip Good Governance ... 23

4. Kendala Mewujudkan Good Governance ... 26

C. Tinjauan Tentang Stakeholder ... 28

1. Pemerintah ... 29

a. Fungsi Pemerintah ... 29

b. Peran Pemerintah dalam Good Governance ... 32

2. Masyarakat Madani (Civil Society) ... 33

a. Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society) ... 33

b. Karakteristik Masyarakat Madani (Civil Society) ... 34

c. Peran Civil Society dalam Good Governance ... 32

3. Peran Swasta dalam Good Governance ... 36

D. Tinjauan Tentang Anak Jalanan ... 38

1. Pengertian Anak Jalanan ... 38

2. Karakteristik Anak Jalanan ... 40

3. Faktor Penyebab Munculnya Anak Jalanan ... 42

E. Tinjauan Tentang Gelandangan dan Pengemis ... 44

1. Pengertian Gelandangan dan Pengemis ... 44

2. Pengelompokan Pengemis ... 45


(17)

B. Fokus Penelitian ... 48

C. Lokasi Penelitian dan Unit Analisis ... 49

D. Teknik Pengumpulan Data ... 50

1. Sumber Data ... 50

2. Metode Pengumpulan Data ... 51

E. Teknik Analisis Data ... 54

F. Teknik Keabsahan Data ... 55

IV. GAMBARAN UMUM. ... 58

A. Gambaran Umum Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Bandar Lampung ... 58

B. Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Bandar Lampung ... 62

C. Gambaran Umum Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandar Lampung ... 67

D. Gambaran Umum LSM APIK ... 70

E. Gambaran Umum Yayasan Sinar Jati Lampung ... 71

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74

A. Hasil Penelitian ... 74

1. Interaksi Antar Stakeholders Dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 75

a. Interaksi Pada Tahap Penertiban ... 75

b. Interaksi Pada Tahap Pembinaan ... 77

c. Kendala-kendala dalam Interaksi Antar stakeholder ... 82

2. Penerapan Prinsip Good Governance yang digunakan dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 86

B. Pembahasan ... 93

1. Interaksi Antar Stakeholders Dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 93

a. Interaksi Pada Tahap Penertiban ... 96

b. Interaksi Pada Tahap Pembinaan ... 98

c. Kendala-kendala dalam Interaksi Antar stakeholder ... 103

2. Penerapan Prinsip Good Governance yang digunakan dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 105

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 112


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Data Anak Jalanan Serta Gelandangan dan Pengemis di

Bandar Lampung Tahun 2012 ... 4 Tabel 1.2 Data Anak Jalanan Serta Gelandangan dan Pengemis di

Bandar Lampung Tahun 2013 ... 6 Tabel 3. Data Informan ... 52 Tabel 4. Dokumen-Dokumen ... 53 Tabel 5. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota, di Provinsi Lampung Tahun 2005-2010 ... 59 Tabel 6. WILAYAH BINAAN DAN PROGRAM KERJA APIK LAMPUNG ... 71


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Keberadaan Anak Jalanan dan Pengemis di Pusat Kota Bandar

Lampung ... 61

Gambar 2. Berita Acara Serah Terima Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis ... 76

Gambar 3. Dokumentasi Hasil Monitoring yang Dilakukan oleh Dinas Sosial ... 79

Gambar 4. Penertiban Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis yang Dilakukan Oleh Satpol PP Kota Bandar Lampung ... 87

Gambar 5. Program Kegiatan PKSA ... 89

Gambar 6. Program Exceed ... 90


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakatnya, bangsa atau negara dapat dikatakan maju dan berhasil apabila kesejahteraan masyarakatnya telah terpenuhi. Salah satu penghambat dari kesejahteraan masyarakat itu sendiri adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan dalam Nugroho (2000:77) tidak sedikit melanda pada negara berkembang, walaupun masih ada juga beberapa negara maju yang penduduknya masih mengalami kemiskinan. Dampak dari kemiskinan itu sendiri menyebabkan munculnya beberapa masalah sosial.

Masalah sosial merupakan masalah yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat terutama masalah di daerah perkotaan, salah satunya yaitu tingginya angka pengangguran. Selain itu, modernisasi dan industrialisasi yang terjadi juga telah membuat jarak antara si miskin dan si kaya semakin jauh. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa warga yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Permasalahan sosial tersebut merupakan akumulasi atau puncak dari berbagai kompleksitas masalah yang ada, seperti pendidikan yang


(21)

rendah, minimnya keterampilan kerja yang dimiliki, lingkungan, sosial budaya, dan lain sebagainya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, dan identik dengan kemiskinan. Hal ini terjadi akibat dari ketidakseimbangan pertumbuhan penduduk dengan pembangunan. Pertumbuhan penduduk selalu diiringi dengan bertambahnya kebutuhan. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pertambahan kebutuhan yang beragam, dimana seseorang tidak hanya cukup memiliki satu kebutuhan saja, akan tetapi memiliki kebutuhan yang beraneka ragam. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, lapangan pekerjaan, dan pendidikan.

Faktanya tidak semua masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini terlihat dari masih banyaknya warga masyarakat yang dari sisi ekonomi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jumlah penduduk miskin di Bandar Lampung sampai akhir 2011 mencapai angka 215.000 jiwa (Sumber: http://lampung.bps.go.id, diakses pada tanggal 25 Oktober 2013). Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan untuk seluruh masyarakat itu sendiri belum sepenuhnya tercapai. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat dari belum meratanya pembangunan di setiap daerah, terutama daerah-daerah pelosok atau pinggiran, yang sering luput dari perhatian pemerintah.

Hal inilah yang terjadi pada wilayah Provinsi Lampung, dimana tidak meratanya pertumbuhan dan pembangunan. Pembangunan hanya difokuskan pada wilayah


(22)

kota saja, yakni Bandar Lampung. Pembangunan di Bandar Lampung memang mengalami kemajuan yang begitu pesat, terlihat dari berbagai pembangunan yang dilakukan terutama dalam hal infrastruktur, seperti pembangunan jalan raya, pembangunan gedung-gedung bertingkat yang semakin meningkat contoh mall dan sebagainya. Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang ada di desa atau pinggiran Provinsi Lampung memutuskan untuk datang ke Bandar Lampung. Mereka ingin mencoba peruntungan di kota dan berharap bisa merubah nasib dan perekonomian mereka menjadi lebih baik. Namun hal tersebut tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian dan pengetahuan yang terspesialisasi.

Pada akhirnya mereka yang terlanjur datang ke kota dan tidak memiliki bekal yang cukup untuk mendapat pekerjaan yang layak, bekerja serabutan dan tidak tetap. Walaupun begitu mereka tetap bertahan tinggal di kota, karena mereka berpikir lebih mudah mendapatkan uang di kota daripada di desa. Pola pikir seperti inilah yang menyebabkan kebanyakan masyarakat desa memberanikan diri datang ke kota walaupun tidak memiliki bekal keahlian. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus maka yang terjadi adalah perluasan masalah sosial di Bandar Lampung, contohnya yang banyak terjadi di wilayah perkotaan lain yaitu semakin maraknya pengemis dan gelandangan di Bandar Lampung.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti saat pra riset bersama Bapak Herman Karim, selaku Kabid Tibum Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung pada tanggal 9 September 2013, banyak diantara pengemis ini yang berasal dari luar Bandar Lampung, hal semacam ini biasa disebut dengan gangguan Trantib Lintas Batas, dimana para pengemis tersebut berasal dari luar


(23)

kota Bandar Lampung yang datang dan kemudian menjadi masalah sosial yang mengganggu keamanan dan ketertiban kota, dengan cara mengemis dan berkeliaran di tempat umum. Tempat umum yang dimaksud seperti lampu merah, pasar tradisional, terminal dan tempat-tempat umum lainnya sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat.

Tabel 1 : Data anak jalanan (anjal) dan gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada di Bandar Lampung tahun 2012

No. Kategori Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Anak Jalanan 52 7 59

2. Gepeng 9 - 9

(Sumber: Data diolah peneliti berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Bandar Lampung tahun 2013)

Berdasarkan data tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa masih banyaknya masalah di jalanan yang di dominasi oleh anak-anak. Data pada pra riset yang telah peneliti lakukan pada saat mengikuti kegiatan penertiban atau razia Tim Satpol PP Kota Bandar Lampung pada tanggal 25 September 2013, peneliti melihat diantara anak punk yang tertangkap tersebut ada beberapa diantaranya yang masih dibawah umur. Anak-anak ini rata-rata masih berusia dibawah 17 tahun, dan kebanyakan dari mereka yang putus sekolah pada saat duduk di bangku sekolah dasar (SD). Ada juga anak-anak yang secara sengaja di eksploitasi oleh orang tuanya untuk mengemis di jalanan.

Anak-anak jalanan ini biasanya berada di tengah keramaian tempat umum, dengan berbagai aktivitas mereka mulai dari yang berjualan minuman dan makanan ringan, membuka jasa semir sepatu, mengamen, berjualan koran, mengemis, bahkan ada juga diantara anak-anak tersebut yang hidup


(24)

menggelandang. Anak-anak ini kebanyakan masih berusia dibawah 18 tahun. Pada dasarnya anak-anak adalah generasi penerus bangsa, maka dari itu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak perlu mendapat perhatian yang lebih, terutama dalam hal pendidikan. Tidak jarang dari mereka yang masih balita, usia mereka yang masih sangat kecil sangat besar peluang mereka untuk terkena penyakit seperti masuk angin, gangguan pernapasan dan berbagai penyakit lainnya, hal ini dikarenakan kekebalan tubuh mereka masih sangat lemah. Sebagaimana telah tertuang pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Anak jalanan pada hakikatnya menurut Bagong Suyanto (2010:204) adalah korban dan fenomena yang timbul sebagai efek samping dari kekeliruan atau ketidaktepatan pemilihan model pembangunan yang selama ini terlalu menekankan pada aspek pertumbuhan dan bias pembangunan wilayah yang terlalu memusat di berbagai kota besar. Berdasarkan pengertian tersebut maka disimpulkan bahwa persepsi mengenai pembangunan wilayah yang terlalu terpaku pada pertumbuhan pembangunan, padahal pembangunan tidak hanya meliputi pertumbuhan dan pembangunan gedung-gedung bertingkat saja, tetapi juga mencakup pembangunan dari kualitas masyarakat itu sendiri yang tidak kalah lebih pentingnya, seperti peningkatan pendidikan dan kesehatan.


(25)

Tabel 2 : Data anjal dan gepeng Tahun 2013

No. Kategori Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Anak Jalanan 30 - 30

2. Anak Punk 78 10 88

3. Pengemis 40 20 60

4. Pengamen 35 6 41

(Sumber: Data diolah peneliti berdasarkan data dari Tim Satpol PP Bandar Lampung tahun 2013)

Berdasarkan data diatas, anak-anak yang tertangkap dalam razia yang dilakukan oleh Tim Satpol PP sepanjang tahun 2013 terhitung sampai September 2013, data yang diperoleh menunjukkan tingginya anak jalanan yang ada di jalanan berperan sebagai anak punk. Banyak faktor yang mempengaruhi mereka untuk memutuskan hidup di tengah jalan mulai dari kemiskinan, sampai permasalahan internal dalam keluarga. Permasalahan dalam keluarga itu biasanya dikarenakan orang tua yang telah berpisah, secara psikologis hal ini sangat mempengaruhi jiwa sang anak.

Kegiatan mengemis dan mengamen yang dilakukan anak-anak maupun remaja merupakan suatu komunitas yang teroganisir. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bapak Asrin, selaku Komandan Propos Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung, pada tanggal 3 September 2013 yang mengatakan bahwa banyak diantara anak jalanan serta gelandangan dan pengemis (gepeng) tersebut yang memang sengaja dikoordinir oleh pihak tertentu, seperti contohnya anak jalanan yang ada di bawah ramayana, mereka merupakan satu kesatuan kelompok yang dinaungi oleh oknum tertentu. Pagi harinya mereka dibawa dengan menggunakan mobil pick-up, lalu diturunkan pada titik-titik tertentu, salah


(26)

satunya dibawah ramayana tersebut, kemudian dijemput kembali pada malam harinya.

Yang dimaksud berkelompok dalam hal ini adalah mereka yang secara sengaja membuat anggota dimana anggota itu terdiri dari teman atau keluarga mereka sendiri. Terutama apabila salah satu mereka ada yang memiliki keterbatasan fisik atau cacat, misalnya seperti buta. Selain itu ada pula yang turut melibatkan balita, hal ini dimaksudkan untuk semakin menarik simpati dari orang lain.

Tidak sedikit dari pengemis-pengemis ini juga yang hidup menggelandang di sembarang tempat, seperti banyak ditemui jika di malam hari di depan kawasan pertokoan/ruko, pinggir jalan, dan tempat umum lainnya mereka gunakan untuk tidur. Kehidupan seperti ini terpaksa mereka lakukan karena mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap. Istilah gelandangan menurut Sudarsono (1991:59) berarti selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap. Hasil wawancara peneliti terhadap salah satu anggota tim penertiban satpol PP, pada tanggal 25 September 2013, tidak semua pengemis itu adalah gelandangan, karena banyak juga pengemis yang sudah memiliki tempat tinggal tetapi melakukan pekerjaan sebagai pengemis, dikarenakan mereka malas bekerja, ditambah lagi dengan penghasilan yang diperoleh dari mengemis itu sendiri yang cukup besar yaitu kisaran antara Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per hari.

Anak jalanan, gelandangan dan pengemis merupakan permasalahan publik, karena menyangkut kenyamanan masyarakat. Keberadaaan anak jalanan serta gelandangan, dan pengemis ini dianggap telah mengganggu kenyamanan masyarakat pengguna jalan dan merusak keindahan kota, karena biasanya


(27)

mereka beroperasi di tengah keramaian masyarakat seperti lampu merah, pasar tradisional, terminal, dan tempat umum lainnya. Gambaran kejadian tersebut sering peneliti perhatikan sehari-hari banyak di protokol Jl Pramuka, lampu merah Way Halim, Jl. Diponegoro, kawasan Pasar Tengah, jembatan penyebrangan di daerah ramayana dan pasar bambu kuning dan lain sebagainya. Selain mengganggu kelancaran dan kenyamanan bagi pengendara, keberadaan mereka di pinggir jalan sangat membahayakan keselamatan mereka sendiri.

Maka dari itu sudah seharusnya pemerintah dapat lebih tanggap dalam mengatasi permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, sehingga permasalahan ini dapat segera diselesaikan. Sebelum Pemerintah mengeluarkan Perda No. 3 Tahun 2010 tentang pembinaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, tentu saja Dinas Sosial sebagai lembaga pemerintahan sesuai dalam tugas pokoknya yaitu memberikan pelayanan sosial dan rehabilitasi. Selain itu ada juga beberapa lembaga non-pemerintah yang berperan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, seperti LAdA, APIK, sedangkan dari sektor swasta yaitu Yayasan Sinar Jati Lampung. Ketiganya memiliki peran tersendiri.

Secara keseluruhan LSM LAdA sebagai lembaga monitoring yang melakukan kontrol terhadap berjalannya Perda tersebut, dalam pelaksanaannya banyak sekali memberikan masukan kepada Pemerintah, baik sebelum Perda tersebut diberlakukan ataupun setelah disahkannya kebijakan tersebut. LSM APIK selaku lembaga yang melakukan pendampingan terhadap anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Sedangkan Yayasan Sinar Jati sebagai lembaga yang melakukan


(28)

rehabilitasi. Sebelum Perda itu diputuskan mereka hanya menjalankan perannya masing-masing.

Dalam Perda No. 3 Tahun 2010 dijelaskan pada pasal 6 (3) bahwa Pelaksanaan usaha pembinaan dilakukan oleh Dinas sosial dan/atau bekerjasama dengan instansi terkait serta unsur masyarakat, organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan. Oleh karenanya dalam pemenuhan hak-hak anak jalanan dan gepeng pun diperlukan adanya peran dari semua stakeholder baik lembaga

pemerintahan maupun non-pemerintahan untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara bersama dan saling berinteraksi. Sebagaimana tercantum dalam naskah Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 bahwa sebagai upaya pemenuhan hak-hak anak diperlukan adanya upaya mendorong semua tindakan yang menyangkut kepentingan anak, baik yang dilakukan oleh lembaga pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif maupun masyarakat akan memberikan prioritas tinggi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak, demi kepentingan terbaik anak Indonesia. Masing-masing pihak saling bekerja sama sehingga tercapai sinergi antar pihak dalam pelaksanaan program pembangunan yang berkaitan dengan penanganan masalah-masalah anak (sumber: http://www.bappenas.go.id, pada tanggal 20 Desember 2013).

Masing-masing stakeholder tersebut memiliki peran yang sangat penting sesuai dengan tugas mereka dalam melaksanakan penertiban anak jalanan dan gepeng. Tugas Satpol PP sebagaimana tertuang dalam Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Satpol PP Kota Bandar Lampung pasal 3 bahwa Satpol PP mempunyai tugas pokok


(29)

menegakkan peraturan daerah, menyelenggarakan ketertiban umum, ketenteraman masyarakat dan perlindungan masyarakat. Salah satu tugas Satpol PP menyelenggarakan ketertiban umum dari segala macam gangguan, termasuk anak jalanan serta gelandangan dan pengemis yang ada di tempat-tempat umum. Peran Satpol PP dalam hal ini sangat penting dalam pelaksanaan penertiban anak jalanan serta gelandangan dan pengemis, penertiban dilakukan oleh Satpol PP setiap sore berdasarkan pernyataan bapak Asrin selaku Komandan Propos Satpol PP pada tanggal 3 September 2013. Setelah ditangkap anak-anak ini didata dan kemudian diserahkan kepada Dinas Sosial.

Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2008 tentang Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Sosial Kota Bandar Lampung pasal 3 dijelaskan bahwa tugas pokok dinas sosial yaitu melaksanakan urusan pemerintah daerah dibidang kesejahteraan sosial berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Anak jalanan serta gelandangan dan pengemis merupakan salah satu masalah kesejahteraan sosial, dalam hal ini dinas sosial memiliki peran sebagai tempat menampung anak-anak jalanan dan gepeng yang telah ditangkap oleh Satpol PP. Yayasan sinar jati itu sendiri dalam hal ini berperan sebagai lembaga swasta yang menampung anak-anak serta gepeng dari Dinas Sosial yang sudah sepatutnya harus dibina.

Berdasarkan penjelasan diatas, telah dijelaskan bahwa tiap masing-masing stakeholder terlibat dan memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu masing-masing pihak diharapkan mampu menciptakan interaksi dan hubungan sistem kerjasama yang baik. Dengan adanya hubungan kerja sama yang baik antar pemerintah, swasta dan masyarakat maka akan


(30)

tercipta pemerintahan yang baik dan tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Sebagaimana dikatakan oleh Sedarmayanti ((2012:47) bahwa good governance yang efektif menuntut adanya kerja sama yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Kerja sama ini tentunya dibutuhkan komitmen semua pihak terkait, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis merupakan suatu permasalahan yang kompleks. Maka dari itu permasalahan ini perlu melibatkan banyak pemangku kepentingan (multistakeholders). Meskipun telah ada peraturan daerah mengenai larangan mengemis, namun pada kenyataannya masih banyak anak jalanan dan gepeng di tempat-tempat umum di kota Bandar Lampung. Banyaknya pemangku kepentingan sehingga diperlukan kerja sama antar masing-masing pihak agar tercapai tujuan yang ingin dicapai. Maka dari itu peneliti dalam penelitian ini tertarik untuk mengkhususkan mengkaji tentang keterlibatan multistakeholders dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana interaksi multistakeholder dalam penanganan masalah anak jalanan serta gelandangan dan pengemis (gepeng) di Bandar Lampung?


(31)

2. Prinsip apa saja yang digunakan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan menganalisis keterlibatan multistakeholder dalam penanganan masalah anak jalanan dan gepeng di Bandar Lampung.

2. Menganalisis prinsip apa saja yang digunakan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis atau akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu Administrasi Negara, khususnya mengenai tata pemerintahan yang baik (good governance) yang dilakukan oleh beberapa stakeholder dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada seluruh stakeholder dalam menertibkan permasalahan anak jalanan serta gelandangan dan pengemis di Bandar Lampung.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan TentangInteraksi

1. Pengertian Interaksi

Interaksi sosial merupakan bentuk umum proses sosial, karena interaksi sosial adalah syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2007:55) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Interaksi sosial juga merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mumgkin ada kehidupan bersama Young dan W. Mack (dalam Soekanto 2007:54).

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

2. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat Ibid (dalam Soekanto, 2007:58), yaitu:


(33)

a. Adanya kontak sosial, dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok, antar kelompok. Kontak sosial dapat bersifat positif mengarah pada suatu kerjasama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

b. Adanya komunikasi

Arti terpenting komunikasi menurut Soekanto (2007:60) adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok dapat diketahui oleh kelompok lainnya. Hal itu dapat menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya.

Dalam mewujudkan suatu interaksi kontak sosial tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Jika kontak terjadi tanpa adanya komunikasi jika dihubungkan dengan interaksi, hal ini tidak mempunyai arti apa-apa karena kedua kelompok atau individu yang melakukan kontak tersebut tidak mengerti perasaan masing-masing. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu komunikasi terjadi apabila salah satu diantara individu atau kelompok yang berinteraksi dapat mengerti apa yang dilakukan atau dimaksud oleh yang lainnya. Sehingga mereka akan tahu apa yang seharusnya dilakukannya.


(34)

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2007:65) bentuk interaksi sosial ada dua yaitu:

1. Proses yang Asosiatif a. Kerja Sama b. Akomodasi c. Asimilasi

2. Proses yang Disosiatif a. Persaingan b. Kontravensi c. Pertentangan

Interaksi antar stakehoder dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis dapat digolongkan termasuk dalam bentuk interaksi asosiatif, yaitu kerjasama. Charles H. Cooley (dalam Soekanto, 2007:66) kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna.

Thompson (dalam Soekanto, 2007:68) ada lima bentuk kerja sama, yaitu sebagai berikut:


(35)

1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong

2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih

3. Kooptasi, yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

4. Koalisi, yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.

5. Joint Ventrue, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.

Soekanto (2007:67), teori-teori sosiologi akan dapat dijumpai beberapa bentuk kerja sama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerja sama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan kerja sama spontan, kerja sama langsung, kerja sama kontrak, dan kerja sama tradisional. Kerja sama spontan adalah kerja sama yang serta-merta. Kerja sama langsung merupakan hasil dari perintah atasan atau penguasa, sedangkan kerja sama kontrak merupakan kerja sama atas dasar tertentu, dan kerja sama tradisional merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerja sama yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder yang berinteraksi adalah kerjasama langsung, karena kerja sama tersebut muncul berdasarkan sesuai dengan Perda yang telah dibuat oleh Pemerintah.

Disisi lain terjadi pertentangan dalam interaksi yaitu antara Dinas sosial dan LAdA. Pertentangan adalah salah satu bentuk proses sosial disosiatif. Pertentangan menurut Soekanto (2007:91) merupakan suatu proses sosial


(36)

dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Pertentangan ini didasari oleh perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip dasar yang dituangkan dalam Perda No. 3 Tahun 2010.

Sebab-sebab dari pertentangan menurut Soekanto (2007:91) antara lain sebagai berikut:

a) Perbedaan antara individu-individu

Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antara mereka.

b) Perbedaan kebudayaan

Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut.

c) Perbedaan kepentingan

Wujud kepentingan dapat bermacam-macam, ada kepentingan ekonomi, politik, dan lain sebagainya.

d) Perubahan sosial

Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. dan ini menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendiriannya.

Pertentangan menurut Soekanto (2007:93) dapat menghasilkan kerja sama karena dengan terjadinya pertentangan, masing-masing pihak akan mengadakan instropeksi, kemudian mengadakan perbaikan-perbaikan. Namun pertentangan


(37)

dapat menimbulkan dampak yang sebaliknya yaitu munculnya konflik antara dua individu atau kelompok.

B. Tinjauan Tentang Good Governance 1. Pengertian Good Governance

Good Governance menurut Tjokroamidjojo (2001:60) adalah suatu bentuk manajemen pembangunan, yang disebut administrasi pembangunan. Administrasi Pembangunan atau Manajemen Pembangunan menempatkan peran sentral. Pemerintah menjadi agent of Change dari suatu masyarakat (berkembang) dalam negara berkembang. Agent of change (agen perubahan), dan karena perubahan yang dikehendaki, planned changed, maka juga disebut agent of development.

Governance bisa juga diartikan sebagai “suatu kegiatan (proses), sebagaimana dikemukakan oleh beberapa pendapat ahli:

Kooiman (dalam Mustafa, 2013:185) menyatakan bahwa

“Governance berarti serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.”

Selanjutnya Rewansyah (dalam Mustafa, 2013:186), mengatakan:

Governance (kepemerintahan) yang merujuk pada proses, yaitu proses penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara dengan melibatkan bukan saja negara, tetapi juga semua stakeholder yang ada, baik itu dunia usaha/bisnis dan masyarakat madani (civil society).”


(38)

Sedangkan Mustafa (2013:186) sendiri mengatakan:

Governance tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan penyelenggaraan dan bisa juga dartikan pemerintahan. Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan kemudian berkembang dan menjadi popular dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktik terbaiknya disebut kepemerintahan yang baik (good governance).”

Tata kepemerintahan yang baik menurut UNDP (dalam Thoha, 2005:63) itu merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah, rakyat, dan swasta. Secara sederhana, good governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan

yang baik. Yang dimaksud kata “baik” disini adalah mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance. World Bank (dalam Mustafa, 2013:187) mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab serta sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Tjokroamidjojo (2001:63) menjelaskan bahwa pendorong proses pembangunan, perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran perencanaan dan budget yang penting. Perencanaan dan budget juga menstimulasi investasi sektor swasta. Kebijakan dan persetujuan penanaman modal ditangan pemerintah. dalam good governance tidak lagi pemerintah,


(39)

tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha yang berperan dalam governance. Ini juga karena perubahan paradigma pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Justru usaha pembangunan dilakukan melalui koordinasi atau sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Keterkaitan unsur kepemerintahan yang baik dengan penyelenggaraan negara, governance digambarkan dengan tiga kaki berdasarkan UNDP (dalam Sedarmayanti, 2009:279), yaitu:

1. Economic governance, meliputi proses pembuatan keputusan (decision making processes) yang memfasilitasi terhadap equity, poverty dan quality of life;

2. Political governance adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan; 3. Administrative governance adalah sistem implementasi kebijakan, meliputi

tiga domain: negara atau pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat, yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.

Jadi disimpulkan bahwa good governance adalah sistem pemerintahan yang tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi stakeholder lainnya baik dari sektor swasta ataupun masyarakat madani (civil society), yang saling berinteraksi dan menjalankan perannya sesuai fungsinya masing-masing, dalam rangka menuju pemerintahan yang baik.


(40)

2. Aktor-aktor Good Governance

Aktor-aktor good governance disebutkan oleh Idup Suhadi dan Desi Fernanda (dalam Yulyanti, 2010:21) antara lain:

a. Negara atau pemerintah: konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan-kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani. Pengertian negara atau pemerintahan dalam hal ini secara umum mencakup keseluruhan lembaga politik, dan sektor publik. Peranan dan tanggungjawab negara atau pemerintah meliputi penyelenggaraan kekuasaan untuk memerintah, dan membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level lokal, nasional, maupun internasional dan global. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya juga sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.

b. Sektor swasta: pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti industri pengolahan perdagangan, perbankan, koperasi termasuk kegiatan sektor informal. Peran swasta sangat penting dalam pola kemitraan dan pembangunan, karena perannya sebagai sumber peluang untuk meningkatkan produktifitas, penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan, investasi publik, mengembangkan usaha dan pertumbuhan ekonomi.

c. Masyarakat madani: kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara pemerintah dan


(41)

perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi. Kelembagaan sipil tersebut pada umumnya dapat dirasakan oleh masyarakat, melalui kegiatan fasilitasi partisipasi masyarakat melalui mobilisasi.

Prinsip-prinsip good governance tidak akan bermakna ketika tidak ditopang oleh aktor-aktor yang menjadi pendukungnya, yaitu negara atau pemerintah, masyarakat, dan swasta. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Berikut ini gambar hubungan antar sektor:

Gambar 1. Hubungan antar sektor

Sumber: LAN (dalam Mustafa, 2013:188)

Mustafa (2013:188) menjelaskan governance meliputi tiga domain, yaitu negara atau pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. State atau negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, di dalamnya meliputi

lembaga-PEMERINTAH atau NEGARA SEKTOR

SWASTA


(42)

lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Private sector atau sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sektor swasta ini meliputi perusahaan swasta yang bergerak di berbagai sektor informal lain di pasar. Sedangkan society atau masyarakat berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.

3. Prinsip-prinsip Good Governance

Dari berbagai hasil kajian, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menyimpulkan sembilan aspek fundamental dalam perwujudan Good Governance, yaitu:

a. Partisipasi (Participation)

Semua warga masyarakat menurut Azra (2003:183) berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan disebutkan oleh Haris (2007:57) yaitu sebagai berikut:

1) Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan) 2) Ada keterlibatan secara emosional

3) Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya


(43)

Selain itu juga Mustafa (2013:198) bahwa partisipasi juga melibatkan masyaraat dalam implementasi berbagai kebijakan dan rencana pemerintah, termasuk dalam pengawasan dan evaluasinya. Keterlibatan dimaksud bukan dalam prinsip terwakilinya aspirasi masyarakat melalui wakilnya di DPR melainkan keterlibatan mereka secara langsung.

b. Penegakan Hukum (Rule of Law)

Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang anarkis.

c. Transparansi (Transparency)

Prinsip ini diungkapkan Haris (2007:58) sesuai dengan semangat jaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik, sampai pada tahapan evaluasi.

d. Responsif (Responsiveness)

Salah satu asas fundamental menuju cita good governance adalah responsif, yakni pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar (dalam Azra, 2003:185) menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, tidak hanya menunggu masyarakat menyampaikan keinginannya, tapi pemerintah harus secara proaktif mempelajari


(44)

dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum tersebut.

e. Konsensus (Consensus Orientation)

Asas fundamental lain yang juga harus menjadi perhatian dalam Azra (2003:185) pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya menuju cita good governance adalah pengambilan keputusan secara konsensus, yakni pengambilan putusan melalui proses musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama. Menurut Mustafa (2013:191) maksud konsensus disini yaitu pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan masing-masing pihak, jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

f. Kesetaraan dan Keadilan (Equity)

Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, good governance juga harus didukung dengan asas equity, yakni kesamaan dalam perlakuan (treatment) dan pelayanan.

g. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)

Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanaan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besar kelompok dan lapisan sosial. Demikian pula makna efisiensi yang mencakup antara lain efisiensi teknis, efisiensi ongkos dan efisiensi kesejahteraan, yakni


(45)

hasil guna dari sebuah proses pekerjaan yang terserap penuh oleh masyarakat, dan tidak ada hasil pembangunan yang useless atau tidak terpakai. Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat perancang dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata dari masyarakat, secara rasional dan terukur.

h. Akuntabilitas (Accountability)

Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya delegasi dan kewenangan untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan mereka.

i. Visi Strategis (Strategic Vision)

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi massa yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

4. Kendala mewujudkan Good Governance

Upaya perbaikan sistem birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula masih tingginya tingkat penyalahgunaan


(46)

wewenang, banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan. Banyaknya permasalahan birokrasi tersebut belum sepenuhnya teratasi, baik dari sisi internal maupun eksternal.

Dari sisi internal, faktor demokrasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, meningkatnya tuntutan penerapan priinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparasi, akuntabilitas, dan kualitas kinerja publik serta taat hukum. Secara khusus dari sisi internal birokrasi, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi, antara lain pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan, dan banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sedangkan dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-goverment) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat.

Menurut Miyasto (dalam Sedarmayanti, 2009:312) ada beberapa kendala bagi terselenggaranya Good Governance:

a. Terlalu dominannya pemerintah dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan. Sistem manajemen demikian di samping tidak efektif dan efisien juga tidak menimbulkan partisipasi masyarakat yang memadai.


(47)

b. Tidak berfungsinya fungsi kontrol.

c. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang tidak transparan di samping menyebabkan tidak berjalannya mekanisme check and balance, juga turunnya kredibilitas pemerintah.

C. Tinjauan Tentang Stakeholder

Stakeholder merupakan sebuah frasa yang terbentuk dari dua buah kata, yaitu

stake dan holder. Secara umum, kata stake dapat diterjemahkan sebagai kepentingan, sedangkan kata holder dapat diartikan dengan Pemegang. Guth & Masrsh dalam Estaswara (2010:2) menjelaskan bahwa stakeholder adalah pemegang kepentingan, dalam bahasa Indonesia sering kali diterjemahkan

dengan “pemangku kepentingan.” Berdasarkan penjabaran di atas, secara garis

besar, Estawara (2010:2) mendefinisikan konsep stakeholder sebagai individu atau organisasi baik profit maupun non profit yang memiliki kepentingan dengan perusahaan sehingga dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan.

Sedangkan Luk, Yau, dkk (dalam Selviyanna, 2012:42) berpendapat bahwa stakeholder adalah semua pihak, baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Pendapat lain tentang stakeholder menurut International Finance Corporation (IFC) (dalam Selviyanna, 2012:43) bahwa stakeholder adalah orang-orang atau kelompok yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh suatu hal, serta mereka yang mungkin memiliki


(48)

kepentingan dalam proyek dan/atau kemampuan untuk mempengaruhi hasil, baik positif atau negatif.

Wijayanto (2012:41) menjelaskan bahwa stakeholder adalah sekelompok orang atau individu yang berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada pencapaian tujuan organisasi. Selanjutnya stakeholder juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu internal stakeholder dan external stakeholder. External stakeholder merupakan kelompok atau individu yang bukan menjadi anggota organisasi, namun memengaruhi aktivitas organisasi. Sedangkan internal stakeholder merupakan kelompok atau individu yang tidak secara tegas menjadi bagian dari lingkungan organisasi karena sebenarnya internal stakeholder adalah anggota dari organisasi, dimana para manajer memiliki tanggung jawab atas kepentingan mereka. Jadi stakeholder adalah sekelompok orang atau sebuah kelembagaan yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang telah dibuat pemerintah, dan yang dianjurkan dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu.

1. Pemerintah

a. Fungsi Pemerintah

Rewansyah dalam (Mustafa, 2013:90) mengemukakan ada 5 (lima) fungsi utama pemerintah, yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi Pengaturan/Regulasi

Fungsi pengaturan/regulasi (penetapan kebijakan publik) adalah fungsi yang tak dapat di delegasikan, dipindahkan ataupun diprivatisasikan kepada organisasi atau lembaga di luar pemerintahan. Fungsi pengaturan oleh pemerintah tak lain adalah aturan hukum yang dibuat pemerintah untuk mengatur agar kehidupan


(49)

bersama berjalan dengan baik dan memberikan kebaikan ataupun kenyamanan bagi setiap warga Negara. Oleh karena itu, peran pemerintah ke depan adalah membentuk/mengambil kebijakan publik yang efisien, efektif, produktif dan dapat diimplementasikan.

b. Fungsi Pelayanan Kepada Masyarakat

Konsep pelayanan mengandung bermacam-macam arti, meliputi berbagai kegiatan, dan dipakai untuk berbagai bidang studi. Sejauh ini padanan bahasa Indonesia kata pelayanan dalam bahasa Inggris ada dua, yaitu administering dalam administration dan servicing dalam service (public service and civil service). Dalam konsep administration lebih menunjukkan sistem (struktur) dan proses ketimbangan substansi kebutuhan manusia dan publik, sedangkan konsep service, sebaliknya.

c. Fungsi Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah fungsi yang berhubungan secara negatif dengan kondisi ekonomi, politik, dan sosial warga masyarakat, dalam arti: semakin tinggi taraf hidup warga masyarakat, semakin kuat posisi tawar (bargaining position), dan semakin integratif masyarakat. Semakin berkurang fungsi pemberdayaan masyarakat, fungsi pemerintah berubah, dari rowing ke steering.

Pemberdayaan harus terus-menerus, komprehensif dan simultan, sampai ambang batas tercapainya keseimbangan yang dinamik antara pemerintah dengan warga masyarakat. Menurut Ndraha (dalam Mustafa, 2013:96) dalam hubungan itu diperlukan berbagai program pemberdayaan masyarakat antara lain:


(50)

1) Pemberdayaan Politik, yang bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah (rakyat) terhadap pemerintah. Melalui bargaining tersebut yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan dan kepedulian, tanpa merugikan orang lain.

2) Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat sebagai konsumer.

3) Pemberdayaan Sosial Budaya, yang bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui human investment, guna meningkatkan nilai manusia (human dignity), penggunaan manusia (human utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap manusia.

4) Pemberdayaan Lingkungan, dimaksudkan sebagai program perawatan dan pelestarian lingkungan, supaya antara masyarakat dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling menguntungkan.

d. Fungsi Pengelolaan Asset/Kekayaan Negara

Aset/kekayaan negara merupakan segala sesuatu yang bernilai ekonomi baik berupa fisik dan non fisik maupun berupa uang, surat-surat berharga dan kekayaan alam yang terdapat di bumi Nusantara. Sumber daya dapat didefinisikan sebagai kekayaan suatu bangsa yang menjadi modal bagi kejayaan masa depannya. Sumber daya tersebut merupakan milik seluruh rakyat Indonesia yang dikelola/diurus pemerintah.

e. Fungsi Keamanan, Ketertiban, Pengamanan dan Perlindungan

Ada yang berpendapat bahwa fungsi pemerintah di bidang pertahanan, keamanan, ketertiban umum, pengamanan dan perlindungan sudah termasuk dan


(51)

terkait dengan fungsi pemerintah di bidang perumusan kebijakan (pengaturan), pelayanan, pemberdayaan dan fungsi pengelolaan aset/kekeayaan negara. Misalnya, fungsi keamanan dan ketertiban umum merupakan tugas aparatur kepolisian yang dapat juga dirumuskan sebgai fungsi pelayanan keamanan dan ketertiban umum oleh kepolisian. Selain itu dapat diartikan juga melaksanakan fungsi pelayanan pengamanan dan perlindungan warga masyarakat dari berbagai gangguan keamanan.

Berdasarkan kelima fungsi diatas peneliti menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini letak fungsi/peran pemerintah yaitu sebagai fungsi pengaturan atau pembuat kebijakan dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Dimana dalam mengatasi permasalahan anak jalanan dan gepeng pemerintah perlu membuat suatu aturan yang tegas dan kemudian setelah aturan tersebut dijalankan maka langkah yang selanjutnya dilakukan yaitu memberdayakan masyarakat, terutama dalam hal sosial budaya.

b. Peran Pemerintah dalam Good Governance

Pemerintah merupakan salah satu domain dalam good governance. Domain pemerintah (state) menjadi domain yang paling memegang peranan penting di antara ketiga domain dalam mewujudkan good governance. Memegang peran penting yang dimaksud bukan berarti state memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mendominasi domain-domain lainnya, melainkan karena pentingnya fungsi pengaturan yang memfasilitasi berkembangnya domain sektor swasta dan masyarakat (society), serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakan


(52)

publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good governance. (Endarti, 2005:123)

2. Masyarakat Madani (Civil Society)

a. Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society)

Azra (2003:238) mendefinisikan masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Di Indonesia, terma masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Anwar Ibrahim (dalam Azra, 2003:240) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency sistem.

Sedangkan menurut Hikam (dalam Azra, 2003:241) pengertian civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan, kemandirian tinggi


(53)

berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hokum yang diikuti oleh warganya. Kemudian sebagai ruang politik, civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.

Berbagai pengistilahan tentang wacana masyarakat madani di Indonesia tersebut, secara substansial bermuara pada perlunya penguatan masyarakat (warga) dalam sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mampu mengontrol kebijakan negara yang cenderung memposisikan warga negara sebagai subjek yang lemah.

b. Karakteristik Masyarakat Madani (Civil Society)

Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Karakteristik tersebut dijelaskan oleh Azra (2003:247) antara lain sebagai berikut:

a. Free Public Sphere

Free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.


(54)

b. Demokratis

Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasab penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama.

c. Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda.

d. Pluralisme

Menurut Madjid (dalam Azra, 2003:249), konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan.

e. Keadilan Sosial (Social Justice)

Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan


(55)

pemusatan salah satu aspek kehidupan pada suatu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

c. Peran Civil Society dalam Good Governance

Dalam praktek governance dijelaskan dalam World Bank (dalam Endarti, 2005:124), peran masyarakat sama penting dan sejajar dengan peran pemerintah dan sektor swasta dalam pembuatan keputusan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian partisipasi masyarakat merupakan salah satu dari karekteristik penting dalam praktek governance. Partisipasi dimaknai sebagai keterlibatan masyarakat yaitu sebuah proses dimana para stakeholders sebagai partisipan saling mempengaruhi dan berbagi kontrol atas inisiatif pembangunan, keputusan, dan juga sumberdaya yang akan mempengaruhi mereka.

Partisipan bukanlah aktor tunggal melainkan dapat dibagi dalam stakeholders dalam entitas pemerintahan nasional, seperti menteri, parlemen, dan juga agen sektor publik di level sub-nasional, yaitu pemerintahan kabupaten, DPRD, dan sebagainya. Selain itu yang perlu ditekankan disini adalah partisipasi dari aktor-aktor di luar pemerintahan dan sektor swasta yang sudah dibahas di atas. Partisipasi masyarakat sebagai pilar utama demokrasi sangat dibutuhkan dalam menjalankan good governance. Sedangkan untuk menuju demokrasi menurut Thoha (dalam Endarti, 2005:124) perlu terlebih dahulu dibangun civil society atau masyarakat madani. Dimana dengan adanya kekuatan civil society ini berarti negara telah berhasil melakukan pemberdayaan kepada rakyat, dan telah


(56)

ada pengakuan atas hubungan yang erat antara kekuatan pemerintah, kekuatan rakyat sipil, dan kekuatan sektor privat.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran masyarakat sama pentingnya dengan peran pemerintah dan swasta. Untuk mewujudkan demokrasi maka dibangunlah civil society atau masyarakat madani, dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

3. Peran Swasta dalam Good Governance

Sektor swasta menurut Endarti (2005:123) secara umum dapat digolongkan menjadi:

1) Private for profit organization, termasuk dalam kategori ini adalah organisasi-organisasi yang bergerak di bidang bisnis klasik, baik yang berskala kecil maupun berskala besar, serta organisasi-organisasi bisnis modern yang berskala internasional dengan berbasis bisnis jaringan.

2) Private for non-profit organization, termasuk dalam organisasi ini adalah organisasi-organisasi non pemerintahan yang bersifat independen, yaitu lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan-yayasan sosial, dan asosiasi-asosiasi independen lainnya yang memposisikan dirinya bukan sebagai profit oriented organization meskipun mereka adalah organisasi swasta.

Dalam konsep governance, keberadaan sektor swasta merupakan mitra strategis pemerintah yang memiliki sumber-sumber daya yang tidak dimiliki oleh Pemerintah, sehingga kedudukan diantara mereka adalah sejajar. Peran sektor


(57)

swasta sebagai mitra strategis pemerintah menurut Thoha (dalam Endarti, 2005:124) dalam hal ini sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya proses keseimbangan kekuasaan yang berlangsung dalam tata kepemerintahan yang baik. Effendi dalam Endarti (2005:124) menjelaskan bahwa pemerintah tidak lagi tampil menjadi pusat kekuasaan yang mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat, melainkan merupakan fasilitator dalam penyelenggaraan urusan-urusan publik. Sedangkan sektor swasta semakin dituntut perannya sebagai producer atau provider yang memproduksi barang dan jasa yang diperlukan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa peran swasta dalam good governance yaitu meliputi menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.

D. Tinjauan Tentang Anak Jalanan 1. Pengertian Anak Jalanan

Anak jalanan, anak gelandangan atau kadang disebut juga secara eufemistis sebagai anak mandiri, sesungguhnya mereka adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Suyanto (2010:185) mengatakan bahwa marginal, rentan, dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai, dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung


(58)

akibat jam kerja yang sangat panjang benar-benar dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Adapun disebut ekspolitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar yang sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.

Menurut Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996:150) memberikan definisi anak jalanan sebagai berikut:

“Anak jalanan adalah pekerja anak informal karena sebenarnya bekerja di

jalanan, tetapi sisi-sisi kehidupan anak jalanan dilihat dari aspek pekerjaan, bahkan pada beberapa anak jalanan, bekerja bukan merupakan hal yang mutlak lagi. Bagi anak jalanan persoalan sebenarnya bukan bekerja atau tidak, melainkan bagaimana harus tetap hidup (survived).”

Penggunaan istilah anak jalanan menurut Nugroho (2000:78) berimplikasi pada dua pengertian yang harus dipahami. Pertama, pengertian sosiologis, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat mengatakan sebagai kenakalan anak, dan perilaku merteka dianggap mengganggu ketertiban sosial. Kedua, pengertian ekonomi, yaitu menunjuk pada aktifitas sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orangtua yang miskin.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas mengenai anak jalanan, maka dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya sehari-hari di jalanan baik itu bekerja atau kegiatan yang lainya, baik itu mereka masih berhubungan dengan orang tua, atau tidak berhubungan tapi kadang-kadang masih bertemu tapi tidak teratur, serta anak tidak berhubungan sama sekali dengan orang tuanya. Jika dilihat dari pengertian sosiologis seperti yang


(59)

diungkapkan Nugroho, anak jalanan adalah sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan. Masyarakat menganggap sebagai anak nakal dan perilaku mereka mengganggu ketertiban sosial. Sedangkan dari pengertian ekonomi, anak jalanan adalah sekelompok anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orang tua miskin.

2. Karakteristik Anak Jalanan

a. Berdasarkan Usia

Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001:30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Selain itu, dijelaskan oleh Departemen Sosial RI (2001: 23–24), indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6 sampai 18 tahun. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.

b. Berdasarkan Pengelompokan

Menurut Surbakti dkk. (dalam Suyanto, 2010:186), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok yaitu:

Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan


(60)

pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seksual.

Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

c. Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis

Anak jalanan memiliki ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23–24), karakteristik anak jalanan pada ciri-ciri fisik dan psikis, antara lain sebagai berikut:


(1)

73

Dalam rangka mewujudkan Visi tersebut, maka dibentuklah misi sebagai berikut:

a) Membimbing klien agar menyadari segala permasalahannya

b) Membantu dan membimbing klien dalam perilaku, keyakinan dan harga diri.

c) Membangun klien agar dapat bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat

Adapun PMKS yang ditangani baik sistem panti maupun diluar panti yaitu : a. Panti Bina Laras : menangani masalah penderita psikotik dan ek Psikotik b. Panti Pamardi Putra : menangani masalah korban penyalahgunaan

Narkoba (Napza)

c. Panti Welas asih : menangani masalah Lansia / Jompo terlantar

d. Panti Nur Qolbu : menangani masalah Anak Jalanan dan Anak Terlantar e. Panti Gepeng Sinar Jati : menangani masalah Gelandangan dan Pengemis


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya yang difokuskan pada interaksi antar aktor governance yang terlibat dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, serta penerapan prinsip good governance yang digunakan dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Interaksi Antar Aktor Governance dalam Penanganan Anak Jalanan,

Gelandangan dan Pengemis

a. Interaksi pada tahap penertiban, terdiri dari dua lembaga pemerintahan yaitu Dinas Sosial dan Satpol PP. Interaksi sudah berjalan cukup baik, namun belum berjalan efektif karena belum adanya pembinaan secara langsung oleh Dinas Sosial dan pada tahap ini juga yang terlibat hanyalah dari sektor pemerintah saja.

b. Interaksi pada tahap pembinaan, meliputi tiga interaksi. Dua interaksi asosiatif yaitu hubungan kerja sama antara Dinas Sosial dan APIK, serta Dinas Sosial dan Yayasan Sinar Jati, sudah berjalan dengan baik. Sedangkan Interaksi yang ketiga yaitu interaksi disosiatif, yaitu


(3)

111

pertentangan yang dilakukan LSM LAdA kepada Dinas Sosial, sehingga memunculkan konfik diantara keduanya. Hal ini disebabkan karena ada perbedaan pandangan menganai Perda yang dibuat, sehingga mengakibatkan LAdA sudah tidak mau terlibat lagi dalam penanganan anak jalanan. Adanya konflik antara Dinas Sosial dan LAdA, serta tidak adanya interaksi antara Yayasan dan APIK menyebabkan pelaksanaan penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis ini menjadi belum maksimal.

c. Kendala dalam Interaksi Antar stakeholder, yaitu (1) tidak adanya forum diskusi untuk memfasilitasi para stakeholder menyampaikan keluhan ataupun saran kepada Dinas Sosial. Permasalahan yang dihadapi yang belum terselesaikan contohnya masalah sulitnya mendapat rekomendasi dari Dinas Sosial dan tidak diikutsertakannya APIK dalam penertiban padahal sebelumnya APIK sudah mengutarakan kepada Dinas Sosial. (2) Kinerja yang buruk, kinerja yang buruk menyebabkan rendahnya juga kesadaran aparatur untuk menangani anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

2. Penerapan Prinsip Good Governance dalam Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis. Prinsip good governance yang digunakan ada tiga yaitu: Penegakan hukum, Responsif, dan Akuntabilitas. Ketiganya prinsip tersebut sudah tercapai, yang dilakukan oleh stakeholder sesuai dengan fungsinya masing-masing.


(4)

112

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas dikemukakan saran sebagai berikut:

1. Seharusnya Dinas Sosial dan Satpol PP turut melibatkan APIK dan yayasan Sinar Jati Lampung dalam penertiban anak jalanan dan gepeng. 2. Sektor swasta dan LSM seharusnya saling terlibat dan saling berinteraksi,

seperti melakukan pertemuan atau rapat berkala untuk membicarakan program serta saling memberikan pelaporan nama anak dan gepeng yang ditangani dalam setiap bulannya.

3. Pemerintah seharusnya membuat forum diskusi antar stakeholder yang turut menangani anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Agar dapat diketahui permasalahan-permasalahan atau keluhan yang dihadapi, sehingga dapat cepat dicarikan solusinya dan tidak menghambat penanganan terhadap anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

4. Perlu dilakukan pelatihan guna peningkatan kualitas SDM, terutama di Dinas Sosial agar bisa melakukan penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis dengan maksimal.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana

Estaswara, Helpris. 2010. Stakeholder Relations. Jakarta: Universitas Pancasila Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI

Press

Lexy J, Moleong. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mulandar, Surya. 1996. Dehumanisasi Anak Marjinal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan. Bandung: Akatiga and Gugus Analisa

Mustafa, Delly. 2013. Birokrasi Pemerintahan. Bandung: Alfabeta

Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan. Bandung: PT Refika Aditama

Sedarmayanti, 2012. Good Governance “Kepemerintahan Yang Baik” Bagian Pertama Edisi Revisi. Bandung: Mandar Maju

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Sudarsono. 1991. KENAKALAN REMAJA Prevensi, Rehabilitasi, dan Resosialisasi. Jakarta: Rineka Cipta

Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta


(6)

Thoha, Miftah. 2005. Birokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Tjokroamidjojo, Bintoro. 2001. Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara

Widodo, Joko. 2001. Good Governance Telaah Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia

Wijayanto, Dian. 2012. Pengantar Manajemen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Sumber Jurnal, Laporan Penelitian, Makalah Seminar, dan lain-lain

Asmawati. 2001. Anak Jalanan Dan Upaya Penanganannya Di Kota Surabaya. Jurnal Hakiki Vol 1/No. 2

Departemen Sosial RI. 2001. Direktorat Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Lanjut Usia

Endarti, Esa Wahyu. 2005. Aplikasi Prinsip Good Governance Dalam Sektor Publik. Surabaya: Jurnal Administrasi Publik, Vol. II, No. 1 (http://e.pascasarjanauwp.com/files/25e2f9919680833c5f7e0ff1e679c72a.p df, diakses pada 4 February 2014)

Selviyanna, Irma Selly. 2012. Interrelasi Multistakeholder Dalam Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Bidang Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung Yulyanti, Indah. 2010. Analisis Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance

Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Desa. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung

Sumber Hukum

Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, dan Pengemis

Sumber Website

http://lampung.bps.go.id/ (diakses pada tanggal 25 Oktober 2013) http://www.bappenas.go.id (diakses pada tanggal 20 Desember 2013)