commit to user
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Ascaris suum, Goeze
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas :
Nematoda Subkelas :
Scernentea Bangsa
: Ascaridia Famili
: Ascarididea Marga
: Ascaris Jenis
: Ascaris suum, Goeze Loreille, 2003
Cacing Ascaris suum, Goeze disebut juga Ascaris suilla yang secara morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn. Cacing
ini mirip dengan Ascaris Lumbricoides, Linn dalam hal menginfeksi babi percobaan tetapi gejala akibat infeksi Ascaris lumbricoides, Linn berbeda
dengan yang diakibatkan oleh Ascaris suum, Goeze. Selain itu, perbedaan lainnya terdapat pada deretan gigi dan bentuk bibirnya Miyazaki, 1991.
Siklus hidup dan cara infeksi cacing Ascaris suum, Goeze sama dengan cacing Ascaris lumbricoides, Linn Miyazaki, 1991; Robert et al.,
2005. Hospes yang penting untuk cacing ini adalah babi. Akan tetapi, cacing ini juga dapat menjadi parasit pada kambing, domba, dan anjing
commit to user
Soedarto, 1992. Yoshihara 2008 menemukan bahwa pada ayam yang terinfeksi Ascaris suum, Goeze terjadi lesi hepatik karena migrasi dari
larva cacing ini. Siklus hidup dan cara infeksinya sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn. Ascaris suum, Goeze juga dapat menginfeksi manusia
namun tidak menimbulkan manifestasi klinis yang berarti Miyazaki, 1991.
2. Ascaris lumbricoides, Linn
a. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas :
Nematoda Subkelas
: Scernentea Bangsa
: Ascaridia
Famili :
Ascarididea Marga
: Ascaris
Jenis : Ascaris lumbricoides, Linn Utari, 2002
b. Morfologi
Cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm, sedangkan yang betina sekitar 22-35 cm. Cacing dewasa tubuhnya berwarna kuning
kecoklatan serta mempunyai kutikulum yang rata dan bergaris halus. Kedua ujung badan cacing membulat. Mulut cacing mempunyai 3
buah bibir, satu di bagian dorsal dan yang lain di bagian subventral.
commit to user
Pada cacing jantan, bagian ekornya melengkung ke arah ventral, serta ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di bagian
ekornya posterior, dimana masing-masing spikula berukuran sekitar 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang
membulat conical dan lurus. Cacing betina pada sepertiga depan terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi Zaman,
1997. Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang
tidak dibuahi berukuran 90x40 mikron, sedang telur yang telah dibuahi berukuran lebih kecil yaitu sekitar 60x45 mikron. Telur yang
telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia Gandahusada dkk, 2000.
c. Habitat, Siklus Hidup, dan Cara Infeksi
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi dapat berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3
minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia akan menetas dalam usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe lalu dialirkan ke jantung kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Di paru, larva menembus dinding
pembuluh darah lalu dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea,
larva ini menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan
commit to user
ke esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan hingga cacing
dewasa bertelur diperlukan waktu sekitar 2 bulan Gandahusada dkk, 2000. Cacing dewasa terdapat di dalam usus halus tetapi kadang-
kadang dijumpai di bagian usus lainnya. Cacing dewasa dapat hidup pada saluran pencernaan selama 6 – 24 bulan Rasmaliah, 2001.
Selain di dalam usus manusia, cacing ini juga dapat hidup di dalam usus babi Soedarto, 1992.
d. Patologi dan Gambaran Klinis
Sebagian besar kasus tidak menujukkan gejala, akan tetapi karena tingginya angka infeksi, morbiditasnya perlu diperhatikan
Widoyono, 2008. Jumlah cacing yang cukup besar hyperinfeksi terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi. 20 ekor
cacing Ascaris lumbricoides, Linn dewasa di dalam usus manusia mampu mengkonsumsi 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein
setiap hari. Selain itu cacing tersebut juga dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala seperti
demam typhoid yang disertai dengan tanda alergi seperti urtikaria, odema di wajah, konjungtivitis, dan iritasi pernapasan bagian atas
Rasmaliah, 2001. Di dalam paru, larva cacing ini akan merusak kapiler paru sehingga dapat menyebabkan kelainan yang disebut
Syndrom Loeffler, yaitu gejala-gejala demam, sesak nafas, eosinofilia, dan pada foto Roentgen thoraks terlihat infiltrat yang hilang setelah 3
commit to user
minggu Laskey, 2007. Pada stadium dewasa, di usus cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti tidak nafsu makan,
muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual, serta dapat menyebabkan obstruksi ileus. Bila cacing masuk ke saluran empedu makan dapat
menyebabkan kolik atau ikterus. Diagnosis askariasis dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien atau ditemukan cacing
dewasa yang keluar lewat anus, hidung, atau mulut Gandahusada dkk, 2000; Laskey, 2007.
3. Jambu Biji Psidium guajava, Linn
a. Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi :
Spermatophyta Sub Divisi
: Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Suku :
Myrtaceae Marga
: Psidium Spesies
: Psidium guajava, Linn Soedjito, 2008 b.
Morfologi Tanaman Jambu biji merupakan tanaman yang berasal dari daerah
Amerika Tropik antara Mexico sampai dengan Peru, menyebar ke daerah Asia oleh pedagang Spanyol dan Portugis Verheij and
Coronel, 1999. Tinggi tanaman dapat mencapai 10 meter Heyne, 2001, mulai berbuah antara umur 2 sampai dengan 4 tahun dan umur
commit to user
tanaman produktif 30-40 tahun Verheij dan Coronel, 1999. Jambu biji banyak ditanam sebagai pohon buah-buahan, sering tumbuh liar
dan terdapat dari dataran rendah sampai 1200 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan ini tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat, di
tempat terbuka dan banyak air. Jenis jambu biji di seluruh dunia ada sekitar 150. Di Indonesia
yang banyak ditanam adalah jenis jambu sukun, jambu susu putih, jambu apel, jambu australia, jambu palembang, jambu kamboja,
jambu pasar minggu, jambu merah getas, jambu harum manis, jambu sari, dan jambu tukan. Berdasarkan pada karakteristik beberapa jenis
jambu biji yang ada di masyarakat saat ini, tanaman ini dapat digolongkan dalam 3 tipe Yuliani dkk, 2003. Perbedaan karakteristik
dari ketiga tipe jambu biji tersebut dapat diamati pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Morfologi 3 Tipe Tanaman Jambu Biji
Karakteristik Tipe Tanaman
I II III Batang
Bulat, warna kemerahan
Persegi, warna hijau muda
Persegi, warna kecoklatan
Daun Kemerahan Hijau
muda Hijau muda,
ujung lancip Rata-rata panjang
daun 13,03 cm
12,94 cm 11,95 cm
Rata-rata lebar daun 6,54 cm
5,94 cm 4,15 cm
Rata-rata jumlah tulang daun
16,14 cm 30,53 cm
38,8 cm Rata-rata panjang
tangkai 1,12 cm
0,69 cm 0,73 cm
Jumlah bunga Banyak
Satu Satu
Warna kulit buah Kekuningan
Kuning Hijau
Warna daging buah PutihMerah
Kuning PutihMerah
Rasa buah Asam berpasir
Manis renyah Manis halus
Sumber: Yuliani dkk 2003
commit to user
Gambar 1. Berbagai Jenis Jambu Biji Sumber: Soedjito, 2008
c. Kandungan Kimia
Daun jambu biji mengandung tanin, minyak atsiri eugenol, minyak lemak, damar, zat samak, triterpinoid, asam apfel dan
buahnya mengandung asam amino triptofan, lisin, kalsium, fosfor, besi, belerang, vitamin A, B1 dan C Wijayakusuma et al., 1994.
Kandungan vitamin C buah jambu biji sekitar 87 mg100 g buah, dua kali lipat dari jeruk manis 49 mg100 g, serta delapan kali lipat dari
lemon 10,5 mg100 g. Daun jambu biji mempunyai khasiat sebagai antidiare, astringen, mengobati sariawan dan menghentikan
perdarahan. Sebagai obat anti diare, jambu biji telah dipasarkan dalam bentuk jamu modern, bahkan industri farmasi telah memformulasikan
daun jambu biji menjadi obat fitofarmaka yang sudah banyak beredar di pasaran Soedjito, 2008. Selain itu, daun jambu biji mempunyai
kandungan senyawa tanin yang besar, yaitu sekitar 90.000-150.000 ppm Duke, 2009. Akan tetapi, kandungan senyawa tanin yang besar
ini belum banyak dimanfaatkan sebagai antihelmintik. d.
Tanin Alkaloid tanin merupakan poliphenol tanaman yang larut dalam
air dan dapat menggumpalkan protein Westerdarp, 2006. Alkaloid
commit to user
tanin memiliki efek vermifuga dengan cara merusak protein tubuh cacing. Hal ini dapat menyebabkan gangguan metabolisme
homeostasis pada cacing sehingga cacing akan mati. Harvey John, 2005. Hal ini dimungkinkan karena tanin mempunyai gugus karbonil
yang menyebabkannya mudah terprotonisasi menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion positif ini kemudian akan menarik ion-ion negatif
pada struktur protein, baik mikroorganisme penyebab diare, maupun pada organisme lain pada saluran pencernaan manusia Sutrasno dkk,
2008. Oleh sebab itulah tanin pada jambu biji ini dapat bersifat sebagai antihelmintik. Efek antihelmintik tanin dapat dilihat secara In
vitro maupun In vivo di dalam tubuh kambing dan domba Brunet dan Hoste, 2006; Iqbal dkk 2007; Cenci dkk, 2007; Anthanasiadou dkk,
2001. Tanin juga memiliki aktivitas penghambatan terhadap migrasi larva cacing pada kambing Alonso dkk, 2008.
commit to user
B. Kerangka Pemikiran