Efektifitas pencatatan perkawinan pada KUA kecamatan Bekasi Utara

(1)

EFEKTIFITAS PENCATATAN PERKAWINAN PADA KUA

KECAMATAN BEKASI UTARA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

ISTI ASTUTI SAVITRI

NIM: 107044202126

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

EFEKTIFITAS PENCATATAN PERKAWINAN PADA KUA

KECAMATAN BEKASI UTARA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

OLEH:

ISTI ASTUTI SAVITRI NIM: 107044202126

Di Bawah Bimbingan

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP: 19500306 197603 1001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “EFEKTIFITAS PENCATATAN PERKAWINAN PADA KUA KECAMATAN BEKASI UTARA”, telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah dengan konsentrasi (Administrasi Keperdataan Islam).

Jakarta, 22 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs.H.Ahmad Basiq Djalil, MA

NIP. 19500361 9760 3 1001 (...) Sekertaris : Hj.Rosdiana, MA

NIP. 19690610 200312 2001 (...) Pembimbing : Drs. H .Ahmad Basiq Djalil, MA

NIP. 19500361 9760 3 1001 (...)

Penguji I : DR. H. Supriyadi Ahmad, MA

NIP. 195811281994031001 (...) Penguji II : Arif Furqon, M. Ag


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tak hentinya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas ridha dan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan pula kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta umatnya, yang Insya Allah kita termasuk di dalamnya.

Selama proses penulisan skripsi ini penulis sangat menyadari bahwa dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA dan Hj. Rosdiana, MA., selaku ketua dan sekertaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., atas waktu, perhatian serta doa selama proses bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Bapak senantiasa diberikan nikmat sehat dan selalu menjadi suri taudalan bagi kami.


(5)

4. Para Dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas segala ilmu yang diberikan. Semoga menjadi ilmu yang berkah dan manfaat di dunia dan di akhirat.

5. Segenap Staf, Karyawan Akademik, Perpustakaan Utama UIN dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan kemudahan penulis dalam mencari referensi.

6. Kedua orang tua ayahanda H. Amansyah dan uminda Hj. Aisyah yang telah merawat dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih syang dan tentu biaya yang sangat besar untuk pendidikan penulis. Penulis berjanji tidak

akan mengecewakan kalian berdua. Do’akan selalu ananda agar menjadi anak

yang berbakti pada orang tua dan selalu membuat kalian bangga. Amin

7. Aa dan teteh, Aani, Aasep dan Teh Yuli juga Teh Eka Merdekawati S.Sos, I yang telah membantu membiayai penulis selama penulis kuliah di UIN Jakarta semoga mendapat hasil yang bermanfaat. Keponakan-keponakan ku Aa Rafif dan dede Fachri yang selalu menghibur penulis disaat penulis lelah dan jenuh semoga kalian berdua menjadi anak yang berguna nantinya. Amin Love You Full

8. H. Madinah, S.Ag, MM., selaku Kepala Kantor Urusan Agama dan para Staf Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Utara yang telah menyediakan data-data primer kepada penulis dalam proses penelitian guna menyelesaikan skripsi ini.


(6)

9. My Special Person …Z.A.M… yang selalu menyemangati dan senantiasa memberikan bantuan dan menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Thanks for your time and support.

10. Teman-teman AKI 2007, khususnya Genk Nero (Ubee, Iyoh, Ante Ulan, Jupe, Bundo, dan Mamase), yang telah banyak memberikan motivasi serta gagasan dalam menyelesaikan skripsi ini.I will miss you all.

11. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga Allah membalas semua amal baik dengan pahala yang berlipat ganda.

Jakarta, 20 Mei 2011


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Lembar Persetujuan Pembimbing ... ii

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... iii

Lembar Pernyataan... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi...viii

Daftar Lampiran ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 7

E. Review Study Terdahulu... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PENCATATAN PERKAWINAN... 12

A. Pengertian dan Asas-asas Perkawinan ... 12

B. Tujuan Perkawinan...20

C. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Nikah... 25


(8)

BAB III PROFIL KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN

BEKASI UTARA ... 34

A. Letak Geografis Wilayah ... 34

B. Profil Kantor Urusan Agama ... 35

C. Struktur Organisasi ... 39

BAB IV EFEKTIFITAS PENCATATAN PERKAWINAN... 40

A. Pengertian Efektivitas ... 40

B. Tata Cara dan Prosedur ... 42

C. Pentingnya Pemahaman Masyarakat... 48

D. Masalah dan solusi yang dilakukan KUA... 52

E. Analisis Penulis... 56

BAB V PENUTUP ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran... 60

DAFTAR PUSTAKA...62


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Surat Permohan Wawancara/Data... 63

Surat Telah Melakukan Wawancara dari KUA kec. Bekasi Utara ... 64

Pedoman Wawancara ... 65

Daftar Nama-nama Penghulu KUA kec. Bekasi Utara Bulan Maret 2011... 66

Data Personil Kantor Urusan Agama kec. Bekasi Utara Bulan Maret 2011 ... 67

Jumlah Nikah,Thalak, Cerai dan Rujuk KUA kec. Bekasi Utara Bulan Maret 2011 ...68

Data Peristiwa Nikah dan Rujuk ... 69

Data Nama-nama Peristiwa Nikah Wali Hakim ... 70

Data pembinaan dan Penasehatan Perkawinan ... 71

Lembar N1 ... 72

Lembar N2 ... 73

Lembar N3 ... 74

Lembar N4 ... 75

Lembar N5 ... 76

Lembar N6 ... 77

Lembar N7 ... 78

Lembar N8 ... 79

Lembar N9 ... 80

Surat Pemberitahuan Kehendak Nikah ... 81


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-istri menjadi satu keluarga. Allah menciptakan untuknya pasangan dari jenisnya sendiri, sehingga masing-masing dari keduanya mendapat ketenangan.1

Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin yang berlainan yaitu seorang perempuan dan seorang laki-laki, diantara keduanya ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu tujuan yaitu meneruskan keturunan.2

Untuk sahnya suatu perkawinan yang ditinjau dari sudut keperdataan adalah bilamana perkawinan tersebut sudah dicatat atau didaftarkan pada Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil sesuai dengan agama yang dianutnya.3 Selama perkawinan ini belum terdaftar perkawinan itu masih belum dianggap sah menurut ketentuan hukum negara sekalipun mereka sudah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan agama. Sedangkan bilamana yang ditinjau sebagai suatu perbuatan

1 Muhammad Nabil Kazhim,Buku Pintar Nikah : Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, (Solo: Samudera, 2007), h. 14.

2 Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 7.

3

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sayuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. Ke-5, h. 175. Di pasal ini diatur tata cara pencatatan pernikahan baik sesama muslim maupun muslim/ dengan non muslim.


(11)

keagamaan pencatatan nikah hanyalah sekedar memenuhi administrasi perkawinan saja yang tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.4

Ketentuan mengenai pencatatan nikah diatur dalam Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1 berbunyi “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi

masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.”5

Pengertian pencatatan nikah adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seseorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Sedangkan pengertian perkawinan dalam Ensiklopedi Indonesia adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang keduanya bukan muhrim dan dilakukan dengan ijab Kabul.6

Pencatatan nikah sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti autentik tentang keabsahan pernikahan itu baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah itu, mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris.7

Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan dengan

individual yang lain atau dalam masalah mu’amalah, Islam sebagai agama yang

sempurna telah terlebih dahulu memerintahkan kepada para pemeluknya untuk

4Syaharani,Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Alumni, tth), h. 10.

5 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 2001), h. 15.

6 Hassan Sadily, et al.,Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), h. 2388.

7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. xx.


(12)

mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelupan tentang sesuatu dengan jalan mencatat peristiwa tersebut.

Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti ini menuntut adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain masalah pencatatan perkawinan apabila hal ini tidak memdapat perhatian. Kemungkinan besar akan timbul kekacauan dalam kehidupan masyarakat, mengingat jumlah manusia sudah sangat banyak dan permasalahan hiduppun semakin kompleks. Mengatahui hubungan perkawinan seseorang dengan pasangannya mungkin akan sulit bila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama jika terjadi sengketa, antara lain mengenai sah tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan kewajiban keduannya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak tercatatnya hubungan suami-istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami-istri.8

Dengan adanya bukti pencatatan perkawinan, perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan “hanya”dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi mereka yang akan melangsungkan perkawinan.9

8 Ahmad Kuzari, Nikah sebagai PerikatanJakarta: PT. Grafindo Persada, 1995), h. 30. 9 Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), cet. Ke-2, h. 15.


(13)

Sahnya suatu perkawinan merupakan hal yang sangat penting karena ia berkaitan erat sekali dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang berkenaan dengan keturunan (anak) maupun harta. Bila perkawinan itu dinyatakan sah, maka baik harta yang diperoleh selama dalam perkawinan, maupun anak yang lahir dalam perkawinan tersebut, kedudukan hukumnya menjadi tegas dan jelas.10

Disyaratkan untuk sahnya akad nikah dua hal: (1) hadirnya dua orang saksi (2) mempelai wanita ada di tempat dilangsungkannya akad nikah dan berada dalam satu waktu dilaksanakannya akad.

Mengenai syarat saksi, para ulama bersepakat bahwa tujuan utama dari pada persaksian itu adalah memberitahukan kepada orang lain dan mengabarkannya kepada orang banyak pernikahan itu, agar dengan pemberitahuan itu orang-orang tahu keduanya telah melangsungkan pernikahan.

Akan tetapi apakah kesaksian dua orang itu dianggap cukup untuk mengumumkan tanpa harus mengabarkan orang banyak, dalam hal ini ada tiga pendapat:

1. Pendapat Imam Abu Hanifah, bahwasanya mendatangkan dua orang saksi sudah cukup untuk mengumumkan, meskipun para saksi itu saling menyembunyikan kabar pernikahannya, ini juga merupakan pendapat sebagian ulama lain, alasan mereka bersandarkan hadis Nabi yang menerangkan bahwa nikah itu cukup

10 Hartono Marjdono,Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesian. (Bandung: Mizan, 1997), cet.ke-1, h. 91.


(14)

dengan sepengetahuan wali dan dua orang saksi. Jadi cukup hanya dengan memberitahukan saksi.

Sesungguhnya kesaksian itu telah menggambarkan jalan pemberitahuan, dan dengan kehadiran dua saksi dan dua orang yang berakad itu sudah mengandung makna keterbukaan dan mengumumkan, meskipun nantinya mereka saling merahasiakan kabar pernikahan itu. Karena rahasia antara empat orang itu tidak dianggap kabar rahasia, tapi hal itu sudah dianggap kabar umum.

2. Pendapat yang masyhur dari Imam Malik, kesaksian bukanlah syarat untuk sahnya akad, tapi pengumumanlah yang merupakan syarat sah akad, adapun kesaksian merupakan syarat untuk halalnya menggauli istri. Adanya dua orang saksi dianggap tidak cukup untuk pemberitahuan, dan bahwa dua orang saksi jika bersepakat untuk saling menyembunyikan pernikahan itu maka tidak sah lah akad, akan tetapi yang diharuskan adalah memperbanyak pemberitahuan kepada orang banyak.

3. Menurut pendapat yang ketiga yakni pendapat Imam Ahmad bin Hambal, pengumuman saja cukup untuk sahnya akad, tanpa harus menentukan saksi, karena hadis yang mengharuskan adanya saksi pun bertujuan untuk memberitahukan orang lain tentang pernikahannya.11

Selain itu, sebagaimana yang telah diketahui, bahwa pada akhir-akhir ini sering terdengar dan bahkan tidak jarang menemukan suatu kasus tentang perkawinan

11 Muhammad Abu Zahrah,Al-ahwal Al-syakhsiyyah, (Kairo: Daarul Fikr Al-arabi, 2005), h. 52-53.


(15)

di kalangan penduduk Indonesia yang beragama Islam yang dilakukan diluar pencatatan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Istilah yang popular untuk itu ialah nikah di bawah tangan karena memang pernikahannya itu tanpa disertai dengan akta nikah yang ditertibkan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk Menteri Agama Republik Indonesia.12

Perkawinan yang demikian, walaupun dilihat dari segi ibadah keagamaan adalah sah akan tetapi jika dilihat dari segi pembuktian maka nikah yang demikian tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna karena ditertibkan akta nikahnya oleh Pegawai Pencatat Nikah yang resmi. Hal ini tentu akan menimbulkan kesulitan dikemudian hari apabila timbul suatu masalah dalam hubungan perkawinan mereka, seperti dalam hal menentukan faraidh bagi janda atau duda yang ditinggal mati istrinya atau suaminya dan contoh lainnya.

Pencatatan nikah mempunyai relevansinya dengan kesadaran hukum masyarakat. Dengan adanya kesadaran hukum dari masyarakat, maka ketentuan pencatatan nikah dapat diterapkan ditengan-tengah masyarakat, namun demikian juga sebaliknya, tanpa ada kesadaran hukum dari masyarakat mustahil ketentuan mengenai pencatatan nikah dapat diterapkan di masyarakat.13

Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, maka penulis yang kebetulan bertempat tinggal di wilayah kecamatan Bekasi Utara tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang efektifitas pencatatan perkawinan yang terjadi pada lingkungan

12 Dodi Ahmad,Nikah Siri Yes or No?, (Jakarta; Lintas Pustaka, 2008), h. 82. 13Happy Susanto,Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h. 100.


(16)

masyarakat di wilayah Bekasi Utara, sehingga penulis mengangkatnya dalam bentuk

skripsi yang berjudul “Efektifitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA Kecamatan Bekasi Utara”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pencatatan perkawinan dalam skripsi ini dibatasi pada pencatatan atau pengisian model N1 sampai N5 untuk identitas para calon pengantin dan persetujuan calon pengantin dan identitas wali dan juga masalah pembayaran pencatatan perkawinan. Data yang diteliti dibatasi dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010.

Sedangkan Kantor Urusan Agama dibatasi pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Bekasi Utara yang beralamat di Jln. KH. Muchtar Tabrani No. 15 Kota Bekasi Jawa Barat.

2. Perumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini maka dirumuskan

masalahnya sebagai berikut. “Sesuai dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku bahwa semua perkawinan harus dicatatkan, tetapi dalam kenyataannya banyak ditemukan perkawinan yang tidak dicatatkan”.

Agar lebih spesifik, rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:


(17)

b. Apa sajakah faktor yang menghambat efektivitas pencatatan perkawinan di KUA Kec. Bekasi Utara?

c. Apa sajakah upaya yang dilakukan KUA untuk menanggulangi efektivitas pencatatan perkawinan di KUA Kec. Bekasi Utara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi persyaratan formalitas dalam mendapatkan gelar akademik Sarjana Syariah strata I Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Adapun tujuan penulisan dalam skipsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui efektifitas pencatatan perkawinan di KUA Kec. Bekasi Utara.

b. Untuk mengetahui faktor yang menghambat efektivitas pencatatan perkawinan di KUA Kec. Bekasi Utara.

c. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan KUA untuk menanggulangi perkawinan yang tidak dicatatkan.

2. Manfaat Penelitian


(18)

a. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang Administrasi Keperdataan Islam.

b. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat dalam praktik pernikahan yang terjadi di mayarakat.

D. Metode Penelitian

Untuk penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deduktif analisis, yakni suatu metode dalam penelitian sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran pada masa sekarang14. Tujuan dari deskripsi ini adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fenomena yang diselidiki.

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah wawancara. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas, hal tersebut adalah agar dalam penelitian didapatkan hasil yang alami dan mendalam, tetapi tetap memakai pedoman sebagai petunjuk wawancara untuk menjadikan wawancara lebih teratur dan terarah. Wawancara dilakukan agar penelitian ini mendapatkan data yang benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.


(19)

Wawancara dilakukan dengan pihak Kantor Urusan Agama Bekasi Utara yang antara lain kepala KUA, penghulu dan pegawai KUA. Dengan metode wawancara ini diharapkan penulis dapat mengetahui secara mendalam prosedur atau birokrasi pencatatan perkawinan yang berlaku pada Kantor Urusan Agama Bekasi Utara.

Selain itu pada penelitian ini penulis juga menggunakan teknik studi dokumenter dan studi pustaka untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sangat penting dilakukan, karena beberapa bahan materi terdapat dalam dokumen, jurnal, dan buku-buku.

2. Jenis dan Instrumen Pengumpulan data

Berhubung dalam penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan kualitatif, maka jenis data yang digunakan adalah wawancara. Data kualitatif memerlukan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara lapangan kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang telah ditentukan, data yang diperoleh dari hasil wawancara, serta data statistik pernikahan di KUA Bekasi Utara merupakan data primer yang nantinya diolah dan kemudian dianalisa secara deskriptif. Dalam metode wawancara maka instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut:

a. Pedoman wawancara, yaitu berlaku sebagai pegangan peneliti dalam melakukan proses wawancara agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

b. Alat perekam, yaitu dengan alat ini peneliti akan lebih mudah melakukan proses wawancara, hasil rekaman tersebut dianalisis secara deskriptif.


(20)

Kemudian untuk melengkapi data primer, data sekunder diperoleh dari buku, dokumen, arsip atau jurnal, yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam landasan teoritis.

3. Analisis Data

Setelah seluruh data diperoleh melalui wawancara, maka data tersebut akan dianalisa secara konten analogis, yang mana seluruh hasil wawancara akan dianalisa dan disimpulkan sehingga jawaban dalam penelitian ini dapat diketahui. Konten analogis, merupakan teknik penelitian untuk membuat inferensi yang dapat ditiru dan shahih data yang memperhatikan konteksnya dan analisa seperti ini berhubungan erat dengan komunikasi atau isi komunikasi.

Data yang telah diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, maupun tulisan karya ilmiah kemudian diklarifikasikan untuk dimasukkan kemasing-masing variabel dan kemudian diinterprestasikan. Begitu pula data yang diperoleh dari hasil lapangan maka setiap poin pertanyaan dan jawaban dari wawancara dimasukan kevariabel yang tepat untuk dapat diinterprestasikan.

E. Review Studi Terdahulu

Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan pencatatan nikah diantaranya adalah:


(21)

No. Identitas Penulis Substansi Perbedaan

1. Nurria Ningsih Pencatatan perkawinan

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan relevansinya dengan keadaan masyarakat

Penelitian tidak hanya

dilakukan pada

masyarakat. 2. Salman al-Farouqi Efektivitas pelaksanaan KMA

No. 477 Tahun 2004 tentang pencatatan nikah

Dalam melakukuan

penelitian tidak hanya berpedoman pada KMA No. 477 Tahun 2004

3. Teguh Pribadi Tinjauan yuridis terhadap

pencatatan perkawinan (studi kasus KUA Malingping, Banten)

Menyoroti bagaimana

KUA memandang

pentingnya pelaksanaan pencatatan perkawinan

4. Asyhari Pandangan tokoh masyarakat

kecamatan Paciran terhadap perncatatan perrkawinan

Tidak hanya meneliti dari

pandangan tokoh

masyarakat tetapi juga dari berbagai pihak yang ada dalam masyarakat

5. Moh. Andi Hakim Tingginya biaya pencatatan

perkawinan (studi kasus KUA Cilandak)

Tidak hanya menyoroti hal biaya pencatatan tetapi juga menelisik apa saja yang menjadi hambatan

dari pelaksanaan

pencatatan nikah 6. Siti Nurhairunisa

Adini

Urgenitas pelaksanaan

pencatatan nikah (studi kasus KUA kecamatan Larangan)

Tidak hanya menyoroti hambatan dari pelaksanaan pencatatan nikah tetapi juga menyoroti dampak-dampak dari perkawinan yang tidak dicatatkan

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari V bab, yang terdiri dari sub-sub bab. Sistematika ini dimaksudkan untuk memudahkan jalannya penulisan dan pengambilan kesimpulan akhir setelah diadakan analisa permasalahan yang tercakup dalam sub-sub bab.


(22)

BAB Pertama tentang, Pendahuluan, yang dibahas Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Review Study Terdahulu dan Sistematika Penulisan. Bab pendahuluan ini merupakan uraian yang berhubungan erat dengan materi pembatasan.

BAB Kedua tentang, Tinjauan Teoritis Tentang Perkawinan, yang dibahas mengenai pengertian perkawinan dan asas-asas perkawinan, tujuan perkawinan setelah itu dipaparkan juga tentang pengertian dan pencatatan nikah serta peranan pencatatan nikah bagi kepastian hukum.

BAB Ketiga tentang, Profil Kantor Urusan Agama Kec. Bekasi Utara, yang dibahas mengenai letak geografis wilayah, profil kantor urusan agama, dan struktur organisasi.

BAB Keempat tentang, Efektifitas Pelaksanaan Pencatatan Nikah, yang dibahas mengenai pengertian efektifitas, tata cara dan prosedur, Pentingnya Pemahaman Masyarakat, Masalah dan solusi yang dilakukan KUA, dan analisis penulis.


(23)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Asas-asas Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Definisi kata “nikah” dalam kamus bahasa Indonesia mengandung pengertian

perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi),15 sedangkan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermaknaal-wath’udan

al-dammu wa al-takadhul yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. Maka para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.16

Menurut Wahbah al-Zuhaily dalam kitabal-Fiqh al-Islami wa Adillatuh

،

،

١ ٧

“Perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita

tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan keturunan atau sepersusuannya.

Perkawinan adalah merupakan sunatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah yang antara lain tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman:

15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989 ), h. 614.

16

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004)h. 38.

17 Wabah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2004), Cet. Ke-4, h. 6513.


(24)







Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Adz-Dzaariyat/51: 49)

Allah menciptakan makhluk-Nya bukan tanpa tujuan, tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-hamba-Nya di dunia ini menjadi tenteram, sebagaimana firman-Nya dalam surat ar-Ruum: 21 :













"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Q.S. ar-Rum/30: 21)

Allah sengaja menumbuhkan rasa kasih dan sayang ke dalam hati masing-masing pasangan, agar terjadi keharmonisan dan ketentraman dalam membina suatu rumah tangga.18

Allah tidak hanya mengkhususkan perhatian kepada manusia, tetapi juga terhadap makhluk lainnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Yaasin:36:







18 M. Ali Hasan,Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003), Cet. Ke-1, h. 3.


(25)

"Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." (Q.S. Yaasin/36: 36)

Agama Islam tidak mengenal “pendeta” yang tidak berkeluarga dengan alasan

supaya sepenuhnya mengabdi kepada Tuhan. Para Rasul pun mempunyai istri dan anak turunan. Sebagaimana firman Allah SWT:





"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra’d/13: 28)

Di samping ayat-ayat di atas Rasulullah pun menegaskan dalam Sabdanya:

ﱢﻨ ﻟ َا

ُح َﺎ ﻜ

ُﺳَّﻨ

ِﺘ

ََﻓ ﻲ

َﻤ

ْْﻦ

َر

ِﻏ

َﺐ

َﻋ

ْﻦ

ُﺳﱠﻨ

ِﺘ

َﻓ ﻲ

َﻠ

ْﯿ

َﺲ

ِﻣﱢﻨ

)

ُر

َو

ُه ا

ُﻣ

ْﺴِﻠ

ُﻢ(

١ ٩

“Nikah itu adalah sunatullah, siapa saja yang benci kepada sunnahku, bukanlah termasuk umatku”. (HR. Muslim)

Secara etimologi, perkawinan berarti persetubuhan. Ada pula yang mengartikannya perjanjian (al-‘Aqdu). Secara terminology perkawinan menurut Abu

Hanifah adalah: “ aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang

wanita, yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan sebuah pengakuan agar tidak ada penilaian negative akan perempuan yang melakukan perkawinan dengan adanya pencatatan”.20

Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syariah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh kedua

19 M. Ali Hasan,Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, h. 1-4. 20 M. Ali Hasan,Pedoman Hidup …, h. 11.


(26)

orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.21

Pernikahan secara definisi menurut para ulama fiqih, antara lain sebagai berikut:

a. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa perkawinan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah (laki-laki memiliki perempuan seutuhnya) dengan sengaja.

b. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu aqad dengan menggunakan lafaz nikah atau jauz yang menyimpan arti memiliki wanita.

c. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu aqad yang

menggunakan arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan

adannya harta.

d. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah aqad dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan.22

Menurut sarjana hukum pengertian perkawinan adalah:

1. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamodjojo. Mengemukakan

“pernikahan adalah hubungan antara seorang pria dan wanita untuk hidup

bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara dan mendapatkan bukti outentik agar menjadikan pernikahan tersebut dianggap sah oleh Negara”.

21 M. Ali Hasan,Pedoman Hidup …, h. 12.

22 Al-Jaziri, Abdurrahman, fiqh ‘ala Madzahib al-‘arba’ah , al-Maktabah at-Tijariyyatul Kubra, Mesir, Juz 4.


(27)

2. Subekti. Mengemukakan “perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.

3. Wirjono Prodjodikoro. Mengemukakan “bahwa perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan-peraturan tersebut”.23

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 menyatakan

bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.24

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa “perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan)

untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah”.25

2. Asas-asas Perkawinan

Sebagaimana dirumuskan oleh Undang-undang Perkawinan bahwa

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari batasan perkawinan tersebut jelaslah bahwa

keinginan bangsa dan Negara RI yang dituangkan ke dalam Undang-undang Perkawinan menghendaki agar setiap perkawinan dapat membentuk keluarga yang

23 Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam

Kontemporer, (Jakarta: lsik, 2002), cet. Ke-4, h. 53-54. 24

Departemen Agama RI,Himpunan Peraturan Perundang-undangan perkawinan, (Jakarta: Depag RI, 2001), h. 13.

25 Departemen Agama RI,Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum


(28)

bahagia artinya tidak akan mengalami penderitaan lahir batin. Demikian pula bahwa setiap perkawinan diharapkan dapat membentuk keluarga yang kekal artinya tidak mengalami perceraian.26

Untuk mencapai tujuan yang luhur dari setiap perkawinan tersebut maka di dalam Undang-undang Perkawinan ditetapkan adanya prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.27

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Undang-undang Perkawinan adalah sebagai berikut:

a. Membentuk Keluarga yang Bahagia dan Kekal.

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu maka suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Sahnya Perkawinan Berdasarkan Hukum Agama.

Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan sah menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan

26

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 1.

27 Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman


(29)

peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dal surat-surat keterangan atau akte.

c. Monogami

Undang-undang ini menganut asas monogami. Namun apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang. Tetapi perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Pendewasaan Usia Perkawinan

Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri harus telah masuk jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita utuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.

Berhubung dengan itu, maka Undang-undang Perkawinan menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita ialah 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.


(30)

e. Mempersukar Perceraian.

Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian yang untuk pelaksanaannya harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang penngadilan.

f. Kedudukan Suami Istri Seimbang.

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.28

g. Asas Pencatatan Perkawinan.

Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.29

Asas-asas perkawinan di atas, akan diungkapkan beberapa garis hukum yang dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 (KHI) sebagai berikut.

Selain itu, keabsahan perkawinan diatur dalm Pasal 2 ayat (1) UUP:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan: “Tiap-tiap perkawinan

28

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman

Konselor …, h. 1-4.

29 Zainuddin Ali,Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Cet. Ke-2, h. 8.


(31)

dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dalam garis

Kompilasi Hukum Islam diungkapkan bahwa pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan syarat admistratif, sehingga diungkapkan kutipan keabsahan dan tujuan perkawinan sebagai berikut:

Dalam pasal 2 KHI menjelaskan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan dalam Pasal 3 KHI juga menyebutkan bahwa Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yangsakinah, mawaddah, dan rahmah.30

Apabila Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menggunakan istilah yang bersifat umum, maka Kompilasi Hukum Islam menggunakan istilah khusus yang tercantum di dalam al-Qur’an. Misalnya: mitsaqan galidzan, ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dalam pasal 4 KHI menjelasakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.31

B. Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan pranata sosial yang telah ada sejak manusia diciptakan oleh Allah SWT. Dari sini dapat dipahami bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk

30 Departemen Agama RI,Himpunan Peraturan ..., hal. 234. 31 Zainuddin Ali,Hukum Perdata …,h. 8-9.


(32)

saling berpasang-pasangan sehingga Allah menetapkan jalan yang sah untuk itu, yakni melalui pranata yang dinamakan perkawinan.32

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang dilakukan manusia untuk

mencapai tujuan syari’at yaknikemaslahatan dalam kehidupan.33

Ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus dilakukan antara lain:

1. Menurut al-Qur’an

Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini,pertama dalam surat al-A’raf: 189 yang berbunyi:















"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".“(QS. Al-A’raf/07:189)

Dalam ayat tersebut menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang

32 Lutfhi Sukalam,Kawin Kontrak dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), h. 1.

33 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo: Topik-topik Pemikiran

Aktual Diskusi Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Subuh, (Tanah Gayo: Qalbun Salim, 2006), h. 86.


(33)

(tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya), karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsure untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Dankedua, dalam surat ar-Ruum: 21 yang berbunyi:













"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Ruum/30: 21)

Terkandung makna ada tiga yang dituju satu perkawinan yakni:

a. Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang /diam. Sakana, sukun, sikin. Yang

semuanya berarti diam. Itulah sebab pisau dinamakansikin, karena bila diarahkan keleher hewan ketika menyembelih maka hewan tersebut akan diam;

b. Mawaddah, membina rasa cinta, akar katamawaddahadalah wadda yang berarti

meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana rasa cintanya sangat tinggi, termuat dalam kandungan cemburu, sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cintanya yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering meluap-luap.

c. Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian

rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya


(34)

semakin naik, sedang mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnyakita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah gejolak wujud cinta (mawaddah) yang ada pada mereka tetapi sayang (rahmah). Dimana rasa sayang (rahmah) tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gossip, sedang cinta (mawaddah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gosip. Sehingga bisa terwujud keluarga yang

sakinah, mawaddah dan juga rahmah.34 2. Menurut Hadits

Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadits. Pertama, untuk menundukan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah makanya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materil belum memungkinkan.

Kedua, sebagai kebanggan Nabi dihari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual Nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian walau dalam jumlah besar jika kwalitas rendah maka tetap saja Nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna bahwa kualitas itu sangat diperlukan.35

34

A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo: Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Subuh, h. 86-88.

35 A. Basiq Djalil,Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo: Topik-topik Pemikiran …, h. 88-89.


(35)

3. Menurut Akal

Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan antara lain:

Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, dengan garis

tengahnya atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus diurus oleh banyak orang, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita dalam surat al-Baqarah ayat 29 yang berbunyi:









“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha

mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah/02: 29).

Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan/pernikahan.

Kedua, bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban/

keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana.

Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan

memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima


(36)

atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.36

C. Pengertian dan Tujuan Pencatatan 1. Pengertian Pencatatan

Pada dasarnya syari’at Islam tidak mewajibkan adanya pencatatan terhadap

setiap terjadinya akad pernikahan, namun dilihat dari segi manfaatnya pencatatan nikah amat sangat diperlukan.37 karena pencatatan nikah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan ajaran islam sebagaiman firman Allah yang termaktub dalam surah al-Baqarah ayat 282:







“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah (seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah/02:282)

Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah pencatatan secara tertulis dalam

segala bentuk urusan mu’amalah, seperti perdagangan, hutang piutang dan

sebagainya. Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa, alat bukti tertulis itu statusnya lebih adil dan benar disisi Allah dapat menguatkan persaksiaan, sekaligus dapat menghindarkan kita dari keraguan. Setelah mendapatkan sumber nash yang menjadi

36

A. Basiq Djalil,Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo: Topik-topik Pemikiran …,

h. 89-90.

37 Hasan M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 123.


(37)

dasar rujukan untuk memahami hukum pencatatan nikah, kemudian mencari illat yang sama-sama terkandung dalam akad nikah dan akad mu’amalah, yaitu adanya

penyalahgunaan atau mudharat apabila tidak ada alat bukti tertulis yang menunjukan

sahnya akad tersebut. Jadi, qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan.

Untuk itulah kita dapat mengatakan bahwa pencatatan akad nikah hukumnya wajib,

sebagaimana juga diwajibkan dalam akad mu’amalah. Alat bukti tertulis dapat

dipergunakan untuk hal-hal yang berkenaan dengan kelanjutan akad perkawinan. Dengan adanya alat bukti ini, pasangan pengantin dapat terhindar dari mudharat dikemudian hari karena alat bukti tertulis ini dapat memproses secara hukum berbagai persoalan rumah tangga, terutama sebagai alat bukti paling sahih dalam pengadilan agama.38

Namun, dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur melalui perundang-undangan, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun melalui Kompilasi Hukum Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk mencaga kesucian (mitsaqan galidzan) aspek hukum yang timbul dari aspek perkawinan. Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh suami dan istri salinannya. Akta tersebut,


(38)

dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.39

Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menurut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik, saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia juga dapat mengalami kelupaan dan kesalahan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.40

Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.41

Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk. Juga oleh pegawai perkawinan pada Kantor Catatan Sipil

39 Zainuddin Ali,Hukum Perdata …,h. 26.

40 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta; Prenada Media; 2004), Cet. Ke-2, h. 120.

41 Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq,Membangun Keluarga Harmonis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), Cet, ke-1, h. 36.


(39)

sebagaimana di maksud dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan perkawinan.42

Apabila kita melihat fikih semata, maka pernikahan dipandang sah, sesudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Dampak di belakang hari sekiranya terjadi perselisihan yang menjurus kepada perceraian, kurang dipikirkan dan dipertimbangkan, sehingga terjadilah ketidakadilan, karena ada pihak yang dirugikan.

Perbuatan pencatatan menurut K. Wantjik Saleh, (1980:17), “tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat admistratif. Jadi, sahnya perkawinan bukan ditentukan dengan pencatatan tetapi pencatatan sebagai syarat adiministratif. Sedangkan soal sahnya perkawinan, UU Perkawinan dengan tegas menyatakan pada Pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”.43

Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.44

42Arso Sostroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi,Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 55-56.

43

O.s. Eoh.Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 98-99.

44 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di


(40)

Sejak diundangkan UU N0. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kekhawatiran yang disebabkan diatas, sedikit banyaknya sudah dapat diatasi, karena sudah ada perangkat hukumnya, terutama bagi umat Islam.

Sama halnya dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1, menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan dicatat. Dan pasal 5 ayat 2 yang menyatakan pencatat perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-Undang-Undang-Undang No.32 Tahun 1954.

Pada Pasal 6 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal (5), setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah. Dan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.45

Secara lebih rinci Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975Tentang Pelaksanaan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab II Pasal 2 menjelaskan

tentang pencatatan perkawinan pada ayat (1), (2), dan (3) yaitu Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pengawas pencatat, sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu, selain agama

45 Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), h. 15.


(41)

Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 PP ini.

2. Tujuan Pencatatan

Pernikahan sebaiknya diproyeksikan untuk mencegah mudharat yang akan terjadi bila pembinaan rumah tangga tidak dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab.46 Pencatatan nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perUUan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan nikah yang dibuktikan oleh akta, apabila terjadi perselisihan di antara suami istri maka salah satu diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.47

Pencatatan nikah juga berfungsi sebagai “pengatur” lalu lintas praktik

poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang hanya menjadikan nikah di bawah tangan tanpa pencatatan sebagai alat poligami atau berpoliandri. Setiap pasangan yang akan menikah di KUA (Kantor Urusan Agama)

46Happy Susanto,Nikah Siri Apa Untungnya?, h. 60.

47 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003),h. 107.


(42)

atau KCS (Kantor Catatan Sipil) biasanya melalui mekanisme pengumuman status calon mempelai setelah terdaftar sebagai pasangan yang hendak menikah. Ketika data tentang status masing-masing calon mempelai diumumkan dan ternyata ada yang keberatan, perkawinan bisa saja batal.48

D. Peranan Pencatatan

Lembaga pencatatan nikah merupakan syarat administratif, selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Menurut Ahmad Rofiq, ada dua manfaat dari pencatatan nikah, yaitu pertama, manfaat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi penyimpangan rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya maupun menurut perundang-undangan.49 Kedua, manfaat represif. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqih saja tetapi juga aspek-aspek keperdataannya. Jadi, pencatatan adalah merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan dalam masalah perkawinan.50

48Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, h. 101. 49Happy Susanto,Nikah Siri …, h. 101.


(43)

Dengan adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum Negara menjadi sah. Dan ini, penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak. Karena dampak dari ketidak dicatatkannya perkawinan adalah:

a. Terhadap istri

Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun social. Secara hukum, istri tidak dianggap sebagai istri yang sah, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia, istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan istri dianggap tidak pernah terjadi. Secara social, istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tanggan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau istri dianggap menjadi istri simpanan.51

b. Terhadap anak

Untuk anak, sahnya pernikahan dibawah tangan menurut hukum Negara memiliki dampak negative bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang di lahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Dengan kata lain sang anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. Dalam akta kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah. Akibatnya, hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan status sebagai anak di luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara social


(44)

dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Tidak jelasnya status anak di mata hukum mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat. Sehingga, bisa saja suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Namun, yang jelas-jelas merugikan adalah si anak tidak berhak atas biaya kehidupan, pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.52

c. Terhadap laki-laki atau suami

Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkannya, karena suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah di mata hukum. Suami bisa saja menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya dan tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.53

52

Nur Alfiah, “Untung Rugi Nikah Dibawah Tangan”, artikel diakses pada dari Senin 18 April 2011 http://matapenadunia.com/sosialita/?no=1210729457.

53 LBH-APIK, artikel diakses pada senin 18 April 2011 dari http://www.solusihukum.com/artikel.php?id=20v.


(45)

BAB III

PROFIL KANTOR URUSAN AGAMA KEC. BEKASI UTARA

A. Letak Geografis

1. Letak Geografis Kecamatan Bekasi Utara

Kecamatan Bekasi Utara merupakan salah satu dari 12 (dua belas) kecamatan di Kota Bekasi, dan sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan provinsi DKI Jakarta, menjadi daerah yanng sangat heterogen secara sosiologis baik dalam komposisi penduduk, budaya, pendidikan maupun pekerjaan dan tingkat penghasilan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kali Bekasi Babelan

• Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Satria Bekasi Barat

• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Taruma Jaya

• Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kali Bekasi, Kecamatan Bekasi Barat.54 Dengan luas wilayah 1652,134 Ha, kecamatan Bekasi Utara ini menaungi 6 kelurahan dengan rincian:

• Kelurahan Harapan Jaya

• Kelurahan Kaliabang Tengah

• Kelurahan Perwira

• Kelurahan Harapan Baru

• Kelurahan Teluk Pucung


(46)

• Kelurahan Marga Mulya

2. Sosiologis Masyarakat

Dalam kecamatan Bekasi Utara ini, jumlah penduduk mencapai 257.731 jiwa dengan rincian laki-laki berjumlah 128.136 jiwa dan perempuan berjumlah 129.622 jiwa. Banyaknya Kepala Keluarga dalam kecamatan ini berjumlah 65.407. Berdasarkan tingkat pendidikannya, 55% Kepala Keluarga minimal berpendidikan SLTA, sedang sisanya SLTP, SD dan tidak tamat SD. Jumlah penduduk usia produktif mencapai lebih dari 50% dengan sebaran hampir merata di setiap kelurahan.55

Banyaknya pondok pesantren yang berada pada kecamatan Bekasi Utara dijelaskan pada tabel di bawah ini:

TABEL I

DATA PONDOK PESANTREN KOTA BEKASI

No Nama Pondok Pesantren Alamat Lengkap

1. Annur Kaliabang Nangka Rt.05/05 Perwira

2. Roudhatul Islam Bulak Sentul Rt.05/17 Harapan Jaya

3. Al-Muctar Kaliabang Nangka Rt.05/05 Perwira

4. Bidayatul Hidayah Rawa Bugel Harapan Jaya

5. Al-Hanif Taman Wisma Asri Teluk Pucung

6. Sulamul Istiqomah Kaliabang Bungur Harapan Jaya

7. Daaruttaubah Harapan Jaya

Sumber Data: KUA Kecamatan Bekasi Utara tahun 2011


(47)

B. Profil Kantor Urusan Agama 1. Letak Geografis

Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Bekasi Utara beralamat di Jln. KH. Muchtar Tabrani No. 15, Kota Bekasi. Dengan luas tanah 450 m2, KUA kecamatan Bekasi Utara ini memisahkan diri dari KUA Bekasi Selatan sekitar bulan Maret tahun 1983 yang awalnya menginduk ke KUA Bekasi Selatan yang memiliki sebutan awalnya adalah KOTIB atau Kota Administratib.

Mengenai wilayah kompetensi (dalam lingkup kelurahan) Kantor Urusan Agama yang dimiliki kecamatan Bekasi Utara diantaranya:

1. Kelurahan Harapan Jaya 2. Kelurahan Kaliabang Tengah 3. Kelurahan Perwira

4. Kelurahan Harapan Baru 5. Kelurahan Teluk Pucung 6. Kelurahan Marga Mulya56

Sedangkan data keagamaan Kantor Urusan Agama kecamatan Bekasi Utara yakni, sebagaimana data di bawah ini:


(48)

TABEL II

JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA

Jumlah Penduduk Menurut Agama

No Wilayah

Islam Katolik Protestan Hindu Budha Jumlah Ket.

1 Harapan

Jaya

66.790 1.039 1.619 339 459 70.245

2 Kaliabang

Tengah

57.050 488 1.387 298 211 59.434

3 Perwira 23.857 122 141 107 83 24.310

4 Harapan

Baru

12.749 527 538 892 861 15.567

5 Teluk

Pucung

37.292 2.783 286 585 575 41.521

6 Marga

Mulya

16.001 592 919 743 1.972 20.227

213.739 5.551 9.889 2.964 4.161 231.304

Sumber Data: KUA kecamatan Bekasi Utara tahun 2011

2. Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama

Kantor Urusan Agama merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama adalah melaksanakan tugas kantor Departemen Agama kota dan kabupaten yang di bidang urusan agama Islam di wilayah kecamatan, adapun tugas pokok Kantor Urusan Agama adalah:

1) Bidang Administrasi Nikah

a) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang hendak melangsungkan pernikahan.

b) Melaksanakan pemeriksaan terhadap surat-surat dan persyaratan administrasi pernikahan.

c) Melaksanakan pengecekan terhadap registrasi akta nikah. d) Melaksanakan penulisan akta nikah.


(49)

e) Memberikan penataran kepada para calon suami istri sebelum melaksanakan nikah dan berumah tangga.

f) Mengadakan bimbingan dan penyuluhan kepada Pembantu Pegawai Pencatat Nikah atau Amil se-kecamatan Bekasi Utara.

2) Bidang Kemasjidan

a) Menginvertarisasi jumlah dan perkembangan masjid, musholla dan langgar b) Melaksanakan bimbingan dan pembinaan terhadap remaja masjid.

c) Menerima, membukukan dan mengeluarkan serta mempertanggung-jawabkan keuangan BKM dan P2A.

d) Mengikuti perkembangan pelaksanaan pembangunan tempat ibadah dan penyiaran agama.

3) Bidang ZAWAIBSOS (Zakat, Wakaf, Ibadah Sosial)

a) Melaksanakan bimbingan Zakat, Wakaf dan Ibadah sosial.

b) Membukukan/mencatat tanah wakaf yang sudah selesai disertifikatkan. c) Memelihara dan menertibkan arsip tanah wakaf.

d) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pelaksanaan ibadah sosial.

4) Bidang Keuangan

a) Membuat laporan keuangan NR dan Rujuk. b) Menertibkan arsip keuangan.

c) Menyusun DUK/DIK.

d) Membukukan dan menyetorkan uang NR ke Pos atau Giro. e) Menyalurkan dana bantuan dari NR kepada BKM. P2A, dan BP4.


(50)

5) Bidang Tata Usaha

a) Melaksanakan dan menangani surat menyurat

b) Meningkatkan tertib administrasi, dokumen dan statistik. c) Menyediakan pengadaan alat tulis kantor.

d) Membuat laporan bulanan, tri wulan, semester dan tahunan.57

C. Struktur Organisasi KUA

Kantor Urusan Agama merupakan sebuah lembaga pemerintahan yang berada di bawah naungan Departemen Agama Kotamadya dan instansi vertikal yang lebih tinggi di atasnya. Adapun struktur organisasi Kantor Urusan Agama kecamatan Bekasi Utara adalah sebagai berikut:

STRUKTUR ORGANISASI

KUA KECAMATAN BEKASI UTARA KOTA BEKASI

Sumber Data: KUA kecamatan Bekasi Utara tahun 2011

57 Wawancara Pribadi dengan Bapak Madinah. Bekasi, 19 April 2011.

Pengawas

DRS. H. Rohili, M. Pd

Kepala

H. Madinah, S,Ag, MM

Penyuluh Maryam, S.Ag Tata Usaha Deny Ardianto Pengadmin. Keuangan Jamaludin Pengadminis trasi Nikah Rujuk Muhammad Riza, S.Ag Suryati, SHI Wirdah Pengadmin. Kemasjidan Kipyan, Spd.i Pengadmin. Zawaibsos

Muchyi Anwar, S.Ag

Pramu Kantor


(51)

BAB IV

EFEKTIFITAS PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian Efektifitas

Efektifitas dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata efektif yang diartikan dengan: a) adanya efek (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), b) manjur atau mujarab, c) dapat membawa hasil, berhasil, berhasil guna (usaha, tindakan), d) hal murni berlakunya (UU peraturan).58

Sedangkan dalam Ensiklopedi Umum efektifitas diartikan dengan menunjukan taraf tercapainya suatu tujuan. Maksudnya adalah sesuatu dapat dikatakan efektif kalau usaha tersebut telah mencapai tujuannya.

Dalam buku Sujadi F. X disebutkan bahwa untuk mencapai efektifitas dan efesiensi kerja haruslah dipenuhi syarat-syarat ataupun unsur-unsur sebagai berikut: 1. Berhasil guna yaitu untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan dengan

tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

2. Ekonomis ialah untuk menyebutkan bahwa di dalam usaha pencapaian efektif itu, maka biaya tenaga kerja material, peralatan, waktu, keuangan dan lain-lainnya telah dipergunakan dengan setepat-tepatnya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perencanaan dan tidak adanya penerobosan serta penyelewengan.

58 Rinawati,Efektifitas Pengelolaan dan Pemanfaatan Harta Wakaf, Skripsi Sarjana Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005, h. 44.


(52)

3. Pelaksanaan kerja yang bertanggung jawab yakni untuk membuktikan bahwa dalam pelaksanaan kerja sumber-sumber telah dimanfaatkan dengan setepat-tepatnya haruslah dilaksanakan dengan bertanggung jawab sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.

4. Pembagian kerja yang nyata yaitu pelaksanaan kerja dibagi berdasarkan beban kerja, kemampuan kerja dan waktunya yang tersedia. Sehingga, pembebanan kerja pada seseorang sesuai dengan kemampuan dan terbagi secara merata kepada semua pegawai.

5. Rasionalitas, wewenang dan tanggung jawab artinya wewenang haruslah seimbang dengan tanggung jawab dan harus dihindari dengan adanya dominasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lainnya. Seperti antara atasan dengan karyawan atau antara karyawan dengan karyawan yang lain.

6. Prosedur kerja yang praktis yaitu menegaskan bahwa kegiatan kerja adalah kegiatan yang praktis, maka target efektif dan ekonomis, pelaksanaan kerja yang dapat dipertanggung jawabkan serta pelayanan kerja yang memuaskan tersebut haruslah kegiatan yang operasional dan dapat dilaksanakan dengan lancar.59

Efektifitas merupakan ukuran yang menggambarkan sejauh mana sasaran yang dicapai, sedangkan efesiensi menggambarkan bagaimana sumber daya tersebut dikelola secara tepat dan benar. Efesiensi yang tinggi dalam mencapai sasaran akan

59Sujadi F. X,O &M Penunjang Keberhasilan Proses Management, (Jakarta: CV. Masagung, 1990), cet. Ke-3, h. 36-39.


(53)

menghasilkan produktifitas yang tinggi dan salah urus dalam mengelola usaha atau organisasi dapat mengakibatkan rendahnya tingkat efektifitas dan efisiensi.60

Efektifitas dengan efisien rendah dapat mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, sebaliknya efisiensi tinggi tetapi tidak efektif berarti tidak tercapainya sasaran atau terjadinya penyimpangan sasaran.61

Jadi efektifitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pencapaian tujuan dan usaha seperti apa yang telah dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), dalam hal ini KUA Kecamatan Bekasi Utara dalam upaya pencatatan perkawinan yang dilaksanakan dengan memperhatikan aturan-aturan yang telah ada.

B. Tata Cara dan Prosedur

Tata cara pencatatan nikah adalah proses pelaksanaan pencatatan nikah dari mulai permulaan pemberitahuan sampai tercatatnya nikah itu, yaitu pada saat penandatanganan akta oleh masing-masing pihak yang berkepentingan.

Adapun tata cara atau prosedur malaksanakan perkawinan sesuai urutan-urutannya sebagai berikut:

1. Pemberitahuan kehendak nikah

Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ditetapkan, bahwa setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai

60 Rinawati, Efektifitas Pengelolaan ..., h.45.

61 Kisdanto Atmo Soeprapto,Produktifitas Aktualisasi Budaya Perusahaan, (Jakarta: Media Kumpotindo, 2000), h. 15.


(54)

pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ditentukan paling lambat 10 hari kerja

sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun, ada pengecualiannya terhadap jangka waktu tersebut karena satu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.62

Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada Kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi orang yang bukan beragama Islam, pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat.63

Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat seperti yang diperlukan, antara lain:

a. Surat persetujuan kedua calon mempelai.

b. Akte kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal-usul. c. Surat keterangan mengenai orang tua.

d. Surat keterangan untuk kawin dari Kepala Desa yang mewilayahi tempat tinggal yang bersangkutan. (Model Na).

62 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, h. 126-127.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)