Kesadaran hukum masyarakat kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa terhadap pencatatan perkawinan

(1)

KESADARAN HUKUM MASYARAKAT KELURAHAN CIPEDAK KECAMATAN JAGAKARSA TERHADAP PENCATATAN PERKAWINAN

Oleh

NUR FAUZI

NIM. 107044100531

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

KATA PENGANTAR

Assalamua’laikum.wr.wb

Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat-Nya.

Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan kekuasaan Allah SWT.

Dialah penguasa dari seluruh alam semesta ini, yang Maha Pengasih tanpa pilih

kasih; Maha Penyayang bagi semua makhluk-Nya. Karena anugerah dan karunia

yang diberikan-Nya kita memiliki kemampuan untuk berfikir dan menikmati segala

kenikmatan terutama nikmat Islam dan Iman serta nikmat duniawi yang tak terhingga

jumlahnya. Shalawat dan salam semoga tercurah ke hadirat

Qudwah Hasanah

Nabi

Muhammad SAW, yang selalu kita nantikan

syafa'at

nya di hari pembalasan nanti,

Amin.

Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk menunjukan

betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan kasih sayang,

rahmat, dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Dialah motivator

sejati yang selalu mendorong penulis untuk selalu terus berusaha menuntaskan

kawajiban dan tanggung jawab mulia ini dan untuk selalu berbuat yang terbaik di

dunia ini semata-mata untuk mencapai ridha-Nya

Walaupun usaha dalam penyelesaian skripsi ini, penulis sudah merasa optimal

namun sudah pasti banyak kekurangan dalam penulisan maupun dalam

pembahasannya. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangan kami harapkan.


(6)

v

ini.

Penulis sangat menyadari, bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukanlah

semata-mata dari buah tangan hasil penulis sendiri, akan tetapi dari hamba Allah

yang senantiasa mendermakan kemampuannya untuk kemaslahatan publik, baik

secara langsung maupun tidak. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktu

mesti hanya sekedar menuangkan aspirasi bagi penulis, tentu tanggung jawab ini akan

terasa kian berat, tanpa kehadiran mereka.

Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa terimakasih, khususnya kepada ;

1.

Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MA, Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Bapak Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Ahwal

Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum.

3.

Ibu Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah

Fakultas Syari’ah dan Hukum.

4.

Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S. Ag, MA. dosen pembimbing yang

sangat bijaksana dan dengan besar hati sabar serta bersedia meluangkan

waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam

penulisan skripsi ini.


(7)

vi

5.

Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.

6.

Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Ustadz yang telah

mendidik Penulis baik secara langsung atau tidak telah membantu

pemahaman Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7.

Bapak Lurah Cipedak Drs. Abdul Latief, S.Sos, Chaeruddin, SE, selaku

wakil Lurah Cipedak, H. Misro, S.Ag, Dr. JM Muslimin, P.hd, Kamarusdiana,

S.Ag, MH. yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, karena

dari merekalah banyak Ilmu mengenai Sosiologi Hukum dan Pencatatan

Pernikahan yang benar-benar sangat membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

8.

Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda , yang disetiap nafasnya mengalir doa

untuk kebahagiaan dan kesuksesan Ananda dalam meniti kehidupan dunia dan

di akhirat kelak, dan selalu memberikan motivasi baik secara moril dan

materil semata-mata untuk keberhasilan penulis.

9.

Teruntuk Kakakku yang bahagia di sisi Allah SWT, Om ku yang sangat

baik sekali Abdul Rohim, Adikku tercinta Khairul Umam dan seluruh

keluarga besar, terima kasih atas do'a dan motivasinya baik moril dan materiil

untuk keberhasilan studi Penulis.

10.

Teruntuk sahabat sejati dan sehatiku Nurul Linda Yaomi (Ndha), yang

selalu memberi dukungan dan motivasi di saat penulis sedang mengalami


(8)

vii

11.

Teman-teman seperjuangan, khususnya Zuhdi, Taufiq, Irul, Ahfas, Firman,

Lutfi, Nanto, Ma’mun, Dani, Tajul, Fiqri, dan teman-teman di kampus, PA-

07 teman seperjuanganku yang selalu ada baik dalam suka maupun duka,

teman-teman KNPI, Karang Taruna RT sampai Kecamatan, KKN Desa

Cibatok 1,. Dimanapun Aku dan kalian berada, Aku akan merindukan kalian

selalu.

12.

Semua makhluk Allah yang membuat Penulis terinspirasi dan semua pihak

yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan skripsi

ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa

menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan

atas amal baik mereka. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah

khazanah keilmuan kita. Amin.

Jakarta, 20 Agustus 2011


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ... 1

B.

Perumusan Masalah ...5

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5

D.

Review Studi Terdahulu ...6

E.

Metode Penelitian...8

F.

Teknik Penulisan...11

G.

Sistematika Penulisan...11

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Kesadaran Hukum ...13

1.

Pengertian Kesadaran Hukum ...13

2.

Konsep Kesadaran Hukum ...16

3.

Fungsi Kesadaran Hukum ...24

B.

Pencatatan Perkawinan ...26

1.

Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan ...26


(10)

B.

Keadaan Demografi ...31

C.

Kehidupan Keagamaan dan Kemasyarakatan ...35

D.

Kehidupan Ekonomi dan Politik ...37

BAB IV PENCATATAN PERKAWINAN DAN KESADARAN HUKUM

MASYARAKAT KELURAHAN CIPEDAK

A.

Identitas Responden ... 40

B.

Pengetahuan Terhadap Pencatatan Perkawinan ...42

C.

Pemahaman Terhadap Pencatatan Perkawinan...45

D.

Sikap Terhadap Pencatatan Perkawinan ...48

E.

Perilaku Terhadap Pencatatan Perkawinan...51

F.

Analisis dan Interpretasi ... 56

BAB V PENUTUP

A.

Kesimpulan ... 65

B.

Rekomendasi ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN -LAMPIRAN

1.

Surat Permohonan Data dan Wawancara

2.

Surat Keterangan Penelitian


(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Perkawinan adalah akad yang menghalakan hubungan antara laki-laki dan

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang sehat,

bahagia, dan kekal. Berdasarkan perintah agama untuk mendapatkan ridha Allah

SWT, definisi perkawinan itu sendiri adalah bentuk perjanjian antara hubungan

laki-laki dan perempuan yang selama ini dilarang atau haram hukumnya untuk

menggaulinya menjadi terbuka, boleh, dan halal.

1

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan terdapat

dalam pasal 1 (satu) dan 2 (dua):

Pasal 1: bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaan itu.

Pasal 2: dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2

Secara garis besar, bahwa perkawinan akan dianggap sah jika

diselenggarakan berdasarkan Undang-undang yang berlaku baik secara materiil

yaitu, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan

pelaksanaannya dalam bentuk peraturan pemerintah No. 9 1975, sedangkan

hukum formilnya adalah Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, dan KHI

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan,( Jakarta: PT. Kencana, 2006), Cet. Pertama, hal.43.

2


(12)

(Kompilasi Hukum Islam) adalah sebagai pelengkap yang menjadi pedoman bagi

para hakim Pengadilan Agama di seluruh Indonesia yang ditetapkan dan

disebarluaskan melalui Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991. Undang-undang di

atas telah tegas menyebutkan bahwa:

Perkawinan seseorang akan dianggap sah oleh hukum apabila

perkawinannya itu dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Ada hal yang harus diketahui bersama berkaitan dengan masalah

pencatatan perkawinan, yaitu bagi yang beragama selain Islam misalnya Kristen

maka perkawinannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat, dan bagi orang

yang beragama Islam maka perkawinannya dicatatkan oleh pegawai pencatat

nikah, talak, dan rujuk di KUA (Kantor Urusan Agama).

3

Dalam bidang perkawinan seseorang berhak melakukan perkawinan dan

perkawinannya itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

dan kepecayaannya itu. Dari penjelasan tersebut jelas penerapan pada pasal 29

ayat 2 UUD 1945 atas warga Negara Indonesia khususnya penduduk yang

beragama Islam diwujudkan dengan pemberlakuan hukum dalam perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu bentuk ibadah yang bertujuan pada tali

kasih dan menjelma dalam sebuah keluarga. Dalam tatanan konstitusional

perkawinan tidak hanya sebatas hubungan antara suami istri namun lebih dekat

pada hal-hal yang berisikan hubungan pribadi antara pihak yang terlibat dalam

perbuatan hukum. Dalam tatanan hukum di Indonesia perkawinan menempati

3

Mr. Martimam Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: PT. Abadi, 2002), Cet. Pertama, hal. 9.


(13)

3

posisi formal dan oleh karena itu menurut Undang-undang no 1 tahun 1974

tentang perkawinan dalam pasal 2 ayat (2) bahwa:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku

4

.

Dalam menegakkan supremasi hukum perlu kiranya membangun kesan

yang positif terhadap efektifitas hukum itu sendiri. Akan tetapi terkadang

pengaturan perkawinan ini yang sudah yang ditetapkan dalam Undang-undang

sering kali tidak diindahkan oleh sebagian masyarakat Islam di Indonesia.

Mereka berusaha menghindari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan

perkawinan menurut Undang-undang. Perkawinan yang dinilai terlalu birokratis

dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara

sendiri yang menurutnya tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam ilmu

hukum cara seperti itu dikenal dengan istilah “penyelundupan hukum” yaitu suatu

cara menghindarkan diri dari persyaratan hukum yang ditentukan oleh

Undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan bersangkutan dapat

menghindarkan suatu akibat hukum yang dikehendaki

5

. Oleh karena itu untuk

mewujudkan suatu hukum yang baik sangat tergantung pada tiga pilar hukum.

Menurut hukum nasional hukum hanya akan berlaku jika ditopang oleh

tiga pilar yaitu (a) aparat hukum (b) peraturan hukum yang jelas dan (c) kesadaran

4

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2), Tentang Perkawinan, hal. 2

5

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Hukum Perkawinan, (Jakarta : Grafindo Persada, 1974), Cet. Ke I, hal. 22.


(14)

hukum masyarakat

6

. Ketiga pilar hukum tersebut harus tegak dengan baik, sebab

jika salah satu pilar itu lemah maka akan mengakibatkan lemahnya penegakan

hukum. Kurang dipahaminya peraturan perundang-undangan akan berdampak

pada kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum.

Walaupun ini merupakan masalah yang dianggap kecil akan tetapi akan

luas dampak yang ditimbulkannya, meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat

yang perlu diuji kebenarannya baik dari sudut Undang-undang yang masih ada

dan berlaku dalam Negara Republik Indonesia maupun dari sudut pandang hukum

Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits Rasul.

Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti sekarang ini menuntut

adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain apabila tidak mendapat

perhatian akan menimbulkan kekacauan. Mengetahui hubungan pernikahan

seseorang dengan pasangannya mungkin akan sulit bila pernikahan itu tidak

tercatat.

7

Dengan alasan ini pula yang kemudian mendorong penulis untuk mengkaji

lebih dalam berupa skripsi, harapan penulis akan berguna bagi kehidupan

masyarakat. Oleh karena itu penulis ingin mengangkat permasalahan ini menjadi

judul skripsi: ” Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan Cipedak Kecamatan

Jagakarsa Terhadap Pencatatan perkawinan.”

6

Bustanul Arifin, Kompilasi Fiqih Dalam Bahasa Undang-undang, Pesantren, II, 2 (1985), hal. 28

7


(15)

5

B. Perumusan Masalah

1. Perumusan Masalah

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik

Indonesia mengharuskan kepada seluruh warga negara untuk mencatatkan setiap

perkawinannya di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Akan tetapi

pada prakteknya masih ada sebagian masyarakat yang tidak mencatatkan

perkawinannya di lembaga yang berwenang dengan berbagai alasan, dengan

rumusan di atas penulis lebih memperinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan

penelitian diantaranya adalah sebagai berikut:

1.

Seberapa jauh pengetahuan hukum masyarakat Cipedak terhadap pencatatan

perkawinan?

2.

Seberapa jauh pemahaman hukum masyarakat Cipedak terhadap pencatatan

perkawinan?

3.

Bagaimana respon masyarakat Cipedak terhadap pencatatan perkawinan?

4.

Bagaimana perilaku hukum masyarakat Cipedak terhadap pencatatan

perkawinan?

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a.

Untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan hukum masyarakat Cipedak

terhadap pencatatan perkawinan.


(16)

b.

Untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman hukum masyarakat Cipedak

terhadap pencatatan perkawinan.

c.

Untuk mengetahui respon masyarakat Cipedak terhadap pencatatan

perkawinan.

d.

Untuk mengetahui perilaku hukum masyarakat Cipedak terhadap

pencatatan perkawinan.

e.

Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syari’ah

pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari pembahasan proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:

a.

Untuk memperkaya khazanah keilmuan khususnya dalam bidang

perkawinan yang menyangkut hal pencatatan perkawinan.

b.

Agar penelitian ini akan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi

peningkatan kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai

Pencatatan perkawinan.

c.

Bagi masyarakat pembaca umumnya dan mahasiswa khususnya, tulisan

ini diharapkan supaya menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat

dipertimbangkan dalam memecahkan permasalahan yang relevan.

D.

Review Studi Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang berada di Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mengambil beberapa skripsi

yang ada yang mengenai pembahasan pencatatan perkawinan untuk dijadikan


(17)

7

sebuah perbandingan. Adapun skripsi yang membahas tentang pencatatan

perkawinan antara lain:

1.

M. Andi Hakim tahun 2008, Fakultas Syari’ah dan Hukum dengan judul

Tingginya Biaya Pencatatan Perkawinan, yang menjelaskan tentang tingginya

biaya pencatatan sebagai satu-satunya alasan tidak dicatatnya perkawinan,

kemudian metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini ialah penelitian

deskriptif dengan metode pendekatan yang bersifat yuridis empiris dan

menggunakan sumber data wawancara dan hasil dokumentasi. M.Andi Hakim

memberikan kesimpulan bahwa karena tingginya biaya administrasi maka

masyarakat tidak mencatatkan perkawinannya di hadapan Pegawai Pencatat

Nikah. Perbedaan dengan penulis yaitu dari metode penelitiannya, penulis

menggunakan metode peneitian kuantitatif yakni dengan penyebaran angket, dan

lebih fokusnya kepada kesadaran masyarakat terhadap pencatatan perkawinan,

sehingga penulis mengangkat judul Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan

Cipedak Kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan.

2. M. Fadly, tahun 2007, Fakultas Syari’ah dan Hukum dengan judul

Problematika Nikah Di bawah Tangan dan Urgensi Pencatatan KUA tentang

Nikah, Talak, dan Rujuk, yang menjelaskan permasalahan pernikahan di bawah

tangan dan pentingnya pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama. Dan

metode penelitian yang digunakan berupa kajian pustaka saja. M. Fadly

memberikan kesimpulan bahwa adanya problematika nikah di bawah tangan tidak


(18)

bisa terlepas dari pentingnya pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama,

sumber yang digunakan M. Fadly lebih kepada kitab-kitab fiqih, perbedaan dengan

penulis yaitu dari metode penelitian yakni penulis menggunakan metode penelitian

kuantitatif dengan menggunakan angket.

E.

Metode Penelitian

Agar mendapatkan data yang valid, maka metode yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1.

Pendekatan masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara

menggunakan penelitian survei yaitu penelitian yang mengambil sample dari

suatu populasidan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data

yang pokok.

8

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif, yaitu

penelitian yang mendeskripsikan objek penelitian yang menjadi target

penelitian dengan analisa kuantitatif mulai dari pengumpulan data, penyajian

data dan menganalisis data serta menginterpretasikannya.

9

8

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Cet. II, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia Anggota IKAPI, 1995), h.3.

9

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. I., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 75.


(19)

9

a.

Populasi

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang

sama.

10

Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah masyarakat

Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa.

b.

Sample

Sample adalah sebagian dari suatu jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi.

11

Bila populasi berjumlah besar, dan peneliti tak mungkin mempelajari

semua yang ada di dalam populasi, misalnya karena faktor dana, tenaga,

waktu, maka peneliti menggunakan sampel yang berupa sebagian yang

mewakili populasi itu sendiri. Berdasarkan survei mengenai kependudukan

dan data-data yang diperoleh dari pihak kelurahan Cipedak sampai bulan

April jumlah penduduk pada tahun 2011 terakhir adalah 28.231 jiwa, sehingga

populasi secara keseluruhan adalah 28.231 jiwa.

12

Pada penelitian ini diambil

sample sebanyak 100 orang, yang berarti 0,1% dari populasi.

Rumus perhitungan besaran sampel n=

N

____

N(d) 2 + 1

Kelurahan Cipedak mempunyai 6 RW, kemudian distratifikasi ternyata

mempunyai 62 RT secara keseluruhan sehingga sampel yang didapat

10

Bambang Sunggono SH, MS, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2003), Cet V, h. 121

11

Ibid, h. 122

12


(20)

sebanyak 100 orang. Dari hasil stratifikasi tersebut sudah mewakili populasi

dan sah dalam penelitian.

13

2.

Tempat penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa

Jakarta Selatan

3.

Sumber Data

a.

Data Primer

Data primer adalah yaitu data-data yang didapatkan dari hasil

penyebaran kuisoner kepada masyarakat kelurahan Cipedak.

b.

Data sekunder

. Sumber Data ini merupakan sumber data yang merupakan data

pendukung dari data primer yang dapat memberikan penjelasan.

14

Al-Qur’an, Al-Hadits, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam dan

Peraturan-peraturan lainnya, buku-buku karangan ilmiah serta buku-buku

yang berkaitan dengan masalah ini.

4.

Teknik Pengumpulan Data

Seluruh data yang penulis peroleh dari penelitian dikumpulkan dengan

cara:

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), Cet. III, h. 192

14


(21)

11

a.

Kuesi

oner yang diberikan langsung kepada responden yaitu masyarakat

kelurahan Cipedak.

b.

Meng

umpulkan dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

5.

Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode

kuantitatif, yaitu dengan cara analisis deskriptif terhadap variabel penelitian

dengan memberikan standar jawaban berupa skor,yang selanjutnya

dikategorikan ke dalam tingkatan rendah, sedang, tinggi. Demikian untuk

pertanyaan tentang pengetahuan dan pemahaman. Sedangkan untuk

pertanyaan sikap hukum dengan memberikan standar jawaban berupa skor,

yang selanjutnya dikategorikan ke dalam tingkatan rendah, sedang, tinggi

berbentuk persentase untuk mendapat konsistensi masyarakat Cipedak

terhadap Pencatatan Perkawinan.

F.

Teknik Penulisan

Adapun penulisan ini berpedoman pada aturan buku Pedoman Penulisan

Skripsi tahun 2007, yang disediakan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan beberapa pengecualian yaitu tulisan ayat

Al-Qur’an dan Hadits satu spasi, dan daftar pustaka, Al-Al-Qur’an ditulis diawal.


(22)

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan

skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab yaitu:

Bab Pertama, Pendahuluan, yang meliputi, latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review terdahulu,

metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan

.

Bab kedua menjelaskan tentang pengertian kesadaran hukum, konsep

kesadaran hukum, fungsi kesadaran hukum, dasar hukum pencatatan perkawinan,

urgensi pencatatan perkawinan.

Bab ketiga menjelaskan tentang potret masyarakat kelurahan Cipedak

Kecamatan Jagakarsa, kondisi geografis dan batas wilayah, keadaan demografi,

kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, kehidupan ekonomi dan politik.

Bab keempat menjelaskan tentang identitas responden, pengetahuan

tentang pencatatan perkawinan, pemahaman tentang pencatatan perkawinan,

sikap tentang pencatatan perkawinan, perilaku tentang pencatatan perkawinan,

kemudian analisis dan interpretasi penulis.

Dan penulisan skripsi ini ditutup bab kelima yang berisi tentang

kesimpulan dan rekomendasi penulis, dan lampiran daftar pustaka dan lain-lain.


(23)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Kesadaran Hukum

1. Pengertian Kesadaran Hukum

Secara bahasa “Kesadaran Hukum” terbentuk dari dua kata yaitu Kesadaran dan hukum. Kata “kesadaran”mempunyai kata dasar “sadar”, yang berawalan ke-an. Sadar berarti insyaf, paham, mengerti. Kesadaran berarti mengetahui serta memahami sesuatu hal baik secara kongkrit maupun abstrak.1

Kesadaran hukum diartikan secara terpisah dalam bahasa yang kata dasarnya “sadar” tahu dan mengerti, dan secara keseluruhan merupakan mengetahui dan mengerti tentang hukum, menurut Ewick dan Silbey : “Kesadaran Hukum” mengacu ke cara-cara dimana orang-orang memahami hukum dan intitusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.2

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1988), Cet. I, h,765

2

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal 510.


(24)

Hukum secara bahasa adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang disuatu masyarakat (negara).3

Menurut J.J von schmid, perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul dari perasaan secara serta mertadari masyarakat, yang memberi arti kesadaran ditekankan tentang nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat.4 sejalan dengan pendapat tersebut maka dapat dikatkan bahwa pendapat tersebut kembali pada masalah dasar dar sahnya hukum yang berlaku, yang akhirnya harus dikembalikan pada nilai-nilai masyarakat (dalam arti warganya).

Menurut Prof. Soerjono Soekanto kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendakinya atau yang sepantasnya.5 Masyarakat (manusia) di manapun selalu bertopang pada sejumlah nilai-nilai, hal-hal yang oleh para warganya harus dijunjung tinggi dan yang secara lebih operasional dinyatakan dalam norma-norma sebagai pembimbing dan pedoman.

Bagi Ewick dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan karenannya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris.

3

Ibid, h, 314

4

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, suatu analisa sosiologi hukum, (Jakarta: CV Rajawali,1982), Cet, I, h, 152

5

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, suatu analisa sosiologi hukum, (Jakarta: CV Rajawali,1982), Cet, I, h, 159


(25)

15

Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau asas-asas”.6

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama, dan di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan utamanya para warga mendapatkan pengalaman-pengalaman tentang faktor-faktor yang mendukung dan yang menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama tersebut. Apabila faktor-faktor tersebut dikonsolidir, maka terciptalah sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sistem nilai-nilai menghasilkan patokan-patokanuntuk proses yang bersifat psikologis, antara lain: pola-pola berfikir yang menentukan sikap mental manusia, sikap mental yang pada hakikatnya merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola-pola perikelakuan maupun kaedah-kaedah.7

Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai warga masyarakat senantiasa berusaha untuk mengarahkan dirinya ke suatu keadaan yang dianggap wajar yang terwujud di dalam pola-pola perilaku dan kaedah-kaedah tertentu. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang

6

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal 511

7

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal 512


(26)

hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.

2. Konsep Kesadaran Hukum

Ide tentang kesaadaran hukum warga-warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran tentang Rechtsgeful

atau Rechtsbewustzjin yang intinya adalah, bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum.8 Hal tersebut merupakan salah satu aspek dari kesadran hukum sering kali dikaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektifitas hukum.

Masalah kesadaran hukum termasuk pula di dalam ruang lingkup persoalan hukum dan nilai-nilai sosial. Apabila ditinjau dari teori-teori modern tentang hukum dan pendapat para ahli hukum tentang sifat mengikat dari hukum, timbul bermacam permasalahan. Salah satu persoalan yang timbul, adalah mengenai adanya suatu jurang pemisah antara asumsi-asumsi tentang dasar keabsahan hukum tertulis, serta kenyataan dari dipatuhinya hukum tersebut.

8


(27)

17

Terdapat pula suatu pendapat yang menyatakan bahwa mengikatnya hukum terutama tergantung pada keyakinan seseorang. Hal inilah yang dinamakan rechtsbewustzjin.

Kutchinsky mengemukakan suatu gambaran tentang keterkaitan antara aturan-aturan hukum dengan pola perilaku dalm kaitannya dengan fungsi hukum dalam masyarakat.

Kutchinsky berpendapat sebagaimana dikutip oleh Otje Salman bahwa:

Its a tradicional juridical viewpoint that legal rules (leges snd other legal sources) a nation define in an unambiguous way wich acts are forbidden and which are permitted for the citizens of the nation. The juridical tradition also takes of granted that these legal rules are adhered legal rules and legal behaviour. Which has been called the. “co-varience theory” is more or less accepted as afact not only by legislator but by most legal philosophers and sociologis.9

Ajaran tradisional, pada umumnya bertitik tolak pada suatu anggapan bahwa hukum secara jelas merumuskan perikelakuan-perikelakuan yang dilarag atau yang diperbolehkan. Meski demikian hukum tersebut dengan sendirinya dipatuhi oleh sebagian besar dari warga masyarakat. Ajaran ini terkenal dengan nama co-varience theory, yang berasumsi bahwa ada kecocokan antara hukum dengan pola-pola perikelakuan hukum. Ajaran lain menyatakan bahwa hukum hanya efektif apabila didasarkan pada volksgeist atau rechtsbewustzijn.

9


(28)

Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ajaran atau teori tersebut mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator anatara hukum dengan pola-pola perikelakuan manusia di dalam masyarakat baik secara individu maupun kolektif. Sebenarnya, kesadaran hukum tersebut yang sering kali dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perikelakuan manusia dalam masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa hukum merupakan penjelmaan dari jiwa dan cara berfikir masyarakat yang beesangkutan.10

Di Indonesia masalah kesadaran hukum mendapat tempat yang sangat penting di dalam politik hukum nasional. Hal ini dapat diketahui sebagaimana dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang menyatakan bahwa:

1. Pembinaan bidang harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditunjukkan ke arah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:

(a) Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum Nasiona dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi, serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.

(b)Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.

10

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, suatu analisa sosiologi hukum, (Jakarta: CV Rajawali,1982), Cet, I, h 160


(29)

19

(c) Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum

2. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah ke arah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Kesadaran hukum sering kali diasumsikan, bahwa ketaatan hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum. Kesadaran hukum dianggap sebagai variabel bebas, sedangkan taraf ketaatan merupakan variabel tergantung.11 Selain itu kesadaran hukum dapat merupakan variabel antara, yang terletak antara hukum dengan perilaku manusia yang nyata.

Perilaku yang nyata terwujud dalam ketaatan hukum, namun hal itu tidak dengan sendirinya hukum mendapat dukungan sosial, dukungan sosial hanyalah diperoleh apabila ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan merupakan hasil pencapaian hasrat akan keadilan.12

Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektifitas hukum. Dengan kata lain kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat.

11

Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 2004), h, 51

12


(30)

Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, dapat dikemukakan sebagai berikut:13

1. Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasrkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah –kaidah hukum tersebut.

2. Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung pada baik buruknya interaksi tadi.

Walaupun seseorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan kekhawatirannya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai

13

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, suatu analisa sosiologi hukum, (Jakarta: CV Rajawali,1982), Cet, I, h. 230


(31)

21

objek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi. Penderitaan yang ada sebagai akibat pertentangan nilai-nilai diatasinya dengan menerima nilai-nilai penegak hukum.14

3. Internalisasion, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum karena secara intristik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan, atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intristik. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasnya.

4. Kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada.15

Diantara keempat faktor tersebut, dapat berdiri sendiri-sendiri dapat pula merupakan gabungan dari keseluruhan atau sebagian dari keempat faktor di atas. Jadi seseorang mematuhi hukum dapat dikernakan dia takut sanksi yang akan dikenakan apabila ia melanggar hukum. Atau mungkin juga seseorang mematuhi hukum krena kepentingan-kepentingan terjamin oleh hukum, bahkan mungkin ia mematuhi hukum karena ia merasa hukum

14

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, suatu analisa sosiologi hukum, (Jakarta: CV Rajawali,1982), Cet, I, h. 230

15

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, suatu analisa sosiologi hukum, (Jakarta: CV Rajawali,1982), Cet, I, h. 230


(32)

yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya. Namun demikian, hal-hal tersebut di atas dari maslah apakah seseorang setuju atau tidak setuju terhadap substansi maupun prosedur hukum yang ada.

Masalah kepatuhan hukum atau ketaatan terhadap hukum merupakan suatu unsur saja dari persoalan yang lebih luas, yaitu kesadaran hukum.

Dari berbagai arti hukum, salah satu diantaranya, hukum diartikan sebagai jaringan nilai-nilai yang merupakan refleksi dari suatu masyarakat. Masalah nilai-nilai hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum. Hal ini dikarenakan kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki atau yang seharusnya ada.

Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaedah-kaedah hukum tersebut telah meresap dalam diri masyarakat.

Terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:

1. Pengetahuan hukum;

2. Pemahaman hukum;


(33)

23

4. Pola perilaku hukum.16

Setiap indikator menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi.

Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.17 Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum.

Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan.

Pemahaman hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.18 Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus lebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang

16

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, suatu analisa sosiologi hukum, (Jakarta: CV Rajawali,1982), Cet, I, h. 159

17

Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: PT. Alumni, 2004), h, 56

18


(34)

mengatur sesuatu hal. Akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.19

Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai ssuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuia dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.20

Pola perilaku hukum merupakan hal yang penting dalam kesadaran hukum, karen disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.

3. Fungsi Kesadaran Hukum

Fungsi kesadaran hukum, hal pertama yang harus diperhatikan adalah tentang hukum itu sendiri. Hukum mempunyai tujuan mengatur warga masyarakat agar hidup tertib, tentram dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di sini hukum yang dimaksud adalah hukum yang terdiri atas

19

T.O Ihromi, Bianglala Hukum, (Bandung: Tarsito, 1986), Cet I, h, 99

20


(35)

25

peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh legislatif dengan aturan-aturan yang sesuai dengan pemerintahan negara. Karena negara Indonesia adalah negara yang berbhineka, maka masyarakat dalam memahami hukum pun berlainan. Pemahaman warga masyarakat berbeda dengan pemahaman para pejabat atau penegak hukum.21

Membangun kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang memiliki kesadaran tersebut. Hukum sebagai Fenomena sosial merupakam institusi dan pengendalian masyarakat. Di dalam masyarakat dijumpai berbagai intitusi yang masing-masing diperlukan di dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, oleh karena itu fungsinya demikian masyarakat perlu akan kehadiran institusi sebagai pemahaman kesadaran hukum.

Pentingnya kesadaran membangun masyarakat yang sadar akan hukum inilah yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat menjunjung tinggi intitusi atau aturan sebagai pemenuhan kebutuhan untuk mendambakan ketaatan serta ketertiban hukum. Peran dan fungsi membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada umumnya melekat pada intitusi sebagai pelengkap masyarakat dapat dilihat dengan : 1) Stabilitas, 2) Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan

21

Rahmat Margono, Tingkat kesadaran Hukum MasyarakatTterhadap UU Nomor 1 tahun 1974, (Jakarta: Skripsi, 2009), Cet 1, hal. 26


(36)

dalam masyarakat, 3) Memberikan kerangka sosial institusi berwujud norma-norma, 4) Jalinan antar institusi.

Beberapa faktor yang mempengarui masyarakat tidak sadar akan pentingnya hukum adalah, adanya ketidakpastian hukum, peraturan-peraturan yang bersifat statis, tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan yang berlaku.22

Berlawanan dengan faktor-faktor diatas salah satu menjadi fokus pilihan dalam kajian tentang kesadaran hukum adalah, penekanan bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitan dengan lokasi dimana suatu tindakan hukum terjadi, studi tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakan hukum sebagai sebuah sumber otoritas atau motivasi untuk tindakan, studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak sekedar permasalahan sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan mereka, tetapi juga apa mereka lakukan.23

B.Pencatatan Perkawinan

1. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan

22

Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), Edisi Revisi Hal.112

23

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang (legisprudence, (Jakarta: Kencana, 2009), hal 342


(37)

27

Landasan hukum keharusan adanya pencatatan perkawinan ini disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 tahun 1974 pasal 2:

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Apabila kita lihat dalam peraturan pelaksana dari UU No. 1 Tahun 1974, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 2 nya antara lain menyebutkan bahwa, Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama setempat ( KUA daerah di mana perkawinan dilaksanakan ).24

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Jadi dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 (dua) instansi pemerintah, yaitu, (a) Kantor Urusan Agama (KUA), bagi mereka yang

24

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), hal.75.


(38)

beragama Islam, (b) Kantor Catatan Sipil (KCS), bagi mereka yang bukan beragama Islam.

Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.25 Dengan demikian dengan dicatatkannya perkawinan akan memberikan perlindungan hukum kepada kedua belah pihak dan akan memudahkan pembuktian akan adanya perkawinan.

2. Urgensi Pencatatan Perkawinan

Untuk kondisi saat ini, pencatatan perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang sangat urgen sekali, karena menyangkut banyak kepentingan. Perkawinan bukan hanya ikatan antara mempelai laki-laki dan perempuan, akan tetapi merupakan penyatuan dua keluarga besar yang masing-masingnya punya hak dan kepentingan dari perkawinan. Dilangsungkannya perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah adalah dengan maksud Pegawai Pencatat Nikah dapat mengawasi langsung terjadinya perkawinan tersebut. Mengawasi disini dalam artian menjaga jangan sampai perkawinan

25

Saidus Syahar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, (Jakarta: Alumni, 1981), hal.108.


(39)

29

tersebut melanggar ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.26

Secara eksplisit memang tidak satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan keharusan adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti sekarang ini, pencatatan perkawinan merupakan sebuah kemestian, karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika tidak dilakukan pencatatan. sementara Islam menggariskan bahwa setiap kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana ungkapan sebuah kaedah fikih: “Kemudharatan harus dihilangkan”.27

Menyempurnakan akad nikah adalah wajib, Namun ia tidak sempurna tanpa adanya pencatatan. Oleh sebab itu mencatatkan perkawinanpun hukumnya wajib. Banyak sekali kemaslahatan yang tercapai dengan adanya pencatatan perkawinan. Bahwa ada perbedaan pendapat tentang masalah pencatatan perkawinan ini adalah sesuatu yang lumrah, karena persoalan ini berada dalam koridor ijtihad yang tentunya kebenarannya bersifat relatif. Akan tetapi kita berkewajiban untuk mencari mana yang paling mendekati kebenaran.28

26

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), hal.93.

27

Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1987), Cet. I, h. 252.

28

Raji Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : PT Tintamas Indonesia, 1983), Cet. Ke-2, hal.35.


(40)

29

BAB III

POTRET MASYARAKAT KELURAHAN CIPEDAK

A.

Keadaan Geografis

Kelurahan Cipedak merupakan salah satu kelurahan dari enam kelurahan

di Kecamatan Jagakarsa yang termasuk dalam wilayah Kotamadya Jakarta

Selatan merupakan pemekaran wilayah dari Kelurahan Ciganjur sebagaimana

Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor : 1746 tahun 1987 Tanggal 8 Mei

1990 ditetapkan bahwa Kelurahan Ciganjur dipecah menjadi Kelurahan Ciganjur

dan Cipedak.

1

Secara geografis, Cipedak merupakan sebagai tempat yang memiliki

peluang untuk mengembangkan ekonomi, pendidikan, pusat pemerintahan, dan

pemukiman. Untuk mengakses ke pusat kota Jakarta dibutuhkan waktu hanya satu

jam, dan hanya memerlukan waktu kurang dari satu jam menuju pusat

pendidikan, pusat perbelanjaan, terminal, akses jalan tol, tempat dan fasilitas

umum penting lainnya.

Kelurahan Cipedak yang memiliki luas wilayah 397,5 hektar ini, suhu

udara berkisar antara 28 derajat Celsius, merupakan suhu rata-rata bagi penduduk

Jakarta dan sekitarnya. Menurut data yang diperoleh dari profil Kelurahan

Cipedak, Kelurahan tersebut berada pada ketinggian 50 meter dari permukaan

1


(41)

30

laut, Curah hujan rata-rata per tahun 1200 m

3

. Untuk memudahkan kerja dan

administrasi, Kelurahan Cipedak di bagi menjadi 10 RW, dan 51 RT.

2

Adapun secara geografis Kelurahan Cipedak berbatasan dengan:

1.

Sebelah Utara : Jl. Brigif, Jl. Warung Sila Kelurahan Ciganjur.

2.

Sebelah Selatan : Kelurahan Tanah Baru, Kota Depok.

3.

Sebelah Barat : Kali Krukut, Kelurahan Gandul, Kota Depok.

4.

Sebelah Timur : Jl. Moh. Kahfi II Kelurahan Srengseng Sawah.

3

Sebagian besar penduduknya merupakan kaum urban (pendatang).

Kebanyakan mereka bermukim di beberapa perumahan dan real estate, seperti

Grand Matoa Residence, Komplek DKI dan lain-lain. Inilah yang menjadikan

alasan kawasan ini sangat strategis sebagai kawasan pemukiman penduduk. Bagi

masyarakat asli, keberadaan perumahan dan real estate direspon secara positif,

misalnya dalam konteks ekonomi seperti menjadi tukang kebun, pembantu rumah

tangga, membuat warung-warung kecil, sector jasa (pembayaran telpon, listrik),

pertukangan, dan sub-sektor informal lainnya.

Letak strategis lainnya, Kelurahan Cipedak berdekatan dengan perguruan

tinggi seperti Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Institut Sains Teknologi

Nasional (ISTN), Sekolah Pusat Pertanian (SPP). Ketiga perguruan tinggi ini

terletak di wilayah Kelurahan Cipedak. Di samping itu, masyarakat Cipedak

2

Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April 2011

3


(42)

masih bisa mengakses perguruan tinggi lain yang terletak di Lebak Bulus seperti

Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) dan Universitas Veteran Nasional

(UVN) Limo dan Pondok Labu. Keberadaan semua perguruan tinggi ini selain

memiliki pengaruh positif pada terciptanya peluang usaha bagi masyarakat

setempat, lebih jauh, memiliki peran signifikan bagi percepatan terciptanya

masyarakat yang kondisif dalam bidang social, keagamaan, budaya, dan secara

khusus bagi peningkatan kualitas pendidikan masyarakat itu sendiri.

4

Berdasarkan deskripsi geografis di atas, bisa dipahami bahwa Kelurahan

Cipedak berada di daerah yang memiliki potensi untuk berkembang dalam

berbagai aspek kehidupan. Adapun letaknya di daerah Khusus Ibukota Jakarta,

dan berbatasan langsung dengan Kota Depok. Dimana diketahui mobilitas

penduduk, gaya hidup, persepsi kemanusiaan, dan tingkat kohesi social

masyarakat perkotan berbeda dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan.

B.

Keadaan Demografi

Berdasarkan data monografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April

Tahun 2011, jumlah penduduk adalah sebanyak 28.231 jiwa, terdiri atas 7.774

kepala keluarga.

5

4

Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April 2011

5


(43)

32

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, laki-laki sebanayak 14.168 jiwa,

dan jenis kelamin perempuan sebanayak 14.063 jiwa. Untuk jumlah warga asing

di Kelurahan Cipedak tidak ada.

Tabel 2.1

Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin

6

No

Jenis Kelamin

Jumlah (orang)

1.

Laki-laki

14.168

2.

Perempuan

14.063

Sumber: Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April, 2011

Sedangkan keadaan penduduk menurut agama di Kelurahan Cipedak

mayoritas adalah beragama Islam, adapun keterangan lebih lanjut dijelaskan

sebagai berikut:

Tabel 2.2

Jumlah penduduk menurut Agama

No

Agama

Jumlah (orang)

1.

Islam

27.209

2.

Kristen Protestan

586

3.

Kristen Katolik

346

4.

Hindu

49

5.

Budha

41

Sumber: Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April, 2011

Jumlah pemeluk agama tersebut diimbangi dengan fasilitas ibadah, seperti

terdapat 15 buah masjid, 39 buah mushola, kemudian dalam bidang

6


(44)

kemasyarakatan dan keagamaan, terdapat 36 perkumpulan majelis ta’lim, dan 8

kelompok remaja masjid yang tersebar di Kelurahan Cipedak.

7

Sedangkan jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan dapat dilihat

table di bawah ini.

Tabel 2.3

Penduduk Kelurahan Cipedak menurut tingkat pendidikan

No Tingkat Pendidikan

Jumlah (orang)

1.

TK

475

2.

SD

1.536

3.

SLTP

7.446

4.

SLTA

14.716

5.

AKADEMI

1.005

6.

S1-S3

972

Sumber: Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April, 2011

Dapat diketahui bahwa jumlah penduduk menurut pendidikan, diantaranya

TK sebanyak 475 orang, SD sebanyak 1.536 orang, SLTP sebanyak 7.446 orang,

SLTA sebanyak 14.716, Akademi sebanyak 1.005 orang, dan S1-S3 sebanyak

972 orang. Hal tersebut diimbangi dengan sarana pendidikan terdiri dari 7 taman

kanak-kanak, 9 buah Sekolah Dasar, 3 buah Madrasah Ibtidaiyyah, 3 buah

Sekolah Lanjut Tingkap Pertama, 1 buah Madrasah Tsanawiyyah dan 3 Sekolah

Lanjut Tingkat Atas. Lembaga pendidikan tersebut lebih banyak dikelola oleh

pihak swasta dibawah payung yayasan masing-masing.

8

Sedangkan jumlah penduduk menurut usia, untuk setiap kelas usia tertentu

adalah seperti terlihat pada Tabel 2.4 berikut ini.

7

Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April 2011

8


(45)

34

Tabel 2.4

Jumlah penduduk menurut usia

No USIA

Jumlah (orang)

1.

0-4 tahun

3.464

2.

5-9 tahun

2.239

3.

10-14 tahun

2.363

4.

15-19 tahun

2.740

5.

20-24 tahun

2.838

6.

25-29 tahun

2.866

7.

30-34 tahun

2.791

8.

35-39 tahun

2.879

9.

40-44 tahun

2.114

10. 45-49 tahun

1.599

11. 50-54 tahun

1.445

12. 55-59 tahun

805

13. 60-64 tahun

767

14. 65-69 tahun

209

15. 70-74 tahun

64

16. 75 tahun Ke atas

48

Sumber: Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan April 2011

Tabel tersebut menunjukkan kelas usia 0-4 tahun sebanayk 3.464 orang,

5-9 tahun sebanyak 2.235-9 orang, 10-14 tahun sebanyak 2.363 orang, 15-15-9 tahun

sebanyak 2.740 orang, 20-24 tahun sebanyak 2.838 orang, 25-29 tahun sebanyak

2.866 orang, 30-34 tahun sebanyak 2.791 orang, dan 35-39 tahun sebanyak 2.879

orang, 40-44 tahun sebanyak 2.114 orang, 45-49 tahun sebanyak 1.599 orang,

50-54 tahun sebanyak 1.445 orang, 55-59 tahun sebanyak 805 orang, 60-64 tahun

sebanyak 767 orang, 65-69 tahun sebanyak 209 orang, 70-74 tahun sebanyak 64

orang, 75 ke atas sebanyak 48 orang.

9

9


(46)

Mengenai jumlah penduduk menurut mata pencaharian, penduduk

Kelurahan Cipedak adalah 3.321 orang berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta,

11.831 orang berprofesi sebagai karyawan swasta, 8.155 orang berprofesi sebagai

Pegawai Negeri Sipil dan 657 Sebagai Pegawai Negeri Militer. Pensiun sebanyak

312 orang serta sector jasa sebanyak 3.955 orang.

10

C.

Kehidupan Keagamaan dalam Masyarakat

Manusia, sebagai makhluk hidup, merupakan usnur lingkungan yang

paling

dominan.

Secara

alamiah,

manusia

senantiasa

membutuhkan

lingkungannya, baik biotik maupun abiotik dan material maupun immaterial yang

mengitarinya.

11

Semua itu mempengaruhi kehidupan manusia dan dipengaruhi

oleh manusia. Proses hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi tersebut

membentuk suatu sistem yang bisa disebut dengan ekosistem.

12

Ekosistem pada hakikatnya adalah interaksi komunal dalam suatu sistem

kehidupan dari aneka ragam makhluk hidup. Kesulitan dalam ekosistem

menunjukkan interaksi positif dan serasi di kalangan semua makhluk hidup.

13

Suatu kelompok manusia atau masyarakat manusia biasanya terikat oleh berbagai

sistem, adat istiadat, dan hukum bersifat khas. Kelompok masyarakat tersebut

hidup bersama-sama di suatu wilayah tertentu dan sama-sama berbagai iklim,

10

Data Demografi Kelurahan Cipedak sampai bulan Apri 2011

11

M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta:Prasasti, 2002), h.2.

12

Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Kepribadian dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), Cet. Pertama, h. 3.

13


(47)

36

musim, dan makanan yang relatif sama.

14

Sejalan dengan waktu, kemudian

terbentuklah suatu komunitas etnis, suku, dan bangsa tertentu. Secara umum,

pembentukan komusitas itu tergantung pada kesediaan sejumlah faktor yang

menjadi sumber pembentukan identitas yang membedakan dengan komunitas

etnis, suku, dan bangsa lain.

Dalam konteks itu, manusia sebagai makhluk yang secara fitri merupakan

makhluk spiritual dan makhluk rasional, memerlukan agama sebagai kebutuhan

dasar, di samping kebutuhan lain yang bersifat fisikal-kuantitatif dan

rasional-saintifik. Untuk itu, agama yang terdiri dari seperangkat ajaran, nilai dan simbol

perlu dipahami secara utuh oleh umat manusia sehingga kehadirannya

benar-benar fungsional bagi penyempurnaan kehidupan dan eksistensi mereka. Pada sisi

ini, pendidikan agama sebagai upaya pengenalan dan pemahaman terhadap

agama, serta sebagai proses internalisasi nilai-nilai menjadi penting untuk

diangkat.

Proses internalisasi nilai-nilai tadi, secara praktis, dalam konteks

Kelurahan Cipedak, dilaksanakan melalui pendidikan secara formal seperti di

sekolah maupun pendidikan informal yang diselenggarakan baik di majelis

taklim, musholla dan masjid di wilayah Kelurahan Cipedak. Termasuk

pendidikan di pondok pesantren-pondok pesantren di Kelurahan Cipedak yang

14

Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, terjemah H. Hasem, (Bandung: Mizan, 1992), h.15.


(48)

tentunya memiliki implikasi positif bagi lingkungannya baik dalam keagamaan

maupun kemasyarakatan.

D.

Kehidupan Ekonomi dan Politik

Secara umum, masyarakat Kelurahan Cipedak mempunyai peluang untuk

mengembangkan kehidupan ekonomi mereka. Indikasi ini terlihat dari kian

lebarnya areal perdagangan, kompleks perumahan, pendidikan dan perkantoran

dimana masyarakat Kelurahan Cipedak bisa menjual keterampilan mereka kepada

institusi tersebut, sebab untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga bisa

menjadi masyarakat yang sejahtera tanpa diimbangi dengan kemampuan teknis

dan keterampilan saat ini semakin sulit. Problem ini pula sebenarnya yang secara

nasional dihadapi oleh bangsa kita.

Sebagai sebuah harapan, sepanjang yang penulis ketahui, terdapat

beberapa indikator yang dipandang akan mendorong ke arah tumbuh dan

berkembangnya ekonomi masyarakat. Kelurahan Cipedak, adalah:

1.

Jumlah angkatan kerja yang setiap tahun mengalami peningkatan dan mereka

tersebar dalam berbagai lembaga ekonomi, baik formal maupun informal. Pada

tahun-tahun mendatang, dimana kualitas angkatan kerja masyarakat Kelurahan

Cipedak akan mengalami perbaikan karena semakin banyaknya tenaga kerja

terdidik-terampil yang akan diterima oleh pasar kerja.

15

2.

Letak Kelurahan Cipedak yang sangat strategis ditinjau dari berbagai aspek,

terutama dalam aspek ekonomi. Persoalan hambatan dan keterlambatan

15


(49)

38

informasi dan komunikasi bukanlah menjadi persoalan yang mendasar bagi

masyarakat Kelurahan Cipedak.

3.

Terdapat institusi ekonomi berupa pasar tradisional dan modern, sehingga

masyarakat bisa dengan mudah melakukan transaksi perdagangan baik dalam

partai kecil maupun besar. Untuk partai kecil masyarakat bisa mengakses pasar

Kemiri Depok, pasar Pondok Labu, dan pusat-pusat perbelanjaan modern.

Sedangkan pasar Tanah Abang merupakan pusat kegiatan ekonomi yang bisa

menghidupkan masyarakat Jakarta, termasuk masyarakat Kelurahan Cipedak.

16

4.

Banyak penduduk Cipedak yang saat ini sedang menempuh pendidikan di

berbagai perguruan tinggi, sehingga bisa diharapkan mereka akan memiliki

harapan kehidupan ekonomi yang lebih baik.

5.

Sedangkan pertanian dan perkebunan sudah tidak ada lagi di Kelurahan

Cipedak, tetapi sektor jasa merupakan pilihan pekerjaan yang bisa dilakukan

oleh mereka yang ingin mengembangkan potensi dirinya.

17

Dalam pandangan penulis, pertumbuhan yang terjadi dan pembangunan

yang dilaksanakan di Kelurahan Cipedak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor

keagamaan, sosial dan ekonomi, tetapi juga begitu ditentukan oleh kehidupan

politik yang dewasa dan demokrasi. Dalam setiap kali pemilihan umum,

masyarakat tidak terjebak pada aksi yang merugikan persatuan dan kesatuan

sesama warga yang memang sudah terjalin sedemikian kuat.

16

Data Demografi Kelurahan cipedak sampai bulan April 2011

17


(50)

Penulis melihat beberapa simbol organisasi kemasyarakatan (ormas) dan

organisasi sosial-politik (orsopol). Tetapi sejauh ini perbedaan kehidupan

berpolitik tidak pernah menimbulkan persoalan yang mengganggu stabilitas

pembangunan dan ketentraman masyarakat.


(51)

40

BAB IV

PENCATATAN PERKAWINAN DAN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT KELURAHAN CIPEDAK

A. Identitas Responden

Obyek yang menjadi penelitian penulis adalah masyarakat Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Adapun deskripsi identitas responden mengacu pada tiga indikator, yaitu: (1) Jenis Kelamin, (2) Tingkat Pendidikan, (3) Pekerjaan.

Dari sebaran angket ternyata responden lebih didominasi oleh masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki, yakni 67 %. Dan sebagian responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 33 %.

Tabel 4.1

Jenis Kelamin Responden N=100

Jenis kelamin Frekuensi %

Laki-laki Perempuan

67 33

67% 33%

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai di lapangan

Berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan jumlah responden untuk setiap tingkat pendidikan yaitu: tingkat pendidikan tidak tamat SD (0) berjumlah 19 %, tingkat pendidikan SD/MI yakni, 28 %. Tingkat pendidikan SMP/MTs yaitu, 15 %. Tingkat pendidikan SMA/MA 29 %. Tingkat pendidikan Perguruan Tinggi berjumlah 9 %.


(52)

Tabel 4.2 Tingkat pendidikan

N=100

Tingkat pendidikan Frekuensi %

Tidak tamat sekolah SD/MI SMP/MTs SMA/MA Perguruan Tinggi 19 28 15 29 9 19 28 15 29 9

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai di lapangan

Mengacu kepada indikator pekerjaan ternyata sebagian besar adalah pekerja sebagai karyawan, buruh, dan wiraswasta yang berjumlah 70 %. Ibu Rumah Tangga yakni 22 %. Dan masyarakat yang berprofesi sebagai pengajar formal maupun non formal berjumlah 8 %.

Tabel 4.3 Jenis Pekerjaan

N=100

Pekerjaan Frekuensi %

Pekerja Ibu Rumah Tangga

Pengajar 70 22 8 70 22 8

Total 100 100


(53)

42

B. Pengetahuan Terhadap Pencatatan Perkawinan

Pengetahuan hukum merupakan salah satu indikator pertama dari kesadaran hukum. Untuk itu pada bagian ini akan dikemukakan pengetahuan responden seputar hukum perkawinan. Tabel 4.4 menunjukkan jumlah responden yang mengetahui sistem apa yang digunakan dalam mengatur perkawinan masyarakat di Indonesia. Dalam tabel itu dapat diamati bahwa sebagian besar responden, yakni 81 % menganggap bahwa sistem hukum Islamlah yang berlaku di Indonesia. Berada di peringkat kedua, responden memilih hukum adat, sebanyak 4 % sebagai sistem hukum yang berlaku. Sedangkan sisanya, 15 % menganggap bahwa sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum Nasional.

Tabel 4.4

Menurut saudara, sistem hukum apa yang mengatur pencatatan perkawinan di Indonesia?

N=100

Jenis sistem Hukum Frekuensi %

Hukum Adat Hukum Islam Hukum Nasional

4 81 15

4 81 15

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

Pada tabel 4.5 pertanyaan diarahkan untuk menggali pengetahuan responden tentang perbedaan yang ada pada sistem-sistem hukum tersebut. Sebanyak 53 responden (53%), menyatakan bahwa antara sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Nasional terdapat perbedaan. Persentase ini


(54)

memang sangat signifikan dibanding persentase yang menyatakan tidak ada (22%) dan bahkan mereka yang tidak mengetahui apakah sama atau berbeda (25%).

Tabel 4.5

Menurut pengetahuan saudara, adakah perbedaan di antara sistem-sistem hukum tersebut?

N=100

Perbedaan sistem Frekuensi %

Ada Tidak ada Tidak tahu 53 22 25 53 22 25

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

Tabel 4.6 memaparkan pengetahuan masyarakat tentang fungsi Kantor Urusan Agama (KUA). Sebanyak 87% menjawab bahwa mereka mengetahui fungsi-fungsi KUA. Sedangkan yang menyatakan ketidaktahuannya yakni, 10%, dan yang tidak menjawab, yakni 3%.

Tabel 4.6

Apakah saudara mengetahui fungsi Kantor Urusan Agama (KUA)?

N=100

Pengetahuan tentang fungsi KUA Frekuensi %

Tahu Tidak tahu Tidak menjawab 87 10 3 87 10 3


(55)

44

Tabel 4.7 mengemukakan pengetahuan responden tentang keberadaan larangan bagi orang yang menikah tidak dicatatkan. Sebanyak 42% menjawab bahwa ada larangan orang untuk menikah tidak dicatatkan. Sedangkan yang menjawab tidak ada sebanyak 33%, dan yang menjawab tidak perlu dan tidak tahu masing-masing 11% dan 14%.

Tabel 4.7

Sepengetahuan saudara, adakah larangan orang untuk menikah tidak dicatatkan?

N=100

Larangan nikah tidak di catat Frekuensi %

Ada Tidak ada Tidak perlu

Tidak tahu

42 33 11 14

42 33 11 14

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

Sedangkan pada tabel 4.8 dikemukakan pengetahuan responden mengenai hak dan kewajiban suami-istri dalam keluarga. Sebagian besar responden 84% mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Hal ini dapat dipahami karena, baik secara hukum Islam maupun kebiasaan yang berlaku, menunjukkan pembagian tugas yang jelas antara suami dan istri.


(56)

Tabel 4.8

Apakah saudara mengetahui hak dan kewajiban suami-istri N=100

Pengetahuan tentang hak dan kewajiban Frekuensi % Tahu

Tidak tahu Tidak menjawab

84 9 7

84 9 7

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

C. Pemahaman Terhadap Pencatatan Perkawinan

Pemahaman tentang suatu sistem hukum merupakan indikator kedua dari kesadaran hukum. Untuk itu akan dikemukakan pemahaman hukum masyarakat terhadap pencatatan perkawinan. Tabel 4.9 mengemukakan jumlah responden berkenaan dengan hukum yang digunakan ketika menikah. Sebanyak 73 % menjawab hukum Islam, maka dapat dikatakan bahwa masih ada beberapa responden melakukan perkawinan yg tidak dicatat, karena mereka tidak memilih hukum nasional (UU No. 1/1974) sebagai landasan hukum yang digunakan. Namun, tidak tertutup kemungkinan, telah terjadi kesalahpahaman responden menyangkut pilihan jawaban yang disediakan.

Hal itu dimungkinkan karena tidak adanya kepahaman terhadap perbedaan antara hukum islam dan hukum positif yang berlaku. Dengan kata lain mereka tidak mengetahui substansi UU perkawinan nasional. Oleh karena itu, kenyataan ini menunjukkan lemahnya pemahaman responden terhadap hukum perkawinan nasional. Sementara yang menjawab Adat, Barat, dan Nasional masing-masing 4%, 0%, dan 23%.


(57)

46

Tabel 4.9

Sistem hukum apa yang saudara gunakan ketika menikah? N=100

Sistem hukum Frekuensi %

Islam Adat Barat Nasional 73 4 0 23 73 4 0 23

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

Tabel 4.10 menjelaskan pemahaman responden tentang bagaimana seharusnya menentukan kriteria dalam memilih calon pasangan hidup. Sebagian responden, yakni 55 % memilih kriteria agama sebagai pertimbangan pertama dalam menentukan calon pasangan hidup.

Tabel 4.10

Ketika saudara hendak menikah, kriteria apa yang digunakan? N=100

Kriteria yang dipilih frekuensi %

Harta kekayaan Keturunan Penampilan Agama 19 7 19 55 19 7 19 55

Total 100 100


(58)

Selanjutnya ditempati para responden yang memilih aspek harta kekayaan (19%), penampilan (19%), dan keturunan (7%).

Tabel 4.11 menjelaskan pemahaman responden tentang pentingnya pencatatan dalam sebuah perkawinan. Responden yang menganggap perlu sebanyak 85%.

Tabel 4.11

Menurut saudara perlukah pencatatan dalam perkawinan? N=100

Urgensi pencatatan Frekuensi %

Perlu Tidak perlu Tidak peduli

Tidak tahu

85 11 3 1

85 11 3 1

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

Sedangkan responden yang menyatakan tiak perlu, tidak peduli, bahkan tidak mengetahui apakah perlu niikah dicatat sebanyak 15%.

Tabel 4.12 menjelaskan jumlah responden yang memahami mekanisme pertanggung jawaban pemenuhan nafkah keluarga. Terdapat keseimbangan jumlah responden dalam hal siapa yang berkewajiban memikul beban nafkah keluarga. Responden yang memilih suami sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga sebanyak 45%. Persentase ini adalah tertinggi dibanding yang lainnya.


(59)

48

Sementara yang menganggap harus ditanggung bersama sebanyak 49% responden. Sedangkan yang menunjuk istri sebagai pihak yang juga bertanggung jawab 6%.

Tabel 4.12

Menurut saudara, bagaimana mekanisme pemenuhan nafkah keluarga?

N=100

Tanggung jawab nafkah Frekuensi %

Suami Istri Bersama

45 6 49

45 6 49

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

D. Sikap Terhadap Pencatatan Perkawinan

Salah satu indikator dari kesadaran hukum adalah sikap terhadap suatu sistem hukum. Untuk itu maka pada bagian ini akan dikemukakan sikap hukum masyarakat terhadap pencatatan perkawinan. Tabel 4.13 menjelaskan sikap responden tentang adanya aturan yang mengharuskan pernikahan dicatat di KUA. Sejumlah 95% setuju bahwa perkawinan memang harus dicatat di KUA. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat Cipedak sepakat dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, terutama menyangkut pencatatan perkawinan di KUA.


(60)

Tabel 4.14

Apakah saudara setuju tentang aturan yang mengharuskan pernikahan dicatat di KUA?

N=100

Persepsi tentang pencatatan nikah Frekuensi % Setuju Tidak setuju Tidak perlu Tidak menjawab 95 1 3 1 95 1 3 1

Total 100 100

Keterangan: Data diolah dari hasil survai lapangan

Tabel 4.15 mengungkap perkawinan keluarga responden, apakah dilakukan di KUA atau di bawah tangan. Sebagian responden 63% menyatakan bahwa keluarganya melakukan perkawinan di KUA. Sebanyak 0% lainnya menyebutkan bahwa keluarganya tidak mencatatkan perkawinannya di KUA. Dan yang menyebutkan hanya sebagian saja yang kawin dicatatkan adalah 12%. Sedangkan yang menjawab tidak tahu sebanyak 25%.

Tabel 4.15

Apakah keluarga saudara menikah di KUA? N=100

Apakah keluarga nikah di KUA Frekuensi %

Ya Tidak Sebagian Tidak tahu 63 0 12 25 63 0 12 25


(1)

64

masih belum banyak bersentuhan langsung dengan hiruk pikuk birokrasi. Karena kesulitan yang akan dihadapi bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya akan terbentur dengan aspek adminitrasi dan birokrasi yang ada di negara ini. Seperti untuk mendapatkan akta kelahiran anak, sepasang suami istri harus menunjukkan surat nikah resmi dari KUA, dan seterusnya.

Dari persentase bentuk kesulitan yang dihadapi ketika perkawinan yang tidak dicatat, sebanyak 63% mengaku kesulitan dalam mengurus akta kelahiran anak karena hendak mengurus akta kelahiran anak, orang tua anak harus menunjukkan surat nikah resmi yang dikeluarkan oleh KUA. Sama halnya dengan yang hendak menyekolahkan anaknya, ketika hendak mendaftarkan masuk sekoah diharuskan melampirkan surat akta kelahiran anak. Jelas ini akan mendapatkan kesulitan administrasi ketika suatu pernikahan tidak dicatatkan.

Dan persentase yang menyatakan bahwa perkawinan cukup menurut agama mereka berpandangan bahwa hukum Islam adalah sistem yang digunakan dalam mengatur perkawinan masyarakat. Responden yang menjawab kawin cukup menurut agama saja ini dilandasi oleh keyakinan mereka terhadap ajaran agamnya. Hal ini wajar karena dalam Islam diatur mengenai hukum perkawinan yang harus diikuti oleh umat Islam. Jika kini materi itu telah dipositifkan menjadi undang-undang negara, agaknya hal itu di luar pengetahuan mereka.


(2)

65 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil survei maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang pencatatan perkawinan masyarakat Cipedak (69.4%) berpredikat “Baik”.

2. Pada indikator pemahaman hukum, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang pencatatan perkawinan masyarakat Cipedak 65,5% berpredikat “Baik”.

3. Sedangkan pada indikator sikap hukum masyarakat, maka dapat disimpulkan bahwa sikap hukum responden (72,4%) berpredikat “Baik”. 4. Pada tingkat kualifikasi perilaku hukum. hanya 48% yang menunjukkan adanya perilaku yang mencerminkan pelaksanaan peraturan tersebut. Dengan demkian, perilaku hukum masyarakat dapat dikategorikan “Kurang”.

B. Rekomendasi

Seperti yang telah disinggung di awal, bahwa tingginya pengetahuan masyarakat tidak menjadi jaminan lahirnya suatu kesadaran dan kepatuhan hukum, yang disebabkan oleh adanya berbagai faktor, terutama aspek administrasi dan doktrin-doktrin tertentu.

Secara administratif, agaknya perlu dirumuskan suatu implemesntasi perundang-undangan yang lebih efisien dan tidak menciptakan kesulitan birokrasi. Belum lagi menyangkut persoalan biaya administratif yang ditentukan terasa memberatkan bagi masyarakat. Untuk itu perlu difikirkan


(3)

66

oleh pemerintah adalah reefisiensi hal-hal yang selama ini menjadi beban masyarakat.

Selain itu, kurangnya sosialisasi hukum yang dilakukan pihak yang berkompeten terhadap masyarakat, menjadi sebab utama ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum. Akibatnya, institusi-institusi negara di bidang perkawinan tidak berfungsi secara maksimal. Bahkan dengan minimnya upaya sosialisasi yang dilakukan, tidak membuat keyakinan-keyakinan doktrinal yang tertanam terutama doktrin keagamaan berganti dengan kesadaran hukum nasional.

Dan hal yang juga penting adalah menyangkut materi perundang-undangan. Dalam beberapa aspek, materi perundang-undangan yang berlaku harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan dan dinamika masyarakat. Bahkan, untuk menegakkan suatu hukum (Law Enforcement) perlu kiranya ditegaskan kalau perlu sanksi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut, sehingga akan terwujud kepatuhan hukum masyarakat.


(4)

67 Al-Qur’an al-Karim

Arifin, Busthanul, Kompilasi Fiqih Dalam Bahasa Undang-undang, Pesantren, II, 2 1985.

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Ahmad, Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Grafindo Persada, 1995.

Abdillah, Masykuri, Distorsi Sakralitas Perkawinan pada Masa Kini, dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1998.

Athar, Shahid, Bimbingan Seks Bagi Kaum Muda Muslim, Jakarta : Pustaka Zahra, 2004.

Al-Qaisiy, Marwan Ibrahim, Terapi Seksual Dalam Islam, Bandung: Mujahid Press, 2004.

Abi Bakr, Imam Taqiyuddin bin Muhammad al-Husayni, Kifayah al- Akhyar, Beirut:Daar el Fikr.

Bouhdiba, Abdoelwahab, Sexuality in Islam, Yogyakarta: Penerbit Alenia, 2004. Bambang, Sanggona Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2003.

Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Djuher Z, Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya dengan Kesadaran Hukum Masyarakat, Jakarta: Dewaruci, 1983.

Ghazali, M. Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti, 2002. Haya binti Mubarak Al-Barik, Ensiklopedia Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah,

2000.

Husayn, al-, Abu bin al-Hajjaj al-Qusyayri al-Nasyaburi Muslim, Shahih Muslim, Juz II.

Hathout, Hassan, Panduan Seks Islami, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.

I Doi, Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, ter. Basri Iba Asghari dan Wadi Masturi, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.


(5)

68

Kharlie, Ahmad Tholabi, Kesadaran Hukum Masyrakat Terhadap Hukum Perkawinan, Jakarta: LemLit UIN JKT, 2009.

Kumpulan Perundang-undangan (memuat) NTCR, Bandung: CV Madani, 2007. Muthahhari, Murtadha, Masyarakat dan Sejarah, terjemah H. Hasem, Bandung:

Mizan, 1992.

Malibari, al-, Syaikh Zainuddin, Fathul Mu’in, terjemahan. Ali As’ad, Kudus; Penerbit Menara Kudus, t. Th.

Muhaimin as’ad, Abdul, Risalah Nikah, Surabaya: Bintang Terang, 1993.

Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Qurthubi, Bidayah Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Mesir: Musthafa al-Babi al-Malabi wa Awladahu, 1960.

Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Ni’am Sholeh, Asrorun, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta: eLSAS.

Prodjohamidjojo, Martimam Hukum perkawinan Indonesia, Jakarta: PT. Abadi, Cet. Pertama, 2002.

Rumidi, Sukandar, MetodePenelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, Cet. II, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004.

Ramulyo, M. Idris, Tinjauan Hukum Perkawinan, Jakarta: 1974, Cet. Ke I.

Raji, Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, 1983.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: PT. Kencana, 2006.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Cet. II, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia Anggota IKAPI, 1995).

Shihab, M. Quraish, Wawasan Alquran, (Bandung: Mizan, 1997).

Suryabrata, Sumadi Metodologi Penelitian, Cet. I., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006).

Soekanto, Soerjono, Pengantar penelitian Hukum (Jakarta: UI-press, 1986).

Soekanto, Soerjono, Teori Sosiologi tentang Pribadian dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984).


(6)

Sumiati, MG, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Yogyakarta; TP,1980).

Sayyid, Muhammad Habib Allah bin al-Syekh sayyid Abdullah bin sayyid Ahmad, Zadu al-Muslim fima itafaqa alayhi al-Bukhari wa Muslim, (Al-Qahirah: Mu’assasah al-Halabi wa Syirkah li al-Nasyri wa Tawzi’i, TT).

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Toha Putera, TT).

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta :Rineka Cipta, 1997). Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.