Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (studi di Bantargebang, Kota Bekasi)

(1)

PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA (studi di Bantargebang, Kota Bekasi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DURAY ACHMAD NIM : 109044100021

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1437 H / 2016 M


(2)

PENCATATAN PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA

,

(Studi di Bantargebang, Kota Bekasi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DURAYACHMAD

NIM:

109044100021

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKTJLTAS SYARIAH DAN HUKTJM

T]MVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H / 2016l/I Pembimbirig:

I


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul "PENCATATAN PERKAWINAN

DI

KANTOR URUSAN

AGAMA

(studi

di

Bantargebang,

Kota

Bekasi)

",

telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 4 Januari 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum

Keluarga.

Jakarta, T januan2?l5 Mengesahkan

Dekan,

NIP: 19691216 1

Ketua

Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

Penguji

il

Dr. Abdul Halim, M.Ag. NrP. 19670608 199403

l

00 Arip Purkon, M.A

NIP. 19790427 200312 1002

M. Yasir, S.H, M.H

NIP.

Dr. Isnawati Rais, M.A.

NIP. 19571027 198503 2001

Drs. H.M. Riza Afwi, M.A. NIP. 19610520 199903 1002


(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7Januari 2016


(5)

iv ABSTRAK

Duray Achmad. 109044100021. Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama (Studi di Bantargebang, Kota Bekasi). Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015M, x + 69 Halaman + 12 Halaman Lampiran.

Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan yang sah menurut Hukum Perkawinan Indonesia selain sah menurut agama dan kepercayaannya, serta dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu dimana lembaga tersebut yang berwenang adalah Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim dan Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk yang non muslim. Sejak disahkannya Undang – Undang Perkawinan (1974) hingga saat ini, masih banyak terdapat hambatan dalam penerapannya yaitu salah satunya pencatatan perkawinan. Banyak terdapat perkawinan yang tidak dicatat karena paradigma pada masyarakat tertentu yang beranggapan bahwa perkawinan sah apabila sudah sesuai dengan hukum kepercayaan mereka masing – masing.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah; Untuk mengetahui permasalahan dalam penegakan hukum perkawinan yang ada di Indonesia. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penulisan Deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan sumber data lapangan atau bahan pustaka sebagai bahan pelengkap. Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis.

Selain itu analisis juga dilakukan berdasarkan kerangka teori Lawrence M. Friedmen dengan metode SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) atau analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat.

Perkawinan yang tidak dicatatkan banyak menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan rumah tangga dan masa depan keluarganya. Akibat hukum bagi perkawinan tidak dicatat, secara yuridis suami/isteri dan anak yang dilahirkannya tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Dampak buruk dari perkawinan tersebut merupakan akibat dari pemahaman yang tidak komprehensif terhadap Hukum Perkawinan dan lemahnya penegakan hukum untuk melindungi para korban. Seyogyanya pemerintah segera mengamandemen semua produk Hukum Perkawinan disesuaikan dengan kondisi riil masyarakat yang melindungi semua golongan dan kepentingan.

Kata kunci : Problem Pencatatan, Pencatatan Perkawinan.

Pembimbing : M. Yasir S,H, M.H


(6)

v

ب س م ا ه ا نمحرل ا میحرل

KATA PENGANTAR

Assalamu’laikum.wr.wb

Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan ke hadirat-Nya.Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan kekuasaan Allah SWT.Dialah penguasa dari seluruh alam semesta ini, yang Maha Pengasih tanpa pilih kasih, Maha Penyayang bagi semua makhluk-Nya. Karena anugerah dan karunia yang diberikan-Nya kita memiliki kemampuan untuk berfikir dan menikmati segala kenikmatan terutama nikmat Islam dan Iman serta nikmat duniawi yang tak terhingga jumlahnya. Shalawat dan salam semoga tercurah ke hadirat Qudwah Hasanah Nabi Muhammad SAW, yang selalu kita nantikan syafa'atnya di hari pembalasan nanti,Amin.

Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk menunjukan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Dialah motivator sejati yang selalu mendorong penulis untuk selalu terus berusaha menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab mulia ini dan untuk selalu berbuat yang terbaik didunia ini semata-mata untuk mencapai ridha-Nya.

Walaupun usaha dalam penyelesaian skripsi ini, penulis sudah merasa optimal namun sudah pasti banyak kekurangan dalam penulisan maupun dalam pembahasannya. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangat


(7)

vi

kami harapkan. Sebagai suatu karya ilmiah, semoga skipsi ini bisa bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membacanya dan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini.

Penulis sangat menyadari, bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata dari buah tangan hasil penulis sendiri, akan tetapi dari hamba Allah yang senantiasa mendermakan kemampuannya untuk kemaslahatan publik, baik secara langsung maupun tidak. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktu mesti hanya sekedar menuangkan aspirasi bagi penulis, tentu tanggung jawab ini akan terasa kian berat, tanpa kehadiran mereka.

Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini penulismenyampaikan rasa terimakasih, khususnya kepada :

1. Dr Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga(Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syari’ah dan Hukum.

3. Arip Purqon, M.Ag., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga(Ahwal Syakhsiyyah)Fakultas Syari’ah dan Hukum.

4. M. Yasir S.H, M.H. dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan besar hati, sabar serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.


(8)

vii

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yangtelah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.

6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Ustadz yang telahmendidik Penulis baik secara langsung atau tidak telah membantupemahaman Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepala KUA Bantargebang Drs. Muhammad Yusupdan juga Dr. Ah. AzharuddinLathif, M.Ag, M.H, sertaDr. Kamarusdiana, S.Ag, M.H. yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, karenadari merekalah banyak Ilmu mengenai Sosiologi Hukum dan PencatatanPernikahan yang benar-benar sangat membantu penulis dalam menyelesaikanskripsi ini. 8. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang disetiap nafasnya mengalir

doauntuk kebahagiaan dan kesuksesan Ananda dalam meniti kehidupan dunia dandi akhirat kelak, dan selalu memberikan motivasi baik secara moril danmateril semata-mata untuk keberhasilan penulis.

9. Kakakku Anifah Nurlela, Sofyan Haris, A.md., Hudaini Ikhsan, A.md., Hafidz Mubarok, S.Pdi dan seluruhkeluarga besar, terima kasih atas do'a dan motivasinya baik moril dan materiiluntuk keberhasilan studi Penulis. 10.Teman-teman seperjuangan, khususnya Izhar Helmi S.Sy, Yusuf Fadli

S.Sy, Ahdi Maulana S.Sy, Agus S.ESy dan teman-teman di Fakultas Syariah dan Hukum angkatan 2009 teman seperjuanganku yang selalu ada baik dalam suka maupun duka ,teman-teman KKN Gema Atraktif Desa


(9)

viii

Sukatani, Sukabumi. dimanapun kalian berada, Aku akan merindukan kalianselalu.

11.Semua makhluk Allah yang membuat Penulis terinspirasi dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya balasan atas amal baik mereka. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah khazanah keilmuan kita. Amin.

Jakarta, 28 Mei 2015


(10)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Massalah, Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Kerangka Teori ... 10

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 13

F. Review Studi Terdahulu ... 15

G. SistematikaPenulisan ... 16

BAB II PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 18

A. Pengertian Perkawinan ... 18

B. Tinjauan Hukum Sahnya Perkawinan ... 27

C. Pencatatan Perkawinan ... 31

BAB III PROFIL KANTOR URUSAN AGAMA KEC. BANTARGEBANG 39 A. Letak Geografis ... 39

B. Profil Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang ... 41

C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang ... 45

BAB IV PROBLEM PENCATATAN PERKAWINAN ... 48

A. Realitas Pencatatan Perkawinan ... 48

B. Tata Cara dan Prosedur Perkawinan ... 51

C. Upaya Penanggulangan Penertiban Pencatatan Perkawinan ... 56

D. Analisis Dengan Teori Lawrence M. Friedman ... 59

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64


(11)

x

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN – LAMPIRAN

1. Surat Permohonan Data dan Wawancara 2. Surat Keterangan Penelitian

3. Data Kependudukan Berdasarkan Agama Kec. Bantargebang 4. Data Kependudukan Berdasarkan Pendidikan Kec. Bantargebang 5. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang 6. Data Wawancara Kepala Kantor Urusan Agama Kec.

Bantargebang

7. Data Wawancara Staff dan Penghulu Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan sebuah ikatan perjanjian antara pihak pria dengan pihak wanita sehingga harus ada suatu aturan yang mengatur dengan erat terkait peristiwa perkawinan tersebut. Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-wathi‟, dan al-dammu wal jam‟u,

atau ibarat „an al-wath‟ wa al-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.1

Berdasarkan perspektif hukum normatif, Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum, dengan adanya perkawinan maka harus terdapat suatu aparatur negara dan undang – undang yang menjamin dengan jelas terhadap suatu pelanggaran yang terjadi suatu saat kelak akibat peristiwa hukum tersebut. Perkawinan dapat dikaitkan dengan kata perikatan. Soebekti berpendapat bahwa perikatan merupakan kata abstrak dari sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi dapat dibayangkan dalam Pikiran.2

Sayid Sabiq mengungkapkan bahwa ikatan antara suami istri adalah ikatan yang paling suci dan paling kokoh, dan tidak ada suatu dalil yang jelas menunjukan sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari Allah itu

1

Wahbah Zuhaily, al Fiqh Islami wa Adilatuhu, Juz VII, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1989), h. 29.

2

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995), Hal. 2. Lihat Prof. R. Soebekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung : Alumni, 1984), h. 10.


(13)

2

sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri mitsaqan ghalidzan (perjanjian kokoh).3

Merujuk pada uraian diatas bahwa perkawinan tidak dapat dikatakan dalam berbentuk wujud, oleh karena itu peristiwa perkawinan perlu diawasi dan dipublikasikan. Perikatan merupakan suatu bentuk yang disebabkan oleh kedua belah pihak dalam perjanjiannya yang mengikuti dari ketentuan undang – undang.4

Keabsahan perkawinan itu ditandai dengan adanya suatu peristiwa perkawinan yang syarat dan rukunnya telah terpenuhi berdasarkan hukum Islam. Namun dengan seiring perkembangan zaman, dengan adanya undang – undang yang mengatur tentang perkawinan maka bukannya hanya sah secara syarat dan ketentuan hukum Islam saja tetapi juga sah secara hukum positif yaitu mengikuti ketentuan secara administratif yang telah diatur undang – undang mengenai perkawinan tersebut.

Dapat dilihat dengan adanya ketentuan tersebut yang diberikan oleh negara kepada masyarakatnya bahwa perkawinan ini dianggap sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya jaminan tersebut diharapkan kehidupan yang teratur dan tentram serta meminimalisir tindak pelanggaran terkait suatu perikatan yang disebut perkawinan. Merujuk pada pengertian tersebut diatas, maka dalam hal penertiban administrasi negara, pencatatan

3

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Libanon, Beirut, 1991) Juz ke-2, h. 206.

4

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 2.


(14)

3

perkawinan menjadi suatu yang sangat penting untuk menuju modernisasi dari hukum perkawinan.

Berdasarkan sumber pokok hukum Islam, tidak aturan yang mengatur secara kongkrit mengenai adanya pencatatan perkawinan, tetapi seirring perkembangan zaman masyarakat memandang pentingnya akan hal itu sehingga diatur perundang – undangan tentang perkawinan. Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh Pejabat Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.5 Pencatatan tersebut dilakukan dalam upaya menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam penertiban pencatatan perkawinan, masih terdapat berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam penerapannya sesuai perundang - undangan. Terkait dengan hal berkeluarga, pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap berbagai masalah yang ada melalui perundang – undangan. Diantara perundang – undangan tersebut yang berkaitan langsung dengan keluarga adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah berlaku kurang lebih 40 tahun pelaksanaannya masih banyak kendala, diantaranya tentang pencatatan perkawinan bagi tiap – tiap warga negara yang hendak melaksanakan perkawinan.

5

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2007), h. 26.


(15)

4

Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang penting yang membutuhkan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.6 Atas dasar pengetahuan yang melekat pada masyarakat bahwa dalam agama tidak terdapat perintah untuk mencatatkan perkawinan kepada lembaga negara untuk syarat keabsahannya itu sendiri.

Berdasarkan aturan perkawinan pada pasal 1 Undang - Undang No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sakral, bukan lagi permasalahan hubungan antar manusia yang diikatkan dalam sebuah perjanjian. Apabila diperhatikan dari pasal tersebut maka perkawinan dapat diuraikan bahwa bukan saja ikatan jasmani melainkan batin dan silaturahmi antar kedua pihak, yang bertujuan agar ikatan perkawinan tersebut dapat bahagia dan menyambung kedua keluarga.7

Melihat pada teori hukum perkawinan bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum, serta akan mempunyai akibat yang diakui dan dilindungi oleh hukum.8 Merujuk pada aturan yang telah diberikan pemerintah maka perkawinan di Indonesia haruslah dicatatkan sebagaimana diatur dalam Undang - undang No. 1 tahun 1974. Sejak berlakunya undang – undang tersebut maka pemerintah

6

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 121.

7 Mohd. Idris Ramulyo, Asas – Asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), h.

38.

8

Soedjono Dirojosworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994),cet. Ke-4, h. 126.


(16)

5

mengharapkan akan tidak adanya lagi perkawinan yang hanya sah secara agama. Hal ini mempertegas bahwa selain hukum agama maka hukum negara juga harus dijadikan syarat keabsahan dalam ikatan perkawinan tersebut.

Merujuk pada aturan pemerintah tentang perkawinan maka perakawinan yang tidak dicatatkan akan dianggap tidak sah, perkawinan yang sah haruslah dicatatkan di Kantor Urusan Agama untuk yang beragama islam. Pencatatan tersebut dilakukan oleh PegawaiPencatat Nikah yang diberikan mandat oleh negara untuk mencatatkan perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya, yang diatur pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 tahun 1975. Kewajiban mencatatkan perkawinan itu juga dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Syarat administratif perkawinan diberikan kepada Pegawai Pencatat Nikah oleh kedua calon mempelai, dimana pendaftaran nikah telah diajukan sebelumnya oleh kedua pihak mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam undang – undang perkawinan dilangsungkan di Kantor Urusan Agama.

Diketahui bahwa pelaksanaan perkawinan itu didahului kegiatan – kegiatan, baik yang dilakukan calon mempelai maupun pegawai pencatat nikah. Calon mempelai atau orang tuanya memberitahukan hendak melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat nikah. Selanjutnya


(17)

6

pegawai meneliti syarat – syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak adanya halangan menurut undang – undang.9

Setelah syarat telah terpenuhi dan tidak adanya halangan menurut undang – undang maka perkawinan dapat dilangsungkan setelah administrasi di KUA diselesaikan. Pelaksanaan perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari kerja sejak pendaftaran dan syarat terpenuhi.

Namun sebagaimana undang – undang mengatur tentang syarat tersebut, Undang - Undang perkawinan tidak mengatur perihal tentang rukunnya dalam perkawinan. Amir Syarifuddin berpendapat bahwa mungkin Undang – Undang perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata.10

Pada perkembangan zaman saat ini, masyarakat tidak memperhatikan tentang hal tersebut. Mengatur atau tidaknya undang – undang terkait rukun, masyarakat lebih cenderung berpikir akan keabsahan perkawinan. Syarat yang diberikan negara untuk perkawinan sebagai syarat administratif saja sudah membuat sibuk masyarakat dalam pemenuhan syarat pencatatan perkawinan agar dianggap sah secara hukum agama maupun hukum negara.

Administrasi dalam hal ini pencatatan perkawinan diberlakukan hampir di setiap negara muslim di dunia, meskipun berbeda satu sama lain

9

Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 131.

10

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, (Ed.1 cet. 2, Jakarta : Kencana, 2007), h. 63.


(18)

7

penekanannya.11 Hal ini menunjukan bahwa semua negara muslim di dunia sepakat bahwa perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang harus dicatatkan dan dijamin oleh sebuah undang – undang. Dengan adanya undang – undang perkawinan yang menjamin masyarakat untuk melangsungkan perkawinan, maka ketertiban masyarakat dalam hal ini perkawinan akan saling menguntungkan antara negara dan masyarakat.

Khoiruddin Nasution berpendapat bahwa Aturan pencatatan perkawinan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ; pertama, kelompok negara yang mengharuskan pencatatan disertai sanksi pelanggaran. Kedua, kelompok negara yang menjadikan pencatatan sebagai syarat administrasi saja namun tidak memberlakukan sanksi ataupun denda. Ketiga, kelompok negara yang mengharuskan pencatatan namun mengakui perkawinan yang tidak dicatatkan.12

Saat ini di Indonesia sejak berlakunya undang – undang perkawinan, setiap perkawinan harus dicatatkan. Kewajiban pencatatan itu diberikan oleh negara agar tidak terjadinya pelanggaran – pelanggaran terhadap wanita dan anak yang dihasilkan dari perkawinan, hal ini selaras dengan prinsip hukum perdata “win win solutions” yang mengedepankan kepuasan diantara pihak.

Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud mengkaji dan meneliti lebih dalam mengenai permasalahan perkawinan yang tidak dicatatkan serta

11

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 182.

12

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Cet. 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 182. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS, 2002), h. 158.


(19)

8

sikap pihak terkait dalam usaha pelaksanaan perundang – undangan tentang perkawinan, bertujuan unntuk mengetahui perihal fenomena perkawinan yang tidak dicatatkan. Berdasarkan uraian dari hasil kajian dan penelitian diatas, maka penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “ PENCATATAN

PERKAWINAN DI KANTOR URUSAN AGAMA (studi di

Bantargebang, Kota Bekasi)“. Wilayah Bantargebang dipilih karena merupakan wilayah industri dan pengolahan sampah serta banyaknya penduduk urbanisasi yang bertujuan untuk pemenuhan perkonomian tidak melengkapi syarat–syarat kependudukannya, sehingga pada daerah Bantargebang terjadi permasalahan yang timbul akibat kurang tertibnya administrasi negara yang didapat oleh instansi untuk menerapkan aturan tentang pencatatan perkawinan. Dengan harapan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sedikit penjelasan tentang fenomena yang terjadi.

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dalam pembahasan tentang latar belakang masalah dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan adalah suatu kebutuhan dalam pelaksanaan penertiban dalam hal administrasi negara. Terkait dengan hal tersebut, pada daerah Bantargebang terjadi permasalahan yang timbul akibat kurang tertibnya administrasi negara. Penyebab akan hal tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


(20)

9

b. Kurangnya perhatian dari pihak pemerintah setempat terkait dengan hal pendataan penduduk.

c. Permasalahan ketertiban pendataan penduduk dapat mempengaruhi efektifitas dalam hal optimalisasi pelaksanaan ketertiban pencatatan perkawinan.

2. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak melebar dan meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan membatasi pembahasan hanya dalam ruang lingkup pencatatan perkawinan. Dalam administrasi pencatatan perkawinan, penulis melihat problem yang terjadi dalam pencatatan perkawinan di wilayah Bantargebang dan menganalisis dengan analisa SWOT.

3. Rumusan Masalah

Menurut Undang – Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa perkawinan yang sah harus dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama setempat. Kenyataan yang ada bahwa di wilayah Bantargebang terdapat banyak praktek perkawinan yang tidak dicatatkan.

Rumusan tersebut ditulis penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1) Berapakah jumlah praktek perkawinan tidak dicatat


(21)

10

3) Bagaimana sikap pihak – pihak terkait dalam upaya penertiban pencatatan perkawinan

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

Dari permasalahan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui jumlah praktik perkawinan tidak dicatat serta penyebab terjadinya praktek tersebut.

2. Untuk mengetahui rumusan yang tepat dalam upaya penertiban pencatatan perkawinan.

Manfaat dan tujuan penelitian adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dan memperjelas kepada masyarakat luas, khususnya kepada orang dan lembaga yang terkait dalam hal pengaturan pencatatan perkawinan di Indonesia.

D. Kerangka Teori

Untuk membahas data yang diperoleh dari lapangan atas pertanyaan penelitian di atas akan digunakan analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) atau analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat. Persepektif yang digunakan sebagai alat analisis adalah teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system) yang di gagas oleh Lawrence M. Friedman. Berikut akan dibahas secara singkat teori tersebut serta dibahas juga perspektif Perundang-undangan tentang perkawinan tidak dicatat.


(22)

11

Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system)

Teori tiga elemen sistem hukum (three elemen law system) yang di gagas oleh Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa ada tiga elemen sistem hukum yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu Legal structure, legal substance, dan legal culture.13 Ketiga komponen tersebut membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling berhubungan, atau biasa disebut dengan sistem.

Friedman berpendapat bahwa komponen struktur (Legal structure ) adalah bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme, berkaitan dengan lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, penyidikan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum.14

Komponen kedua adalah substansi (legal substance), yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut. Atau dapat dikatakan sebagai suatu hasil nyata, produk yang dihasilkan, yang diterbitkan oleh sistem hukum tersebut. Elemen substansi meliputi peraturan-peraturan sesungguhnya, norma dan pola perilaku dari orang-orang di dalam sistem tersebut. Pada intinya legal substance adalah mencakup aturan-aturan

13

Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1998), h. 6.

14


(23)

12

hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.15.

Komponen ketiga adalah budaya hukum (legal culture), yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Termasuk makna budaya hukum adalah opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir dan bertindak baik penegak hukum maupun masyarakat. Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).16

Permasalahan budaya hukum tidak hanya dapat ditangani dalam satu lembaga saja, tetapi perlu penanganan secara simultan dan antar departemen, serta diupayakan secara bersama-sama dengan seluruh aparat penegak hukum, masyarakat, asosiasi profesi, lembaga pendidikan hukum, dan warga masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks Indonesia, peranan tokoh masyarakat, para ulama, pendidik, tokoh agama, sangat penting dalam memantapkan budaya hukum.

Efektif tidaknya penegakan hukum, termasuk penegakan hukum perkawinan di Indonesia terkait erat dengan efektif tidaknya ketiga unsur hukum tersebut. Apabila ketiga unsur tersebut berjalan tidak efektif, maka supremasi hukum dan keadilan akan sulit terealisasikan, yang mengakibatkan

15

Lawrence Meir Friedman, American Law: an Introduction, second edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1998), h. 25.


(24)

13

kepercayaan warga terhadap law enforcement menjadi luntur dan masyarakat masuk dalam suasana bad trust society, bahkan masuk dalam kualifikasi worst trust society.17

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan a. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan data sekunder dimana hasil kajiannya bersifat deskriptif18, dan metode hukum empiris dengan meneliti secara nyata terhadap Kantor Urusan Agama Kec. Bantargebang dan tokoh - tokoh masyarakat wilayah Bantargebang. Metode kualitatif dalam penelitian ini lebih menekankan kepada peneliti untuk memperhatikan pada prosesi, peneliti sebagai instrumen pokok pengumpulan dan analisis data sehingga peneliti terlibat langsung dalam kerja lapangan.

b. Jenis Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata – kata bukan angka.

c. Data Penelitian

17

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Hukum di Indonesia,(Jakarta: Ghalia Indonesia: 2002), h. 9.

18

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum & Statistik, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), h. 2.


(25)

14

Jenis data dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Data Primer : yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil wawancara terhadap pihak – pihak yang terkait dan yang berkaitan langsung dengan penelitian di wilayah Bantargebang.

2. Data Sekunder : yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang meliputi buku perundang – undangan perkawinan, buku tentang perkawinan dan data – data yang berkaitan.

d. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode penelitian lapangan (field research) yaitu pengumpulan data dengan cara langsung ke lapangan melakukan observasi, wawancara dan dokumenter melalui teknik pengumpulan data dan sebagai berikut :

1. Observasi : yaitu pengamatan secara langsung yang dilakukan peneliti guna mendapatkan gambaran umum tentang permasalahan pencatatan perkawinan di wilayah Bantar Gebang.

2. Wawancara : yaitu proses Tanya jawab dalam penelitian langsung secara lisan dengan masyarakat setempat dan pihak – pihak terkait dan mendapatkan informasi secara langsung dari Kantor Urusan Agama Bantargebang.


(26)

15

3. Dokumenter : metode ini digunakan untuk mencari dan mengungkapkan data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara.19

e. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan, atau mudah difahami dan diinformasikan kepada orang lain. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisa. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik deskriptif-kualitatif, yaitu data yang ada akan dianalisis kemudian dipaparkan sedetail mungkinsecara deskriptif.

Analisis data, Secara garis besar akan ditempuh cara peng-organisasian data melalui pengumpulan catatan lapangan, komentar peneliti, dokumen, laporan, dan sebagainya untuk dideskripsikan sesuai kontek masalah, diinterpretasi untuk memperoleh pengertian baru sebagai bahan temuan. Di samping itu, diakhir pembahasan akan dilakukan analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats) atau analisis untuk melihat kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan terutama terhadap penegakan hukum perkawinan di Indonesia dalam kontek penegakan hukum tentang perkawinan tidak dicatat.

F. Review Studi Terdahulu

Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan pencatatan perkawinan, antara lain adalah :

19

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum & Statistik, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), h. 2.


(27)

16

Isti Astuti Savitri, dalam subtansinya yaitu Efektifitas Pencatatan Perkawinan pada KUA Kecamatan Bekasi Utara. Perbedaan yang terdapat yaitu tidak hanya mengenai sejauh apa efektifitas yang terjadi dalam pelaksanaan pencatatan tetapi juga meneliti penyebab yang menjadi kendala penertiban pencatatan perkawinan.

Nur Fauzi, dalam substansinya yaitu Kesadaran Hukum Masyarakat Kelurahan Cipedak kecamatan Jagakarsa Terhadap Pencatatan Perkawinan. Perbedaan yang terdapat yaitu Penelitian tidak hanya dilakukan pada Masyarakat dan sebatas pemahaman masyarakat tetapi juga pada pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pencatatan perkawinan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penelitian ini berisikan lima bab yang terdiri dari beberapa subbab yang ada pada masing – masing babnya. Sistematika ini merupakan uraian secara singkat pada masing – masing babnya, bertujuan agar dapat dengan mudah memahami hubungan antar bab yang memiliki keterkaitan.

Bab I berisikan Pendahuluan dengan uraian yang berisikan latar belakang masalah pada kajian skripsi ini, identifikasi masalah, pembatasan masalah, merumuskan permasalahan serta menunjukan maksud dan tujuan penelitian, dan mengungkapkan metodologi penelitian yang digunakan sebagai kerangka yang sistematis dengan diakhiri sistematika penulisan.

Bab II berisikan Kajian Teori kajian teori merupakan bahan rujukan untuk menganalisis materi pokok yang akan diteliti, oleh karena itu dalam


(28)

17

kajian teori ini akan dipaparkan mengenai teori yang terkait dengan pencatatan perkawinan menurut perundang - undangan Indonesia, pengertian perkawinan, pengertian pencatatan perkawinan dan pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya.

Bab III berisikan Penelitian di Lapangan dalam bab ini terdiri jenis dan pendekatan penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan analisis data tentang variable – variable yang mendukung penyelesaian masalah, subjek penelitian, metode pengumpulan data, sumber data, pengolahan dan analisis data yang berfungsi untuk memperoleh gambaran serta tujuan tentang permasalahan dari objek penelitian ini.

Bab IV berisikan Hasil Penelitian dan Analisis Data dalam bab ini akan diuraikan yang berisi paparan data serta analisis data yang telah diperoleh dari lapangan. Pada bab ini akan disajikan data – data hasil wawancara dan dokumentasi yang menjawab masalah – masalah yang telah dirumuskan kemudian dilanjutkan dengan proses analisis data melalui proses edit data, klasifikasi dan kesimpulan yang ada pada bab selanjutnya.

Bab V Penutup dalam bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat. Selain itu juga terdapat saran – saran yang bersifat konstruktif.


(29)

18 BAB II

PENCATATAN PERKAWINAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum adalah akad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.1 Pengertian perkawinan dalam hal ini bisa ditinjau dari dua sudut pandang yaitu menurut Hukum Islam2 dan menurut Undang – Undang Perkawinan yaitu Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

a. Menurut Hukum Islam

Definisi kata “nikah” dalam kamus besar bahasa indonesia mengandung pengertian perjanjian antara laki – laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi),3 Sedangkan Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-wath‟u, dan adh-dammu dan al jam‟u. Al-wath‟u yang bermakna menggauli, bersetubuh atau bersenggama. Adh-dammu yang bermakna mengumpulkan,

1 Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974

dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 1.

2

Beberapa pengertian tentang perkawinan dalam hukum islam yang dijelaskan oleh ahli hukum Islam yang tersebar dalam beberap literatur.

3

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 614.


(30)

19

menyatukan dan memeluk. Al-jam‟u yang bermakna mengumpulkan, menyatukan dan menyusun.4

Perkawinan secara definisi menurut para ulama fiqh, antara lain sebagai berikut:

a) Ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa perkawinan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah (laki-laki memiliki perempuan seutuhnya) dengan sengaja.

b) Ulama Syafi‟iyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang mmenjamin kepemilikan dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij yang menyimpan arti memiliki keturunan.

c) Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata.

d) Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan.5

Beragam pendapat yang dikemukakan mengenai arti perkawinan menurut hukum Islam diantara ahli hukum Islam. Tetapi perbedaan pendapat ini sebenarnya bukan perbedaan yang prinsip. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan perumus untuk memasukan unsur – unsur

4

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 43.

5

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 45


(31)

20

yang sebanyak – banyaknya dalam perumusan perkawinan antara pihak satu dengan yang lain. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah dan disertai dengan adanya perjanjian yang sangat kuat(mitsaqan ghalidzan).6 Sebagaimana Firman Allah SWT Q.S. Ar-Ruum/30:21:                                    



“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “ (QS. Ar-Ruum/30:21)

Secara etimologi, perkawinan berarti persetubuhan. Ada pula yang mengartikannya perjanjian (al-„Aqdu). Secara terminologi perkawinan menurut Abu Hanifah adalah “akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan sebuah pengakuan agar tidak ada penilaian negatif akan perempuan yang melakukan perkawinan dengan adanya pencatatan.7

6

Al-Quran surat Ar-Ruum ayat 21

7

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta : Siraja, 2003), h. 1-4.


(32)

21

Pengukuhan disini maksudnya adalah suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan syariah, bukan hanya sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh kedua orang yang saling membuat akad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.8

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.9 Pernikahan merupakan pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan suatu ikatan secara hukum, agama, negara, dan hukum adat.

b. Menurut Undang – Undang Perkawinan

Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang sangat luas didalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak waris dan lain sebagainya.

Menurut pendapat para sarjana hukum, perkawinan adalah :

1. Scholten yang dikutip oleh R. Soetojo Prawiro Hamodjojo, Mengemukakan “ perkawinan adalah hubungan antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara

8 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga……,h. 12. 9

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:akademika pressindo, 2004), h. 114.


(33)

22

dan mendapatkan bukti autentik agar perkawinan tersebut dianggap sah oleh negara”.

2. R. Soebekti, mengemukakan “perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa “perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan yang memenuhi syarat yang termasuk dalam peraturan –peraturan tersebut”.10

Untuk memahami secara mendalam tentang hakikat perkawinan maka harus dipahami secara menyeluruh ketentuan tentang perkawinan. Ketentuan tersebut berdasarkan pada pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan bahwa : “Perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.11

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 menegaskan bahwa “perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah”.12

10

Huzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshari AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta : Isik, 2002), cet. Ke-4, h. 53-54.

11

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta: Depag RI, 2001), h. 13.

12

Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), h. 14.


(34)

23

Nikah merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Suatu yang haram bagi seseorang, kemudian berubah menjadi halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan sangat besar, luas dan beragam. Pernikahan juga merupakan suatu saran awal untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, yang dimana jika unit – unit keluarga baik dan berkualitas maka bisa dipastikan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik.

Apabila dilihat dari sifatnya yang menjangkau sangat luas, pernikahan memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah bangsa. Dalam konteks ini pemerintah menjadi berkepentingan dalam mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Hal ini tercermin dalam Undang - Undang No. 1 tahun 1974 yang merupakan bentuk konkret pengaturan pemerintah tentang perkawinan kepada warga negaranya.

Demikian pula bahwa setiap perkawinan diharapkan dapat membentuk keluarga yang kekal, artinya tidak mengalami perceraian.13 Untuk mencapai tujuan yang luhur dari setiap perkawinan tersebut maka di dalam Undang – undang Perkawinan ditetapkan adanya prinsip – prinsip atau asas – asas mengenai perkawinan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.14

13

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 1.

14

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h. 2.


(35)

24

Asas – asas atau prinsip – prinsip yang terkandung di dalam Undang – undang Perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing – masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama.

Dalam undang – undang ini dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing – masing agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap – tiap perkawinan sah menurut perundang – undangan yang berlaku.

c. Monogami

Undang – undang ini menganut asas monogami. Namun apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang maka harus mengikuti peraturan – peraturan yang berlaku mengenai hal itu dan syaratnya terpenuhi dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Pendewasaan usia perkawinan

Undang – undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri harus telah mencapai jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir


(36)

25

perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu perundang – undangan mengatur lebih rinci tentang batasan umur untuk calon mempelai pasangan perkawinan yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

e. Mempersukar perceraian

Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka perundang – undangan mengatur pelaksanaannya yang harus dilakukan dihadapan sidang pengadilan. f. Kedudukan suami istri seimbang

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama oleh suami istri.15 g. Asas pencatatan perkawinan

Pencatatan perkawinan mempermudah dalam mengetahui setiap manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan dan untuk tujuan ketertiban administrasi suatu bangsa.16

Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami istri dalam Undang – Undang Perkawinan tidak berbeda jauh dari hukum Islam. Pasal 30 Undang – Undang Perkawinan menjelaskan bahwa suami

15

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2001), h.1-4.

16

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 8.


(37)

26

istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Masing – masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 1-3 UU No.1/1974). Suami istri harus mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami istri bersama (pasal 32). Suami wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia memberikan bantuan lahir batin pada satu sama lain (pasal 33). Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik – baiknya.

Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram.17 Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dala Islam selain untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus unntuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinahan agar tercipta

17

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), h. 1.


(38)

27

ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.18

Perkawinan merupakan pranata sosial yang telah ada sejak manusia diciptakan Allah SWT. Dari hal ini dapat dipahami bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk berpasang – pasangan sehingga Allah menetapkan jalan yang sah untuk itu, yaitu melalui pranata yang dinamakan perkawinan.19

B. Tinjauan Hukum Sahnya Perkawinan

Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat – syarat yang ditentukan. Dalam hal ini syarat sahnya perkawinan dapat dilihat dari sudut pandang hukum Islam dan menurut Hukum Perkawinan di Indonesia yaitu UUP dan KHI yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Menurut Hukum Islam

Menurut Hukum Islam untuk sahnya perkawinan adalah setelah terpenuhi syarat dan rukunnya yang telah diatur dalam agama Islam.20 Yang dimaksud syarat ialah suatu yang harus ada dalam (sebelum) perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat perkawinan itu sendiri. Kalau salah satu syarat dari perkawinan itu tidak terpenuhi maka perkawinan itu

18

Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 26.

19

Luthfi Sukalam, Kawin Kontrak dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV. Pamulang, 2005), h. 1

20


(39)

28

tidak sah. Sedangkan yang dimaksud dengan rukun dari perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan.

Beberapa syarat sah sebelum perkawinan dilangsungkan adalah sebagai berikut:

a). Perkawinan yang dilakukan tidak bertentangan dengan larangan yang terkandung dalam ketentuan Al Quran surat Al Baqarah ayat 221 (perbedaan agama) dengan pengecualian khusus laki – laki Islam boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).21

b). Adanya calon pengantin laki – laki dan calon perempuan yang keduanya telah akil baligh (dewasa dan berakal). Dewasa menurut hukum perkawinan Islam akan berbeda dengan menurut perundang – undangan di Indonesia.

c). Adanya persetujuan bebas antara kedua calon mempelai, jadi tidak boleh dipaksakan.

d). Adanya wali nikah (untuk calon mempelai perempuan) yang memenuhi syarat yaitu; laki – laki beragam Islam, dewasa, berakal sehat dan berlaku adil.

e). Adanya dua orang saksi yang beragama Islam, dewasa dan adil.

f). Membayar mahar (mas kawin) calon suami kepada calon istri berdasar QS. An-Nisa’ ayat 25.

g). Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (Kehendak dan Penerimaan)

21

Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan beberapa pasal undang – undang no. 1 tahun 1974 dari segi hukum perkawinan islam, (Ed.Rev, Jakarta : Ind.Hill-Co, 1990), h. 50.


(40)

29

Adapun yang termasuk rukun perkawinan adalah sebagai berikut :

a). Adanya pihak – pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, pihak – pihak tersebut adalah mempelai laki – laki dan perempuan. Kedua mempelai ini harus memenuhi syarat tertentu agar perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya.

b). Adanya wali, perwalian dalam istilah fiqh disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah rukun dalam artian wali harus ada terutama bagi orang – orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status perkawinan dianggap tidak sah.22

c). Adanya dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah. Keharusan ini dimaksudkan untuk menjaga keabsahan perkawinan apabila terjadi permasalahan tuduhan orang lain terhadap pasangan suami istri tersebut maka keduanya dapat menuntut saksi tentang perkawinan tersebut.

d). Adanya akad nikah. Akad nikah adalah perkataan yang diucapkan oleh calon suami atau calon istri. Ijab adalah pernyataan dari pihak

22

Menurut Imam Malik rukun perkawinan ada lima, diantaranya : 1). Wali dari pihak perempuan, 2). Mahar(mas kawin), 3). Calon mempelai laki – laki, 4). Calon mempelai perempuan, 5). Akad nikah.. seperti yang ditulis dalam ; Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 47-48.


(41)

30

calon istri yang biasanya dilakukan oleh wali, yang maksudnya bersedia untuk dinikahkan dengan calon suaminya. Qabul adalah pernyataan atau jawaban dari pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.

2. Menurut Undang – Undang Perkawinan

Setelah disahkan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan lalu dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang – Undang No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 Undang – Undang Perkawinan tersebut disebutkan :

1). Perkawinan adalah sah apabila, menurut hukum masing – masing agamnya dan kepercayaanya itu.

2). Tiap – tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Ketentuan dari pasal 2 ayat 2 Undang – Undang Perkawinan tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam pasal Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pasal – pasal yang berkaitan dengan tata cara perkawinan dan pencatatannya, antara lain pasal 10, 11, 12 dan 13. Pasal 10 Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tata cara perkawinan:

(2) “Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu”

(3) “Dengan mengindahkan Tata cara perkawinan dilakukan menurut

hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dan


(42)

31

Mempertegas Undang – Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, berkaitan dengan hal itu diuraikan dalam KHI yaitu; pasal 4 disebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pencatatan perkawinan untuk menjamin ketertiban dan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (pasal 5 dan 6), akta nikah dan itsbat nikah (pasal 7). Rukun perkawinan adalah; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul (pasal 14 sampai pasal 29). Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (pasal 30 sampai pasal 38). Larangan perkawinan karena beberapa sebab (pasal 39 – 44).23

C. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan pada dasarnya syari’at islam tidak mewajibkan terhadap setiap akad pernikahan, namun apabila dilihat dari segi manfaatnya pencatatan sangat diperlukan. Jika dibuka kembali kitab – kitab fiqh klasik, maka tidak akan ditemuka adaya kewajiban pasangan suami istri untuk mencatatkan perkawinannya pada pejabat negara. Dalam tradisi umat islam terdahulu, perkawinan dianggap sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Hal ini berbeda dengan perkara muamalah yang dengan tegas Al qur’an memerintahkan untuk mencatatkan.24

23

Undang – Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Sinarsindo Utama

24

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 182.


(43)

32

Pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang autentik agar seseorang mendapat kepastian hukum, karena apabila dilihat dari segi manfaatnya maka hal ini sejalan dengan prinsip pencatatan yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 282, sebagaimana Firman Allah SWT :

                         …..

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah25 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” (QS. Al-Baqarah / 02:282).

Pada firman Allah SWT. yang disebutkan diatas memerintahkan untuk mencatatkan secara tertulis pada setiap bentuk urusan mu’amalah, seperti jual beli, hutang piutang dan sebagainya. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa alat bukti tertulis statusnya lebih adil dan menguatkan persaksian serta menghindarkan dari keraguan. Dari rujukan dasar hukum tersebut maka apabila dilihat dari illatnya yaitu memiliki persamaan yang kuat antara akad nikah dan akad mu’amalah mengenai adanya mudharat apabila tidak adanya pencatatan sebagai alat bukti yang yang menunjukan keabsahan akda tersebut seperti yang terdapat pada hadits berikut :

ْب ّ حم ا ثّح ا ق ّ تعْا سحْا ْب ي ج ّ ْي جْا فس ي ْب ا ّْي ع ا ثّح

ا ْ م

ب ْب ك ْا ّْع ا ثّح ّ ْجعْا

اق ّ ّْخْا ّيعس ّب ْ ع يب ْ ع ْض ّ

ي ْا ا ت

25

Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.


(44)

33

{

ْم ضْعب م ْ إف غ ب ىتح

تك ف

ىً سم ج ى إ ْيّب ْمتْياّت اذإ ا مآ ي ا ا ي اي

اًضْعب

}

ام ْتخس اقف

ا ْق

(IBNUMAJAH - 2356) : Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Yusuf Al Jubairi dan Jamil bin Al Hasan Al Atiki keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwan Al Ijli berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin An Nadlrah dari Bapaknya dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata ketika dia membaca ayat ini: ' Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berhutang piutang untuk waktu tertentu, hendaklah kalian menuliskannya, hingga ayat: ' Akan tetapi jika sebagian kalian percaya kepada sebagian yang lain', ia mengatakan, "Ayat ini menghapus ayat yang sebelumnya."

. Sehingga qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum dari akibat yang ditimbulkan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan menjadi wajib hukumnya, sebagaimana yang telah diwajibkan dalam perkara akad mu’amalah.

Pentingnya sebuah pencatatan dalam suatu masalah yang berkaitan dengan individu yang lain atau dalam hal mu’amalah, Islam pada ayat Al-Baqarah di atas tersebut memerintahkan kepada para pemeluknya untuk mencatatkan setiap peristiwa yang berkenaan dengan individu yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelupaan tentang sesuatu dengan jalan mencatatkan.

Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti saat ini menuntut untuk adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain dalam masalah pencatatan perkawinan. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian, kemungkinan besar akan timbul kekacauan dalam kehidupan masyarakat


(45)

34

mengingat jumlah manusia ssudah sangat banyak dan permasalahhan hidup pun semakin kompleks. Mengetahui hubungan perkawinan seseorang dengan pasangannya mungkin akan sulit bila perkawinan itu tidak tercatat. Terutama bila terjadi sengketa mengenai sah tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak tercatatnya hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami istri.26

Perkembangan zaman dan dinamika yang terus berubah, terjadi banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan menjadi kultur tertulis sebagai ciri masyarakat modern, akta dan surat – surat dijadikan sebagai bukti autentik dikarenakan saksi hidup tidak bisa lagi diandalkan karena bisa hilang dengan sebab kematian serta manusia juga dapat mengalami kelupaan dan kesalahan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi yang disebut dengan akta.27

Pencatatan perkawinan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap setiap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan atara calon mempelai suami dan istri.28 Perkawinan yang secara normatif harus dicatatkan itu adalah sudah merupakan

26

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h. 30.

27

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No.1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 120.

28

Muhammad Zein dan Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 36.


(46)

35

”Kesepakatan nasional” yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan hukum untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian dan perlindungan hukum.

Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pejabat negara yang diangkat sebagai Petugas Pencatat Nikah yang diberikan mandat oleh negara untuk mencatatkan perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya, yang diatur pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 11 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 tahun 1975. Kewajiban mencatatkan perkawinan itu juga dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

K. Wantjik Saleh berpendapat tentang perbuatan pencatatan, bahwa “ tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata – mata hanya bersifat administratif. Sehingga sahnya perkawinan bukan ditentukan dengan pencatatan tetapi pencatatan sebagai syarat administratif. Sedangkan sahnya perkawinan, undang - undang perkawinan dengan tegas menyatakan pada pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing –masing agama dan kepercayaannya”.29

Yang dimaksud dengan hukum masing – masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang – undangan yang berlaku

29

O.s. Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 98-99.


(47)

36

bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak tidak ditentukan lain dalam undang – undang ini.30

Pada pasal 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah. Pasal 6 ayat 2 juga menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.31

Pencatatan perkawinan sangat penting dilaksanakan oleh mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti autentik tentang keabsahan pernikahan itu baik secara hukum agama maupun negara. Dengan bukti autentik tersebut, maka akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan itu mendapat jaminan hukum oleh negara karena mereka dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak – haknya sebagai ahli waris dan lain sebagainya.32

Dengan memperhatikan tata cara dan ketentuan perkawinan menurut hukum agamanya masing – masing, maka perkawinan haruslah dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi. Sesaat setelah perkawinan dilaksanakan, kedua mempelai menanda tangani akta perkawinan yang telah dipersiapkan oleh pegawai pencatat nikah. Dengan selesainya penanda tanganan tersebut, perkawinan telah dicatat dengan resmi

30

Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, (Serang: Saudara Serang, 1995), h. 27.

31

Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1998), h. 15.

32

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), h. xx.


(48)

37

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian kedua mempelai diberikan kutipan akta nikah sebagai bukti autentik bahwa benar mereka melakukan perkawinan dengan resmi dan sah.33

Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang penting, sebagaimana peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain. Untuk membuktikan adanya perkawinan yang sah tidak cukup hanya dibuktikan dengan adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan dilembaga yang ditunjuk dengan demikian pencatatan yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya akta berupa Surat Nikah oleh pejabat yang berwenang maka fungsi akta merupakan alat bukti yang sempurna (authentic).

Akta nikah adalah alat bukti otentik sahnya suatu perkawinan seseorang, adalah sangat bermanfaat dan mashlahat bagi diri dan keluarganya (istri dan anak-anaknya) untuk menolak kemungkinan dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinannya itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan).

Ahmad Rofiq berpendapat, bahwa pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat masih perlu disosialisasikan, hal ini kemungkinan disebabkan akibat pemahaman yang fiqh sentris yang terdapat dalam kitab – kitab fiqh klasik hampir tidak pernah dibicarakan. Namun apabila kita merujuk pada Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 282, maka dengan tegas

33

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), h. 55-56.


(49)

38

memerintahkan untuk mencatatkan apabila perkawinan dianalogikan kepada mu‟amalah.34

34

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 118.


(50)

39 BAB III

PROFIL KANTOR URUSAN AGAMA KEC. BANTARGEBANG

A. Letak Geografis

1. Letak Geografis Kec. Bantargebang

Kecamatan Bantargebang merupakan salah satu dari 12 (dua belas) kecamatan yang ada di kota Bekasi, yang terletak di wilayah barat kota Bekasi yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor. Dalam catatan sejarahnya, Kota Bekasi pernah mendapat gelar dari Pemerintah sebagai kota yang tertib administrasi (KOTIB). Dalam perkembangannya telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang sesuai dengan peran dan fungsinya.

Luas wilayah Kecamatan Bantargebang adalah 1.843.890 Ha yang dipecah menjadi 4 (empat) kelurahan yaitu1 :

1) Kelurahan Bantargebang luas 406.244 Ha

2) Kelurahan Cikiwul luas 525.351 Ha

3) Kelurahan Ciketingudik luas 568.955 Ha

4) Kelurahan Sumurbatu luas 343.340 Ha

Berdasarkan pembentukannya wilayah Kecamatan Bantargebang berbatasan dengan wilayah lain diantaranya adalah :

1) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor 2) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rawalumbu 3) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor

1


(51)

40

4) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Setu dan Kabupaten Bekasi.2

2. Latar Belakang Sosiologis Masyarakat

Kecamatan Bantargebang memiliki jumlah penduduk 113.142 jiwa dengan rincian perbandingan antara laki – laki sebesar 58.341 jiwa dan perempuan sebesar 53.235 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut pada Kecamatan Bantargebang memiliki tingkat pendidikan 10 % S1, 50 % SLTA, 30 % SLTP, 10 % SD. Dengan persentase tersebut Kecamatan Bantargebang memiliki usia produktif kerja diatas 60 % yang tersebar di tiga wilayah kelurahan yang ada di Kecamatan Bantargebang.3

Kehidupan perekonomian masyarakat Kecamatan Bantargebang sebagian besar adalah perdagangan dan pertanian / perkebunan, industri dan pengolahan limbah. Hal ini dikarenakan masih banyaknya terdapat lahan kosong yang dipergunakan sebagian masyarakat untuk bertani dan berkebun selain itu juga untuk pengolahan limbah.4

Tabel 1

Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No. Tingkat pendidikan Jumlah

1 SD 11.314

2 SMP 33.943

3 SMA 56.571

4 S1 11.314

Sumber Data : KUA Kecamatan Bantargebang 2015

2

Profil Kecamatan Bantargebang / m.bekasikota.go.id diakses pada 4 mei 2015.

3

Sumberdata dari KUA kec. Bantargebang 2014.

4

Observasi secara langsung oleh penulis di Kecamatan Bantargebang pada bulan April 2015.


(52)

41

B. Profil Kantor Urusan Agama 1. Letak Geografis

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bantargebang beralamat Jalan Raya Narogong KM. 10 No. 82 Bantargebang, Kota Bekasi. Dengan luas tanah 350 m2, KUA Kecamatan Bantargebang berdiri pada tahun 1982.5

Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bantargebang merupakan salah satu wilayah garis lingkar luar yang mengelilingi Kota Bekasi dan salah satu wilayah dari Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan wilayah Bogor.

Berdasarkan pembagian wilayah yang ada di Kecamatan bantargebang, terbagi menjadi 4 (Empat) wilayah kelurahan. Mengenai Kompetensi (dalam lingkup kelurahan) kantor Urusan Agama yang dimiliki oleh Kecamatan Bantargebang diantaranya :

1) Kelurahan Bantargebang 2) Kelurahan Cikiwul 3) Kelurahan Ciketingudik 4) Kelurahan Sumurbatu

Data perbandingan pembantu pencatat nikah dengan jumlah penduduk Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang adalah sebagai berikut :

5


(53)

42

Tabel 2

JUMLAH PEMBANTU PENCATAT NIKAH DAN JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN

KELURAHAN

BANYAKNYA JENIS KELAMIN

RW RT AMIL Laki-laki Perempuan

Bantargebang 10 31 2 21.712 19.649

Cikiwul 7 32 2 15.928 14.388

Ciketingudik 9 46 2 13.601 12.287

Sumurbatu 7 43 2 7100 6.911

JUMLAH 33 152 8 58.341 53.235

Sumber data : KUA Kecamatan Bantargebang tahun 2015

Sedangkan data grafik nikah dan rujuk Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang dari tahun 2011 – 2015 adalah sebagai berikut :

Tabel 3

GRAFIK NIKAH DAN RUJUK

Sumber data : KUA Kecamatan Bantargebang tahun 2011 - 2015

Berikut adalah data jumlah kependudukan berdasarkan agama pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang :

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

Grafik nikah dan rujuk

Grafik nikah dan rujuk 1347 1383 1178 879 475


(54)

43

Tabel 3

JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA

KELURAHAN

PEMELUK AGAMA

I K Pr H B JUMLAH

Bantargebang 39.792 304 1191 24 1172 42.483

Cikiwul 23.823 239 518 49 37 24.666

Ciketingudik 25.231 508 864 89 234 26.926

Sumurbatu 18.466 277 198 94 32 19.067

JUMLAH 107.312 1328 2771 256 1475 113.142

Sumber data : Rekapitulasi jumlah pemeluk agama oleh KUA Kecamatan Bantargebang tahun 2015

*) I = Islam H = Hindu K = Katholik B = Budha Pr = Protestan

2. Tugas dan Wewenang Kantor Urusan Agama.

Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang merupakan lembaga pemerintahan yang berada didalam naungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Tugas dan kewenangan Kantor Urusan Agama adalah melaksanakan tugas Kantor Departemen Agama untuk wilayah Kota Bekasi. Tugas dan kewenangan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang tersebut antara lain adalah :

1) Bidang Administrasi Nikah

a) Menjalankan pelayanan terhadap masyarakat yang hendak melangsungkan perkawinan.


(55)

44

b) Melaksanakan pemeriksaan terhadap surat – surat yang menjadi syarat administrasi perkawinan.

c) Melakukan pengecekan terhadap registrasi akta nikah d) Melakukan pencatatan pada akta nikah.

e) Melakukan penyuluhan kepada para calon mempelai sebelum melangsungkan perkawinan.

f) Melaksanakan penyuluhan terhadap Pembantu Pencatat Nikah atau amil se- kecamatan Bantargebang. 6

2) Bidang Kemasjidan

a) Menginventasrisasi jumlah dan perkembangan masjid, mushola dan langgar.

b) Melaksanakan bimbingan dan pembinaan terhadap remaja masjid. c) Menerima, membukukan dan mengeluarkan serta mempertanggung

jawabkan keuangan BKM dan P2A.

d) Mengikuti perkembangan pembangunan tempat ibadah dan penyiaran agama.

3) Bidang ZAWAIBSOS (Zakat, Wakaf dan Ibadah Sosial) a) Melaksanakan bimbingan Zakat, Wakaf dan Ibadah Sosial

b) Melakukan pembukuan/pencatatan tanah wakaf yang sudah disertifikasi.

c) Memelihara dan menertibkan arsip tanah wakaf

6


(56)

45

d) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam pelaksanaan ibadah sosial.

4) Bidang Keuangan

a) Membuat laporan keuangan NR dan Rujuk b) Menertibkan arsip keuangan

c) Menyusun DUK/DIK

d) Menyalurkan dana bantuan dari NR kepada BKM, P2A dan BP4 5) Bidang Tata Usaha

a) Melaksanakan dan menangani surat menyurat

b) Meningkatkan tertib administrasi, dokumen dan statistik c) Menyediakan peralatan yang dibutuhkan oleh kantor d) Membuat laporan bulanan, triwulan, semester dan tahunan.7

C. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama

Kantor Urusan Agama merupakan sebuah lembaga yang secara administratif berada dibawah naungan Departemen Agama wilayah Kota Bekasi. Kantor Urusan Agama mempunyai peraturan-peraturan guna menciptakan ketertiban dalam menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah pengaturan tentang kepengurusan lembaga itu sendiri, seperti struktural organisasi salah satunya.

Dalam jangka waktu 7 tahun, telah terjadi pergantian kepemimpinan pada struktur Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang. Setidaknya telah tercatat dalam pendataan Kantor Urusan Agama Kecamatan

7


(57)

46

Bantargebang, ada 3 (tiga) Kepala Kantor Urusan Agama yang hingga kini terakhir menjabat. Hal tersebut dikarenakan lama masa jabatan sebagai ketua Kantor Urusan Agama adalah 3 tahun, yang kemudian dipindahkan ke kantor urusan agama yang lainnya.

Mengenai perihal periode masa jabatan Kepala Kantor Urusan Agama, yaitu sebagai berikut8 :

1) H. Madinah, HL, MM

Menjabat pada bulan Januari tahun 2009 hingga Desember 2011 2) Drs. H. Ahmad S.

Menjabat pada bulan Januari tahun 2012 hingga Desember 2014 3) Drs. H. Muhammad Yusup

Menjabat pada bulan Januari tahun 2015 hingga Desember 2017

Adapun struktur Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantargebang selama tiga (3) periode terakhir sebagai berikut :

8


(58)

47

STRUKTUR ORGANISASI

KUA KECAMATAN BANTARGEBANG KOTA BEKASI

Sumber Data : KUA Kecamatan Bantargebang tahun 2015

PENYULUH AGAMA

DRS. ACEP BASUNI M,Pd

KEPALA

DRS. H. MUHAMMAD

YUSUP

PENGAWAS

H. ZAINUDIN S. S,Ag H. ADNAN M,M

FUNGSIONAL PENGHULU

ABDURRAHMAN.S,A g

BADRUZAMAN.S,Ag

FUNGSIONAL UMUM

- EUIS NAILA FAUZIAH S, Fil -H. AMANULLAH S,

Pdi -SAIDAH. S, E -LINAWATI S, E -SAHRONI A, Ma -HERLI S, Hi -ANIS FARIHATUN


(1)

3. Apakah selama ini bapak mengetahui di Kec. Bantargebang terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan ?

Jawab

Karena saya baru 3 bulan menjabat di KUA Kec. Bantargebang, sepengetahuan saya ada perkawinan yang belum dicatatkan dan kebanyakan itu dilakukan oleh kaum urban (pendatang). Masyarakat yang melakukan hal ini mereka berpendapat bahwa perkawinan yang sudah sah secara hukum agama baik syarat dan rukunnya, maka hal ini sudah cukup. Selain doktrin seperti itu yang tumbuh di masyarakat, latar belakang pendidikan masyarakat di Kec. Bantargebang juga rendah hampir 30% lulusan SMP, 50% lulusan SMA dan sisanya 20 % bervariatif. Dari doktrin yang sudah melekat pada masyarakat yang ada di Kec. Bantargebang, kami terus mengupayakan agar masyarakat menyadari pentingnya pencatatan perkawinan karena akta nikah merupakan bukti autentik yang sangat penting untuk digunakan suatu waktu nanti seperti dalam hal untuk mengurus paspor keberangkatan haji dan lain sebagainya.

4. Bagaimana cara sosialisasi yang dilakukan pihak KUA tentang pentingnya pencatatan perkawinan kepada masyarakat di Kec. Bantargebang ?

Jawab

Dengan kami adakan rapat mingguan tentang penyuluhan perkawinan kepada warga yang biasa diadakan di hari rabu selain itu kami terus sosialisasikan melalui acara keagamaan yang ada disini, maka hal itu menjadi salah satu langkah sosialisasi tentang pentingnya


(2)

pencatatan perkawinan dan juga dibantu oleh RT setempat untuk informasi tentang pencatatan perkawinan.

5. Langkah apa yang dilakukan pihak KUA bila mendapati sebagian masyarakat Kec. Bantargebang yang tidak mencatatkan perkawinannya ?

Jawab

Apabila kami menemukan hal tersebut, kami hanya sekedar memberikan informasi tentang pentingnya pencatatan perkawinan. Karena tidak ada pengaturan yang menegaskan bahwa KUA akan memberikan sanksi untuk hal tersebut. Semua kami lakukan mengikuti sesuai peraturan yang berlaku.

6. Bagaimana kerja sama yang dilakukan pihak KUA dengan tokoh ulama setempat untuk meminimalisir perkawinan yang tidak dicatat ?

Jawab

Kami bekerja sama dengan tokoh ulama yang ada di Kec. Bantargebang melalui acara keagamaan yang diadakan masyarakat. Selain dengan rapat mingguan yang diadakan pihak KUA, penyuluhan juga dibantu oleh P3N dan amil – amil setempat.

Bekasi, 6 April 2015 Kepala,

Drs. H. Muhammad Yusup NIP.1965.0713.1998.031.002


(3)

PEDOMAN WAWANCARA

Nama : Drs. H. Muhammad Yusup

Penghulu KUA Kec. Bantargebang

1. Menurut bapak bagaimana korelasi antara Depag dengan KUA?

Jawab

Sejauh yang saya ketahui, bahwa KUA dipayungi oleh Depag. Karena KUA merupakan salah satu tangan dari Depag untuk menjalankan fungsinya sebagai salah satu kementerian dibidang agama.

2. Bagaimana respon masyarakat di Kec. Bantargebang yang bapak ketahui tentang pemahaman pentingnya pencatatan perkawinan ?

Jawab

Sejauh ini masyarakat di Kec. Bantargebang hampir semua sudah cukup memahami betapa pentingnya pencatatan perkawinan dan dengan adanya rapat mingguan yang diadakan KUA, masyarakat menyambut dengan baik penyuluhan yang kami berikan.


(4)

3. Apa yang seharusnya dilakukan pihak KUA dengan tokoh masyarakat Kec. Bantargebang untuk meminimalisir perkawinan yang tidak dicatat ?

Jawab

Tokoh masyarakat setempat ikut berperan dalam mensosialisasikan pentingnya pencatatan perkawinan dan berusaha untuk melunturkan doktrin yang tumbuh di masyarakat bahwa perkawinan sudah cukup sah bila mengikuti hukum islam.

Bekasi, 6 April 2015


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

A. Identitas Responden

1. Nama : Ibu Risah Umami

2. Pendidikan Terakhir : SMA

3. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 4. Domisili : Ciketingudik B. Pertanyaan Penelitian

1. Sudah berapa lama pernikahan ibu/bapak berlangsung? Jawab :

Sudah cukup lama mas, kira – kira 14 tahun.

2. Dimana bapak ibu/melangsungkan pernikahan? Jawab :

Di luar KUA mas, karena adat di daerah sini harus nikah dirumah supaya tidak terlalu jauh. Pernikahan saya tetap dicatat di KUA dan dapat akta nikahnya.

3. Apakah ada kendala dalam melakukan pencatatan pernikahan? Jawab :

Sebenarnya sih banyak kendala, kaya ngurus syarat – syarat buat ke KUA. Kan selain kita ngurusin syarat juga harus ngurus untuk persiapan acara di rumah. Tapi kita serahin urusan syarat buat KUA ke Amil, kan lewat jasa orang juga ujung – ujungnya harus pake duit. Kalo kita urus sendiri, yah keburu kecapean waktu ntar acara pernikahannya.

4. Apakah sepengetahuan ibu/bapak, di Kecamatan Bantargebang ada pernikahan yang tidak dicatatkan?

Jawab :

Setahu saya sih ada, kebanyakan itu orang pendatang yang bukan asli orang Bantargebang mas. Sekarang mereka kebanyakan pada tinggal di kelurahan


(6)

Bantargebang. Kalau dilihat dari segi ekonomi, kayanya mereka tidak bisa ngurusin data kependudukan yang buat syarat catat nikah di KUA. Karena semuanya kan lewat RT/RW, Amil buat bantu urus ke KUA.

5. Menurut ibu/bapak penting atau tidak pasangan suami – istri memliki akta nikah ? Jawab :

Ya penting, soalnya nanti kan buat ngurus sekolah anak – anak juga perlu catatan kalau kita nikah dan itu anak kita. Tapi kebanyakan karena udah males ngurus buat syarat dicatat di KUA dan tidak punya duit buat ganti jasa Amil, akhirnya pada nikah didepan kiyai atau ustadz aja selain gampang juga jadi sedikit biayanya.

Bekasi, 6 April 2015