PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN PADA MASYARAKAT YANG TERPAPAR BISING KERETA API DI SEKITAR STASIUN BALAPAN SOLO

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN PADA MASYARAKAT

YANG TERPAPAR BISING KERETA API DI

SEKITAR STASIUN BALAPAN SOLO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

RAHMA HUTABARAT G 0007220

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010


(2)

commit to user ii

PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul : Perbedaan Tingkat Kecemasan pada Masyarakat yang Terpapar Bising Kereta Api di Sekitar Stasiun Balapan Solo

Rahma Hutabarat, G0007220, Tahun 2010

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari...,tanggal ... 2010

Pembimbing Utama

Dr. Hartono, dr., M.Si. NIP.1965 0727 1997 02 1 001

Penguji Utama

Enny Ratna S., drg. NIP. 1952 1103 1980 03 2 001

Pembimbing Pendamping

Drs. Hardjono, M.Si. NIP. 1959 0119 1989 03 1 002

Anggota Penguji

Margono, dr., M.K.K. NIP. 1954 0915 1986 01 1 001

Tim Skripsi

Ari N Probandari, dr., M.P.H. NIP.1975 1221 2005 01 2 001


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user iii PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, November 2010

Rahma Hutabarat NIM: G0007220


(4)

commit to user iv ABSTRAK

Rahma Hutabarat, G0007220, 2010. Perbedaan Tingkat Kecemasan pada Masyarakat yang Terpapar Bising Kereta Api di Sekitar Stasiun Balapan Solo, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Mengetahui adanya perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo.

Metode Penelitian: Jenis penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan metode cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling dengan jumlah sampel 30 pada tiap kelompok area. Kelompok yang bertempat tinggal dengan jarak 0-10 m dari rel kerata api sebagai kelompok I, 10-20 m sebagai kelompok II, dan 20-30 m sebagai kelompok III. Instrumen penelitian menggunakan sound level meter dan kuesioner. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis.

Hasil Penelitian: Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat kecemasan yang bermakna (p>0,05) pada ketiga kelompok area.

Simpulan Penelitian: Tidak terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo.


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user v ABSTRACT

Rahma Hutabarat, G0007220, 2010. The Differences of Anxiety Rate in People Who are Exposed by Train Noise Around Balapan Solo Station, Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret, Surakarta.

Objectives: The aim of this research is to know the differences of anxiety rate in people who are exposed by train noise around Balapan Solo Station.

Methods: This research used observasional analytic with cross sectional approach. This research used simple random sampling involved 30 participants for each area’s group. The first group consists of people whose houses are 0-10 m from the railway, second group consists of people whose houses are 10-20 m from the railway, and third group consists of people whose houses are 20-30 m from the railway. The instruments of this research were questionnaire and sound level meter. The data was analyzed by Kruskal-Wallis test.

Results: The result of the test showed that there were not significant differences (P>0,05) in three groups of area.

Conclusion: The conclusion of this research’s result was that there were no differences of anxiety rate in the people who are exposed train noise around Balapan Solo Station.


(6)

commit to user vi PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya. Karena limpahan rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Adapun dalam penyusunan skripsi ini, tidak lepas dari bimbingan dan bantuan pihak-pihak lain. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. A.A. Subijanto, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah sabar memberikan saran dan kritik kepada penulis.

2. Muthmainah, dr., M.Kes., DAFK selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang selalu membuat penulis tidak menyerah untuk belajar dan membuat penulis lebih yakin terhadap pentingnya skripsi ini.

3. Dr. Hartono, dr., M.Si., selaku pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktunya, bimbingan, saran, koreksi, dan nasehat kepada penulis.

4. Drs. Hardjono, M.Si., selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan koreksi dan memeriksa kata per kata di dalam skripsi penulis. 5. Enny Ratna S., drg., selaku penguji utama yang telah berkenan menguji

sekaligus memberi saran dan juga koreksi bagi penulis.

6. Margono, dr., M.K.K., selaku penguji pendamping yang telah berkenan menguji dan memberikan saran yang berarti bagi penulis.

7. Segenap staf skripsi dan staf Laboratorium Fisika FK UNS atas segala bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini.

Setiap kebenaran datangnya dari Allah SWT dan kesalahan datang dari diri pribadi penulis, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Surakarta, November 2010


(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vii DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Bising ... 5

a. Definisi Bising ... 5

b. Sumber Kebisingan ... 5

c. Pembagian Kebisingan ... 6

d. Kebisingan Kereta Api ... 8

2. Kecemasan ... 10

a. Definisi ... 10

b. Tingkat Kecemasan ... 11

c. Gangguan Cemas Menyeluruh ... 12

3. Pengaruh Bising terhadap Kecemasan ... 17

B. Kerangka Pemikiran ... 19

C. Hipotesis ... 19

BAB III. METODE PENELITIAN ... 20

A. Jenis Penelitian ... 20


(8)

commit to user viii

C. Subjek Penelitian ... 20

1. Populasi ... .... 20

2. Besar Sampel ... ... 21

D. Teknik Sampling ... 22

E. Identifikasai Variabel ... 22

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 23

1. Variabel Bebas ... 23

2. Variabel Terikat ... 23

G. Instrumentasi dan Cara Kerja Penelitian ... 23

H. Rancangan Penelitian ... 24

I. Teknik Analisis Data ... 25

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 26

BAB V. PEMBAHASAN ... 29

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 35

A. Simpulan ... 35

B. Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36 LAMPIRAN


(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi frekuensi area terpapar menurut kelompok umur... 26 Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan menurut kelompok umur .... 26 Tabel 3. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan menurut area terpapar ... 27 Tabel 4. Hitung intensitas bising ... 27


(10)

commit to user x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian

Lampiran 2. Surat Ijin Peminjaman Alat Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Skala L-MMPI Lampiran 5. Kuesioner Penelitian

Lampiran 6. Data Perhitungan Bising Kereta Api Lampiran 7. Data Hasil Penelitian

Lampiran 8. Perhitungan Uji Statistik dengan SPSS Lampiran 9. Ethical Clearance


(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebisingan merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan di kota-kota besar. Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat mengganggu dan atau membahayakan kesehatan. Laporan WHO tahun 1988 sebagaimana yang disampaikan oleh Ditjen PPM & PLP Depkes RI (1995), menyatakan bahwa 8 – 12% penduduk dunia telah menderita dampak kebisingan dalam berbagai bentuk dan diperkirakan angka tersebut terus akan meningkat. Pada tahun 2001 diperkirakan 120 juta penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran (WHO, 2001; Ikron dkk., 2007).

Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan mesin-mesin, dan alat-alat transportasi berat (Arifiani, 2004). Keberadaan sarana transportasi merupakan aspek urgen pada suatu daerah perkotaan. Aktivitas transportasi juga tidak lepas dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, pemanfaatan teknologi transportasi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin kompleks, ternyata menimbulkan berbagai masalah lingkungan (Soekarman, 2002). Menurut BATAN (2007) salah satu parameter kualitas lingkungan adalah kebisingan dan salah satu jenis transportasi darat yang berpotensi bising adalah kereta api (Adji, 2002). Aktivitas kereta api di stasiun merupakan sumber kebisingan yang harus dikelola, karena bisa berdampak


(12)

commit to user

terhadap pengguna stasiun maupun masyarakat di sekitarnya secara fisiologis maupun psikologis (Rahmi dkk., 2003).

Stasiun Balapan Solo berada di kecamatan Banjarsari yang memiliki

populasi penduduk 153.508 jiwa dengan kepadatan 10.365 per km2.

Kecamatan Banjarsari terdiri atas tiga belas kelurahan (Wikipedia, 2010). Dengan asumsi persebaran penduduk yang merata, terdapat 11.808 penduduk di sekitar stasiun Balapan Solo. Berdasarkan penelitian Widyawati (2007), didapatkan bahwa rata-rata intensitas suara kereta api di pemukiman penduduk adalah 80,13 dBA pada jarak 10 meter, 71,62 dBA pada jarak 20 meter, dan 68,42 dBA pada jarak 30 meter dari rel kereta api. Sementara itu, hasil penelitian Joseph (2004) menyebutkan bahwa paparan pada deretan rumah yang paling dekat dengan rel berkisar 85,9 dBA atau 30,9 dBA lebih tinggi dari nilai baku mutu yang ditetapkan dalam KMLH Kep-48/MENLH/1996 25 November 1996 tentang baku tingkat kebisingan yaitu 55 dBA.

Dampak bising dapat menyebabkan gangguan kesehatan non auditorik, yaitu gangguan kesehatan selain gangguan pada indera pendengaran (Suherwin, 2004). Menurut Sasongko dkk. (2000) pengaruh kebisingan terhadap kesehatan selain kerusakan pada indera pendengaran juga menimbulkan gangguan terhadap mental emosional serta gangguan terhadap sistem jantung dan peredaran darah. Gangguan mental emosional berupa terganggunya kenyamanan hidup, mudah marah, mudah tersinggung, dan rasa cemas. Jika kecemasan terjadi bukan pada saat yang tepat atau sangat hebat


(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

dan berlangsung lama sehingga mengganggu aktivitas kehidupan yang normal, maka hal ini sudah merupakan suatu gangguan. Gangguan kecemasan memperingatkan akan adanya ancaman eksternal dan internal (Ibrahim, 2002). Gangguan kecemasan merupakan penyakit psikis yang paling sering terjadi (Hendrawan, 2004).

Berdasar latar belakang di atas, penulis ingin mengetahui adanya perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo.

B. Perumusan Masalah

Apakah ada perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran dampak

kebisingan kereta api terhadap kesehatan khususnya kecemasan, sehingga menjadi informasi bagi masyarakat dan pemerintah.


(14)

commit to user

2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi masyarakat, khususnya yang bermukim di sekitar stasiun, dapat

memberikan gambaran kepada mereka mengenai dampak kebisingan

kereta api terhadap kesehatan, sehingga masyarakat dapat

menggunakan informasi ini dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.

b. Bagi pemerintah daerah (pemda), dapat digunakan sebagai acuan

untuk penataan lingkungan yang dapat mengurangi dampak kebisingan kereta api terhadap kesehatan.

c. Bagi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), dapat memberikan gambaran

kepada pihak manajemen perusahaan dalam rangka mengurangi dampak kebisingan kereta api terhadap kesehatan.


(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

BAB II

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

1. Bising

a. Definisi Bising

Bising adalah bunyi yang kehadirannya dianggap

mengganggu pendengaran (Everest, 2001). Buchari (2007)

mendefinisikan bising sebagai bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan. Pada umumnya manusia hanya bisa mendengar suara yang frekuensinya berada dalam rentangan 20-20.000 Hz (Budiono, 2003). Kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu, sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia (Sasongko dkk., 2000).

b. Sumber Kebisingan

Sumber kebisingan dapat diidentifikasi jenis dan

bentuknya. Kebisingan yang berasal dari berbagai peralatan memiliki tingkat kebisingan yang berbeda dari suatu model ke model lain

(Sasongko dkk., 2000). Proses pemotongan seperti proses

penggergajian kayu merupakan sebagian contoh bentuk benturan antara alat kerja dan benda kerja yang menimbulkan kebisingan. Penggunaan gergaji bundar dapat menimbulkan tingkat kebisingan antara 80-120 dB (Tambunan, 2005). Goembira, Fadjar, Vera S.


(16)

commit to user

Bachtiar (2003) menyebutkan pembagian sumber bising lain dapat dibedakan menjadi:

1) Kegiatan konstruksi, misalnya : truk, disel, peralatan

penambangan/penggalian, peralatan pemadatan tanah,

penghancuran material, pengadukan semen,

2) Kegiatan transportasi, misalnya : kereta api, penerbangan,

kendaraan bermotor,

3) Kegiatan perdagangan, misalnya : pasar tradisional, pasar

modern,

4) Kegiatan perindustrian, misalnya : bunyi alat-alat produksi,

mesin-mesin, disel,

5) Kegiatan permukiman, misalnya : alat pemanas, air

conditioning (AC), aktivitas manusia,

6) Kegiatan aktivitas khusus, misalnya : tembakan, ledakan,

peristiwa alam.

c. Pembagian Kebisingan

Berdasarkan sifat, spektrum, dan frekuensi, Prabu dan Putra (2009) menyebutkan jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:

1) Kontinyu – spektrum frekuensi luas (steady state, wide band

noise). Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam frekuensi yang luas, batas lebih kurang 5 dB untuk


(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

periode 0,5 detik berturut-turut. Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter, kipas angin, dan suara dapur pijar.

2) Kontinyu – spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow

band noise). Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi

tertentu, yaitu frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz. Sebagai contoh suara gergaji sirkular dan suara katup gas.

3) Intermiten, yaitu kebisingan tidak berlangsung terus menerus,

melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang.

4) Impulsif, yaitu bising yang memiliki perubahan tekanan suara

melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh bising impulsif misalnya suara ledakan mercon, tembakan, dan meriam.

5) Impulsif berulang, yaitu bising yang memiliki perubahan

tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat terjadi secara berulang-ulang. Sebagai contoh mesin tempa di perusahaan.

Menurut Buchari (2007), berdasarkan bentuk gangguannya terhadap manusia jenis bising dapat dibagi atas:

1) Mengganggu (irritating noise), karakteristik dari jenis bising

ini intensitasnya yang tidak terlalu keras, misalnya mendengkur.


(18)

commit to user

2) Menutupi (masking noise), merupakan bising yang menutupi

pendengaran yang jelas, misalnya mesin yang bekerja terus-menerus.

3) Merusak (damaging/injurious noise), merupakan bising yang

intensitasnya melampaui ambang pendengaran. Selain itu, akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran, misalnya ledakan.

d. Kebisingan Kereta Api

Kereta api merupakan salah satu alat transportasi yang dapat menimbulkan paparan kebisingan terhadap daerah sekitarnya, sehingga permukiman yang berada dekat dengan rel kereta api menerima paparan kebisingan intermiten yang sangat tinggi akibat adanya perlintasan kereta. Bising kereta api pada umumnya diakibatkan oleh pengoperasian kereta api atau lokomotif tersebut, bunyi sinyal di perlintasan kereta api, bising di stasiun, dan pengerjaan serta pemeliharaan konstruksi rel. Tetapi sumber utama penyebab kebisingan kereta api adalah bunyi bising akibat roda dan gesekan antara roda dengan rel, serta bising yang ditimbulkan oleh sistem dan proses pembakaran pada kereta api tersebut. Sumber bising kereta api memiliki risiko 3.47 kali lebih besar untuk terjadinya gangguan kesehatan dibandingkan dengan sumber bising lainnya (Suherwin, 2004). Kebisingan dari suara kereta api merupakan faktor yang


(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

berpengaruh pada dua aspek, yaitu aspek gangguan pendengaran

(auditory effect) dan aspek gangguan bukan pada indera pendengaran

(non auditory effect). Kebisingan kereta api terdapat pada salah satu parameter kualitas lingkungan yang harus diawasi agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan (Susanto, 2006).

Suara atau bunyi memiliki intensitas yang berbeda, contohnya jika seseorang berteriak suaranya lebih kuat daripada berbisik, sehingga teriakan itu memiliki energi lebih besar untuk mencapai jarak yang lebih jauh. Unit untuk mengukur intensitas bunyi adalah desibel (dB). Skala desibel merupakan skala yang bersifat logaritmik. Penambahan tingkat desibel berarti kenaikan tingkat kebisingan yang cukup besar (Susanto, 2006).

Kebisingan diukur berdasarkan baku tingkat kebisingan yang diperuntukkan kawasan perumahan dan pemukiman sesuai dengan KEP-48/MENLH/11/1996 sebagai berikut (Yahya, 2002):

1) Cara sederhana

Dengan sebuah sound level meter bisa diukur tingkat tekanan

bunyi antara 30-180 dB(A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran (Hapsari, 2003). Pembacaan dilakukan setiap 5 (lima) detik.

2) Cara langsung

Dengan sebuah integrating sound level meter yang


(20)

commit to user

waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit. Waktu pengukuran dilakukan selama

aktivitas 24 jam (Leq) dengan mengacu pada Daytime average

soundlevel (Ld12): Leq yang dihitung dari pukul 07.00 hingga

pukul 19.00 dan Night average soundlevel (Ln): Leq yang

dihiutng mulai pukul 22.00-07.00 (Yahya, 2002).

Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah

melampaui baku tingkat kebisingan, maka perlu dicari nilai Leq dari

pengukuran lapangan. Leq dihitung dari rumus:

Leq= 10 log 1/24 {15.10(Ld12/10) + 9.10(Ln/10)} dB (A)

Keterangan :

1) Leq= equivalent continuous noise level atau tingkat kebisingan

sinambung setara ialah nilai tingkat kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah (fluktuatif) selama waktu tertentu, yang setara

dengan tingkat kebisingan dari kebisingan yang tetap (steady)

pada selang waktu yang sama. Satuannya adalah dB (A).

2) LTMS= Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik

(Yahya, 2002)

2. Kecemasan a. Definisi

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai

dengan ketakutan dan kekhawatiran yang mendalam dan


(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

kepribadian masih utuh, perilaku dapat terganggu tapi masih dalam batas normal (Hawari, 2001). Kecemasan dapat bervariasi pada semua individu dengan frekuensi dan intensitas yang berbeda, walaupun respons itu pada stimulus yang sama (Veeraghavan dan Singh, 2002).

b. Tingkat Kecemasan

Stuart dan Sundeen (1988) mengidentifikasi tingkat kecemasan menjadi 4 tingkat yaitu:

1) Kecemasan ringan, berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari- hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada serta meningkatkan lahan persepsinya.

2) Kecemasan sedang, memungkinkan seseorang untuk

memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih tinggi.

3) Kecemasan berat, sangat mengurangi lahan persepsi

seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi kekurangan. Orang tersebut banyak memerlukan pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

4) Kecemasan tingkat panik berhubungan dengan terperangah,

kekuatan dan teror, rincian terpecah dari profesinya karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang mengalami panik


(22)

commit to user

tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.

c. Gangguan Cemas Menyeluruh

1) Definisi

Menurut DSM-IV (Diagnosis Statistical and

Manual of Mental Disorder) yang dimaksud gangguan cemas

menyeluruh adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan yang berlebih-lebihan, dan menetap sekurang-kurangnya selama enam bulan mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas disertai oleh berbagai gejala somatik yang menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi-fungsi lainnya Sedangkan menurut

ICD-10 (International Statistical Classification of Diseases)

gangguan ini merupakan bentuk kecemasan yang sifatnya menyeluruh dan menetap selama beberapa minggu atau bulan yang ditandai oleh adanya kecemasan tentang masa depan, ketegangan motorik, dan aktivitas otonomik yang berlebihan.

2) Epidemiologi

Gangguan cemas menyeluruh merupakan gangguan

ansietas yang paling sering dijumpai di klinik, diperkirakan 12 % dari seluruh gangguan ansietas. Prevalensinya di masyarakat diperkirakan 3 %, dan prevelansi seumur hidup (life time) rata-rata 5 %. Di Indonesia prevalensinya secara


(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

pasti belum diketahu, namun diperkirakan 2% -5% (Iskandar, 2002).

Gangguan ini lebih sering dijumpai pada wanita

dengan rasio 2 : 1, namun yang datang meminta pengobatan rasionya kurang lebih sama atau 1 :1 antara laki-laki dan wanita (Kaplan dan Sadock, 2005).

3) Etiologi

Etiologi dari gangguan ini belum diketahui secara

pasti, namun diduga dua faktor yang berperan terjadi di dalam gangguan ini yaitu, faktor biologik dan psikologik (Sharma, 2001).

Faktor biologik yang berperan pada gangguan ini

adalah neurotransmiter. Ada tiga neurotransmiter utama yang berperan pada gangguan ini yaitu, norepinefrin, serotonin,

dan gamma amino butiric acid atau GABA. Namun menurut

Iskandar (2002) neurotransmiter yang memegang peranan utama pada gangguan cemas menyeluruh adalah serotonin, sedangkan norepinefrin terutama berperan pada gangguan panik. Dugaan akan peranan norepinefrin pada gangguan cemas didasarkan percobaan pada hewan primata yang

menunjukkan respons kecemasan pada perangsangan locus

sereleus yang ditunjukkan pada pemberian obat-obatan yang


(24)

tanda-commit to user

tanda kecemasan, sedangkan obat-obatan menurunkan kadar norepinefrin akan menyebabkan depresi.

Peranan Gamma Amino Butiric Acid pada gangguan

ini berbeda dengan norepinefrin. Norepinefrin bersifat

merangsang timbulnya ansietas, sedangkan Gamma Amino

Butiric Acid atau GABA bersifat menghambat terjadinya

ansietas ini. Pengaruh dari neutronstransmiter ini pada gangguan ansietas didapatkan dari peranan benzodiazepin pada gangguan tersebut. Benzodiazepin dan GABA

membentuk “GABA-Benzodiazepin complex” yang akan

menurunkan ansietas atau kecemasan (Stahl, 2010).

Penelitian pada hewan primata yang diberi suatu agonist

inverse benzodiazepine Beta-Carboline-Carboxylic-Acid

(BCCA) menunjukkan gejala-gejala otonomik gangguan ansietas.

Mengenai peranan serotonin dalam gangguan

ansietas ini didapatkan dari hasil pengamatan efektivitas obat-obatan golongan serotonergik terhadap ansietas, seperti

buspiron atau buspar yang merupakan agonist reseptor

serotorgenik tipe 1A (5-HT 1A). Diduga serotonin

mempengaruhi reseptor GABA-Benzodiazepin complex

sehingga dapat berperan sebagai anti cemas (Kaplan dan Sadock, 2005). Kemungkinan lain adalah interaksi antara


(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

serotonin dan norepinefrin dalam mekanisme ansietas sebagai anti cemas (Iskandar, 2002).

4) Manifestasi klinis

Menurut DSM-IV gambaran klinik dari gangguan

ini ditandai oleh adanya ketakutan dan kecemasan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, gejala ketegangan motorik, hiperaktivitas sistem saraf otonom dan meningkatnya kewaspadan (Stuart dan Sundeen, 2000)

Ketegangan motorik bermanisfetasi sebagai sakit

kepala, gemetar dan gelisah. Gejala hiperaktivitas sistem saraf otonom berupa jantung berdebar-debar, napas pendek, berkeringat banyak, dan berbagai gejala sistem pencernaan. Meningkatnya kewaspadaan ditandai dengan adanya perasaan mudah marah dan mudah terkejut, serta tidak dapat tidur (WHO, 2001).

5) Perjalanan penyakit

Perlangsungan dari gangguan ini bersifat kronis

residif dan prognosisnya sukar diramalkan. Sebanyak 25 % dari penderita gangguan ini mengalami gangguan panik (Kaplan dan Sadock, 2005).

6) Sumber koping

Individu dapat mengatasi stres dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping tersebut sebagai modal


(26)

commit to user

ekonomik. Kemampuan penyelesaian masalah, dukungan sosial, dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang menginterpretasikan pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsi strategi koping yang berhasil (Stuart dan Sundeen, 1998).

7) Mekanisme koping

Menurut Stuart dan Sundeen (1998), ansietas

tingkat ringan sering ditanggulangi tanpa pemikiran yang serius. Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping:

a) Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang

disadari dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi stres.

b) Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi

ansietas ringan dan sedang, tetapi jika berlangsung pada tingkat tidak sadar dan melibatkan penipuan diri serta distorsi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respons maladaptif terhadap stres.

8) Karakteristik Cemas

Menurut Hawari (2001), untuk mengetahui sejauh

mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau panik, maka digunakan alat ukur yang dikenal


(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

penilaian tingkat kecemasan menggunakan skala HARS yang terdiri atas 14 kelompok gejala, tiap kelompok diberi bobot skor 0 – 4, yaitu:

0 = 0%, gejala yang timbul pada tiap kelompok gejala,

1 = 1% – 25%, gejala yang timbul pada tiap kelompok gejala, 2 = 26% – 50%, gejala yang timbul pada tiap kelompok gejala,

3 = 51% – 75%, gejala yang timbul pada tiap kelompok gejala,

4 = 76% – 100%, gejala yang timbul pada tiap kelompok gejala.

Selanjutnya tiap nilai angka kelompok gejala

tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang dengan menggunakan pengukuran tingkat kecemasan HARS, yaitu: 0 = 14, tidak ada kecemasan,

1 = 15 – 20, kecemasan ringan, 2 = 21 – 27, kecemasan sedang, 3 = 28 – 41, kecemasan berat,

4 = 42 – 56, kecemasan berat sekali (panik).

3. Pengaruh Bising terhadap Kecemasan

Bising kereta api dapat menyebabkan gangguan kesehatan non auditorik, yaitu gangguan kesehatan selain gangguan pada indera


(28)

commit to user

pendengaran. Gangguan kesehatan non auditorik pada masyarakat yang tinggal di sepanjang jalur kereta api yang meliputi : gangguan komunikasi, gangguan fisiologis yang terdiri atas peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, melambatkan fungsi organ pencernaan, serta timbulnya gangguan psikologis. Di samping itu terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan kesehatan non auditorik tersebut (Suherwin, 2004).

Kebisingan juga masih membawa dampak negatif lainnya dapat disebutkan antara lain: gangguan komunikasi, efek pada pekerjaan, dan reaksi masyarakat. Gangguan komunikasi mulai dirasakan apabila pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan. Banyak jenis pekerjaan membutuhkan komunikasi, baik secara langsung maupun lewat telepon. Intensitas kebisingan antara 50 - 55 dB saja menyebabkan telepon terganggu, dan rapat akan berjalan tidak memuaskan. Sedangkan intensitas di atas 55 dB dapat dianggap sangat bising, tidak cocok untuk kantor, dan sangat tidak nyaman untuk komunikasi telepon. Begitu pula pekerjaan yang memerlukan perhatian terus-menerus. Jenis pekerjaan semacam ini akan terganggu oleh kebisingan, sehingga tidak jarang dapat membuat kesalahan akibat konsentrasinya terganggu. Kebisingan juga meningkatkan kelelahan (Yusuf 2000).


(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

B. Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar stasiun Balapan Solo.

Bising kereta api

Stres psikologis Stres fisik

Kondisi sosial ekonomi

sosial budaya

Mekanisme koping

Kecemasan Faktor biologik


(30)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross

sectional. Cross sectional merupakan metode penelitian dengan dinamika

faktor risiko dan efek diperoleh saat semua subjek diobservasi sekali saja (Arief, 2003).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada masyarakat sekitar stasiun Balapan Solo. Berdasarkan jarak tempat tinggal dengan stasiun, responden dibagi menjadi 3 kelompok dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Kelompok 1: Responden yang bertempat tinggal berjarak 0-10 meter

dari rel kereta api,

2. Kelompok 2: Responden yang bertempat tinggal berjarak 10-20 meter

dari rel kereta api,

3. Kelompok 3: Responden yang bertempat tinggal berjarak 20-30 meter

dari rel kereta api.

C. Subjek Penelitian 1. Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar stasiun Balapan Solo hingga radius 30 meter.


(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

a. Wanita,

b. Sudah berumur 20-50 tahun,

c. Bekerja di lingkungan stasiun,

d. Tinggal di daerah tersebut minimal 1 tahun,

e. Bersedia dilakukan penelitian.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Menderita sakit telinga atau tuli,

b. Menderita sakit kronis,

c. Menggunakan obat anti ansietas,

d. Mengalami tekanan mental, stres, ataupun konflik.

2. Besar Sampel

Sampel atau contoh adalah sebagian dari populasi elemen anggota sampel yang merupakan anggota populasi dari mana sampel diambil

(Supranto, 2000).Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus:

Zα2.

P. Q N=

d2

Keterangan: N= jumlah sampel

Zα= batas kepercayaan (1.96)

P= proporsi (0.085) Q= 1-P (1-0.085= 0.915)

d= tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (10%) (Sastroasmoro dan Ismael, 2010).


(32)

commit to user

N= (1.96)2 (0.085) (0.915) = 29.8 = 30

(0.1) 2

Berdasarkan rumus di atas diperoleh besar sampel yang dibutuhkan 30 orang. Kemudian di kali tiga kelompok area sehingga total sampel sebesar 90 orang. Jumlah tersebut sesuai dengan standar sampel minimal untuk penelitian medik di Indonesia (Sindhusakti, 2000).

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara random sampling. Populasi

diambil langsung berdasarkan data pada daftar penduduk di kelurahan yang sudah homogen, dalam hal ini sudah memenuhi kriteria inklusi. Pemilihan sampel dilakukan secara acak atau menggunakan undian.

E. Identifikasi Variabel

Variabel adalah sesuatu yang dijadikan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2002).

1. Variabel bebas: Paparan bising kereta api 2. Variabel terikat: Tingkat kecemasan 3. Variabel luar:

a. Variabel luar yang dikendalikan: umur, jenis kelamin, lama tinggal, aktivitas, dan obat-obatan.


(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas: bising kereta api

Bising kereta api di sini adalah bising yang disebabkan oleh aktivitas kereta api di stasiun Balapan Solo. Jarak antara sumber kebisingan dengan

tiap kelompok penelitian diukur dengan sound level meter. Berdasarkan

jarak tempat tinggal dengan stasiun, responden dibagi menjadi 3

kelompok.Skala pengukuran variabel ini adalah skala ordinal.

2. Variabel terikat: tingkat kecemasan

Kecemasan adalah perasaan keprihatinan, ketidakpastian, ketakutan tanpa stimulus yang jelas, dan dikaitkan dengan perubahan-perubahan fisiologis yang dialami oleh responden dalam kurun waktu minimal sebulan terakhir. Pengukuran tingkat kecemasan menggunakan kuesioner

Hamilton Ansiety Rating Scale (HARS), skalanya ordinal.

G. Instrumen dan Cara Kerja Penelitian

1. Instrumen :

a. Sound level meter,

b. Kuesioner HARS,

c. Skala L-MMPI,

d. Meteran.

2. Cara kerja


(34)

commit to user

Berdasarkan jarak tempat tinggal dari rel kereta api stasiun Balapan Solo, responden dibagi menjadi 3 kelompok dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Kelompok 1 : Responden yang bertempat tinggal berjarak 0-10

meter dari rel kereta api

2) Kelompok 2 : Responden yang bertempat tinggal berjarak

10-20 meter dari rel kereta api

3) Kelompok 3 : Responden yang bertempat tinggal berjarak

20-30 meter dari rel kereta api

b. Mendatangi rumah responden untuk memberikan kuesioner HARS

dan Skala L-MMPI

H. Rancangan Penelitian

Letak tempat tinggal antara

20-30 meter

Tingkat kecemasan

Analisis data

simple random sampling

Sampel

Letak tempat tinggal antara

10-20 meter Letak tempat

tinggal antara 0-10 meter

Kelompok II

Kelompok I Kelompok III


(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

I. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji

Kruskal-Wallis untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua

kelompok. Dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney, untuk membandingkan

perbedaan antar kelompok dengan menggunakan program SPSS for Windows


(36)

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Dari penelitian yang telah dilakukan di kelurahan Kestalan dan Gilingan kecamatan Banjarsari pada bulan Juli 2010, peneliti mendapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi frekuensi area terpapar menurut kelompok umur

No. Umur

(tahun)

Area I Area II Area III

Jumlah Persentase (%)

Jumlah Persentase (%)

Jumlah Persentase (%)

1 20-29 7 23,33 4 13,33 6 20,00

2 30-39 8 26,67 7 23,33 9 30,00

3 40-50 15 50,00 19 63,33 15 50,00

Jumlah 30 100,00 30 100,00 30 100,00

Sumber: Data Primer, 2010.

Berdasarkan data tabel 1, jumlah responden terbanyak yaitu pada kelompok umur 40-50 tahun sebesar 15 responden (50,00%) pada area I, 19 responden (63,33%) pada area II, dan 15 responden (50,00%) pada area III.

Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan menurut kelompok umur

No. Umur

(tahun)

Tidak ada Ringan Sedang

Jumlah Persentase (%)

Jumlah Persentase (%)

Jumlah Persentase (%)

1 20-29 12 18,18 3 27,27 2 20,00

2 30-39 13 19,70 4 36,36 6 60,00

3 40-50 41 62,12 4 36,36 2 20,00

Jumlah 66 100,00 11 100,00 10 100,00

Sumber: Data Primer, 2010.

No. Umur

(tahun)

Berat Berat sekali

Jumlah Persentase (%)

Jumlah Persentase (%)

1 20-29 − − − −

2 30-39 1 50,00 − −

3 40-50 1 50,00 1 100,00

Jumlah 2 100,00 1 100,00


(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Tabel 2 menggambarkan tingkat kecemasan yang dibedakan berdasarkan kelompok umur. Tingkat kecemasan yang paling banyak dialami adalah tidak ada kecemasan yaitu sebesar 12 responden (18,18%) pada kelompok umur 20-29, 13 responden (19,70%) pada kelompok umur 30-39, dan 41 responden (62,12%) pada kelompok umur 30-50.

Tabel 3. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan menurut area terpapar

No. Area Tidak ada Ringan Sedang Jumlah Persentase

(%)

Jumlah Persentase (%)

JJumlah Persentase (%)

1 Area I 21 31,82 3 27,27 5 50,00

2 Area II 21 31,82 4 36,36 3 30,00

3 Area III 24 36,36 4 36,36 2 20,00

Jumlah 66 100,00 11 100,00 10 100,00

Sumber: Data Primer, 2010.

Berdasarkan data tabel 3, tingkat kecemasan yang paling banyak dialami adalah tidak ada kecemasan yaitu sebesar 21 responden (31,82%) pada kelompok umur 20-29, 21 responden (31,82%) pada kelompok umur 30-39, dan 24 responden (36,36%) pada kelompok umur 30-50.

Tabel 4. Hitung intensitas bising

No. Area Intensitas bising

(dB)

1 Area I 92,54

2 Area II 81,65

3 Area III 77,76

Sumber: Data Primer, 2010.

No. Area Berat Berat sekali

Jumlah Persentase (%)

Jumlah Persentase (%)

1 Area I 1 50,00 − −

2 Area II 1 50,00 1 100,00

3 Area III − − − −


(38)

commit to user

Area yang terpapar bising kereta api masing-masing diukur

menggunakan alat sound level meter. Area tersebut terdapat pada jarak 0-10

meter, 10-20 meter, dan 20-30 meter dari rel kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo. Didapatkan perbedaan intensitas bising kereta api antar kelompok. Peningkatan intensitas bising pada ketiga kelompok area telah melampaui nilai baku tingkat kebisingan.

Variabel penelitian, baik variabel bebas maupun variabel terikat merupakan skala ordinal. Oleh sebab itu, data yang diperoleh dianalisis secara

statistik menggunakan uji non parametrik, yaitu Kruskal-Wallis untuk

membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok menggunakan

program SPSS for Windows Release 16.0. Dari hasil uji Kruskal-Wallis

diperoleh nilai tidak signifikan (0,340), jadi ketiga kelompok tersebut tidak

memiliki perbedaan bermakna. Analisis data tidak dilanjutkan dengan post

hoct Mann-Whitney disebabkan tidak signifikannya hasil dari uji

Kruskal-Wallis, sehingga bisa dipastikan tidak mungkin terdapat perbedaan mean

antar kelompok yang bermakna. Hasil perhitungan uji Kruskal-Wallis selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 8.


(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

BAB V PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan pada masyarakat di sekitar Stasiun Balapan tersaji dalam tabel-tabel yang terdapat pada bab sebelumnya. Data tersebut dibagi berdasarkan area tempat tinggal, umur responden, dan tingkat kecemasan yang dialami.

Tabel 1 menyajikan distribusi frekuensi area terpapar menurut kelompok umur. Responden yang tercakup dalam penelitian ini yaitu responden dengan umur 20-50 tahun. Meskipun kelompok umur yang terdapat di area terpapar bising bervariasi, frekuensi terbanyak pada penelitian ini yaitu pada kelompok umur 40-50 tahun baik pada area I, area II, maupun area III. Hal ini sesuai dengan persebaran penduduk di lokasi penelitian, sepertihalnya pada tabel 2, meskipun Soewandi (1997) mengungkapkan bahwa umur yang lebih muda lebih mudah menderita kecemasan daripada umur tua.

Dari tabel 3 dapat dilihat pada area I jumlah responden paling banyak berada pada tingkat tidak ada kecemasan, di bawahnya diikuti dengan tingkat kecemasan sedang. Kemudian pada area II jumlah responden paling banyak berada pada tingkat tidak ada kecemasan, namun diikuti dengan tingkat kecemasan ringan. Sedangkan pada area III, jumlah reponden paling banyak berada pada tingkat tidak ada kecemasan, namun angkanya sedikit lebih besar bila dibandingkan dengan area I dan II. Tabel 4 memberi informasi bahwa intensitas bising area I adalah 92,54 dBA, area II sebesar 81,65 dBA, dan area III sebesar


(40)

commit to user

77,76 dBA. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rahmi (2003) yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak antara tempat tinggal penduduk dengan rel kereta api, maka akan semakin rendah kebisingan yang ditimbulkan.

Dari analisis perhitungan statistik dengan uji Kruskal-Wallis didapatkan p=0,340. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada ketiga kelompok area. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil penelitian sehingga tidak signifikan,

antara lain individual differences, kondisi situasional, kondisi sosial, tingkat

pendidikan, dan gangguan psikologis (Sasongko dkk., 2000).

Menurut Hawari (2001) terdapat gejala-gejala kecemasan yang tampak seperti keluhan fisik sehari-hari sehingga tidak disadari sebagai suatu gangguan. Contohnya penurunan minat terhadap aktivitas seksual, gangguan konsentrasi dan daya ingat, gangguan tidur, dan sering merasa sakit kepala. Faktor internal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kecemasan responden. Faktor internal kecemasan berawal dari pandangan psikoanalisis yang berpendapat bahwa sumber kecemasan itu bersifat internal dan tidak disadari

(Stuart dan Sundeen, 2000). Adanya pengkondisian yang siap (prepared

conditioning) pada individu membuat individu semakin siap dalam menghadapi

berbagai situasi stressor di kemudian hari. Responden tidak lagi menyadari

datangnya rasa cemas karena sudah terbiasa mendapatkan bising dari lingkungan sekitar di mana angkanya telah melampaui nilai baku mutu.

Kejadian-kejadian di lingkungan yang antara lain bencana alam dan


(41)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

dapat memacu seorang individu untuk memberikan respons yang berupa timbulnya rasa cemas. Pada akhirnya, seorang individu dapat mengatasi rasa cemas setelah melalui beberapa proses, di antaranya mendapatkan ancaman,

persepsi terhadap ancaman, coping (penyesuaian) dengan ancaman, sampai

individu tersebut mampu beradaptasi dengan hal tersebut (Stuart dan Sundeen, 2000).

Tingkat pendidikan juga merupakan faktor internal yang mempengaruhi kecemasan yang dialami individu (Stuart dan Sundeen, 2000). Semakin tinggi tingkat pendidikannya akan semakin baik pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang tinggi akan memberikan respons yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah atau mereka yang tidak mempunyai pendidikan, namun penelitian di lapangan menunjukkan hasil yang berbeda. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan adanya beda penafsiran baik antara peneliti dengan responden maupun antar tiap-tiap responden sehingga memungkinkan untuk terjadinya kekeliruan dalam menjawab kuesioner tentang tingkat kecemasan.

Menurut Stuart dan Sundeen (2000), apabila individu sedang mengalami kecemasan ia akan mencoba menetralisasi, mengingkari, atau meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang digunakan yaitu menangis, tidur, makan, olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain. Mekanisme koping yang digunakan


(42)

commit to user

untuk mengatasi kecemasan sedang dan berat, dengan cara perilaku menyerang, perilaku menarik diri, dan perilaku kompromi.

Terdapat variabel-variabel yang perlu dikendalikan seperti obat-obatan dan masalah keluarga. Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu yang lama baik diminum maupun melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran (Sulistia Gan, 1999). Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk mengahadapi masalah yang terjadi akan meningkat (Noorkasiani dan S. Tamher, 2009).

Selain itu, kecenderungan timbulnya gangguan kecemasan dipengaruhi oleh dukungan sosial. Smet (1994) mengartikan dukungan sosial sebagai pertolongan, bantuan yang diterima oleh individu dari interaksinya dengan lingkungan. Kecemasan akan rendah apabila individu memiliki dukungan sosial. (Conel, 1994). Responden pada penelitian ini tinggal di lingkungan yang mudah mendapatkan dukungan sosial sebagai sumber koping, di mana kehadiran orang lain dapat membantu seseorang mengurangi kecemasan (Stuart dan Sundeen, 2000).

Gangguan psikologis yang diakibatkan oleh bising dapat berpengaruh terhadap kecemasan. Tergantung pada intensitas, frekuensi, periode, saat dan lama kejadian, kompleksitas spektrum atau kegaduhan, dan ketidakteraturan kebisingan. Semakin lama waktu paparan terhadap bising, maka semakin berisiko terhadap munculnya gangguan psikologis seperti kejengkelan, ketakutan, dan


(43)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

kecemasan (Sasongko dkk., 2000). Intensitas dan periode bising kereta api yang tidak teratur menyebabkan responden tidak terus-menerus mendapatkan paparan.

Alat ukur yang digunakan mempengaruhi hasil penelitian ini. Kuesioner

HARS menggunakan choice questions dengan skala rasio 0 sampai 4. Jenis dari

pertanyaan-pertanyaan ini memungkinkan responden untuk memberikan pendapatnya. Kuesioner ini sangat rumit karena banyaknya kelompok gejala dan

pilihan jawaban yang terdiri dari 5 tingkatan berbeda. Berbeda dengan yes/no

questions yang memungkinkan responden untuk hanya menjawab “ya” atau

“tidak”. Seharusnya dalam mengerjakan kuesioner seperti ini, responden didampingi sehingga apabila mengalami kesulitan mengisi akan dapat langsung bertanya kepada peneliti, namun karena keterbatasan waktu hal tersebut tidak bisa dilakukan (Nurgiyantoro dkk., 2000).

Pengumpulan data dalam penelitian ini selain menyerahkan kuesioner yang kemudian akan diisi oleh responden, juga menggunakan wawancara. Kuesioner dipegang oleh peneliti dan responden hanya menjawab pertanyaan yang diajukan, kemudian peneliti yang mencatat. Menurut Nurgiyantoro dkk. (2000) proses wawancara di lapangan membutuhkan waktu yang lama sehingga memungkinkan responden untuk merasa bosan dengan pertanyaan yang ditujukan. Selain itu, hasil wawancara dapat mudah dipengaruhi oleh lingkungan tempat tertentu, misalnya di tempat yang ribut dan ramai seperti ketika diadakannya kegiatan PKK.

Kelemahan dari penelitian ini juga berkaitan dengan kondisi responden saat dilakukannya penyebaran kuesioner. Terdapat kuesioner yang tidak diberikan


(44)

commit to user

secara langsung karena responden tidak berada di tempat, sehingga kuesioner hanya dititipkan pada anggota keluarga lainnya. Pada saat pengambilan terdapat kuesioner yang tidak kembali atau belum selesai diisi oleh reponden sehingga peneliti harus memberikan ulang. Pada saat pengisian juga terdapat beberapa responden yang membutuhkan waktu beberapa hari, sehingga dikhawatirkan dalam pengerjaannya responden kurang memahami maksud setiap poin dalam kuesioner yang diberikan oleh peneliti.


(45)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo.

B. Saran

1. Bagi masyarakat, agar lebih mewaspadai bahaya bising dan mampu

melakukan tindakan pengendaliannya. Misalnya dengan membuat tembok pembatas setinggi 6 meter atau tanaman untuk mereduksi intensitas kebisingan.

2. Untuk pemerintah dan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), sebaiknya

agar lebih memperhatikan upaya mengurangi atau bahkan menghilangkan kebisingan kereta api di lokasi pemukiman.

3. Untuk menindaklanjuti penelitian ini maka disarankan agar penelitian

yang akan datang dilakukan dengan sampel yang lebih besar dan metode yang lebih baik dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kecemasan, misalnya tingkat pendidikan dan lingkungan sosial.


(1)

commit to user

77,76 dBA. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Rahmi (2003) yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak antara tempat tinggal penduduk dengan rel kereta api, maka akan semakin rendah kebisingan yang ditimbulkan.

Dari analisis perhitungan statistik dengan uji Kruskal-Wallis didapatkan p=0,340. Nilai ini lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada ketiga kelompok area. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil penelitian sehingga tidak signifikan, antara lain individual differences, kondisi situasional, kondisi sosial, tingkat pendidikan, dan gangguan psikologis (Sasongko dkk., 2000).

Menurut Hawari (2001) terdapat gejala-gejala kecemasan yang tampak seperti keluhan fisik sehari-hari sehingga tidak disadari sebagai suatu gangguan. Contohnya penurunan minat terhadap aktivitas seksual, gangguan konsentrasi dan daya ingat, gangguan tidur, dan sering merasa sakit kepala. Faktor internal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kecemasan responden. Faktor internal kecemasan berawal dari pandangan psikoanalisis yang berpendapat bahwa sumber kecemasan itu bersifat internal dan tidak disadari (Stuart dan Sundeen, 2000). Adanya pengkondisian yang siap (prepared

conditioning) pada individu membuat individu semakin siap dalam menghadapi

berbagai situasi stressor di kemudian hari. Responden tidak lagi menyadari datangnya rasa cemas karena sudah terbiasa mendapatkan bising dari lingkungan sekitar di mana angkanya telah melampaui nilai baku mutu.

Kejadian-kejadian di lingkungan yang antara lain bencana alam dan teknologi, commuting, serta bising merupakan sumber stres (stressor). Stresor


(2)

commit to user

dapat memacu seorang individu untuk memberikan respons yang berupa timbulnya rasa cemas. Pada akhirnya, seorang individu dapat mengatasi rasa cemas setelah melalui beberapa proses, di antaranya mendapatkan ancaman, persepsi terhadap ancaman, coping (penyesuaian) dengan ancaman, sampai individu tersebut mampu beradaptasi dengan hal tersebut (Stuart dan Sundeen, 2000).

Tingkat pendidikan juga merupakan faktor internal yang mempengaruhi kecemasan yang dialami individu (Stuart dan Sundeen, 2000). Semakin tinggi tingkat pendidikannya akan semakin baik pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang tinggi akan memberikan respons yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah atau mereka yang tidak mempunyai pendidikan, namun penelitian di lapangan menunjukkan hasil yang berbeda. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan adanya beda penafsiran baik antara peneliti dengan responden maupun antar tiap-tiap responden sehingga memungkinkan untuk terjadinya kekeliruan dalam menjawab kuesioner tentang tingkat kecemasan.

Menurut Stuart dan Sundeen (2000), apabila individu sedang mengalami kecemasan ia akan mencoba menetralisasi, mengingkari, atau meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping. Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang digunakan yaitu menangis, tidur, makan, olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain. Mekanisme koping yang digunakan


(3)

commit to user

untuk mengatasi kecemasan sedang dan berat, dengan cara perilaku menyerang, perilaku menarik diri, dan perilaku kompromi.

Terdapat variabel-variabel yang perlu dikendalikan seperti obat-obatan dan masalah keluarga. Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu yang lama baik diminum maupun melalui suntikan menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran (Sulistia Gan, 1999). Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk mengahadapi masalah yang terjadi akan meningkat (Noorkasiani dan S. Tamher, 2009).

Selain itu, kecenderungan timbulnya gangguan kecemasan dipengaruhi oleh dukungan sosial. Smet (1994) mengartikan dukungan sosial sebagai pertolongan, bantuan yang diterima oleh individu dari interaksinya dengan lingkungan. Kecemasan akan rendah apabila individu memiliki dukungan sosial. (Conel, 1994). Responden pada penelitian ini tinggal di lingkungan yang mudah mendapatkan dukungan sosial sebagai sumber koping, di mana kehadiran orang lain dapat membantu seseorang mengurangi kecemasan (Stuart dan Sundeen, 2000).

Gangguan psikologis yang diakibatkan oleh bising dapat berpengaruh terhadap kecemasan. Tergantung pada intensitas, frekuensi, periode, saat dan lama kejadian, kompleksitas spektrum atau kegaduhan, dan ketidakteraturan kebisingan. Semakin lama waktu paparan terhadap bising, maka semakin berisiko terhadap munculnya gangguan psikologis seperti kejengkelan, ketakutan, dan


(4)

commit to user

kecemasan (Sasongko dkk., 2000). Intensitas dan periode bising kereta api yang tidak teratur menyebabkan responden tidak terus-menerus mendapatkan paparan.

Alat ukur yang digunakan mempengaruhi hasil penelitian ini. Kuesioner HARS menggunakan choice questions dengan skala rasio 0 sampai 4. Jenis dari pertanyaan-pertanyaan ini memungkinkan responden untuk memberikan pendapatnya. Kuesioner ini sangat rumit karena banyaknya kelompok gejala dan pilihan jawaban yang terdiri dari 5 tingkatan berbeda. Berbeda dengan yes/no

questions yang memungkinkan responden untuk hanya menjawab “ya” atau

“tidak”. Seharusnya dalam mengerjakan kuesioner seperti ini, responden didampingi sehingga apabila mengalami kesulitan mengisi akan dapat langsung bertanya kepada peneliti, namun karena keterbatasan waktu hal tersebut tidak bisa dilakukan (Nurgiyantoro dkk., 2000).

Pengumpulan data dalam penelitian ini selain menyerahkan kuesioner yang kemudian akan diisi oleh responden, juga menggunakan wawancara. Kuesioner dipegang oleh peneliti dan responden hanya menjawab pertanyaan yang diajukan, kemudian peneliti yang mencatat. Menurut Nurgiyantoro dkk. (2000) proses wawancara di lapangan membutuhkan waktu yang lama sehingga memungkinkan responden untuk merasa bosan dengan pertanyaan yang ditujukan. Selain itu, hasil wawancara dapat mudah dipengaruhi oleh lingkungan tempat tertentu, misalnya di tempat yang ribut dan ramai seperti ketika diadakannya kegiatan PKK.

Kelemahan dari penelitian ini juga berkaitan dengan kondisi responden saat dilakukannya penyebaran kuesioner. Terdapat kuesioner yang tidak diberikan


(5)

commit to user

secara langsung karena responden tidak berada di tempat, sehingga kuesioner hanya dititipkan pada anggota keluarga lainnya. Pada saat pengambilan terdapat kuesioner yang tidak kembali atau belum selesai diisi oleh reponden sehingga peneliti harus memberikan ulang. Pada saat pengisian juga terdapat beberapa responden yang membutuhkan waktu beberapa hari, sehingga dikhawatirkan dalam pengerjaannya responden kurang memahami maksud setiap poin dalam kuesioner yang diberikan oleh peneliti.


(6)

commit to user

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar bising kereta api di sekitar Stasiun Balapan Solo.

B. Saran

1. Bagi masyarakat, agar lebih mewaspadai bahaya bising dan mampu melakukan tindakan pengendaliannya. Misalnya dengan membuat tembok pembatas setinggi 6 meter atau tanaman untuk mereduksi intensitas kebisingan.

2. Untuk pemerintah dan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), sebaiknya agar lebih memperhatikan upaya mengurangi atau bahkan menghilangkan kebisingan kereta api di lokasi pemukiman.

3. Untuk menindaklanjuti penelitian ini maka disarankan agar penelitian yang akan datang dilakukan dengan sampel yang lebih besar dan metode yang lebih baik dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kecemasan, misalnya tingkat pendidikan dan lingkungan sosial.