hukum dalam perceraian sudah sepantasnya memikirkan keharusan perceraian itu dari segala segi menyangkut kemanusiaan itu sendiri.
Perkawinan pada dasarnya bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spritual dan material. Karena itu Undang-Undang Perkawinan menganut asas atau prinsip
mempersukar terjadinya perceraian.
2. Menurut Hukum Adat
Perkawinan yang menjadi urusan keluarga dan kerabat dalam suatu hukum adat mempunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib dari
masyarakat kerabat ke arah angkatan baru yaitu anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu guna meneruskan clan, suku, kerabat dan keluarga. Perkawinan juga
bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dusun serta wilayah kesatuan dalam susunan masyarakat.
Selain hal di atas menurut hukum adat yang merupakan urusan kerabat maupun kekerabatan yang terdapat pada berbagai lingkungan hukum juga
“mempertahankan hubungan golongan-golongan sanak saudara satu sama lain dan meneruskan hubungan yang timbal balik dalam hubungan perkawinan yang bersegi
satu eenzijdige huwelijks betrekking.
47
47
K.Ng. Soebakti Posponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1987, hal.183
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Dengan tujuan serta fungsi tersebut, maka dalam hukum adat juga akan ditemui adanya perceraian antara suami isteri, dimana perceraian itu selalu dikaitkan
dengan kepentingan-kepentingan keluarga atau kerabat. Fungsi-fungsi sebagaimana disebutkan di atas berpengaruh sebagai alasan-alasan dan kemungkinan-kemungkinan
terjadinya perceraian. Selain kepentingan kerabat dalam hukum adat tentunya persoalan-persoalan pribadi dan bersifat perorangan juga dianggap sebagai alasan
perceraian. Adapun alasan secara umum mengapa dilakukan perceraian antara suami
isteri dalam hukum adat adalah “karena zina yang dilakukan oleh pihak isteri, perbuatan itu dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap kepentingan-kepentingan
masyarakat maupun perasaan si suami yang pada masing-masing lingkungan hukum berhak atas perlindungan tehadap isteri”.
48
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perceraian dimungkingkan terjadi walaupun pada dasarnya perceraian merupakan hal yang dibenci Allah, perceraian dalam hukum Islam dapat dikatakan
sebagai suatu perbuatan yang makruh. Akan halnya perceraian itu adalah merupakan salah satu penyebab putusnya
hubungan perkawinan di dalam hukum Islam. Sedangkan sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan itu menurut hukum Islam adalah :
48
Hilman Hadikusum, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung : Mandar Madju, 1990, hal.184
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
a. Karena kematian
b. Karena perceraian
c. Karena putusan pengadilan.
49
Ad.a. Putusnya Hubungan Perkawinan Karena Kematian Mengenai putusnya hubungan perkawinan karena kematian hal ini tentunya
jelas, sebab pasangan suami isteri sebagai manusia dan makhluk Allah SWT memang harus dan akan menemui ajalnya mati, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT
di dalam Al-Quran bahwa : “…. Semua yang hidup pasti merasa mati….”.
50
Oleh sebab itu kematian bagi para pihak, salah satu atau keduanya dari suami atau isteri merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan harus diyakini
tibanya sebagai umat manusia yang percaya akan ajaan Islam. Dengan demikian salah sebab putusnya hubungan perkawinan yang disebabkan oleh kematian.
Meninggalnya suami ataupun isteri sudah langsung memutuskan hubungan perkawinan antara suami isteri tersebut.
Ad.b. Putusnya Hubungan Perkawinan Yang Disebabkan Oleh Perceraian Perceraian adalah sesuatu yang biasa dilakukan tetapi merupakan perbuatan
yang tidak disukai Allah. Di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa “pergaulilah isteri kamu itu sebaik-baik makruf, kemudian apabila ketidaksukaan kamu itu, Allah
menjadikannya kebaikan yang banyak”.
51
49
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 113
50
Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 185
51
Departemen Agama RI, Terjemahan Al-Qur’an, Jakarta : PT. Bumi Restu, 2004, hal.120.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Dari bunyi ayat tersebut sebenarnya secara sindiran dan tersirat Allah SWT menyatakan bila ada perasaan yang tidak enak dan tidak disenangi oleh pihak suami
terhadap isterinya hendaklah ia tetap menggauli isterinya itu dengan baik dan jangan menceraikan isterinya.
Demikian pula halnya bagi pihak isteri, di dalam Islam tidak boleh mengambil inisiatif untuk terjadinya suatu perceraian hanya karena tidak senang pada suaminya.
Apabila isteri melakukan permintaan untuk bercerai pada suaminya, maka ia akan menerima kemarahan besar dari Allah SWT. Hal ini dapat pula dilihat dalam Hadist
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tarmidzi, Abu Daud dan Ibny Madjah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Perempuan manapun yang minta
cerai dari suaminya tanpa sebab-sebab yang wajar yang menghalalkan maka haramlah bagi perempuan itu membaui atau merasakan kewangian surga nantinya”.
52
Ad.c. Putusnya Hubungan Perkawinan Yang Disebabkan Oleh Putusan Pengadilan Dalam hal ini adalah putusan-putusan Pengadilan Agama yang disebabkan
adanya hal-hal diluar talak ataupun gugatan, misalnya adanya permohonan pihak ketiga terhadap suatu perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut untuk
dibatalkan yang dikarenakan terjadinya kesalahan, ataupun terdapatnya sebab lain. Dalam hal putuan pengadilan ini juga dapat disebabkan karena perginya salah
satu pihak meninggalkan pihak lain dengan tidak memberitahukan kepergiannya itu untuk jangka waktu yang lama dan dalam hal ini hakim berhak menyatakan pihak
52
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, 1986, hal.100.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
yang pergi meninggalkan pihak lain tersebut hilang. Dengan demikian maka perkawinan dalam hal ini adalah putusan dengan putusan pengadilan.
B. Penyebab Terjadinya Perceraian
Alasan terjadinya perceraian pada Pengadilan Agama Medan dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Alasan Terjadinya Perceraian Di Pengadilan Agama Medan Sejak Tahun 2004 sd 2008
Alasan Terjadinya Perceraian
Tahun
Poligami Cemburu Ekonomi Tdk
Bertanggung Jawab
Pengani- ayaan
Cacat Badan
Tdk Harmonis
Pihak ketiga
Jlh
2004 - 5 20 1
5 5 6 3 45 2005 1 5 25
4 3 2 8 5 48
2006 - 3 30 5
4 1 2 1 46 2007 3 4 17
7 5 4 2 1 43
2008 - 5 15 4
3 5 4 5 41 Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Medan 2009
Mengenai penyebab terjadinya perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 seperti ditentukan dalam Pasal 39 ayat 2 bahwa untuk melakukan perceraian harus
cukup alasan, bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Jadi jika berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut alasan perceraian semata-mata didasarkan kepada ketidakmungkinan
tercapainya kerukunan antara suami isteri dalam suatu kehidupan rumah tangga yang semestinya.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Penyebab perceraian ini diperjelas lagi dalam penjelasan resmi Pasal 39 ayat 2 yang juga dipertegas lagi dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975. Dalam penjelasan tersebut ada beberapa hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan. Apa yang disebut dalam penjelasan ayat 2 Pasal 39 UU
No. 1 Tahun 1974 serupa dengan alasan-alasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Adapun alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut : a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 dua tahun
berturut-turut tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami isteri.
e. Salah
satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit
yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
isteri. f.
Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
53
Hal-hal yang menghalalkan untuk terjadinya perceaian dalam hukum Islam
yaitu : a.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
53
M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.164
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suamiisteri. f.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
g. Suami melanggar taklik-talak cerai gugat
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
54
Selain hal di atas yang telah menjadi ketetapkan hukum formal di Negara Republik Indonesia, maka dalam Islam hal-hal yang menjadi sebab terjadinya
perceraian itu menurut Sayuti Thalib adalah : 1.
Terjadinya Nusyuz isteri, dimana sumber hukum tentang hal ini ditemukan dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 34
2. Terjadinya Nusyuz suami, yang didasarkan pada Al-Qur’an surat An
Nisa ayat 128 3.
Terjadinya syiqaq antara suami isteri yang diatur dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 35
4. Bila salah satu pihak melakukan fahisyah yang didasarkan pada Al-
Qur’an surat An Nisa ayat 15.
55
Nusyuz dalam hal ini diartikan sebagai perbuatan salah satu pihak suami atau isteri untuk tidak melakukan kewajibanya, dimana nusyuz isteri adalah isteri tidak
taat pada suaminya, sedangkan nusyuz suami adalah kemungkinan si suami berpaling meninggalkan atau menyia-nyiakan isterinya.
Sedangkan arti Syiqaq disini adalah keretakan yang telah terjadi sangat hebat antara suami isteri, sedangkan fahisyah adalah perbuatan buruk, dimana
Hazairin mengartikannya sebagai “…perbuatan yang memberi malu keluarga”.
56
54
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
55
Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.92
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Keempat perceraian yang disebutkan dalam Al-Qur’an telah dijabarkan di dalam sumber hukum formal di Indonesia bagi umat Islam, yaitu di dalam Kompilasi
Hukum Islam yang telah diundangkan dan diberlakukan dengan sah sejak tahun 1991. Selanjutnya T. Yafizham menyatakan bahwa pekawinan dapat putusan
disebabkan : a.
Kematian salah satu pihak b.
Thlak c.
Fasakh d.
Khuluk e.
Syiqaq f.
Ila’ g.
Zihar h.
Li’an i.
Riddah.
57
Thalak yaitu melepaskan ikatan nikah antara suami dan isteri dengan suatu kata-kata tertentu Q.S. Al-Baqaah : 229
Fasakh yaitu diungkai atau dipecahkan perjanjian kawain itu dirusakan atau dibatalkan, hal ini dikarenakan adanya cacat badan atau fisik dari salah satu pihak
yang terasa mengganggu kelangsungkan perkawinan dimaksud. Khuluk tidak tebus yaitu suatu perceraian atau persetujuan kedua belah
pihak dimana isteri membayar iwadh kepada suaminya Q.S. An-Nisa ayat 4. Syiqaq yaitu terjadinya keretakan yang tidak mungkin didamaikan lagi dan
terus menerus Q.S. An-Nisa : 35 Ila’ yaitu suampah suami bahwa ia tidak akan mau coitus dengan isterinya
selama 4 empat bulan atau lebih Q.S. An-Nisa : 226-227
56
Sayuti Thalib, Ibid¸hal.95
57
T. Yafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan : CV. Mustika, 1997, hal.10
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Zihar, yaitu ucapan suami yang menyerupakan isterinya dengan salah satu muhrimnya tentang haramnya, sehingga haram baginya untuk mencampuri isterinya
sebagaimana ia mencampuri muhrimnya itu Q.S. Al Mujadallah : 2-4 Li’an yaitu kecurigaan suami terhadap isterinya sehubungan dengan sesuatu
hal dimana isterinya hamil padahal ia tidak ada, dan bila menuduh orang lain berzina kemungkinan ia tidak benar, maka dalam hal ini ia dapat dikenakan
hukuman Q.S. An-Nur : 6-9 RiddahMurtad yaitu jika salah satu pihak keluarga dari agama Islam baik ia
pindah agama lain ataupun tidak beragama, maka terjadilah pembubaran perkawinan tersebut.
Selanjutnya di dalam Kompilasi Hukum Islam putusnya hubungan perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam, dimana perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama Pasal 65 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Sebelum perceraian itu terjadi, Pengadilan Agama terlebih
dahulu harus mendamaikan atau memberikan anjuran kepada kedua belah pihak untuk berdamai.
Talak yang merupakan ikrar suami di depan sidang Pengadilan Agama yang juga menjadi salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan yang dilakukan
dengan tatacara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Talak di dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dibagi menjadi :
58
a. Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua Pasal 118
Dalam hal ini suami yang mentalak isterinya masih mempunyai hak boleh untuk rujuk kembali pada isterinya selama si isteri masih dalam masa iddah atau
masa tunggu Pasal 119 b.
Talak Ba’in Sughro yaitu talak yang tidak boleh rujuk, tetapi boleh kembali kepada bekas isteri dengan melakukan akad nikah baru, walaupun masih dalam
masa iddah. Talak Ba’in Sughro ini terbagi lagi atas :
1 Talak Ba’in Sughro qobla al dukhul
2 Talak Ba’in Sughro dengan tebusan atau khuluk
3 Talak Ba’in Sughro yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
c. Talak Ba’in Kubro yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, dalam hal ini
suami tidak dapat merujuk isterinya dan juga tidak dapat menikah kembali sebagaimana Talak Ba’in Sughro. Perkawinan dalam hal ini hanya dimungkinkan
bila si isteri telah melakukan pernikahan dengan laki-laki lain lalu berceai dengan ba’da dukhul terhadap suami barunya tersebut, dan juga telah habis masa
iddahnya. Dalam hal beginilah baru si suami dapat dinikahkan kembali dengan bekas isterinya tersebut.
d. Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhada
isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
58
Ibid, hal.12-13
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
e. Talak Bid’i yaitu talak yang dilarang, dimana talak tersebut dijatuhkan pada saat
isteri berada dalam keadaan haidh atau si isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada saat suci tersebut.
Dalam hal pengertian obla al dukhul di dalam Undang-Undang ini adalah bahwa talak yaitu ba’in sugrho tersebut sementara suami belum melakukan
kewajibannya sebagai suami dalam arti si suami belum mencampuri atau menggauli si isteri sebagaimana layaknya seorang suami terhadap isterinya.
59
Sedangkan talak ba’in sughro dengan tebusan atau khuluk yaitu dimana pihak suami mengucapkan talak atas kesepakatan bersama dengan isterinya dimana
isteri membeerikan bayaran pada suaminya iwadh dengan jatuhnya talak dimaksud.
60
Selain cara-cara di atas dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pula sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya yaitu li’an yang menyebabkan
putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya
61
Hal ini terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam
kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isterinya menilak tuduhan dan atau mengingkari itu, sebagaimana yang difirmankan Allah di Al-Qur’an yang
artinya sebagai berikut : Orang-orang yang menuduh isterinya berzina tetapi mereka tiada
mempunyai saksi-saksi kecuali dirinya sendiri, maka kesaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya di adalah termasuk
orang-orang yang benar. Dan sumpah kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta dan isterinya itu dapat terhindar dari
59
HD. Ali Alhamidy, Islam dan Perkawinan, Alma;arif, Bandung, 1992, hal.29
60
Ibid, hal.30
61
Ibid, hal.31
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
hukuman, jika sumpah suami yang empat kali dengan nama Allah itu adalah dusta…Dan sumpah yang kelima, bahwa laknat kemurkaan Allah atasnya
jika suaminya termasuk orang-orang yang benar.
62
Ketentuan berdasarkan Firman Allah SWT di atas dijabarkan pula di dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 125 – 126. Dalam hal ini li’an akan dianggap sah apabila dilakukan dan diucapkan oleh
suami dihadapan sidang Pengadilan Agama. Hal ini berarti bahwa pengungkapan li’an tidak boleh begitu saja dilakukan, misalnya hanya dilakukan oleh si suami
dihadapan isterinya saja atau juga keluarganya. Tetapi haruslah dihadapan Pengadilan Agama yang berwenang dengan tata caa atau prosedur tertentu, agar
li’an ini mempunyai kekuatan hukum dan dapat membubarkan atau memutuskan hubungan perkawinan.
Perceraian yang dilakukan dengan cara-cara tesebut di atas, pada dasarnya mulai belaku sejak diputuskan oleh Pengadilan Agama. Namun di dalam kenyataan
dapat dilihat walaupun perceraian belum diputuskan oleh Pengadilan Agama dalam arti belum memperoleh kekuatan hukum, suami isteri yang hendak bercerai itu telah
memisahkan diri, ataupun telah hidup sendiri-sendiri, masing-masing dengan jalan dan kehidupannya yang diinginkan tentunya.
C. Harta Bersama Dalam Perkawinan
Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut di
62
Mahmud Yunus, Surat An-Nur ayat 6-9, Terjemahan Al-Quran Karim,Bandung : Al Maarif, 2001, hal.316.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
atur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. ada 2 dua macam harta benda dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974, yaitu : 1.
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Ada darimana harta itu diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari
isteri atau dari suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami isteri. 2.
Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah
atau warisan. Sesuai dengan definisi Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 yang disebut harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini adalah segala milik yang diperoleh selama
perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat.
Mengenai wujud dari harta pribadi sejalan dengan yang dijelaskan dalam Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ketentuan itu sepanjang
suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan sebelum akad nikah d ilaksanakan. Adapun harta yang menjadi milik pribadi suami isteri adalah :
1. Harta bawaan yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan mereka
laksanakan.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
2. Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan tetapi terbatas pada
perolehan yang berbentuk hadiah, hibah dan warisan.
63
Semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara
bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal apakah isteri atau
suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah isteri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu
didaftarkan. Dalam Bab XII Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa “harta bersama
suami isteri itu adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan perolehannya itu tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
64
Ini berarti bahwa harta bersama itu adalah semua harta yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta kekayaan itu terdaftar. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau juga tidak berwujud.
Menurut Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam bahwa harta bersama tersebut dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat
meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. Harta bersama
tersebut dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
63
Abdul Manan. Op.Cit, hal.157.
64
Ibid., hal.157.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
persetujuan pihak lainnya. Dengan demikian suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak dapat atau tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama
Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam Menurut Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa adanya harta
bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Selanjutnya dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam disebutkan sebagai berikut :
1 Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena
perkawinan. 2
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa : 1
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-
masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin. 2
Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Sebenarnya Yurisprudensi hampir di seluruh Indonesia telah menerima lembaga harta bersama itu sebagai suatu kenyataan kesadaran hukum yang hidup
dalam suatu kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam stelsel kekeluargaan masyarakat Indonesia. memang istilahnya diantara satu daerah dengan daerah lain
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
berbeda. Ada yang menyebut harta raja kaya, ada juga yang menyebutnya harga gono gini. Tetapi dengan adanya penyebutan istilah yang dipergunakan dalam Pasal
35 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, sudah dengan sendirinya pemakaian istilah itu dalam praktek hukum akan menuju persamaan istilah yaitu “harta bersama”.
65
Dari defenisi harta bersama itu sesuai dengan bunyi Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan sesuai dengan
defenisi di atas, untuk terwujudnya harta kekayaan bersama itu hanya diperlukan satu syarat saja, yaitu harta itu diperoleh selama perkawinan. Tidak ada syarat-syarat lain,
selain dari pada syarat yang satu itu. Tidak diperlukan harus isteri ikut aktif mengumpulkan dan memperolehnya, karena itu hanya teorinya saja. Tentu
bagaimanapun dalam praktek isteri harus ikut sekurang-kurangnya memberikan bantuan moral. Hanya saja, hal itu tidak dijadikan syarat ketentuan hukum.
Sehubungan dengan pokok persoalan di atas yang akan ditinjau sampai dimana batas-batas dan defenisi sudah jelas. Tetapi dalam praktek bisa timbul
beberapa argumentasi yang memerlukan pemecahan dan untuk mudah memecahkan persoalannya dengan kenyataan-kenyataan peristiwa yang timbul di tengah
masyarakat dengan mempedomani keputusan-keputusan pengadilan yang ada. Adapun untuk mengetahui batas-batas harta bersama dan luasnya ini di
samping penting untuk kedua belah pihak suami isteri, maka hal ini relevan untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, maka luasnya harta bersama :
65
M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal.128
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
1. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam perkawinan
sekalipun barang dan harta terdaftar di atas namakan salah seorang suami atau isteri, maka harta yang atas nama suami atau isteri dianggap sebagai harta
bersama. Apa yang dikemukakan di atas ini sesuai dengan keputusan Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 20 Nopember 1975 No.3931973 dengan
pertimbangan; Pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumahtanah terperkara diperoleh sebelum perkawinannya dengan suaminya. Juga terbukti bahwa sesuai
dengan tanggal izin bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinannya dengan suaminya, dengan demikian dapat disimpulkan tanahrumah terperkara
adalah harta bersama antara suami dan isteri sekalipun tanah dan rumah itu terdaftar atas nama isteri M.A. 30 Juli 1974 No.808KSip1974.
66
2. Kalau harta itu dipeliharadiusahai dan telah dialihkan ke atas nama adik suami,
jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami isteri.
Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 30 Desember 1971 No.3891971 telah memutuskan bahwa sekalipun toko dan barang –barang yang ada di dalamnya
telah diusahai dan telah dialihnamakan atas nama adik suami, akan tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu perkawinan dengan isteri, maka harta tersebut
sekalipun sudah dipindahkan pada orang lain harus dinyatakan harta bersama
66
Ibid, hal.129
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
yang dapat diperhitungkan pembagiannya diantara suami isteri dengan adanya perceraian diantara mereka M.A.tgl.23 Mei 1973 No.1031-KSip1972.
67
3. Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah, bahwa adanya
harta bersama suami isteri tidak memerlukan pembuktian, bahwa isteri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal
harta itu terbukti diperoleh selama dalam perkawinan. Menurut M. Yahya Harahap, rumusan itu belum memenuhi suatu keseimbangan yang adil
berdasarkan keputusan, bahwa rumusan itu pada pada salah satu pihak telah benar dan memberi keadaan yang lebih menguntungkan isteri.
68
Maka supaya rumusan pertimbangan tersebut tidak pincang, menurut penulis harus dilengkapi dengan
“kecuali si suami dapat membuktikan bahwa isterinya benar-benar tidak dapat melaksanakan kewajiban yang semestinya sebagai ibu rumah tangga dan selalu
pergi meninggalkan rumah tempat kediaman tanpa alasan yang sah dan wajar. Juga harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian
dianggap harta bersama suami isteri jika biaya pembangunan atau biaya pembelian sesuatu barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama
perkawinan. Dalam hal ini yang pokok adalah bahwa uang pembelian atau pembangunan sesuatu benar-benar dibiayai dari uang yang diperoleh selama
perkawinan, harta atau rumah yang dibangun adalah harta bersama sekalipun barang atau bangunan tersebut dibeli dan dibangun sesudah perceraian
67
Ibid, hal.130
68
Ibid, hal.131
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
4. Harta yang dibeli baik oleh suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat
tinggal mereka adalah harta bersama suami isteri jika pembelian itu dilaksanakan selama perkawinan.
5. Barang termasuk harta bersama suami isteri adalah sebagai berikut :
a. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk
penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri.
b. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan
yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai M.A. tgl.11 Maret 1971 No.4554
KSip1970.
69
Tentang putusan di atas, sepanjang yang mengenai penghasilan yang berasal dari keuntungan milik pribadi, maka tidak sendirinya menurut hukum
menjadi dan termasuk pada boedel harta bersama. Tentang hal ini tergantung pada persetujuan bersama. Apalagi UU Nomor 1 Tahun 1974 itu sendiri ada
mengatur perjanjian perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 29. Sebab itu untuk suatu kepastian hukum di masa yang akan datang, maka sepanjang
yang mengenai hasil keuntungan yang timbul dari milik pribadi tidak dengan sendirinya menurut hukum termasuk boedel harta bersama. Kecuali hal itu
69
Ibid,hal.133
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
telah diperjanjikan dengan tegas. Sebab kalau begitu halnya tentu tidak perlu lagi diatur dengan tegas tentang hak milik pribadi seperti yang terapat pada
ketentuan Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Adapun mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami, maka
ketentuan harta bersama dapat diambil batas garis pemisah, yaitu :
70
1. Segala harta yang telah ada antara suami dengan isteri sebelum perkawinannya
dengan isteri kedua, maka isteri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut.
2. Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan isteri kedua, ialah
harta yang diperoleh kemudian. Jadi harta yang telah ada diantara isteri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara isteri
pertama dengan suami, dimana isteri kedua terpisah dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Isteri kedua baru ikut dalam lembaga harta
bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak isteri kedua itu resmi sebagai suami isteri.
3. Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti pertama, suaminya hidup dalam
suatu rumah kediaman yang berdiri sendiri, demikian juga isteri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta isteri
pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara isteri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta
70
Ibid, hal.145
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
kekayaan dalam rumah tangga isteri kedua dengan suami menjadi harta bersama antara isteri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama
dalam keadaan suami beristeri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 telah diatur pada Pasal 65 1 huruf b dan c. Ayat 1
huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua.
Atau berikutnya. Dalam huruf b berbunyi ; semua isteri mempunyai hak atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing. Pasal 65 ayat 2 UU
Nomor 1 Tahun 1974 memberikan kemungkinan menyamping dari ketentuan- ketentuan di atas, jika suami isteri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undangini, seperti membuat perjanjian yang diatur dalam Pasal 29 UU No.1 Tahun 1974 Perjanjian Perkawinan.
Lain pula halnya jika seorang suami meninggal dunia dan sebelum meninggal dunia mereka telah mempunyai harta bersama. Kemudian isteri kawin
lagi dengan laki-laki lain, maka dalam keadaan seperti ini pun tetap terpisah harta antara suami yang telah meninggal dengan isteri tadi yang akan diwarisi oleh
keturunan-keturunan mereka, dan tidak ada hak anakketurunan yang lahir dari perkawinan isteri tadi dengan suami yang kedua itu. Tetapi anak-anak dari
perkawinan yang pertama mempunyai hak sebagai ahli waris dari harta bersama perkawinan kedua. Demikian pula sebaliknya jika isteri yang meninggal, maka harta
bersama yang mereka peroleh terpisah dari harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinannya dengan iteri kedua tersebut.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Demikianlah kira-kira luas dan batas-batas yang disebut lembaga harta bersama dalam suatu perkawinan baik ditinjau secara teoritis maupun kenyataan-
kenyataan praktek hukum. Tentu hal ini bukan dimaksudkan sudah demikian limitatifnya sama sekali tidak. Sebab perhubungan dari kejadian konkreto akan
memungkinkan kwantitas yang tidak dapat kita batasi secara limitatif. Karena setiap mobilitas sosial juga akan mempengaruhi elastisiet ukuran-ukuran rules of luzing
dalam masyarakat, sehingga perhubungan masyarakat pada saat tetentumemaksa ukuran-ukuran dan pengertian mengalami dan menyesuaikan diri dengan elastisitas
keadaan tersebut.
71
Dalam Pasal 36 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan, bahwa : Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.” Dari bunyi ketentuan di atas maka jelas bahwa :
1. Suami dapat bertindak atas harta bersama setelah ada persetujuan isteri.
2. Isteri dapat bertindak atas harta bersama setelah mendapat persetujuan suami.
Dengan demikian, pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama.
Berlainan halnya dengan prinsip yang diatur dalam hukum perdata KUH Perdata. Menurut Pasal 124 ayat 1 KUH Perdata ditentukan bahwa harta bersama berada
dibawah urusan suami. Malah dalam Pasal 124 ayat 2 KUH Perdata terebut dinyatakan bahwa si suami dapat menguasai, mengasingkan menggunakan barang
71
J. Satrio, Op.Cit, hal.29
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
harta bersama tanpa persetujuan dan campur tangan isteri, kecuali sebelumnya ada perjanjian kawin Huwelijke voorwaarden sesuai dengan paal 140 ayat 3 KUH
Perdata. Dari bunyi Pasal 36 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana
diuraikan di atas, maka dapatdilihat fungsi dan kegunaan harta bersama. Harta bersama itu dapat dipergunakan untuk kepentingan keluarga. Tetapi dalam
penggunaannya boleh dilakukan oleh salah satu pihak dengan syarat adanya persetujuan dari pihak lain, yaitu dalam hal :
1. Baik dipergunakan untuk kepentingan kebutuhan dan perbelanjaan rumah tangga.
Tentu inilah pertama kegunaan dari harta bersama. Akan tetapi dalam hal ini menurut pendapat penulis, maksud Pasal tersebut tidaklah begitu kaku
penafsirannya, artinya tidaklah persetujuan kedua belah pihak dalam menggunakan harta berama, merupakan kewajiban mutlak dalam segala hal.
72
Sebab kalau setiap penggunaan harta bersama ini mesti diartikan selamanya harus ada persetujuan bersama, hal ini jelas akan membawa malapetaka bagi kehidupan
rumah tangga, dan mekanisme kehidupan rumah tangga akan macet dengan sendirinya. Oleh sebab itu dalam perbelanjaan yang menyangkut penggunaan
sehari-hari adalah isteri patut bertindak tanpa persetujuan suami atau sebaliknya jika hendak belanja rokok, suami tidak perlu mendapat persetujuan isteri,
sehingga ukuran obyektif dalam hal ini, jika tindakan itu sepanjang yang menyangkut keperluan sehari-hari yang sifatnya rutin, masing-masing pihak
72
Ibid, hal.30
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
bebas tanpa persetujuan salah satu pihak. Menurut penulis dapat diperluas sekedar menyangkut kepentingan rumah tangga yang berifat rutin serta kepentingannya
suami isteri dengan kondisi-kondisi kebudayaan masyarakat sekarang dalam batas-batas status sosial ekonomi keluarga yang dimungkinkan oleh besarnya
harta bersama tersebut, tidaklah merupakan kewajiban adanya persetujuan yang mutlak dari masing-masing pihak. Sebab itu hubungan ketentuan Pasal 36 ayat 1
UU Nomor 1 Tahun 1974 ini pada pihak ketiga tidak membawa akibat hukum sekalipun tidak ada persetujuan pihak suami atau isteri, jika penggunaan harta
bersama itu merupakan perbelanjaan yang lazim dalam kehidupan sehari-hari beli baju, sepatu, dan lain-lain. Kecuali misalnya membeli barang-barang
kemewahan yang cukup tinggi harganya dan sudah di luar kepentingan yang masih tergolong paa keperluan sehari-hari barulah ketentuan Pasal 36 ayat 1 UU
Nomor 1 Tahun 1974 itu harus dipenuhi, artinya harus ada persetujuan darikedua belah pihak. Jadi ketentuan tentang persetujuan itu harus difahamkan sedemikian
rupa sepanjang tindakan-tindakan yang menyangkut kepentingan-kepentingan sehari-hari yang tidak melampaui batas-batas kemampuan sosial ekonomi
keluarga itu sendiri sehingga mekanisme rumah tangga tidak terhambat kelancarannya sebagaimana suatu kehidupan rumah tangga normal.
2. Harta bersama dapat diperuntukkan untuk membayar hutang suami atau iteri, jika
hutang itu sebab yang lahir untuk kepentingan keluarga. Akan tetapi kalau hutang-hutang pribadi yang timbul sebelum perkawinan sudah jelas harta
bersama tidak dapat bertanggung jawab membayar hutang tersebut, harus
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
pembayarannya diambil dari harta pribadi yang berhutang itu sendiri. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Jadi hutang pribadi
sebelum perkawinan adalah hutang yang terlepas dari hutang harta bersama yang pemenuhan pembayarannya diambil dari harta pribadi, kecuali pihak lain suami
isteri setuju pembayarannya dari harta bersama. Jika harta pribadi suami tidak cukup membayar hutangnya, maka untuk kepastian yang memberi jaminan
hukum pada kehidupan keluarga agar jangan setiap kebocoran dan kecerobohan salah satu pihak harus dilimpahkan pada harta bersama yang akan membawa
kesengsaraan pada kehidupan keluarga dan sebaliknya memberi peringatan kepada pihak ketiga supaya jangan dengan mudah saja tanpa memikirkan resiko
begitu bebas memberi hutang pinjaman tanpa batas kepada seseorang tanpa perhitungan yang cermat sampai dimana batas kemampuan kekayaan pribadi yang
bersangkutan. Adanya hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta
bersama ini dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik adalah sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam lingkungan kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana hal ini ditegaskan dengan jelas dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Dengan demikian jelaslah, bahwa suami dan isteri sama-sama berhak untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak
secara timbal balik. Syarat persetujuan kedua belah pihak, hendaknya dipahami sedemikian rupa
dengan luwes, dimana tidaklah dalam segala hal mengenai pnggunaan atau pemakaian hartabersama ini diperlukan adanya persetujuan kedua belah pihak secara
formil atau secara tegas.
73
Dalam beberapa hal tertentu persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada, sebagai persetujuan yang diam-diam. Misalnya dalam
hal ini mempergunakan atau memakai harta bersama untuk keperluan hidup sehari- hari sebagaimana diuraikan di atas, ini adalah untuk menghindari kekakuan suami
isteri dalam pergaulan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat. Persoalannya adalah, dalam hal apa dan apakah penggunaan atau pemakaian
harta bersama itu diharuskan adanya persetujuan kedua belah pihak atau sebaliknya, dalam hal apa dan bagaimana penggunaan atau pemakaian harta bersama itu
dianggap telah ada persetujuan kedua belah pihak,sebagaimana persetujuan diam- diam. Persoalan tersebut adalah persoalan yang harus dilihat secara kasuitis, yakni
dengan melihat pada keadaan sosial ekonomi serta tata hidup dan kehidupan suami iteri yang bersangkutan dan tata hidup dan kehidupan masyarakat dimana suami
isteri itu berada bertempat kediaman.
73
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.38
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
D. Akibat Perceraian Terhadap Harta Bersama
Persoalan harta bersama setelah terjadinya pemutusan hubungan perkawinan adalah merupakan masalah yang sangat penting untuk dijamin sebab menyangkut
kehidupan khususnya bagi pihak iteri setelah berpisah dari suami sebelum ataupun tidak sama sekali isteri untuk melakukan perkawinan selanjutnya. Hal ini dapat
dilihat dari Yuisprudensi Mahkamah Agung tanggal 9 Oktober 1968 No. 89 KSip1969 yang menyebutkan bahwa selama seorang janda tidak kawin lagi dan
selama hidupnya harta bersama yang dipegang olehnya tidak dapat dibagikan guna menjamin penghidupannya. Hal yang menjadi pertimbangan adalah bahwa
masyarakat Indnesia yang menjunjung tinggi adanya persamaan hak atau yang lebih dikenal dengan emansipasi wanita adalah telah sesuai.
Mengenai pembagian harta bersama sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan
bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya maing-masing. Menurut penjelasan resmi Pasal itu dapat diketahui
bahwa yang dimakud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
Memperhatikan Pasal 37 dan penjelaan resmi atas Pasal terebut tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila
terjadi perceraian. Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara
pembagian, undang-undang menyerahkannya kepada “hukum yang hidup” dalam
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
lingkungan masyarakat dimana perceraian dan rumah tangga berada. Kalau kita kembali kepada Penjelaan Pasal 37 tersebut, maka Undang-Undang memberi jalan
pembagian : 1.
Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian.
2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat jika hukum tersebut
merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan atau :
3. Hukum lain-lainnya
Jika pada Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 pembuat undang- undang telah berani dengan tegas meletakkan dasar hukum lembaga harta bersama
dalam perkawinan, sebagaimana lembaga hukum yang seragam untuk semua ikatan perkawinan di negara Republik Indonesia., tetapi yang menyangkut pemecahan
pembagian atas lembaga itu pembuat undang-undang tidak meletakkan cara pengaturan hukum yang seragam dalam pemecahannya apabila terjadi perceraian.
Barangkali dalam pemecahannya apabila terjadi perceraian sekurang-kurangnya pembuat undang-undang masih ragu-ragu tentang hukum apa yang benar-benar
hidup dalam soal perceraian dan pembagian harta kekayaan. Sebenarnya kalau tejadi keraguan dalam soal ini kita rasa keraguan dalam cara pemecahannya tentu juga
dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam meletakkan lembaga harta bersama itu pun pembuat undang-undang kalau begitu masih ragu-ragu.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Keraguan dalam menetapkan ketentuan hukum dalam harta bersama apabila terjadi perceraian akan banyak membawa kesulitan di dalam menyelesaikan
perselisihan dan dari segi kejiwaan. Hal ini akan membawa efek yang kurang baik ditinjau dari segi sosial psiklogi baik bagi pihak-pihak yang berperkara maupun bagi
lingkungan masyarakat sekitarnya. Ambil misalnya contoh antara suami isteri terjadi perceraian. Keduanya beragama Islam hingga perceraiannya pun dilakukan di
Pengadilan Agama. Tiba persoalan mengenai harta perkawinan, suami bilang yang berlaku adalah hukum Islam, sebab itu harus diputuskan oleh Pengadilan Agama. Si
isteri lain pula pendiriannya dan memajukan gugatan pembagian tersebut kepada Pengadilan Negeri. Memang benar bahwa mengenai pembagian harta bersama yang
diperoleh selama perkawinan tidak ada disebut dalam PP Nomor 45 Tahun 1975, sehingga yang berwenang untuk mengadili perselisihan dan pembagian perkara yang
menyangkut harta bersama adalah pengadilan umum. Tetapi dengan penjelasan Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut yang dinyatakan harta bersama dan
hukum lain-lainnya. Dari penjelasan ini bukankah misalnya bagi mereka yang beragama Islam berhak membawa persoalan itu kepada Pengadilan Agama,
sekalipun PP Nomor 9 Tahun 1975 tidak menyebut hukum agama in casu Agama Islam. Dengan demikian seseorang tidak melanggar kompetensi absolut jika
seseorang meminta pembagian harta bersama dalam perkawinan dibawa ke Pengadilan Agama. Sebab dengan menyatakan hukum agama yang mengatur
persengketaan sesuatu tentu lebih kompetenlah Pengadilan Agama yang akan menyelesaikannya, sehingga tidak berlaanan dengan PP Nomor 45 Tahun 1975.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Dengan demikian jika dalam persoalan ini pembuat Undang-Undang telah berani melembagakan harta perkawinan dengan ketentuan hukum positif, maka
secara logikanya pun harus juga ditentukan hukum positif yang seragam atau spesifik secara diferensiasi.
74
Misalnya ditentukan dengan perceraian harta bersama dibagi dua antara suami isteri.
Penegasan semacam ini akan menghilangkan perbedaan penafsiran yang menjauhkan tujuan hukum ini demi keseragaman. Ataupun jelas ditentukan secara
diferensiasi, misalnya bagi yang beragama Islam pembagian harta bersama karena perceraian diatur menurut hukum Islam. Akan tetapi barangkali dalam pikiran
pembuat Undang-Undang mengenai hal ini merasa dan berpendapat lebih baik tidak ditentukan satu aturan pemecahan positif dengan maksud diserahkan saja kepada
kehendak dan kesadaran masyarakat, dan hakimlah nanti yang akan mencari dan menemukan kesadaran hukum masyarakat untuk dituangkan sebagai hukum
obyektif. Atau pembuat undang-undang berpikir tidak usaha ditentukan one way
traffic sebagai satu saluran secara positif, sebab berdasar kenyataan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, tentang hal ini masih menuju perkembangan
bentuk yang lebih serasi sebagai akibat meluasnya interaksi antara segala unsur kesadaran yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia.
75
Namun terlepas dari masalah di atas jika melihat pada keputusan-keputusan Pengadilan tentang
74
Ibid, hal.77
75
Ibid, hal.78
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian, pada dasarnya sudah menuju trend yang terarah ke satu jurusan kaidah yang dipergunakan sebagai hukum
obyektif yang berbunyi : dengan tejadinya perceraian antara suami isteri, harta bersama yang diperoleh selama pekawinan harus dibagi dua bersama antara suami
isteri. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa putusan Pengadilan dalam
prakteknya, seperti pertimbangan pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 30 Desember 1971 No.3891971 sesuai dengan kesadaran perkembangan hukum
Indonesia dipandang adil, bahwa harta bersama harta bersama, yang harus dibagi dua diantara suami dan isteri apabila terjadi perceraian dibenarkan oleh Mahkamah
Agung tanggal 23–5-1973, No.31 KSip1972. Demikian juga putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi tanggal 2 Juli 1973
No.1291972 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tebing Tinggi tanggal 2 Juli 1973 No.3851973 dengan tegas menyatakan bahwa dengan adanya perceraian harta
bersama harus dibagi dua diantara suami dan isteri. Demikian juga putusan Pengadilan Negeri Tasik Malaya tanggal 27 Maret 1968 No.441967, Pengadilan
Tinggi Bandung tanggal 3 Desember 1970 No.1981969 memutuskan bahwa barang campuran kaya antara suami isteriharus dibagi dua karena bercerai. Begitupun
keputuan Pengadilan Negeri Tegal tanggal 16 Maret 1972 No.271971 dan putusan Pengadilan Negeri Waingapu, memutuskan : barang guna kaya dibagi dua antara
suami dan isteri apabila terjadi perceraian.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Dari keputusan-keputusan di atas jelas dapat dilihat arah yang ditempuh oleh Pengadilan sebagai salah satu lembaga pencipta hukum dalam kehidupan sesuatu
bangsa, yaitu menuju pembagian yang sama bagi dua antara suami dan isteri tentang harta bersama apabila terjadi perceraian.
Akan tetapi jika bertanya, apakah kaidah yang diambil peradilan-peradilan itu benar-benar merupakan hukum obyektif yang hidup dalam seluruh kalangan
masyarakat bangsa, mungkin masih merupakan image yang belum diuji kebenarannya dengan kesadaran masyarakat sebab pada satu segi, yurisprudensi
tersebut lebih banyak berorientasi pada literatur yang ditulis oleh sarjana-sarjana Belanda berdasar pendapat dan penyelidikan yang dilakukan pada abad ke-19 yang
lewat, dan belum ada penyelidikan yang seksama secara ilmiah dilakukan pada maa akhir-akhir ini.
Mungkin tidak seluruhnya rumusan kaedah itu benar-benar merupakan hukum obyektif yang hidup dalam penghayatan kesadaran hukum masyarakat
bangsa secara utuh. Ketidak tegasan aturan tentang peraturan pembagian harta bersama maka
khususnya bagi umat Islam telah dikeluarkan ketentuan hukum yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam.
76
Dalam konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret No. 07KMA1985 No. 25
Tahun 1985 tentang Penunjukkan Pelaksanaan Proyek Pembagian Hukum Islam
76
Abdul Manan, Op.Cit, hal.82
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
melalui Yurisprudensi atau yang lebih dikenal dengan proyek KHI, dikemukakan ada 2 dua pertimbangan yaitu :
1. Bahwa sesuai dengan fungsi peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
terhadap jalannya pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi
Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama 2.
Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para pejabat Mahkamah Agung
dan Departemen Agama Republik Indonesia. Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa langkah awal dari usaha
untuk mewujudkan dari Kompilasi Hukum Islam ditandai dengan adanya kerjasama antara Badan Peradilan lewat Mahkamah Agung dengan Lembaga Eksekutif melalui
Departemen Agama. Abdur Rahman: menyatakan Kompilasi Hukum Islamini sebagai
keberhasilan umat Islam Indonesia pada pemerintahan orde baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai
pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini
diharapkan tidak akan terjadi kesimpang siuran keputusan dalam lembaga- lembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh
masalah fiqh akan dapat diakhiri.
77
77
Abdur Rahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Jakarta : Akademika Presindo, 1992, hal.20.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang harga bersama sebagaimana tertuang dalam Bab XIII, Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 yaitu sebagai berikut :
Pasal 85 : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan
adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86 : 3
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
4 Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87 : 3
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin.
4 Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya. Pasal-pasal yang disebutkan di atas merupakan pokok-pokok hukum harta
bersama. Masing-masing pasal berkaitan satu sama lain. Berikut ini, penulis akan mendeskripsikan tafsir pasal-pasal dimaksud dalam kerangka penjelasan makna
aturan hukum harta bersama. Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya mempertegas bahwa
eksistensi harta bersama bukan berarti menafikan eksistensi harta pribadi harta bersama suami dan isteri. Hal ini menyebabkan adanya percampuran harta bawaan
suami dan isteri. Masing-masing pihak, suami atau isteri berhak untuk menguasai harta bawaan mereka masing-masing secara penuh.
78
Selanjutnya Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam lebih memperjelas bahwa harta bawaan dimaksud dapat
78
Ibid, hal.22
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
bersumber dari warisan atau hibah. Keberadaannya di bawah pengawasan masing- masing, kecuali ada perjanjian tertentu antara suami dan isteri.
Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu
diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam mempertegas proses penyelesaian
perselisihan harta bersama apabila terjadi perselisihan. Proses awal yang dilakukan adalah mengajukan permasalahan yang ada ke Pengadilan Agama. Penyelesaian
sengketa harta bersama di Pengadilan Agama ditempuh dengan mengajukan gugatan. Gugatan harta bersama selain diajukan secara terpisah, juga dapat digabung
dengan gugatan perceraian kumulasi objektif. Secara praktis dan rasional dapat diselesaikan bersamaan dengan cara mendudukan gugat pembagian harta bersama
sebagai gugat assessor terhadap gugatan perceraian.
79
Jika gugat perceraian ditolak, otomatis gugat pembagian harta bersama dinyatakan tidak dapat diterima niet
onvantkeliek verhlaard. Namun jika gugat cerai dikabulkan, terbuka kemungkinan pula mengabulkan pembagian harta bersama sepanjang barng-barang yang diajukan
dalam gugatan dapat dibuktikan sebagai harta bersama. Hal ini diatur dalam Pasal 86 ayat 1 dan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 sebagaimana
79
M. Yahya Harahap, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 19931994, hal.293
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
diubah dengan UU No. 3 Tahun2006. Sistem penggabungan adalah demi terciptanya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
80
Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam : suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam : isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam bertujuan memberikan penegasan tehadap kewajiban suami untuk bertanggung jawab terhadap harta bersama, demikian juga
halnya terhadap harta isteri maupun hartanya sendiri. Di samping itu, isteri juga mendapatkan amanah untuk membantu suami dalam mempertanggung jawabkan
harta bersama, maupun harta suaminya sendiri. Hal ini merupakan makna eksplisit dari Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam : 1.
Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud.
2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharga. 3.
Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban 4.
Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam merupakan klasifikasi harta bersama kepada dua bentuk, yakni harta berwujud benda tidak bergerak, benda bergerak dan
surat-surat berharga dan benda tidak berwujud hak dan kewajiban. Pada pasal ini ditegaskan pula bahwa harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan
80
Ibid, hal.294
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
terhadap berbagai perjanjian yang dilakukan. Baik suami maupun isteri harus sama- sama mengetahui dan menyetujui keberadaan harta bersama apabila dalam status
sebagai jaminan. Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam :
Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Jika dikaitkan dengan proses perpindahan tangan harta bersama ditegaskan dalam Pasal 92 harus sepengetahuan dan seizin kedua belah pihak.
Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam 1.
Pertanggung jawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggung jawaban hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga,
dibebankan pada harta bersama 3.
Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami 4.
Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Kemudian, satu hal logis berkaitan dengan hutang piutang keluarga dijelaskan pada Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal ini dinyatakan bahwa
baik suami maupun isteri bertanggung jawab atas hutang masing-masing. Selanjutnya apabila hutang dimaksud untuk kepentingan keluarga, maka
penyelesaian dibebankan kepada harta bersama. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami. Bila harta suai tidak ada atau tidak
mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih
dari seorang , masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat 1 dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.
Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa bentuk harta bersama dalam perkawinan poligami, masing-masing terpisah dan tersendiri. Aturan ini
sejalan dengan ketentuan Pasl 65 ayat 1 huruf b dan c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Asas dalam perkawinan poligami adalah terbentuknya beberapa harta
bersama sebanyak isteri yang dikawini suami. Terbentuknya masing-masing harta bersama setiap isteri dihitung sejak tanggal berlangsungnya perkawinan dan masing-
masing harta bersama terpisah dan tersendiri. Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam :
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat 2, suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan sita jaminan atas harta
bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama,
seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.
2. Selama sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan
keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Jika Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam mengatur perihal harta bersama dan
kaitannya dengan perkawinan poligami, Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang sita jaminan terhadap harta bersama tanpa permohonan gugatan cerai yang
dapat dilakukan bila suami atau isteri melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keberadaan harta bersama seperti mabuk, boros dan lain
sebagainya. Di samping itu pula bahwa selama sita jaminan berlaku, penjualan terhadap harta bersama dapat dilakukan bila untuk kepentingan keluarga yang
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
bersangkutan dengan catatan harta berdasarkan izin Pengadilan Agama yang bersangkutan terlebih dahulu.
Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa : 1
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
2 Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau
suaminya mempunyai hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan kedudukan harta bersama apabila salah satu pihak, baik suami maupun isteri meninggal dunia,
demikian juga halnya jika terjadi cerai hidup. Pada Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bila salah seorang diantara suami isteri meninggal dunia, maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan posisi harta bersama bila salah seorang
pasangan suami isteri hilang. Jika ini terjadi, maka harta harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara hakiki atau secara hukum berdasarkan putusan
Pengadilan Agama. Sementara itu Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam lebih khusus menjelaskan posisi harta bersama bila suami atau isteri cerai hidup. Pada pasal ini
ditegaskan bahwa masing-masing pihak berhak mendapat seperdua dari harta bersama, kecuali diatur lain dalam perjanjian perkawinan.
Inilah ketentuan-ketentuan yang menurut M. Yahya Harahap dapat diringkas sebagai berikut :
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
1. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing
a. Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh
pemiliknya suami atau isteri b.
Harta bersama menjadi harta bersama suami isteri terpisah sepenuhnya dari harta pribadi.
2. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan :
a. Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama
b. Tanpa mempersoalkan siapa yang mencari
c. Juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar
3. Tanpa persetujuan bersama : suami atau isteri mengasingkan atau memindahkan
a. Hutang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama
b. Dalam perkawinan serial atau poligami, wujud harta bersama terpisah antara
suami dengan masing-masing isteri. 4.
Apabila perkawinan pecah mati atau cerai : a.
Harta bersama dibagi dua b.
Masing-masing mendapat setengah bagian c.
Apabila terjadi cerai mati bagiannya menjadi tirkah d.
Sita marital atas harta bersama di luar gugat cerai Ketentuan ini perluasan dari Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun
1975. Suami isteri meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabila salah satu pihak boros atau penjudi.
81
Di dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang pembagian harta bersama yaitu surat An Nisa ayat 32 dijelaskan : “Bagi laki-laki mendapat bagian dari apa yang
mereka usahakan dan bagi wanita mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan”.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian terhadap harta bersama berdasarkan nash Al Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam penjelasan di atas dapat diketahui Kompilasi Hukum Islam dijadikan
sebagai hukum positif Pengadilan Agama. Untuk melihat bagaimana eksistensi dari penerapan Kompilasi Hukum Islam di dalam menyelesaikan sengketa harta bersama
maka penulis melakukan wawancara dengan Muh. Arief Musi, Ketua Pengadilan
81
Ibid, hal.183-184
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Agama Klas I A Medan yang menyebutkan bahwa disamping Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung juga diterapkan Kompilasi
Hukum Islam dalam penyelesaian harta bersama. Kompilasi Hukum Islam merupakan hukuman terapan yang lebih tepat diberlakukan di Indonesia dalam
kasus harta bersama, tidak ada alternatif lain. Pada dasarnya hukum adat sama dengan aturan yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam. Menurut beliau,
harta bersama dalam fiqh Islam termasuk dalam kajian syirkah, meskipun tidak dalam konteks munakahat. Materi hukum harta bersama dalam Kompilasi Hukum
Islam sudah dapat dikatakan memenuhi rasa keadilan. Nusyuz tidak menghilangkan hak atas harta bersama. Masing-masing pihak baik suami ataupun isteri berhak
memperoleh bagian separuh.
82
Sependapat dengan Irsan Mukhtar adalah pendapat Hilman Lubis Panitera Pengadilan Agama Klas I A Medan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
menambahkan bahwa hak wanita atas harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam sudah tepat dan adil untuk saat ini. Berkaitan dengan pandangan fiqih Islam
mengenai harta bersama beliau memiliki pandangan yang sama dengan pandangan Muh. Arief Musi.
Selanjutnya wawancara dengan H. Mohd. Hidayat Nasseri, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan mempunyai pandangan yang sama yaitu bahwa
di samping nash Al-Qur’an, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung, beliau menambahkan bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai
82
Wawancara, Irsan Mukhtar, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan Pada Tanggal 2 April 2009
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
hukum terapan dalam kasus harta bersama sudah tepat untuk saat ini dan menambahkan nusyuz tidak menghilangkan harta bersama, sementara suami yang
pengangguran sejak awal sampai akhir pernikahan dalam konteks harta bersama ini harus ada pertimbangan hukum bagi untuk memutuskannya.
83
Wawancara dengan Wildan Areza selaku Pengacara dan Penasehat Hukum, mempunyai pandangan yang sama dengan pendapat Ketua Pengadilan Agama Klas I
A Medan, Panitera, Hakim di atas dan selanjutnya menambahkan bahwa hak wanita atas harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam sudah tepat dan adil,
karena wanita dan isteri memikul beban tanggung jawab yang cukup berat dan tidak ternilai, hanya saja bagi isteri yang nusyuz tidak menghalangi harta bersama.
84
83
Wawancara, H. Mohd. Hidayat Masseri, Hakim Pengadilan Agama Klas I A Medan Pada Tanggal 2 April 2009
84
Wawancara, Wildan Areza, Pengacara dan Penasehat Hukum di Medan Pada Tanggal 5 April 2009
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
BAB III PELAKSANAAN PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA
DI PENGADILAN AGAMA A.
Wilayah Hukum dan Kewenangan Pengadilan Agama Kelas I A Medan
Sebelum agama Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua macam peradilan yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Pandu. “Peradilan Perdata mengurusi
perkara-perkara yang menjadi urusan raja dan Peradilan Pandu mengurusi perkara – perkara yang bukan menjadi urusan raja”.
85
Dengan masuknya Agama Islam ke Indonesia yang pertama kali pada abad pertama Hijriah atau bertepatan pada abad
ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekah dan Madinah yang sekaligus sebagai muballigh, maka dalam praktek sehari-hari
masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber kitab-kitab fight. “Di dalam kitab-kitab fight termuat aturan dan tata cara
ibadah seperti thaharah, shalat, puasa, zakat dan haji serta sistem peradilan yang disebut Qadha”.
86
Karena lembaga qadha seperti yang disebut dalam kitab figh itu belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, maka penyelesaian perkara-perkara antar penduduk yang
beragama Islam dilakukan melalui tahkim, yakni para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara mereka kepada seorang ahli agama baik fiqh, ulama
atau muballigh untuk menyelesaikan dengan ketentuan bahwa kedua pihak yang bersengketa akan mematuhi putusan yang diberikan oleh ahli agama itu. Menurut
85
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad Jakarta : NV. Versuis, 1978, hal. 6
86
Zaini Ahmad Nuh, Sejarah Peradilan Agama, Laporan Hasil Simposium, Jakarta : Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan, 1983, hal. 26.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
74
biasanya perkara yang diputus oleh lembaga tahkim ini adalah perkara non pidana. Pada beberapa tempat tahkim ini melembaga sebagai peradilan syara’. “Periode
tahkim ini dapat diduga sebagai awal perkembangan peradilan agama di Indonesia”.
87
Secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia Jawa dan
Madura pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu Keputusan Raja Belanda konninklijk Besluit yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882
Nomor 24 yang dimuat dalam Staatblad 1882 No. 153. “Badan Peradilan ini bernama Presterraden yang kemudian lazim disebut dengan Rapat Agama atau Raad Agama
dan terakir dengan Peradilan Agama”.
88
Pengadilan Agama Klas I A Medan yang terletak di Jalan Sisingamangaraja Km 8,7 No. 18 Medan yang secara geografis terletak antara 98
Bujur Timur dan 34 Lintang Utara, didirikan pada tahun 1957 berdasarkan Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia No. 58 Tahun 1957 dengan sebutan pada waktu itu Mahkamah Syariah.
89
Pada tahun 1980 kemudian terbit Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang Penyeragaman nama
menjadi Pengadilan Agama.
90
Wilayah hukum Pengadilan Agama Klas I A Medan
87
Ibid. hal.27
88
Ibid, hal.28
89
Samsuhari Irsyad, dkk, Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya Jakarta : Ditbinbaperais Departemen Agama RI, 1999,
ha.27
90
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hal.77
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
adalah kota Medan yang terdiri dari 21 Kecamatan, 151 Kelurahan dan rata-rata perkara pertahun kurang lebih 750.
Kantor balai sidang Pengadilan Agama Klas I A Medan diresmikan penggunaannya pada tanggal 10 Juli 1978 oleh Direktur Pembinaan Badan
Pengadilan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia yang dibangun berdasarkan DIP Departemen Agama Republik Indonesia pada tanggal 26 Pebruari
1977 No. 62XXV277.
91
Kewenangan Pengadilan Agama Klas I A Medan, tidak terlepas dari sejarah panjang pembentukan dan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Lembaga
Peradilan Agama sebagai lembaga hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri
telah melaksanakan hukum Islam dan melembagakan sistem peradilannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh sistem pemerintahan di wilayah
kekuasaannya. Dari kenyataan inilai di kalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C Van den Berg berkembang pendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang
Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka yakni Hukum Islam. Teori ini dikenal dengan teori reception in complexu, kemudian dikukuhkan oleh peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75,78 dan 109 Rechreglement RR 1854, Staatblad 1855 Nomor 2. Dengan lahirnya Staatblad 1937 Nomor 116,
maka kewenangan kompetensi Peradilan Agama menjadi terbatas dan lebih sempit,
91
Tim Penyusun, Yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama, Jakarta :Ditbinbaperais, 1984, hal.45.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
wewenang Peradilan Agama hanya berkenaan dengan bidang perkawinan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2a ayat 1 sebagai berikut “Pengadilan Agama
hanya berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan hukum antara seorang suami istri yang beragama Islam, tentang perkara-perkara lain tentang nikah, talak
dan rujuk serta soal-soal perceraian lain yang harus diputus oleh Hakim Agama, menyatakan perceraian dan menetapkan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah
berlaku, dengan pengertian bahwa dalam perkara-perkara tersebut hal-hal mengenai tuntutan pembayaran atau penyerahan harta benda adalah menjadi wewenang
pengadilan biasa, kecuali dalam perkara mahar mas kawin dan pembayaran nafkah wajib bagi suami kepada istri yang sepenuhnya menjadi wewenang Pengadilan
Agama”. Berdasarkan pasal tersebut wewenang Peradilan Agama adalah : 1 Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, 2 Perkara-Perkara tentang
nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan Hakim Agama Islam, 3 Memberikan putusan perceraian,
4 Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan taklik talak sudah ada, 5 Perkara mahar mas kawin dan termasuk mut’ah, 6 Perkara tentang
keperluan kehidupan suami istri yang wajib diadakan oleh suami. Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, yang
mengatur kewenangan Pengadilan Agama diluar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan, maka peraturan ini menghapus peraturan yang beragam yang menjadi dasar
hukum Pengadilan Agama di luar Jawa Madura, sehingga yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama diluar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan adalah : nikah,
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
thalaq, ruju’ fasakh, nafaqah, mas kawin mahar, tempat kediaman maskan, mut’ah, hadhanah, perkara waris-malwaris, wakaf, hibah, shadaqah dan baitulmal.
Kemudian diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Terakhir
diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2006.
Secara tegas kewenangan Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 : Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang :
1. Perkawinan
2. Waris
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Infaq
8. Shadaqah
9. Ekonomi syariah.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
Apabila dirinci dari ketentuan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut, wewenang Pengadilan Agama meliputi :
1. Bidang Perkawinan
Bidang perkawinan telah dirinci dalam penjelasan Pasal 49 huruf a Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan
bidang perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah, antara lain:
a. Izin beristri lebih dari seorang
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21dua puluh
satu tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
c. Dispensasi kawin
d. Pencegahan perkawinan
e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah
f. Pembatalan perkawinan
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri
h. Perceraian karena talak
i. Gugatan perceraian
j. Penyelesaian harta bersama
k. Penguasaan anak-anak
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya m.
Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
n. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
p. Pencabutan kekuasaan wali
q. Penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang
wall dicabut r.
Penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 delapan belas tahun yang ditinggal kedua orang tuanya
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya t.
Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran v.
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain.
Sugih Ayu Pratitis : Resolution Of The Jointly Owned Property In The Case Of Divorce At The State Religious Court Class IA Medan, 2009
USU Repository © 2008
2. Bidang Kewarisan
Yang dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli
waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris Kewarisan adalah hukum yang mengatur perpindahan hak pemilikan harta
peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing. Bidang ini diatur secara rinci di dalam
Kompilasi Hukum Islam, Buku II, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193.
3. Wasiat