Interpretasi Makna Peribahasa Bahasa Jepang Yang Terbentuk Dari Kata Hana

(1)

INTERPRETASI MAKNA PERIBAHASA BAHASA JEPANG

YANG TERBENTUK DARI KATA HANA

HANA NO KOTOBA KARA DEKITA KOTOWAZA NO

IMI NO KAISHAKU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

VOLGA RUSNIKO

NIM: 080722005

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

INTERPRETASI MAKNA PERIBAHASA BAHASA JEPANG

YANG TERBENTUK DARI KATA HANA

HANA NO KOTOBA KARA DEKITA KOTOWAZA NO

IMI NO KAISHAKU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana

dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs.Yuddi Adrian Muliadi. MA Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D

NIP.19600827 199103 1 001 NIP: 19580704 1985120 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk

melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra

Jepang

Pada

:

Tanggal

:

Pukul

:

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan

Prof. Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D

NIP.196509091994031004

Panitia Ujian

No. Nama

Tanda Tangan

1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D

(

)

2. Drs. Yuddi Adrian Muliadi. MA

(

)


(4)

Disetujui oleh:

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Departeman Sastra Jepang

Ketua Departemen Sastra Jepang,

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S,Ph.D

NIP: 19580704 1985120 1 001


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Interpretasi Makna Peribahasa Bahasa Jepang” ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena kemampuan penulis yang masih terbatas. Tetapi, berkat bantuan dari berbagai pihak, maka penulis berhasil menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dukungan terutama kepada :

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D selaku Ketua Jurusan Ekstensi

Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Yuddi Adrian Muliadi, M.A selaku Dosen Pembimbing

4. Ibu Rani Arfianty, S.S selaku Dosen Wali

5. Seluruh staf pengajar Jurusan Ekstensi Sastra Jepang Fakultas Sastra


(6)

6. Teristimewa kepada keluarga tercinta: Ayahanda Salkoni, Ibunda Rusdeyti, adinda Vriske dan Trissa

7. Teman-temanku seperjuangan di Ekstensi yang pintar-pintar (khususnya

om puput ma tante..^^v), burikko ku sang oma juli, kakak narsis aka kak desi, kk melankolis aka kak mila, renita, eka sayang, temen seperjuangan rombungku tercinta, morin-kun, kak melati, kak hanum, bang Irwan yang setia mengantar jemput.. hehehe.. angga, makasih semuanya dan makasih bantuan-bantuannya. Semoga kompak selalu. I have a great time with all of u.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam Tugas Akhir ini sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata, kembali penulis ucapkan terima kasih. Semoga Tugas Akhir ini dapat berguna bagi kita semua di kemudian hari.

Medan, April 2010 Penulis,

VOLGA RUSNIKO 080722005


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

Bab I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2.Perumusan Masalah………. 3

1.3.Ruang Lingkup Pembahasan……… 3

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………. 4

1.4.1. Tinjauan Pustaka……….. .4

1.4.2. Kerangka Teori………. 5

1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 8

1.5.1. Tujuan Penelitian………. 8

1.5.2. Manfaat Penelitian………... 8

1.6.Metode Penelitian………. 9

BabII PENGKLASIFIKASIAN PERIBAHASA INDONESIA DAN


(8)

2.1. Definisi Peribahasa……….. 10

2.1.1. Definisi Peribahasa Indonesia………. 10

2.1.2. Definisi Peribahasa Jepang………..……..…. 10

2.2. Pengklasifikasian Peribahasa………..……. 11

2.2.1. Klasifikasi Peribahasa Jepang………. 11

2.2.2. Klasifikasi Peribahasa Indonesia………..…… 17

2.3. Penjelasan Tentang Hana……….. 21

2.4. Peribahasa Jepang yang Terbentuk dari kata Hana………..…. 24

Bab III INTERPRETASI PERIBAHASA JEPANG YANG TERBENTUK DARI KATA HANA 1. Iwanu ga Hana……… … 28

2. Kirei Hana ni wa Toge ga Aru………. 30

3. Rakka Eda ni Kaerazu……….... 31

4. Hana ni Arashi………... 32

5. Hana yori Dango………... 34

6. Tonari no Hana wa Akai……… 35


(9)

8. Hanashi ni Hana ga Saku………38

9. Hana o Sakaseru……….. 38

10. Shinibana o Sakasu……….. 39

11. Ryoute ni Hana………. 40

12. Hana wa Sakuragi Hito wa Bushi……….... 42

13. Hana mo Mi mo Aru………..……… 43

14. Hana Ookereba, Misukunashi……… . 44

Bab IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan………. 46

4.2. Saran……….. . 46 DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I PENDAHULUAN

.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia, sebab bahasa adalah simbol yang mencerminkan jiwa dan keberadaan jiwa dan manusia dalam masyarakat.

Menurut Poerwadarminta (1983:5), bahasa adalah alat yang digunakan seseorang untuk melahirkan pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan dalam perasaan. Ia berfungsi sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat sebagai pemakai bahasa, sehingga saling menginformasikan gagasan dan perasaannya dari informasi tersebut.

Gorys Keraf (1980:16) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi, suara yang dihasilkan oleh alat ucap Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan seseorang atau lebih berupa lambang bunyi, suara untuk menyampaikan informasi sehingga menginformasikan gagasan dan perasaannya.


(11)

penyebarannya juga dilakukan secara lisan oleh masyarakat jaman dahulu untuk menyampaikan suatu pesan.

Harimurti Kridalaksana (1993:169) mengatakan bahwa pribahasa adalah “Kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun menurun, digunakan untuk menguatkan maksud karangan, pemberi nasehat, pengajaran atau pedoman hidup”.

Peribahasa-peribahasa di setiap negara sangat banyak, baik itu dari Indonesia maupun dari Jepang dan peribahasa diciptakan dari banyak unsur, baik itu dari manusia, hewan / binatang, benda-benda, tumbuhan, dan lain-lain. Dari sekian banyak unsur-unsur tersebut, penulis mencoba mengambil unsur tumbuhan. Dan dari sekian banyak tumbuhan yang dapat dijadikan

peribahasa,penulis akan mengambil bunga ( hana ) untuk dijadikan bahan

skripsi. Penulis merasa tertarik untuk meneliti peribahasa Jepang yang

terbentuk dari kata hana terutama dalam hal persamaan makna dengan

peribahasa Indonesia.

Memahami suatu peribahasa ( kotowaza ) tidaklah mudah, selain banyak makna kiasan, perbedaan budaya juga merupakan faktor yang membuat adanya perbedaan unsur peribahasa tersebut, meskipun maksud atau makna dari


(12)

peribahasa tersebut sama. Misalnya dalam buku Daisoo Poketto Jiten Series 5 :

- きれい花には棘がある。

Kirei hana ni wa toge ga aru.

Peribahasa ini mempunyai makna :

“Sesuatu yang sangat baguspun memiliki kekurangan” Makna peribahasa di atas sama seperti peribahasa Indonesia berikut:

- Mawar yang cantikpun ada durinya

Pada contoh peribahasa di atas, baik dari peribahasa Indonesia maupun Jepang, keduanya memakai unsur yang sama yaitu tumbuhan ( bunga ) sebagai unsur utamanya. Bunga umumnya dilambangkan sebagai sesuatu yang indah dan cantik.

Melihat hal ini, penulis merasa tertarik mempelajari peribahasa yang terdapat unsur bunga dan menyamakannya dengan peribahasa Indonesia. Apakah semua peribahasa yang menggunakan kata hana (bunga) di Jepang juga sama halnya dengan peribahasa di Indonesia. Sehingga penulis terdorong untuk membuat skripsi yang berjudul : “ Interpretasi Makna Peribahasa Bahasa Jepang yang Terbentuk dari Kata Hana ”


(13)

.2. Perumusan Masalah

Peribahasa merupakan salah satu aspek budaya Jepang. Karena jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari, maka peribahasa Jepang sulit dipahami oleh orang asing. Selain itu juga, terdapat banyak peribahasa yang menggunakan

kata hana dan memiliki makna yang berbeda-beda dan apakah jika

diinterpretasikan ke dalam peribahasa Indonesia maka tetap memakai kata bunga atau yang lain.

Melihat latar belakang dan penjelasan diatas, maka penulis mencoba merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana makna yang dimiliki oleh peribahasa Jepang yang

terbentuk dari kata Hana ?

2. Sejauh mana pemakaian kata Hana dalam peribahasa Jepang?

3. Seperti apa pemakaian peribahasa bahasa Jepang yang memakai kata

Hana dalam peribahasa Indonesia?

.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Mengingat peribahasa Jepang yang menggunakan kata Hana ada sekitar 35 peribahasa, maka penulis akan membatasinya menjadi 14 peribahasa Jepang


(14)

yang terbentuk dari kata Hana karena jika penulis membahas ke-35 peribahasa tersebut, maka ruang lingkup pembahasannya terlalu luas, ke 14 peribahasa tersebut adalah :

1. Iwanu ga hana

2. Kirei hana ni wa toge ga aru

3. Rakka eda ni kaerazu

4. Hana ni arashi

5. Hana yori dango

6. Tonari no hana wa akai

7. Takane no hana

8. Hanashi ni hana ga saku

9. Hana wo sakaseru

10. Shinibana o sakasu

11. Ryoute ni hana

12. Hana wa sakuragi hito wa bushi

13. Hana mo mi mo aru


(15)

Untuk melengkapi pembahasannya, maka dalam penulisan akan didukung dengan pendapat beberapa para ahli dan contoh penggunaan peribahasa Jepang dan peribahasa Indonesia tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat efektif antar manusia yang dipergunakan dalam berbagai macam situasi. Bahasa dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan pembicara kepada pendengar atau penulis kepada pembaca ( Sugihastuti, 2000 : 8 ).

Harimurti Kridalaksana ( 1993 : 169 ) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan peribahasa adalah Kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun temurun, digunakan untuk menguatkan maksud karangan, pemberi nasehat, pengajaran/pedoman hidup.

Menurut Ishida Shooichiroo dalam Dharmayanty ( 1999 : 9 ) :

“Kotowaza wa seikatsu suru no ni sankoo ni naru mijikai kotoba“


(16)

kehidupan).

Begitu pula menurut Akiyama Ken dalam Dharmayanty ( 1999 : 9 ) : “Kotowaza wa oshie ya imashime nado imi o motta mijikai bun“

( Peribahasa adalah kalimat pendek yang mengandung arti nasehat, peringatan dan lain sebagainya).

Sedangkan menurut Kunimatsu Shooichi dalam Dharmayanty ( 1999 : 10 ) : “Kotowaza wa furuku kara hito bito ni ii nara wa sareta kotoba, kyookun, fuushi,nado no imi o fukumi, jinsei no shinjitsu o ugatsu mono ga ooi”

( Peribahasa adalah kalimat yang disebarluaskan melalui adapt kebiasaan oleh masyarakat sejak lama, isinya banyak mengandung pengajaran, sindiran, kebenaran dalam kehidupan manusia dan lain sebagainya).

Hayashi Shinobu juga mengungkapkan pernyataan yang sama tentang peribahasa Jepang :

“Kotowaza wa hito bito no seikatsu no chie kara umarete kita. Kyookun ya hihan o fukumu mijikai kotoba”

(Peribahasa adalah kalimat pendek yang lahir dari pemikiran kehidupan masyarakat, mengandung isi kritikan, pengajaran dan lain sebagainya).


(17)

Kotowaza atau Peribahasa adalah kalimat pendek yang mengandung nasehat, kritik, peringatan, sindiran, ajaran, kebenaran dan lain sebagainya dalam kehidupan manusia yang disebarluaskan melalui adat kebiasaan masyarakat setempat.

1.4.2.Kerangka Teori

Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotik. Kata

semiotik sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Semion yang berarti tanda.

Semiotik adalah cabang ilmu yang berhubungan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda ( Van Zoest, 1993 : 1 ).

Luxemberg (1992:46) menjelaskan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem lambang dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial ataupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.

Menurut Pradopo ( 2001:7 ) semiotik adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konveksi-konveksi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut punya arti.


(18)

Van Zoest (1996:5) juga mengungkapkan bahwa semiotika adalah studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, baik itu cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Beberapa pakar pernah mengatakan bahwa “ Dalam telaah bahasa, seperti halnya dalam telaah sistem lainnya, tidak ada istilah atau terminologi yang netral : setiap istilah teknis merupakan pengekspresian asumsi-asumsi atas perkiraan-perkiraan teoritis dar para pemakainya (Tarigan, 1986:110).

Semiotika sebagai ilmu yang mempelajari lambang-lambang sangat berhubungan erat dengan hal yang dijadikan lambang. Di kehidupan sehari-hari, lambang digunakan dalam berkomunikasi. Lambang yang sudah umum dikenal di seluruh dunia dan telah mendapat kesepakatan semua orang adalah lambang-lambang lalu lintas. Tapi ada juga lambang-lambang di beberapa Negara yang menggunakan hewan atau tumbuhan untuk menggambarkan sesuatu. Misal, singa atau beruang yang melambangkan orang yang kuat, ular sebagai orang yang licik, kuda sebagai orang yang bijak, bunga untuk melambangkan sesuatu yang indah, dan lain sebagainya.


(19)

1985:156). Di dalam peribahasa terkandung bukan hanya makna kamus, tetapi juga makna majasi, bukan saja arti kata-kata yang sebenarnya tetapi juga arti kiasan, yang merupakan garapan semantik dan juga pengajaran semantik (Henry Guntur Tarigan, 1984:7).

Semiotik mencakup tiga bidang, yaitu :

a. Sintaksis, yang menelaah tentang hubungan-hubungan formal antara

tanda-tanda yang satu dengan yang lain.

b. Semantik, menelaah hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang

merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut.

c. Pragmatik, menelaah tentang hubungan tanda-tanda dengan para

penafsiran atau interpretor.

Dari ketiga bidang di atas, peribahasa masuk ke dalam bidang semantik. Dalam semantik, digunakan berbagai macam jenis makna. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotasi apabila kata itu memiliki nilai rasa, baik itu positif maupun negatif (Chaer, 1995:65). Di dalam sebuah peribahasa, terkandung bukan hanya makna kamus, tetapi juga makna majas, bukan hanya arti sebenarnya, tetapi juga makna kiasan yang merupakan bagian dari semantik.


(20)

ke teori Hayashi Shinobu tentang peribahasa, yakni : “ Kotowaza wa hitobito no seikatsu ni chie kara umarete kita, kyookun ya hihan o fukumu mijikai kotoba” “ Peribahasa adalah kalimat pendek yang lahir dari pemikiran kehidupan masyarakat, mengandung isi, kritikan, pengajaran dan lain sebagainya”. Penulis juga menggunakan pendekatan makna idiomatik. Idiom juga merupakan pengembangan segi petanda (makna atau isi dari suatu benda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya menggunakan teori tanda. Oleh karena itu penulis akan menggunakan teori semiotik, semantik dan idiomatik dalam menyelesaikan penelitian ini.

1.5. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna yang dimiliki oleh peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata Hana.

2. Untuk mengetahui pemakaian kata Hana dalam peribahasa bahasa

Jepang.


(21)

peribahasa Jepang yang memakai kata Hana.

1.5.2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis sendiri adalah sebagai sarana untuk memperdalam pengetahuan dan wawasan mengenai makna peribahasa Jepang yang menggunakan kata Hana.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan mahasiswa sastra dan bahasa Jepang pada khususnya mengenai makna dari peribahasa yang terbentuk dari kata Hana.

3. Diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin membahas tentang interpretasi makna peribahasa yang menggunakan atau terbantuk dari kata Hana.

1.6. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif yaitu metode yang membicarakan kemungkinan untuk memecahkan masalah yang

actual dengan cara mengumpulkan data, menganalisa, dan


(22)

Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menghimpun data dari berbagai literature, baik dari buku-buku yang berhubungan dengan peribahasa Jepang secara langsung maupun buku-buku lain yang membahas masalah tentang makna peribahasa Jepang yang menggunakan kata Hana.

Pengumpulan data didapat dari perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Sastra, situs-situs Internet dan Konsulat Jepang.


(23)

PENGKLASIFIKASIAN PERIBAHASA INDONESIA DAN PERIBAHASA JEPANG

2.1. Definisi Peribahasa

2.1.1. Definisi Peribahasa Indonesia

Beberapa macam pengertian peribahasa :

• “ Peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun

temurun, digunakan untuk menguatkan maksud karangan, pemberi nasehat, pengajaran atau pedoman hidup” (Harimurti Kridalaksana, 1993:169).

• “ Peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap

susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu” (Poerwadarminta, 1976:738)

• “ Peribahasa adalah kalimat ringkas yang berisi perbandingan, nasehat,

prinsip hidup dan tingkah laku” ( Lukman Ali, 1995:755 )

2.1.2. Definisi Peribahasa Jepang


(24)

ialah :

• Menurut Hayashi Shinobu dalam Dharmayanti (1999:10), mengatakan

bahwa:

“ Kotowaza wa hitobito no seikatsu ni chie kara umarete kita, kyookun ya hihan o fukumu mijikai kotoba”

“ Peribahasa adalah kalimat pendek yang lahir dari pemikiran kehidupan masyarakat, mengandung isi, kritikan, pengajaran dan lain sebagainya”.

• Kindaichi Haruhiko dalam Dharmayanti (1999:10) mengatakan bahwa :

“ Kotowaza wa seken ni hiroku iinasawasarete kita kotoba de, kyookun ya fuushi nado o fukunda chiku”

“ Peribahasa adalah kalimat yang disebarluaskan melalui adat kebiasaan dalam masyarakat yng isinya mengandung pengajaran, sindiran, dan lain sebagainya”.

• Kunimatsu Shooichi dalam Dharmayanti (1999:10) mengatakan bahwa :

“ Kotowaza wa furuku kara hito bito ni iinarawasareta kotoba, kyookun, fuushi nado no imi o fukumi, jinsei no shinjitsu o ugatsu mono ga ooi” “ Peribahasa adalah kalimat yang disebarluaskan melalui adat kebiasaan oleh masyarakat sejak lama, isinya banyak mengandung pengajaran,


(25)

sindiran, kebenaran dalam kehidupan manusia dan lain sebagainya”

• Akiyama Ken dalam Dharmayanti (1999:9) mengatakan bahwa :

“ Kotowaza wa oshie ya imashime nado imi o motta mijikai bun “

“ Peribahasa adalah kalimat pendek yang mengandung arti nasehat, peringatan dan lain sebagainya”

• Sedangkan Shooichiro dalam Dharmayanti (1999:10) mengatakan bahwa :

“ Kotowaza wa seikatsu suru no ni sankoo ni naru mijikai kotoba” “ Peribahasa adalah kalimat pendek yang berguna dalam kehidupan”

2.2. Pengklasifikasian Peribahasa

2.2.1. Klasifikasi Peribahasa Jepang

Morikuni Honami menjelaskan bahwa peribahasa Jepang digolongkan berdasarkan Naiyou (isi), yaitu :

a. Jinsei no oshie ya shinri o arawashita ( Menunjukkan kebenaran dan

ajaran kehidupan manusia ) Contoh :

- Jinji o tsukushite tenmei o matsu


(26)

( Kalau sudah melakukan sesuatu serahkanlah hasilnya kepada Tuhan)

- Tabi wa michizure yo wa nasake

“Se no naka o ikite iku ni wa, tagaini omoiyari no kokoro o motsu koto ga taisetsu da to iu koto”

( Bagi orang yang hidup di dunia ini mempunyai perasaan simpati antara satu dengan yang lain adalah hal yang sangat penting )

b. Seikatsu no cishiki ya chie o tataite wataru (Menunjukkan pemikiran

dan pengetahuan tentang kehidupan ) Contoh :

- Ishi hashi o tataite wataru

“Hijouni youjinbukai to iu koto” ( Sangat hati-hati )

- Gei wa mi o tasukeru

“ Narai oboeta gei ga, seikatsu ni yakudatta to iu koto”

( Keahlian yang tanpa sengaja teringat karena seringnya latihan, sangat berguna dalam kehidupan )

c. Hito o hihan shitari hinikuttari shita mono ( Isinya menyindir atau


(27)

Contoh :

- Udo no taiboku

“Karada bakari ookikute, yaku ni tatanai koto” ( Badannya saja yang besar tapi tidak ada gunanya )

- Namakemono no sekku hataraki

“Fudan, namakete iru hito wa, hoka no hito ga yasunde iru toki, hataranakereba naranaku naru mono de aru”

( Biasanya orang yang malas harus bekerja pada saat orang lain libur )

d. Monogoto no yoosu o omoshiroku tatoeta mono ( Perumpamaan atau

kiasan yang menarik tentang keadaan suatu hal ) Contoh :

- Donguri no sei kurabe

“Dore mo onaji youni heibon de, tokubetsu ni nukideta mono ga naku, amari kawaranai to iu tatoe”

( Perumpamaan yang menyatakan bahwa yang manapun sama saja, tidak ada bedanya, tidak ada yang istimewa )

- Hana yori dango


(28)

houga ii to iu koto”

( Rasanya lebih baik makan buah yang sudah matang daripada menikmati pemandangan indah )

Sedangkan Hirayama Teruo menjelaskan bahwa peribahasa Jepang

digolongkan berdasarkan Bunkei (bentuk kalimat) dan Hyougen (cara

pengungkapan), yaitu :

• Berdasarkan Bunkei ( bentuk kalimat ) :

a. ( nani wa dou ) no jojutsu keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk

deskripsi ‘nani wa doo’ ) Contoh :

- Kaeru no ko wa kaeru

“ Heibonna hito no ko wa, yahari heibon da to iu tatoe”

( Anak orang biasa biasanya disebut juga sebagai orang biasa )

- Oya ni niku ko wa oniko

“ Ko wa kanarazu oya ni niru mono de, moshi nitenakereba ningen no ko dewanaku, oni no ko da to iu koto “

( Seorang anak pasti mirip orangtuanya sehingga bila ada anak yang tidak mirip, dia disebut anak setan )


(29)

b. ( nani seyo ) no meirei keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk perintah ‘nani seyo’ )

Contoh :

- Zen wa isoge

“ Yoi koto ga ki ga kawattari jama ga haittarishinai uchi ni hayaku shita houga yoi koto”

( Hal yang baik akan lebih baik bila segera dilakukan, selama tidak mengganggu atau membuatnya jadi berubah pikiran )

- Nana tabi sagashite hito o utagae

“ Mono ga miataranai toki wa tannin ni nusumareta node wa nai ka to utagau mae ni, jibun de nando demo nen o irete agasu koto, karugarushiku hito o utagatte wa ikenai to iu imi “.

( Pada saat kita kehilangan barang, sebelum kita mencurigai orang yang mengambilnya, kita harus mencarinya berulang-ulang dengan teliti, jangan mencurigai orang dengan sembarangan).

c. ( nani sureba nani ) no jouken keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk pengandaian bersyarat ‘nani sureba nani’ )


(30)

- Uwasa o sureba kage ga sasu

“ Kage de hito no uwasa o suru to,sono hito ga guuzen ni kuru to iu koto” ( Kalau menggosipkan orang secara diam-diam, maka orang yang digosipkan akan muncul secara tiba-tiba )

- Mateba kanro no hiyori

“ Yukkuri akiramezuni matte ireba kanarazu chansu ga yatte kuru to iu koto”

( Bila menunggu tanpa rasa putus asa, kesempatan itu pasti akan datang )

d. ( nani to nani ) no heiretsu keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk menderetkan ‘nani to nani’ )

Contoh :

- Tsuki to suppon

“ Futatsu no mono ga mitame wa nite iru ga, nakami wa kake hanarete ite, hidoku chigatte iru koto no tatoe”.

( Dua barang yang kelihatannya sama ternyata berbeda di dalamnya, suatu perbedaan yang sangat jauh )


(31)

e. ( nani yori nani ) no hikaku keishiki o toru mono ( Mengambil bentuk perbandingan ‘nani yori nani’ )

Contoh :

- Kame no koo yori toshi no koo.

“ Nechousha no nagai aida no keiken wa totemo tootoi mono da to iu koto”

( Pengalaman hidup orang yang usianya jauh lebih tua ternyata sangat berharga ).

- Iroke yori kuike.

“ Sukina hito no koto o omou yori, sukina mono o houga saki da to iu koto”

( Lebih mengutamakan makan makanan yang disukai daripada melamunkan orang yang disukai )

• Berdasarkan Hyougen (cara pengungkapan) :

a. Gaisu denaku, gutai tekina sushi o mochi iru ( Menggunakan kata

bilangan konkrit, bukan hanya angka perkiraan ) Contoh :


(32)

“ Juu nin yoreba juu nin kao chigau youni, kangaetakata ya seishitsu ga chigau koto”

( Bila ada sepuluh orang yang berbeda bentuk mukanya, maka akan ada sepuluh cara pikir dan karakter yang berbeda pula )

- Momokuri san nen kaki hachi nen

” Nani goto no mono ni naru made ni wa, sorenari no jikan ga hitsuyou ti iu koto “

( Sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat, waktu yang masih ada itu merupakan sesuatu hal yang penting )

b. Kochouhou ( Cara menyatakan yang berlebihan )

Contoh :

- Suzume hayaku made odori wasurenu

“ Chiisai toki ni, mi ni tsuketa koto wa, toshi o totemo wasurenai mono da to iu koto “

( Hal yang melekat di diri pada masa kecil, merupakan hal yang tidak dapat dilupakan meskipun sudah tua )

- Abata mo ekubo


(33)

( Bila mata yang berpihak pada cinta, maka hal yang jelekpun terlihat bagus )

c. Taihihou ( Perbandingan yang kontras ) Contoh :

- Awasemono wa hanaremono

“ Ningen no nikutai wa chisuikafuu ga gattai shite dekita mono de aru kara, mata moto no shiso ni kangen suru koto “

( Karena jasmani manusia terbuat dari kombinasi tanah, air, api dan udara, maka tubuh dapat mereduksi/memecahkan keempat bahan dasar tersebut )

- Rongo yomo no rongo shirazu

“ Hon o yonde, bunshoo toshite wa wakatte ite mo jikko ga dekinai koto no tatoe “

( Meskipun baca buku dan mengerti setiap kalimatnya, tetapi dalam pelaksanaannya tetap tidak bisa )

d. Shouryakuhou (osoroshii mono wa) ( Cara penyingkatan hal-hal yang

mengerikan / menakutkan ) Contoh :


(34)

- Jishin, kaminari, kaji, oyaji

“ Kowai mono no junjo o itta mono “

( Adanya urutan tentang hal-hal yang mengerikan )

2.2.2. Klasifikasi Peribahasa Indonesia

Sejak dari zaman nenek moyang, bangsa Indonesia sering menggunakan

peribahasa dalam percakapan sehari-hari. Pengertian peribahasa itu sendiri

menurut Kosasih ( 2004:21) adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan suatu maksud tertentu.

Dewasa ini banyak orang yang tidak mengetahui lagi arti sebuah peribahasa, padahal peribahasa adalah kekayaan bahasa kita yang perlu kita pelihara baik-baik. Memang ada peribahasa yang sudah menghilang, yang sudah tidak dijumpai lagi dalam percakapan sehari-hari, tetapi masih banyak pula yang bertahan (Zakaria & Syofyan, 1984:7 )

Peribahasa menurut Kosasih terbagi tiga, yaitu pepatah, perumpamaan dan idiom. Berbeda dengan Soedjito, yang membagi peribahasa menjadi empat yaitu pepatah, perumpamaan, ungkapan (idiom), dan pemeo.


(35)

Pepatah adalah jenis peribahasa yang mengandung nasehat atau ajaran (E Kosasih 2004:22). Poerwadarminta mengungkapkan bahwa Pepatah adalah sejenis peribahasa yang berasal dari orang-orang tua,biasanya mengandung nasehat.

Contoh :

- Datang tampak muka, pulang tampak punggung

( Datang dengan baik, pergipun dengan baik pula )

- Sepala-pala mandi biar bersih

( Mengerjakan sesuatu hendaknya sempurna, jangan setengah-setengah)

- Pagar makan tanaman

( Yang berkewajiban memelihara malah merusaknya )

- Ikut hati mati, ikut rasa binasa

( Barang siapa menurutkan hawa nafsu, tentu akan hancur )

b. Perumpamaan

Perumpamaan adalah peribahasa yang berupa perbandingan. Ciri utamanya adalah adanya kata bagai, laksana, seperti, bak, seumpama, umpama, dan lain sebagainya (E. Kosasih 2004:22)


(36)

Contoh :

- Bagai air di daun alas

( Orang yang tidak tetap pendiriannya )

- Laksana bunga mendapat bunga

( Orang yang tidak dapat menghargai sesuatu yang patut dihargai )

- Seperti kejatuhan bulan

( Mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangaka )

- Bagai membekali budak lari

( Merugi dua kali)

- Bak pohon bambu ditiup angina

( Baik tingkah lakunya, teguh pendiriannya, tidak mudah terpengaruh )

- Umpama memerah nyiur, santan diambil, ampas di buang

( Jangan segala kelakuan orang atau perkataan orang ditiru begitu saja, hendaklah dipilih mana yang patut ditiru mana yang tidak )

c. Idiom

Idiom adalah ungkapan bahasa berupa gabungan kata (frase) yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat di tafsirkan makna unsur yang


(37)

membentuknya ( Soedjito, 1992:41 ).

Idiom terbuat dari berbagai macam unsur. Misal :

a. Idiom dengan unsur warna

Contoh : Darah biru Keturunan bangsawan

Masih hijau Belum berpengalaman

Merah padam Marah, murka

Lapangan hijau Lapangan sepak bola

b. Idiom dengan unsur tumbuhan

Contoh : Naik daun Terkenal

Sebatang kara Hidup sendiri

Batang air Sungai

Bunga desa Gadis tercantik di desa

c. Idiom dengan unsur bilangan

Contoh : Mendua hati Ragu-ragu, selingkuh

Setengah hati Tidak sungguh-sungguh

Berbadan dua Hamil, mengandung

Setengah masak Belum matang/ belum sempurna


(38)

Contoh : Kambing hitam Orang yang dipersalahkan

Buaya darat Orang yang gemar perempuan

Tenaga badak Kuat sekali

Kepala udang Bodoh

Cinta monyet Cinta saat masih anak-anak

e. Idiom dengan unsur alam

Contoh : Kabar angin Gosip, desas-desus

Dibumihanguskan Dihancurkan

Angin baik Harapan baik

Diberi angin Diberi harapan

f. Idiom dengan unsur bagian tubuh

Contoh : Kulit badak Tidak tahu malu

Bertekuk lutut Kalah dan menyerah

Tutup mulut Diam, Bungkam

Panjang tangan Pencuri

g. Idiom dengan unsur indera

Contoh : Pengalaman pahit Pengalaman yang menyedihkan


(39)

Menadah matahari Melawan orang yang berkuasa

Makan tanah Miskin sekali

d. Pemeo

Pemeo adalah sejenis peribahasa yang di jadikan semboyan (Soedjito, 1992:41).

Contoh :

- Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Seia sekata, senasib sepenanggungan

- Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit

Ilmu atau harta yang dikumpulkan sedikit demi sedikit pada akhirnya akan menjadi banyak juga.

- Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan

gading.

Orang yang baik budi dan baik pula tingkah lakunya, meskipun telah mati namanya akan tetap akan dikenang selalu.

2.3. Penjelasan Tentang Hana


(40)

unsur, salah satunya adalah dari unsur tumbuhan. Dari sekian banyak tumbuhan yang ada, penulis memfokuskan pembahasan peribahasa pada unsur bunga atau hana. Karena pembahasan peribahasa ini hanya meneliti tentang

peribahasa yang terbuat dari kata hana, maka penulis akan mencoba

menjelaskan beberapa pengertian tentang hana.

Poerwadarminta (1983:165) menjelaskan bahwa bunga adalah bagian tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan sedap baunya.

Hamzah dan Nanda (1996:69) mengungkapkan bahwa bunga adalah bagian tumbuhan yang menempel pada ranting dan merupakan bakal buah yang warnanya elok berwarna-warni dan mengeluarkan aroma.

Secara universal, bunga umumnya dilambangkan sebagai perlambang keindahan, dan cinta kasih. Sejak kecil, di kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar, para guru sudah banyak mengajarkan betapa indahnya bunga yang mampu mengungkapkan berbagai perasaan. Misalnya di Indonesia, anak-anak sudah biasa mendengar syair tentang bunga. Misal:

Lihat kebunku penuh dengan bunga Ada yang merah dan ada yang putih Setiap hari kusiram semua


(41)

pembuatan lagu, puisi, bahkan peribahasa. Bahkan bunga bisa dijadikan media batin secara universal. Seperti ketika menyambut tamu, menghibur orang sakit, ucapan selamat bagi yang mendapat keberuntungan seperti kelahiran anak, ulang tahun, kenaikan jabatan, bahkan bunga juga dapat menyampaikan bela sungkawa, keprihatinan bahkan kesetiakawanan, dan hal ini berlaku di seantero dunia.

Bunga bisa tampil dalam sekuntum, rangkaian, sepot, segerombol, sekehendak penggunanya dan sesuai pula dengan suasana yang ingin dicapai pemilik atau penggunanya. Bunga bisa beradaptasi dengan alam. Ia bisa tampil di sela bebatuan, menempel di kayu lapuk, di arang sekam, potongan pakis, hidup di daun kering dan ranting kayu usang, di atas-atas pohon, di terik matahari, di teras-teras rumah bahkan di ruang tamu.

Bunga hadir dengan kreasi dan inovasi tangan manusia yang menjadikan aneka warna dan tekstur daun, tangkai daun, serat daun yang bermacam rupa. Manusia mengawinsilangkan berbagai macam bunga sehingga memunculkan rupa baru.

Di Jepang, bunga banyak digunakan dalam kegiatan ikebana ( atau biasa disebut juga kadou / jalan bunga ). Di Indonesia lebih dikenal sebagai seni


(42)

merangkai bunga. Ikebana memanfaatkan berbagai macam bunga, rumput-rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya. Asal-usul ikebana adalah tradisi mempersembahkan bunga di kuil Buddha di Jepang. Ikebana berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Buddha di Jepang di abad ke-6. Di Jepang, ada sekitar 2000-3000 sekolah ikebana.

Di dalam ikebana, terdapat berbagai macam aliran yang masing-masing mempunyai cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga. Aliran tertentu mengharuskan orang melihat rangkaian bunga tepat dari bagian depan, sedangkan aliran lain mengharuskan orang melihat rangkaian bunga yang berbentuk tiga dimensi sebagai benda dua dimensi saja. Aliran yang paling besar adalah ikenobo yang sudah memiliki jutaan murid.

Pada umumnya, bunga yang dirangkai dengan teknik merangkai dari barat (flower arrangement) terlihat sama indahnya dari berbagai sudut pandang secara tiga dimensi dan tidak perlu harus dilihat dari bagian depan.

Selain ikebana, jika berbicara tentang bunga jepang, maka bunga Jepang identik dengan sakura. Sakura adalah bunga nasional Jepang. Bagi orang Jepang sakura adalah bunganya bunga. Orang Jepang tidak hanya menyukai bunga sakura karena buah merahnya yang lezat, tetapi juga karena ketika mekar,


(43)

semua pohon dipenuhi oleh bunga berwarna pink atau putih. Sakura-yu, sebuah teh herbal yang menggunakan daun bunga sakura, juga dihidangkan pada saat pernikahan dan perayaan-perayaan lainnya. Tetapi, bunga sakura juga tidak hanya menampilkan sisi baik saja, ada juga sisi buruk yang diilhami dari bunga sakura.

Pada jaman samurai dulu, tidak ada cara kematian yang terhormat kecuali dengan cara mati di medan perang seperti kehancuran sakura. Dalam kabuki, bunga sakura menjadi pertanda monster yang mengamuk atau bencana yang berada di ambang pintu. Pada saat mekar, bunga sakura hanya bertahan selama tujuh hari dan sakura sangat mudah gugur jika tertiup angin yang kencang, jika dilihat sekilas seperti melambangkan kecantikan yang sifatnya sementara.

2.4. Peribahasa Jepang yang Terbentuk dari Kata Hana

Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, peribahasa di bentuk dari berbagai macam unsur, salah satunya adalah tanaman. Tanaman yang dijadikan peribahasa dapat berupa bunga, rumput, kayu, dahan, pohon, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak jenis tanaman yang dapat di buat peribahasa,


(44)

penulis memilih bunga atau hana sebagai unsur utama peribahasa Jepang dalam penelitian ini.

Setelah penulis membaca beberapa referensi, maka penulis menemukan setidaknya ada sekitar 35 peribahasa yang terdapat unsur bunga di dalamnya. Dari ke-35 peribahasa tersebut penulis hanya membahas 14 peribahasa saja. Berikut penjelasan singkat mengenai makna dari ke 14 peribahasa tersebut :

1. Iwanu ga hana ( tidak berbicara adalah bunga)

口に出してはつきりというより、言わないほうが趣があてよいということ。 “Kuchi ni dashite wa tsukiri to iu yori, iwanai houga omomuki ga ate yoi to iu koto”.

‘Ada sesuatu hal atau maksud yang sebaiknya tidak dikatakan daripada keluar jelas dari mulut’.

2. Kirei hana ni wa toge ga aru (di bunga yg cantik ada duri)

この世界でかんせいものはない。 “Kono sekai de, kansei mono wa nai” ‘Tidak ada yang sempurna di dunia ini’

3. Rakka eda ni kaerazu (bunga yang jatuh tidak kembali ke ranting/cabang)

いったんこわれた男女の仲は、もう二度と、もとに戻ることはないというたと

え地に散り落ちた花はもとの枝に返ることはできないし破(わ)れた鏡は再び

物をはやすことができないの意から。

“Ittan kowareta danjo no naka wa, mou ni do to, moto ni modoru to wa nai to iu tatoe tsuchi ni chiri ochita hana wa moto no eda ni kaeru koto wa


(45)

no i kara”.

Ada saatnya pria dan wanita bertengkar/pisah, walaupun sudah dicoba untuk kedua kalinya, tetap tidak dapat kembali (disatukan kembali) seperti bunga yang sudah jatuh ke tanah tidak akan dapat kembali ke dahan, sama juga seperti tidak dapat memakai lagi cermin yang sudah pecah’.

4. Hana ni arashi ( kumpulan awan di bulan,badai di bunga)

よい事にはとかく障害がはいりやすいものだと言うこと。

“Yoi koto ni wa tokaku shougai ga hairi yasui mono da to iu koto”.

‘Halangan/ rintangan cenderung akan muncul/mengikuti walau di saat terindah sekalipun’.

5. Hana yori dango (lebih baik kue daripada bunga)

花の美しさに心満たされるより、実を取って腹が満たされる方がいい、という

こと。外見より内容だということ。

“Hana no utsukushisa ni kokoro mitasareru yori, jitsu o totte onaka/hara ga mitasareru hou ga ii,to iu koto. Gaiken yori naiyou da to iu koto”.

‘Sebenarnya, lebih baik mengisi perut daripada mengisi hati (menentramkan hati) dengan melihat bunga yang cantik. Isi lebih baik daripada penampilan luar’.

6. Tonari no hana wa akai (bunga di sebelah lebih merah)

他人の物は自分の物より何でもよく見えて、うらやましく思えることと言う。 “Tannin no mono wa jibun no mono yori nan demo yoku miete, urayamashiku omoeru koto to iu”.

‘Berpikir iri karena selalu melihat barang orang lain lebih bagus dari punyanya sendiri’.


(46)

高嶺に咲いた花は、どれほど望んでもみるだけで手にいれることのできないこ

とのたとえ。

“Takane ni saita hana wa, dore hodo nozonde mo miru dake de te ni ireru koto no dekinai koto no tatoe”.

‘Bagai bunga yang mekar dipuncak yang tinggi, orang yang melihat cita-cita yang sangat tinggi tapi tidak dapat diraih’

8. Hanashi ni hana ga saku ( untuk berdiskusi/berbicara bunga mekar)

咲かんに議論すること。 “Sakan ni giron suru koto”. Berdiskusi dengan semangat

9. Hana wo sakaseru (bunga mekar/berbunga)

事業にせいこうする。 ”Jigyou ni seikou suru”. Mendapat kesuksesan

10. Shinibana o sakasu (bunga mati tidak akan mekar)

立派に死ぬことによって、死んだあとほめたたえられること。死によって生前

にもましたえいようを得ることをいう。

“Rippani shinu koto ni yotte, shinda ato hometataerareru koto. Shini yotte seizen ni mo mashita eiyou wo eru koto o iu”.

‘Menurut orang Jepang, cara mati yang mengesankan adalah setelah meninggal ia mendapat pujian. Menurut kematian, memperoleh kehormatan selama masa hidup.’


(47)

が二人の美しい女性をひとり占めすることのたとえ。

“Utsukushii mono ya subarashii mono o futatsu douji ni te ni ireru koto. Toku ni, hitori no dansei ga futari no utsukushii josei o hitori shimesuru koto no tatoe”.

‘Sesuatu yang cantik dan menakjubkan di dapat dalam waktu yang bersamaan. Khususnya, seorang laki-laki yang mendapat dua wanita cantik’.

12. Hana wa sakuragi hito wa bushi ( bunga adalah sakura, orang adalah bushi/samurai)

花の中では桜、人では武士が最高だということ。その散りぎわの潔さをほめた

言葉。

“Hana no naka dewa sakura, hito dewa bushi ga saikou da to iu koto. Sono chiri giwa no isagayosa o hometa kotoba”.

‘Bunganya bunga adalah sakura, masyarakat yang tingkatnya paling tinggi adalah bushi. Keguguran/ kejatuhan oleh kemurnian, merupakan suatu pujian’.

13. Hana mo mi mo aru ( Bunga ada buahpun ada )

外見が美しいだけでなく、内容も充実していること。

”Gaiken ga utsukushii dake de naku, naiyou mo juujitsushite iru koto”. ‘Tidak hanya penampilan luarnya saja yang cantik, tetapi juga penuh dengan isi’.

14. Hana ookereba, misukunashi (banyak bunga, sedikit buah)

花の多い木には、実があまりならないということ。またみかけのよい人には真

実が少ないということ。

“Hana no ooi ki ni wa, jitsu ga amari naranai to iu koto. Mata mikake no yoi hito ni wa shinjitsu ga sukunai to iu koto”.


(48)

orang yang tampak dari luar terlihat baik belum tentu benar’.

BAB III

INTERPRETASI PERIBAHASA JEPANG YANG TERBENTUK DARI KATA HANA

Peribahasa yang menggunakan kata hana dalam kotowaza memiliki banyak makna. Setelah penulis menganalisa referensi yang ada pada Bab II, maka penulis akan mencoba menguraikan arti peribahasa jepang yang terbentuk dari

kata hana serta makna peribahasa tersebut jika dilihat dari peribahasa

Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Peribahasa Indonesia yang menjadi padanan dari peribahasa Jepang yang

menggunakan kata hana, tidak selalu padanan peribahasanya menggunakan

kata hana juga, melainkan memakai unsur lain yang berupa tanaman juga

ataupun benda-benda lain yang mempunyai arti hampir sama dengan peribahasa tersebut.

Berikut ini penulis akan menginterpretasikan ke 14 peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata hana yang ada padanannya dengan peribahasa


(49)

Indonesia.

3.1. Iwanu ga hana

Iwanu ga hana Tidak berbicara bunga

Peribahasa Iwanu ga hana ini memiliki arti :

口に出してはつきりというより、言わないほうが趣があてよいということ。

“Kuchi ni dashite wa tsukiri to iu yori, iwanai houga omomuki ga ate yoi to iu koto”, yang memiliki arti ‘Ada sesuatu hal atau maksud yang sebaiknya tidak dikatakan daripada keluar jelas dari mulut’.

Padanan peribahasa Iwanu ga hana dalam peribahasa Indonesia

adalah ‘Diam itu emas’. Peribahasa ini digunakan ketika seseorang

seharusnya berhati-hati dengan apa yang akan diucapkan. Bisa juga bila seseorang tidak yakin bahwa yang dibicarakan itu dibutuhkan oleh lawan bicara, sebaiknya orang tersebut diam saja atau dengan kata lain daripada bicara yang tiada arti, tiada makna, tiada guna dan malah menambah keruh suasana, akan lebih baik kalau diam saja.


(50)

menimbulkan kerugian pada semua pihak.

Orang Jepang menggunakan kata hana karena orang Jepang

menghargai bunga, bunga adalah sesuatu yang indah dan anggun dan bunga dilihat dalam diam tetap menentramkan jiwa yang melihatnya.

Di Indonesia menggunakan kata ‘emas’. Emas adalah barang tambang yang memiliki nilai jual yang tinggi dan biasanya digunakan untuk perhiasan dan pernak-pernik lainnya. Penulis menilai bahwa diam itu sama dengan emas dikarenakan bahwa daripada merusak suasana atau memperkeruh keadaan, lebih baik atau berharga jika diam saja. Masyarakat Indonesia umumnya lebih mementingkan nilai daripada estetika seni atau keindahan. Berbeda dengan orang Jepang, masyarakat Indonesia kurang tertarik dengan keindahan (dalam hal ini adalah bunga), lebih mementingkan harga atau nilai.

Contoh penerapan peribahasa ini di kehidupan sehari-hari adalah ketika keadaan disekitar sedang ada masalah, jika tidak tau apa-apa sebaiknya tidak mengatakan apapun, karena belum tentu apa yang kita bicarakan akan membantu suasana, bisa saja malah semakin memperkeruh suasana. Misalkan, ada kemalingan di sekitar kos-kosan mahasiswa, jika


(51)

kita tidak tahu siapa malingnya dan siapa saja yang keluar masuk dari kamar yang kemalingan, sebaiknya kita tidak asal bicara, karena bisa saja apa yang kita ucapkan malah membuat seseorang tertuduh atau menyebabkan satu sama lain saling tuduh.

3.2. Kirei hana ni wa toge ga aru

Kirei hana ni wa toge ga aru

Cantik bunga duri ada

Peribahasa Jepang Kirei hana ni wa toge ga aru memiliki arti sebagai berikut :

この世界でかんせいものはない。

“Kono sekai de, kansei mono wa nai”, yang artinya ‘Tidak ada yang sempurna di dunia ini’

Padanan peribahasa Kirei hana ni wa toge ga aru dalam peribahasa

Indonesia adalah ‘Bunga yang cantikpun berduri’. Bisa dibilang bunga

adalah bentuk yang sempurna karena bunga adalah tanaman yang cantik, elok warnanya dan harum baunya, namun bunga tersebut memiliki kelemahan, yaitu memiliki duri yang mampu melukai siapa saja yang hendak memegangnya.


(52)

Peribahasa ini mengartikan bahwa sesempurnanya manusia, pasti memiliki kelemahan tersendiri. Tidak ada manusia yang sempurna. Pada peribahasa Indonesiapun memakai kata bunga dalam menyebutkan bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Peribahasa lain yang sepadan dengan kirei hana ni wa toge ga aru adalah ‘Tak ada gading yang tak retak’ . Gading adalah taring panjang yang dimiliki gajah yang terdapat diantara belalai. Gading dipakai gajah untuk berkelahi dan merubuhkan sesuatu. Gading gajah sangat keras, tetapi sekeras-kerasnya gading, gading tersebut akan retak juga, bisa karena perkelahian dengan gajah lain bisa juga karena usia.

Contoh peribahasa ini di kehidupan sehari-hari adalah ketika menemui gadis yang cantik, kaya, berbadan bagus tetapi memiliki tabiat yang kurang bagus, seperti suka keluar malam, merokok dan lain sebagainya. Ada orang yang parasnya rupawan tapi otaknya dangkal, ada orang yang parasnya rupawan dan pintar tapi mempunyai kelainan seksual, misal, homo atau lesbi, dan lain sebagainya.

3.3. Rakka eda ni kaerazu


(53)

Peribahasa Jepang Rakka eda ni kaerazu memiliki arti sebagai berikut :

いったんこわれた男女の仲は、もう二度と、もとに戻ることはないというたと

え地に散り落ちた花はもとの枝に返ることはできないし破(わ)れた鏡は再び

物をはやすことができないの意から。

“Ittan kowareta danjo no naka wa, mou ni do to, moto ni modoru to wa nai to iu tatoe tsuchi ni chiri ochita hana wa moto no eda ni kaeru koto wa dekinaishi yabu(wa)reta kagami wa futatabi mono o hayasu koto ga dekinai no i kara”.

Yang artinya, ‘Ada saatnya pria dan wanita bertengkar/pisah, walaupun sudah dicoba untuk kedua kalinya, tetap tidak dapat kembali (disatukan kembali) seperti bunga yang sudah jatuh ke tanah tidak akan dapat kembali ke dahan, sama juga seperti tidak dapat memakai lagi cermin yang sudah pecah’.

Padanan peribahasa Rakka eda ni kaerazu dalam peribahasa Indonesia adalah ‘Nasi sudah menjadi bubur’. Peribahasa rakka eda ni toge ga aru jika diartikan secara harfiah memiliki makna bunga yang sudah jatuh dari cabang tidak akan dapat kembali (ke cabang). Peribahasa ini mempunyai kesan yang negatif.


(54)

Hal ini menandakan bahwa apa yang sudah terjadi tidak dapat disesalkan lagi. Seperti bunga yang sudah jatuh, tidak mungkin bisa menyatu lagi dengan cabang tempat dia tumbuh walau di lem sekalipun.

Begitupula dengan peribahasa Indonesia ‘nasi sudah menjadi bubur’. Jika sudah menjadi bubur, bagaimanapun caranya bubur tersebut tidak dapat kembali menjadi nasi. Nasib manusia diibaratkan seperti nasi tadi, jika orang tersebut melakukan suatu kejahatan maka kejahatan tersebut akan selalu diingat, walau telah menyesal melakukan perbuatan jahat tersebut tetapi karena sudah terlanjur dilakukan maka harus menanggung semua resikonya karena waktu tidak dapat di putar kembali.

Peribahasa ini dipakai ketika seseorang telah melakukan sesuatu yang buruk. Contoh, ketika seseorang telah membunuh salah seorang anggota keluarga karena dendam pribadi. Ketika setelah selesai membunuh orang tersebut, dia baru menyadari dampak dari pembunuhan tersebut, selain masuk penjara, selalu dihantui rasa bersalah, dia juga telah membuat keluarga orang yang dibunuh terlantar. Rasa penyesalan tidak dapat menghidupkan jiwa seseorang. Contoh lain ialah ketika ujian tiba tetapi siswa tersebut tidak balajar sama sekali sehingga ia gagal dan


(55)

menyesal kenapa dia tidak belajar.

3.4. Hana ni arashi Hana ni arashi Bunga badai

Peribahasa Jepang Hana ni arashi memiliki arti sebagai berikut :

よい事にはとかく障害がはいりやすいものだと言うこと。

“Yoi koto ni hatokaku shougai ga hairi yasui mono da to iu koto” yang

memiliki arti ‘Halangan/ rintangan akan muncul/mengikuti walau di saat terindah sekalipun’.

Padanan peribahasa Hana ni arashi dalam peribahasa Indonesia adalah ‘gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga’. Hana adalah bunga yang umumnya memberikan kesan positif yang melambangkan keindahan dan hal-hal positif lainnya, sedangkan arashi adalah bencana alam berupa badai yang dapat menghancurkan benda-benda disekitarnya dan munculnya di waktu yang tidak disangka-sangka.

Jika diartikan, maka hana ialah saat dimana seseorang sedang mengalami masa terindah di dalam hidupnya, tapi keindahan itu bisa rusak


(56)

(badai).

Begitu juga halnya dengan peribahasa Indonesia ‘Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga’. Nila adalah bahan cat biru yang dibuat dari daun terum. Biasanya dibuat sebagai tinta pena atau bolpoin dan mempunyai sifat racun. Susu adalah minuman berkalsium berwarna putih. Susu mempunyai peranan penting dalam masa pertumbuhan dan memiliki nilai yang baik buat tubuh manusia.

Peribahasa ini memiliki kesan negatif karena jika nila tadi masuk ke dalam susu, maka susu tersebut sudah tidak baik lagi dan warnanya menjadi tidak putih. Susu diibaratkan sebagai hal yang baik dan nila diibaratkan hal yang buruk. Apabila seorang peternak sudah susah payah mendapatkan susu sebelanga, hal itu membuat peternak tersebut gembira, tetapi kegembiraan itu bisa lenyap manakala susu tadi kemasukan atau tertumpah setitik nila.

Salah satu contoh peribahasa ini di dalam kehidupan manusia adalah ketika seseorang baru memiliki anak, mereka sedang berbahagia karena baru menjadi orang tua, tetapi pada saat yang bersamaan, muncul kabar bahwa salah satu dari orang tua mereka meninggal karena kecelakaan.


(57)

Contoh lain, ketika seseorang telah sukses dengan usaha yang ditekuninya, tetapi tiba-tiba saja orang kepercayaannya membawa kabur semua uang miliknya sehingga usahanya bangkrut.

3.5. Hana yori dango Hana yori dango Bunga kue

Peribahasa Jepang hana yori dango memiliki arti sebagai berikut :

花の美しさに心満たされるより、実を取って腹が満たされる方がいい、という

こと。外見より内容だということ。

“Hana no utsukushisa ni kokoro mitasareru yori, jitsu o totte onaka/hara ga mitasareru hou ga ii,to iu koto. Gaiken yori naiyou da to iu koto”, yang memiliki arti ‘Sebenarnya, lebih baik mengisi perut daripada mengisi hati (menentramkan hati) dengan melihat bunga yang cantik. Isi lebih baik daripada penampilan luar’.

Padanan peribahasa Hana yori dango dalam peribahasa Indonesia

adalah ‘Air tenang menghanyutkan’. Dalam peribahasa ini, hana

dilambangkan sebagai bunga sakura dalam perayaan hana-mi. sedangkan dango adalah kue yang terbuat dari ketan putih yang ditumbuk dan dibuat


(58)

bulat-bulat kecil.

Pada perayaan hana-mi, masyarakat Jepang akan datang

berbondong-bondong untuk piknik di bawah pohon sakura yang sudah mekar. Umumnya yang diketahui adalah masyarakat Jepang merayakan

hana-mi adalah untuk melihat bunga sakura yang sedang mekar, tetapi

sebenarnya mereka lebih mengutamakan suasana berkumpul dengan keluarga, rekan sekantor, dan kelompok-kelompok lainnya. Makan kue dan minum-minum sake untuk melepas rasa jenuh, serta melakukan kegiatan lainnya bersama-sama yang jarang mereka lakukan dihari-hari biasa. Bisa disebut lebih mengutamakan rasa kekeluargaannya daripada ingin melihat sakura yang sedang mekar.

Ada peribahasa Jepang lain yang memiliki arti yang sama dengan makna peribahasa bahasa Jepang di atas, yaitu Hana no shita yori hana no shita yang secara harfiah diartikan ‘lebih baik di bawah hidung daripada di bawah bunga’.

Dalam peribahasa Indonesia, ‘air’ diibaratkan sebagai orang dan

‘menghanyutkan’ diibaratkan sebagai ilmu yang tinggi. ‘Air yang tenang’


(59)

banyak bicara. Peribahasa ini merupakan lawan dari peribahasa ‘tong

kosong nyaring bunyinya’ yang bermakna orang yang banyak cakap/

berbicara tapi isi pembicaraan itu tidak ada, atau bisa dibilang juga sebagai orang yang sok pintar.

Orang yang terlihat pendiam bukan berarti dia tidak tahu apa-apa. Bisa saja dia seorang yang pendiam tetapi banyak ilmu, dalam hal ini disebut ‘menghanyutkan’.

3.6. Tonari no hana wa akai Tonari no hana wa akai Sebelah bunga merah

Peribahasa Jepang Tonari no hana wa akai memiliki arti sebagai berikut :

他人の物は自分の物より何でもよく見えて、うらやましく思えることと言う。

“Tannin no mono wa jibun no mono yori nan demo yoku miete, urayamashiku omoeru koto to iu” yang memiliki arti ‘Berpikir iri karena selalu melihat punya orang lain lebih bagus dari punyanya sendiri’.

Padanan peribahasa Tonari no hana wa akai dalam peribahasa Indonesia adalah ‘Rumput tetangga selalu lebih hijau’.


(60)

rumput terletak di halaman rumah, dan bisa dilihat dari luar rumah, apabila melihat ke tetangga sebelah, maka yang pertama terlihat adalah halaman rumah yang berumput, bukan pintu atau bagian dalam rumah.

‘Hijau’ adalah warna pada tumbuhan yang didapat dari klorofil dan yang

menandakan kesegaran tumbuhan terutama rumput. Makin hijau rumput, maka makin subur dan indahlah rumput itu.

Di dalam peribahasa ini, ‘rumput’ diibaratkan benda atau barang,

‘tetangga’ diibaratkan orang lain dan ‘lebih hijau’ diibaratkan sebagai lebih bagus. Peribahasa ini tepat digunakan untuk orang yang selalu melihat bahwa punya orang lain selalu tampak lebih bagus dari punyanya sendiri. Bisa dibilang bahwa orang tersebut tidak menghargai atau bersyukur atas apa yang dia punya.

Misal, seseorang melihat temannya memiliki handphone yang bentuknya lebih bagus dari miliknya, maka ia akan iri dan melihat handphonenya sendiri sebagai barang rongsokan atau barang ketinggalan jaman, padahal belum tentu apa yang terlihat bagus bentuknya memiliki isi yang lebih bagus pula. Bisa jadi aplikasi di handphonenya lebih banyak dan lengkap, tapi karena dia selalu iri maka dia selalu tidak puas dengan apa


(61)

yang dimilikinya. Orang tersebut juga tidak bersyukur, karena banyak juga orang yang tidak punya handphone, bahkan untuk makan saja susah. 3.7. Takane no hana

Takane no hana Puncak tinggi bunga

Peribahasa Jepang Takane no hana memiliki arti sebagai berikut :

高嶺に咲いた花は、どれほど望んでもみるだけで手にいれることのできないこ

とのたとえ。

“Takai ne ni saita hana wa, dore hodo nozonde mo miru dake de te ni ireru koto no dekinai koto no tatoe”, yang memiliki arti ‘Bagai bunga yang mekar dipuncak yang tinggi, orang yang melihat cita-cita yang sangat tinggi tapi tidak dapat diraih’.

Padanan peribahasa Takane no hana dalam peribahasa Indonesia adalah ‘Bagai pungguk merindukan bulan’. Pada peribahasa takane no hana, hana diibaratkan sebagai cita-cita atau sesuatu yang ingin dicapai,

dan takane adalah tempat yang tinggi / puncak yang tinggi. Jadi untuk

mengambil bunga di puncak yang sangat tinggi adalah hal yang mustahil. Selain beresiko jatuh, digigit serangga, dan diterpa angin, dahan yang berada paling puncak juga tidak sanggup mengangkat beban tubuh


(62)

manusia, karena makin tinggi dahan, makin kecil diameter dahan tersebut.

Dalam peribahasa Indonesia, ‘pungguk’ adalah sejenis burung yang

terbang di malam hari, suka hinggap di pohon yang tinggi dan bersuara pada malam hari terutama saat bulan purnama seperti hendak pergi ke bulan tersebut. Seekor burung tidaklah mungkin dapat terbang ke bulan karena jarak yang sangat jauh dan tipisnya udara di sana. Maka ‘pungguk’ tersebut diibaratkan orang dan ‘bulan’ adalah harapan atau cita-cita yang sangat tinggi yang mustahil orang tersebut mendapatkannya.

Banyak peribahasa Indonesia yang memiliki makna sama seperti diatas yaitu menghendaki hal yang sukar bahkan mustahil terjadi, beberapa diantaranya selain ‘bagai pungguk merindukan bulan’ adalah : ‘Bagai memancarkan air ke bukit’, ‘Minta sisik pada limbat’, dan ‘Angan-angan menerawang langit’ .

Contoh peribahasa ini dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika seorang yang bertubuh pendek bermimpi menjadi pramugari, atau seorang tuna wicara ingin menjadi seorang penyanyi.

3.8. Hanashi ni hana ga saku


(63)

Peribahasa Jepang hanashi ni hana ga saku memiliki arti sebagai berikut :

咲かんに議論すること。

“Sakan ni giron suru koto”, yang memiliki arti ‘Berdiskusi dengan semangat’.

Padanan peribahasa Hanashi ni hana ga saku dalam peribahasa Indonesia adalah ‘Beradu lidah’. Peribahasa ini menjelaskan bahwa ketika orang-orang yang sedang berdiskusi dengan semangatnya, maka orang tersebut terlihat bagai bunga yang sedang mekar, orang tersebut berbicara dan berdiskusi dengan semangat dan mengeluarkan semua ide serta unek-unek yang ada di dalam otaknya bagai bunga yang sedang mekar mengeluarkan warna dan harum serta serbuk sarinya.

Peribahasa Indonesia menggunakan kata ‘beradu lidah’ karena

ketika orang-orang yang sedang bersemangat berdiskusi, berarti mereka banyak berbicara dan lidah mereka banyak bergerak. Diskusi tidak dilakukan seorang diri, minimal dilakukan dua orang atau lebih. Diskusi yang bersemangat membuat mereka berbicara panjang lebar dan lidah mereka bergerak terus menerus, seperti sedang beradu.


(64)

Hana o sakaseru Bunga mekar

Peribahasa Jepang hana o sakaseru memiliki arti sebagai berikut :

事業にせいこうする。

”Jigyou ni seikousuru”, yang memiliki arti’Mendapat kesuksesan’.

Padanan peribahasa Hana o sakaseru dalam peribahasa Indonesia adalah ‘sehari selembar benang lama-lama jadi selembar kain’.

Sekuntum bunga, memiliki proses atau tahap-tahap yang harus dilalui sebelum ia mekar sempurna. Mulai dari bibit, kuncup dan lain sebagainya. Hambatan yang dilalui untuk menjadi mekar juga banyak, antara lain pengaruh cuaca, kadar air yang tidak stabil, hama dan serangga, serta lain sebagainya. Dari semua hambatan dan fase-fase yang harus dilalui, jika bunga tersebut dapat mekar sempurna, maka bunga tersebut telah berhasil mencapai target yang diinginkan, memiliki betuk yang indah dan harum. Begitu pula dengan masyarakat Jepang, jika ingin sukses harus melewati rintangan-rintangan yang ada.

Dalam peribahasa Indonesia, ‘selembar benang’ diibaratkan sebagai


(65)

dan untuk memintal benang tersebut harus dilakukan satu persatu dan dilakukan dengan teliti dan hati-hati agar benan-benang tersebut tidak kusut ataupun putus.

Salah satu contoh penerapan peribahasa ini dalam kehidupan sehari-hari ialah seorang wirausahawan yang memulai usahanya dari nol, misal, seorang tukang bakso keliling yang berjualan dari melalui gerobak, lalu meningkat menjadi warung dan berkembang lagi menjadi restoran yang terkenal.

3.10. Shinibana o sakasu Shinibana o sakasu

Bunga mati mekar

Peribahasa Jepang shinibana o sakasu memiliki arti sebagai berikut :

立派に死ぬことによって、死んだあとほめたたえられること。死によって生前

にもましたえいようを得ることをいう。

“Rippani shinu koto ni yotte, shinda ato hometataerareru koto. Shini yotte seizen ni mo mashita eiyou wo eru koto o iu”, yang memiliki arti ‘Menurut orang Jepang, cara mati yang mengesankan adalah setelah meninggal ia mendapat pujian. Menurut kematian, memperoleh kehormatan selama masa hidup.’


(66)

Padanan peribahasa Shinibana o sakasu dalam peribahasa Indonesia adalah ‘Hancur badan di kandung tanah, budi baik dikenang jua’. Penulis berpendapat bahwa peribahasa Jepang tersebut menggunakan kata shinibana atau bunga yang telah mati

Pada peribahasa Indonesia, walau tubuh seseorang tersebut sudah mati dan dikubur di dalam tanah, tetapi karena orang tersebut selalu berbuat baik dan berperilaku sopan, maka orang-orang akan tetap mengenalnya dan mengingatnya karena kebaikannya tersebut.

Contoh dari peribahasa ini adalah para pahlawan bangsa yang gugur. Bisa juga untuk seseorang yang selama hidup ia mudah bersosialisasi, selalu membantu warga yang kesusahan, dan memiliki perilaku santun, sehingga ketika ia meninggalpun, ia tetap di kenang oleh orang-orang disekitarnya. Bahkan di beberapa negara, orang tersebut dibuat monumennya.

3.11. Ryoute ni hana

Ryoute ni hana Kedua tangan bunga


(67)

が二人の美しい女性をひとり占めすることのたとえ。

“Utsukushii mono ya subarashii mono o futatsu douji ni te ni ireru koto. Toku ni, hitori no dansei ga futari no utsukushii josei o hitori shimesuru koto no tatoe”, yang memiliki arti ‘Sesuatu yang cantik dan menakjubkan di dapat dalam waktu yang bersamaan. Khususnya, seorang laki-laki yang mendapat dua wanita cantik’.

Padanan peribahasa Ryoute ni hana dalam peribahasa Indonesia adalah ‘Padi masak ,jagung mengupih’. Ryoute adalah kedua tangan, apabila kedua tangan tersebut memegang bunga, maka ia mendapat dua keindahan, karena umumnya orang hanya mendapat bunga di satu tangan saja. Dalam peribahasa jepang ini, lebih ditekankan kepada lelaki yang mendapat dua wanita cantik.

Peribahasa Indonesia menggunakan kata ‘padi’ dan ‘jagung’. Padi

adalah tumbuhan penghasil beras yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Jagung adalah makanan pengganti nasi, bila tidak ada nasi. Jika seorang petani menanam padi dan beras, dan kedua tanaman tersebut masak (tidak ada yang gagal panen) maka petani tersebut


(68)

Contoh peribahasa ini dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika seseorang yang hobi menggambar atau membuat komik, maka orang tersebut bisa menyalurkan hobinya dan sekaligus menjual komik yang dihasilkan dari menggambar tersebut. Begitu pula dengan novelis. Contoh lain, seseorang yang senang berkebun, selain hobinya berkebun tersalurkan, rumahnyapun jadi terlihat indah dan asri.

3.12. Hana wa sakuragi hito wa bushi

Hana wa sakuragi, hito wa bushi

Bunga pohon sakura orang bushi/samurai Peribahasa Jepang Hana wa sakuragi, hito wa bushi memiliki arti sebagai berikut :

花の中では桜、人では武士が最高だということ。その散りぎわの潔さをほめた

言葉。

“Hana no naka dewa sakura, hito dewa bushi ga saikou da to iu koto. Sono chiri giwa no isagayosa o hometa kotoba”, yang memiliki arti ‘Bunganya bunga adalah sakura, masyarakat yang tingkatnya paling tinggi adalah bushi. Keguguran/ kejatuhan oleh kemurnian, merupakan suatu pujian’.


(69)

peribahasa Indonesia adalah ‘Merah berani, putih suci’. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, hana secara umum memiliki arti bunga, tetapi bagi orang jepang, hana adalah sakura, karena selain menjadi simbol bunga Jepang, pohon sakura adalah sebuah pohon yang unik yang memiliki sedikit sekali daun dan jika sedang mekar, pohon-pohon sakura tersebut hanya ditutupi oleh bunga saja. Pohon sakura juga berumur lama, ada yang berpuluh-puluh tahun bahkan ada yang samapai ratusan, dan umumnya dapat hidup di segala penjuru Jepang. Maka dari itu, sakura dibilang bunganya bunga.

Begitu pula dengan tingkat golongan pada masyarakat Jepang. Dalam

masyarakat, bushi adalah golongan tertinggi. Bushi bertugas menjaga

shogun atau daimyou dengan nyawanya. Kesetiaan seorang bushi kepada

tuannya tidak perlu diragukan lagi. Mereka rela melakukan apa saja, baik itu perbuatan baik ataupun buruk demi tuannya, bahkan mereka rela mati. Jika tuannya meninggal karena dibunuh, maka mereka juga dapat balas dendam seperti dalam sejarah 47 orang bushi Asano.

Dalam peribahasa Indonesia, merah dilambangkan sebagai lambang keberanian. Penulis berpendapat bahwa warna merah diambil dari darah


(70)

para pejuang yang telah gugur yang dengan beraninya mengorbankan nyawa sendiri demi membela tanah tumpah darahnya, dalam hal ini Indonesia. Sedangkan putih melambangkan kesucian. Putih adalah warna cahaya, lawan dari warna hitam yang melambangkan kegelapan, mistik dan kematian. Masyarakat islam juga menggunakan pakaian berwarna putih ketika melakukan ibadah haji ataupun umroh. Di dalam beberapa legenda, warna putih juga dijadikan warna baju dewa-dewi yang baik, sedangkan hitam digunakan oleh dewa-dewi yang jahat, misal hades (dewa kematian) dan Hera (dewa perang wanita).

Hana mo mi mo aru Hana mo mi mo aru. Bunga buah ada

Peribahasa Jepang Hana mo mi mo aru memiliki arti sebagai berikut :

外見が美しいだけでなく、内容も充実していること。

”Gaiken ga utsukushii dake de naku, naiyou mo juujitsushite iru koto” yang memiliki arti ‘Tidak hanya penampilan luarnya saja yang cantik, tetapi juga penuh dengan isi’.


(71)

Indonesia adalah ‘Bagai elang menyongsong angin’. Hanya saja, peribahasa Jepang lebih menggambarkan seorang wanita, sedangkan dalam peribahasa Indonesia lebih menggambarkan lelaki.

Hana adalah bunga yang elok rupanya dan harum baunya, ada bunga yang tidak memiliki buah, jika bunga tersebut memiliki buah maka bunga tersebut tidak hanya enak dipandang tetapi juga nikmat di makan. Hana

diibaratkan penampilan luar, sedangkan mi atau buah diibaratkan isi.

Maka peribahasa ini lebih cenderung menggambarkan wanita yang cantik parasnya dan pintar.

Pada peribahasa ‘Bagai elang menyongsong langit’ lebih

menggambarkan kepada sesosok lelaki yang gagah tampan rupanya. Elang adalah seekor burung pemakan daging yang bermata tajam, dapat melihat mangsanya dalam radius 1,5 kilometer. Elang dapat terbang dengan kecepatan tinggi.

Contoh pemakaian peribahasa di atas adalah seorang model yang pintar, atau seorang wanita karier yang cantik parasnya. Sedangkan untuk yang lelaki, di contohkan sebagai olahragawan yang tampan parasnya.


(72)

Hana ookereba, misukunashii Bunga kalau banyak sedikit buah

Peribahasa Jepang Hana ookereba misukunashii memiliki arti sebagai berikut :

花の多い木には、実があまりならないということ。またみかけのよい人には真

実が少ないということ。

“Hana no ooi ki ni wa, jitsu ga amari naranai to iu koto. Mata mikake no yoi hito ni wa shinjitsu ga sukunai to iu koto”, yang memiliki arti ‘Pohon yang memiliki banyak bunga sebenarnya hampir tidak ada. Apabila orang yang tampak dari luar terlihat baik belum tentu benar’.

Padanan peribahasa Hana ookereba, misukunashii dalam peribahasa Indonesia adalah ‘Di luar bagai madu, di dalam bagai empedu’. Hana ookereba, misukunashii bila diartikan secara harfiah berarti banyak bunga, sedikit buah. Walau dari luar terlihat sangat indah, tetapi sewaktu ingin menggunakannya atau memakan buahnya, buahnya malah tidak ada. Jadi hanya penampilannya saja yang bagus, tapi tidak ada isi. Peribahasa ini memiliki kesan negatif.


(73)

bagai empedu’. Madu adalah zat manis yang dihasilkan lebah yang

memiliki banyak fungsi. Sedangkan empedu adalah benda cair

kehitam-hitaman yang memiliki rasa pahit, ada di dalam kandung kecil

yang melekat dalam hati. Peribahasa ini juga menggambarkan apa yang

terlihat diluar belum tentu sama dengan apa yang terdapat di dalam dirinya. Bisa saja dari luar terlihat seperti madu, tetapi mempunyai rasa empedu.

Contoh peribahasa ini dalam kehidupan sehari-hari adalah ketika akan mencari pembantu rumah tangga, ada seseorang yang terlihat lugu dan mampu bekerja membersihkan rumah, tetapi ketika majikannya pergi maka pembantu tersebut pergi dengan membawa harta benda si majikan..

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Setelah penulis menginterpretasikan peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata hana, maka penulis membuat kesimpulan sebagai berikut :


(74)

1. Tidak semua peribahasa Jepang yang menggunakan kata hana meupakan peribahasa yang mengandung arti positif, tetapi ada juga yang mengandung arti yang negative.

2. Peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata hana sebagai unsur

utamanya masih dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata hana mempunyai

kesamaan dan perbedaan bila dibandingkan dengan peribahasa Indonesia bila dilihat dari segi arti, susunan kata, contoh penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari dan unsur utama pembentuk peribahasa yang digunakan. Hal ini berdasarkan pada kebudayaan, adat istiadat yang berlaku di dalam hidup bermasyarakatdan juga dikarenakan faktor geografis yang berbeda-beda dari tiap negara.

4. Padanan peribahasa bahasa Jepang yang terbuat dari kata hana

dalam peribahasa bahasa Indonesia tidak terbatas dari kata hana saja, tetapi juga memakai unsur lain, baik itu berupa tumbuhan juga ataupun benda-benda yang lain.


(75)

4.2 Saran

Dalam mempelajari sebuah bahasa, baik itu bahasa Indonesia maupun bahasa asing, khususnya bahasa Jepang, sebaiknya kita tidak hanya mempelajari apa yang diajarkan di kampus atau sekolah saja seperti bunpo, kanji, kaiwa, choukai dan lain sebagainya, tetapi juga mempelajari hal-hal lain seperti kebudayaannya, legenda, sifat-sifat, adat istiadatnya, makanannya, dan lain sebagainya.

Peribahasa merupakan bagian penting yang berupa warisan dari nenek moyang, sehingga jika seseorang mempelajari bahasa asing, dalam hal ini bahasa Jepang, maka ada baiknya juga jika kita mempelajari peribahasanya juga.

Mengingat peribahasa Jepang tidak diajarkan secara khusus dalam perkuliahan, maka penulis melalui skripsi ini ingin mengajak para pembelajar bahasa Jepang untuk mulai mengenal peribahasa Jepang karena pembahasannya yang menarik, baik dilihat dari kata-kata yang dipakai, dan menggugah keingintahuan pelajar mengapa kata-kata tersebut yang dipakai untuk memaknai sebuah sindiran, nasehat, peringatan dan sebagainya.


(76)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hamzah & Nanda Santoso, 1996. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Surabaya : Fajar Mulya

Ali, Lukman, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka


(77)

Prima

Chaer, Abdul, 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Dharmayanty, Nike, 1999. Analisis Peribahasa Jepang. Bandung : IKIP Bandung Kosasih, E, 2004. Bimbingan Pemantapan Bahasa Indonesia Cetakan ke 4.

Bandung : Yrama Widya

Kridalaksana, Harimurti, 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama

Luxemburg, Jan Vaan, 1992. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Matsuura, Kenji, 1994. Kamus Bahasa Jepang-Indonesia. Kyoto : Kyoto Sangyo University Press

Nelson, Andrew N, 2005. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta :

Kesaint Blanc

Poerwadarminta, W.J.S, 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Poemantjak, K.St.(ef al), 1983. Peribahasa. Jakarta : Balai Pustaka Pradopo, 2001. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Hinindita


(78)

Soedjito, 1992. Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Sugihastuti, 2000. Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Sudjiman, Panuti, Aart Van Zoest (Terj), 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama

Surakhmad, Winarno, 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar. Bandung :

Teknik Tarsito

Tarigan, Henry Guntur, 1985. Pengajaran Kosa Kata. Bandung : Angkasa Tarigan, Henry Guntur, 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkasa Tetsuya, Niino, 2000. Daisoo Poketto Jiten Series 5

Zakaria, Syofyan & Suari Mariani Syofyan, 1984. Kamus 1500 Peribahasa Indonesia. Bandung : Sinar Baru

Zoest, Aart Van, 1993. Semiotika. Jakarta : Yayasan Sumber Agung (Terj.)

要旨

この論文のテーマは「花」の言葉からできた諺の意味の解釈である。

日本の諺とインドネシアの諺には、諺の作った要素がいろいろあり、例えば、


(79)

のになっている。

この論文の中で、分析した問題はインドネシア語の諺の「花」と日本語の諺

の「花」の言葉を持っている合同の意味と日常生活での使用例のことである。

日本の諺では「花」の言葉の使用が多い。筆者が十四種の諺だけせいめいし

た。

1. 言わぬが花

2. きれい花には棘がある

3. 落花枝に帰らず

4. 花に嵐

5. 花より団子

6. となりの花は赤い

7. 高嶺の花

8. 話に花が咲く

9. 花を咲かせる

10.死に花を咲かす

11.両手に花

12.花は桜木人は武士


(80)

14.花多ければ、実少なし

日本語の諺の「花」とインドネシア語の諺の「花」の言葉の意味の同等を分

析するために、筆者は KUNIMATSU ・SHOUICHI と HAYASHI ・SHINOBU

の理論を使用した。

KUNIMATSU ・SHOUICHI によると、諺は古くから人々にいいならはさ

れた言葉きょうくん、ふうし、などの意味をふくみ、人生の真実をうがつものが多い。

それにHAYASHI ・SHINOBUによると、諺は人々の生活の知恵から生まれてきた、

きょうくんや批判をふくむ短い言葉ということである。

この論文の結果に基づいて、インドネシアの諺の「花」と日本の諺の「花」

の言葉の意味がだいたい同じである。この十四の諺には八種が否定的な意味を持ち、

そして良い意味を持っていることが八種だけある。

その良い意味をもっている八つの諺は、

1.「言わぬが花」の意味は口に出してはっきりというより、言わないほう

が趣があてよいということである。

2.「花より団子」の意味は花美しさに心満たされるより、実を取って腹が

満たされた方がいいということである。外見より内容だということで

ある。


(81)

4.「花を咲かせる」の意味は事業にせいこうをえたということである。

5.「死に花を咲かす」の意味は立派に死ぬことによって、死んだあとほめ

たたえられるということである。死によって生前にもましたえいよう

を得ることということである。

6.「両手に花」の意味は美しいものやすばらしいものを二つ同時に手に入

れることである。特に、一人の男性が二人の美しい女性をひとり占め

することのたとえである。

7.「花は桜木人は武士」の意味は花の中では桜、人では武士が最高だとい

うことである。その散りぎわのいさがよさをほめたことばはいいこと

である。

8.「花も実もある」の意味は外見が美しいだけでなく、内容も充実してい

ることである。

否定的な意味を持っている六つの諺は、

1. 「きれい花には棘がある」の意味はこの世界でかんせいものはないと

いうことである。

2. 「落花枝に帰らず」の意味はおこったことはもうこうかいできないこ


(82)

3. 「花に嵐」の意味はよいことにはとかく障害がはいりやすいものだと

いうことである。

4. 「隣の花は赤い」の意味は地人の物は自分の物より何でもよく見えて、

うらやましく思われることである。

5. 「高嶺の花」の意味は高嶺に咲いた花は、どれほど望んでもみるだけ

に手にいれることのできないことである。

6. 「花多ければ、実少なし」の意味は花の多い木には、実があまりなら

ないということである。またみかけのよい人には真実が少ないという


(1)

Prima

Chaer, Abdul, 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Dharmayanty, Nike, 1999. Analisis Peribahasa Jepang. Bandung : IKIP Bandung Kosasih, E, 2004. Bimbingan Pemantapan Bahasa Indonesia Cetakan ke 4.

Bandung : Yrama Widya

Kridalaksana, Harimurti, 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Luxemburg, Jan Vaan, 1992. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Matsuura, Kenji, 1994. Kamus Bahasa Jepang-Indonesia. Kyoto : Kyoto Sangyo University Press

Nelson, Andrew N, 2005. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta :

Kesaint Blanc

Poerwadarminta, W.J.S, 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Poemantjak, K.St.(ef al), 1983. Peribahasa. Jakarta : Balai Pustaka Pradopo, 2001. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Hinindita


(2)

Soedjito, 1992. Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Sugihastuti, 2000. Bahasa Laporan Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Sudjiman, Panuti, Aart Van Zoest (Terj), 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama

Surakhmad, Winarno, 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar. Bandung :

Teknik Tarsito

Tarigan, Henry Guntur, 1985. Pengajaran Kosa Kata. Bandung : Angkasa Tarigan, Henry Guntur, 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkasa Tetsuya, Niino, 2000. Daisoo Poketto Jiten Series 5

Zakaria, Syofyan & Suari Mariani Syofyan, 1984. Kamus 1500 Peribahasa Indonesia. Bandung : Sinar Baru

Zoest, Aart Van, 1993. Semiotika. Jakarta : Yayasan Sumber Agung (Terj.)

要旨

この論文のテーマは「花」の言葉からできた諺の意味の解釈である。

日本の諺とインドネシアの諺には、諺の作った要素がいろいろあり、例えば、


(3)

のになっている。

この論文の中で、分析した問題はインドネシア語の諺の「花」と日本語の諺

の「花」の言葉を持っている合同の意味と日常生活での使用例のことである。

日本の諺では「花」の言葉の使用が多い。筆者が十四種の諺だけせいめいし

た。

1. 言わぬが花

2. きれい花には棘がある

3. 落花枝に帰らず

4. 花に嵐

5. 花より団子

6. となりの花は赤い

7. 高嶺の花

8. 話に花が咲く

9. 花を咲かせる

10.死に花を咲かす

11.両手に花

12.花は桜木人は武士


(4)

14.花多ければ、実少なし

日本語の諺の「花」とインドネシア語の諺の「花」の言葉の意味の同等を分

析するために、筆者は KUNIMATSU ・SHOUICHI と HAYASHI ・SHINOBU

の理論を使用した。

KUNIMATSU ・SHOUICHI によると、諺は古くから人々にいいならはさ

れた言葉きょうくん、ふうし、などの意味をふくみ、人生の真実をうがつものが多い。

それにHAYASHI ・SHINOBUによると、諺は人々の生活の知恵から生まれてきた、

きょうくんや批判をふくむ短い言葉ということである。

この論文の結果に基づいて、インドネシアの諺の「花」と日本の諺の「花」

の言葉の意味がだいたい同じである。この十四の諺には八種が否定的な意味を持ち、

そして良い意味を持っていることが八種だけある。

その良い意味をもっている八つの諺は、

1.「言わぬが花」の意味は口に出してはっきりというより、言わないほう

が趣があてよいということである。

2.「花より団子」の意味は花美しさに心満たされるより、実を取って腹が

満たされた方がいいということである。外見より内容だということで

ある。


(5)

4.「花を咲かせる」の意味は事業にせいこうをえたということである。

5.「死に花を咲かす」の意味は立派に死ぬことによって、死んだあとほめ

たたえられるということである。死によって生前にもましたえいよう

を得ることということである。

6.「両手に花」の意味は美しいものやすばらしいものを二つ同時に手に入

れることである。特に、一人の男性が二人の美しい女性をひとり占め

することのたとえである。

7.「花は桜木人は武士」の意味は花の中では桜、人では武士が最高だとい

うことである。その散りぎわのいさがよさをほめたことばはいいこと

である。

8.「花も実もある」の意味は外見が美しいだけでなく、内容も充実してい

ることである。

否定的な意味を持っている六つの諺は、

1. 「きれい花には棘がある」の意味はこの世界でかんせいものはないと

いうことである。

2. 「落花枝に帰らず」の意味はおこったことはもうこうかいできないこ


(6)

3. 「花に嵐」の意味はよいことにはとかく障害がはいりやすいものだと

いうことである。

4. 「隣の花は赤い」の意味は地人の物は自分の物より何でもよく見えて、

うらやましく思われることである。

5. 「高嶺の花」の意味は高嶺に咲いた花は、どれほど望んでもみるだけ

に手にいれることのできないことである。

6. 「花多ければ、実少なし」の意味は花の多い木には、実があまりなら

ないということである。またみかけのよい人には真実が少ないという