Prevalensi Tb Laten Pada Petugas Kesehatan Di Rsup H. Adam Malik
PREVALENSI TB LATEN PADA PETUGAS KESEHATAN DI RSUP H. ADAM MALIK
TESIS
OLEH UCOK MARTIN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU FK USU/ SMF PARU RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN 2008
(2)
ABSTRACT
Objective : Health care workers (HCWs) in developing countries are at risk for nosocomial tuberculosis (TB). In this study, we are going to determine the prevalence of latency tuberculosis among HCWs in H. Adam Malik hospital in Medan.
Method : It is a cross sectional study, conducted between July and August 2008. Tuberculin skin test (TST) survey was conducted among 100 HCWs and measured the induration size. Afterward, individuals with positive TST result were examined chest x-ray to determine latency TB.
Result : From 100 participants, 53 (53%) had indurations more than 10 mm and 47 (47%) had indurations less than 10 mm. All of the HCWs with positive TST results had normal chest x-ray. Risk factors associated with a positive TST result were age ≥ 35 years (prevalence ratio, 1,6 [ 95% CI 0,71 to 3,60]), length of professional activity > 5 years (prevalence ratio, 3 [ 95% CI 0,76 to 1,82]), historical BCG vaccination (prevalence ratio, 1,1 [ 95% CI 0,15 to 8,38]), and contact with tuberculosis case (prevalence ratio, 1,1 [ 95% CI 0,51 to 2,51] ). None of
(3)
the risk factors that were assessed had statistically significant (p > 0,05).
Conclusions : The prevalence of latency tuberculosis among HCWs in H. Adam Malik hospital in Medan is 53% that is similar to the prevalence latency tuberculosis in developing countries.
Key Words : Tuberculin Skin Test, Latency Tuberculosis, Health Care Workers.
(4)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
IDENTITAS
Nama : Dr. Ucok Martin
Tempat/Tanggal lahir : Cimahi, 14 September 1970 Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Dokter Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara
Alamat : Jl. Gn. Martimbang No. 1 Medan
KELUARGA
Bapak : B. Tambunan, SH
Ibu : N. Br Sormin
Isteri : Dr. Juli Yanti Merrika Pasaribu PENDIDIKAN
1. SD Angkasa III Bandung Ijazah 1983 2. SMP Negeri 2 Maospati - Magetan Ijazah 1986 3. SMA Negeri 2 Medan Ijazah 1989 4. Fakultas Kedokteran USU Medan Ijazah 1998
PEKERJAAN
1. Dokter Puskesmas Muara Tapanuli Utara 1999 2. Dokter di RS Kusta Lau Simomo Propinsi Sumatera Utara 2003 3. Dokter PPDS Ilmu Penyakit Paru FK USU Medan 2004
PERKUMPULAN PROFESI
1. Anggota IDI Kotamadya Medan
(5)
LATIHAN YANG PERNAH DIIKUTI
1. Pelatihan Tenaga Pengumpul Data Studi Mortalitas SURKESNAS 2001 di Pekanbaru
2. Pelatihan Advanced Trauma Life Support di Medan
3. Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja bagi Dokter Perusahaan / Instansi di Jakarta
PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH 1. Panitia pada TB Day 2004 di Medan
2. Peserta pada KONAS X PDPI 2005 di Solo
3. Menyajikan makalah pada PIK XI PDPI 2006 di Batam 4. Peserta pada KONKER XI PDPI 2007 di Bali
5. Peserta pada KONAS XI PDPI 2008 di Bandung
TUGAS
Selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Penyakit Paru FK USU telah membawakan :
1. Sari pustaka 6 buah 2. Laporan kasus 5 buah 3. Journal reading 12 buah 4. Karya ilmiah tingkat nasional 1 buah
(6)
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur dan terima kasih penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab berkat rahmat dan kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Prevalensi TB laten pada petugas kesehatan di RS H. Adam Malik Medan ”, yang merupakan persyaratan akhir pendidikan keahlian di Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat asisten Departemen Ilmu Penyakit Paru FK USU, paramedis dan nonmedis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Paru FK-USU/ SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, senantiasa menanamkan disiplin, ketelitian dan perilaku yang baik serta pola berpikir dan bertindak ilmiah, yang mana hal tersebut sangat berguna bagi penulis untuk masa yang akan datang.
Dr. PS Pandia, SpP sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Penyakit Paru FK-USU/ SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasihat selama penulis menjalani Program
(7)
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di FK-USU/ SMF Paru RSUP. H. Adam Malik Medan.
Dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Paru yang senantiasa tiada jemunya berupaya menanamkan disiplin, ketelitian, berpikir dan berwawasan ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam meyelesaikan pendidikan ini.
Dr. Pantas Hasibuan, Sp.P sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Paru dan pembimbing penulis yang banyak memberikan motivasi, saran serta nasehat yang bermanfaat dalam penyempurnaan penulisan tesis ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P(K), yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu serta pengalamannya selama penulis mengikuti pendidikan .
Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K), sebagai koordinator penelitian ilmiah Departemen Ilmu Penyakit Paru yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, kritikan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan tulisan ini.
Dr. Widi Rahardjo, Sp.P sebagai Ketua Persatuan Dokter Paru Indonesia Cabang Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan , bimbingan, masukan selama penulis menjalani pendidikan. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, Mkes. sebagai pembimbing statistik yang banyak memberi bantuan , dukungan serta membuka wawasan penulis dalam bidang statistik.
(8)
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr. Sumarli, SpP(K), Prof. Dr. RS Parhusip, SpP(K), Dr. H. Sugito, Sp.P (K) yang telah banyak memberikan bimbingan, nasihat, ilmu pengetahuan dan pengalaman klinis beliau selama mengabdi pada Departemen Ilmu Penyakit Paru yang sangat berguna selama penulis menjalani pendidikan ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada perawat RS H. Adam Malik Medan di bagian Paru, Neurologi, THT, Penyakit Dalam, ICU Dewasa, ICU Anak, Paska Bedah, Kardiologi, Bronkoskopi dan semua yang terlibat dalam penelitian.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Usman, SpP, Dr. Adlan Lutfi Sitompul, SpP, Dr. Fajrinur Syarani, SpP, Dr. Parluhutan Siagian, SpP, Dr. Amira P, SpP, Dr. Bintang, SpP, Dr. Supiono, SpP, Dr Noni Soeroso SpP, Dr Setia Putra Tarigan SpP yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama penulis menjalani pendidikan ini.
Izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala BP4 Medan, Direktur RS Materna Medan , Direktur RS PTPN II Tembakau Deli, Kepala Departemen Kardiologi RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen Patologi Anatomi FK USU Medan, Kepala Departemen Mikrobiologi FK USU Medan, yang telah memberikan
(9)
kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Paru FK-USU, pegawai tata usaha, perawat/ petugas poliklinik , ruang bronkoskopi, ruang rawat inap bagian paru , instalasi perawatan intensif, unit gawat darurat RSUP H. Adam Malik Medan, perawat/ petugas BP4 Medan yang telah bekerja sama dan membantu penulis selama menjalani pendidikan ini.
Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada Ayahanda B. Tambunan, SH dan Ibunda N. br Sormin tercinta yang telah membesarkan, mendidik dan memberi dorongan semangat serta doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Rasa hormat dan terima kasih terhadap mertua penulis Bapak B Pasaribu dan Ibu Alm. M br Togatorop yang banyak memberikan dukungan dan doa selama penulis menjalani pendidikan ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak, adik dan ipar penulis. Demikian juga kepada Isteriku tercinta Dr Juli Yanti Merika Pasaribu yang selalu setia dalam suka dan duka, penuh pengertian, kesabaran dan pengorbanannya kepada penulis selama menjalani pendidikan. Tiada kata yang dapat diucapkan selain ungkapan rasa terima kasih dan
(10)
penghargaan atas segala kesetiaan maupun dukungan isteri tercinta selama ini.
Akhirnya pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.
Medan, 28 Oktober 2008
Penulis
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 3
KATA PENGANTAR ... 5
DAFTAR ISI ... 10
DAFTAR GAMBAR ... 12
DAFTAR TABEL ... 13
DAFTAR LAMPIRAN ... 14
DAFTAR SINGKATAN ... 15
BAB I. PENDAHULUAN………... 17
1.1. Latar Belakang………... 17
1.2. Perumusan Masalah………... 22
1.3. Tujuan Penelitian………... 22
1.4. Hipotesis Penelitian………... 23
1.5. Manfaat Penelitian... 23
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……… 24
2.1. Epidemiologi……….... 24
2.2. Karakteristik Mycobacterium tuberculosis .... 28
2.3. Patogenesis………... 30
2.4. Sistem Imun Terhadap Infeksi………... 33
2.5. Diagnosis Tuberkulosis Laten..………... 40
2.6. Tes Kulit Tuberkulin...………... 47
BAB III. BAHAN DAN METODE…….. ……….... 53
3.1. Rancangan Penelitian ………... 53
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ………... 53
3.3. Subjek Penelitian……….... 53
3.4. Jumlah Sampel ………... 54
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ………... 54
(12)
3.8. Cara Kerja ………... 57
3.9. Kerangka Kerja ………... 61
3.10. Pengolahan Data ………... 61
3.11. Analisis Data ………... 62
3.12. Jadwal Penelitian ………... 63
3.13 Biaya Penelitian ………. 63
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 64
4.1. Hasil Penelitian ………... 64
4.2. Pembahasan ……. ………. 71
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 78
5.1. Kesimpulan ... 78
5.2. Saran ... 78
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Peranan denrit, makrofag alveolar dll .... ……….. 39
Gambar 2. Hipersensitifitas tipe IV ...………... 40
Gambar 3. Cara penyuntikan tes kulit tuberkulin yang benar... 59
(14)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Penyebab negatif palsu ... 42
Tabel 2. Kriteria tes tuberkulin positif dengan kelompok risiko... 44
Tabel 3. Karakteristik Peserta Penelitian Berdasarkan Umur... 65
Tabel 4. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin... 65
Tabel 5. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja... 66
Tabel 6. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Riwayat Vaksinasi BCG 66 Tabel 7. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Indeks massa tubuh 67 Tabel 8. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Lokasi Verja 67 Tabel 9. Analisa bivariat berdasarkan variabel demografi 69 Tabel 10. Prevalensi TB Laten Berdasarkan Lokasi Kerja 70
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik Tentang Penelitian Lampiran 2. Lembaran Penjelasan Calon Subjek Penelitian Lampiran 3. Lembaran Persetujuan Calon Subjek Penelitian Lampiran4. Lembaran Data penelitian Subyek
(16)
DAFTAR SINGKATAN
ACHA : The American College Health Association
ACET : The Advisory Council for the Elimination of tuberculosis AIDS : acquired immunodeficiency syndromes
APC : antigen presenting cells AS : Amerika Serikat
BCG : Bacille Calmette-Gu rin BTA : Basil Tahan Asam
CD : Clusters of differentiation
CDC : Centers for Disease Control and Prevention CMI : cell mediated immunity
CR 3 : complement receptor 3 CRF : Chronic Renal Failure DCs : Dendritic Cells
DC-SIGN :DC specific inter-cellular adhesion molecular-3 grabbing non-integrin
FDA : Food and Drug Administration HAART : highly active antiretroviral therapies HIV : Human Immunodeficiency Virus IFN- : Interferron gamma
IL : Interleukin
(17)
MOTT : Mycobacterium Other Than Tuberculosis NK : Natural killer
NO : Nitrogen Oxide
PPD : purified protein derivative QFT : Quantiferon TB Gold Test ROI : Reactive Oxygen Intermediates TB : Tuberculosis
TLR : Toll-like receptor
TNF : Tumour Necrosis Factor WHO : World Health Organization
(18)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis tetap menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling serius. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002 dimana 3,9 juta adalah kasus dengan BTA (Basil Tahan Asam) positif.1
Risiko penularan tuberkulosis diantara petugas kesehatan cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan cepat setelah tahun 1950 karena menurunnya insidensi penyakit dalam populasi dan adanya terapi yang efektif. Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi di rumah sakit. Dalam dekade terakhir ini ada dua faktor yang telah merubah pandangan tentang risiko tuberkulosis pada petugas kesehatan, pertama adalah terjadi kebangkitan penyakit diantara tahun 1985 dan tahun 1991 dimana insiden dari semua bentuk tuberkulosis meningkat dari 24 % sampai 34 % di Denmark, Italia dan Swiss, sedangkan di Amerika Serikat 18,4 % bahkan di beberapa kota di AS insiden lebih dari dua kali lipat. Faktor yang kedua adalah timbulnya strain tuberkulosis yang multidrug resistant, dimana telah dilaporkan oleh 40 negara dan telah menyebabkan berjangkitnya penyakit TB pada sedikitnya 12 rumah sakit.
(19)
terjadi konversi pada uji tuberkulin. Petugas kesehatan yang terinfeksi HIV lebih mudah terinfeksi daripada yang tanpa HIV dimana sedikitnya 17 tenaga kesehatan (8 dengan HIV positif) telah terinfeksi TB dengan resistensi ganda dan 5 orang ( 4 diantaranya HIV positif) telah meninggal.2 Infeksi TB terjadi karena inhalasi droplet nuclei yang mengandung kuman tuberkulosis. Setelah terpapar kuman TB ada empat keadaan yang bisa terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi (ditandai dengan tes kulit tuberkulin yang negatif), kedua terjadi infeksi kemudian menjadi TB yang aktif (TB primer), ketiga menjadi TB laten dimana mekanisme imun mencegah progresifitas penyakit menjadi TB aktif dan keempat menjadi TB laten tetapi kemudian terjadi reaktivasi dan berkembang menjadi TB aktif dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian.3 Infeksi TB laten ini didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang terinfeksi M.tuberculosis tetapi saat ini orang tersebut tidak sakit, tidak mempunyai gejala / asymptomatic dan gambaran foto toraks normal.4 Kira – kira 5% - 10% dari orang dengan infeksi laten, akan terjadi reaktivasi dan menjadi TB aktif.5
Penularan secara nosokomial M.tuberculosis telah tercatat dengan baik di Amerika serikat dan Eropa. Dokumentasi mengenai penderita TB sebagai sumber infeksi dan penularan dari pasien ke petugas kesehatan, penularan dari pasien ke pasien dan penularan dari petugas kesehatan ke pasien telah tercatat dengan baik. Berjangkitnya penyakit TB pada petugas kesehatan paling banyak didapati pada petugas kesehatan yang
(20)
bekerja di ruang gawat darurat, ruang rawat inap dan ruang rawat pasien HIV. Penularan M.tuberculosis pada petugas kesehatan juga terjadi pada petugas autopsi, petugas yang merawat luka, petugas bronkoskopi dan petugas ruang rawat intensif.6
Di negara sedang berkembang penularan nosokomial bisa menjadi ancaman yang serius terhadap petugas kesehatan karena banyaknya pasien TB, ruang rawat yang terbuka dan minimnya atau tidak adanya kontrol untuk tindakan pencegahan terhadap infeksi TB. Meskipun dokumentasi mengenai penularan secara nosokomial di daerah prevalensi tinggi sulit didapat karena latar belakang besarnya penularan didalam masyarakat, tetapi beberapa penelitian di negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika latin memberi kesan tingginya risiko petugas kesehatan terinfeksi TB di tempat pelayanan kesehatan. Sebagian besar dari penelitian ini mencatat konversi tes kulit tuberkulin diantara petugas kesehatan, dimana beberapa berkembang menjadi TB aktif dan faktor risiko utama untuk terjadinya infeksi TB didalam pekerjaan adalah adanya kontak dengan penderita TB dan lamanya bekerja. Tidak adanya tindakan pengawasan terhadap infeksi TB telah menjadi penyumbang utama penularan M. tuberculosis, padahal jika hal ini dilaksanakan sepenuhnya telah terbukti efektif untuk mengendalikan infeksi TB. Penelitian ini menekankan ancaman infeksi nosokomial M.tuberculosis dan perlunya untuk segera melakukan tindakan pencegahan dalam kesehatan masyarakat.6
(21)
The Advisory Council for the Elimination of tuberculosis (ACET) merekomendasikan tiga strategi dasar yang sangat penting untuk pencegahan dan pengawasan tuberkulosis. Prioritas pertama adalah menemukan dan mengobati secara lengkap semua penderita TB aktif. Prioritas kedua adalah investigasi kontak (yaitu menemukan dan mengevaluasi orang yang telah kontak dengan penderita TB, kemudian menetapkan apakah mereka telah terinfeksi TB atau sakit dan mengobatinya secara lengkap). Penelitian kontak adalah penting untuk menemukan orang yang menderita TB aktif dan orang yang terinfeksi yang berisiko tinggi untuk berkembang menjadi TB aktif. Prioritas ketiga adalah skrining pada populasi dengan risiko tinggi terhadap TB untuk menemukan orang yang terinfeksi TB dan memberikan terapi lengkap untuk mencegah menjadi TB aktif dan penyakit yang menular. Skrining ini mungkin juga menemukan kasus TB aktif. Berdasarkan laporan yang dipublikasikan dalam literatur kedokteran, CDC dan ACET, kelompok yang direkomendasikan untuk dilakukan skrining adalah orang yang kontak erat dengan penderita atau tersangka TB (contoh tinggal satu rumah, lingkungan yang rapat), orang yang terinfeksi HIV, pemakai obat injeksi atau bahan – bahan berisiko tinggi lainnya seperti kokain, orang yang karena kondisi klinisnya menjadi risiko tinggi, tinggal atau bekerja dalam kelompok risiko tinggi (contoh penjara, perawat rumah, rumah sakit jiwa), petugas kesehatan yang merawat pasien dengan risiko tinggi, orang asing yang lahir termasuk anak –anak yang baru datang (dalam 5 tahun) dari
(22)
negara yang mempunyai insiden dan prevalensi TB yang tinggi, pelayanan kesehatan yang kurang, populasi dengan penghasilan rendah, populasi yang secara ras atau etnik minoritas yang berisiko tinggi, bayi, anak atau remaja yang terpapar terhadap orang dewasa yang masuk dalam kategori berisiko tinggi.4,7
Tes kulit tuberkulin adalah metode standar untuk menemukan orang yang terinfeksi TB, tetapi tes kulit tuberkulin yang tersedia sekarang ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang kurang dari 100% dalam mendeteksi infeksi TB . Untuk itu perlu pengetahuan tentang reaksi positif palsu dan reaksi negatif palsu pada tes kulit tuberkulin.8 Tes tuberkulin yang tersedia dan direkomendasikan oleh WHO adalah PPD RT-23 yang dibuat oleh Biological Standards Staten, Serum Institute, Copenhagen, Denmark.9 Reaksi tes tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan menghasilkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat, reaksi ini akan mencapai maksimal dalam 48 – 72 jam setelah penyuntikan. Pada petugas kesehatan reaksi indurasi ≥ 10 mm dianggap positif dan perlu dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk melihat apakah ada kelainan yang mengarah kepada TB aktif. Pada petugas kesehatan dengan infeksi laten ditawarkan untuk pengobatan pencegahan agar penyakit tidak berkembang menjadi TB aktif. Penemuan dan pengobatan terhadap orang yang terinfeksi didalam kelompok risiko tinggi, memberikan manfaat terhadap orang yang terinfeksi dan orang yang rentan pada kelompok ini.
(23)
Sampai sekarang ini, isoniazid adalah satu – satunya obat yang terbukti efektif dan direkomendasikan untuk pengobatan TB laten.10
Sampai sekarang ini di Medan belum ada data mengenai prevalensi infeksi TB aktif maupun infeksi laten pada petugas kesehatan dan peneliti telah berusaha mencari bahan – bahan, baik melalui Internet maupun majalah kesehatan mengenai penelitian yang serupa di Indonesia tetapi belum dijumpai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi TB laten pada petugas kesehatan dan menghubungkannya dengan lokasi pekerjaan dan lamanya bekerja sebagai petugas kesehatan.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian berapakah prevalensi TB laten pada petugas kesehatan di RSUP H. Adam Malik medan ?.
1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui prevalensi TB laten pada petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit.
1.3.2. Tujuan khusus
Untuk menilai faktor – faktor yang mempengaruhi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di rumah sakit yaitu :
(24)
b. Pengaruh lamanya bekerja terhadap infeksi TB laten. c. Pengaruh lokasi kerja terhadap infeksi TB laten.
d. Pengaruh riwayat vaksinasi BCG semasa kecil terhadap reaksi tes tuberkulin.
1.4. HIPOTESIS PENELITIAN
Terdapat hubungan tingginya prevalensi infeksi TB laten diantara petugas kesehatan di RSUP H. Adam Malik Medan dengan lokasi pekerjaan, umur dan lamanya bekerja.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
a. Dari hasil penelitian ini, kita mempunyai data prevalensi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di rumah sakit.
b. Sebagai data dasar dalam menyusun strategi untuk mengendalikan infeksi TB pada petugas kesehatan.
(25)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EPIDEMIOLOGI
Asia Tenggara dan Pasifik Barat menyumbang lebih dari setengah masalah TB di dunia dan setiap tahun jutaan orang terinfeksi kuman TB dan ribuan orang meninggal karena penyakit ini di dua daerah dengan populasi paling banyak didunia. Penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) selama dua dekade terakhir dan munculnya TB dengan resistensi ganda obat telah menambah tantangan dalam pengendalian TB secara efektif. Pada tahun 2003 prevalensi kasus TB di Asia Tenggara dan Pasifik Barat diperkirakan 9,7 juta (291 per 100.000 orang) dimana 5 juta orang adalah kasus baru (149 per 100.000 orang). Cina dan India menyumbang 63% insiden kasus TB di kedua daerah ini.11 Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 orang setiap hari dan 2 – 3 juta orang setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Indonesia masih menempati urutan ke - 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
(26)
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.1
Joshi S dkk.(2006) mengumpulkan data elektronik dan jurnal dengan tujuan untuk menyimpulkan bukti insidensi dan prevalensi infeksi TB laten dan penyakit TB diantara petugas kesehatan di negara – negara yang berpenghasilan rendah dan sedang, untuk mengevaluasi pengaruh dari berbagai macam strategi pencegahan yang telah dicoba. Ada 42 artikel dari 51 penelitian yang mencari data insiden, prevalensi dan faktor risiko TB laten dan penyakit TB diantara petugas kesehatan. Didapatkan hasil prevalensi TB laten diantara petugas kesehatan rata – rata 54% (berkisar 33% sampai 74%), perkiraan resiko TB laten pertahun berkisar 0,5% sampai 14,3% dan insiden penyakit TB pertahun berkisar 69 sampai 5.780 per 100.000 orang jika dibandingkan dengan risiko pada populasi umum yang berkisar 25 sampai 5.361 per 100.000 orang per tahun. Risiko yang lebih tinggi untuk mendapat penyakit TB dihubungkan dengan lokasi pekerjaan (fasilitas perawatan TB, laboratorium, penyakit dalam dan fasilitas gawat darurat) dan kategori pekerjaan (teknisi radiologi, pelayan pasien, perawat, pelayan di ruang rawat, paramedis dan petugas klinis). Didapat kesimpulan bahwa TB menjadi masalah bermakna di lingkungan pekerjaan diantara petugas kesehatan di negara yang berpenghasilan rendah dan sedang. Bukti yang ada menguatkan perlunya rancangan dan penerapan yang sederhana, efektif dan program pengawasan infeksi TB yang baik pada fasilitas perawatan kesehatan pada negara – negara ini.12
(27)
Corbett dkk. (2006) menilai konversi tes kulit tuberkulin pada 6, 12 dan 18 bulan diantara 159 perawat pelajar dan 195 pelajar sekolah politeknik di Harare Zimbabwe. Mendapat kesimpulan kedua kelompok mempunyai angka konversi tes kulit tuberkulin yang tinggi, tetapi angka yang sangat tinggi ada pada kelompok perawat pelajar, hal ini menyatakan secara tidak langsung tingginya paparan M.tuberculosis pada lingkungan kerja. Kuatnya paparan oleh pasien TB yang dirawat dilaporkan selama pendidikan. Perlunya dukungan pada institusi penularan M.tuberculosis untuk melakukan upaya pencegahan, surveillance dan manajemen yang lebih baik sebagai bagian dari respons Internasional terhadap beratnya epidemi infeksi HIV dan krisis petugas kesehatan di Afrika.13
Rahbar dkk. (2005) melakukan penelitian tes kulit tuberkulin pada 350 petugas kesehatan dan membandingkan dengan grup kontrol dari pasien yang datang ke RS Imam Khomeini Hospital of Uremia Iran. Grup kontrol ini tidak ada riwayat pernah bekerja di rumah sakit. Didapat kesimpulan bahwa reaksi tes tuberkulin pada petugas kesehatan lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol, artinya pada grup ini berisiko tinggi untuk mendapat TB.14
Lienhardt dkk. (2002) melakukan investigasi faktor risiko terhadap infeksi TB di negara dengan endemi TB di Gambia Afrika. Tes kulit tuberkulin dilakukan terhadap 315 orang anggota keluarga dengan kasus BTA direct smear positif dan 305 masyarakat sebagai kontrol. Didapatkan hasil tes tuberkulin yang positif (indurasi ≥10) lebih tinggi pada kelompok
(28)
dengan kontak pasien TB daripada kelompok kontrol. Tes tuberkulin meningkat berhubungan dengan umur, jenis kelamin laki-laki, lamanya tinggal dalam lingkungan keluarga BTA direct smear positif tetapi tidak berhubungan dengan adanya scar BCG. Dalam kelompok rumah tangga dengan BTA direct smear positif risiko tes kulit tuberkulin yang positif lebih tinggi pada laki-laki dan bertambahnya usia, kedekatan hubungan sosial dan luasnya gambaran penyakit pada foto toraks dari penderita TB. Sebagai kesimpulan adalah di daerah endemi TB yang tinggi, risiko terinfeksi TB pada orang yang kontak dengan orang penderita TB yang infeksius dihubungkan dengan umur, jenis kelamin, Intensitas paparan terhadap kasus dan derajat beratnya penyakit pada kasus, tetapi mungkin faktor genetik berkontribusi pada kerentanan terhadap infeksi M.tuberculosis.15
Palwatwichai (2001) mendapatkan data bahwa di propinsi utara Thailand risiko infeksi TB meningkat pada petugas kesehatan yang ditunjukkan dengan tes kulit tuberkulin, meningkatnya risiko ini berhubungan dengan lamanya bekerja di rumah sakit.16 Insiden TB lima kali lebih tinggi pada petugas laboratorium medis daripada populasi umum dan khususnya mereka yang bekerja di bagian patologi, maka semua petugas harus disarankan untuk skrining tahunan foto toraks atau tes kulit tuberkulin dilakukan setiap tahun di negara dimana vaksinasi BCG tidak secara rutin diberikan.17 Penelitian oleh Echanove dkk. (2001) didasarkan dugaan ditemukannya TB aktif pada 44 petugas kesehatan di rumah sakit
(29)
pendidikan di Lima Peru. Dimana juga dilakukan survei tes kulit tuberkulin di rumah sakit ini. Didapatkan 36 orang didiagnosa TB paru aktif. Angka TB lebih tinggi secara bermakna diantara 171 petugas kesehatan yang bekerja dilaboratorium daripada petugas kesehatan yang bekerja di lokasi lainnya. Tingginya angka TB paru aktif ditemukan diantara petugas kesehatan di rumah sakit ini dan lingkungan pekerjaan di laboratorium dihubungkan dengan penularan diantara petugas kesehatan.6
2.2. KARAKTERISTIK MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS
Bakteri Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, ukurannya 1 – 4 m x 0,3 – 0,6 m sehingga dapat dengan mudah masuk ke saluran pernapasan bawah. Komponen dinding selnya sangat kompleks, hampir 60% terdiri dari asam lemak mikolat, wax D, fosfatida, sulfatida dan trehalosa dimikolat menyebabkan bakteri ini lebih tahan terhadap proses fagositosis dibandingkan bakteri lain. Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam dan basa dan juga tahan terhadap kerja bakterisidal. Fosfatida pada dinding kuman ini diduga bertanggung jawab terhadap nekrosis dan kaseosa jaringan.1,18,19 Wax D bukan suatu lilin sejati (true wax) tetapi mengandung asam mikolat dan glikopeptida. Wax D ini berperan dalam immunogenitas. Campuran wax D dan protein dari M.tuberculosis akan merangsang reaksi hipersensitifitas terhadap reaksi tuberkulin, sedangkan protein saja bersifat imunogenik lemah. Polisakarida merupakan komponen utama dari
(30)
filtrat biakan dan ekstrak M.tuberculosis, dimana peranannya dalam patogenesis belum jelas, namun dapat merangsang timbulnya reaksi hipersensitifitas tipe cepat dan mengganggu beberapa reaksi antigen – antibodi in vitro. Tuberkulo protein / tuberculin yang terikat pada fraksi lilin dapat membangkitkan sensitifitas tuberkulin dan dapat merangsang pembentukan bermacam – macam antibodi. 19
Bakteri M.tuberculosis bersifat aerob obligat dan tumbuh lambat, untuk membelah dari 1 sel menjadi 2 dibutuhkan waktu 20 jam. Akibatnya kultur BTA menjadi lama yaitu sekitar 3 – 8 minggu, sedangkan bakteri lain cukup 18 – 24 jam. Energi diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana dan CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Bakteri dapat
hidup pada suhu 30 - 400C walaupun suhu optimum untuk tumbuh dan berkembang biaknya 37 – 38 0C.17,19 Kuman akan mati pada suhu 60 0C dalam 15 – 20 menit. Pada suhu 30 0C atau 40 – 45 0C kuman sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan oksigen akan menurunkan metabolisme kuman. Kuman pada sputum kering yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8 – 10 hari. Media buatan yang dipakai untuk isolasi kuman adalah media yang mengandung gliserol, garam ammonium, asparagin dan asam lemak. Kuman dapat tumbuh pada media biakan dengan pH 6 -7,6. Pada media bentuk koloninya bulat, berukuran 1 - 3 mm, permukaannya rata. Pada pertumbuhannya koloni menjadi lebih besar, permukaan tidak rata, kering
(31)
dan berwarna kuning serta bersifat hidrofobik disebabkan karena kadar lemak dinding kuman yang semakin tinggi.19
2.3. PATOGENESIS
Tuberkulosis dapat terjadi melalui berkembangnya infeksi baru yang didapat, reaktivasi dari TB laten, atau infeksi eksogen yang kembali terjadi. Setelah kuman tuberkulosis masuk kedalam saluran napas bawah, akan dicerna oleh makrofag alveolar dan pasien menjadi terinfeksi, kemudian terjadi rangkaian peristiwa imunologi. Hasil dari respon imunologi yang pertama ini adalah apakah individu yang terinfeksi mampu melawan infeksi dan menjadi TB laten atau berkembang progresif menjadi TB primer. Kira–kira 3% sampai 10% individu yang terinfeksi berkembang secara klinis menjadi TB primer. Tetapi kebanyakan individu dapat menahan infeksi primer dimana sering mengakibatkan lesi kalsifikasi pada tempat infeksi berawal yang disebut lesi Ghon. Lesi ini tidak mengandung kuman yang aktif. Pada individu lainnya, parenkim yang abnormal berkembang di daerah apex paru dan dikenal sebagai focus Simon dimana lesi ini kemungkinan besar mengandung kuman aktif dari pada lesi kalsifikasi. Kemudian mungkin akan menyebabkan TB post primer. Setelah mendapat infeksi primer, adanya gangguan didalam sistem imun dapat mengakibatkan ”reaktivasi” M.tuberculosis yang menyebabkan secara klinis penyakit menjadi aktif. Pada awal abad ke-20 terjadi perdebatan mengenai apakah tuberkulosis sebagai akibat dari aktivasi
(32)
endogen atau reinfeksi eksogen. Stead dalam tinjauan klasik membuktikan bahwa aktivasi endogen adalah cara yang paling lazim aktifnya tuberkulosis pada orang dewasa. Diperkirakan bahwa sekitar 90% kasus tuberkulosis pada orang dewasa adalah sebagai akibat reaktivasi endogen dari infeksi laten. Dengan bantuan molecular genotyping, proporsi kasus reaktivasi diperkirakan 60% sampai 70% dengan 30% sampai 40% kasus diakibatkan oleh infeksi yang baru. Sekarang ini banyak ahli percaya bahwa bentuk dewasa tuberkulosis biasanya sebagai akibat dari reaktivasi infeksi laten yang didapat sebelumnya.20
Banyak faktor berperan dalam kemampuan individu melawan kuman TB. Progresifitas dari paparan terhadap penyakit tergantung pada risiko paparan, risiko mendapat infeksi dan risiko berkembangnya penyakit menjadi aktif. Hal ini pada gilirannya akan tergantung pada faktor pejamu dan lingkungan. Faktor – faktor yang menentukan dalam penularan yaitu kemungkinan kontak dengan kasus TB, lama dan eratnya hubungan dengan kontak tersebut, derajat infeksius dari kasus dan keadaan lingkungan kontak. Penelitian menunjukkan bahwa kasus dengan hapusan sputum yang positif TB lebih mungkin untuk menginfeksi orang yang kontak dengannya dari pada penderita TB yang hapusan sputumnya negatif. Pada orang yang terinfeksi M.tuberculosis, sekitar 90% berkembang menjadi infeksi laten dan sekitar 10% penyakit berkembang progresif.21 Penelitian Leinhardt dkk. Di Afrika Barat telah memperlihatkan bahwa jenis kelamin laki – laki, riwayat keluarga menderita TB, merokok
(33)
dan infeksi HIV adalah faktor risiko infeksi TB. Merokok dan infeksi virus khususnya influenza mengurangi gerakan dari ciliary dan produksi mukus oleh sel goblet yang diketahui sebagai lini pertama pertahanan pada saluran napas, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi TB. Keramaian dan kemiskinan meningkatkan risiko pemaparan sehingga terhadap M.tuberculosis. Tenaga kesehatan juga dicatat mempunyai risiko paparan yang lebih tinggi dan infeksi laten. 15,21
Faktor genetik juga berperan dalam menentukan perjalanan penyakit setelah terjadi pemaparan oleh M.tuberculosis. Molekul HLA – DR2 diketahui berkaitan dengan kerentanan terhadap TB dalam populasi. Genetic polymorphism dan bagian – bagian kromosom seperti reseptor vitamin D, reseptor 1 dan 2 y-interferon , MBL2, IL-1RA, TLR2, HLA STAT 1, SP110 dan masih banyak lagi yang diketahui berkaitan dengan kerentanan genetik terhadap TB. 21
Interaksi M.tuberculosis dengan pejamu dimulai saat terinhalasinya droplet nuclei dengan ukuran 1-2 m yang mengandung mikroorganisme dari penderita TB yang infeksius. Partikel ukuran seperti ini akan masuk kedalam saluran napas bawah. Partikel dengan ukuran yang lebih besar akan dibungkus oleh mukus dan dengan aksi dari ciliary dibawa sampai trakea lalu dibatukkan atau ditelan. Kemungkinan lain adalah organisme dapat bermultiplikasi dalam makrofag alveolar setelah infeksi dan menyebabkan TB primer.21 Basil mungkin menjadi dorman dalam granulomata yang teratur dengan karakteristik terdiri dari sel–sel CD1a+
(34)
yang berselang seling diantara sel-sel epitelioid, dikelilingi oleh sel-sel CD4+ dalam lapisan limfosit dan lingkaran sel-sel T CD8+ yang berikatan satu sama lain oleh matrix ekstraselular. Granulomata yang stabil mungkin tidak pernah menyebabkan penyakit sehingga disebut infeksi laten dan ditandai oleh tes kulit tuberkulin yang positif. Tetapi organisme laten akhirnya dapat berkembang yang disebut dengan reaktivasi. 3,21
Pada tahap awal infeksi, basil dalam makrofag dibawa ke pembuluh limfe regional dimana mereka menyebar melalui penyebaran limfatik atau lebih luas lagi kebanyak organ dan jaringan melalui penyebaran hematogen yang dapat menyebabkan TB milier. Vaksinasi BCG (Bacille-Calmette-Gu rin) tampaknya dapat mencegah terjadinya TB milier dan pengobatan antibiotik mencegah penyakit menjadi kronik.8,21
2.4. SISTEM IMUN TERHADAP INFEKSI
Respons imun sebagai proteksi utama terhadap kuman intraseluler adalah cell mediated immunity (CMI) atau imuniti seluler. Imuniti seluler terdiri atas dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag teraktivasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik). Kuman yang masuk ke alveoli akan ditelan dan sering dihancurkan oleh makrofag alveolar. Secara imunologis, sel makrofag dibedakan menjadi makrofag normal dan makrofag teraktivasi. Makrofag berperan pada pembangkitan daya tahan imunologis nonspesifik, dilengkapi dengan kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik terbatas. Makrofag normal ini berperan pada daya tahan
(35)
imunologis bawaan / innate resistance. Sedang makrofag teraktivasi mempunyai kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T bagian dari respons imun spesifik / acquired resistance.22
Sel T merupakan mediator utama pertahanan imun melawan M.tuberculosis, Sel T terdiri dari limfosit T helper, disebut juga Clusters of differentiation 4 (CD4) karena mempunyai molekul CD4+ pada permukaannya, jumlahnya 65% dari limfosit T darah tepi. Sebagian kecil (35%) lainnya berupa limfosit T supresor atau sitotoksik, mempunyai molekul CD8+ pada permukaannya dan sering disebut CD8. Sel T helper (CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1 (Th1) dan dan sel T helper 2 (Th2). Subset sel T tidak dapat dibedakan secara morfologik tetapi dapat dibedakan dari perbedaan sitokin yang diproduksinya. Sel Th1 membuat dan membebaskan sitokin tipe 1 meliputi IL-2, IL-12, IFN- dan tumor nekrosis faktor alfa (TNF ). Sitokin yang dibebaskan oleh Th1 adalah aktivator yang efektif untuk membangkitkan respons imun seluler melalui pola Th1. Sel Th2 membuat dan membebaskan sitokin tipe 2 antara lain IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10. Sitokin tipe 2 menghambat proliferasi sel Th1, sebaliknya sitokin tipe 1 menghambat produksi dan pembebasan sitokin tipe 2.22
Selama beberapa hari atau minggu awal infeksi TB primer, respons kompleks sedang disiapkan pejamu. Mekanisme pertahanan spesifik terjadi dalam 4-8 minggu setelah infeksi berupa sensitisasi sel T terhadap
(36)
antigen spesifik.22 Respons imun sebagai pertahanan melawan M.tuberculosis melibatkan sebagian besar limfosit T yang mengaktivasi makrofag dan fungsi mikrobicidal melalui pelepasan IFN- . Hal ini menyebabkan pembentukan granuloma yang penting untuk menahan M.tuberculosis. Makrofag / sel dendritic ditemukan dalam inti granuloma ini, bersama dengan M.tuberculosis yang dikelilingi limfosit T. Persiapan limfosit T melawan antigen M.tuberculosis diduga terjadi dibagian proximal aliran pembuluh limfe dan mengandalkan subset tertentu dari sel fagosit yaitu sel Dendritic (DCs / Dendritic Cells). Sel dendritic mempunyai kemampuan yang unik untuk mengaktifkan limfosit setelah mereka bermigrasi dari lokasi infeksi. Mereka menangkap antigen dan membawanya ke pembuluh limfe, dimana mereka akan mengeluarkan sejumlah besar molekul seperti Major Histocompatibility Complex (MHC) I atau II, juga molekul co-stimulatory (seperti CD80 dan CD86), dan soluble factor seperti IL-12, IL-18 atau IL-23. 23
M.tuberculosis memasuki sel dendritic setelah terikat pada lectin DC specific inter-cellular adhesion molecular-3 grabbing non- integrin (DC-SIGN) yang baru – baru ini di identifikasi. Sebaliknya complement receptor 3 (CR3) dan reseptor mannose yang adalah reseptor utama M.tuberculosis pada makrofag, tampaknya memainkan peranan kecil dalam pengikatan mikobakteria pada sel dendritic. Lipoglycan spesifik mikobakteria yaitu lipoarabinomannan (LAM) diidentifikasi sebagai ligan kunci dari DC-SIGN. Hal ini menunjukkan bahwa human
(37)
immunodeficiency virus (HIV) ditangkap oleh reseptor DC-SIGN yang sama, yang memperbolehkan masuknya HIV dan M.tuberculosis dalam sel dendritic invivo. Hal ini mungkin mempengaruhi persistensi bakteri dan ketahanan tubuh terhadap M.tuberculosis. DC-SIGN mungkin menerangkan beberapa aspek patologi dan imunologi infeksi M.tuberculosis pada orang yang juga terinfeksi HIV, yang menyebabkan meningginya insiden mediastinal adenitis dan tuberkulosis diseminata. 23
Penemuan penting dari keluarga protein yaitu Toll-like receptor (TLR) dalam respons imun pada serangga, tumbuh – tumbuhan dan vertebrata, telah memberikan pandangan yang baru terhadap mata rantai antara imunitas bawaan dan imunitas adaptif (yang didapat). Medzhitov dkk. menunjukkan bahwa signal Drosophila Toll protein yang sama pada manusia mengaktivasi imunitas adaptif. Mycobacterium memberikan dua signal untuk mengaktifkan lipid reactive T cells (antigen lipid yang mengaktifkan reseptor sel T) dan lipoid adjuvant yang mengaktifkan antigen-presenting cells (APCs) melalui TLR-2. 23,24
Setelah pengenalan dalam pembuluh limfe, memori sel T CD4 dan CD8 menjadi komponen utama dari sistem imun yang didapat dan dasar untuk keberhasilan imunitas / vaksinasi. Cara sel dendritic memancing respons sel T CD4 dan CD8 terhadap infeksi bakteri diyakini menggunakan deplesi yang selektif dari sel dendritic ini pada model murine. In vitro limfosit CD4 dan CD8 yang telah diaktivasi, mereka menjadi sitotoksik terhadap mycobacterium dan makrofag yang
(38)
mengandung kuman itu. Kemampuan sel CD4 dan CD8 untuk membunuh patogen secara intraseluler tergantung pada kemampuan mereka untuk menarik sel yang terinfeksi dan juga sekresi molekul sitolitik dan molekul efektor mycobacterium. Sebagai contoh : sel T CD8 dapat melepaskan kemokin seperti CCL5 yang secara efisien menarik makrofag yang terinfeksi M.tuberculosis. In vitro, makrofag yang terinfeksi mencetuskan pengeluaran granulysin dan perforin oleh sel T CD8, dua senyawa yang sangat aktif terhadap sensitivitas obat dan resistensi obat dari isolat klinis M.tuberculosis. 23
Sel Natural killer (NK Cells) adalah bakterisidal terhadap M.tuberculosis. Limfosit killer ini dapat diaktifkan pada kehadiran antigen asing, saat APC tidak ada. Sel – sel NK adalah efektor imunitas bawaan yang menghasilkan sitokin imunoregulator yang penting sebagai pertahanan pertama host dalam melawan patogen virus, bakteri dan parasit. Telah dilaporkan bahwa interaksi aktivasi timbal balik terjadi diantara sel NK dan sel dendritic melalui mekanisme yang tergantung pada sel – sel kontak dan faktor soluble. 23,24
Telah dilaporkan bahwa IFN- dan monokin seperti IL-15 dan IL-18, memainkan peranan yang penting dalam regulasi sel T CD8 terhadap M.tuberculosis oleh sel NK. Sel NK juga memperbaiki fungsi sel T tipe lain dari limfosit yang berperan dalam respons imun terhadap M.tuberculosis. Sel – sel ini adalah sitolitik dan berpotensial untuk
(39)
membunuh M.tuberculosis. Sel – sel ini juga merupakan sekretor IFN- yang poten dan mungkin dapat mengaktifkan makrofag. 23
Monosit dan makrofag dalam keadaan resting tidak dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mycobacterium. Aktivasi mereka memerlukan pelepasan sejumlah sitokin oleh limfosit, seperti interleukin-2, IFN- atau Tumour Necrosis Factor (TNF). INF- menaikkan regulasi bermacam fungsi makrofag, termasuk produksi TNF yaitu toxic oxygen species dan nitric oxide oleh induksi nitric oxide synthase. Pelepasan oksigen radikal tampaknya berhubungan dengan sebagian kemampuan bakterisidal dari makrofag. Faktanya nitric oxide tampaknya lebih penting (paling tidak pada tikus), tetapi peranan lysozyme, proteases dan hydrolases tidak boleh diabaikan. TNF sendiri tidak menghambat pertumbuhan M.tuberculosis (seperti M.avium), tetapi mungkin lebih penting daripada IFN- dalam menginduksi bakterisid makrofag manusia. Pada model eksperimental dan clinical trials telah mengumpulkan bukti identifikasi TNF sebagai faktor kunci dalam pertahanan host terhadap infeksi mycobacterium. TNF sendiri tidak menghambat pertumbuhan mycobacterium tetapi aksinya sebagai signal kedua untuk aktivasi sel T dan juga untuk aktivasi makrofag.23 Pada gambar 1 dibawah ini digambarkan peranan dari sel dendritic, makrofag alveolar, limfosit T, CD4, CD8 dan lain – lain.
(40)
Gambar 1 Peranan sel dendritic (DC), makrofag alveolar (AM), Limfosit T (TL), CD4, CD8, Natular Killer (NK), Toll like receptor (TLR-2), DC specific inter-cellular adhesion molecular-3 grabbing non-integrin (DC-SIGN), Reactive Oxygen Intermediates (ROI), Nitrogen Oxide (NO), Tumour Necrosis Factor (TNF), Interferon (IFN) dan Interleukin (IL)22
Pada hampir semua pejamu normal, lesi primer dalam paru akan membaik karena pengaruh pertahanan seluler atau CMI. Pada sebagian pejamu kemampuan meningkatkan respons imun lemah sehingga tidak mampu mengendalikan TB. Termasuk dalam kelompok ini adalah bayi (sistem imun imatur), usia lanjut (kompetensi imun menurun dengan bertambahnya usia), dan immunocompromised (khususnya penderita HIV /AIDS). Pejamu tersebut secara klinis akan menderita TB beberapa minggu sampai bulan sesudah infeksi primer.22
(41)
Tes kulit tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan menghasilkan hipersensitifitas tipe lambat. Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T tersensitisasi dan menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit akan merangsang terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema deposit fibrin dan penarikan sel inflamasi ketempat suntikan seperti tampak pada gambar 29
Gambar 2. Hipersensitifitas tipe IV9
2.5. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS LATEN
Tes kulit tuberkulin adalah metode yang terbukti dapat mengidentifikasi adanya infeksi M.tuberculosis pada orang yang tidak mempunyai gejala menderita penyakit TB. Meskipun antigen tes kulit tuberkulin yang tersedia mempunyai sensitifitas dan spesifisitas kurang dari 100% untuk mendeteksi infeksi M.tuberculosis tetapi belum ditemukan metode yang
(42)
lebih baik.8,22 Infeksi M.tuberculosis biasanya mengakibatkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat sebagai reaksi terhadap disuntikannya tuberkulin PPD yang dapat dideteksi setelah 2 – 12 minggu terinfeksi. Reaksi hipersensitifitas tipe lambat biasanya dimulai 5 – 6 jam setelah injeksi tuberkulin dan mencapai maksimal pada 48 – 72 jam dan hilang setelah jangka beberapa hari, meskipun reaksi sering menetap sampai 1 minggu.25
Hasil tes tuberkulin negatif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut tidak terinfeksi dengan basil TB. Selain itu dapat juga karena terjadi pada saat kurang dari 10 minggu sebelum imunologi seseorang terhadap basil TB terbentuk. Jika terjadi hasil yang negatif maka tes tuberkulin dapat diulang 3 bulan setelah suntikan pertama. Hasil tes tuberkulin yang positif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut sedang terinfeksi basil TB. Yang terpenting adalah jika seseorang sedang terinfeksi M.tuberculosis apakah sedang terinfeksi atau sakit TB. Sehingga guideline ACHA (The American College Health Association) menyebutkan jika hasil tes tuberkulin positif maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan dahak. Jika hasil foto toraks tersebut normal maka dapat dilakukan pemberian terapi TB laten, tetapi jika hasil foto toraks terjadi kelainan dan menunjukkan ke arah TB maka dapat dimasukkan dalam TB paru aktif.9
Reaksi hipersensitif tipe lambat terhadap tuberkulin PPD juga mengindikasikan adanya infeksi berbagai nontuberculous mycobacteria
(43)
atau vaksinasi Bacille Calmette-Gu rin (BCG) hal ini merupakan penyebab positif palsu pada tes kulit tuberkulin. Reaksi positif yang ditimbulkan oleh vaksinasi BCG dapat bertahan beberapa tahun tetapi biasanya reaksi lebih lemah dan sering berdiameter kurang dari 10 mm (<6 mm).9,26-29 Adapun yang menyebabkan negatif palsu dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Penyebab negatif palsu9 Faktor yang berhubungan dengan orang yang diperiksa :
- Infeksi virus, bakteri, jamur - Vaksinasi virus hidup
- Ketidakseimbangan metabolik seperti CRF (Chronic Renal Failure)
- Rendahnya status protein
- Penyakit yang mempengaruhi organ limfoid - Obat
- Usia - Stress
Faktor yang berhubungan dengan tuberkulin yang digunakan : - Terkontaminasi
(44)
Lanjutan tabel 1.
Faktor yang berhubungan dengan metode penyuntikan : - Injeksi subkutan
- Penyuntikan yang lambat setelah jarum masuk intradermal - Tempat injeksi yang tertutup dengan skin tes lain
- Injeksi bersamaan dengan antigen lain
Faktor yang berhubungan dengan pencatatan hasil dan pembacaan : - Pembaca yang tidak handal
- Bias
- Kesalahan dalam membaca
Pengetahuan tentang sensitifitas dan spesifisitas dan juga nilai prediksi positif dari tes kulit tuberkulin diperlukan untuk menginterpretasikan reaksi tes kulit secara tepat. Pada orang dengan infeksi TB laten dan respon imunnya normal sensitifitas tes hampir mendekati 100%. Reaksi positif palsu mengakibatkan spesifisitas menjadi lebih rendah dan menurunnya nilai prediksi positif pada orang yang mempunyai sedikit kemungkinan untuk infeksi TB laten. Tetapi spesifisitas juga tergantung pada kriteria yang dipakai untuk mendefinisikan sebagai “positif“ pada tes ini. Spesifisitas dapat diperbaiki dengan menambahkan ukuran reaksi yang membedakan reaksi positif dari reaksi negatif.10 Nilai prediksi positif sangat bervariasi berhubungan dengan prevalensi infeksi M.tuberculosis pada beberapa populasi dan risiko untuk berkembangnya penyakit dari
(45)
infeksi TB laten bervariasi berdasarkan karakteristik orang yang terinfeksi.8 Kriteria positif dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2. Kriteria tes tuberkulin positif dengan kelompok risiko10 Reaksi Indurasi Dipertimbangkan positif pada :
5 mm atau lebih - Orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) / AIDS.
- Kontak baru dengan penderita tuberkulosis. - Orang dengan lesi fibrosis pada radiografi torak
yang sesuai dengan penyembuhan TB.
- Orang dengan transplantasi organ dan orang dengan imunosupresi lainnya (seperti mendapat pengobatan prednison > 15 mg/hari selama lebih dari 1 bulan.
- Orang yang mendapat pengobatan tumor necrosis factor-alpha (TNF- ) antagonis.
10 mm atau lebih - Imigran baru (dalam 5 tahun) dari negara dengan insiden atau prevalensi TB yang tinggi (contoh berasal dari Afrika, Asia, Amerika latin, Eropa Timur, Rusia atau dari kamp pengungsi. - Pemakai obat injeksi atau bahan – bahan
berisiko tinggi lainnya seperti kokain. - Peminum alkohol.
(46)
Lanjutan tabel 2.
10 mm atau lebih
- Penduduk atau pekerja di daerah risiko tinggi, berada pada lokasi seperti penjara, lama tinggal pada fasilitas perawatan seperti perawatan rumah, rumah sakit jiwa dll, ; rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, panti asuhan/panti jompo dan kamp pengungsi.
- Petugas laboratorium mikrobiologi
- Orang dengan kondisi medis yang berisiko terhadap penyakit TB.
- Anak usia < 5 tahun atau anak – anak dan remaja yang terpapar pada orang dewasa dengan risiko tinggi.
15 mm atau lebih - Orang yang tanpa faktor risiko TB
Tes kulit tuberkulin dapat berguna untuk mengidentifikasi orang yang baru terinfeksi M.tuberculosis jika dilakukan pengulangan tes secara periodik pada surveilance kepada orang dengan tes tuberkulin negatif dengan kemungkinan terpapar TB (contoh pada petugas kesehatan). Pada orang yang tes tuberkulin sebelumnya negatif, pertambahan diameter ukuran reaksi sebesar 10 mm atau lebih dalam waktu 2 tahun harus dipertimbangkan telah terjadi konversi pada tes kulit. Pada petugas kesehatan dengan derajat indurasinya dianggap sebagai akibat dari
(47)
infeksi MOTT atau vaksinasi BCG sebelumnya, dikatakan telah terjadi konversi jika pertambahan indurasi sedikitnya 10 mm diatas tes sebelumnya. Pada petugas kesehatan yang tes tuberkulin sebelumnya negatif dan termasuk kedalam kelompok paparan risiko rendah, pertambahan indurasi 15 mm dalam waktu 2 tahun dapat didefinisikan konversi baru. Orang yang konversi harus dipertimbangkan sebagai infeksi TB baru dan dipertimbangkan untuk mendapat terapi pencegahan.8 Pemeriksaan in vitro saat ini telah diteliti sebagai alternatif terhadap tes tuberkulin berupa pemeriksaan interferon gamma (IFN- ). Tes darah interferon- dipercaya oleh FDA sebagai alat bantu untuk mendeteksi infeksi TB laten disamping tes kulit tuberkulin, yaitu Quantiferon TB Test dan generasi keduanya Quantiferon TB Gold Test (QFT). Hasil tes didasarkan pada ditemukannya interferon- yang dihasilkan oleh sel T, sebagai respon terhadap antigen spesifik dari M.tuberculosis. Kelebihan tes ini adalah hanya memerlukan sekali kunjungan pasien, tidak ada boosting effect seperti pada tes kulit tuberkulin dan sedikit bias atau error pada pembacaan. Tes ini juga lebih spesifik dari pada tes kulit tuberkulin pada populasi yang mendapat vaksinasi BCG. Kelemahan tes ini adalah sampel darah harus diproses dalam waktu 12 jam. Tes tidak boleh dilakukan pada pasien yang diduga TB aktif, anak – anak umur kurang dari 17 tahun, pasien HIV atau kondisi lainnya yang respon imunnya terganggu. 8,30
(48)
2.6. TES KULIT TUBERKULIN
Tes kulit tuberkulin telah digunakan sebagai tes diagnostik infeksi TB laten sejak awal tahun 1900. Tes ini murah dan relatif mudah untuk dilakukan.31 Sejarahnya berawal pada tahun 1882 yang lalu, segera setelah ditemukan basil TB, Robert Koch mengambil konsentrat steril dari biakan cair yang sudah mati yang disebut tuberculin. Tes kulit tuberkulin adalah salah satu metode yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi TB. Ini sering digunakan untuk skrining individu dari infeksi laten dan menilai rata – rata infeksi TB pada populasi tertentu. Tes tuberkulin dilakukan untuk melihat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil TB, sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi TB. Tetapi tes tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan M.tuberculosis tersebut aktif atau tidak aktif (laten).9
Old tuberculin Koch (OT) tersedia dalam bentuk larutan dalam pelarut yang mengandung gliserin, merupakan residu dari kultur M.tuberculosis yang dipanaskan pada suhu 1000C selama beberapa jam dan dibuat konsentrat 10 kali lipat melalui proses evaporasi. Karena tidak murni, toksik, nonspesifik dan tidak memenuhi standar, Old tuberculin Koch dan beberapa produk yang serupa tidak dipakai untuk uji tuberkulin di AS. Florence B dari Institut Henry Phipps di Philadelphia menetapkan bahwa sediaan OT mengandung berbagai macam protein dan polisakarida dan protein itu merupakan antigen uji tuberkulin yang sesuai. Dia memproduksi purified protein derivative (PPD) merupakan bahan yang lebih sesuai
(49)
standar dari pada OT, yang didapat dengan penguapan kultur M.tuberculosis dengan memakai sterilisator Arnold dan pemurnian protein dengan cara presipitasi berulang kali dengan ammonium sulfat netral. Pada tahun 1939 Seibert membuat PPD lot 49608 yang menjadi standar rujukan oleh US Public Health Service’s Bureau of Biologics Standart. Pada tahun 1944 lot ini diganti namanya menjadi PPD-S (S berarti Standar) dan pada tahun 1952 PPD-S diadopsi sebagai standar internasional oleh Badan kesehatan dunia (WHO). Dengan ketentuan 5 TU (test unit) adalah kadar aktivitas test kulit yang terkandung dalam 0,0001 mg PPD-S. Pada perkembangan selanjutnya ada dua tes kulit tuberkulin (TST) komersial yang dipasarkan di Amerika Serikat yaitu Aplisol (Parkdale Pharmaceuticals) dan Tubersol (Connaught). Meskipun keduanya diuji agar secara biologi sama dengan PPD-S namun sejumlah laporan menyatakan Aplisol memberikan reaksi yang lebih besar. Diluar Amerika yang dipakai adalah PPD RT-23 yang dibuat oleh Biological Standards Staten, Serum Institute, Copenhagen, Denmark. diperkenalkan pada tahun 1958 oleh WHO. Dosis standar untuk tes kulit adalah 2 TU dan tes pada manusia mengindikasikan bahwa tes yang dilakukan secara simultan pada orang yang sensitif didapatkan reaksi rata – rata 16,8 mm untuk 2 TU RT-23 dan 18,7 mm untuk 5 TU Tubersol.9,29,32
Orang dengan risiko yang harus dites terhadap infeksi TB laten yaitu : - Bertambahnya risiko paparan terhadap kasus yang infeksius,
(50)
dengan orang yang menderita TB aktif, petugas kesehatan yang bekerja pada tempat pasien TB menjalani pengobatan .
- Bertambahnya risiko terhadap infeksi TB, contoh orang yang lahir dari negara dengan prevalensi TB yang tinggi, orang yang dipenjara, orang yang tinggal dan bekerja pada fasilitas yang menyediakan perawatan jangka lama.
- Bertambahnya risiko menjadi TB aktif pada waktu infeksi terjadi, contoh pada pasien yang terinfeksi HIV, pemakai obat suntik, pasien gagal ginjal terminal, pasien silicosis, pasien diabetes mellitus, pasien yang mendapat terapi imunosupresif, pasien dengan keganasan hematology, orang dengan malnutrisi atau orang yang baru turun berat badannya lebih dari 10% berat badan ideal, orang yang dilakukan gastrektomi atau jejunoileal bypass, orang dengan infeksi baru termasuk anak – anak umur kurang dari 4 tahun dan orang yang ditemukan mempunyai konversi tuberkulin yang didefinisikan sebagai peningkatan indurasi sedikitnya 10 mm pada tes kulit tuberkulin dalam periode dua tahun.33
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tes tuberkulin, yaitu :
a. Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin)
Vaksinasi BCG dipakai dibanyak negara dengan endemi TB untuk melindungi bayi dan anak – anak dari komplikasi yang serius akibat infeksi TB, khususnya TB milier dan meningitis TB. Pengaruh dari
(51)
vaksinasi BCG pada hasil tes tuberkulin sering menyebabkan kebingungan. Reaksi tuberkulin yang disebabkan BCG umumnya semakin berkurang dengan berlalunya waktu, tetapi tes tuberkulin yang dilakukan secara periodik mungkin memperpanjang (booster) reaktivitas pada orang yang divaksinasi. Riwayat vaksinasi BCG bukan kontra indikasi tes kulit tuberkulin atau pengobatan TB laten pada orang yang hasil tes tuberkulinnya positif. Reaksi tes tuberkulin harus ditafsirkan tanpa menghiraukan riwayat vaksinasi BCG.
b. Infeksi HIV
Pada orang yang mendapat infeksi TB laten dan HIV, risiko berkembangnya TB laten menjadi penyakit TB sekitar 7% sampai 10% setiap tahunnya. Pada orang yang terinfeksi TB laten tetapi tidak terinfeksi HIV, risiko berkembangnya TB laten hanya 10% selama hidupnya. Infeksi HIV mungkin menekan reaksi tes tuberkulin, tetapi tes tuberkulin harus dilakukan setelah status HIV mereka diketahui. Hasil tes tuberkulin yang negatif tidak menyingkirkan infeksi TB laten. Pengulangan tes setiap tahun harus dipertimbangkan pada orang yang terinfeksi HIV dengan tes tuberkulin yang negatif pada evaluasi awal dan pada populasi yang secara nyata berisiko terpapar M.tuberculosis. Setelah terapi antiretroviral (HAART / highly active antiretroviral therapies), pengulangan tes tuberkulin dianjurkan pada penderita HIV dengan
(52)
hasil tes tuberkulin yang lalu negatif karena penyusunan kembali sistem imun mungkin mengakibatkan pemulihan reaktivitas tes tuberkulin.
c. Booster Phenomenon
Beberapa tahun setelah mereka terinfeksi pada beberapa orang dengan TB laten mungkin memberikan reaksi negatif ketika dilakukan tes tuberkulin, kemudian pada tes tuberkulin berikutnya terjadi reaksi positif karena tes yang terdahulu menstimulasi kemampuan mereka bereaksi terhadap tes itu. Hal ini biasanya disebut sebagai booster effect dan tidak benar jika ditafsirkan sebagai tes kulit konversi (dari negatif menjadi positif). Untuk alasan ini two-step method34 dianjurkan pada saat memulai tes untuk individu yang akan dites secara periodik (contoh pada petugas kesehatan). Jika hasil tes pertama (pada tes yang dilakukan dua kali) adalah positif maka dipertimbangkan orang tersebut mendapat infeksi TB laten, orang itu dievaluasi dan diobati. Jika hasil pada tes pertama adalah negatif dan tes kedua harus diulangi dalam waktu 1 sampai 3 minggu, jika hasil tes kedua positif maka dipertimbangkan orang tersebut menderita TB laten selanjutnya dievaluasi dan diobati. Tetapi jika kedua tes negatif dipertimbangkan orang tersebut tidak terinfeksi dan diklasifikasikan sebagai negatif.
(53)
d. Kontak
Orang yang kontak dengan dengan kasus TB yang infeksius, tes ulangan setelah 8 – 10 minggu dianjurkan jika hasil tes mula-mula negatif. Anak umur kurang dari 5 tahun dan orang dengan imunosupresif (contoh infeksi HIV) dengan hasil tes tuberkulin negatif harus diobati dan tes tuberkulin lainnya dalam waktu 8 – 10 minggu setelah kontak terakhir. Jika hasil tes ulangan positif, pengobatan harus dilanjutkan. Jika hasil tes ulangan negatif, pengobatan bisa dihentikan. Pengulangan tes bukan disebut two-step testing, tes kedua diperlukan pada kasus terjadi infeksi karena onsetnya terlalu awal pada saat dilakukan tes pertama.
e. Wanita hamil
Penelitian yang dilakukan pada wanita selama masa kehamilan maupun sesudahnya menunjukkan bahwa kehamilan tidak berpengaruh pada reaksi hipersensitifitas tes kulit tuberkulin. Tidak ada efek teratogenik dilaporkan pada tes yang dilakukan selama hamil jadi tes ini dipertimbangkan valid dan aman.9,27
(54)
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1. RANCANGAN PENELITIAN
Rancangan penelitian berupa deskriptif analitik dengan pendekatan secara cross sectional .
3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada petugas kesehatan yang bekerja di RSUP H. Adam Malik Medan selama kurun waktu 6 bulan atau sampel telah terpenuhi.
3.3. SUBJEK PENELITIAN 3.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah petugas kesehatan yang bekerja di RSUP H. Adam Malik Medan.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang terpilih yaitu petugas kesehatan yang tidak sedang menderita penyakit TB atau pernah menderita penyakit TB.
(55)
3.4. JUMLAH SAMPEL
Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus : n = Z 2 . p ( 1-p )
d2 dimana :
n = besar sampel
Z 2. = batas kepercayaan 95% = 1,96
p = prevalensi TB laten dari kepustakaan : 50% d = ketepatan penelitian = 0,1
sehingga : n = 1,962 . 0,5 (1-0,5 ) 0,12
n = 3,8416 . 0,5 . 0,5 0,01
n = 96,04 î digenapkan menjadi 100 sampel. 3.5. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
3.5.1. Kriteria Inklusi :
a. Petugas kesehatan.
b. Bersedia mengikuti penelitian. 3.5.2. Kriteria Eksklusi :
a. Sedang dalam pengobatan penyakit TB. b. Pernah menderita penyakit TB.
(56)
c. Sedang menderita infeksi virus (HIV, measles, mumps, chiken pox), bakteri (demam tifoid, brucellosis, typhus, lepra, pertusis) atau jamur (kandida).
d. Sedang menderita penyakit yang mempengaruhi organ limfoid (penyakit Hodgin, lymphoma, sarcoidosis, chronic lymphocytic leukemia).
e. Sedang mendapat terapi immunosupresif (kortikosteroid). f. Baru menjalani pembedahan.
g. Luka bakar.
3.6.KERANGKA KONSEP
- umur
- riwayat BCG - lokasi kerja - lamanya bekerja
Test kulit Tuberkulin
Petugas kesehatan Gejala klinis :
Sakit TB (-)
Indurasi < 10mm
Foto toraks Indurasi ≥ 10mm
Foto toraks normal : TB Laten
(57)
3.7. DEFINISI OPERASIONAL
a. Penyakit TB: termasuk semua bentuk TB paru dan ekstra paru. Diagnosis definitif yang dibuat berdasarkan mikrobiologi atau dugaan TB (didasarkan klinis, radiologi atau kriteria patologi).
b. TB laten : kondisi seseorang yang terinfeksi M.tuberculosis (ditandai dengan tes kulit tuberkulin positif) tetapi saat ini orang tersebut tidak sakit, tidak mempunyai gejala / asymptomatic dan gambaran foto toraks normal.
c. Petugas kesehatan: orang yang bekerja di tempat pelayanan kesehatan, termasuk dokter, perawat, bidan, petugas laboratorium, komunitas petugas kesehatan, teknisi dan petugas administrasi. d. Lama kerja: dihitung mulai bekerja sebagai petugas kesehatan. e. Lokasi kerja : meliputi bangsal paru, penyakit dalam, neurologi,
THT, Intensive Care Unit (ICU), radiologi, laboratorium mikrobiologi dan lain – lain.
f. Umur : dihitung dalam tahun.
g. Tes kulit tuberkulin : metode untuk mengidentifikasi adanya infeksi M.tuberkulosis memakai 1 TU (Tuberculin Unit) atau 2 TU purified protein derivate of tuberculin (PPD) RT 23 atau 5 TU PPD S.
h. Foto toraks normal : tidak dijumpai gambaran secara radiologi yang mengarah ke TB paru aktif ( bayangan infiltrat, bayangan rongga, bayangan milier / noduler, bayangan efusi pleura dll.).
(58)
3.8. CARA KERJA26
a. Sebelum penelitian dimulai, diminta persetujuan dan kesediaan penderita untuk mengikuti penelitian.
b. Petugas kesehatan yang memenuhi kriteria inklusi dicatat nama, umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, riwayat vaksinasi BGC sebelumnya, jenis pekerjaan, lokasi bekerja saat ini, lokasi kerja sebelumnya dan lamanya bekerja sebagai petugas kesehatan.
c. Pemeriksaan tes kulit tuberkulin (dilakukan oleh peneliti) dengan prosedur sebagai berikut :
1. Pilihlah daerah kulit di volar / permukaan belakang lengan bawah. Lengan tidak boleh dibersihkan dengan aseton atau eter. Jika digunakan sabun dan air, pastikan lengan tersebut sudah kering sebelum dilakukan tes.
2. Gunakan alat suntik khusus 1ml sekali pakai (tiap 1 ml terbagi menjadi 100 bagian). Gunakan jarum sekali pakai ukuran 26 dan panjang jarum 10 mm dengan bevel pendek (dapat digunakan ukuran 25 jika tidak ada yang berukuran 26). Gunakan alat suntik (jarum dan tabungnya) tersendiri untuk tiap orang yang di-tes. Ambillah larutan sedikit lebih dari 0,1 ml ke dalam tabung. Arahkan ke atas dan keluarkan udara yang ada. Kemudian sesuaikan hingga 0,1 ml tepat dengan mengeluarkan cairan yang kelebihan.
(59)
3. Dengan ringan meregangkan kulit. Masukkan jarum dengan bevel diatas kedalam kulit (bukan di bawah kulit). Jangan sentuh pengisap hingga ujung jarum berada pada posisi yang tepat. Suntikan tepat 0,1 ml. Lepaskan jari kita dari pengisap sebelum kita menarik jarum. Ini akan menghasilkan bilur yang pucat, datar, berlubang – lubang yang jelas dan garis batas yang tegas (lihat gambar 3).
4. Jika ada pembocoran tuberkulin yang nyata (antara jarum dan tabung atau karena jarum tidak tepat kedalam kulit) ulangi tes dengan benar pada lengan yang lain, buatlah tanda khusus pada lengan tersebut sehingga kita akan membaca tes pada lengan yang benar
5. Hasil tes mantoux / tuberkulin dapat dibaca dalam waktu 72 jam dan dibaca langsung oleh peneliti. Akan terlihat daerah dengan eritema (kemerahan) yang mungkin akan sukar terlihat pada kulit yang berwarna gelap dan daerah dengan indurasi (penebalan) kulit. Kita dapat merasakan penebalan tersebut. Ukurlah diameter dari indurasi menurut aksis transversal dari lengan. Catat diameter ini dengan seksama, contoh : ’Mantoux 12 mm’. Luas eritema (kemerahan) yang ada tidaklah penting. Hasil prediksi positif yaitu jika diameter indurasi yang terjadi ≥10 mm (lihat gambar 4).
(60)
6. Dilakukan pemeriksaan foto toraks di RSUP H. Adam Malik Medan pada orang yang mendapat hasil prediksi positif dan dinilai oleh ahli radiologi untuk membedakan TB laten dengan TB paru.
Gambar 3.a : penyuntikkan sebaiknya pada sudut 100 - 150
Gambar 3.b : penyuntikan yang terlalu dangkal.
Gambar 3.c : penyuntikan yang terlalu dalam
(61)
Gambar 4.a. indurasi 2 mm
Gambar 4.b. indurasi 12 mm
Gambar 4.c. indurasi 25 mm
(62)
3.9. KERANGKA KERJA
TB Laten
Hasil foto toraks normal Pembacaan dilakukan 72 jam,
Jika indurasi ≥ 10 mm dilakukan pemeriksaan
foto toraks Tes kulit tuberkulin Petugas kesehatan di RSUP
H.Adam Malik Medan Klinis : sakit TB (-)
3.10. PENGOLAHAN DATA
Pengolahan data hasil penelitian ini diformulasikan dengan menggunakan langkah-langkah berikut :
a. Editing, dimaksudkan untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara kriteria data yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.
(63)
terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer.
c. Entry.
Data yang telah terkumpul dan tersusun secara tepat sesuai dengan variabel penelitian kemudian dimasukkan ke dalam program komputer untuk diolah.
d. Cleaning.
Pemeriksaan data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukan data.
3.11. ANALISIS DATA
Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisa menggunakan program komputer yang memakai perangkat lunak SPSS (Statistic Package for Social Science). Prevalensi infeksi TB laten dihitung dengan cara jumlah total tes tuberkulin yang positif pada petugas kesehatan sebagai pembilang dibagi dengan jumlah petugas kesehatan yang dilakukan tes tuberkulin sebagai penyebut. Pemeriksaan faktor risiko infeksi TB, dengan cara membandingkan angka prevalensi infeksi TB untuk berbagai faktor. Variabel kategorikal dibandingkan dengan menggunakan uji Chi square. Rasio prevalensi dan 95% Confidence Interval dihitung dengan memakai metode standar.
(64)
3.12. JADWAL PENELITIAN
Kegiatan I II III IV V VI
1. Persiapan √ √
2.Pengumpulan data √ √
3. Analisis data √ √
4. Penulisan laporan √
5. Seminar √
3.13. BIAYA PENELITIAN
a. Pengumpulan kepustakaan Rp 700.000,- b. Pembuatan proposal Rp 500.000,-
c. Seminar proposal Rp 500.000,-
d. Laboratorium Rp 10.000.000,- e. Pembuatan dan penggandaan laporan Rp 600.000,- f. Tim pendukung penelitian Rp 1.000.000,- g. Seminar hasil penelitian Rp 900.000,- ---
(65)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL PENELITIAN
Peserta pada penelitian ini berjumlah 100 orang yang memenuhi kriteria untuk dilakukan tes tuberkulin dan semua peserta penelitan adalah perawat. Didapatkan sebanyak 53 orang dengan hasil tes positif (indurasi
≥ 10 mm) dan 47 orang dengan hasil tes negatif (indurasi ≤ 10 mm), selanjutnya pada 53 orang yang positif dilakukan foto toraks dan tidak didapatkan gambaran foto toraks yang mengarah pada gambaran TB yang aktif (infiltrat, kavitas, bercak milier dan lain – lain) pada semua foto toraks yang diperiksa. Data peserta penelitian dilakukan analisis statistik seperti yang dikemukakan dibawah ini.
4.1.1. Karakteristik peserta penelitian
Karakteristik peserta penelitian berdasarkan umur didapatkan paling banyak pada kelompok umur 40 – 44 tahun sebanyak 31 orang, dengan umur termuda 24 tahun dan umur tertua 55 tahun. Hasil tes tuberkulin yang positif (indurasi ≥ 10mm) terbanyak pada kelompok umur 40 – 44 tahun yaitu 19 orang dan juga pada kelompok umur 30 – 34 tahun ada sebanyak 12 orang (tabel 3).
(66)
Tabel 3. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Umur Hasil Tes Tuberkulin
Kelompok umur (tahun)
Positif Negatif
Jumlah
20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59
3 7 12 8 19 3 1 - 1 6 8 13 12 5 - 2 4 13 20 21 31 8 1 2
Jumlah 53 47 100
Berdasarkan jenis kelamin peserta penelitian terdiri dari 96 (96%) perempuan dan 4 (4%) laki – laki (tabel 4).
Tabel 4. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin Jumlah Persentase
Laki - laki 4 4%
Perempuan 96 96%
(67)
Berdasarkan lama bekerja, pada penelitian ini hasil tes tuberkulin yang positif paling banyak pada perawat yang telah bekerja lebih dari 10 tahun (tabel 5).
Tabel 5. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Lama Bekerja Hasil Tes Tuberkulin
Lama bekerja (tahun)
Positif Negatif
Jumlah
≤ 1 2 - 5 6 - 10
> 10 1 8 6 38 - 3 10 34 1 11 16 72
Jumlah 53 47 100
Pada penelitian ini didapatkan hampir semua peserta penelitian pernah mendapat vaksinasi BCG semasa kecil (96%) dan ada 4 (4%) orang tidak pernah divaksinasi BCG yang diketahui dari tidak adanya scar bekas vaksinasi BCG (tabel 6).
Tabel 6. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Riwayat Vaksinasi BCG Riwayat vaksinasi BCG
semasa kecil
Jumlah Persentase
Ya 96 96%
Tidak / tidak ada scar 4 4%
(68)
Pada penelitian ini didapatkan 4 (4%) orang dengan indeks massa tubuh < 18,5 dimana 2 orang dengan hasil tes tuberkulin positif dan 2 orang dengan hasil tes tuberkulin negatif (tabel 7).
Tabel 7. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Indeks massa tubuh Hasil Tes Tuberkulin
Indeks massa tubuh
Positif Negatif Jumlah (%) < 18,5 ≥18,5 2 51 2 45 4 (4%) 96 (96%)
Jumlah 53 47 100 (100%)
Berdasarkan lokasi kerja, pada penelitian ini hasil tes tuberkulin positif paling banyak pada lokasi kerja di bangsal neurologi dan paling sedikit pada yang bekerja di bangsal THT (tabel 8).
Tabel 8. Karakteristik Penelitian Berdasarkan Lokasi Kerja Hasil Tes Tuberkulin
Lokasi kerja
Positif Negatif Jumlah Bangsal paru
Bangsal penyakit dalam
ICU (dewasa, anak, paska bedah) Bangsal neurologi Bangsal THT 10 11 11 14 2 4 6 9 5 12 14 17 20 19 14
(69)
Lanjutan tabel 8 Poli paru Poli anak Poli kardilogi Poli neurologi Poli obgyn
Instalasi Rawat Inap A Bronkoskopi Cath. Lab. 2 - - 1 - 1 - 1 3 3 2 - 1 - 2 - 5 3 2 1 1 1 2 1
Jumlah 53 47 100
4.1.2.Pemeriksaan Variabel Faktor Risiko
Variabel faktor risiko yang dianalisa meliputi umur, lama bekerja sebagai perawat, riwayat vaksinasi BCG semasa kecil dan ada kontak dengan pasien TB (didapat dari kuisoner riwayat pekerjaan sebelumnya ; apakah pernah atau sedang bekerja di bangsal paru, bangsal penyakit dalam, poli paru atau instalasi gawat darurat yang memungkinkan kontak dengan penderita TB) seperti dilihat pada tabel 9 dibawah ini.
(70)
Tabel 9. Analisa bivariat berdasarkan variabel demografi Tes Tuberkulin
Positif Negatif Karakteristik
n % N %
p RP 95% CI
Umur (tahun) ≤ 35 >35 Lama bekerja sebagai perawat ≤ 5 tahun >5 tahun Riwayat vaksinasi BCG semasa kecil Ya
Tidak
Ada kontak dengan pasien TB Ya Tidak 24 29 9 44 51 2 32 21 24 29 9 44 51 2 32 21 16 31 3 44 45 2 27 20 16 31 3 44 45 2 27 20 0,25 0,14 0,90 0,77 1,6 3,0 1,1 1,1 (0,71-3,60) (0,76- 1,82) (0,15-8,38) (0,51-2,51)
Singkatan : RP : rasio prevalensi, CI : confidence interval, BCG : Bacillus Calmette-Guerin
(71)
Usia lebih dari 35 tahun mempunyai risiko 1,6 kali (95% CI 0,71-3,60) mendapat tes tuberkulin yang positif, lama bekerja sebagai perawat didapat 3 kali (95% CI 0,76- 1,82), riwayat vaksinasi BCG semasa kecil 1,1 kali (95% CI 0,15-8,38) dan mengetahui ada kontak dengan pasien TB 1,1 kali (95% CI 0,51-2,51) resiko untuk mendapat tes tuberkulin yang positif. Tidak satupun dari variabel faktor risiko yang dianalisa secara statistik mempunyai perbedaan yang bermakna (p > 0,05).
Investigasi pada lokasi kerja didapatkan prevalensi TB laten sebagai berikut : bangsal Paru (71,4%), bangsal Penyakit Dalam (64,7%), ICU (55%), bangsal Neurologi (73,7%), bangsal THT (14,3%), poli Paru (40%) dan lain – lain (27,3%) seperti pada tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Prevalensi TB Laten Berdasarkan Lokasi Kerja
Lokasi kerja Prevalensi TB Laten
Bangsal paru
Bangsal penyakit dalam
ICU (dewasa, anak, paska bedah) Bangsal neurologi
Bangsal THT Poli paru Lain – laina
71,4% 64,7% 55% 73,7% 14,3% 40% 27,3%
a
Poli anak ,poli kardilogi, poli neurologi, poli obgyn, Instalasi Rawat Inap A, bronkoskopi, cath. lab.
(72)
4.2. PEMBAHASAN
Pada penelitian ini didapatkan prevalensi TB laten pada petugas kesehatan (perawat) sebesar 53% (dengan cut off point indurasi ≥ 10 mm) dan dengan cut off point ≥ 15 mm didapat sebesar 31%. Tingginya prevalensi TB laten pada perawat ini berhubungan dengan tingginya angka prevalensi TB di masyarakat Indonesia, data yang didapat tahun 2005 sebesar 262 per 100.000 penduduk dan insiden semua kasus TB adalah 239 per 100.000 penduduk.36 Jumlah kasus TB yang datang ke RS H. Adam Malik Medan untuk rawat jalan maupun rawat inap pada tahun 2007 sebanyak 592 kasus, sehingga angka prevalensi TB laten yang tinggi pada petugas kesehatan mungkin dipengaruhi oleh infeksi TB yang ada terjadi di masyarakat ataupun infeksi yang didapat pada tempat kerja (banyaknya kasus TB yang datang berobat / dirawat di rumah sakit). Hasil penelitian ini hampir sama dengan laporan dari beberapa negara yang sedang berkembang. Rahbar dkk. (2004)14 mendapatkan prevalensi reaktifitas tes tuberkulin pada petugas kesehatan di Iman Khomeini Hospital of Uremia Iran. sebesar 47,7% tetapi jika cut off point dinaikkan menjadi ≥ 15 mm didapat prevalensi sebesar 27,42%. Orrett (2000)37 mendapatkan prevalensi reaktifitas tes tuberkulin sebesar 45% pada petugas kesehatan di RS pendidikan di Trinidad. Lopes dkk.(2008)31 melaporkan proporsi tes tuberkulin positif sebesar 69,5% pada perawat profesional di Central Brazil. Pai dkk.(2005)38 dengan cut off point 10 mm didapat prevalensi 41%, tetapi dengan cut off point 15 mm didapat
(73)
prevalensi menjadi 23% pada petugas kesehatan di Sevagram, India. Echanove dkk.(2001)6 melaporkan tes tuberkulin yang dilakukan pada petugas kesehatan di University Hospital di Lima, Peru didapat hasil 63% dengan indurasi ≥ 10 mm dan 46% pada indurasi dengan diameter ≥ 15 mm. Kesimpulan yang didapat oleh Joshi dkk (2006)12 prevalensi TB laten pada petugas kesehatan di negara – negara yang berpenghasilan rendah dan sedang berkisar 33% sampai 79% dengan rata – rata 54%. Hal yang berbeda dilaporkan oleh Harada dkk. (2006)39, tes tuberkulin yang dilakukan pada petugas kesehatan di Fukujuji Hospital, Tokyo mendapatkan hasil yang cukup besar yaitu 93,1 % dimana 46,4% mempunyai indurasi dengan diameter 20 mm atau lebih. Drobniewski dkk.(2007)40 melaporkan penelitian infeksi TB laten pada petugas kesehatan di kota Samara, Rusia dengan melakukan pemeriksaan Interferon gamma dengan cara Quantiferon TB Gold Test (QFT) mendapatkan prevalensi TB laten sebesar 40,8% pada petugas kesehatan. Plitt dkk.(2001)41 mendapatkan prevalensi reaktivitas tes tuberkulin sebesar 45,9% pada dokter di Edmonton Canada.
Hasil pemeriksaan terhadap faktor risiko untuk terjadinya reaksi positif tes tuberkulin yaitu Usia lebih dari 35 tahun, lama bekerja ≥ 5 tahun sebagai perawat, riwayat vaksinasi BCG semasa kecil dan mengetahui ada kontak dengan pasien TB hampir sama dengan penelitian yang dilaporkan dibeberapa negara lain. Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa bertambahnya usia dan lamanya bekerja di fasilitas kesehatan
(1)
35. Francis J.Curry National Tuberculosis Center (US). Policy and procedures for tuberculosis screening of health-care workers.San Fransisco : Institutional Consultation Services ; 1999.
36. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. 2007 37. Orrett FA. Prevalence of tuberculin skin test reactivity among health
care workers at a teaching hospital in Trinidad. Clinical Microbiology and Infection 2000 ; 6 (1) : 45 – 48.
38. Pai M, Gokhale K, Joshi R, Dogra S, Kalantri S, Mendiratta DK, et al. Mycobacterium tuberculosis infection in health care workers in Rulal India. JAMA 2003 ; 293 : 2746 – 55.
39. Harada N, Nakajima Y, Higuchi K, Sekiya Y, Rothel J, Mori T. Screening for tuberculosis infection using whole blood interferon- and mantoux testing among Japanese healthcare workers. Infect Control Hosp Epidemiol 2006 ; 27 : 442 8.
40. Drobniewski F, Balabanova Y, Zakamova E, Nikolayevskyy V, Fedorin I. Rates of laten tuberculosis in health care staff in Russia. PloS Medicine 2007 ; 4 (2) : 0273 – 79.
41. Plitt SS, Soskolne CL, Fanning EA, Newman SC. Prevalence and determinants of tuberculin reactivity among physicians in Edmonton, Canada : 1996 – 1997. International Journal of Epidemiology 2001 ; 30 : 1022 – 8.
42. Bailey TC, Fraser VJ, Spitznagel EL, Dunagan WC. Risk factors for a positive tuberculin skin test among employees of an urban, Midwestern teaching hospital. Ann Intern Med 1995 ; 122 : 580 – 5. 43. Blumberg HM, Sotir M, Erwin M, Bachman R, Shulman JA. Risk of
house staff tuberculin skin test conversion in an area with a high incidence of tuberculosis. Clinical Infections Diseases 1998 ; 27 : 826 – 33
44. Silva VMC, Cunha AJLA, Kritski AL. Tuberculin skin test conversion among medical students at a teaching hospital in Rio de Janeiro, Brazil. Infection Control and Hospital Epidemiology 2002 ; 23 : 591 – 4.
45. Schwartzman K, Menzies D. Tuberculosis : Nosocomial disease. CMAJ 1999 ; 161 (10) : 1271-7
(2)
LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN
Bapak/ Ibu, saya dokter Ucok Martin , residen ilmu penyakit paru yang akan melakukan penelitian yang berjudul :
“PREVALENSI TB LATEN PADA PETUGAS KESEHATAN DI RS H. ADAM MALIK MEDAN”
Infeksi TB terjadi karena inhalasi kuman tuberkulosis. Setelah terpapar kuman TB ada empat keadaan yang bisa terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi (ditandai dengan tes kulit tuberkulin yang negatif), kedua terjadi infeksi kemudian menjadi TB yang aktif (TB primer), ketiga menjadi TB laten dimana mekanisme imun mencegah berkembangnya penyakit menjadi TB aktif dan keempat menjadi TB laten tetapi kemudian terjadi reaktivasi dan berkembang menjadi TB aktif dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian. Infeksi TB laten ini didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang terinfeksi M.tuberkulosis tetapi saat ini orang tersebut tidak sakit, tidak mempunyai gejala dan gambaran foto toraks normal. Kira – kira 5% - 10% dari orang dengan infeksi laten, akan terjadi reaktivasi dan menjadi TB aktif.
Penelitian ini saya lakukan karena sampai saat ini (khususnya di Sumatera Utara) kita belum mempunyai data prevalensi TB laten pada petugas kesehatan. Selain itu pemeriksaan ini penting sebagai data dasar dalam penanggulangan dan pencegahan infeksi tuberkulosis pada petugas kesehatan, sehingga manfaatnya bagi kita adalah dapat segera
(3)
masukkan kepada direktur rumah sakit dalam penanggulangan dan pencegahan infeksi tuberkulosis pada petugas kesehatan.
Sebelum penelitian dimulai, saya akan meminta kepada Bapak/Ibu mengisi surat persetujuan dan kesediaannya untuk mengikuti penelitian ini. Bagi Bapak/ Ibu yang telah setuju mengikuti penelitian, akan dilakukan pencatatan data dari Bapak/Ibu. Adapun penelitian yang saya lakukan adalah melakukan pemeriksaan tes kulit tuberkulin yaitu akan dilakukan penyuntikan bahan 0,1 ml PPD RT-23 pada permukaan belakang lengan bawah Bapak / Ibu kemudian dilakukan pembacaan hasil tes 3 hari kemudian (72 jam). Jika didapat hasil positif yaitu adanya indurasi (pembengkakan) pada tempat penyuntikkan yang lebih besar dari 10 mm akan dilakukan pemeriksaan foto toraks pada Bapak/ Ibu. Hasil dari pemeriksaan ini dapat diketahui prevalensi Infeksi TB Laten pada petugas kesehatan di RS H. Adam Malik dan saya juga hendak menilai faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi infeksi TB laten pada petugas kesehatan ini.
Bapak / Ibu, penelitian seperti ini sudah rutin dilakukan di luar negeri dan biasanya tidak berisiko, tetapi bila terjadi hal yang tidak diinginkan maka bapak/ibu akan langsung mendapat perawatan oleh peneliti. Bapak/ Ibu tidak dibebankan dengan biaya apapun, hanya kesediaan dan persetujuan yang dimintakan.
(4)
Bila masih terdapat pertanyaan, maka Bapak / Ibu dapat menghubungi saya.
Nama : dr. Ucok Martin
Alamat : Jl. Gn. Martimbang No.1 Kec. Medan Timur No. Telepon : 061-6614791 (Rumah)
: 08126359100 (HP)
Demikian penjelasan ini saya sampaikan, kiranya hasil dari penelitian ini banyak bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 2008
Peneliti
(5)
FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( INFORMED CONSENT )
Surat Persetujuan Ikut Penelitian Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Pekerjaan : Alamat :
Setelah mendapat penjelasan secukupnya serta menyadari manfaat dan resiko dari penelitian
“ PREVALENSI TB LATEN PADA PETUGAS KESEHATAN DI RS H.ADAM MALIK MEDAN “
Saya dengan sukarela menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian di atas. Bila sewaktu – waktu saya sebagai pihak yang diteliti merasa dirugikan oleh pihak peneliti maka berhak membatalkan persetujuan ini tanpa menuntut kerugian.
Medan, 2008
Peneliti, Peserta Penelitian,
(6)
DATA PENELITIAN (SUBYEK)
Nama : ………
Umur (Tahun) : ………
Jenis Kelamin : ……….
Pekerjaan : ………..
Tempat bekerja saat ini : ……….. Tempat bekerja sebelumnya : ………..
... Lama bekerja sebagai petugas kesehatan : ……….. Lama bekerja pada posisi pekerjaan saat ini : ……….. Riwayat vaksinasi BCG sebelumnya : ……….. Berat badan ( kg ) : ... Tinggi Badan ( cm ) : ... Tanggal dilakukan tes tuberkulin : ……….. Ukuran indurasi ( mm ) : ………..