Latar Belakang Masalah Gerakan perempuan di republik Islam Iran Pasca Revolusi 1979

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perempuan adalah kaum yang dihormati dan dimuliakan dalam konsepsi Islam. Kaum perempuan yang sering dikenal dengan sebutan kaum hawa, secara kodrati memiliki beberapa kerakteristik, di antaranya dipersepsikan secara fisik mereka lebih lemah dari pria. Ia memilki perasaan yang lebih lembut dan halus serta sering kali menggunakan pertimbangan emosi dan perasaan dari pada akal pikiran memilki lembang kesejukan, kelembutan, dan cinta kasih. Islam memelihara hak secara penuh dan menjaga kaum perempuan dari pelecehan kehormatannya dan kehilangan kehormatannya. Islam telah memuliakannya karena Islam mengetahui bahwa perempuan adalah dasar masyarakat yang baik, itulah pandangan Islam terhadap perempuan. 1 Namun, perempuan juga salah satu makhluk ciptaan Allah yang paling unik. Sebab, keberadaanya memberikan andil yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Tanpa perempuan, maka tidak ada pemimpin-pemimpin besar dunia. Tanpa perempuan, tidak akan ada penemuan-penemuan mutakhir untuk kesejahteraan umat manusia. Selain itu juga, banyak orang-orang besar yang keberhasilannya disokong oleh sosok wanita istri sebut saja nabi Muhammad saw. Karena itulah, Allah SWT pun secara khusus memberikan satu surah di dalam al-Quran dengan nama surah An-Nisa wanita. Penghargaan ini tidak diberikan kepada laki-laki. Ini menunjukkan betapa mulianya seorang perempuan. 1 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Islam Ibadah Muamalat Jakarta: Pustaka Imani, 2000, h.403. Terkait dengan hal tersebut, Islam dan al-Qur’an menegaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan memilki kapasitas yang sama baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektualnya. Prinsip kesetaraan dimaksudkan untuk membentuk hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, serta menjadi jembatan bagi perempuan untuk menjadi partner bagi kaum laki-laki dan bukan lagi hanya sebagai pelayan bagi kaum laki-laki. Asal usul kejadian perempuan banyak diceritakan dalam kitab-kitab, seperti dalam Taurat, Injil, dan beberapa penafsiran dalam al-Quran. Tidak heran kalau kaum feminis sering menyorot kitab suci dalam upaya mengatasi ketimpangan struktur sosial berdasarkan peran jenis kelamin jender. 2 Kaum perempuan, dalam hal ke-Adaman dan kemanusiaan, menyamai kaum laki-laki, berkedudukan sama, “dan kaum perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” QS. Al-Baqarah2: 228, “dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam” “Kaum perempuan sesungguhnya saudara kandung kaum laki-laki”. Maka dari itu Islam sudah menempatkan wanita itu pada tempat yang sesuai untuk dirinya dalam tiga bidang yang pokok, yaitu: 1. Bidang kemanusian: Islam mengakui bahwa perempuan itu memiliki kemanusian yang sempurna, sama seperti laki-laki; sedang di kalangan bangsa- bangsa yang sudah berkebudayaan, sebelum Islam, bidang ini masih diragu- ragukan, dan malahan ada yang tidak mengakuinya. 2 Nasaruddin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran Kitab Suci Jakarta: Fikahati Aneska, 2000, h.12. 2. Bidang sosial: Islam membukakan lapangan belajar untuk perempuan, dan menetapkan kedudukan sosial yang mulia untuk perempuan itu, dalam bermacam- macam periode dalam hidupnya, semenjak masa kanak-kanak, kedudukan ini meningkat setiap perempuan itu meningkat umumnya, dari anak puteri, menjadi isteri, menjadi ibu, dan pada waktu itu dia sudah tua dan membutuhkan lebih banyak kasih sayang, penghormatan, dan perlakuan yang lemah lembut. 3. Bidang hak milik: Islam memberikan hak dan mengakui kecakapan yang sempurna dari perempuan dalam segala tindakannya pada waktu ia telah dewasa; dan pada waktu dewasanya itu, tidak ditetapkan lagi seorangpun yang akan mengawasinya, baik ayahnya ataupun suaminya, atau kepala keluarga. 3 Dalam fakta yang penulis dapatkan, hampir semua buku sejarah baik dalam pemikiran, pergerakan politik, keagamaan, sosial, pendidikan, dan sebagainya yang banyak dimunculkan adalah peranan kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan kendatipun dalam realitasnya mempunyai peranan yang cukup signifikan akan tetapi dalam setiap peristiwa sejarah sangat jarang sekali diungkapkan. Di seluruh dunia kedudukan kaum perempuan tengah berubah. Di negara yang satu perubahan itu baru saja dimulai. Di negara yang satu lagi perubahan itu sudah demikian majunya sehingga hampir dianggap sebagai penghinaan kalau tidak memberi perhatian khusus kepada peranan perempuan. Maka hal ini seharusnya tidak perlu. Namun pergerakan-pergerakan perempuan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang sedang tumbuh pada bangsa-bangsa yang baru 3 Musthafa As-Siba’y, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan Jakarta: Bulan Bintang 1999, h.48-49. lahir. Satu hal yang pasti ialah bahwa wanita di mana-mana akan memainkan peranan penting dalam membangun masa depan daripada masa sebelumnya. 4 Di Iran perempuan di era rezim Syah Pahlevi 5 tertindas dalam berbagai aspek. Agar bisa masuk ke zona ilmu pengetahuan, kaum perempuan harus mengabaikan ketakwaan. Di pusat-pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan seorang Muslimah tidak mudah mempertahankan hijab dan wibawanya. Di jalanan kota Tehran dan sejumlah kota besar Iran lainnya perempuan sulit untuk tenang bepergian sambil menjaga keanggunannya sebagai Muslimah, walaupun misalnya hanya dengan mengenakan kerudung apa adanya. Perempuan Iran saat itu umumnya dibiarkan bodoh dan tidak memiliki wawasan politik. Akibatnya mereka tidak berminat untuk ikut memikirkan nasib negara. Mereka bahkan tidak mengetahui bahwa perempuan bisa ikut berperan dalam menentukan masa depan negara. Akan tetapi, Revolusi Islam Iran telah membuyarkan semua asumsi keliru tentang perempuan. Perempuan Iran telah menjadi prajurit terdepan dalam revolusi Islam. Revolusi ini jelas tidak mungkin terjadi seandainya kaum perempuan Iran tidak sejalan dengan revolusi dan tidak menaruh keyakinan kepadanya. Tanpa kehadiran perempuan, revolusi akan kehilangan separuh kekuatan revolusionernya. Kemudian, kaum perempuan Iran adalah satu kekuatan budaya yang sangat berpengaruh di lingkungan keluarga, yaitu pada anak, suami, saudara-saudara, dan lingkungannya. Kiprah dan perjuangan sejati kaum perempuanlah yang telah merobohkan pilar-pilar kekuatan rezim Syah Pahlevi. 4 Faruk Zabid, Wanita Dalam Sejarah Islam Jakarta: Pustaka Jaya, 1987, h.21. 5 Mohammad Reza Pahlevi anak Reza Syah naik tahta dan menjadi Syah Iran terakhir Ketika gerakan Islam di Iran berubah menjadi revolusi Islam dan kaum perempuan Iran berada di barisan terdepan sesuai ajaran fitri Islam tentang kaum perempuan, Imam Khomeini 6 ra berkata, Seandainya kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam kebangkitan ini, revolusi Islam tidak akan berjaya. 7 Khomeini sendiri mengakui jasa-jasa kaum perempuan di Iran. Beberapa saat sebelum rezim Syah Pahlevi tumbang ia berkata pada pers: “penjara-penjara Syah penuh dengan perempuan-perempuan yang pemberani seperti singa. Perempuan-perempuan kami ikut berjuang antara lain dengan melakukan demonstrasi-demonstrasi di jalanan dengan putra, putri, terkadang bayi di pangkuan tanpa takut tertembak senapan mesin maupun meriam. Kaum Perempuan giat dalam pertemuan-pertemuan politik di kota-kota di Iran. Mereka memegang peranan penting sekali dalam revolusi Iran. 8 Perempuan dulu sama sekali tidak menaruh kepedulian pada masalah ini. Dulu tidak ada asumsi bahwa kaum perempuan harus ikut berkiprah dalam berbagai tanggung jawab sosial dan jabatan publik. Kaum perempuan sendiripun tidak berasumsi demikian. Namun sekarang kaum perempuan di desa dan daerah- daerah terpencil sekalipun merasa bahwa mereka adalah pemilik dan pengawal revolusi Islam. Dari aspek ini perempuan sama sekali tidak berbeda dengan laki- laki. Perempuan bahkan terkadang terlihat lebih antusias daripada laki-laki dalam merespons berbagai persoalan sosial dan negara dan menganggapnya sebagai persoalan mereka. 6 Ayatullah Ruhullah Musawi al-Khomeini adalah seorang tokoh ulama Syiah yang sangat populer di Iran, sekaligus pemimpin Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. 7 http:indonesian.index.com 8 Nasir tamara, Revolusi Iran Jakarta: Sinar Harapan, 1980, h.405. Kaum perempuan Iran pasca revolusi menentang hegemoni proses interpretasi ortodoks dan berhasil menciptakan perubahan-perubahan dalam hukum perceraian, memutar balik secara sempurna hak-hak finansial perempuan setelah perceraian. Selanjutnya, literatur mencoba menjamin situasi-situasi finansial yang lebih baik bagi perempuan di Iran dalam hubungannya dengan pemeliharaan terhadap istri selama perkawinan, dan nafaqah. Dengan mengacu pada sumber-sumber dasar al-Quran dan Sunnah dan merujuk pada sejumlah interpretasi fiqh yaitu mereka yang menyatakan bahwa nafaqah tidak teremasuk pengeluaran untuk pengobatan mereka berhasil membentuk opini yang berlaku. Para perempuan di Iran tidak mengambil bahasa feminis Barat tetapi menggunakan salah satu pemikiran Syi’ah. Seperti halnya nafaqah adalah isu-isu yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan Muslimah Iran juga merupakan isu universal yang berkaitan dengan hubungan-hubungan antara pria dan perempuan, seperti perkawinan, perceraian, dan perwalian. Di kalangan “neo islamis”. Perempuan Iran sendiri berada dalam kelompokkatagori yang khusus. 9 Melihat persoalan di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang peran perempuan di Iran pasca revolusi, oleh karenanya, pembahasan yang akan penulis kaji akan dituangkan dalam skripsi berjudul : Gerakan Perempuan di Republik Islam Iran Pasca Revolusi 1979. 9 Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Perspektif Hukum dan Sastra Bandung: Nuansa Yayasan Cendikia, 2002, h.25.

B. Batasan Rumusan Masalah