pembakaran rumput dapat diterapkan pada beberapa jenis, contoh pada Aleurites moluccana, Enterolobium cyclocarpum,
dll. d.
Perlakuan dengan asam. Larutan asam seperti H
2
SO
4
menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan baik pada legum maupun non legum.
Namun tidak sesuai untuk benih yang mudah menjadi permeable karena asam akan masuk dan merusak embrio. Metode ini paling efektif digunakan untuk
benih berkulit keras seperti Acacia nilotica, A. bidwillii, dll. Perlakuan ini umum digunakan pada jenis Acacia dari Afrika dan legum lainnya.
e. Bahan kimia lain. Sejumlah bahan kimia alternative telah dicoba, namun
belum memberikan hasil yang memuaskan. Dari 66 perlakuan Selain H
2
SO
4
hanya ethanol yang memberikan hasil cukup memuaskan. Hidrogen peroksida H
2
O
2
juga diketahui dapat meningkatkan perkecambahan, namun mekanismenya tidak dipahami sepenuhnya.
f. Metode biologi. Metode seperti pencernaan binatang besar, pengaruh serangga
atau mikroba jarang digunakan, namun sering dapat meningkatkan permeabilitas benih. Benih Acacia yang diambil dari kotoran kambing sering
berdormansi lebih rendah daripada benih yang tidak dicerna, walau pengaruhnya tergantung jenisnya, walaupun banyak benih yang telah
melewati system pencernaan jumlah yang sama juga rusak karena dimakan.
4. Zat-zat penghambat
Sejumlah jenis mengandung zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan, misalnya dengan menghalangi proses
metabolisme yang diperlukan untuk perkecambahan. Gula dan zat lain dalam buah berdaging mencegah perkecambahan karena tekanan osmose yang menghalangi
penyerapan. Selain gula banyak buah yang mengandung senyawa penghambat seperti coumarin. Untuk mematahkan dormansi ini zat penghambat harus
dihilangkan. Dalam kondisi alami pembusukan atau pencucian oleh air hujan secara bertahap mematahkan dormansi, namun proses alami ini berlangsung lama
dan menghasilkan perkecambahan yang tidak seragam. Pada benih Gmelina arborea
pencucian dalam air mengalir untuk membersihkan zat penghambat dapat meningkatkan perkecambahan hingga 50-90. Zat penghambat perkecambahan
Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006
lebih sulit dihilangkan setelah buah disimpan beberapa lama. Dengan demikian pengupasan dini perlu dilakukan secepatnya untuk menghindari dormansi yang
lebih panjang. Benih dapat diletakkan pada air mengalir selama 24 jam atau direndam
dalam air berganti-ganti. Setelah zat penghambat diencerkan secukupnya benih mampu berkecambah. Pada Tectona grandis, perendaman dan pengeringan yang
dilakukan bergantian dapat menurunkan dormansi kimia secara perlahan dan pada saat bersamaan dapat mematahkan dormansi fisik. Demikian pula stratifikasi yang
merupakan cara utama mematahkan dormansi suhu dapat mengurangi zat penghambat.
5. Dormansi cahaya.
Sebagian besar benih dengan dormansi cahaya hanya berkecambah pada kondisi terang sehingga benih tersebut disebut peka cahaya. Dormansi cahaya
umumnya ditemui pada pohon-pohon pionir. Ini dikendalikan melalui mekanisme phytochrome
biokimia. Phytochrome
muncul dalam dua bentuk Pr dan Pfr
r
berarti merahred, dan
fr
berarti merah jauhfar red yang dapat dirubah secara bolak balik melalui radiasi dengan panjang gelombang berbeda. Perkecambahan ditentukan berdasarkan
jumlah P
fr
terhadap jumlah total phytochrome. Phytochrome dalam bentuk P
r
menghambat perkecambahan, sedangkan P
fr
memungkinkan terjadinya perkecambahan. Benih dorman memiliki jumlah P
r
yang sangat banyak, pada benih yang tidak dorman phytochrome muncul terutama dalam bentuk P
fr
. Dormansi dalam benih dorman cahaya dapat dipatahkan dengan meletakkan di
bawah cahaya dengan rasio antara merah dengan merah jauh yang tinggi, misalnya cahaya putih. Sebaliknya benih tidak dorman dapat berubah menjadi
dorman dorman rangsangan atau sekunder bila diletakkan di bawah cahaya yang memiliki panjang gelombang merah jauh yang relatif tinggi, misalnya ketika
cahaya melalui tajuk yang rapat atau benih terbungkus dalam daging buah yang kaya klorofil hijau atau kulit biji. Bila benih diletakkan pada kondisi gelap
misalnya dikubur atau disimpan dalam kondisi gelap, dormansi akan berkembang secara bertahap karena P
fr
dirubah menjadi P
r
.
Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006
Gambar 4. A memperlihatkan prinsip konversi phytochrome P
r
menjadi P
fr
dan P
fr
menjadi P
r
di bawah 3 jenis cahaya; B menunjukkan konversi phytochrome
pada berbagai kedalaman tanah Beberapa tingkat mekanisme dormansi phytchrome tampaknya dipengaruhi
suhu. Suhu yang tinggi atau berfluktuasi dapat mengatasi dormansi cahaya. Di alam, suhu dan cahaya saling terkait.
6. Dormansi suhu