Penerapan Byline dan Integritas Wartawan (Studi deskriptif tentang penerapan byline terhadap integritas wartawan harian Medan Bisnis)

(1)

PENERAPAN BYLINE DAN INTEGRITAS WARTAWAN

(Studi Deskriptif tentang Penerapan Byline terhadap Integritas

Wartawan Harian Medan Bisnis)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata I (SI) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera utara

FEBRIAN

090904017

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Penerapan Byline dan Integeritas Wartawan (Penerapan

byline terhadap integritas wartawan Harian Medan Bisnis). Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah dengan diterapkannya byline atau pencantuman nama wartawan di Harian Medan Bisnis mempunyai pengaruh terhadap integritas wartawan atau tidak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun data, tetapi tidak melakukan pengukuran dengan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif dengan lebih menspesifikasikan lagi kepada teori analisis interaksisme simbolik dan fenomenologi. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Subjek penelitian ini adalah wartawan Harian Medan Bisnis

yang ditarik dengan menggunakan teknik pengumpulan data snow ball. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap responden.

Pemimpin redaksi MedanBisnis mengatakan penerapan byline bertujuan untuk transparansi dan pertanggungjawaban reporter terhadap berita yang mereka laporkan agar dapat mendorong integritas wartawan menjadi lebih baik. Namun Hasil penelitian ini, ternyata penerapan byline di Medan Bisnis tidak mencerminkan integritas wartawan yang bekerja di media tersebut. Selain itu dengan diterapkannya

byline wartawan MedanBisnis merasa lebih dihargai.

Kata kunci


(3)

ABSTRACT

The study is titled The Implementation of Byline and Journalists’ Integrity (The Implementation of Byline in relation with the integrity of Medan Bisnis journalists). The purpose of this study is to determine whether the the application of byline (put down the reporter’s name on news) in Medan Bisnis newspaper affects the integrity of journalists.

The method used in this research is descriptive qualitative. This method is used by developing the concept and collecting data without measuring the nominal data which concern in classifying and categorizing several variables into a few nominal sub class. Qualitative research method tends to be associated with interpretive paradigm which focuses on symbolic interaction analysis theory and phenomenology. This method of investigation focuses on how humans make sense of their social lifeand how they express their understanding. The subjects of this study were journalists of Medan Bisnis newspaper which is drawn by using snow balltechniques. Data were collected by conducting in-depth interviews with respondents.

Editor in chief of MedanBisnis newspaper said, the goal of byline application is to encourage transparency and accountability of news reporters in reporting the news in order to increase the integrity of journalists. However, results of this study show that the application of byline in Medan Bisnis newspaper does not reflect the integrity of the journalists who work there. In addition, the implementation ofbyline can improve the dignity of Medan Bisnis’s reporters because their writings are being appreciated by the public.

keywords


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur peneliti ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan anugerah pemikiran yang telah ia berikan, sehingga skripsi yang berjudul Penerapan Byline dan Integritas Wartawan (Studi deskriptif tentang penerapan byline terhadap integritas wartawan harian Medan Bisnis) ini dapat terselesaikan..

Skripsi yang peneliti buat adalah sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di program sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara. Namun secara pribadi peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan sumbangsih langsung untuk studi ilmu komunikasi. Semoga tidak hanya bermanfaat bagi peneliti, tapi juga bagi siapa saja yang berminat mendalami bidang jurnalistik.

Sebelum dan setelah menjalani masa studi kurang lebih selama empat setengah tahun, peneliti merasa banyak mendapatkan sokongan moril dan materil dari banyak pihak. Oleh karena itu peneliti merasa perlu untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka pada kesempatan ini.

Pertama, terimakasih yang begitu besar peneliti persembahkan kepada ayahanda Fachri serta ibunda Harleni. Sejak lahir, tumbuh dewasa hingga sekarang, dukungan dengan penuh kasih sayang tiada henti mereka berikan kepada peneliti. Begitu juga dengan abangnda Rozi Afrilino serta dua adinda Satriani dan Giza Saora, yang turut memberi arti selama hidup peneliti dan menjadikan sebuah motivasi bagi peneliti untuk bisa sukses melalui jalur pendidikan ini.

Peneliti juga ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dan membantu proses pendidikan dan pengerjaan skripsi ini. Dengan segenap rasa hormat peneliti mengucapkan terima kasih kepada:


(5)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatmawardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberi arahan, masukan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf dan pengajar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.

5. Harry Yassir Elhadidy Siregar, Januar Rizki, Andika Bakti yang telah mengisi hari-hari peneliti selama menimba ilmu di kota Medan.

6. Kakanda Shahnaz Asnawi Yusuf, Wan Ulfa Nur Zuhra, Moyang Kasih Dewimerdeka, Richka Hapriyani, Bania Cahya dan Amir Fadli Nasution. Mereka adalah orang-orang yang turut membimbing dan memotivasi peneliti di masa perkuliahan.

7. Keluarga besar Pers Mahasiswa SUARA USU. Organisasi yang menempa peneliti menjadi pribadi yang punya wawasan, ilmu dan kemampuan menulis selama tiga setengah tahun. Khusus kepada anggota tim dewan redaksi 2011 (Anas, Moyang, Januar, Yassir, Dika, Muslim, Ridha, Tini), dewan redaksi 2012 (Viki, Debo, Disa, Ayu, Rida). Dua periode yang sangat berarti bagi peneliti untuk belajar mendalami ilmu jurnalistik. Serta kawan-kawan, kakak-kakak, abang-abang dan adik-adik anggota SUARA USU yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

8. Kawan-kawan di keluarga Ikatan Mahasiswa Imam bonjol USU, khusus kepada Ficky, Gustaf, Zikri, Rozi.


(6)

Peneliti menyadari bahwa masih terselip kekurangan dalam penelitian ini disebabkan oleh keterbatasan peneliti sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan. Kritik dan saran sangat peneliti harapkan agar skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini punya manfaat bagi kita semua.

Medan, 3 Oktober 2013 Peneliti


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK…. ... i

KATA PENGANTAR… ... iii

DAFTAR ISI……… ... vi

DAFTAR GAMBAR……… ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ……… ... 1

1.2 Fokus masalah ……… ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ……… ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ……… ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Komunikasi ……… ... 8

II.2 Paradigma ……… ... 13

II.3 Byline ……… ... 28

II.4 Wartawan ……… ... 31

II.5 Integritas ……… ... 32

II.6 Integritas wartawan ……… ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ……… ... 36

III.2 Objek Penelitian ……… ... 36

III.3 Subjek Penelitian ……… ... 36

III.4KerangkaAnalisis ……… ... 39


(8)

III.6Teknik Analisis Data ……… ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Penelitian ……… ... 46

IV.2 Pembahasan ……… ... 61

IV.2.1 Proses Interaksionisme Simbolik……….64

IV.2.2 Perspektif Fenomenologi……….67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ……… ... 69

V.2 Saran ………... 69

DAFTAR REFERENSI…. ... 71 LAMPIRAN…. ...


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Pemakaian Byline Di Medan Bisnis 29

2 Model Pendekatan Logika Induktif 40


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Penerapan Byline dan Integeritas Wartawan (Penerapan

byline terhadap integritas wartawan Harian Medan Bisnis). Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah dengan diterapkannya byline atau pencantuman nama wartawan di Harian Medan Bisnis mempunyai pengaruh terhadap integritas wartawan atau tidak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun data, tetapi tidak melakukan pengukuran dengan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif dengan lebih menspesifikasikan lagi kepada teori analisis interaksisme simbolik dan fenomenologi. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Subjek penelitian ini adalah wartawan Harian Medan Bisnis

yang ditarik dengan menggunakan teknik pengumpulan data snow ball. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap responden.

Pemimpin redaksi MedanBisnis mengatakan penerapan byline bertujuan untuk transparansi dan pertanggungjawaban reporter terhadap berita yang mereka laporkan agar dapat mendorong integritas wartawan menjadi lebih baik. Namun Hasil penelitian ini, ternyata penerapan byline di Medan Bisnis tidak mencerminkan integritas wartawan yang bekerja di media tersebut. Selain itu dengan diterapkannya

byline wartawan MedanBisnis merasa lebih dihargai.

Kata kunci


(11)

ABSTRACT

The study is titled The Implementation of Byline and Journalists’ Integrity (The Implementation of Byline in relation with the integrity of Medan Bisnis journalists). The purpose of this study is to determine whether the the application of byline (put down the reporter’s name on news) in Medan Bisnis newspaper affects the integrity of journalists.

The method used in this research is descriptive qualitative. This method is used by developing the concept and collecting data without measuring the nominal data which concern in classifying and categorizing several variables into a few nominal sub class. Qualitative research method tends to be associated with interpretive paradigm which focuses on symbolic interaction analysis theory and phenomenology. This method of investigation focuses on how humans make sense of their social lifeand how they express their understanding. The subjects of this study were journalists of Medan Bisnis newspaper which is drawn by using snow balltechniques. Data were collected by conducting in-depth interviews with respondents.

Editor in chief of MedanBisnis newspaper said, the goal of byline application is to encourage transparency and accountability of news reporters in reporting the news in order to increase the integrity of journalists. However, results of this study show that the application of byline in Medan Bisnis newspaper does not reflect the integrity of the journalists who work there. In addition, the implementation ofbyline can improve the dignity of Medan Bisnis’s reporters because their writings are being appreciated by the public.

keywords


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Keberadaan jurnalisme di era sekarang sudah cukup dekat dengan masyarakat Indonesia secara umum. Masyarakat sudah tidak lagi buta dengan informasi yang terus berkembang, terutama dengan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Kita masih ingat dengan pers di Indonesia yang cukup terkekang pada zaman orde baru. Berbeda dengan situasi sekarang di mana jurnalisme punya pengaruh besar dengan opini publik. Maka dari itu diperlukan suatu komitmen yang suci dari pegiat jurnalisme untuk bekerja berlandaskan kepada kebenaran dan mengutamakan kepentingan khalayak banyak. Media yang sebagai penggerak jurnalisme pun kian beragam. Syarifuddin Yunus (2010: 26) mengatakan: “Media massa dapat diartikan sebagai segala bentuk media atau sarana komunikasi untuk menyalurkan dan memublikasikan berita kepada publik atau masyarakat. Bentuk media atau sarana jurnalistik yang kini dikenal terdiri atas media cetak, media elektronik dan media

online.”

Dalam perusahaan penerbitan pers, wartawan merupakan ujung tombak dalam menyuplai bahan berita untuk disajikan kepada masyarakat. Dari status pekerjaannya wartawan terbagi menjadi tiga. Wartawan tetap, wartawan pembantu dan wartawan lepas. Wartawan tetap adalah wartawan yang secara resmi diangkat oleh perusahaan pers untuk bertugas dan menerima gaji, tunjangan, bonus fasilitas dan sebagainya dari perusahaan pers tersebut. Wartawan pembantu adalah wartawan yang tidak diangkat secara resmi oleh perusahaan pers. Ia hanya bekerja dan dibayar sesuai kapasitas dan kemampuan ia bekerja. Sedangkan wartawan lepas adalah wartawan yang tidak terikat oleh satu media massa. Namun ia bebas mengirimkan beritanya kepada berbagai media massa.


(13)

Untuk menjadi wartawan, diperlukan pendidikan khusus di akademi yang dapat menempa calon-calon jurnalis andal. Biasanya perguruan tinggi yang mempunyai jurusan ilmu komunikasi atau dengan bergabung di organisasi pers mahasiswa. Kalaupun tidak di kampus dapat diperoleh di akademi-akademi yang disediakan oleh beberapa media yang besar dan juga akademi yang disediakan yayasan pers. Perlunya pendidikan khusus kewartawanan adalah agar seorang wartawan dapat bekerja dengan standar layak dan mempunyai integritas yang baik di mata pembaca. Paham kode etik, mematuhi Undang-Undang Pers (UU No. 40/1999), cakap menulis berita dan berani menjalankan profesi kewartawanan dengan benar. Agar ia dapat menjalankan misi pers menurut Totok Djuroto, sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengumpulan dan penyebaran informasi mempunyai misi ikut mencerdaskan masyarakat, menegakkan keadilan, dan memberantas kebatilan (Djuroto, 2000: 8).

Mempersiapkan wartawan yang berintegritas, tentu itu adalah tanggung jawab dari media yang akan ditangani oleh awak-awak redaksi seperti pemimpin redaksi, dan jajaran redaktur yang tahu detail sistematika peliputan. Redaktur-lah yang akan menyunting sebuah berita yang diserahkan oleh wartawan apakah sebuah berita layak naik atau tidak, atau bahkan akan mengecek sebuah berita apakah butuh perbaikan ulang. Namun selain dari itu, seorang wartawan juga dituntut untuk sadar akan moral kewartawanan atas berita-berita yang ia laporkan kepada masyarakat sebagai konsumen berita. Sebagai mana ditekankan oleh Bill Kovach (Harsono, 2011: 71) “Wartawan harus sadar akan perlunya meningkatkan kemampuan mengenai segala hal yang berkaitan dengan jurnalisme.

Kredibilitas wartawan terkait dengan komitmennya pada kebenaran, pada upaya mencapai keakuratan, keadilan, dan objektivitas yang baik”. Pencapaian tujuan-tujuan ini dan penghormatan pada nilai-nilai etika dan profesi mungkin tidak dapat dipaksakan. Semua ini merupakan tanggung jawab wartawan dan media. Dalam sebuah masyarakat yang bebas, pandangan publiklah yang akan memberi penghargaan atau hukuman (Potter, 2006: 55). Deborah memandang jurnalisme


(14)

adalah profesi sekaligus seni, maka wartawan yang berintegritas harus memiliki keterampilan khusus dan tunduk pada standar-standar yang umum. Karena integritas dan krediblitas adalah aset wartawan yang paling penting.

Untuk media cetak, pencantuman nama wartawan di setiap tulisan dibilang Bill Kovach sebagai salah satu cara agar pembaca dapat memberikan penilaian kepada wartawan-wartawan yang setiap hari menulis berita. Pencantuman nama wartawan ini dinamakan byline. Dalam bahasa Inggris byline berasal dari kata “by” (oleh) dan “line” (baris) yang merujuk kepada sebuah baris dekat judul berita di mana terdapat nama orang yang menulis berita itu. Pemakaian byline pertama kali pada tahun 1850-an oleh Charles S. Taylor, seorang jenderal yang kemudian menjadi

publisher harian The Boston Globe, Taylor sering jengkel karena selama perang ada saja wartawan yang menulis dengan judul ‘berita penting jika terbukti benar’. Maka Taylor memutuskan menaruh nama para wartawan pada berita-berita yang diterbitkan

The Boston Globe (Harsono, 2011: 42). Buntutnya dengan pemakaian byline

mendorong wartawan The boston Globe untuk berhati-hati dengan berita-berita yang ia laporkan. Sejak saat itu byline mulai banyak digunakan di media cetak Amerika.

Memang berbeda prinsip menerapkan byline dengan memakai inisial wartawan. Esensi byline menurut Bill Kovach (Harsono, 2011: 44) “Biarkan pembaca tahu mana wartawan yang bisa menulis dengan baik dan mana yang tidak baik. Bukan sebaliknya menaruh semua tanggungjawab kepenulisan itu di bawah institusi media”. Bila hanya dengan inisial tidak cukup untuk mewakili akuntabilitas wartawan suatu media.

Menuliskan byline juga dianggap penting sebagai pertanggungjawaban media dan wartawan pada publik (Nurudin, 2009: 211-213). Ia merumuskan ada 4 kelebihan dari penerapan byline yaitu:

- Pertanggungjawaban

Byline akan membuat wartawan tidak sembarangan menulis berita dan mencantumkan data. Ia akan lebih berhati-hati, sebab kalau tidak dan


(15)

jika menulis berita salah reputasinya akan hancur. Tidak saja bagi redaktur tapi juga masyarakat. Jadi byline akan menjadi pertanggungjawaban karya jurnalistik yang dilakukan wartawan.

- Kepercayaan

Byline juga menjadi sebuah kepercayaan lembaga media pada seorang wartawan. Lembaga media memercayakan kualitas tidaknya berita ada pada wartawan. Dalam ilmu psikologi kepercayaan akan bisa menumbuhkan rasa bahwa dirinya dihargai.

- Kompetisi

Byline akan memunculkan kompetisi di dunia wartawan. Mereka akan terdorong untuk berlomba-lomba membuat berita yang bagus, akurat, dan aktual. Karena namanya tercantum pada berita, akan merasa malu jika beritanya jelek dan diketahui redaktur serta masyarakat umum.

Byline akan membuat kompetisi sehat di antara para wartawan. Berkualitas atau tidaknya berita-berita yang dihasilkan wartawan akan menjadi nilai lebih demi jenjang karirnya di masa mendatang. Media tidak akan mengangkat redaktur kalau berita yang dibuat selama ini biasa-biasa saja.

- Keuntungan Intitusi

Bila terjadi kesalahan pada berita, maka akan menjadi tanggung jawab bersama media dengan wartawan penulis berita. Beda dengan hanya penggunaan inisial yang bulat-bulat berita ditanggungjawabi media. Wartawan yang namanya tercantum dituntut untuk melakukan koreksi pemberitaan untuk menghindari kesalahan yang akan berdampak kepada masyarakat atau pembaca. Dalam kode etik jurnalistik pasal 10, “Wartawan Indonesia harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat”. Serta pada pasal 11, “Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara


(16)

proporsional; Di situlah salah satu perbedaan penggunaan byline. Wartawan ikut terlibat langsung dalam menanggapi kesalahan atau kekeliruan pemberitaan.

Meski tak menyebutkan keharusan penggunaan byline secara langsung, dalam UU No. 40/1999 pada Bab IV tentang perusahaan pers pasal 12. “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dari penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan”. Penganggung jawab mungkin dapat diartikan adalah seorang pemimpin redaksi. Namun sebagai ujung tombak pemberitaan, wartawan-lah yang seharusnya lebih paham tentang apa yang ia laporkan.

Di Indonesia, beberapa surat kabar dan majalah juga telah mulai menerapkan

byline di media mereka. Harian The Jakarta Post tercatat sebagai media cetak pertama yang menerapkan byline. Prinsip ini mulai diterapkan pada 1 Oktober 2001. Media-media besar lainnya sekaliber Kompas, Tempo, Gatra, Republika juga telah menerapkan prinsip byline.

Untuk kota Medan, harian Medan Bisnis juga telah mulai menerapkan byline

di semua berita yang dimuat. Harian Medan Bisnis termasuk salah satu media lokal dengan konten ekonomi. Meski demikian, harian ini juga turut dapat memengaruhi opini publik yang selalu melek dengan isu-isu ekonomi dan anggaran publik. Hanif Suranto dalam sebuah pengantar (Menelisik Anggaran Publik, 2012) menyebutkan masyarakat punya hak atas informasi yang jelas mengenai pengganggaran menyangkut publik. Sesuai dengan telah diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

Harian MedanBisnis pertama kali diterbitkan di Medan 15 Januari 2001 dalam bentuk surat kabar mingguan. Semenjak pertama kali diterbitkan, harian ini sudah menerapkan prinsip byline. Penerapan prinsip ini tidak berubah setelah hampir 13 tahun surat kabar ini menjelma sebagai salah satu media cetak dengan oplah yang cukup besar di Medan. Konten berita yang dimuat di Medan Bisnis terdiri dari 50 persen berita ekonomi dan 50 persen berita umum. Menurut Pemimpin redaksi


(17)

Medan Bisnis Bersihar Lubis, konten media yang ia pimpin memang bersifat menggairahkan pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Walau demikian, prinsip pencantuman nama wartawan ini diterapkan mempunyai banyak manfaat bila dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama melihat dari sisi wartawan sebagai penulis berita akan lebih transparan dan bertanggung jawab terhadap berita-berita yang ia laporkan setiap hari. Dalam hal ini, mengetahui namanya tercantum, ia akan lebih memperhatikan kualitas berita, akurasi informasi, kualitas bahasa yang ia beritakan dan juga mengkatkan kompetensi si wartawan itu senditi.

Medan Bisnis sebagai perusahaan media cukup dipermudah dalam memantau setiap wartawan yang dipekerjakan sebagai ujung tombak dalam mencari berita. Bersihar Lubis mengatakan medianya selalu melakukan evaluasi kinerja wartawan dalam periode waktu tertentu. Jadi hal ini dipermudah dengan kalkulasi berita melihat dari setiap berita yang sudah tertera masing-masing nama wartawan yang menulis berita. Namun, fungsi byline yang lebih spesifik adalah saat berita yang diterbitkan menuai protes dari pihak-pihak tertentu. sesuai dengan regulasi peraturan dunia pers,

Medan Bisnis akan memberikan ruang hak jawab bagi berita yang keliru atau tidak akurat sebagai bentuk transparansi media terhadap publik. Tapi, dengan tercantumnya nama wartawan sebagai orang pertama yang meliput dan menulis laporan pemberitaan, maka akan menjadi evaluasi yang tegas secara moril untuk tidak lagi melakukan kesalahan serupa dan lebih berhati-hati dalam bekerja.

Aspek ketiga yang dijelaskan oleh Bersihar adalah dari sisi kedekatan wartawan Medan Bisnis dengan publik. Publik yang dimaksud adalah narasumber, pejabat, politisi, pengusaha dan masyarakat umum. Kedekatan yang dimaksudkan adalah publik dapat mengetahui wartawan-wartawan MedanBisnis yang selalu bertugas berkaitan dengan masing-masing profesi publik itu sendiri. Semacam promosi bagi si wartawan itu sendiri untuk lebih dekat dengan narasumber dengan tujuan agar komunikasi si wartawan dalam melakukan peliputan berita lebih komunikatif, lebih dekat, akurat untuk menghasilkan berita yang berkualitas, bermutu dan berimbang.


(18)

1.2Fokus Masalah

Fokus Masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicari jawabannya. Dapat juga dinyatakan bahwa perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah (Pohan, dkk, 2012: 10)

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah penerapan byline terhadap integritas wartawan harian Medan Bisis?”.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat integritas wartawan harian Medan Bisnis dengan penerapan byline

pada media tersebut.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keefektifan penerapan byline di harian Medan Bisnis sebagai media cetak yang menerapkan penggunaan byline di Medan.

1.4Manfaat Peneltian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas pengetahuan peneliti dalam bidang jurnalistik, khususnya dalam mengetahui tingkat integritas wartawan yang baik.


(19)

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah penelitian tentang dunia kewartawanan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. 3. Sebagai bahan masukan bagi kawan-kawan mahasiswa Ilmu

Komunikasi lainnya, terutama yang menjurus kepada bidang jurnalisme.

4. Secara praktis, hasil peneltian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada media-media cetak yang ada di Medan akan pentingnya penerapan byline.


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi

Komunikasi adalah komponen penting dalam pola tindakan manusia. Karena itu komunikasi juga perlu dikaji karena begitu rumit dan komplit. Orang telah mempelajari komunikasi sejak zaman purbakala, namun perhatian terhadap pentingnya komunikasi baru muncul belakangan, yaitu pada abad 20. Bernett pearce (1989) dalam (Morisan, 2009: 2) mengatakan munculnya peran komunikasi sebaia penemuan revolusioner (revolusionarydiscovery) yang sebagian besar disebabkan oleh penemuan teknologi komunikasi seperti radio, televise, telepon, satelit, dan jaringan komputer. Pada saat yang bersamaan muncul dan berkembang industrialisasi, tumbuhnya korporasi multinasional dan politik global.

Riset sosiologi yang dilakukan pada tahun 1930-an kebanyakan menyelidiki cara komunikasi dapat memengaruhi individu dan masyarakat, sedangkan topic-topik riset yang populer dalam bidang psikologi sosial kala itu, antara lain adalah riset mengenai efek film terhadap anak-anak, riset mengenai propaganda, persuasi, dan dinamika kelompok. Barulah France Dance (1970) melakukan terobosan penting dalam upayanya memberikan klarifikasi terhadap pengertian komunikasi. ia mengklasifikasikan teori komunikasi yang banyak itu berdasarkan sifat-sifatnya. Ia mengajukan sejumlah elemen dasar yang digunakan untuk membedakan komunikasi. Ia menemukan tiga hal yang disebutnya dengan 'diferensiasi komseptual kritis (critical conceptual differention) yang membentuk dimensi dasar teori komunikasi, yang terdiri atas dimensi level observasi, dimensi kesengajaan, dan dimensi penilaian normatif. Sementara Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi,


(21)

menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat (Mulyana, 2005: 5)

Harold Laswell mendefenisikan komunikasi dengan mencoba menjawab beberapa unsur berikut: who, says what, in which channel, to whom, with what effect.

Ini berarti bahwa komunikasi dalam prosesnya meliputi lima unsur yaitu adanya komunikator yang bertindak sebagai penyampai pesan, pesan, saluran sebagai sarana penyampai pesan, komunikan yang berperan sebagai penerima pesan dan efek yang merupakan umpan balik sebagai reaksi komunikan terhadap pesan yang disampaikan komunikator.

Defenisi di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya komunikasi merupakan proses atau pengoperan ‘sesuatu’ berupa lambang atau simbol dalam bentuk informasi, karena kata kunci komunikasi adalah informasi. Sedangkan kegiatan komunikasi yang berlangsung lebih menunjukkan kepada komunikasi interpersonal atau disebut juga proses komunikasi secara primer dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai medianya secara langsung mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator atau pada komunikan.

Para pakar komunikasi memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan fungsi-fungsi komunikasi, meskipun adakalanya terdapat kesamaan dan tumpang tindih di antara berbagai pendapat tersebut. Thomas M Scheidel (Mulyana, 2002: 4) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir atu berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita.


(22)

2.1.1 Komunikasi massa

Penelitian komunikasi yang pernah dilakukan tidak selalu memusatkan perhatiannya pada metode ilmiah yang selama ini dijadikan alasan dikatakan ilmiah. Komunikasi massa mempunyai titik tekan dan bahasan tersendiri. Misalnya Wilbur Schramm (1958) dalam bukunya introduction of Mass Comunication Research

menunjukkan, beberapa penelitian yang dilakukan pada 1920-an dan 1930-an memusatkan perhatiannya pada analisis sejarah surat kabar dan majalah atau deskripsi interpretasi pesan media. Pembahasan komunikasi yang kian pesat dan kompleks beserta penelitian yang terus menerus dilakukan menjadi bukti bahwa ilmu komunikasi massa menjadi bagian penting dalam kajian keilmuan. Bahkan kemudian menjadu peran terpenting dalam sejarah perkembangan manusiaterutama komunikasi. Alasannya, masyarakat kita dewasa ini tidak akan lepas dari peran ilmu komunikasi massa ini. (Nurudin, 2003: 2). Di sini Nurudin mendefenisikan komunikasi massa sebagai komunikasi yang dilakukan melalui media (cetak atau elektronik). Sebab, awal perkembangan saja, komunikasi massa berasal dari kata pengembangan kata

media of mass communication (media komunikasi massa). Yaitu media massa (saluran) yang dihasilkan oleh teknologi modern. Hal yang perlu ditekankan sebab ada media yang bukan media massa yakni media tradisional seperti kentongan, angklung, gamelan, dan lain-lain. Di sini jelas media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa.

Gatekeeper (Penyaring informasi) yakni individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirimkan informasi dari individu ke individu lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televise, radio, video tape, compact disc, buku). Defenisi yang dikemukakan oleh Bittner di atas menekankan akan arti pentingnya gatekeeper dalam proses komunikasi massa. Inti dari pendapat itu bisa dikatakan begini, dalam proses komunikasi massa disamping melibatkan unsur-unsur komunikasi sebagai mana umumnya, ia membutuhkan peran media massa sebagai alat untuk menyampaikan atau menyebarkan informasi. Karena media massa tidak berdiri sendiri. Di dalamnya ada beberapa individu yang bertugas melakukan


(23)

pengolahan informasi sebelum informai itu sampai kepada audiens-nya. Mereka yang bertugas tersebut dinamakan gatekeeper dan disesuaikan dengan visi dan misi media yang bersangkutan, khalayak sasaran dan orientasi bisnis atau ideal yang menyertainya. Bahkan disesuaikan pula dengan kepentingan pemodal atau aparat pemerintah yang tidak jarang ikut campur tangan dalam sebuah penerbitan. (Nurudin, 2003: 33)

2.1.2 Jurnalistik

Secara etimologi jurnalistik mempunyai makna sebagai suatu seni dan atau keterampilan mencari, dan mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan informasi dalam bentuk berita secara indah agar dapat diminati dan dinikmati sehingga bermanfaat bagi segala kebutuhan pergaulan hidup khalayak. Rosihan anwar dalam (Suhandang, 2010: 22) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat ada orang-orang- orang yang mengatakan bahwa, journslism is not a game, bahwa kewartawanan itu bukanlah suatu permainan. Ia mempunyai suatu tujuan sosial yang serius. Dengan menggunakan kemerdekaan pers di negeri tersebut, jurnalistik mempunyai kekuatan untuk menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, membetulkan apa yang salah, apa yang tidak adil, serta memerangi kejahatan.

Jurnalistik akan selalu ada bila dinamika materialnya ada. Di mana manusia dan segala interaksi antarmanusia adalah objek material jurnalistik. Selama bumu dipijak maka objek material jurnalistik tidak akan punah. Hal ini berarti jurnalistik akan selalu ada dan dibutuhkan selama manusia ada dan menjalin interaksi. Jurnalistik selalu mendampingi kehidupan manusia. Di samping objek material, jurnalistik pun memiliki objek formal yaitu pernyataan manusia. Justru pernyataan manusia merupakan “lahan” potensial yang menjadi garapan atau wartawan. Objek formal jurnalistik berkaitan erat dengan apa yang akan dan sedang dibicarakan manusia (Yunus, 2010: 5)

Secara terminologi jurnalistik berasal dari kata journal atau dujour yang merupakan terjemahan berarti harian atau setiap hari. Dari perkataan itulah lahir


(24)

kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. MacDougall (dalam Kusumaningrat) menyebutkan bahwa jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting di mana pun dan kapan pun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu Negara demokratis (Kusumaningrat, 2009: 15).

Bill Kovach dan Tom Rosientiel dalam bukunya Sembilan Elemen Jurnalisme

menjelaskan bahwa setidaknya Sembilan elemen yang harus ditegakkan para pekerja media (Kovach, 2006: 6), yaitu:

1. Kewajiban pertama Jurnalisme adalah pada kebenaran 2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat 3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi

4. Praktisi jurnalisme harus menjaga independensi terhadap sumber berita 5. Jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan

6. Jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat 7. Jurnalisme harus berupaya keras untuk membuat hal yang penting

menarik dan relevan

8. Jurnalisme harus menyiarkan berita secara komprehensif dan proporsional 9. Praktisi jurnalisme harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka

Salah satu karya jurnalistik disebut berita. Berita merupakan bagian terpenting dari sebuah media. ibarat sajian makanan, berita adalah menu utamanya. Orang mengonsumsi media karena ingin memenuhi kebutuhannya akan berita. Menurut ensiklopedi pers Indonesia (Junaedhi 1991: 26), berita adalah laporan pemberitahuan mengenai terjadinya peristiwa atau keadaan yang bersifat umum, baru saja terjadi yang disampaikan oleh wartawan dalam media massa.

Pendapat senada juga diungkapkan Jakob Oetama (1987: 195), ia berpendapat berita bukanlah fakta. Berita adalah laporan tentang fakta. Suatu peristiwa menjadi


(25)

berita hanya apabila ditemukan, dilaporkan oleh wartawan dan dimuat pada media massa yang bersangkutan. Dengan demikian, berita tersebut masuk kepada kesadaran publik hingga akhirnya menjadi pengetahuan publik secara aktual.

Kelengkapan fakta dalam suatu peristiwa merupakan syarat dari suatu berita agar dapat disebut faktual. Sehingga fakta yang disajikan lewat laporan benar-benar nyata dan dapat dibuktikan kebenarannya oleh siapa pun, langsung di tempat kejadian.

2.2 Paradigma Interpretif

Metode penelitian kualitatif cenderung dihubungkan dengan paradigma interpretif. Metode ini memusatkan penyelidikan terhadap cara manusia memaknai cara kehidupan sosial mereka, serta bagaimana manusia mengekspresikan pemahaman mereka. Paradigma interpretif menekankan perlunya memahami realitas sosial dari berbagai sudut pandang orang-orang yang hidup di dalamnya. Realitas sosial yang dihadapi manusia sudah terbentuk dari waktu ke waktu melalui proses komunikasi, interaksi dan sejarah bersama (Daymon, 2008: 6).

Paradigma interpretif rumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori post-positivis, karena perspektif positivis dipandang terlalu umum, terlalu mekanis, dan tidak mampu menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana kita berperilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian pemahaman jenis ini, teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan dengan cara yang sangat berbeda dengan cara teori post-positivis. (Ardianto. 2007: 124)

Para interpretivis berusaha keras untuk mendapatkan pemahaman lokal dari kelompok sosial yang khusus dan kejadian yang khusus pula. Karena realitas itu diciptakan secara sosial maka para interpretivis ini percaya bahwa pemahaman hanya bisa dicapai dari pandangan pelaku relitas tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman


(26)

ini, para pakar interpretif mencoba untuk mengurangi jarak antara subjek yang mengetahui (the knower) dan objek pengetahuan (the known), dan temuan yang dihasilkan penelitian adalah sesuatu yang timbul dari interaksi anatara peneliti dan komunitas. Ini membutuhkan penyelidikan dari dalam di mana peneliti menceburkan dirinya ke dalam setting sosial, menggabungkan interview dan observasi dengan pengalaman pribadinya di lapangan. Teori diciptakan secara induktif melalui interaksi antara peneliti dan kolektif (kelompok) sosial.

2.2.1 Interaksionisme Simbolik

George Herbert Mead lahir di Massacusettes, Amerika Serikat, pada tahun 1863, yakni pada era perang sipil. Ayahnya merupakan seorang menteri, namun kakeknya merupakan seorang petani miskin. Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolik, karena pemikirannya yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok mengenai “mind”, “self” dan “society”

sebagaimana dijelaskan berikut ini (Mufid, 2009:160).

Dia mengatakan bahwa pikiran manusia mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan peristiwa yang dialaminya, menerangkan asal muasalnya dan meramalkannya. Pikiran manusia menerobos dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya. Cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead (dalam Mufid, 2009:161-165) melihat pikiran dan diri menjadi bagian dari perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Interaksi itu membuat dia mengenal dunia dan dia sendiri. Mead mengatakan bahwa, pikiran (mind) dan diri (self) berasal dari masyarakat (society)

atau aksi sosial (social act).


(27)

Mead mendefinisikan “mind” (pikiran) sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind dalam hal ini mirip dengan symbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri (self-conversation), yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak menggunakan bahasa.

Konsepsi “mind” lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar, melainkan secara aktif selalu berubah dan berkembang. Mead mengatakan bahwa, “consciousness (mind) is not given, it is emergent”. Kesadaran (mind) tidak diberi, tapi dicari.

b. Konsep Mead tentang “Self”

Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial yang membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang melakukan role taking (pengambilan peran) dari orang lain. Dalam role taking kita mengimajinasikan tingkah laku kita dari sudut pandang orang lain.

Esensi self bagi Meadadalah reflexivity. Yakni bagaimana kita merenung ulang relasi dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain.

c. Konsep Mead tentang “Society”

“Society” menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok intim, dan komunitas. Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama. “Society”

dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan role taking dan generalized others.


(28)

Holstein dan Gubrium (2001) menyebutkan “teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-orang merespons makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrument penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna memengaruhi mereka.

Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial. Contohnya, mead berbicara tentang simbol signifikan (significant symbol) dengan makna yang sama dalam sebuah masyarakat. Tanpa s istem penyimbolan yang sama aksi yang terkkoordinasi adalah gtidak mungkin. Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah orang lain yang signifikan (significant others) yaitu orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupan kita. Lalu orang lain (generalized other) yang digeneralisasikan yakni konsep tentang orang lain merasakan kita dan tata cara yang dipakai (role taking) yaitu pembentukan setelah perilaku setelah perilaku orang lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interaksionisme simbolik untuk menyediakan sebuah gambaran kompleks dari pengaruh persepsi individu dan kondisi psikologis, komunikasi simbolik, serta nilai sosial dan keyakinan dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat. (Ardianto, 2007: 135).

Prespektif interaksi simbolik, perilaku manusia harus di pahami dari sudut pandang subyek. Dimana teoritis interaksi simbolik ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, (Mulyana, 2001: 70). Inti pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam proses komunikasi dengan sesama.

Penggunaan simbol yang dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah proses yang interpretasi yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari proses interaksi sosial.


(29)

Arnold M Rose (1974:143) dalam (Mulyana 2001:72) Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu.

Terbentuknya makna dari sebuah simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang kemudian memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari faktor eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat memberikan pemaknaan dan melakukan respon dalam kehidupan sosialnya. Namun, makna yang merupakan hasil interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan faktor bahwa individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia ucapkan.

Menurut pandangan Mead, perilaku manusia sebagai makhluk sosial berbeda dengan perilaku hewan yang pada umumnya ditandai dengan stimulus dan respon. Perilaku merupakan produk dari penafsiran individu atas objek di sekitarnya.makna yang mereka berikan kepada objek berasal dari interaksi sosial dan dapat berubah selama interaksi itu berlangsung. Senada dengan apa yang bisa kita lihat dari penampilan fisik atau budaya material kaum Punk. Dimana pola pemaknaan yang terjadi dalam masyarakat terhadap kaum Punk adalah berkonotasi negatif. Penampilan dengan gaya pakaian yang terkesan kumal, penuh dengan aksesoris


(30)

sangar seperti Peniti yang dijadikan hiasan di wajah yang pada akhirnya membentuk respon masyarakat kepadanya.

Konsep tentang “self ” atau diri merupakan inti dari teori interaksi simbolik. Mead menganggap konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain (Mulyana, 2001:73).Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)dalam West- Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia


(31)

simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Tema pertama pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969)dalam West-Turner (2008: 99) di mana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubunganantara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.

George Herbert Blumer (1967), merupakan professor di Universitas California. Pemikiran Blumer tentang interaksionisme simbolik lebih banyak merupakan penuangan ide Mead. Sebagai seorang penganut pemikiran Mead, ia berusaha menjabarkan pemikiran idolanya Mead mengenai konsep interaksionisme simbolik. Menurut Blumer (dalam Sunarto, 2004 : 38) bahwa pokok-pokok pikiran interaksionisme simbolik terdiri dari tiga asumsi, yakni : pertama, bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) itu atas dasar makna (meaning) yang dimiliki sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang memiliki sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga, bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran (interpretative) yang digunakan orang dalam menjumpai sesuatu yang unik.


(32)

a. Konsep Diri

Manusia bukan semata-mata organisme yang bergegas di bawah pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organism yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Oleh karena ia seorang diri, maka ia mampu memandang dirinya sebagai objek pikirannya sendiri dan berinteraksi dengan drinya sendiri. Ia mengarahkan dirinya kepada berbagai objek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri. ia mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan, dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, dan akhirnya ia merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya.

Antara perangsang dengan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Inilah kekhasan manusia.

b. Konsep Kegiatan

Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi dengan diri sendiri, maka kegiatannya itu berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain.

Manusia menghadapkan dirinya dengan berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan, dan harapan serta bantuan orang lain, citra dirinya, cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka, ia merancang kegiatannya yang tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksinya. Adalah manusia sendiri yang menjadi konstruktor perilakunya.

c. Konsep Objek

Manusia hidup di tengah-tengah objek. Objek meliputi segala sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. Objek bisa bersifat konkrit seperti kursi, meja,


(33)

dan seterusnya, dan dapat pula bersifat abstrak seperti kebebasan. Bisa juga pasti seperti golongan darah atau agak kabur seperti filsafat.

Inti hakikat objek tadi tidak ditentukan oleh ciri-cirinya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada objek tersebut. jadi, menurut Blumer, tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tapi juga objek.

d. Konsep Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah suatu proses hubungan timbale balik yang dilakukan oleh individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu, antara kelompok dengan kelompok dalam kehidupan sosial.

Dalam interaksi terjadi proses pemindahan diri pelaku yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik saja, melainkan lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolis seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak dengan makna yang dikandungnya.

Blumer mengatakan, bahwa orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lainnya, melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatan mereka menjadi apa yang disebut sebagai transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka.

e. Konsep Aksi Bersama

Istilah aksi bersama sebagai terjemahan dari “joint action”, jadi berarti kegiatan kolektif yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan


(34)

orang-orang satu sama lain. Blumer memberikan contoh, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya (Mufid, 2009:165-170).

Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, dimana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama lain dan melebur.

2.2.2 Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris

phenomenon yang berasal dari kata Yunani phainein yang berarti memperlihatkan dengan bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di hadapan kita. Kata itu juga memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantacy yang berarti imajinasi. Jadi fenomenon dapat saja tampil di dalam pikiran kita sejauh dia itu jelas. Fenomenologi adalah teori tentang fenomenon (Praja, 2003:179).

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Sehingga dalam berbagai hal kita dapat mempelajari atau memahami sesuatu dari gejala atau penampakan. Yakni hal-hal yang menyangkut kenyataan sebagaimana tampaknya. Fenomenologi, dikemukakan oleh Edmund Husserl (1895-1938) sebagai tokoh terpentingnya. Husserl (L. Siregar, 2005 : 7-8) mengatakan :

“This phenomenology, like the more inclusive pure phenomenology of experiences in general, has, as its exclusive concern, experiences intuively seizable and analyzable in the pure generality of their essence, not experiences empirically perceived and treated as real facts, as experiences of human or animal experients in the phenomenal world that we posit as an empirical fact. This phenomenology must bring to pure expression, must


(35)

describe in terms of their essential concepts and their governing formulae of essence, the essence which directly make themselves known in intuition, and the connections which have their roots purely in such essences. Each such statement of essence is an apriori statement in the highest sense of the world.”

Fenomenologi ini sebagaimana halnya fenomenologi murni yang lebih inklusif tentang pengalaman secara umum kepedulian khusus, pengalaman yang dapat dideskripsikan dan dianalisis secara intuitif dalam hal umum yang murni, mengenai esensi bukan pengalaman yang diterima dan diperlakukan secara empiris sebagai fakta riil, seperti halnya pengalaman manusia atau hewan dalam dunia fenomenal yang kita asumsikan sebagai suatu fakta empiris. Fenomenologi ini harus dibawa kepada ekspresi murni, harus dapat menggambarkan arti konsep esensinya dan formula yang mengatur esensinya, esensi yang secara langsung membuat hal itu dapat dikenal dalam intuisi dan hubungan dengan di mana mereka berakar secara murni. Setiap pernyataan esensi merupakan pernyataan apriori dalam arti yang paling tinggi.

Perspektif fenomenologi merupakan salah satu dari tiga pandangan dasar dari paradigm interpretif. Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859-1938). Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah (atau objektif) bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang (Suyanto, 2005: 178-179).

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau paham yang menganggap bahwa gejala adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argument-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu


(36)

sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari objek itu, melepaskan objek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu ’berbicara’ sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita. Fenomenologi adalah tambahan dari pendapat Bentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Menurutnya manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang transeden, sintesis dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre aumonde

(mengada pada alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengostitusi alamnya. Untuk melihat sesuatu hal, saya harus mengkonvers ikan mata, mengakomodasikan lensa, dan mengfiksasikan hal yang mau dilihat. (Maksun, 2008: 368-369)

Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang.Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku (Bungin, 2003).

Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan Prinsip dasar dari perspektif fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu. Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Kedua, makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang khusus dalam kehidupan pribadi. Dalam artian, makna sebuah pohon tumbuh yang tumbuh di


(37)

halaman belakang dapat berkisar dalam makna indahnya dahan-dahan, keteduhan yang penuh hasrat, kicauan burung yang mendiami pohon itu atau sebuah halangan yang tidak diinginkan untuk menyatukan konstruksi makna tersebut. Esensinya, makna yang berasal dari suatu objek atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan fenomenologi percaya bahwa dunia dialami-dan makna dibangun melalui bahasa. (Ardianto. 2007: 129).

Dalam proses memproduksi berita, Eriyanto (2002: 106) menuliskan bahwa pemahaman wartawan erat kaitannya dengan pengertian dan anggapan perspektif wartawan dalam melihat beragam fenomena yang terjadi pada masyarakat. Ada semacam standar yang harus ditaati wartawan agar laporan yang ia berikan mempunyai nilai yang akan diinformasikan kepada masyarakat. Nilai tersebut tidaklah bersifat personal melainkan dihayati bersama dengan lembaga-lembaga yang dipercaya dalam mengontrol kerja wartawan.

Filsafat Fenomenologi

Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.

Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif dan instropeksi mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung : religious, moral, estetis, konseptual, dan indrawi. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan) atau erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris (Maksum, 2011:191).


(38)

Sebagai filsafat, fenomenologi memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap-tahap penelitiannya, ia menemukan objek-objek yang membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda itu sendiri, dan ini disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. 2.1.1 Metode Fenomenologi

Menurut Husserl (dalam Maksum, 2011:191), fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan cirri-ciri instrinsik fenomena sebagaimana fenomena itu sendiri menampakkan diri kepada kesadaran. Kita harus berangkat dari subjek manusia serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Kalau ini dapat dilakukan maka akan tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi.

Untuk memahami filsafat Husserl, ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui :

 Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula

nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena)

 Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau ruhani

 Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka dan terarah pada subjek)

 Substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.

Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl (dalam Praja, 2003:181), usaha untuk mencapai hakikat realitas segala fenomena itu melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari :


(39)

Fenomena seperti disebut di atas adalah menampakkan diri. Dalam praktik hidup sehari-hari, kita tidak memperhatikan penampakan itu. Apa yang kita lihat secara spontan sudah cukup meyakinkan kita bahwa objek yang kita lihat adalah riil atau nyata. Kita telah meyakini sebagai realitas di luar kita. Akan tetapi, karena yang dituju oleh fenomenologi adalah realitas dalam arti yang ada di luar dirinya dan ini hanya dapat dicapai dengan “mengalami” secara intuitif, maka apa yang kita anggap sebagai realitas dalam pandangan biasa itu untuk sementara harus ditinggalkan atau dibuat dalam kurung. Segala subjektivitas disingkirkan. Termasuk di dalam hal ini teori-teori, kebiasaan-kebiasaan dan pandangan-pandangan yang telah membentuk pikiran kita memandang sesuatu (fenomena) sehingga yang timbul di dalam kesadaran adalah fenomena itu sendiri. Karena itulah reduksi ini disebut fenomenologis.

Reduksi pertama ini merupakan “pembersihan diri” dari segala subjektivitas yang dapat mengganggu perjalanan mencapai realitas itu. Jika hal ini berhasil, kita akan sampai pada fenomena yang sebenarnya.

2. Reduksi Eidetis

Eidetis berasal dari kata eidos, yaitu inti sari. Reduksi eidetis ialah penyaringan atau penempatan di dalam kurung segala hal yang bukan eidos,

inti sari atau realitas fenomena. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan realitas. Dengan reduksi eiditis, semua segi, aspek, dan profil dalam fenomena yang hanya kebetulan dikesampingkan. Karena aspek dan profil tidak pernah menggambarkan objek secara utuh. Setiap objek adalah kompleks mengandung aspek dan profil yang tiada terhingga.

Hakikat (realitas) yang dicari dalam hal ini adalah struktur dasar yang meliputi isi fundemental dan semua sifat hakiki. Untuk menentukan apakah sifat-sifat tertentu adalah hakikat atau bukan, Husserl memakai prosedur mengubah contoh-contoh. Ia menggambarkan contoh-contoh tertentu yang representatif melukiskan fenomena. Kemudian dikurangi atau ditambah salah


(40)

satu sifat. Pengurangan atau penambahan yang tidak mengurangi atau menambah makna fenomena dianggap sebagai sifat-sifat yang hakiki.

Reduksi eidetis ini menunjukkan bahwa dalam fenomenologi kriteria kohersi berlaku. Artinya, pengamatan-pengamatan yang beruntun terhadap objek harus dapat disatukan dalam suatu horizon yang konsisten. Setiap pengamatan memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang selanjutnya.

3. Reduksi Transendental

Di dalam reduksi ini yang ditempatkan di antaranya dua kurung adalah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. Reduksi ini dengan sendirinya bukan lagi mengenai objek, atau fenomena yang bukan mengenai hal-hal yang menampakkan diri kepada kesadaran. Reduksi ini merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai hal-hal yang menampakkan diri dalam kesadaran. Dengan demikian, yang tinggal sebagai hasil reduksi ini adalah aktus kesadaran sendiri. kesadaran di sini bukan pula kesadaran empiris lagi, bukan kesadaran dalam arti menyadarkan diri berdasarkan penemuan dengan fenomena tertentu. Kesadaran yang ditemukan adalah kesadaran yang bersifat murni atau transendental, yaitu yang ada bagi diriku dalam aktrus-aktrus.

Dengan singkat dapat disebut sebagai subjektivitas atau “aku” transendental. Dalam hal ini “aku” transendental mengkonstitusi esensi-esensi umum. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya Husserl menyadari bahwa objek-objek pada umumnya tidak terlepas dari proses sejarah dan budaya. Artinya, sejarah dan budaya mempunyai saham dalam memahami objek-objek. Kursi misalnya, tidak jelas maknanya bagi seseorang yang tetap hidup di hutan. Objek yang disadari (noema) baru menjadi realitas bagi satu subjek, sedangkan subjek lebih dari satu. Untuk menghindari ini, Husserl


(41)

membuat reduksi lebenswelt (dunia yang hidup atau dunia manusia umum). Dengan reduksi ini, apa yang disadari adalah realitas absolut dari fenomena, meliputi seluruh perspektifnya. Dan “aku” transendental dari subjek berubah menjadi “aku” transcendental antar subjek. Ini yang ditempuh Husserl untuk menghindari solipisme fenomenologis.

Tujuan dari semua reduksi ini adalah menemukan bagaimana objek dikonstitusi sebagai fenomena asli dalam kesadaran manusia. Husserl ingin dengan metode ini memberikan landasan yang kuat dan netral bagi filsafat dan ilmu pengetahuan umum.

2.3 Byline

Byline berasal dari kata “by” (oleh) dan “line” (baris) yang merujuk kepada sebuah baris dekat judul cerita di mana terdapat nama orang yang menulis berita itu. Nama penulis atau wartawan yang beritanya dicantumkan di antara judul dan teks. Ada juga sebagian media yang meletakkan di bagian bawah dari teks.

Penggunaan byline pertama kali diterapkan pada tahun 1850-an oleh Charles S. Taylor, seorang jenderal yang kemudian menjadi publisher harian The Boston Globe. Taylor sering jengkel karena selama perang ada saja wartawan yang menulis dengan judul ‘berita penting jika terbukti benar’. Maka Taylor memutuskan menaruh nama para wartawan pada berita-berita yang diterbitkan The Boston Globe(Harsono, 2011: 42).


(42)

(43)

Sumber: diambil oleh peneliti dari MedanBisnis edisi Kamis 12 September 2013

Penggunaan byline diharapkan mampu mendorong integritas dan akuntabilitas wartawan di mata pembaca. Dibanding hanya mencantumkan kode atau inisial, dengan adanya byline akan semakin membuat adanya reaksi antara pembaca terhadap wartawan yang namanya tercantum pada berita. Karena dengan mengetahui nama wartawan akan membuat jarak yang cukup dekat antara media dan pembaca serta narasumber. Namun yang terpenting dengan penerapan byline wartawan akan dituntut untuk berhati-hati terhadap laporan yang ia berikan. Bila ada laporan yang melenceng, maka publik akan dapat, mengetahui siapa dibalik proses penggarapan berita. Tidak lagi tertutupi dibalik media atau institusi tempat ia bekerja.

Memang berbeda prinsip menerapkan byline dengan memakai inisial wartawan. Esensi byline menurut Bill Kovach (Harsono, 2011: 44) “Biarkan pembaca tahu mana wartawan yang bisa menulis dengan baik dan mana yang tidak baik. Bukan sebaliknya menaruh semua tanggungjawab kepenulisan itu di bawah institusi media”. Bila hanya dengan inisial tidak cukup untuk mewakili akuntabilitas wartawan suatu media.

Nurudin juga menuliskan byline penting sebagai pertanggungjawaban media dan wartawan pada publik (Nurudin, 2009: 211-213). Ia merumuskan ada 4 kelebihan dari penerapan byline yaitu:

- Pertanggungjawaban - Kepercayaan

- Kompetisi

- Keuntungan Intitusi

Meski tak menyebutkan keharusan penggunaan byline secara langsung, dalam UU No. 40/1999 pada Bab IV tentang perusahaan pers pasal 12. “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dari penanggung jawab secara terbuka melalui


(44)

media yang bersangkutan”. Penganggung jawab mungkin dapat diartikan adalah seorang pemimpin redaksi. Namun sebagai ujung tombak pemberitaan, wartawan-lah yang seharusnya lebih paham tentang apa yang ia laporkan.

Di Indonesia, beberapa surat kabar dan majalah juga telah mulai menerapkan

byline di media mereka. Harian The Jakarta Post tercatat sebagai media cetak pertama yang menerapkan byline. Prinsip ini mulai diterapkan pada 1 Oktober 2001. Media-media besar lainnya sekaliber Kompas dan Tempo juga telah menerapkan namun masih dalam berita-berita yang bersifat ringan seperti penulisan feature. Untuk kota Medan, Harian Medan Bisnis juga telah mulai menerapkan byline di semua berita yang dimuat. Harian Medan Bisnis termasuk salah satu media lokal dengan konten ekonomi.Meski demikian, harian ini juga turut dapat memengaruhi opini publik yang selalu melek dengan isu-isu ekonomi dan anggaran publik. Hanif Suranto dalam sebuah pengantar (Menelisik Anggaran Publik, 2012) menyebutkan masyarakat punya hak atas informasi yang jelas mengenai pengganggaran menyangkut publik. Sesuai dengan telah diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

2.4 Wartawan

Wartawan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 1999 tentang pers, dimuat dalam pasal 4 yang menyatakan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.Deborah Potter (2006: 2) menyebutkan di sebuah masyarakat yang bebas tidak hanya mempunyai perlindungan hukum. Wartawan juga mempunyai tanggung jawab agar warga selalu memperoleh informasi yang akurat dan dilaporkan dengan adil dan bebas dari pengaruh luar.

Mantan Jaksa Agung, Ali Said dalam Kusumaningrat (2009: 88) menganggap wartawan adalah wakil rakyat tanpa pemilu, sebab pekerjaannya selalu menulis untuk kepentingan rakyat. keukasaannya lebih tinggi dari pada penguasa. Wartawan sering


(45)

sekali mendapat predikat pendidik formal dan menghibur, sebutan lebih kompleks dari guru dan jenderal. Sedangkan menurut Assegaf (1991: 42) wartawan adalah seorang yang bekerja dan mendapatkan nafkah sepenuhnya dari media massa berita.

Mengingat beratnya tugas wartawan sehingga ia harus memiliki kriteria-kriteria. Wartawan sebuah profesi yang terbuka bagi siapa saja, pria dan wanita dengan latar belakang pendidikan apa saja. Ada beberapa kriteria wartawan yang baik, antara lain: punya rasa ingin tahu yang besar, berkepribadian, kuat fisik dan mental, punya integritas, berdaya cium berita tinggi, jujur dapat dipercaya, berani, tabah, dan tahan uji, cermat, cepat, punya daya imajinasi tinggi, gembira, optimism, pnya rasa humor, punya inisiatif, dan kemampuan menyesuaikan diri (Junaedhi, 1991; 272).

Wartawan adalahsuatu profesi yang penuh tanggung jawab dam memiliki resiko yang cukup besar. Untuk profesi semacam ini diperlukan manusia-manusia yang memiliki idealisme dan ketangguhan hati yang kuat untuk menghadapi berbagai kendala, hambatan, dan tantangan dalam menjalankan profesinya.

Dibutuhkan suatu komitmen yang khusus menangani perlindungan terhadap profesi kewartawanan yang bekerja secara professional dan memiliki moralitas, sehingga mampu melakukan pemantauan terhadap pekerjaan wartawan. Profesi wartawan harus dilindungi karena sangat terkait dengan upaya demokratisasi dan reformasi. Perlindungan terhadap wartawan juga harus diberikan tatkala muncul tekanan ekonomis dan tekanan dari kelompok tertentu. (Assegaf, 1991: 142).

Profesi wartawan juga diikat dengan Kode Etik antara lain (Atmakusumah dalam tim penulis AJI, 2003: 7):

- Memerhatikan persyaratan jurnalistik seperti objektivitas, keadilan, keberimbangan, dan ketidakbiasaan.


(46)

- Menghargai lingkup pribadi, sepanjang tidak mengganggu kepentingan umum.

- Tidak berprasangka atau diskriminatif terhadap perbedaan SARA atau gender.

- Tidak melecehkan atau merendahkan martabat orang-orang yang beruntung.

- Menghormati hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan memperoleh informasi.

- Tidak terbujuk oleh iming-iming narasumber yang mengakibatkan sajian berita tidak objektif dan profesional.

2.5 Integritas

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, integritas berarti mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.

keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.Suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika,integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik). Seorang dikatakan “mempunyai integritas”apabila tindakannya sesuai dengan nilai, keyakinan, dan prinsip yang dipegangnya. Mudahnya, ciri seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan perbuatan bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang. Seorang yang mempunyai integritas bukan tipe manusia dengan banyak wajah dan penampilan yang disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya. Integritas (Integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukan ini. Dengan kata lain, “satunya kata dengan


(47)

perbuatan”. Mengkomunikasikan maksud, ide dan perasaan secara terbuka, jujur dan langsung sekalipun dalam negosiasi yang sulit dengan pihak lain. Integritas menjadi mempunyai integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari narasumber, pembaca dan dari editornya. Integritas adalah kompas yang mengarahkan perilaku seseorang. Integritas adalah gambaran keseluruhan pribadi seseorang (integrity is who you are)

2.6 Integritas wartawan

Pada draftkode etik jurnalistik Hasil Kongres XXII di Banda Aceh 27-29 Juli 2008 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bab I menetapkan perihal kepribadian dan integritas wartawan. Wartawan harus memiliki kepribadian dalam arti keutuhan dan keteguhan jati diri, serta integritas dalam arti jujur, adil, arif dan terpercaya.

Kepribadian dan integritas wartawan yang ditetapkan di dalam Bab I Kode Etik Jurnalistik mencerminkan tekad PWI mengembangkan dan memantapkan sosok Wartawan sebagai profesional, penegak kebenaran, nasionalis, konstitusional dan demokratis serta beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berikut empat pasal yang dirumuskan PWI mengenai kepribadian dan integritas wartawan.

Pasal 1

Wartawan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila taat Undang-Undang Dasar Negara RI, kesatria, bersikap independen serta terpercaya dalam mengemban profesinya.

Pasal 2

Wartawan dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan


(48)

negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang dan prasangka atau diskriminasi terhadap jenis kelamin, orang cacat, sakit, miskin atau lemah.

Pasal 3

Wartawan tidak beriktikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bohong, bersifat fitnah, cabul, sadis, dan sensasional.

Pasal 4

Wartawan tidak menyalahgunakan profesinya dan tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suar, suara dan gambar), yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.

Wartawan yang berintegritas menurut yang disimpulkan PWI adalah wartawan yang memenuhi kriteria empat pasal di atas. Mempunyai mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran dalam menjalankan profesi sebagai wartawan.


(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu. Peneltian mengembangkan konsep dan menghimpun data, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis (Singarimbun, 1995).

Metode deskriptif merupakan suatu metode penelitian yang hanya memaparkan situasi atau peristiwa. Metode ini juga mencari atau menjelaskan hubungan, serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi (Rakhmat, 2004: 34). Seperti juga teori, metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak bisa dinilai apakah suatu metode benar atau salah. Untuk menelaah hasil penelitian secara benar, kita tidak cukup sekadar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga bagaimana peneliti sampai pada temuan berdasarkan kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya.

3.2 Objek Penelitian

Objek adalah hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan serta dijadikan sasaran untuk diteliti, diperhatikan. Sasaran penelitian tak tergantung pada judul dan topik penelitian, tetapi secara kongkret tergambarkan dalam focus permasalahan dalam pemelitian. (Bungin, 2008: 76). Objek penelitian ini adalah wartawan harian Medan Bisnis yang akan diambil dengan teknik pengumpulan data


(50)

3.3 Subjek Penelitian

Riset kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil riset. Hasil riset lebih bersifat kontekstual dan kasuistik yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu sewaktu penelitian dilakukan. Karena itu, pada riset kualitatif tidak mengenal istilah sampel. Sampel pada riset kualitatif disebut subjek penelitian atau informan, yaitu orang-orang yang dipilih untuk diwawancarai atau diobservasi sesuai tujuan riset. Disebut subjek riset bukan objek karena informan dianggap aktif mengkontruksi realitas, bukan sekadar objek yang hanya mengisi kuesioner (Kriyantono, 2006: 161).

Merujuk pada hal tersebut, penelitian ini menggunakan teknik sampling

snowball. Sesuai namanya teknik ini bagaikan bola salju yang turun menggelinding dari puncak gunung ke lembah, semakin lama semakin membesar ukurannya (Kriyantono, 2006: 158-159). Jadi, teknik ini merupakan teknik penentuan informan yang awalnya berjumlah kecil, kemudian berkembang semakin banyak. Orang yang dijadikan informan pertama diminta memilih atau menunjuk orang lain untuk dijadikan informan berikutnya. Begitu pula seterusnya sampai jumlahnya lebih banyak. Proses ini berakhir bila peneliti sampai kepada temuan data yang sama atau data telah jenuh, artinya peneliti tidak lagi menemukan data yang baru selama wawancara.

Subjek dalam peneltian ini adalah harian Medan Bisnis. Salah satu media cetak yang telah menerapkan byline sejak pertama kali terbit pada tahun 2001.


(51)

Mengutip dari seputar harian Medan Bisnis yang peneliti jadikan sebagai subjek penelitian kali ini.

MedanBisnis terbit untuk pertama kalinya di kota Medan pada tanggal 15 Januari 2001 sebagai surat kabar mingguan. Enam bulan kemudian sesuai rencana

MedanBisnis ditingkatkan menjadi surat kabar harian, tepatnya pada tanggal 31 Juli 2001. Masa awal penerbitan MedanBisnis terbit 16 halaman setiap hari, Seiring perkembangan suratkabar ini yang tergolong pesat, sejak April 2003 MedanBisnis

meningkatkan jumlah halamannya menjadi 20 halaman, dan mulai Januari 2007 ditingkatkan lagi menjadi 24 halaman dengan setiap halaman adalah FullColor, ini merupakan salah satu usaha MedanBisnis untuk memberikan yang lebih baik lagi kepada pembaca setia MedanBisnis.

Komposisi pemberitaan harian MedanBisnis adalah 50 persen berita ekonomi dan 50 persen berita umum. Kebijakan ini diambil dengan tujuan agar di samping berita-berita ekonomi sebagai menu utama harian ini, para pembaca juga bisa menikmati berita-berita umum mulai di bidang politik, kriminal, hukum, sampai

humaninterest. Kini setiap hari MedanBisnis dibagi menjadi dua bagian, yakni 12 halaman berita ekonomi dan 12 halaman berita umum.

Ketika persiapan penerbitan MedanBisnis dilakukan pada akhir tahun 2000, satu tekad yang mereka usung yaitu suratkabar ini harus memiliki perbedaan dengan koran-koran yang telah ada di Medan. MedanBisnis menyadari satu hal, untuk bisa menerobos pasar yang telah diisi pemain-pemain lama yang telah berakar, suratkabar ini berusaha buat tampil beda.

Visi pertama MedanBisnis adalah menyajikan berita-berita aktual, menarik, bisa dipercaya, dan eksklusif. Semua berita dikemas dalam bahasa yang benar dengan cara penyajian sepopuler mungkin. Tetapi itu saja belum cukup. Sebagai sebuah harian dengan dominasi berita-berita ekonomi berkisar 50 %, hartian ini tidak hanya "menjual" berita dan menyajikan informasi, tapi juga menyuguhkan peluang-peluang dan inspirasi yang bermanfaat untuk mengembangkan bisnis dan karir para


(1)

Transkrip wawancara

Narasumber: Bersihar Lubis, Pemimpin Redaksi Harian MedanBisnis

Sejak kapan MedanBisnis mulai menerapkan byline?

Itu sejak media ini berdiri pada awal tahun 2000-an. Jauh sebelum saya menjadi pemimpin redaksi di sini.

Apa tujuan byline diterapkan di media ini?

Agar wartawan lebih transparan dan lebih bertanggung jawab. Terhadap apa yang ia tulis karena namanya tercantum. Kalau tidak bermutu kan dia bisa malu jadi dia mempertanggungjawabkan berita itu. Dari awal media ini memang sudah memuat konten ekonomi lebih banyak. Jadi berita yang kami muat juga lebih kepada menggairahkan pertumbuhan perekonomian Medan dan Sumatera Utara.

Sejauh ini dampak yang Anda lihat bagaimana dari penerapan byline di media ini?

Dampak yang signifikan enggak begitu terlihat, karena pencantuman nama ini saya lihat lebih kepada apresiasi terhadap wartawan yang susah payah melkiput berita di lapangan. Pastinya ada kebangaan bagi wartawan dengan namanya tercantum di berita yang kita muat.


(2)

Apakah byline mempermudah media Anda untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja wartawan?

Evaluasi adalah menjadi hal yang wajib bagi media kami. Bahkan semua media juga melakukan hal yang sama saya rasa.

Jadi bagaimana mekanisme evaluasi reporter di MedanBisnis?

Evaluasi reporter ada perbulan. Melihat jumlah berita, mutu berita, akurasi, kehadiran di rapat, usulan-usulan di rapat. Ada banyak parameternya. Nanti diakumulasi, dibikin skors nanti ada nilai ABCD. Apakah buruk, cukup, sedang, hingga istimewa.

Dari hasil evaluasi apakah ada punish dan reward terhadap wartawan?

Ada. Yang punya rapos bagus kami akan pertimbangkan untuk kenaikan gaji. Atau bahkan buat promosi jabatan. Buat yang punya rapor jelek akan kami tangani untuk dicarikan solusi bagaimana cara supaya kinerjanya meningkat.

Apakah ada hubungan penerapan byline dengan media dalam mempromosikan wartawannya kepada publik?

Bisa jadi seperti itu. Jadi wartawan kami mempunyai perbedaan dibanding wartawan lain. Wartawan Medan Bisnis akan mudah dikenali orang karena nama mereka langsung dicantumkan diberita yang dibaca masyarakat setiap hari. Kalau hanya menggunakan inisial orang enggak tahu dan menganggap wartawan kami sama saja dengan wartawan media lain.

Byline digunakan untuk semua wartawan di MedanBisnis?

Untuk karyawan tetap saja. Kalau belum berstatus karyawan tetap kita ada kode CK untuk calon koresponden, CW untuk calon wartawan. Nanti bila


(3)

sudah melampaui beberapa tahap penilaian ia menjadi karyawan namanya akan dicantumkan. Masa percobaan di sini lamanya ada enam bulan.

Apa saja syarat seseorang diterima bekerja di Medan Bisnis?

Syarat utama adalah sarjana. Kemudian dapat berkomunikasi dengan baik dengan banyak orang. Menguasai bahasa Inggris. Dan yang terpenting itu bergaul. Kalau orang mudah bergaul ia akan gampang dalam berkomunikasi dalam menggali informasi. Selain itu ia harus siap mental bekerja di bawah tekanan.

Apa saja yang dilakukan media ini untuk menjamin integritas wartawannya?

Setelah direkrut mereka akan dibimbing dalam pengetahuan terhadap jurnalistik. Sekali sebulan, ada pembekalan dari pemred, redaktur dan juga mendatangkan orang dari luar sesekali. Ada yang langsung kami beri pemahaman bagi yang kualitasnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan.

Melihat penefrapan byline di media Anda, apa saran anda terhadap penerapan byline ini bagi media lain?

Saya kira terserah aja. Ada juga yang penganggap pekerjaan wartawan itu berbahaya, penuh beresiko, jadi namanya disembunyikan, tapi karena kami koran ekonomi yang lebih menggairahkan pertumbuhan ekonomi, jadi kita merasa tidak beresiko tinggi, maka kami cantumkan nama untuk mempromosikan wartawan agar ia juga punya semangat lebih dalam bekerja.

Kalau Anda melihat byline di media yang juga sudah menerapkan bagaimana?

Dulu media ini melihat koran-koran di Jakarta sudah menggunaan byline seperti Tempo, Gatra, Forum, Republika dan beberapa media nasional


(4)

umumnya mencantumkan. Dan itu tidak hanya pemberitaan masalah ekonomi. Soal politik, hukum dan kriminal juga. Jadi sudah banyak yang mulai berpikir pekerjaan wartawan yang penuh resiko sudah terpinggirkan karena masyarakat sendiri sudah semakin maju, pintar yang juga sudah menghargai profesi wartawan. Kalau ada sesuatu yang lebih berkenan ya silahkan komplain, kirim hak jawab, surat pembaca kepada media terkait.


(5)

BIODATA PENULIS Data Pribadi

Nama : Febrian

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat, tanggal lahir : Batusangkar, 10 Februari 1991

Agama : Islam

Alamat lengkap : Jalan Teratai No. 5B Medan Selayang, Medan

Telepon : 085274622252/085763202044

E-mail

Pendidikan Formal

2009-2013 : S1 Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2006-2009 : SMA N 1 Batusangkar Sumatera Barat

2003-2006 : SMP N 1 Batusangkar Sumatera Barat

1997-2003 : SD 03 Sungayang Sumatera Barat

Pendidikan Non Formal

• Kursus menulis narasi diselenggarakan oleh Eka Tjipta Foundation bersama Andreas Harsono. Padang Halaban, Sumatera Utara, 2010

• Pelatihan Jurnalistik ‘Menulis untuk Kesederajatan ’ yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Lentera Timur tahun 2011

• Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut se-Indonesia ‘Jurnalisme Budaya’. Bukittinggi, 2011

• Pelatihan ‘Jurnalisme Investigasi’ yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, Medan, 2012


(6)

Pengalaman

2011 : Kepala Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan Ikatan Mahasiswa

Imam Bonjol USU

2011 : Redaktur Pers Mahasiswa Suara USU

2012 : Redaktur Pelaksana Pers Mahasiswa Suara USU

2012 (Juli) : Magang sebagai jurnalis di Majalah Berita Mingguan Gatra, Jakarta

2013 (April-Juli) : Bekerja sebagai reporter di Tabloid Aplaus The Lifestyle, Medan