TANTANGAN DAN PELUANG DI ERA DESENTRALISASI

FOKUS

Pem bagian Urusan ant ara P e m e r i n t a h P u sa t d a n P e m e r i n t a h

D a e r a h d a l a m Ko n st el a si Pen ca p a i a n Pem bangunan Daerah

Ole h :

I r . D e ddy Koe spr a m oe dyo, M Sc.

D ir e k t u r Ot on om i D a e r a h , Ba ppe n a s

Pengembangan Wilayah

pembangunan di daerah. Berbicara oleh pemerintah pusat dalam rangka Pengembangan wilayah 1 di mengenai pengembangan kawasan di penyelenggaraan pembangunan, Indonesia dewasa ini tengah menjadi Indonesia yang saat ini sedang kepada pemerintah daerah, baik provinsi perhatian pemerintah dalam rangka berbenah diri atas sistem pemerintahan maupun kabupaten/kota, yang dalam mewujudkan pembangunan nasional yang sentralistik menjadi desentralistik. pelaksanaannya juga dapat berbentuk yang terintegrasi. Luasnya wilayah Secara tidak langsung, proses dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Indonesia dengan berbagai karakteristik pengembangan kawasan tersebut Proses penyerahan kewenangan yang berbeda antar wilayah, menuntut berarti juga mengupas proses tersebut, disertai dengan kewajiban adanya suatu manajemen desentralisasi yang sedang Pemerintah Pusat untuk menyerahkan pembangunan yang responsif terhadap diselenggarakan secara bertahap di dana dalam rangka pelaksanaan karakteristik wilayah tersebut. Salah satu Indonesia. Dengan adanya fokus kewenangan yang didesentralisasikan. pendekatan dalam pengembangan pembangunan terhadap revitalisasi Tujuan pelaksanaan kebijakan wilayah yang efektif bagi negara proses desentralisasi dan otonomi desentralisasi di Indonesia, pada berkembang adalah melalui daerah, sebagaimana tertuang dalam prinsipnya berpijak pada dua keinginan

pengembangan kawasan 2 . Bab 13 Rencana Pembangunan Jangka dasar, yaitu untuk peningkatan Pengembangan kawasan tersebut 3 Menengah Nasional , dan Bab 12 demokratisasi dan peningkatan

memiliki peran penting dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2007, kesejahteraan rakyat, melalui upaya mendukung perekonomian suatu maka pelaksanaan pengembangan mendekatkan pelayanan kepada wilayah, karena pertumbuhan ekonomi kawasan dan/atau wilayah di Indonesia masyarakat. Dalam pelaksanaannya, di suatu wilayah menjadi tolok ukur bagi akan sangat dipengaruhi oleh hal-hal hingga saat ini telah terjadi berbagai keberhasilan pembangunan daerah yang timbul akibat kebijakan perubahan, baik mengenai dasar hukum terkait. Melalui pengembangan desentralisasi tersebut.

pelaksanaan desentralisasi, maupun kawasan secara terintegrasi dengan

Desentralisasi adalah pengaturan teknis pelaksanaan kawasan perekonomian lainnya, maka penyerahan wewenang pemerintahan desentralisasi serta hal-hal terkait diharapkan pengembangan wilayah oleh Pemerintah kepada daerah otonom lainnya. dapat berjalan secara efektif dan efisien untuk mengatur dan mengurus urusan

untuk mencapai tujuan pembangunan, pemerintahan dalam sistem Negara Sejarah Singkat Desentralisasi di baik dalam lingkup regional maupun Kesatuan Republik Indonesia 4 . Indonesia

nasional.

Desentralisasi dan otonomi Pelaksanaan pengembangan definisi tersebut adalah pemerintah daerah mulai dilaksanakan di Indonesia wilayah di Indonesia dalam lingkup pusat, sedangkan daerah otonom yang sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun nasional tidak dapat terlepas dari peran dimaksud meliputi wilayah provinsi dan 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan pemerintah pusat sebagai kabupaten/kota. Dengan kata lain, UU No. 25 Tahun 1999 tentang penyelenggara pemerintahan, demikian proses desentralisasi menitikberatkan Perimbangan Keuangan Antara pula dengan peran pemerintah daerah, pelaksanaan penyerahan wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah, yang menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintahan, yang sebelumnya dimiliki walaupun gaungnya telah terdengar dari

Pemerintah yang dimaksud dalam

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

BULLETIN KAWASAN

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

2 BULLETIN KAWASAN

FOKUS

sejak pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974. Kedua UU kebijakan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di tahun 1999 tersebut merupakan koreksi total atas kebijakan UU sebelumnya, dalam upaya mewujudkan otonomi yang cukup luas kepada daerah, sebagaimana telah dicita-citakan oleh UUD 1945. Setelah pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah selama 4 tahun, selanjutnya ditetapkan UU No. 32 tahun 2004, sebagai revisi UU No. 22 Tahun 1999, yang disertai dengan penetapan UU No. 33 Tahun 2004 sebagai revisi UU No. 25 Tahun 1999. Salah satu hal yang menyebabkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan pada masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 adalah terjadinya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, karena kurang jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta Dana Perimbangan dalam Desentralisasi

Sebagai pelaksanaan amanat UU No. 22 Tahun 1999, telah ditetapkan PP No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, yang didalamnya mengatur tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pengaturan tersebut, disebutkan bahwa kewenangan pemerintah provinsi mencakup bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota, diluar bidang yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, yaitu diluar bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lain yang memiliki manfaat dan/atau dampak nasional. Adanya opsi kewenangan lain dalam pengaturan kewenangan

pemerintah pusat ini menjadi kunci ketidakjelasan pengaturan, karena pada pelaksanaannya, istilah kewenangan lain tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang pemerintahan yang dianggap memiliki manfaat dan/atau dampak lingkup nasional. Dengan kata lain, peran pemerintah pusat dalam pembangunan daerah masih sangat dominan.

Terkait dengan kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan, UU No. 22 Tahun 1999 menekankan bahwa wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bersifat Otonomi, dan tidak mempunyai hubungan hierarki (berdiri

sendiri) 5 . Dalam pelaksanaannya, penetapan daerah yang berdiri sendiri ternyata menuai ketidakselarasan dan ketidakharmonisan pembangunan antar daerah, ataupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akibat kurang terlaksananya koordinasi. Selain itu, minimnya kewenangan pemerintah provinsi yang terbatas pada bidang pemerintahan lintas kabupaten/kota dan tidak adanya penjelasan lebih lanjut mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota di setiap bidang pemerintahan, menyebabkan kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Payung hukum yang dinilai belum matang tersebut justru menimbulkan ketakutan bagi pemerintah daerah untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Akibatnya, pembangunan daerah terhambat karena adanya tumpang tindih pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah, atau bahkan tidak terlaksananya pembangunan bidang pemerintahan tertentu oleh keduanya. Akibat adanya konflik kewenangan tersebut, pelaksanaan desentralisasi dinilai lebih

bernuansa politis 6 , dan justru masih jauh

dari pencapaian tujuan desentralisasi yang utama yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat.

Selain ketidakjelasan pengaturan mengenai kewenangan pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan desentralisasi juga terbentur pada keterbatasan kemampuan pemerintah dalam menyusun formulasi yang tepat dalam penentuan dana perimbangan pusat dan daerah. Formula baku dalam penentuan besaran dana perimbangan, baik itu DAU, DAK ataupun Dana Bagi Hasil, yang telah ditetapkan dalam UU No. 25 Tahun 1999 menuai protes dari berbagai pihak, khususnya pemerintah daerah yang merasa dirugikan atas ketentuan tersebut, karena dinilai kurang mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah secara menyeluruh. Selain itu, daerah-daerah yang memiliki SDA melimpah turut merasa dirugikan atas pengaturan dana perimbangan karena dana pemerintah pusat ke daerah dinilai belum sebanding dengan hasil yang diserap pemerintah pusat dari daerah. Sehubungan dengan permasalahan dana perimbangan tersebut, maka kewenangan terhadap pengelolaan SDA lokal yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah tidak dapat terlaksana. Dengan kata lain, pelaksanaan desentralisasi masih setengah-setengah, karena sebagian kewenangan pemerintahan telah diserahkan ke daerah, namun pengalokasian dana pembangunan masih terkonsentrasi di pusat. Terkait dengan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, permasalahan yang sering muncul adalah adanya tumpang tindih kegiatan yang dibiayai oleh dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dengan kegiatan yang dibiayai oleh APBD, sehingga pembangunan tidak berjalan efektif dan efisien. Hal ini secara tidak langsung juga terkait dengan tidak jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Namun di sisi lain, terlepas dari

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

BULLETIN KAWASAN

FOKUS

tepat atau tidaknya formula penentuan Dana Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 telah menunjukkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan demokratisasi di daerah dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, yang sampai saat ini masih dalam proses penyempurnaan.

Perubahan pengaturan dalam UU No. 32 Tahun 2004 memberikan nuansa baru bagi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, terutama dalam menjawab pembagian kewenangan pemerintahan, yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan secara rinci oleh UU No. 22 Tahun 1999, dengan terbitnya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Secara eksplisit dijelaskan dalam PP tersebut bahwa pembagian urusan pemerintahan ditetapkan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Karena disadari bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat ditingkatkan melalui peningkatan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, peluang serta tantangan persaingan global. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota telah didefinisikan secara rinci untuk 31

bidang urusan pemerintahan 7 .

Penyempurnaan prinsip pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan dalam PP No. 38 Tahun 2007 ini diarahkan untuk mempermudah

penyelenggaraan pemerintahan daerah, dengan adanya landasan hukum yang jelas, khususnya bagi kebebasan masing-masing pemerintah daerah untuk berinovasi pada pelaksanaan pembangunan dalam lingkup kewenangannya. Inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah tidak hanya terbatas pada bidang manajerial pemerintahan, melainkan juga dapat diwujudkan pada teknis pelaksanaan pembangunan dalam lingkup kewenangan yang telah diatur. Mengenai urusan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota, yang dalam PP No. 25 Tahun 2000 disebutkan menjadi kewenangan pemerintah provinsi, dalam PP No. 38 Tahun 2007 disebutkan dikelola secara kerjasama oleh daerah terkait. Pengelolaan secara bersama mengenai urusan pemerintahan lintas wilayah tersebut selain melibatkan daerah-daerah terkait, juga melibatkan peran tingkatan pemerintahan di atasnya dalam hal koordinasi dan fasilitasi. Sebagai contoh dalam bidang penataan ruang disebutkan bahwa Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dalam mengkoordinasikan dan memfasilitasi penataan ruang lintas provinsi, sedangkan Pemerintahan Daerah Provinsi memiliki kewenangan dalam mengkoordinasikan dan memfasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota. Hal ini berarti bahwa koordinasi dan kerjasama masih menjadi tantangan terbesar dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan, sekaligus sebagai salah satu parameter keberhasilan pembangunan daerah. Mengingat pentingnya kerjasama antar daerah dalam usaha pencapaian tujuan pembangunan, maka diperlukan pedoman pelaksanaan kerjasama antar daerah, yang saat ini masih dalam proses penyusunan (Rancangan Peraturan Pemerintah). Selain untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan lintas wilayah, kerjasama dan koordinasi juga diperlukan dalam pelaksanaan

pembangunan di wilayah perbatasan, sebagai perwujudan pembangunan yang terintegrasi dalam lingkup kesatuan wilayah Negara Indonesia.

Penggolongan urusan pemerintahan dalam PP No. 38 Tahun 2007 terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama; dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau

susunan pemerintahan 8 (konkuren). Berbeda dengan pengaturan sebelumnya, kewenangan pemerintah pusat tidak lagi ditunggangi dengan istilah kewenangan lain. Walaupun pada pengaturan selanjutnya, Pemerintah Pusat tetap memegang kendali atas beberapa kewenangan terkait kebijakan, penetapan peraturan perundang- undangan dan penetapan Norma, Standar, Prosedur serta Kriteria dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang-bidang atau wilayah yang memiliki skala manfaat atau dampak nasional. Tetapi paling tidak, dengan adanya pembagian urusan pemerintahan yang rinci untuk pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, menjadi bentuk komitmen pemerintah dalam mendukung upaya pemerintahan daerah sepenuhnya untuk menjalankan semua kewenangan yang telah didesentralisasikan, khususnya bidang- bidang yang bersifat lokal-regional.

Seiring dengan pembagian urusan pemerintahan yang telah diatur dan ditetapkan dalam PP No. 38 Tahun 2007, pelaksanaan desentralisasi selanjutnya menuntut pengaturan dana perimbangan yang juga disesuaikan dengan bobot kewenangan pemerintahan tersebut. Dalam UU No.

33 Tahun 2004, telah diatur mengenai pengalokasian dana perimbangan sampai pada prosentase secara umum untuk dana bagi hasil. Akan menarik

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

4 BULLETIN KAWASAN

FOKUS untuk mencermati bagaimana

perkembangan mekanisme dana perimbangan ini setelah ditetapkannya PP No. 38 Tahun 2007. Pasalnya, dalam PP No. 38 Tahun 2007, UU No. 33 Tahun 2004 tidak secara eksplisit dijadikan salah satu point dalam bagian “Mengingat”, sementara pembagian urusan tentu akan membawa implikasi pada anggaran. Idealnya tentu ada peraturan turunan juga dari UU No. 33 Tahun 2004 dalam bentuk Peraturan Pemerintah mengenai dana perimbangan yang disesuaikan dengan pembagian urusan dalam PP No. 38 Tahun 2007.

Keterkaitan PP No. 38 Tahun 2007 dengan Peraturan Perundangan Sektoral

Tak bisa dipungkiri bahwa keluarnya PP No. 38 Tahun 2007 ini sudah sangat ditunggu-tunggu, baik oleh instansi-instansi di tingkat pusat, maupun oleh Pemerintahan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Dalam kebijakan desentralisasi, hal yang paling esensial dalam pelaksanaannya adalah penjabaran teknis dari kewenangan atau urusan apa saja yang didesentralisasikan. Idealnya, PP ini keluar pada tahun yang sama dengan keluarnya UU No. 32 Tahun 2004, karena tidak adanya PP ini berarti membiarkan pemerintahan daerah (dan pusat) berada dalam kebimbangan mengenai “siapa melakukan apa?”. Adapun kebingungan itu pada akhirnya dapat menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, keraguan akan menyebabkan suatu urusan itu tidak dijalankan oleh siapapun, dan kedua, terbukanya segala penafsiran mengenai pelaksana urusan itu akan menimbulkan konflik diantara pihak-pihak yang terkait.

Dalam mengantisipasi kedua kemungkinan itu dan memperjelas aturan main pelaksanaan suatu urusan, pada jarak waktu antara tahun 2004 dan 2007, menjadi wajar apabila instansi- instansi sektoral di tingkat pusat telah

membuat peraturan-peraturan perundangannya masing-masing. Pertanyaannya sekarang adalah apakah PP No. 38 Tahun 2007 itu dalam penyusunannya memperhatikan peraturan-peraturan perundangan sektoral tersebut. Satu hal yang jelas adalah ada 31 bidang yang urusannya diatur dalam lampiran PP No. 38 Tahun 2007. Akan tetapi, Hanya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang dimasukkan dalam point “Mengingat” pada batang tubuh PP No.

38 Tahun 2007 tersebut. Dalam lampiran bidang pemerintahan umum dan otonomi daerah, terdapat satu bagian yang mengatur mengenai harmonisasi peraturan perundangan. Dalam lampiran itu disebutkan bahwa Pemerintahan Daerah perlu mengharmoniskan peraturan daerah dengan peraturan dari pusat. Akan tetapi, uniknya, tidak ada kewajiban bagi pemerintah pusat untuk melakukan usaha harmonisasi peraturan perundangan di pusat sendiri. Padahal, dalam kenyataannya, justru kesimpang- siuran peraturan di pusat itulah yang sering menjadi kendala dalam pelaksanaan desentralisasi di daerah. Dengan pertimbangan tersebut, dapat dibilang bahwa PP No. 38 Tahun 2007 berpotensi untuk bersinggungan dengan peraturan-peraturan perundangan sektoral yang telah ada sebelumnya.

Catatan Kaki :

1 Wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). 2 Kawasan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal

Bappenas, 2004). Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kawasan didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya, seperti : kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan perdesaan, kawasan agropolitan, kawasan perkotaaan dan sebagainya. 3 RPJMN 2004 – 2009 Bab 13 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah merupakan prioritas pembangunan nasional yang menjadi salah satu strategi dalam mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis.

4 UU No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. 5 Pasal 4 ayat 2 UU No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, “Daerah- daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota-, masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.

6 Prof. Dr. Muchsan SH, dalam Kompas 13 Maret 2001, “Otonomi Daerah Lahirkan

Konflik Kewenangan.” 7 Bidang Urusan Pemerintahan tersebut meliputi

bidang pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum; perumahan; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perhubungan; lingkungan hidup; pertanahan; kependudukan dan catatan sipil; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; sosial; ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; koperasi dan usaha kecil dan menengah; penanaman modal; kebudayaan dan pariwisata; kepemudaan dan olah raga; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa; statistik; kearsipan; perpustakaan; komunikasi dan informatika; pertanian dan ketahanan pangan; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; kelautan dan perikanan; perdagangan; serta perindustrian.

8 Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP 37 tahun 2008

(***)

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

BULLETIN KAWASAN

FOKUS

Pendahuluan

Sejak beberapa dekade terakhir beberapa negara telah dan sedang melakukan desentralisasi. Desentralisasi merupakan bagian yang teramat penting didalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan terpusat yang cenderung otokratis berubah menjadi pemerintahan lokal yang dipilih langsung oleh masyarakat. Alasan lainnya atas maraknya proses desentralisasi, selain karena disinyalir untuk alasan politis, adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan kepada masyarakat. Didalam konteks ini titik berat desentralisasi adalah pelayanan bukan kekuasaan. Dengan kata lain desentralisasi adalah suatu upaya mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya (bringing the State closer to the people).

Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi telah menjadi topik/issue yang populer di Indonesia terutama sejak pemerintah Indonesia memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Keseriusan pemerintah Indonesia diwujudkan dengan dihasilkannya UU No. 22 tahun 1999 mengenai pembagian kewenangan di pemerintah daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 mengenai Pembagian Keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang – undang tersebut telah dijadikan sebagai aturan umum dalam Implementasi kebijakan otonomi daerah diseluruh Indonesia. Kecuali Aceh dan propinsi Papua yang memperoleh otonomi khusus.

Berdasarkan pengalaman- pengalaman yang telah lalu, baik perubahan politik, ekonomi, dan lingkungan sosial, kebijakan otonomi daerah mendesak untuk segera

diimplementasikan. Tujuan yang paling penting dari kebijakan otonomi daerah ini adalah untuk memberi wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah terutama dalam mengatur pembangunan daerahnya sendiri. Otonomi memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah sampai tingkat tertentu, walaupun hal itu juga banyak menimbulkan kesalahpahaman dalam pelaksanaannya. Sementara ini dapat kita lihat, masalah-masalah baru seperti korupsi, kebijakan yang distortif, kesenjangan kemampuan ekonomi (PAD misalnya) antar daerah yang kian melebar serta kekuasaan legislatif yang terlalu kuat mendorong dan menjauhkan pencapaian tujuan awal dan utama dari kebijakan otonomi daerah itu sendiri.

Bagaimanapun peraturan- peraturan Pemerintah (termasuk undang-undang) yang telah disahkan diharapkan mampu merespon masalah-

DESEN TRALI SASI FI SKAL = PERBAI KAN KI N ERJA PEMERI N TAH DAERAH ?

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

6 BULLETIN KAWASAN

FOKUS masalah yang bertambah akibat

penerapan otonomi daerah. Beberapa permasalahan yang muncul dalam implementasi kebijakan desentralisasi, antara lain: • Munculnya semangat yang sangat

besar terhadap kebijakan otonomi, sehingga pemerintah daerah berlomba – lomba membuat peraturan daerah yang bertujuan untuk peningkatan pendapatan asli daerahnya. Dampaknya banyak daerah yang kehilangan dukungan dari masyarakatnya sendiri dalam implementasi peraturan yang dibuat (peraturan yang dibuat cenderung distortif).

• Didalam proses pembuatan kebi- jakan daerah, seringkali memunculkan kesalahpahaman dalam pelaksanaannya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh cacatnya proses pembuatan

peraturan tersebut (tidak transparan dan akuntable). Dengan kata lain, saat ini terjadi kekuatan legislatif yang lebih besar dari pada eksekutif (strong legislative system). Masalah- masalah baru bermunculan seperti korupsi, kebijakan yang distortif, disparitas yang kian melebar serta kekuasaan legislatif yang terlalu kuat.

Desentralisasi Fiskal adalah pelimpahan kewenangan kepada daerah untuk menggali dan menggunakan sendiri sumber-sumber penerimaan daerah sesuai dengan potensinya masing-masing. Di era otonomi daerah, Desentralisasi Fiskal sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah mengingat dengan adanya Desentralisasi Fiskal akan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, perbaikan akuntabilitas, dan peningkatan mobilisasi dana.

Berkaitan dengan konteks hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, penerapan Desentralisasi Fiskal berarti daerah diberikan

wewenang untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dengan demikian proporsi antara pemberian wewenang terhadap tugas, tanggungjawab dan pemberian wewenang dalam pengelolaan keuangannya tersebut hendaknya berimbang. Selama ini yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara pemberian tugas dan tanggungjawab dengan kewenangan dalam pengelolaan keuangan. Daerah masih lebih banyak berperan sebagai pelaksana keputusan Pusat saja tanpa memiliki kewenangan untuk menentukan dan menggunakan sendiri sumber-sumber keuangan yang ada di daerahnya.

Desentralisasi fiskal sebagai elemen terpenting dalam pelaksanaan otonomi daerah dimaksudkan agar dapat mengurangi ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat. Sementara ini Desentralisasi Fiskal masih dipahami sebagai pelimpahan kewenangan kepada daerah dalam hal tugas-tugas pengeluaran dan pembagian penerimaan negara kepada daerah. Bentuknya adalah dengan memberikan keleluasaan daerah melalui block grant seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Perimbangan lainnya. Padahal Desentralisasi Fiskal idealnya harus mengarah pada lahirnya otoritas fiskal di daerah yang berarti adanya kemampuan pemerintah daerah untuk menentukan pajak yang akan dikenakan, rancangan pajak dan akses langsung ke sumber pendanaan. Kewenangan perpajakan ini merupakan bagian integral dari perspektif keuangan negara, dan harus menjadi prioritas pertimbangan kebijakan Desentralisasi Fiskal.

Dalam Undang-Undang No.34 Tahun 2000 telah ditetapkan jenis-jenis pajak yang dapat dipungut oleh Provinsi dan jenis-jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota. Pajak Provinsi terdiri dari 4 jenis pajak yaitu: (1) Pajak

Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB dan KAA); (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB dan BBNKAA); (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT dan AP).

Sementara itu kewenangan pemerintah Kabupaten / kota meliputi: (1) Pajak Hotel; (2) Pajak Restoran; (3) Pajak Hiburan; (4) Pajak Rekalame; (5) Pajak Penerangan Jalan; (6) Pajak Pengambilan Bahan Galian golongan C; dan (7) Pajak Parkir. Selain jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut, daerah masih diberi peluang untuk menggali sumber-sumber keuangan lainnya dengan tetap memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Adanya pelimpahan kewenangan itulah yang merupakan esensi dari Desentralisasi Fiskal.

Namun dengan adanya kewenangan tersebut, pada pelaksanaannya banyak terjadi penetapan pungutan pajak dan retribusi yang dikemudian hari justru menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan banyak jenis-jenis pungutan yang dulu telah dihapus/ dilarang, dihidupkan kembali dengan dalih untuk mendongkrak perolehan PAD. Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan kriteria pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah, sehingga apabila ada pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut dapat ditarik atau dibatalkan. Oleh karena itu, daerah merasa tidak mempunyai peluang yang mamadai untuk menggali sumber-sumber pajak baru. Hal ini berarti bahwa realisasi dari adanya pelimpahan kewenangan tersebut masih belum sepenuhnya dapat dijalankan.

Sejauh ini, pelaksanaan desentralisasi ternyata belum berjalan sebagaimana diharapkan khususnya dalam kewenangan penetapan basis

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

BULLETIN KAWASAN

FOKUS

pajak dan jenis-jenis pajak dan retribusi—. Akibatnya daerah masih sebatas melaksanakan kebijakan perpajakan yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Sementara bila dicermati lebih mendalam, belum terjadi perubahan yang signifikan dalam struktur perpajakan yang ditangani Pusat - Provinsi dan Kabupaten/Kota. Walaupun telah diberlakukan Undang- Undang No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan ditindak lanjuti dengan PP No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah ternyata daerah tidak banyak diuntungkan. Pasalnya hanya sedikit sekali peluang daerah untuk dapat menambah dan memungut obyek-obyek pajak dan retribusi baru. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi dengan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang baik. Selain itu Pemerintah Kabupaten/Kota juga diberi kewenangan untuk memungut jenis pajak dan retribusi lainnya sesuai kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang- undang. Namun pada pelaksanaannya banyak terjadi penetapan pungutan pajak dan retribusi yang dikemudian hari justru menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan banyak jenis-jenis pungutan yang dulu telah dihapus/ dilarang, dihidupkan kembali dengan dalih untuk mendongkrak perolehan PAD. Namun disisi lain, daerah juga mengharapkan adanya kewenangan yang lebih riil dalam menggali dan mengelola sendiri sumber-sumber pendapatan yang potensial di daerahnya. Masih rendahnya implementasi Desentralisasi Fiskal dapat dijelaskan sebagai berikut

Implementasi Desentralisasi Fiskal dalam prakteknya tidak terlepas dari beberapa faktor, antara lain faktor

kesiapan dalam konteks kapasitas kelembagaan dan sumber daya

manusia baik pada level pusat maupun daerah dalam menyikapi kebijakan desentralisasi, dan yang kedua adalah

faktor kepastian hukum dan segala ketentuan administratif operasional

yang dijadikan pijakan di lapangan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Smeru (2002), yang menyimpulkan bahwa salah satu kelemahan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah adalah lambatnya pemerintah pusat dalam menerbitkan peraturan pendukungnya.

Faktor kesiapan dalam menjalankan Desentralisasi Fiskal tidak terlepas dari pengalaman dan faktor pendorong diberlakukannya desentralisasi tersebut. Bahwa dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara dunia terutama negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda- tanda adanya disintegrasi, dan banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintah sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif.

Untuk kasus di Indonesia, penerapan desentralisasi dan otonomi selama ini belum mengarah pada pemberlakukan otonomi yang nyata, melainkan masih lebih bersifat sentralistis. Hal ini jelas berpengaruh terhadap kesiapan dan kapasitas sumber daya aparatur baik di tingkat pusat maupun daerah dalam menyikapi dan melaksanakan kebijakan otonomi yang baru tersebut. Memang pekerjaan yang tidak mudah untuk menjalankan dan kemudian mencapai manfaat dari Desentralisasi Fiskal, kalau tidak dipenuhi dahulu beberapa prasyaratnya seperti:

kapasitas lokal,

kelembagaan dan administrasi serta

kapasitas aparaturnya . Salah satu

prasyarat agar Desentralisasi Fiskal dapat berjalan dengan baik adalah adanya kesiapan dan kapasitas administrasi yang memadai khususnya di bidang perpajakan. Sebagaimana pengalaman negara Afrika Selatan dimana jauh sebelum penerapan Desentralisasi Fiskal telah dilakukan pembangunan kapasitas lokal dengan menciptakan demokratisasi melalui proses penyediaan barang-barang publik kepada semua ras, mendorong pertumbuhan dan mempertahankan stabilitas fiskal, membentuk konstitusi baru, sehingga mempercepat proses restrukturisasi hubungan politik, ekonomi dan fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan. Salah satu contoh negara yang relatif berhasil menerapkan Desentralisasi Fiskal adalah Afrika Selatan.

Faktor pengalaman dari masing- masing negara juga memberikan pengaruh secara spesifik terhadap keberhasilan pelaksanaan Desentralisasi Fiskal, seperti latar belakang sejarah dan kebudayaan, kondisi kelembagaan pemerintah, politik dan ekonomi yang melekat pada masing-masing negara. Bahwa desentralisasi seharusnya diikuti dengan perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik secara komprehensif dan berkala. Dalam hal perubahan struktur sosial dan politik — misalnya — pemerintah daerah mestinya dituntut untuk akuntabel terhadap rakyat di daerahnya dan demokrasi politik sudah benar-benar terealisir di tingkat pemerintah lokal. Demikian pula dalam konteks perubahan struktur ekonomi, pemerintah daerah seharusnya lebih ditopang oleh sumber-sumber penerimaan asli daerah bukannya dari dana perimbangan atau transfer dari pemerintah pusat.

Selain faktor pengalaman yang terlalu lama berada pada alam sentralistis, kendala yang lain adalah kondisi perekonomian dimana pemberlakuan Desentralisasi Fiskal

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

8 BULLETIN KAWASAN

FOKUS

justru ketika kondisi negara sedang mengalami kesulitan secara finansial (akibat krisis ekonomi). Secara teoritis, desentralisasi membutuhkan biaya yang cukup besar terutama dalam tahap permulaan guna menyiapkan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan yang ada. Dalam konteks ini kapasitas kelembagaan meliputi lembaga- lembaga pemerintahan dan politik serta sosial agar dapat turut bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses perubahan tersebut. Pada umumnya, birokrasi pemerintah lokal di negara sedang berkembang bahkan di beberapa negara maju pun masih kurang responsif, dan masih memiliki banyak kelemahan secara teknis maupun manajerial serta kurang termotivasi, sehingga diperlukan upaya keras dan biaya tinggi untuk membangun kapasitas birokrasi di tingkat lokal.

Di negara sedang berkembang, kemungkinan-kemungkinan kegagalan desentralisasi sangat dipengaruhi oleh: (1) Iklim politik dan tingkat dukungan terhadap kebijakan, (2) Sifat dan hakikat dari kebijakan itu sendiri, dan (3) Jenis penghubung dan sarana koordinasi yang tersedia antara berbagai tingkatan pemerintahan dan diantara badan- badan. Jika dirunut dari kemunculan kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, ketiga hal yang disebutkan di atas justru masih dalam kondisi ‘bermasalah’ terutama iklim politik yang tidak stabil, kebijakan yang cenderung ‘dipaksakan’ sehingga secara substantif masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan, serta sarana koordinasi antar tingkatan dan lembaga-lembaga pemerintahan juga masih lemah.

Bagaimanapun desentralisasi merupakan pilihan kebijakan yang diyakini dapat memperbaiki dan meningkatkan kinerja pemerintah terutama dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan selanjutnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui

kebijakan desentralisasi ini diharapkan mampu menciptakan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab (good government), meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, dan peningkatan efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Dengan adanya Desentralisasi Fiskal ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pembangunan dan penyediaan pelayanan umum karena semakin dekatnya masyarakat dengan pemerintah sehingga mampu mengakomodasikan kondisi masyarakat dan wilayah yang heterogen.

Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata. Desentralisasi dan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat menjadi lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Desentralisasi kewenangan tersebut akan berakhir dengan semakin meningkatnya peranserta masyarakat dan berubahnya peran pemerintah dari provider menjadi fasilitator.

Kinerja Pemerintah Daerah

Pengukuran kinerja instansi pemerintah bertujuan untuk menilai

sejauh mana mereka mampu menyediakan layanan publik yang berkualitas dengan biaya yang layak serta mendorong kemajuan perekonomian daerah. Peningkatan pelayanan publik yang dimaksud adalah secara kuantitas maupun kualitas yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan mendorong kemajuan adalah dengan menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber-sumber daya daerah sehingga memberikan dampak peningkatan aspek finansial daerah (PAD, PDRB, pendapatan per kapita, serta pertumbuhan sektor industri dan lain- lain). Dengan demikian, keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah dapat diukur berdasarkan pencapaian tujuan sebagaimana ditetapkan.

Sementara itu berdasarkan Civil Service Reform Act pada tahun 1978 di Amerika Serikat, pengukuran kinerja yang didefinisikan oleh GAO pada tahun 1980 meliputi penilaian tentang: (1) produktivitas; (2) efektivitas; (3) kualitas; (4) ketepatan waktu.

Untuk menilai kinerja birokrasi pemerintah tidak cukup hanya dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi harus dilihat juga dari indikator yang melekat pada pengguna jasa seperti kepuasan masyarakat atas layanan pemerintah. Ukuran-ukuran tersebut sebenarnya

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

BULLETIN KAWASAN

FOKUS

tidak terlalu bertolak belakang, tetapi justru saling melengkapi, terutama dalam penekanannya pada pentingnya penyediaan pelayanan publik. Produktivitas dapat diterjemahkan sebagai penyediaan pelayanan publik yang memadai dalam hal pemerataan pelayanan kepada masyarakat di berbagai daerah. Efektivitas dapat diartikan sebagai kesesuaian pelayanan dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat luas. Kualitas diartikan sebagai pemenuhan kriteria layanan dari perspektif masyarakat yang menerima layanan. Kriteria ketepatan waktu juga memperkuat atribut kualitas dari pelayanan publik. Dengan demikian outcome yang diharapkan adalah tersedianya pelayanan publik yang semakin baik dan dapat menjangkau seluruh atribut pelayanan sebagaimana yang diharapkan masyarakat.

Dalam manajemen pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah, kemampuan mengelola sumber-sumber daya lokal yang terbatas merupakan suatu syarat bagi keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Pengelolaan sumber- sumber daya termasuk sumber daya finansial pada umumnya dalam bentuk upaya-upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkatkan efisiensi penggunaan sumber dana, serta meningkatkan efektivitas penggunaan dana. Ketiganya menjadi penting mengingat dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelaksanaan pembangunan masih sering diwarnai dengan fenomena pemborosan dan pengadaan program- program yang tidak sesuai dengan permasalahan riil di daerah.

Pada umumnya pemerintah Kabupaten/Kota belum mampu secara baik dan akurat menyusun prioritas pembangunan sesuai dengan kondisi dan permasalahan daerahnya masing- masing, melainkan masih mengacu dan menyesuaikan dengan arahan pusat. Apabila kapabilitas dalam perencanaan kurang baik maka yang terjadi adalah kemungkinan underfinancing atau overfinancing. Underfinancing terjadi karena rendahnya kapabilitas perencanaan program di masing- masing unit kerja. Bagi unit kerja yang mengalami underfinancing maka masalah yang akan dihadapi adalah rendahnya kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan publik. Bagi unit kerja yang menikmati overfinancing maka masalah yang dihadapi adalah rendahnya efisiensi.

Indikasi yang paling jelas dari belum efektifnya pengelolaan anggaran adalah masih besarnya anggaran rutin dibanding anggaran pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum dapat memprioritaskan anggaran untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana yang diharapkan dengan dilaksanakannya otonomi daerah.

Disamping itu, dalam struktur pengeluaran pembangunan pun tidak berbeda dengan pengeluaran rutin dimana sudah dipatok di dalam pos anggaran yang sudah ada. Anggaran yang ditentukan adalah jumlah dana maksimal yang dapat dibelanjakan dimana sangat jarang diikuti dengan evaluasi kinerja yang riil. Satu-satunya ukuran kinerja yang digunakan adalah rerata proporsi dana yang dialokasikan untuk setiap sektor yang ada dalam setiap kelompok pengeluaran pembangunan.

Dalam perspektif proses internal, untuk meningkatkan keseluruhan hasil (output) perbaikan proses internal organisasi dalam rangka memenuhi harapan pihak eksternal adalah dengan mengikutkan proses inovasi sebagai suatu komponen penting dalam perspektif ini. Dalam Organisasi Pemerintah Daerah, khususnya di era otonomi dimana dituntut lebih meningkatkan pelayanan publik, maka tuntutan melakukan terobosan/inovasi- inovasi proses sangat menentukan kinerja. Selain itu proses internal bagi organisasi pemerintah meliputi indikator- indikator berikut : restrukturisasi, inovasi proses, deregulasi organisasional, koordinasi.

Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja di lingkungan pemerintahan daerah telah banyak melakukan restrukturisasi, yaitu dengan menyederhanakan atau menata ulang struktur organisasi dan menempatkan pegawai sesuai dengan bidang keahliannya.

Inovasi proses merupakan suatu terobosan yang banyak pula dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota di era otonomi sekarang ini. Namun di antara banyak inovasi yang dilakukan dimungkinkan kurang membawa dampak yang signifikan apalagi jika dikaitkan dengan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan inovasi tersebut. Inovasi proses yang dijadikan salah satu ukuran kinerja adalah inovasi

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

10 BULLETIN KAWASAN

FOKUS

dalam hal sistem dan prosedur yang membawa manfaat tidak saja bagi kenyamanan para pelaksana tugas tetapi yang paling diharapkan adalah hasilnya membawa dampak pada peningkatan kualitas pelayanan.

Dalam proses internal koordinasi sebagai salah satu indikator dari kinerja menyangkut kemampuan individu maupun kelompok, dalam hal ini Dinas- Dinas dan Badan-Badan di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota, melakukan tindakan sinergis, saling menunjang dan terpadu. Dalam penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota berikut masing-masing komponen di dalamnya dituntut mampu menyusun rencana strategis kedepan yang merefleksikan kapasitas aparatur daerah dalam mengorganisasikan seluruh sumberdaya yang ada serta mengelola kendala-kendala yang dihadapi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu kemampuan dalam mengkoordinasikan rencana dan tindakan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan.

Pada umumnya semakin ekstensif dan intensif upaya meningkatkan Kinerja Pelayanan tentu akan membebani dari aspek finansial. Memang tidak bisa diartikan bahwa setiap upaya ekstensif dan intensif untuk meningkatkan Kinerja Pelayanan publik akan serta merta atau otomatis menurunkan Kinerja Finansial. Karena dengan makin baiknya Kinerja Pelayanan menyebabkan eskalasi pelayanan mampu mencakup wilayah pelayanan menjadi lebih luas, lebih cepat dan lebih cermat akan mendatangkan sejumlah peningkatan pada aspek finansial walaupun tidak sebanding dengan jumlah yang dikeluarkan untuk membangun sistem guna membenahi Kinerja Pelayanan.

Memang, berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan Kinerja Pelayanan merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani sebagai akibat tuntutan masyarakat yang

semakin keras. Sejumlah dana harus segera dikeluarkan untuk membenahi aspek-aspek yang berhubungan dengan pelayanan sebagai bentuk responsivitas pemerintah Kabupaten/ Kota terhadap tuntutan masyarakat. Investasi awal harus segera ditanam untuk mendongkrak kualitas pelayanan publik agar stigma yang selama ini melekat pada pelayanan publik yang jelek bisa dikurangi. Dengan demikian sangat jelas terlihat bahwa upaya untuk meningkatkan Kinerja Pelayanan dalam jangka pendek justru menuntut pengeluaran yang besar sebagai investasi di kemudian hari. Hal utama yang hendak diraih adalah mencari legitimasi dari masyarakat bahwa pemerintah Kabupaten/Kota saat ini lebih baik daripada masa pemerintahan sebelumya. Mencari legitimasi dari masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik dipandang penting dan sangat strategis untuk berbagai kepentingan baik kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang, misalnya dalam kerangka pilkada.

Dalam

jangka pendek

hubungan antara kinerja pelayanan dengan kinerja finansial sangat mungkin akan terjadi ‘trade-off’’. Artinya upaya- upaya yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan kapasitas dan kinerja pelayanan publik secara primer diarahkan bukan untuk mendapatkan sejumlah pemasukan untuk menopang pendapatan asli daerah sehingga perolehan dari pembenahan dalam pelayanan publik cenderung mengurangi kinerja finansial karena antara investasi yang dipergunakan untuk meningkatkan kinerja pelayanan masih lebih besar dari pada perolehan dari aspek pelayanan publik namun belum bisa disimpulkan bahwa bila kinerja pelayanan meningkat otomatis kinerja finansial merosot.

Dalam jangka panjang, bila dana yang dikeluarkan untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik

tepat sasaran, efisien dan efektif serta ditunjang dengan lingkungan daerah yang kondusif maka kinerja pelayanan yang tinggi akan mendorong peningkatan kinerja finansial. Namun sebaliknya juga sangat mungkin terjadi ‘trade-off’ manakala dana yang dikeluarkan untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik tidak tepat sasaran, digunakan secara boros sehingga antara dana yang dikeluarkan dengan hasil peningkatan kinerja pelayanan tidak seimbang. Akibatnya kinerja finansial makin menurun secara tajam. Dengan adanya kinerja pelayanan yang makin meningkat maka akan makin membutuhkan sumber dana yang makin besar lagi, yang tentu akan menurunkan kinerja finansial akibat dari makin banyaknya dana yang tersedot untuk program tersebut. Kondisi tersebut telah jauh melampaui economic of scale dimana semakin meningkat kinerja pelayanan akan cenderung menurunkan kinerja di aspek finansialnya, hal demikian disebabkan oleh kondisi dimana upaya meningkatkan kinerja pelayanan merupakan kebutuhan dan tuntutan masyarakat saat ini sehingga harus diprioritaskan. Hal demikian kebanyakan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/ kota karena telah menjadi agenda kerja utama dan tuntutan masyarakat, disamping akan menambah tingkat legitimasi pemerintah kabupaten/kota. Pelayanan publik yang lebih baik bisa dipakai sebagai instrumen untuk memperoleh simpati dan legitimasi masyarakat sehingga berapapun biayanya tetap akan dilakukan, hal primer yang hendak dituju adalah peningkatan kinerja pelayanan. Namun ini membawa konsekuensi dari aspek Kinerja Finansial artinya kinerja finansial akan menurun karena banyak dana dibutuhkan untuk investasi pada upaya peningkatan Kinerja Pelayanan.

OPINI

Kom it m en Regulasi Pem erint ah Pusat dan Daerah

dalam Menciptakan I klim Usaha yang Kondusif bagi Pengem bangan Kawasan di Era Desentralisasi

Ole h : Ye lda Ru ge st y, SP Pe m e r h a t i Pe n g e m b a n g a n Ka w a sa n

Pengembangan Kawasan mengatasi permasalahan yang terkait program pemerintah dengan dunia Strategis dan Cepat Tumbuh termasuk dengan pengembangan dunia usaha usaha dalam konteks pengembangan Kawasan Andalan di dalamnya, (sektor riil). Oleh karena pada kawasan strategis dan cepat tumbuh, sebagaimana tercantum dalam RPJM hakekatnya, peran pemerintah dan

4) kurangnya komitmen dan 2004-2009, merupakan salah satu sektor riil berbeda sehingga harus ketajaman visi kepala daerah dan pendekatan yang diterapkan diperjelas sesuai perannya masing- legislatif kabupaten dan kota dalam pemerintah pusat dan daerah untuk masing.

mendukung pengembangan mempercepat pemerataan

Banyak faktor yang kawasan strategis dan cepat tumbuh. pembangunan daerah khususnya menyebabkan belum

Melalui pengamatan, hal melalui optimalisasi pengelolaan berkembangnya Kawasan Strategis pertama yang perlu mendapat sumberdaya potensial yang dimiliki dan Cepat Tumbuh di sejumlah perhatian semua pihak adalah kurang masing-masing daerah guna daerah, meskipun wilayah tersebut optimalnya keterkaitan meningkatkan kesejahteraan memiliki produk unggulan dan lokasi pengembangan kawasan dengan masyarakat. Daerah dengan strategis, diantaranya: 1) minimnya pelaku pengembangan sektor riil karakteristik cepat tumbuh dan data & informasi dan aksesibilitas (dunia usaha), diantaranya belum berhasil dikembangkan menjadi yang dibutuhkan masyarakat/pelaku optimalnya dukungan kebijakan Kawasan Andalan (pusat-pusat dalam berbagai aspek, seperti nasional dan daerah yang berpihak pertumbuhan), akan menjadi cikal kebutuhan informasi pasar, jaringan pada pelaku usaha mayoritas bakal Kawasan Strategis baik di pasar, sumber modal usaha dan (UMKM) berbasis kekuatan lokal, dan lingkup nasional, propinsi maupun pengembangan investasi, belum berkembangnya infrastruktur kabupaten dan kota. Sejauh ini, pengembangan SDM dan teknologi, dan kelembagaan yang berorientasi sebagian besar wilayah pusat-pusat

2) belum jelasnya bentuk aplikasi dari pada pengelolaan pengembangan pertumbuhan yang ada, khususnya di kebijakan pengembangan pola dunia usaha (sektor riil). Padahal luar Pulau Jawa terlihat sulit kerjasama antardaerah dan perkembangan ekonomi suatu berkembang, apalagi disertai dengan antarnegara, 3) tidak terintegrasinya daerah sangat tergantung pada kurangnya komitmen Kepala Daerah berbagai program pembangunan baik pertumbuhan sektor riilnya yang dan Legislatif di daerah untuk sektoral pusat – daerah maupun berperan menggerakkan ekonomi

11

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

BULLETIN KAWASAN

EDISI NOMOR 19 TAHUN 2007

12 BULLETIN KAWASAN

OPINI

setempat atau menghela pertumbuhan ekonomi kawasan. Secara simultan, peran pemerintah dengan peran pelaku sektor riil (dunia usaha) perlu diperjelas, sehingga penggunaan sumberdaya, khususnya anggaran pemerintah menjadi lebih efektif dan terarah. Peran Pemerintah seharusnya berada pada jalur penyediaan infrastruktur dasar atau pembangunan prasarana dan sarana dasar pendukung ekonomi kawasan, melakukan pembinaan peningkatan kapasitas SDM aparat dan pelaku usaha, pengembangan aksesibilitas pendukung usaha (jaringan pasar, informasi pasar, teknologi, permodalan, pengembangan riset dan teknologi), sedangkan peran sektor riil (dunia usaha) adalah berada pada jalur pelaksanaan kegiatan usaha mulai dari hulu sampai ke hilir.