Revolusi Mental Dimulai dari Keluarga Up

Revolusi Mental Dimulai dari Keluarga: Upaya Menyembuhkan Diri (Healing) dari
Internalized Racism
Oleh Anastasia Satriyo, S.Psi
Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi penulis yang memerlihatkan
bagaimana stereotype itu disosialisasikan lewat social learning sehingga sejak kecil
menjadi bagian diri individu dan dapat terinternalisasi dan menjadi salah satu value yang
dibawanya ke masa dewasa.
Suatu hari saat jam istirahat di kelas 3 SD, saya berbincang dengan tiga orang teman
di pinggir lapangan olahraga. Entah apa topik obrolan awal kami, tapi kemudian
perbincangan berlanjut dengan teman saya berkata seperti ini, “Kata mama aku, nanti kalau
udah besar aku nikah aku bolehnya nikah sama yang Cina aja.” Lalu saya bertanya,
“Kenapa hanya boleh sama orang Cina aja? Kan orang di dunia ini beraneka ragam?” Ia
menjawab, “Nggak tau. Pokoknya kata mama aku gitu, aku kalau udah besar nanti menikah
harus menikah dengan orang Cina.”
Saat di bangku SMP sepulang sekolah, saya melihat pertengkaran dua Ibu yang
ternyata dipicu karena dua anak laki-laki mereka berkelahi di sekolah saat jam pelajaran.
Kedua Ibu tersebut saling beradu mulut karena tidak terima anaknya dipukul oleh anak
yang lain. Mereka beradu mulut dengan penuh emosi, mengeluarkan amarah tanpa
berusaha mencari solusi dari permasalahan lalu di detik-detik akhir adu mulut mereka
kehabisan kata-kata. Di saat kehabisan kata-kata ini, mereka saling melontarkan kalimat
umpatan yang membawa identitas etnis mereka masing-masing. “Dasar orang Batak!”, kata

ibu yang satu. “Dasar orang Cina!”, balas ibu yang satunya lagi. Lalu keduanya saling
bertatap-tatapan dengan garang sambil memeluk anak masing-masing. Setelah itu keduanya
pulang ke arah yang berlawanan tanpa penyelesaian masalah. Saya yang menyaksikan
peristiwa ini hanya bisa menatap nanar dan tercenung. Peristiwa yang saat itu tidak bisa
saya pahami dan jelaskan dengan kata-kata namun terpatri dalam ingatan dan batin.
Lalu di tahun ini, ketika bangsa kita sedang riuh dengan pesta demokrasi pemilihan
Presidan dan Kepala Daerah isu rasisme mencuat dalam kehidupan politik, masyarakat dan
mengisi ruang-ruang media. Perbincangan mengenai siapa calon pemimpin yang kompeten
sering dikaitkan dengan identitas suku calon pemimpin. Tak jarang isu rasisme dipakai oleh
kelompok organisasi masyarakat tertentu untuk menjatuhkan dan menunjukkan penolakan
terhadap calon pemimpin daerah tertentu. Mengapa isu rasisme ini begitu seksi sebagai
bola panas yang dapat memengaruhi opini publik terhadap calon pemimpin?
Di tahun ini, saya juga sempat mengajar kelas Bina Iman Anak di gereja.
Perkenalan pertama saya dengan anak-anak berusia 6-10 tahun tersebut disambut dengan

pertanyaan, “Kakak orang apa?” Saya mencoba memperjelas, “Maksudnya orang apa
gimana?”. “Iya, maksudnya suku apa gitu kak?” Saya jawab, “Saya orang Indonesia”.
Jawaban saya ini tampaknya tidak memuaskan mereka. Mereka bertanya lagi, “Iya, kak
orang Indonesia tapi sukunya apa?”. Saya terperangah. Dalam kurun waktu 10 tahun saya
bisa mendapat pertanyaan yang sama dari sekelompok anak-anak yang mempertanyakan

identitas kesukuan. Pertama saya mendapat pertanyaan seperti ini dari teman-teman sekolah
saya. Sepuluh tahun kemudian, saya ditanya seperti ini oleh anak-anak yang seusia temanteman sekolah saya dahulu. Sama-sama bertanya hal yang sama, “Sukunya apa” lalu
merasa menemukan kelegaan dan kenyamanan ketika saya menjawab suku yang sama
dengan mereka. Di ruang kelas Bina Iman, saya menjawab, “Ayah saya Jawa, Ibu saya
Keturunan Tionghoa.” Lalu seorang anak berceletuk dari arah belakang, “Sama dong aku
orang Jawa juga.” Wajah-wajah anak yang lain terlihat diam dan sedikit bingung. Lalu saya
menjawab kembali, “Teman-teman saya ada yang orang Batak, orang Manado, orang
Padang, orang Ambon dan orang Flores”. Lalu wajah anak-anak lain yang sukunya
mungkin terwakili menunjukkan raut wajah sumringah.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tersendiri dalam diri saya, mengapa isu
suku menjadi begitu penting untuk masyarakat Indonesia. Secara spesifik mengenai
identitas kesukuan (cultural identity), rasisme dan prasangka (prejudice) antar suku. Topik
ini merupakan hal yang penting untuk bangsa Indonesia yang terdiri dari suku yang
beraneka ragam. Kehidupan di kota-kota besar mempertemukan orang dari berbagai suku
serta agama untuk hidup bertetangga di lingkungan rumah, berteman di lingkungan sekolah
dan di lingkungan kerja atau sekedar berpapasan di jalan.
Sejak tahun 1930an, rasisme telah menjadi topik yang diperbincangkan dalam
Psikologi Sosial (Augostinos, 2013). Rasisme dipandang sebagai isu yang kompleks dan
memerlukan berbagai perspektif untuk memahami rasisme yang terentang dari tataran
internalisasi individu hingga memengaruhi struktur dan keputusan politik sampai sikap

antar kelompok. Oleh karena itu, pemahaman dan penelitian mengenai isu rasisme,
prasangka antar kelompok dan identitas kesukuan dalam hidup bersama yang penuh
keanekaragaman perlu menjadi salah satu perhatian jika ingin menciptakan Revolusi
Mental dalam hidup bermasyarakat di Negara Indonesia.
Rasisme dapat didefinisikan sebagai prasangka dan diskriminasi, berbagai tingkah
laku aksi maupun sikap yang mensubordinasi seseorang atau kelompok karena ras, warna
kulit atau etnisitas. Rasisme merupakan belief yang dimiliki individu maupun sekelompok
individu yang melihat orang yang berbeda ras lebih inferior atau superior sehingga
memunculkan perilaku diskriminatif dalam kehidupan sehari-hari di tempat kerja, institusi
maupun dalam masyarakat. Rasisme muncul sebagai konsep yang dibentuk dan dipelajari
kemudian muncul dalam perilaku sebagai prasangka (prejudice). Prasangka adalah sikap,

opini dan perasaan menyukai (favorable) atau tidak menyukai (favorable) mengenai
seseorang atau suatu kelompok yang dibentuk tanpa pengetahuan, alasan dan pemikiran
tertentu.
Rasisme muncul dalam bentu individualized racism dan institutional racism.
Racism muncul secara overt maupun covert. Rasisme yang muncul secara overt dilakukan
oleh individu yang menyebabkan kematian, cedera dan luka serta kerusakan bangunan
tempat tinggal atau sarana publik lainnya. Rasisme yang muncul secara covert, tidak
terlihat secara terbuka dan muncul dalam masyarakat melalui lembaga maupun kekuatan

yang dihormati di masyarakat.
Di Indonesia rasisme yang muncul secara individual dan overt terjadi dalam
bentrokan antar etnis di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat antara etnis Bali dan etnis
Sumbawa (“Bentrokan antar-etnis, 2013). Setahun sebelumnya juga terjadi bentrokan antar
warga dari etnis Bali dan Lampung di Lampung Selatan (“Tawuran Antarwarga, 2012) dan
bentrokan antara kelompok Betawi dan warga Ambon di Depok (“FBR dan Warga
Ambon”, 2012) . Peristiwa bentrokan antar etnis yang paling lama dan memakan korban
paling besar adalah kerusuhan Sampit di tahun 2001 antara warga etnis Madura dengan
Dayak yang masih memengaruhi kehidupan bermasrakat hingga sekarang. Sepuluh tahun
setelah kerusuhan Sampit, warga Dayak masih menolak kehadiran pendatang dari Madura
yang ingin tinggal di dekat mereka (“Warga Cempaka”, 2010).
Rasisme yang muncul secara covert terlihat dalam ajang pencarian bakat yang
marak disiarkan di televisi. Calon penyanyi yang berbakat meminta dukungan dari
masyarakat yang berlatar belakang suku atau asal daerah yang sama dengan dirinya.
Padahal jika ingin menghasilkan penyanyi atau pekerja seni yang memang kompeten dan
berbakat seharusnya bakat si penyanyi itu sendiri yang digunakan untuk menggalang
dukungan. Bukan semata karena asal daerah atau suku yang sama. Lalu pada tahun 2014 ini
muncul pernyataan sikap dari Forum Betawi Rempuk (FBR) dan Front Pembela Islam
(FPI) yang melakukan unjuk rasa menolak Ahok menjadi gubernur dengan alasan karena
Ahok beretnis Tionghoa.

Rasisme merupkan prasangka yang muncul bersama dengan kekuatan (power)
sehingga penting untuk memahami bagaimana prasangka (prejudice) dapat dimiliki oleh
individu sebagai bagian dari kelompok. Individu memelajari bagaimana bersikap dan
menyesuaikan diri di dalam kelompok masyarakat melalui proses sosialisasi yang dialami
sejak kelahirannya sampai dewasa. Sosialisasi yang pertama dialami oleh individu adalah
sosialisasi di dalam keluarga sehingga penulis memiliki hipotesa bahwa prasangka juga
dipelajari dan disosialisasikan pertama kali kepada individu melalui sosialisasi di dalam
keluarga. Hal ini sejalan dengan teori Aboud (1988 dalam Briscoe, 2003) tentang socio-

cognitive developmental theory yang menjelaskan perkembangan anak dalam memahami
prasangka. Perkembangan anak memahami prasangka sejalan dengan perkembangan
kemampuan kognitifnya berdasarkan tahap perkembangan Piaget (Briscoe, 2003). Orangtua
dan keluarga menjadi agen sosialisasi pertama bagi anak dalam mensosialisasikan
pemahaman mengenai prasangka pada anak. Proses sosialisasi merupakan pembelajaran
seumur hidup tentang bagaimana menjadi anggota dari kelompok sosial mulai dari
kelompok sosial terkecil, yaitu keluarga hingga lingkungan masyarakat, warga suatu negara
sampai menjadi bagian dari warga dunia. Sosialisasi dipelajari melalui interaksi antar
manusia (Sage Publication, 2012). Melalui social world model dapat dilihat berbagai
lapisan dalam interaksi sosial yang terjadi sepanjang kehidupan manusia. Sejalan dengan
pengalaman interaksi.


Gambar Social World and Level of Analysis dari Chapter 4 “Socialization” Sage Publication (2012)

dan sosialisasi, manusia mengembangkan pemahaman tentang dirinya sendiri (development
of the self). Proses sosialisasi di tingkat mikro melibatkan interaksi antara orangtua
terhadap anak dalam mentransmisikan nilai-nilai, norma dan sistem kepercayaan yang
dianut. Hasil dari proses sosialisasi adalah self (diri individu). Secara mendasar, self
merujuk pada persepsi yang dimiliki oleh diri kita sendiri mengenai siapa diri kita. Melalui
proses sosialisasi terjadi interaksi dan pembentukan persepsi berdasarkan bagaimana orang

lain merespon diri kita. Perkembangan dari self membantu individu untuk berinteraksi
dengan orang lain dan belajar bagaimana berfungsi di tiap tahap dari social world.
Terkait dengan sosialisasi dari prasangka (prejudice) yang dilakukan di tingkat
mikro, pada akhirnya akan memunculkan internalized racism yang dapat mengarah pada
self-degradation dan self-alienation. Internalized racism menurut Lipsky (2007) adalah
“personal conscious or subconscious acceptance of the dominant society’s racist views,
stereotypes and biases of one’s ethnic group. It gives rise to patterns of thinking, feeling
and behaving that result in discriminating, minimizing, criticizing, finding fault,
invalidating, and hating oneself while simultaneously valuing the dominant culture.”
Ketika interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga dapat membentuk pemaknaan

baru terhadap identitas diri yang tak hanya menekankan pada identitas kesukuan yang
berujung pada superioritas suku sendiri (etnosentrisme) dan memandang rendah pada suku
yang lain. Lupa bahwa berbagai kelompok suku yang beragam di Indonesia memiliki
benang merah ideologis yang menyatukan sebagai bangsa dan warga negara Indonesia.
Ilmu Psikologi dapat berperan dalam membantu setiap individu yang menjadi agen
sosialisasi di dalam berbagai tingkatan social world dan level of analysis untuk membantu
terciptanya Revolusi Mental dalam diri individu maupun kelompok.
Di tataran individu, ilmu psikologi membantu proses healing pada individu
sehingga mampu menerima pengalaman masa lalu untuk mengkonstruksi gambaran diri
yang positif di masa sekarang. Kepercayaan diri yang dimiliki oleh individu membuatnya
mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri tanpa perlu mendegadrasi
orang lain apalagi menstereotipe orang lain hanya berdasarkan identitas suku dan kelompok
yang belum tentu benar. Ilmu psikologi juga dapat membantu orangtua dalam pengasuhan
kepada anak sehingga dapat memfasilitasi pertumbuhkembangan identitas diri (self
identity) yang sehat pada anak sehingga di kemudian hari dapat tumbuh menjadi manusia
dewasa yang tidak menilai individu hanya berdasarkan suku dan ras semata, memiliki
mekanisme pengelolaan emosi yang sehat dan mampu mengatasi konflik lewat dialog
bukan dengan kekerasan. Orangtua sebagai individu pun juga dapat memulai proses healing
dari dirinya sendiri. Sebab secara sadar maupun tidak sadar, believe, persepsi dan cara
orangtua memandang diri, orang lain, dunia dan sekitarnya (world view) tertransmisi

melalui proses sosialisasi dan interaksi sehari-hari dengan anak.
Di tataran meso, ilmu psikologi dapat ikut memberikan intervensi di tingkat sekolah
untuk mencegah dan merekonsiliasi perilaku bullying serta mengajarkan living values PBB
sebagai landasan dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Kerja sama orangtua dan
sistem sosial yang lebih luas di sekitar anak seperti sekolah dan institusi agama dalam
membentuk pandangan bahwa setiap manusia sama-sama bernilai dan bermartabat, bukan

hanya menilai manusia dari suku, ras atau agama dibutuhkan sehingga dapat menciptkan
individu-individu di dalam masyarakat Indonesia yang dapat menghargai keunikan dan
keberagaman, yang dapat menghargai ke-Bhinneka-an.
Menurut saya pribadi, keberhasilan dari Revolusi Mental di Indonesia salah satunya
adalah terjadinya healing dari internalized racism dan mulai mendefinisikan diri (self) diri
sendiri maupun menilai orang lain berlandaskan pada penghargaan terhadap martabat,
keunikan dan keberagaman manusia yang memiliki potensi, kompetensi dan kualifikasi diri
yang unik sebagai individu. Revolusi Mental terjadi ketika seorang anak menceritakan atau
memperkenalkan teman kepada orangtuanya di rumah, pertanyaan pertama yang diberikan
oleh orangtua bukan lagi “Teman kamu sukunya apa?” tapi bagaimana temannya tersebut
berteman dengan anaknya, bagaimana ia bersikap dan memperlakukan orang lain,
bagaimana sehari-hari perilakunya di kelas. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat anak
semakin mengenal individu temannya sebagai pribadi dan diri yang unik. Dari pengalaman

sehari-hari yang menilai orang dari potensi dan kompetensi diri bukan karena sukunya
semata, anak akan belajar dan tersosialisasi hingga dewasa nantinya untuk dapat memilih
Kepala Daerah atau pemimpin di berbagai sektor bukan hanya karena stereotipe terhadap
suku tertentu. Anak juga mampu menghargai teman dan orang-orang di lingkungan
sekitarnya yang beragam dengan perasaan aman bukan tanpa prasangka. Perbedaan tidak
lagi dipandang sebagai suatu hal yang mengancam tetapi sebagai realita hidup yang dialami
sehari-hari sebagai konsekuensi hidup di negara Indonesia yang membentang dari Sabang
sampai Merauke, dari Pulau Sangir-Talaud sampai Pulau Alor.
Proses sosialisasi di dalam keluarga menjadi krusial dalam menciptakan Revolusi
Mental pada diri individu maupun di tingkat masyarakat. Keluarga dimulai dari orangtua
yang mensosialisasikan dan mentransmisikan nilai-nilai dan harapan masyarakat kepada
anak. Orangtua dimulai dari pasangan individu dewasa yang berkomitmen untuk
membentuk keluarga dan terlibat dalam prokreasi untuk melahirkan generasi dan kehidupan
yang lebih baik untuk generasi berikutnya. Maka revolusi mental dimulai dari individu
dewasa yang memiliki kesadaran dan penghargaan terhadap keberagaman yang hidup di
dalam keluarga maupun masyarakat secara simultan. Saya bermimpi suatu hari Indonesia
beserta elemen masyarakat, kelompok, keluarga dan individu di dalamnya berada pada
kondisi di mana kita menghargai dan menerima keberagaman sebagai realita.
Beberapa langkah praktis sudah mulai dilakukan. Di antaranya keluarga-keluarga
dengan orangtua yang memiliki kesadaran akan isu internalizd racism ini dengan sadar

memaparkan anak dengan keberagaman di lingkungan sekitarnya. Anak juga melihat
sendiri contoh konkrit dari orangtua yang berteman dengan siapa saja tanpa memandang
suku, agama dan status sosial-ekonomi. Ini menjadi pintu masuk pembentukan diri (self)
anak melalui modeling. Dialog antara orangtua dan anak juga memfasilitasi anak untuk

memahami fenomena yang terjadi di sekitarnya sekaligus menyadari pula reaksi psikis dan
batinnya sendiri. Anak belajar menyaring sosialisasi nilai-nilai (values) yang ia peroleh dari
lingkungan sekitarnya dengan values yang ia miliki sendiri.
Di sekolah-sekolah, kegiatan Live In dan Bakti Sosial menjadi kesempatan bagi
anak-anak sebagai peserta didik untuk mengalami interaksi dan melihat kehidupan dari
kelompok orang yang berbeda dari yang ia temui sehari-hari. Berdasarkan penjelasan dari
teori kontak sosial, semakin sering terjadi kontak sosial dengan kelompok yang berbeda
semakin besar kemungkinan terjadinya perubahan dalam persepsi terhadap suatu kelompok
yang pada akhirnya mengurangi stereotyping dan racism.
Di lingkungan masyarakat, telah ada kelompok masyarakat bernama Sabang
Merauke yang menggagas suatu program pertukaran pelajar antardaerah di Indonesia
dengan tujuan membuka cakrawala anak-anak Indonesia untuk menanamkan nilai kebhinneka-an sehinga mereka dapat memahami, menghargai, serta menerima
keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia (“Sabang Merauke”, 2015).
Kegiatan ini dilakukan selama waktu libur sekolah yang mengajak anak-anak dari
berbagai daerah untuk tinggal di daerah lain selama dua minggu. Selama masa pertukaran

ini, anak-anak akan tinggal bersama keluarga angkat yang memiliki nilai-nilai yang luhur
dan pencapaian penghidupan yang baik sehingga bisa menjadi panutan dalam hidup anak.
Setelah melakukan program selama dua minggu, anak-anak difasilitasi untuk memaknai
pengalaman yang telah dialami pasca program. Proses debriefing seperti ini membantu
anak-anak memahami dan memaknai pengalaman barunya sehingga dapat merekonstruksi
sekaligus menginternalisasi nilai-nilai keberagaman dalam dirinya. Komunitas Sabang
Merauke sendiri berangkat dari kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara dengan populasi
terbesar keempat di dunia memiliki keragaman etnis, budaya, agama serta bahasa yang
memiliki potensi besar untuk menjadi bangsa yang besar namun menghadapi tantangan.
Salah satunya, bahwa keberagaman di Indonesia masih menjadi hal yang tabu untuk
didiskusikan. Berbagai konflik yang berkaitan dengan kesukuan dan keagamaan masih
dianggap sebagai topik yang sensitif untuk dibicarakan secara terbuka dalam suasana yang
terbuka dan kondusif.
Di tataran pemerintah, melalui program Pendidikan di bawah Kementerian
Pendidikan Republik Indonesia materi dan topik tentang keberagaman dapat menjadi salah
satu topik bahasan dalam kegiatan pembelajaran di pelajaran sosial, budaya dan pendidikan
karakter yang diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan konkrit yang dapat dipraktekkan
langsung oleh anak-anak sebagai peserta didik. Paradigma ke-bhinneka-an seharusnya
menjadi ruh yang melandasi pendidikan anak-anak Indonesia, baik formal maupun
informal. Proses penyadaran ini (awakening) ini niscaya akan membantu terciptanya

Revolusi Mental di Indonesia yang poros utama perubahannya dimulai dari keluarga.
Sungguh ironis melihat masyarakat Indonesia yang hakikat dan kenyataannya merupakan
bangsa dengan masyarakat yang penuh keberagaman namun paradigma yang ditumbuhkan
dan disosialisasikan adalah paradigma kesukuan yang bersifat etnosentrisme maupun
primordialis. Kita adalah bangsa majemuk kelautan yang menggunakan paradigma
continent seakan-akan kita ini sama dalam cara hidup, berkegiatan dan mencari nafkah,
demikian Anies Baswedan pernah berujar dalam salah satu pidatonya. Justru karena kita
berbeda-beda maka keberagaman seharusnya menjadi landasan dalam bagaimana kita
mempersepsikan diri, orang lain, dan dunia di sekitar kita (world view) yang pada akhirnya
memengaruhi keputusan-keputusan hidup sehari-hari dan cara kita berperilaku serta
berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita.

Referensi:
Augostinos, M. (2013).“Psychological perspective on racism” diakses dari
http://www.psychology.org.au/Content.aspx?ID=5271# tanggal 15 Desember 2014.
Autry, S. (2010). Racial socialization and racial identity construction of African American
children regarding racial issues and prejudice (Disertasi). California Lutheran
University. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/822780199/489ED723AC8C48A1PQ/1?accountid
=17242
Bobo, L., & Fox, C. (2003). Race, racism, and discrimination: Bridging problems,
methods, and theory in Social Psychological Research. Social Psychology Quarterly.
66, 319-332.
Briscoe, A. (2003). The Interrelationships among parental racial identity, racial
socialization, and children’s prejudice and tolerance (Disertasi). University of
California. Diakses dari
http://search.proquest.com/docview/305211846/FAB4ABA075D64EEEPQ/14?accoun
tid=17242 tanggal 15 Desember 2014.
Sage Publication (2012). Socialization: Becoming human and humane diakses dari
http://www.sagepub.com/upm-data/45619_4.pdf tanggal 15 Desember 2014.
Lipzky, S. (2007). Internalized racism. Diakses dari
http://www.nypolisci.org/files/PDF%20FILES/Chapter%20IV_%207_%20internalized
%20racism.pdf tanggal 15 Desember 2014.

Hatta, R. (22 Januari 2013).”Bentrokan antar etnis terjadi di Sumbawa”. Liputan 6.
Diakses dari http://news.liputan6.com/read/494122/bentrok-antar-etnis-terjadi-disumbawa tanggal 15 Desember 2014.
Harjono, Y. (28 Oktober 2012). “Tawuran antarwarga kembali pecah di Lamsel”.
Kompas.com. Diakses dari
http://regional.kompas.com/read/2012/10/28/12522399/Tawuran.Antarwarga.Kembali.
Pecah.di.Lamsel tanggal 15 Desember 2014.
Rahman,K. (17 Juli 2010). “Warga Cempaka Kalimantan Selatan tolak pendatang dari
Madura”.
Tempo.co.
Diakses
dari
http://www.tempo.co/read/news/2010/07/17/179264187/Warga-Cempaka-KalimantanSelatan-Tolak-Pendatang-dari-Madura tanggal 15 Desember 2014.
Tentang Kami (2 Februari 2015). Diakses dari www.sabangmerauke.org.
Tirta, I. (18 November 2010). “FBR dan Warga Ambon bentrok di Depok”. Tempo.co.
Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2012/11/18/064442484/FBR-dan-WargaAmbon-Bentrok-di-Depok tanggal 15 Desember 2014.