Kajian Pemanfaatan Bantuan Perkuatan Oleh Usaha Mikro Kecil Dan Menengah umkm

(1)

KAJIAN PEMANFAATAN

BANTUAN PERKUATAN OLEH USAHA MIKRO,

KECIL DAN MENENGAH

(UMKM)

DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN SUMBERDAYA UKMK

KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM

JAKARTA

2006


(2)

KAJIAN PEMANFAATAN

BANTUAN PERKUATAN OLEH USAHA MIKRO,

KECIL DAN MENENGAH

(UMKM)

Tim Pengkajian

Narasumber ;

Ir. Wayan Suarja. AR. MBA

Drs. Neddy Rafinaldy

Tim Penulis

Ir. Teuku Syarif, MS

Ir. Yoseva, MM

Pelaksana

Ir. Yoseva, MM (koordinator)

Ir. Jannes Situmorang

Drs. Pardiwibowo, MS

Adriana Laykota

Agus Salim, SE


(3)

KATA PENGANTAR

Perwakilan Bank Dunia (world Bank) untuk Indonesia tanggal 7 Desember 2006 yang lalu mengungkapkan data tentang kemiskinan di Indonesia dengan standar Bank dunia US $ 2 /man/day. Berdasarkan data tersebut, diperkirakan sekarang ini terdapat sebanyak seratus juta orang Indonesia, atau lebih kurang 40 % dari rakyat Indonesia tergolong miskin dan sangat miskin (BPS per Oktober 2006 mengatakan 17,5 %). Yang jelas kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih menjadi masalah klasik yang setelah lebih dari 60 tahun merdeka belum dapat diatasi oleh berbagai rezim yang berkuasa.

Untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran pemerintah mengeluarkan Perpres nomor 007 tahun 2005 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM tahun 2005 s/d 2009) yang memprioritaskan pemberdayaan UMKM dan koperasi melalui program perkuatan. Program perkuatan dilaksanakan oleh berbagai instasi secara sektoral maupun terkoordinasi. Salah satu instansi yang mendapat tugas untuk melaksanakan program tersebut adalah Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Program perkuatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM terdiri dari berbagai ragam jenis yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak tahun 2000 yang lalu. Yang menjadi permasalahan adalah sampai sekarang ini belum diketahui dengan jelas seberapa jauh dan seberapa besar pemanfaatan program tersebut baik bagi UMKM, maupun bagi koperasi dan pembangunan daerah.

Berbagai evaluasi dan penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pemanfatan dari program tersebut, tetapi karena tolok ukur dari evaluasi dan kajian tersebut belum menyinggung permasalahan yang hakiki dari tujuan program, maka hasilnya juga belum mampu menjawab permasalahan yang dihadapi, dan pemerintah masih terus mengeluarkan berbagai program baru, sedangkan program yang lama belum diketahui tingkat keberhasilannya.


(4)

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program-program perkuatan yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM tersebut, maka kajian ini dilaksanakan.

Oleh karena disatu sisi sumberdaya yang tersedia untuk kajian ini sangat terbatas dan disisi yang lain berbagai jenis program yang sudah pernah dilaksanakan belum diketahui keberadaannya, maka kajian ini dibatasi pada dua jenis program yang baru dilaksanakan yaitu Program perkuatan KSP/USP, dan Program perkuatan sektoral.

Hasil kajian ini memang relatif belum sepenuhnya mampu menjawab semua permasalahan yang dihadapi, tetapi dengan mengandalkan tolok ukur yang lebih mendekati kebenaran, sasaran program (mengurangi kemiskinan dan pengangguran), sistematika dan dan model analisis yang sesuai, maka diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi masukan awal yang bermanfaat bagi para pengambil kebijakan.

Akhir kata, Tim pengkajian mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Bapak Asisten Deputi Urusan Penelitian UKM, Bapak Pejabat Pembuat Perikatan/Kontrak, yang telah memberikan kepercayaan kepada Tim untuk melaksanakan kajian ini. Terimakasih juga di ucapkan kepada semua pihak baik di tingkat pusat maupun di daerah yang telah memberikan bantuannya.

Jakarta, akhir Desember 2006 Tim Pengkajian


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar ...

Daftar Isi ... Daftar Tabel ... Daftar Bagan ... Daftar Lampiran ...

BAB . I. PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan Pengkajian ... 1.4. Manfaat Pengkajian ... 1.5. Output Kajian ...

BAB II. TINJAUN PUSTAKA ... 2.1. Konsepsi Pembangunan Berkeadilan ... 2.2. Kebutuhan Kredit Bagi Kelompok miskin ... 2.3. Pendekatan Sasaran Dan Konsep Perkreditan ... 2.4. Konsep Dasar Program Perkuatan UMKM ...

BAB III.KERANGKA PEMIKIRAN ... 3.1. Kerangka Dasar Penelitian ... 3.2. Kerangka Operasional ...

BAB IV. RUANG LIPKUP DAN METODA PENELITIAN ... 4.1. Ruang Lingkup Substansi Pengkajian ... 4.2. Lokasi kajian dan Penetapan Sampel ... 4.3. Asumsi-Asumsi ………..………. 4.4. Hipótesis ………..………. ii iv viii ix x 1 1 5 9 10 10 11 11 17 21 24 31 31 37 42 42 42 43 43


(6)

4.5. Metoda Penelitian …..………..………. 4.5.1. Data ……… 4.5.2. Metode Penarikan sampel

4.6. Metodel Analisis ………..…………. 4.6.1. Model-model Analisis Deskriptif

BAB V.HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS ……….…….... 5.1. Deskripsi Hasil Pengamatan Lapang ……….…….

5.1.1. Profil Perkuatan di Kabupaten Contoh ………

5.1.2. Dampak Program Perkuatan terhadap Kondisi dan Kinerja Bisnis UMKM ……… 5.1.3. Dampak Program Perkuatan Terhadap Perekonomian

Daerah ... 5.1.4. Dampak Program Perkuatan Terhadap Pengembangan

Koperasi ... 5.2. Kondisi dan Tingkat Pengaruh dari Faktor-faktor Penentu ... 5.2.1 Kondisi Awal UMKM ……..……….. 5.2.2 Pendekatan dan Pola Pelaksanaan Program Perkuatan 5.2.3 Kebutuhan Modal bagi UKM ... 5.2.4 Lembaga yang Berperan Dalam Pelaksanaan Program 5.2.5 Pengaturan Pelaksanaan Program ... 5.2.6 Pemanfaatan Bantuan Perkuatan oleh UMKM ... 5.2.7 Sistem Pendukung Usaha UMKM ………. 5.2.8 Bantuan Perkuatan dari pihak lain ... 5.2.9 Keperluan Modal Bagi UKM ……….

BAB VI. ALISIS EVALUATIF ………. 6.1. Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Strategis ………... 6.1.1. Faktor-faktor yang berpengaruh Terhadap Omset Usaha UMKM ... 6.1.2. Analisis Faktor Laba UMKM ……….

43 43 44 44 46 51 51 51 54 58 61 64 64 66 71 72 74 75 78 81 82 84 84 84 86


(7)

6.1.3. Pengaruh Tetap (independent variable) Terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja ………. 6.2. Analisis Hubungan Antar Faktor ……….. 6.2.1. Hubungan Antara Omset Usaha Dan Laba …………. 6.2.2. Hubungan Antara Volume Usaha Dan Penyerapan Tenaga

Kerja Oleh UMKM ………

BAB VII.PEMBAHASAN HASIL ANALISIS ……….. 7.1. Omset usaha UMKM ……….. 7.1.1. Ketersediaan Bahan Baku ……….. 7.1.2. Prosedur Pinjaman ……….. 7.1.3. Jumlah Pinjaman ………... 7.1.4 Kebebasan Penggunaan Pinjaman ……… 7.1.5 Jenis usaha Peminjam ………... 7.1.6 Pinjaman dari Pihak ke Tiga ………. 7.1.7 Peubah-peubah yang tidak berpengaruh terhadap

peningkatan omzet UMKM ………. 7.2. Laba UMKM ……….

7.2.1. Manajemen Usaha ………. 7.2.2. Prosedur pinjaman ………. 7.2.3. Jumlah Pinjaman ………. 7.2.4 Kebebasan Penggunaan Pinjaman……… 7.2.5. Jenis Usaha Yang dilaksanakan UMKM ………. 7.2.6. Pinjaman dari pihak ke tiga ………. 7.2.7. Pengaruh Peubah lainnya ………. 7.3 Penyerapan Tenaga Kerja Oleh UMKM ………. 7.3.1 Pemilikan asset ………. 7.3.2 Jenis Kelamin peminjam ………. 7.3.3 Jumlah Pinjaman ………. 7.3.4 Kebebasan penggunaan pinjaman ………. 7.3.5 Jenis Usaha UMKM ……….

88 90 90 92 94 94 94 96 97 98 99 100 101 102 102 102 102 103 103 103 105 105 106 106 106 107


(8)

7.3.6 Peubah yang tidak berpengaruh nyata ………... 7.4. Hubungan Antar Faktor Keberhasilan UMKM ………... 7.4.1 Hubungan Antara Omset Usaha Dan Laba …………. 7.4.2 Hubungan Omset Usaha Dan Penyerapan Tenaga Kerja

Oleh UMKM ………. 7.5. Hubungan Omzet Usaha dan Penyerapan Tenaga Verja Oleh

UMKM ……… 7.5.1 Omset Usaha UMKM secara langsung dan nyata positif

mempengaruhi kemampuan penyerapan tenaga verja oleh UMKM ………

7.5.2 Pengaruh faktor-faktor lanilla ………

BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN………… 8.1. Kesimpulan ………. 8.2. Saran Tindak ……….

108 109 109 111

112

112 114

114

116 116 117


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Profil Bantuan perkuatan UMKM menurut Jenisnya pada lima Propinsi Contoh ... Tabel 2 : Realisasi Bantuan perkuatan Bagi UMKM Di Lima Propinsi Contoh ... Tabel 3 : Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan ) Dari aspek Aset dan Permodalan ... Tabel 4 : Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan) Dari Aspek Volume Usaha dan Laba ……… Tabel 5 : Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan )... Tabel 6 : Jumlah Tenaga Kerja dan Kinerja UKM Berbantuan (yang menerima bantuan ) ………. Tabel 7 : Pertumbuhan Sumbangan UMKM terhadap Total

Pendapatan Kotor Daerah (Regional Domestic Bruto) serta Jumlah dan Kinerja Koperasi Penyalur ... Tabel 8 : Dampak Program Perkuatan terhadap Kinerja Koperasi... Tabel 9 : Dampak Pelaksanaan Program Perkuatan terhadap ?... Tabel 10: Kondisi Awal UMKM... Tabel 11 : Persyaratan Mendapatkan pinjaman... Tabel 12 : Pihak - pihak yang terlibat dalam proses perkreditan... Tabel 13 : Kebutuhan Modal bagi UKM... Tabel 14: Keragaan Peminjam dari Aspek Pemilikan Aset dan

Permodalan... Tabel 15: Pihak pihak yang terlibat dalam proses perkreditan... Tabel 16 : Pengaturan Pelaksaaan Program... Tabel 17 : Pemanfaatan Program Bantuan perkuatan... Tabel 18 : Tingkat Kesulitan dalam Proses Pemanfaatan Program

Perkuatan... Tabel 19 : Bantuan Perkuatan yang diterima UMKM... Tabel 20 : Dana Yang diperlukan untuk memberdayakan UMKM ... Dan Pembukaan Lapangan Kerja bagi Pencari Kerja

51 53 54 55 57 59 60 61 63 65 67 69 70 72 73 74 75 76 81 82


(10)

Tabel 21 : Analisis pengaruh peubah tetap (Independent Variable) Terhadap Omset usaha UMKM (Y1)... Tabel 22 : Analisis Pengaruh Peubah Tetap (Independent Variable) Terhadap laba UMKM (Y2)... Tabel 23 : Analisis Pengaruh Peubah tetap (Independent Variable) Terhdap Penyerapan Tenaga Kerja (Y3)... Tabel 24 : Hubungan Antara Volume Usaha Dengan laba UMKM (Y4).. Tabel 25 : Hubungan Antara Volume Usaha Dan Penyerapan Tenaga Kerja Oleh UMKM………...

DAFTAR BAGAN

Bagan 1: Kerangka Analisis Kajian Pemanfaatan Bantuan Perkuatan Untuk UMKM

84

86

89

91 92


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Lampiran 1 : Rata-rata Skor Ketersediaan Bahan Baku, Dan Kemudahan Pemberian Pinjaman

Tabel Lampiran 2 : Rata-rata Skor Manjemen Usaha dan Kebebasan Penggunaan Pinjaman

Tabel Lampiran 3 : Rata-rata Pinjaman Dari Pihak Ketiga Dan Kemampuan Penyerapan Tenaga Kerja

Tabel Lampiran 4 : Rata-rata Margin Usaha UKM

Tabel Lampiran 5 : Rata-rata, Pengalaman Dan Kelamin Peminjam

120

120

121

121


(12)

BAB . I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 007 tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009, menetapkan prioritas pembangunan diarahkan pada pengurangan angka kemiskinan dan penggaguran. Target yang ingin dicapai adalah mengurangi angka kemiskinan dari 9,9 % tahun 2004 menjadi 5,1 % pada tahun 2009, serta mengurangi jumlah pengangguran dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009. Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memberdayakan kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta meningkatkan peran serta koperasi dalam proses pemberdayaan UMKM.

Sebagai derivasi dari kebijaksanaan yang dituangkan dalam Perpres nomor 07 tahun 2005 tersebut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengeluarkan Rencana Tindak Jangka Menengah (RTJM) 2005 -2009, yang menetapkan kerangka dasar pelaksanaan program pengembangan koperasi dan UMKM, dalam bentuk pelaksanaan berbagai program perkuatan KUMKM. Program ini dirancang secara komprehensif dari semua aspek usaha Koperasi dan UMKM (KUMKM), sejak dari penyiapan SDM, sampai dengan pemasaran produk UMKM. Program perkuatan KUMKM yang dirancang di tingkat pusat dan dilaksanakan disemua daerah ini, diharapkan dapat menjadi stimulan bagi UMKM maupun pemangku kepentingan (stake holder) lainnya untuk meningkatkan produktifitas UMKM.

Program perkuatan UMKM menggunakan berbagai sumber pendanaan antara lain dari APBN, dari dana Surat Utang Pemerintah Nomor rekening 005 (SUP-005) dan dari Program kompensasi pengurangan subsidi BBM (PKPS-BBM). Pihak-pihak yang dilibatkan dalam program ini juga cukup banyak, baik instansi pemerintah, pihak perbankan, Pemerintah Daerah (Pemda), maupun pihak pengusaha swasta besar. Untuk mengawasi pelaksanaan program perkuatan, telah dirancang sistem


(13)

monitoring dan evaluasi, tetapi program tersebut hanya menggunakan tolok ukur yang hanya terbatas untuk melihat keberhasilan penyaluran dana perkuatan, sehingga kegiatan monitoring dan evaluasi tersebut juga hanya melaporkan keberhasilan penyaluran baku pinjaman yang disediakan.

Program perkuatan dari aspek konsepsi perkreditannya tetap merupakan kredit murah (cheaps money credit), yang ditujukan untuk kelompok masyarakat miskin, dengan persyaratan yang ditetapkan berdasarkan pendekatan sektoral. Di samping itu juga unsur legalitas peminjam masih menjadi persyaratan utama program ini. Jenis program perkreditan seperti ini memang secara umum telah dilaksanakan diberbagai negara berkembang dengan tingkat keberhasilan yang relatif rendah. Menurut Sondakh (1986) kredit mikro yang bersifat sektoral dengan subsidi bunga bagi pengembangan tanaman jagung di Brazil merupakan puncak keberhasilan program perkreditan seperti tersebut (program kredit mikro untuk orang miskin). Pengembalian kredit tersebut mencapai 32,6 % dan kredit tersebut mampu meningkatkan produksi sebesar 21,4 %. Sedangkan program sejenis ditempat lainnya termasuk di Indonesia (KCK, KUK, KUT dan sebagainya), tidak pernah diketahui kesudahannya, atau hilang begitu saja. Dari aspek politis kejadian seperti itu memang bukan masalah, karena setiap rezim yang berkuasa di negara berkembang pada umumnya memang berkeinginan untuk menunjukkan komitmen-nya dalam mengangkat harkat orang miskin. Kegagalan ini baru menjadi masalah kalau dianalisis dari aspek ekonomi dan sosial.

Terkait dengan upaya pemerintah untuk menumbuh-kembangkan UMKM melalui program perkuatan, perlu dikemukakan pendapat Muhammad Yunus (2006) pendiri Grameen Bank di Bangladesh, tentang kemiskinan. Yunus berpendapat bahwa ’Pengentasan kemiskinan haruslah merupakan suatu proses bertahap yang berkelanjutan dalam menciptakan asset oleh masyarakat miskin sendiri. Peran pemerintah hanyalah sebagai triger (pemicu) atau perangsang (stimulant), dan bukan sebagai lembaga sosial. Lebih lanjut dikatakan ’Masyarakat miskin tahu apa yang harus mereka lakukan, tapi para pembuat keputusan tidak mau percaya


(14)

kalau mereka mampu.’ ’Kemiskinan menutupi seseorang, sehingga membuat mereka terlihat bodoh dan tidak punya inisiatif. Jika mereka dihargai maka kerangka kerja yang paling sederhanapun akan mampu memberikan kesempatan dan memotivasi mereka untuk memperbaiki kehidupannya sendiri. Setiap orang memiliki kemampuan terpendam’, yang disebutnya sebagai kemampuan mempertahankan hidup. Kenyataan bahwa kaum miskin tetap hidup membuktikan bahwa mereka memiliki kemampuan. Jadi para pengambil kebijakan tidak perlu mengajari mereka bagaimana untuk bertahan hidup, sedangkan para pengambil keputusan sendiri tidak banyak memahami kehidupan mereka.

Yang banyak terlihat dalam mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang menurut Stukey (1995), adalah bila pemerintah sering kali melupakan potensi yang ada pada kelompok miskin tersebut. Sebagian besar program kredit mikro dilaksanakan berdasarkan pendekatan sektoral dengan memasukkan unsur subsidi bunga. Menurut Anwar (1992) konsepsi perkreditan yang demikian sepertinya hanya merupakan obat penghilang rasa sakit (analgesic), yang tidak pernah menghilangkan penyakitnya dan jika dipakai terlalu lama malah bisa menimbulkan penyakit lain. Gopar. A.Helmawi (2006) malah mengatakan kebijakan kredit masal bersubsidi merupakan moral Hazard (pengeroposan moral), yang cepat atau lambat dapat berdampak negatif bagi para peminjamnya, maupun pemerintah yang merancang dan melaksanakan program tersebut. Hal ini antara lain terlihat dari banyaknya jumlah peminjam kredit KUT yang sekarang terjerat hutang dari program yang juga dilaksanakan oleh Departemen Koperasi dan UMKM pada awal masa reformasi beberapa tahun yang lalu.

Beberapa indikator kelemahan dan ketidak-berhasilan kredit mikro bersubsidi juga pernah dikemukakan oleh Gonzales 1982 antara : a) Penetapan tujuan penggunaan ditingkat makro (Pusat) yang dilaksanakan di tingkat mikro (regional), menyebabkan timbulnya bias dalam pendistribusian kredit. Akibatnya banyak alokasi kredit yang jatuh pada perorangan, kelompok atau daerah yang tidak potensial. Sebaliknya para peminjam perorangan, kelompok atau daerah yang berpotensi besar


(15)

untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tidak mendapatkannya ; b) Pagu kredit yang ditetapkan secara agregat dalam jumlah tertentu menyebabkan terbatas kesempatan bagi peminjam untuk menyesuaikan kebutuhan dengan jumlah kredit yang diterima, sedangkan di tempat lain orang atau kelompok lain mungkin terjadi kelebihan pinjaman, dan hal ini menyebabkan terjadinya pemborosan dalam penggunaan pinjaman ; c) Subsidi bunga dapat mengundang kelompok yang bukan menjadi target sasaran untuk ikut menikmati pinjaman tersebut dan ; d) Persyaratan ketat yang ditetapkan dapat menjadi kendala bagi kelompok potensial yaitu masyarakat miskin yang berpengetahuan rendah, untuk mendapatkan kredit tersebut.

Dari berbagai kelemahan program perkreditan yang dirancang oleh pemerintah di negara-negara berkembang, Yunus (2006) berpendapat penghambat terbesar bagi masyarakat miskin di daerah untuk meningkatkan pendapatannya adalah tidak adanya akses ke lembaga perkreditan formal terutama perbankan. Bank komersial tidak pernah percaya pada kemampuan orang-orang lemah tersebut. Konsepsi kredit perbankan yang bersandar pada prinsip 5C (The five C of credit), yaitu Caracter, colateral, capital, Capacity of repaymen dan Condition of economics, tidak akan pernah dapat dipenuhi oleh kelompok UMKM. Lebih lanjut dikatakan oleh Yunus ”jika mereka (kelompok miskin)” disediakan kredit dengan persyaratan yang sesuai, maka mereka sendiri bisa menentukan bagaimana cara yang terbaik untuk meningkatkan pendapatannya. Sebenarnya mereka (orang miskin) sangat pintar dan ahli dalam bertahan hidup. Hal ini telah dibuktikan dari eksistensi mereka yang mampu bertahan dalam situasi yang tidak terfikirkan kesulitannya dari generasi-ke generasi. Pada akhirnya dikatakan kredit dan kesempatan (peluang) kerja merupakan kunci untuk membangunkan kesadaran mereka akan kemampuannya. ’Meminjamkan uang saja tidak akan membantu orang miskin,’ kecuali bila pada saat yang sama kepada mereka juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, yang akan membantu mereka mengatasi berbagai masalah yang sepertinya tidak ada habisnya.’


(16)

Selama 40 tahun terakhir ini mungkin sudah lebih dari 50 Triliun Rupiah dana yang dihabiskan untuk melaksanakan berbagai program kredit mikro dengan pendekatan sektoral dan subsidi bunga yang dilaksanakan di Indonesia (Hasibuan 2005) . Yang terlihat sekarang ini pada lapisan masyarakat miskin masih seperti dulu. Angka kemiskinan masih lebih dari 2 digit, bahkan Bank Dunia (Wordl Bank ) tanggal 7 Desember 2006, mengatakan jumlah orang miskin di Indonesia sekarang ini sudah mencapai 100 juta orang, atau antara 40 sampai dengan 50 % dari penduduk Indonesia berpenghasilan kurang dari 2 USD per hari per orang. Lalu bagaimana keberhasilan berbagai program perkreditan termasuk program perkuatan KUMKM yang dilaksanakan oleh pemerintah sekarang ini ?.

Untuk program-program perkreditan yang dilaksanakan pada waktu-waktu yang lalu seperti KCK, KUK, dan KUT memang tidak perlu dijawab lagi keberhasilan dan keberadaannya, karena sudah menjadi bagian kelam dari kebijakan rezim yang berkuasa pada waktu itu. Tetapi bagaimana dengan program perkuatan yang dilaksanakan selama 6 tahun terakhir ini ?. Untuk program tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, juga tidak perlu dipermasalahkan lagi karena tingkat keberhasilannya tidak pernah diketahui dan keberadaannya juga sudah hilang tak tentu rimbanya. Yang perlu diperhatikan adalah program-program yang dilaksanakan selama tahun 2005 dan tahun 2006, karena sebagian uang tersebut masih ada, baik di masyarakat (UMKM), di koperasi atau di instansi / bank penyalur.

1.2. Permasalahan

Seperti dikemukan di atas, program perkuatan UMKM ini dilaksanakan dengan melibatkan banyak pihak, baik sektoral maupun instusional. Dalam beberapa kegiatan bahkan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, kewenangannya sangat terbatas seperti misalnya dalam program subsidi pupuk dan benih, program perkuatan kelompok masyarakat miskin di daerah tertinggal dan program penyaluran dana yang bersumber dari SUP-005. Untuk penyaluran subsidi pupuk dan pembangunan masyarakat di daerah tertinggal, Kementerian Negara Koperasi dan UKM sama sekali tidak memiliki kewenangan walaupun sasarannya adalah juga


(17)

UMKM. Sedangkan pada program perkuatan yang bersumber dari dana SUP-005, Kementerian Negara Koperasi dan UKM hanya memiliki kewenangan sebatas memberikan rekomendasi untuk institusi penyalurnya saja (perbankan). Kewenangan penuh hanya diberikan kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada penyaluran dana perkuatan yang bersumber dari APBN, melalui program-program perkuatan yang dirancang oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM sendiri, seperti program-program perkuatan sektoral dan program perkuatan melalui pengembangan unit simpan pinjam koperasi (USP Koperasi) dan program perkuatan melalui Koperasi simpan pinjam (KSP).

Secara kumulatif sejak tahun 2004 sampai dengan bulan Oktober tahun 2006 jumlah penyaluran dana program-program perkuatan dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang bersumber dari APBN telah mencapai 2,35 Triliun Rupiah. Hasil monitoring yang diberikan sampai sekarang ini hanya berupa informasi jumlah penyaluran dan jumlah koperasi serta UMKM yang mendapatkan bantuan pinjaman perkuatan tersebut saja, sedangkan sejauh mana manfaat yang dirasakan oleh para peminjam dan bagi koperasi belum terukur dengan baik.

Informasi tentang kemampuan penyaluran saja tentunya tidak cukup untuk menilai keberhasilan suatu program perkreditan. Sesuai dengan output yang akan dicapai yaitu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, idealnya untuk menilai keberhasilan program tersebut harus dilakukan secara komprehensif, dengan memperhatikan banyak faktor, baik faktor output maupun faktor inputnya. Kalau pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran yang ingin dijadikan output akhir maka ada tujuan antara yang juga perlu dikaji lebih dulu yaitu ; a) Apakah sasaran program sudah dicapai dengan baik (tepat sasaran), yaitu penerima kredit adalah benar-benar orang yang memerlukan dan memiliki potensi untuk menggunakan kredit tersebut ; b) Apakah yang bersangkutan benar-benar telah menggunakan kredit yang diterima untuk menjalankan usaha yang sesuai dengan potensi diri dan lingkungannya ; c) apakah dengan menjalankan usaha tersebut ada peningkatan penghasilannya. Kalau tadinya penganggur apakah sekarang telah mendapatkan


(18)

pekerjaan, dan jika dia sudah berusaha apakah dengan adanya bantuan perkuatan terhadap usahanya sudah ada peningkatan pendapatannya serta ; d) jika program perkuatan melibatkan koperasi, apakah koperasi yang melakukan penyaluran tersebut menerima dampak positif dari kegiatan ini .

Walaupun program perkuatan dirancang dan dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM, tetapi kegiatan usaha UMKM merupakan kegiatan usaha ekonomi yang keberhasilannya melibatkan banyak unsur sejak dari hulu (penyediaan bahan baku), sampai dengan hilirnya (pemasaran pada konsumen). Seperti layaknya program multidimensional lainnya, yang melibatkan banyak pihak. maka peluang timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan program tersebut juga menjadi cukup besar. Satu hal penting yang harus mendapat perhatian adalah tolok ukur keberhasilan program tersebut seharusnya sudah ditetapkan secara sistematis sesuai dengan tujuan dan ouput yang akan dicapai. Dari berbagai petunjuk operasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM, terlihat bahwa orientasi pencapaian tujuan hanya dibatasi sampai dengan keberhasilan penyalurannya (nilai, dan jumlah UKM yang mendapatkan bantuan) saja. Akibatnya pemanfaatan dan kemanfatan program tersebut bagi peminjam, yang merupakan sasaran pencapaian ouput akhir yang paling diharapkan yaitu ”seberapa besar kemampuan program-program perkuatan tersebut dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, tidak dimasukkan dalam kalkulus perencanaan. Dengan demikian adalah wajar jika sampai sekarang ini tidak pernah diketahui dengan pasti sejauh mana tingkat keberhasilan program tersebut mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Kajian dari aspek dasar kebijakan memperlihatkan bahwa di satu sisi program ini merupakan stimulator bagi pemberdayaan UMKM, yang secara langsung menjadi pembuka jalan untuk dilaksanakannya berbagai program pendukung lainnya. Sedangkan di sisi yang lain harus diakui bahwa ada kemungkinan bahwa program ini dapat bernasib sama dengan program-program lainnya yang bersifat dari atas ke bawah (top down). Untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk yang mungkin


(19)

terjadi, maka perlu diwaspadai asumsi bahwa ”pelaksanaan program perkuatan belum sesuai dengan harapan”. Kegagalan program perkuatan dapat saja terjadi akibat timbulnya berbagai permasalahan dan kendala, baik kendala dalam hal proses seleksi penyaluran dan pemanfaatannya, maupun kendala internal UMKM dalam melaksanakan kegiatan usaha yang mendapat bantuan perkuatan tersebut. Demikian juga dapat dimaklumi bahwa walaupun bantuan perkuatan yang diberikan sudah cukup banyak bentuk dan jenisnya, tetapi bila dicermati akan terlihat jenis dan jumlah bantuan yang diberikan tersebut masih jauh dari mencukupi. Dengan perkataan lain bantuan yang diberikan belum sesuai dengan jumlah dan kebutuhan UMKM, karena jumlah dan kebutuhan UMKM sangat banyak dan sangat beragam, baik antar aspek, antar sektor maupun antar daerah.

Kekhawatiran di atas tampaknya cukup beralasan karena selama ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM hanya menetapkan para penerima bantuan perkuatan berdasarkan pada kebutuhan agregatif, dan kriteria yang terangkum dalam petunjuk pelaksanaan bantuan perkuatan UMKM. Oleh sebab itu mengingat proses penunjukan itu sendiri hanya didasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam petunjuk pelaksanaan, maka bukan tidak mungkin akan ada bias akurasi penunjukan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan program tersebut. Demikian juga alokasi pagu kredit per peminjam yang bersifat top down, dapat saja menimbulkan bias dalam pemanfaatannya.

Sejalan dengan uraian di atas maka pertanyaan mendasar yang perlu dicarikan jawabannya melalui kajian ini, yaitu : 1.) Seberapa jauh tingkat ketepatan penunjukan UMKM penerima bantuan perkuatan, dan 2.) Bagaimana dampak pemanfaatan Bantuan Perkuatan tersebut terhadap pengembangan kinerja bisnis UMKM. Demikian juga mengingat program perkuatan UMKM sudah berjalan lebih dari 5 (lima) tahun, maka sejalan dengan pertanyaan diatas, timbul pertanyaan lain yang perlu dikemukakan adalah ; 3) Seberapa jauh dan seberapa besar tingkat


(20)

keberhasilan dari Program tersebut dalam mencapai tujuan akhirnya, atau output yang diharapkan yaitu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Layaknya program yang sudah berjalan cukup lama tentunya kegiatan tersebut sudah mengindikasikan keberhasilan, kendala dan permasalahan yang dihadapi. Indikasi yang terlihat secara visual di lapang antara lain adalah ”Adanya pertumbuhan usaha dari beberapa KUMKM yang mendapatkan bantuan perkuatan, sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu peningkatan omset usaha dan laba serta penyerapan tenaga kerja. Namun demikian indikasi-indikasi visual seperti itu tampaknya belum dapat sepenuhnya dijadikan bahan acuan yang relevan dalam upaya penyempurnaan kebijakan perkuatan KUMKM, karena belum mengarah pada output akhir yang diharapkan yaitu peningkatan pendapatan dan peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja dari KUMKM tersebut”. Untuk mengukur kedua tolok ukur terakhir ini memang sulit untuk dapat dilakukan dengan metoda evaluasi sederhana. Kegiatan ini harus juga dapat menjawab berbagai penyebab dari output yang terukur tersebut, untuk itu maka diperlulan adanya kajian yang komprehensif, agar keabsahannya dapat dipertanggung jawabkan.

1.3. Tujuan Pengkajian

Sejalan dengan permasalahan di atas maka tujuan kajian ini ditujukan untuk : a) Menganalisis kinerja UMKM yang menerima bantuan perkuatan khususnya di

bidang produksi dan permodalan serta faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program ;

b) Menemukenali pemanfaatan dan berbagai permasalahan yang dihadapi UMKM dalam program perkuatan dan ;


(21)

1.4. Manfaat Pengkajian

Adapun manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah ; didapatkannya kesimpulan hasil kajian yang menggambarkan dampak program perkuatan bagi perkembangan UMKM, serta permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaannya, sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil kebijaksanaan dalam rangka menyempurnakan kebijakan perkuatan ke depannya. Selain itu kajian ini diharapkan mampu menyajikan alternatif model evaluasi dan monitoring program-program perkuatan yang dilakukan Kementerian Negara Koperasi dan UKM.

1.5. Output Kajian

1. Pelaksanaan program perkuatan yang dilaksanakan antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 khusus untuk dua jenis program utama yaitu Program Sektoral, dan KSU/USP ;

2. Kinerja UMKM penerima bantuan perkuatan dilihat dari aspek pemilikan aset, permodalan, omset usaha, produktifitas, penggunaan teknologi dan laba yang diperoleh ;

3. Kemanfaatan program dari aspek peningkatan pendapatan dan penyerapan kerja serta daya dukungnya dalam mengurangi pengangguran ;

4. Kemanfaatan program terhadap pemberdayaan Koperasi melaui peningkatkan omset usaha dan pelayanan serta partisipasi anggotanya ;

5. Permasalahan yang dihadapi UMKM serta kondisi dan tingkat pengaruh dari faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keberhasilan program dalam mencapai tujuannya serta :

6. Paparan program dari aspek pendekatan, konsepsi, prinsip dan pola pelaksanaan yang dilalukan oleh UMKM.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsepsi Pembangunan Berkeadilan

Slogan-slogan pemberdayaan ekonomi rakyat yang didengungkan pada akhir kekuasaaan rezim orde baru (tahun 1990-an), oleh sebagian kalangan dianggap sebagai program terpojok atau program dadakan. Banyak ekonom yang menilai bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat pada era tersebut hanya dijadikan komoditas politik untuk menutupi kenyataan besarnya peran pemerintah dalam mendukung sistem ekonomi kapitalis, yang dibangun oleh kelompok konglomerat. Komitmen pemerintah yang dinilai semu dicirikan dengan tumbuh dan berkembangnya konglomerasi yang sedemikian cepat, serta korupsi dan nepotisme khususnya di bidang ekonomi yang malah lebih banyak menyengsarakan kehidupan masyakat banyak (Nasution dan Syarif 2002).

Dengan terjadinya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multi-dimensional mulai awal tahun 1997, semakin nyata terlihat bahwa konglemerasi yang dibangun atas kerja sama (baca dengan KKN) antara pejabat pemerintah dengan para pengusaha besar, tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk mempertahankan perekonomian nasional dari gejolak perekonomian dunia. Usaha bisnis para konglomerat sebagian hancur dan sebagian lagi terpaksa ditopang oleh pemerintah dengan dana pinjaman dari luar negeri (dengan dana BLBI). Ironisnya dalam kondisi keuangan negara yang sangat terpuruk tersebut, para konglomerat atau kelompok kapitalis semu ini malah membawa lari sebagian besar asset negara/bangsa dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI sebenarnya merupakan pinjaman atau hutang pemerintah dari luar negeri yang sekarang harus dibayar kembali oleh negara dengan uang rakyat.


(23)

Era reformasi yang diharapkan dapat membawa angin segar bagi pemberdayaaan ekonomi rakyat yang sebagian besar (99,9 %) dibangun oleh kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dalam kenyataannya sampai sekarang ini belum memenuhi harapan. Sistem perekonomian nasional ternyata belum memberikan kesempatan yang signifikan (keberpihakan) pada kelompok UMKM, walaupun kelompok usaha ekonomi ini telah secara nyata memberikan sumbangan yang cukup besar dalam proses penyembuhan perekonomian nasional (National Economics Recovery) dimasa krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu. Hal yang demikian menimbulkan pertanyaan, apakah pembangunan di era reformasi yang cenderung masih menggunakan pendekatan pertumbuhan, akan diandalkan lagi untuk mampu mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia, yang sebagian besar adalah UMKM?. Sedangkan diketahui bahwa konsepsi yang bersandar pada faham neoklasik tersebut nyata-nyata hanya mampu menciptakan keberhasilan semu, yang hancur terkena resesi ekonomi dunia dan gagal total dalam menciptakan pemerataan (Syarif, 2006).

Keterikatan para perencana pembangunan pada konsepsi pembangunan yang bersandar pada faham ekonomi Neoklasik memang banyak menimbulkan pertanyaan dari kelompok ekonom yang lebih reformis. Mereka pada umumnya menghendaki adanya perubahan pendekatan dengan menggunakan berbagai pendekatan pembangunan yang lebih sesuai dengan potensi fisik dan kondisi ekonomi sosial budaya dan politik Indonesia sebagai negara berkembang yang sebelumnya telah mengalami masa penjajahan yang cukup panjang. Dalam hal ini banyak pihak mencoba menyodorkan ide yang bersumber dari berbagai konsepsi pembagunan untuk negara berkembang yang telah banyak dikemukakan baik oleh kelompok-kelompok ekonom strukturalis, kelompok-kelompok ekonom social democrat, bahkan kelompok-kelompok ekonom penganut paham ekonomi kiri baru. Kesemuanya seharusnya perlu dipertimbangkan dalam penyusunan konsep pembangunan nasional (Tjondronegoro, 1986)


(24)

Dalam sistem perekonomian yang menggunakan pendekatan pertumbuhan, memang pemberdayaan UMKM sering terlupakan karena sebagian besar UMKM bergerak pada bidang-bidang usaha yang produktifitasnya rendah seperti sektor pertanian dan jasa informal. Kekeliruan semacam inilah sebenarnya yang telah membangun jebakan ekonomi (economic traps) dalam era orde baru. Kekeliruan tersebut nampaknya tidak terlepas dari kepercayaan yang berlebihan (sindroma) dari para ekonom yang terlibat langsung dalam perencanaan pembangunan dimasa itu, terhadap keberhasilan pembangunan negara-negara barat diawal abat ke sembilan belas yang menerapkan konsepsi pembangunan dari paham neoklasik (Adam smith dan Ricardo). Sidroma tersebut antara lain terlihat dari istilah tinggal landas (take off), yang dipopulerkan oleh (Rustow (1967), sedangkan diketahui bahwa Rustow bukan ekonomi tetapi hanya ahli sejarah ekonomi. Lebih aneh lagi sebagian dari mereka mempercayai apa yang dikatakan oleh Rustow tersebut, sebagai suatu konsep pembangunan ekonomi yang membagi proses pembangunan dalam beberapa tahapan dan berakhir dengan tahapan tinggal landas (take of).

Dengan memperhatikan berbagai hal yang diuraikan di atas dapat dimaklumi bahwa perencanaan pembangunan yang lebih diarahkan pada usaha mengejar pertumbuhan ekonomi semata, sering mengabaikan atau mengesampingkan pertimbangan dari berbagai aspek lainnya termasuk aspek moral. Dalam hal ini Sweezi (1978) menjelaskan bahwa pengabaian aspek moral dalam perencanaan pembangunan yang berorientasi pada pemahaman yang ekstrim dari tiori-tiori ekonomi klasik merupakan gambaran nyata dari kelemahan konsep ekonomi pasar yang dimotori oleh Ricardo. Ricardo merupakan pengikut (murud) Adam smith yang pandangan-pandangannya lebih liberal dari Adam Smith sendiri (Ricardo), cenderung menganggap manusia sebagai Homo economicus. Dalam konsepsi yang demikian kedudukan moral hanyalah mozaik dalam kehidupan manusia yang tidak relevan jika dimasukan dalam kalkulus pembangunan ekonomi, tetapi akan lebih baik jika dipisahkan dulu dan dikalkulasikan dalam pembangunan bidang-bidang sosial yang menjadi penyeimbang pembangunan di bidang ekonomi.


(25)

Satu hal penting lainnya yang terlupakan oleh para perencana pembangunan tersebut adalah kenyataan bahwa sebagian besar negara berkembang seperti Mesir, Pakistan, Argentina dan Filipina telah lebih dulu mengalami kegagalan dalam mereplikasikan konsep pembangunan yang bersumber dari penganut paham pasar bebas. Dalam hal ini Linberg (1988) mengemukakan beberapa alasan ketidak mampuan faham neoklasik dalam mendukung pembangunan di banyak negara berkembang antara lain ; a) Mengagregatkan pembangunan disemua sektor dan daerah yang mempunyai potensi berbeda ; b) mengabaikan peran kelembagaan (institusional) sebagai unsur regulator pembangunan serta ; c) menjadikan manusia sebagai obyek pembangunan.

Dengan adanya kegagalan pembangunan yang menerapkan konsep Neoklasik tersebut, beberapa pakar ekonomi dan Regional sience antara lain Wibber, Isard, termasuk Mosher menyarankan pembangunan ekonomi dari negara-negara yang bersandar pada produk-produk primer dan SDM, akan lebih berhasil jika menggunakan pendekatan potensi regional. Dengan konsepsi yang bersandar pada optimasi sumberdaya potensial ditiap daerah, atau nilai keunggulan komparatif daerah ini, sebagian besar negara berkembang ternyata mampu menggerakkan semua kelompok masyarakatnya untuk turut berperan aktif dalam mendukung pembangunan. Berbagai negara yang dinyatakan berhasil menerapkan konsepsi tersebut seperti Chili, Costarica Pantai Gading Thailand dan Malaysia ternyata tidak menghadapi banyak kendala dan juga tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan politiknya. Ciri keberhasilan penerapan konsepsi tersebut juga sangat spesifik, yaitu meninggkatnya produksi dan pendapatan nasional secara perlahan (antara 1 sampai 2 % per tahun), serta berkurangnya pengangguran yang diimbangi dengan meningkatnya indeks kesejahteran secara merata, yang secara langsung mengurangi kemiskinan.

Keberhasilan pembangunan yang bersandar pada pendekatan potensi regional dinegara-negara berkembang tersebut diatas, pada umumnya mengutamakan pemanfaatan sumberdaya manusia melalui berbagai kegiatan padat


(26)

karya yang merupakan ladang usaha dari kelompok UMKM. Konsepsi ini juga sekaligus memungkinkan pembangunan dilakukan secara merata dan tidak terpusat di daerah center, sehingga masalah ketimpangan pembangunan antar daerah seperti yang terjadi Indonesia yang terpusat di Pulau Jawa, Bali dan kota-besar diluar kedua daerah tersebut seperti Makasar dan Medan, secara langsung juga akan dapat teratasi.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, diketahui bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) masih menjadi sandaran utama dari 86,7 % rumah tangga yang ada di Indonesia. Dalam hal penyerapan tenaga kerja diketahui bahwa kelompok usaha ini mampu menyerap 99,9 % dari jumlah tenaga kerja produktif yang tersedia. Ironisnya peran UMKM dalam mendukung pendapatan nasional (GNP) relatif kecil yaitu pada tahun 2005 baru mencapai 54,47 %. Demikian juga dalam pemilikan modal, jumlah modal yang dimiliki oleh kelompok UMKM hanya sebesar Rp 149,27 triliun atau 4,19 % dari jumlah modal yang digunakan dunia usaha dalam perekonomian nasional. Demikian juga laba yang diperoleh UMKM masih relatif sangat kecil yaitu Rp 211,53 Triliun dibandingkan dengan jumlah UMKM yang sedemikian besar sehingga rata-rata pendapatan per kepala (income per capita) kelompok masyarakat yang tergolong UMKM masih sangat kecil yaitu lebih kurang 3.929.440. atau lebih kurang 435, Dolar AS (Laporan Bank Indonesia tahun 2006)

Kondisi UMKM yang masih marjinal baik dalam hal permodalan maupun pendapatan per kepala seperti diuraikan di atas adalah hampir sama dengan kondisi UMKM dalam struktur perekonomian nasional di era orde baru, yang memang tidak berbasis pada ekonomi rakyat dan sumberdaya nasional. Kurang berperannya UMKM dalam perekonomian nasional pada waktu sebelum krisis moneter tampaknya menjadi salah satu sebab porak porandanya perekonomian nasional. Sebaliknya, membesarnya peran UMKM setelah krisis moneter telah mempercepat proses penyembuhan perekonomian nasional (national economics recovery), sehingga dalam waktu kurang dari lima tahun perekonomian kita berangsur-angsur membaik.


(27)

Namun demikian dalam struktur dan sistem perekonomian nasional yang belum mampu menumbuh kembangkan UMKM dengan sewajarnya, tampaknya juga menyebabkan perekonomian kita masih rawan terhadap goncangan perekonomian dunia.

Kondisi struktur dan kebijakan perekonomian nasional yang belum menem-patkan UMKM dalam posisi yang kuat tidak akan mendukung keberhasilan pem-bangunan perekonomian nasional, serta sulit untuk terhindarkan dari goncangan perekonomian dunia. Demikian juga keterbatasan sumberdaya yang dimiliki UMKM khususnya modal dan teknologi merupakan kendala klasik yang selama ini dihadapi UMKM dalam memperluas kegiatan bisnisnya / usahanya. Sementara peran perbankan / lembaga keuangan formal lainnya dalam mendukung pemberdayaan UMKM masih sangat terbatas dan terlalu hati-hati. Idealnya semua kendala tersebut sejak lama sudah dapat diatasi melalui regulasi perbankan terutama Undang-Undang perbankan yang menjadi dasar kebijakan pemerataan pemilikan modal (capital reform). Namun Ironisnya UU perbankan nomor 14 tahun 1967 yang diperbaharui dengan UU perbankan no 29 tahun 1992 cenderung dalam pemberian kredit masih mengutamakan unsur Capital dan Colateral (berbau Liberal) dengan konsep The five C of Creditnya yang sangat memberatkan UMKM .

Perkuatan UMKM merupakan salah satu alternatif untuk memperkokoh basis perekonomian nasional, namun disadari bahwa agar perkuatan tersebut dapat dilak-sanakan dengan baik, dperlukan perencanaan yang komprehensif, serta kesiapan penyediaan sumberdaya dan waktu. Sebagaimana diketahui bahwa kelemahan UMKM masih sangat banyak antara lain ditandai dengan : a) Ketidakpastian ketersedian bahan baku utama dan bahan tambahan : b) Peralatan dan teknologi produksi yang digunakan sangat sederhana sampai dengan setengah modern, sehingga produktifitas UMKM relatif rendah ; c) Keahlian/keterampilan SDM belum berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi dan produktifitas usaha : d) rata-rata pemilikan modal sangat terbatas : d) Sebagian besar pasar produk UMKM bersifat oligopoli bahkan ada yang cenderung monopoli : f) Kebijakan


(28)

fiskal dan moneter belum sepenuhnya mendukung pengembangan produksi, keahlian, teknologi dan pasar KUKM : g) Prasarana tidak selalu tersedia atau tidak sesuai dengan yang diperlukan dalam rangka pengembangan produksi dan pasar KUKM; g) kebijakan pemerintah dalam upaya perkuatan UMKM terlihat kurang komprehensif dan sering tidak konsisten seperti peraturan perbankan (Banyak dipengaruhi unsur Politis) demikian juga kebijakan di bidang perdaganggan dan perindutrian.

Dengan kondisi awal UMKM serta kondisi lingkungan ekonomi baik mikro maupun makro yang belum sepenuhnya kondusif bagi pemgembangan peran UMKM, maka adalah wajar jika program perkuatan yang dilaksanakan sekarang ini pada dasarnya adalah ditujukan untuk memperbaiki kondisi internal UMKM (ekternalnya belum dilakukan). Namun dalam banyak hal baik dari aspek jenis dan jumlah bantuan perkuatan yang diprogramkan, maupun kebijaksanaan dasar (pendekatan dan petunjuk pelaksanaannya) masih memperlihatkan adanya celah-celah yang dikhawatirkan dapat mengurangi tingkat keberhasilan program tersebut, maka kondisi inilah seharusnya menadapat perhatian lebih banyak untuk dikaji.

2.2. Kebutuhan Kredit Bagi Kelompok miskin

Tidak terlepas konsepsi pembangunan nasional seperti diuraikan di atas, adalah sangat ironis jika dalam era reformasi sekarang ini UMKM dan koperasi tidak juga dapat ditumbuh-kembangkan, sesuai dengan potensi dan perannya dalam perekonomian nasional. Tetapi kondisi tersebut merupakan kenyataan. Jika diperhatikan selama delapan tahun reformasi sudah berjalan, kedudukan UMKM dalam mengurangi pengangguran dan sumbangannya terhadap PDB memang semakin membaik. Hal tersebut dapat diperlihatkan dari semakin membesarnya peran UMKM dalam penyerapan tenaga kerja (hampir 87 % rumah tangga) dan sumbangannya terhadap PDB yang mencapai 54,7 %. Tetapi disisi lain terlihat bahwa kondisi UMKM sendiri semakin memburuk, seperti rata rata permodalan yang dimiliki oleh usaha mikro hanya sebesar Rp 1.123.000, Usaha kecil hanya sebesar Rp 29.430.000 dan Usaha menengah hanya sebesar Rp 3.435.212.000 (BPS 2006).


(29)

Demikian juga dalam hal kemampuan penyerapan modal dari bank-bank nasional. Kelompok usaha mikro yang jumlahnya mencapai 44.240.000 rumah tangga hampir tidak pernah tersentuh bantuan permodalan dari bank-bank komersial, kelompok usaha kecil hanya mampu menyerap modal sebesar 11,76 Triliun (dari total kredit yang disalurkan oleh perbankan nasional tahun 2004 sebesar Rp728,3 triliun) dan usaha menengah hanya mampu menyerap 40,6 triliun saja (Syarif, 2006).

Bank Indonesia dari hasil penelitiannya tahun 2004 mengemukakan bahwa kelompok UMKM memang tidak, atau kurang berminat untuk memperoleh bantuan dana dari perbankan. Hanya 32 % dari mereka yang masuk dalam kelompok usaha mikro dan usaha kecil yang menyatakan memerlukan bantuan modal dari pinjaman bank dan hanya 76 % dari 32 % yang membutuhkan tersebut menyatakan pernah meminta pinjaman kredit dari perbankan. Hal ini adalah sangat kontroversial dibandingkan dengan kenyataan di lapang yang antara lain pernah di kemukakan oleh Sondakh, Hafiz dan Mubyarto tahun 1987, bahwa kebutuhan kredit (demand of kredit) di lingkungan usaha kecil dan mikro di pedesaan adalah sangat besar, mencapai 97,8 %. Ironisnya 67 % dari kebutuhan kredit usaha mikro dan usaha kecil tersebut didapatkan dari pinjaman para pelepas uang (rentenir). Dari sini timbul pameo bahwa “rentenir bukan lintah darat tetapi “malaikat penolong” yang memberikan kehidupan perekonomian masyarakat kecil terutama di perdesaan”.

Memang banyak orang tidak dapat mengerti dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) tersebut, tetapi mungkin saja metoda dan asumsi yang digunakan oleh BI tidak valid. Dalam hal ini Hafidz dan Sondakh (1987) dari hasil penelitiannya di 27 Propinsi di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa kelompok miskin memerlukan bantuan pinjaman modal. Bank komersial tidak dapat dijadikan sandaran oleh kelompok miskin karena kelompok ini tidak akan mampu memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak Bank (The Five C of Credit). Hal ini juga telah dikemukakan oleh Yunus (2002) bahwa ”Bank komersial mengharuskan adanya jaminan dan berbagai persyatan adminidtratif alinnya, yang tidak mungkin dipenuhi oleh mereka (kaum miskin). ”Yang sangat diperlukan adalah bagaimana


(30)

menghubungkan pekerjaan yang mereka lakukan dengan ketersediaan modal agar memungkinkan kelompok ini meningkatkan kemampuan ekonomi mereka, dan memperoleh sumber pendapatan”. Isini sebenarnya peran pemerintah beralaku adil untuk berpihak kepada kelompok masayarakat yang jumlahnya paling (UMKM), tetapi keberpihakan tersebut sampai sekarang belum juga terlihat.

Lebih lanjut dikatakan oleh Yunus, masyarakat miskin memiliki kemampuan untuk menciptakan kekayaan sama seperti orang lain. Akses pada kredit memberikan mereka kesempatan untuk keluar dari perangkap lemahnya permodalan yang menjebak mereka dalam lingkaran setan kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty). Berikan kesempatan kepada mereka untuk mencoba kemampuannya dan menciptakan kekayaan dalam jumlah besar. Dengan pinjaman kredit, pelanggan (orang miskin) dapat menciptakan lapangan kerja sendiri, dan kebanyakan juga mempekerjakan seluruh keluarganya atau orang lain (mengurangi peangangguran).

Young Chul Kim (1971) berpendapat perekonomian masyarakat miskin ini ditandai dengan akumulasi modal yang rendah. Sejumlah kecil uang dan surat berharga beredar dan berpindah tangan dengan cepat dan membentuk ilusi ekonomi. Bahwa ada tersedia banyak uang untuk semua orang. tetapi padahal sistem tersebut tidak memberikan kesempatan untuk terbentuknya akumulasi modal dan investasi dalam jumlah besar karena terikat dengan sejumlah besar uang yang beredar dalam sistem itu sendiri. Hal inilah yang mempersulit posisi orang miskin untuk mendapatkan kredit, bahkan sebaliknya ada kecenderungan akumulasi dana dikalangan bawah untuk ditarik keatas seperti yang dilakukan melalui berbagai bentuk tabungan oleh perbankan sekarang ini. Tabungan-tabungan itu sendiri cenderung memberikan tingkat bunga yang relatif sangat kecil (lebih kecil dari sertifikat Bank Indonesia) sehingga dapat dikatakan sebagai strategi perbankan untuk mendapatkan dana murah dari masyarakat untuk membiayai keperluan usaha konglomerasinya.


(31)

Agar bisa berhasil masyarakat miskin membutuhkan bantuan yang terorganisir untuk meningkatkan pendapatan dan produktivitas mereka. Tapi penyediaan bantuan seperti itu akan sangat mahal bagi lembaga yang juga membutuhkan percobaan untuk menentukan metode kerja dan mekanisme pelaksanaan yang cocok. Masyarakat miskin tidak akan bisa menanggung seluruh biaya yang berkaitan dengan penerapan dan pelaksanaan program-program tersebut. Keberhasilan replikasi bergantung pada adanya dana subsidi pada tahap awal dan yang terutama sekali pada kreatifitas dan komitmen pemimpinnya (Muhammad Yunus 2006).

Apa yang dikatakan oleh Yunus telah dibuktikan dengan keberhasilan Grameen Bank bukan hanya menjadi sumber permodalan bagi kelompok miskin,tetapi berperan sebagai lembaga pendidikan, lembaga informasi dan lembaga kekerabatan dari para anggotanya. Grameen Bank (GB) bukan bank konvensional yang hanya berhubungan dengan nasabah terbatas dari aspek ekonomi, tetapi bersifat multidimensil dari segala aspek kehidupan kelompok miskin, serta memasukan unsur sosial budaya “Grameen Bank adalah loncatan budaya manusia yang meninggalkan teori ekonomi klasik dan terbebas dari unsur politis”.

Grameen Bank menugaskan dirinya untuk terutama sekali memberikan pinjaman kepada yang paling miskin. Dan perempuan merupakan jumlah terbanyak dari kelompok yang terpinggirkan diantara yang paling miskin dari yang miskin. Pemberdayaan ekonomi perempuan memiliki dampak yang sangat besar terhadap terbentuknya keluarga yang stabil. Kamaruddin (1998) mengemukakan bahwa Dua hal yang menyolok dari konsep perkreditan yang diprakarsai oleh Muhammad Yunus yaitu ; yang pertama sebagian besar pelanggannya adalah perempuan dan ; yang kedua misinya bukan bergerak dibidang keuangan saja, tetapi dari semua aspek kesejahteraan anggotanya. Grameen Bank merupakan satu-satunya bank di dunia ini yang mendorong pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, sanitasi dan lingkungan yang bersih.


(32)

2.3. Pendekatan Sasaran Dan Konsep Perkreditan

Pendekatan program perkuatan sebagai program perkreditan adalah pemerataan pemilikan asset dalam rangka memperkuat potensi usaha kelompok UMKM agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya. Tujuan akhir (output) dari program ini adalah meningkatkan pendapatan UMKM dan perluasan lapangan kerja dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan dan pengangguran. Sasaran program perkuatan terutama adalah kelompok mikro dan usaha kecil. Dari pendekatan dan dan sasaran program ini maka idealnya program perkuatan sebagai bentuk kredit mikro yang titujuakan untuk kelompok masyarakat miskin harus memperhatikan karakteristik atau ciri-ciri dari kelompok tersebut dari aspek ekonomi dan sosial.

Menurut Hayami dan Kikuchi (1967) dalam Syarif (1990) kelompok ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut ;

1) Berpendidikan rendah sehingga sulit untuk dapat memahami prosedur perkreditan dari perbankan yang relatif rumit ;

2) Tidak memiliki harta atau kekayaan yang dapat dijadikan agunan sehingga tidak memenuhi syarat perbankan yang menerapkan prinsip kehati-hatian dengan konsep The Five C of Credit.

3) Keperluan kredit tidak hanya untuk biaya produksi, tetapi juga sebagaian sering digunakan untuk biaya konsumsi sebelum berproduksi ;

4) Kegiatan usaha tradisional yang lebih didominansi penggunaan tenaga kerja (Labour intensive), sedangkan investasi dan modal kerja yang digunakan relatif kecil, maka mereka masuk dapat dimasukan dalam kelompok usaha mikro dan atau usaha kecil ;

5) Sebagian besar kegiatan UMKM dapat dilaksanakan (perdagangan, industri kerajianan, penggalian, angkutan dan sektor informal) dalam waktu yang singkat sehingga turn over dari kegiatan usahanya sangat cepat (antara 1 sampai 7 hari per satu kali putaran), kecuali untuk kegiatan di sektor pertanian

6. Sangat tergantung pada kesempatan (opportunity) yang relatif sempit dengan time lag yang relatif sempit ;


(33)

7. Margin yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang digunakan relatif besar, yang bervariasi (di Indonesia antara 3,8-87,6 % per bulan) tergantung pada jenis kegiatan yang diusahakan ;

8. Solidaritas dalam kelompok relatif besar ;

Oleh karena program-program kredit mikro yang dilaksanakan oleh pemerintah pada umumnya ditujukan untuk masyarakat miskin dengan ciri-ciri seperti disebutkan di atas, maka idealnya program-program perkreditan tersebut memiliki prinsip dasar sebagai berikut :

a) Tidak menggunakan agunan, atau agunan dapat digantikan dengan social capital yang ada dikalangan kelompok itu sendiri, seperti yang digunakan dalam konsep perkreditan Grameen Bank di Bangladesh ;

b) Prosedur peminjaman dibuat sesederhana mungkin agar lebih mudah dipahami ;

c) Penggunaan kredit tidak dibatasi pada satu atau beberapa jenis kegiatan uasaha saja, mengingat jenis kegiatan dan keperluaan kelompok miskin ini sangat beragam ;

d) Waktu proses pengajuan kredit sampai pencaiaran kreditnya singkat (cepat) ; e) Jumlah yang diberikan sesuai atau mencukupi dan .

f) Tingkat bunga diperhitungkan berdasarkan jenis sektor kegiatan yang dilaksanakan karena setiap sektor kegiatan usaha memiliki besar margin yang berbeda. Untuk menghindari terjadinya manipulasi kredit oleh kelompok pelaksana maupun kelompok lain yang ingin mengambil kesempatan dari adanya subsidi bunga, maka subsidi bunga harus ditiadakan atau tingkat bunga minimal adalah sama dengan bunga Bank komersial

Dengan memperhatikan berbagai program perkreditan bagi kelompok UMKM yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak era orde baru yang lalu, nampaknya kelima prinsip dasar kredit untuk kelompok miskin seperti disebutkan di atas hampir tidak pernah ada. Kalaupun ada, hanya satu prinsip saja yang sering digunakan yaitu tidak menggunakan agunan. Sebagai kompensasi dari tidak disyaratkannya agunan


(34)

maka dibuat prosedur perkreditan yang sangat tertutup, sehingga sangat menyulitkan bagi UMKM dan menyebabkan cost of credit menjadi tinggi, tetapi membuka peluang terjadinya manipulasi dana ditingkat penyalur. Dalam hal ini para perancang program kredit mikro masih terkungkung pada dogma bahwa kredit untuk orang miskin harus dengan bunga yang rendah. Pendapat ini sangat tidak realistis dan telah dibantah oleh puluhan pakar, termasuk oleh Muhammad Yunus sebagai pendiri Grameen.

Terkait dengan dogma atau mitos bahwa kredit untuk orang miskin harus dengan bunga rendah atau bersubsidi, Gonzalaes (1982) malah merumuskan Hukum Besi perkreditan yang dinamakan The iron law of credit atau Hukum besi Gonzales. Disini Gonzales mengumpamakan bunga yang besar sebagai besi, sedangkan bunga ringan (bersubsidi) sebagai kapas. Hanya besi yang akan turun kebawah atau dikonsumsi oleh orang miskin, sedangkan kapas akan ditangkap di atas oleh orang tertentu, baik penyalur kredit maupun pihak-pihak lainnya.

Dalam hal bunga kredit ini Syarif (1990) dari hasil penelitiannya terhadap Kredit Candak Kulak (KCK) di kabupaten Subang Jawa Barat (1987), mengatakan bahwa bunga kredit tidak berpengaruh nyata terhadap effektifitas dan efisiensi penggunaan kredit, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap ketepatan sasaran pemberiann kredit (bunga yang rendah dapat menyebabkan salah sasaran). Sebaliknya biaya untuk mendapatkan kredit sampai dengan pengembaliannya (cost of credit), berpengaruh nyata (pemborosan) terhadap efektifitas dan efisiensi penggunaan kredit. Pada kredit-kredit bersubsidi, karena persyaratan yang sedemikian ketat menyebabkan cost of credit menjadi tinggi. Biaya yang tinggi ini harus ditanggung oleh peminjam, yang dalam hal ini adalah UKM, sehingga manfaat yang diperoleh menjadi berkurang. Bagaimana kesesuaian pola perkreditan dalam program perkuatan UMKM yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM dibandingkan dengan kriteria pola kredit mikro yang dikembangkan dari hasil penelitian dan yang telah dikemukakan oleh para ahli kredit mikro, merupakan bahan yang perlu dibahas mendalam dalam kajian ini.


(35)

2.4. Konsep Dasar Program Perkuatan UMKM

Yang dimaksud dengan kelompok UKM dalam tulisan ini adalah kelompok usaha mikro yaitu kelompok masyarakat yang bergerak pada berbagai kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal, dalam arti belum terdaftar, atau tercatat sebagai pengusaha pada instansi pemerintah dan belum berbadan hukum, dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 100.000.000, atau kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 usaha kecil adalah kegiatan usaha ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria ; a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000 ; c) milik warganegara Indonesia ; d) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki atau dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan ; e) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Yang dimaksud dengan usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang memenuhi kriteria ; memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp.200.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sesuai dengan ketentuan Inpres nomor 10 tahun 1999, para menteri sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing dapat menetapkan kriteria usaha menengah secara sektoral dengan ketentuan bahwa kekayaan bersih paling banyak Rp 10.000.000.000,- ; milik warganegara Indonesia ; c) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki atau dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan d) Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi.

Berbagai komitmen yang berkaitan dengan upaya memberdayakan UMKM sangat banyak dan hampir terjadi setiap hari diperdengarkan di banyak tempat dan disegala aspek pembangunan. Tetapi komitmen tersebut nyaris hanya merupakan isu


(36)

yang pada akhirnya tidak mendapat tanggapan yang signifikan baik dari kalangan pemerintah, lembaga legislatif, para ekonomi maupun masyarakat luas. Komitmen pemberdayaan UMKM dari berbagai aspek dan bentuknya, biasanya hanya diperdengarkan dilingkungan diskusi-diskusi ilmiah atau pidato-pidato politis. Sifat komitmen itu sendiri lebih sering hanya berupa kesimpulan diatas kertas, tanpa diikuti dengan program-program nyata di lapang. Hal yang demikian tampaknya juga mewarnai program perkuatan yang dilaksanakan sekarang ini. Komitmen untuk memberdayakan UMKM lebih bersifat slogan, yang diindikasikan dari rendahnya dana yang disediakan untuk program perkuatan tersebut yaitu hanya sebesar Rp 2,35 triliun untuk tiga tahun terakhir ini (2004 sampai dengan 2006). Dana tersebut sangat kecil dibandingkan dengan UMKM yang jumlahnya lebih kurang 44 juta rumah tangga. Dengan perkataan lain setiap UMKM baru dihargai sebesar Rp 53.440 per orang. Bandingkan dengan pengusaha besar yang perorangan bisa mendapat pinjaman triliunan rupiah

Kajian dari aspek positif / logis mengindikasikan bahwa keperluan menjadikan UKMK sebagai sektor usaha prioritas dan pelaku utama kegiatan ekonomi nasional didasarkan pada pemikiran bahwa kelompok usaha ini memiliki keunggulan di bidang penyediaan lapangan kerja, dapat berperan sebagai unsur pengembangan ekonomi lokal, penciptaan pasar baru dan juga mampu mendukung inovasi baru, baik dibidang teknologi produksi maupun pemasaran produknya. UKM memiliki potensi untuk menjadi pendukung potensial neraca pembayaran melalui pengembangan berbagai komoditas ekspor. UKM dengan kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja akan mampu menjadi penyelaras struktur perekonomian, sedangkan UMKM yang dibangun oleh sebagian besar warga masyarakat secara langsung mapu berperang dalam mengurangi pengangguran, menurunkan tingkat kemiskinan, mendinamisasikan sektor riil, memperbaiki pemerataan pendapatan.

Urgensi pemberdayaan UMKM juga dapat diperhatikan dari berbagai keunggulan UMKM yang selama era orde baru kurang mendapat perhatian antara lain ;


(37)

1) Tingkat ketergantungan UMKM terhadap pengusaha besar relatif berimbang, yaitu ketergantungan usaha mikro dan usaha kecil terhadap usaha besar hanya 14,9 %. Sebaliknya ketergantungan usaha besar terhadap produk-produk usaha kecil adalah sebesar 11,3 %. Data ini mengindikasikan bahwa kaitan kerjasama yang saling mendukung antara usaha kecil dengan usaha besar relatif belum signifikan karena hanya kurang dari 20 %.

2) Saling mendukung dari kedua kelompok yang merupakan komponen pembangunan ekonomi tersebut sangat diperlukan.

3) Keunggulan dari kelompok UKM dalam mendukung perekomian nasional juga terindikasi dari setiap perubahan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan UMKM akan memiliki dampak peningkatan ouput ekonomi nasional yang lebih besar dari pada perubahan permintaan terhadap usaha besar. Dengan output UKMK terhadap pertumbuhan ekonomi nasional lebih besar dibandingkan dengan elastisitas produk usaha besar. Hal yang demikian dimungkinkan karena umumnya sektor UMKM memiliki daya penyebaran dan indeks daya kepekaan yang relatif tinggi. Beberapa bidang kegiatan UKMK yang memiliki elastisitas relatif tinggi antara lain : industri sepeda, barang perhiasan, minyak, penggilingan padi, hasil pengolahan kedelai, bambu rotan, jasa restoran, industri pakaian jadi, unggas dan hasil-hasilnya. Sedangkan UKMK yang mempunyai daya kepekaan yang tinggi antara lain adalah UKMK yng bergerak pada kegiatan usaha ; jasa perdagangan, bangunan, kayu dan hasil hutan, jasa lembaga keuangan, sewa bangunan, tebu karet, dan industri tekstil.

4) Dari aspek penyerapan investasi, kelompok UMKM memiliki nilai indeks yang relatif paling rendah yaitu 18,58 %, sedangkan usaha menengah 23,05 % dan usaha besar 58,37 %. Rata-rata investasi usaha mikro dan usaha kecil, adalah Rp.1,467 juta, usaha menengah 1,29 miliar dan usaha besar 91,42 miliar. Usaha kecil memiliki ICOR dan selang waktu (lag) yang relatif rendah, sehingga sangat efisien dalam memanfaatkan investasi.


(38)

5) Dari aspek produktifitas UKM ditandai dengan rendahnya ; produktifitas usaha dan produktifitas tenaga kerja. Selain itu, kelompok UKM dengan jumlah investasi, nilai tambah, pangsa pasar, dan terbatasnya jangkauan pasar, permodalan akses terhadap pembiayaan, manajemen profesionalisme dan kualitas SDM, serta belum adanya batasaan yang tegas antara keuangan pribadi dengan keuangan perusahaan,

6) Walaupun produktivitas perusahaan maupun produktivitas perorangan kelompok UMKM nilai indeks yang relatif rendah, tetapi memiliki tren laju pertumbuhan yang positif. UMKM yang memiliki produktivitas tertinggi adalah mereka yang bergerak di sektor keuangan, persewaan, dan perusahaan. Usaha menengah yang paling produktif adalah mereka yang bergerak disektor pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan sedangkan kelompok usaha besar yang paling produktif adalah mereka yang bergerak di sektor pengolahan hasil, listrik gas dan air bersih.

Perkuatan sumberdaya UMKM idealnya memang sangat diperlukan mengingat banyaknya kendala / permasalahan yang dihadapi oleh UMKM dalam mengembangkan usahanya dari hulu sampai ke hilir. Namun demikian juga perlu diingat bahwa pembangunan UMKM sejak lama sudah terjebak dalam lingkaran pemasalahan, mulai dari permodalan, ketersedian bahan baku, teknologi produksi dan kualitas hasil, sampai dengan pemasarannya. Pengembangan usaha UMKM juga menghadapi kesulitan dalam hal modernisasi usaha baik dibidang teknik produksi maupun manajemennya. Untuk itu juga perlu diwaspadai akan terjadinya kemungkinan bahwa pelaksanaan program perkuatan sumberdaya UMKM juga dapat terjebak dalam lingkaran permasalahan UMKM sendiri. Sebagai antisipasi seharusnya program ini sudah disertai dengan sistem perencanaan, monitoring/ pengawasan dan sistem evaluasi yang solit, apalagi mengingat bentuk bantuan yang diberikan banyak bersifat parsial yang seharusnya benar-benar mengenai sasaran kebutuhan UMKM yang bersangkutan.


(39)

Program perkuatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara UMKM dalam beberapa tahun terakhir ini dapat dikelompokkan menjadi 5 aspek kegiatan bisnis (bahan baku, modal, teknologi, pasar, dan manajemen) yang meliputi berbagai sektor dan jenis kegiatan UMKM. Pada tahun 2005 ada 12 Jenis kegiatan yang diprogramkan yaitu : program penjaminan kredit, pengembangan usaha KSP/USP, perkuatan dibidang produksi seperti pengadaan bibit sapi perah dan perahu nelayan, kredit pola syariah, perkreditan untuk pengembangan program agribisnis, kemitraan usaha, program modal awal dan padanan (MAP) kredit modal ventura, penyediaan sarana usaha pedagang kaki lima, pengembangan pasar tradisional, dan dan program pengembangan usaha distribusi retail. Dari aspek perencanaan tampaknya program-program yang dilaksanakan tersebut akan dapat berjalan dengan baik, karena semua aspek bisnis UMKM (bahan baku, modal, peralatan / teknologi, serta pasar) sudah tercakup di dalamnya, namun perlu diingat bahwa program tersebut disebarkan dibanyak daerah dan tidak ada disatu lokasipun juga yang memiliki ke lima bentuk program tersebut secara bersamaan. Pada umumnya satu daerah hanya diprogram satu atau paling banyak dua kegiatan, padahal daerah tersebut memerlukan tiga atau empat jenis perkuatan.

Jika diperhatikan pada dasarnya bantuan perkuatan (empowering) yang disalurkan pemerintah melalui Kementerian Negara Koperasi dan UKM, maupun melalui instansi lainnya adalah usaha untuk menstimulir pertumbuhan ekonomi masyarakat, untuk mendukung kebijakan dalam pemberdayaan dan pengembangan peran UMKM. Oleh sebab itu secara umum program bantuan perkuatan diharapkan akan memberi dampak bagi : a) meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaaan, b) meningkatkan volume usaha UMKM dan koperasi, c) meningkatkan penyerapan tenaga kerja, d) meningkatkan semangat berusaha dan berkoperasi, e) meningkatkan pendapatan UMKM baik koperasi maupun anggotanya ; serta f) membangkitkan etos kerja. Dalam program-program perkuatan ini koperasi dapat berfungsi ganda yaitu, koperasi sebagai penyalur dan koperasi sebagai badan usaha yang juga merupakan UKM.


(40)

Dari uraian di atas terlihat bahwa baik dari jumlah maupun jenis program perkuatan yang telah disalurkan sudah cukup banyak, namun jumlah tersebut masih relatif sedikit dan terbatas bila dibandingkan dengan jenis kegiatan serta jumlah UMKM yang sangat banyak. Sebagai gambaran dapat dikemukakan jika 30 % saja dari UMKM membutuhkan kredit yang besarnya Rp 5 juta, maka dana yang diperlukan oleh UMKM mencapai Rp 66 Triliun, sedang semua jumlah dana perkuatan yang disalurkan untuk UMKM pada program ini pada antara tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 baru lebih kurang 2,35 Triliun Rupiah atau baru mencukupi untuk 3,56 % UMKM yang membutuhkannya. Dengan perkataan lain jumlah tersebut relatif masih sangat kecil walaupun digunakan dengan pola bergulir (model ventura).

Idealnya bantuan perkuatan dari program pemerintah ini memang dapat berfungsi sebagai stimulator bagi pengembangan bisnis UMKM sekaligus membantu pembangunan koperasi. Niat pemerintah untuk turut membangun koperasi terlihat dengan ditetapkannya penyaluran melalui dua jalur yang salah satunya adalah melalui koperasi. Walaupun penyaluran dilakukan melalui dua jalur, tetapi pada dasarnya pola bantuan perkuatan ini relatif adalah sama yakni disalurkan kepada UMKM (yang sebagian adalah anggota koperasi). Perbedaan diantara keduanya terletak pada sasaran penerima, pemanfaatan dan besar alokasi dana yang ditentukan oleh jenis unit bisnis yang dikelola oleh UMKM

Selain bantuan perkuatan dari Kementerian Negara KUKM, ada juga bantuan perkuatan yang bersumber dari instansi dan pihak-pihak lain yang memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu dalam upaya pemberdayaan UMKM, antara lain bantuan perkuatan dari Departemen kelautan dan perikanan, serta Pemerintah daerah. setempat.

Disamping jumlahnya yang relatif belum memadai, pola perkreditan dalam program perkuatan ini juga perlu mendapat perhatian karena ; a) masih menggunakan subsidi bunga yang berarti masih membuka peluang terjadinya


(41)

manipulasi dalam sistem penyaluran ; b) pengalokasian kredit baik dari aspek jumlah maupun jenisnya dirancang secara agregat di tingkat pusat ; c) prosedur mendapatkan kredit yang masih pekat dengan sistem birokrasi ; d) Tolok ukur keberhasilan kredit belum memasukkan unsur kemafaatan kredit bagi peminjam, bagi koperasi sebagai dan dampak program tersebut terhadap pembangunan daerah dan ; e) ketepatan saran belum masuk dalam tolok ukur keberhasilan program.


(42)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Dasar Pengkajian

Banyak orang berpendapat perekonomian bangsa Indonesia sekarang ini memang sudah terlepas dari dampak krisis moneter, tetapi pembangunan ekonomi cenderung mengalami stagnasi yang dicirikan dari rendahnya angka pertumbuhan dan semakin rendahnya tingkat kesejahteraan dari sebagian besar masyarakat. Ketimpangan produksi dan pendapatan diantara kelompok masayarakat memang sudah tidak terlihat lagi karena memang produktifitas bangsa ini sudah sangat rendah dan usaha besar juga tidak berkembang seperti pada era orde baru. Yang jadi permasalahan untuk lima atau sepuluh tahun kedepan adalah rendahnya tingkat pendapatan dari sebagain besar masyarakat yang diindikasikan dari tingginya angka kemiskinan (menurut Bank Dunia per bulan Oktober 2006 angka kemiskinan mencapai 100 juta orang atau 40 % dari rakyat Indonesia), serta pengangguran. Sejarah telah membuktikan bahwa kedua kondisi ini (kemiskinan dan pengangguran merupakan faktor utama kehancuran suatu bangsa, oleh sebab itu masalah ini harus secepatnya dapat diatasi.

Rencana Tindak Jangka Menengah Koperasi dan UKM (RTJM) 2005-2009 merekomendasikan tiga strategi pengembangan UKM yang akan dilaksanakan secara bertahap. Rekomendasi ini merupakan bentuk pendekatan keterpaduan dalam program pengembangan UKM. Tiga strategi pengembangan UKM dalam RTJM adalah :

(i) menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi UKM,

(ii) menguatkan daya saing UKM dengan meningkatkan akses kepada dan kualitas dari jasa non keuangan, dan


(43)

Rekomendasi bagi komponen lingkungan usaha pada MTAP diarahkan pada penciptaan lingkungan usaha yang kondusif melalui perbaikan tata kelembagaan untuk perumusan kebijakan UMKM dan implementasinya, perbaikan kerangka pengaturan di tingkat nasional maupun daerah dan peningkatan akses UMKM dan stakeholder terkait ke informasi.

Konsepsi di atas masih bersifat normatif, oleh sebab itu harus ditindak lanjuti dalam berbagai pola operasional positif yang akan dilaksanakan di lapang. Untuk membangun pola yang demikian masih diperlukan berbagai pemikiran strategis sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial politik dan budaya yang berkembang pada masa lima tahun kedepan (terhitung tahun 2005). Dalam hal ini Eugene dan Morce (1965) dalam Tambunan (2001), mengatakan ada 4 (empat) tipe kebijakan pemerintah yang sangat menentukan pertumbuhan UMKM. Yaitu :

(1) Kebijakan do nothing policy pemerintah apapun alasannya sadar tidak perlu berbuat apa-apa dan membiarkan UKM begitu saja ;

(2) kebijakan memberi perlindungan (protection policy) terhadap UKM: kebijakan ini bersifat melindungi UKM dari kompetisi dan bahkan memberi subsidi,

(3) kebijakan berdasarkan ideology pembangunan (developmentalist): kebijakan ini memilih industri yang potensial (picking the winner) namun tidak diberi subsidi dan ;

(4) kebijakan yang semakin popular adalah apa yang disebut “market friendly policy” dengan penekanan pada pilihan brood based, tanpa subsidi dan kompetisi.

Pada masa lalu, pemerintah memilih kebijakan tipe kedua (protection) akan tetapi kerangka tujuan jatuh pada pilihan ketiga, yakni developmentalist. Hasilnya baik industri besar dan kecil menengah tidak berhasil. Ketidak berhasilan ini disebabkan oleh lingkungan yang diciptakan oleh kebijakan tersebut pada dasarnya membuat UMKM masuk usaha yang tumbuh secara distorsif. Oleh karena itu pilihan kebijakan yang menempatkan UMKM sebagai entitas yang perlu diproteksi dan subsidi perlu dievaluasi dalam konteks mempersiapkan UMKM menghadapi pasar bebas. Apalagi kalau pemerintah sudah berketetapan menjadikan UMKM sebagai


(44)

salah satu sektor ekonomi andalan penghela pertumbuhan setelah keberhasilannya menjadi safety net pada saat krisis.

Dalam hubungan ini, dewasa ini, semakin jelas bahwa UMKM secara dikotomis dibagi ke dalam dua jenis definisi. UMKM dengan definisi usaha mikro dibedakan dengan usaha kecil dan menengah yang dianggap potensial dapat dikembangkan. Akan tetapi sesungguhnya distribusi UMKM yang pincang, dimana usaha mikro dalam jumlah yang sangat besar (melebihi 2,5 juta unit) sedangkan usaha kecil potensial mungkin tidak lebih dari 300 ribu unit dan usaha menengah di Indonesia sama sekali belum jelas. Kaitannya dengan kebijakan yang terbangun dalam persepsi yang popular adalah usaha kecil mikro cocok untuk “welfare policy” sedangkan untuk UMKM adalah competitive business policy. Persepsi ini sebenarnya justru menimbulkan bias dalam pengembangan UKM dan kekaburan kebijakan pengembangan UKM. Di sini terlihat UU No.9/1995 tentang UKM tidak dapat memberi jalan keluar, kecuali hanya mampu mengakomodasi semua pendapat. Kalau dibangun kebijakan bersifat kategorial target, maka UU No.9, 1995 kurang dapat memberi jawaban.

Sebenarnya, kalau diamati secara mendalam ketahanan UMKM dalam menghadapi krisis ekonomi bukanlah ditentukan oleh kebijakan pemerintah, melainkan ditentukan oleh lingkungan ekonomi dan daya adaptasi dari UMKM itu sendiri terhadap iklim mekanisme ekonomi pasar persaingan selama ini. Berbagai penelitian yang disponsori The Asia Foundation (TAF) dan Swisscontact menunjukkan bahwa daya survival dari UKM cukup tinggi. Menarik untuk dikaji hasil statistik dua sensus BPS (Kusnadi Saleh dan R. Heriawan, 1999)1, tentang perkembangan (jumlah) industri manufaktur antara tahun 1986 dengan 1996 (sebelum krisis). Jumlah industri pengolahan berskala kecil tahun 1986 tumbuh dari 1,5 menjadi 2,8 juta unit atau tumbuh dari sekitar 13 menjadi 23% atau tumbuh sekitar 80%. Di sisi penyerapan tenaga kerja untuk periode yang sama nampak pertumbuhan absorbsi indsutri besar lebih cepat dari industri kecil, tercatat tumbuh dari 3,5 menjadi 6,6 juta (tumbuh sekitar 89%) sedangkan industri besar dan sedang

1


(1)

langsung dalam pelaksanaan program perkuatan UMKM dengan kondisi ideal yang diperoleh dari studi pustaka.

b) Analisis Evaluatif (kuantitatif) :

Analisis evaluatif (kuantitatif ) diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan bantuan program perkuatan dari tiga aspek keluaran yaitu

1) Dampaknya terhadap peningkatan pendapatan yang diindikasikan dari peningkatan omset usaha UMKM. Dalam analisis regresi dilambangkan dengan Y1

2) Dampaknya terhadap peningkatan pendapatan (keuntungan bersih) UKM yang dalam analaisis regresi akan dilambangkan dengan Y2

3) Dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dengan output akhir pengurangan angka pengangguran, melalui tambahan keperluan tenaga kerja karena adanya peningkatan kapasitas produksi UMKM (Y3)

4) Prediksi dampak terhadap peningkatan pendapatan kotor daerah, melalui peningkatan nilai tambah yang dihasilkan UMKM dari adanya peningkatan produksi UMKM. Oleh karena keterbatasan sumberdaya dalam pengkajian ini maka dampak kebelakang (back word) dan dampak kedepan dari adanya peningkatan kegiatan UMKM belum dapat dihitung. (harus dengan model analisis Input output

5) Dampak pelaksanaan program perkuatan terhadap pemberdayaan koperasi penyalur yang diindikasikan dari pertumbuhan volume dan sisa hasil usaha koperasi dari kegiatan penyaluran kredit program perkuatan serta pertumbuhan jumlah anggota dan partisipasi anggota

6) Dampak pelaksanaan program perkuatan terhadap beberapa indikator keberhasilan lainnya yang bersifat non parametrik, yang akan dilihat dengan menggunakan pendekatan tertentu seperti peningkatan etos kerja (melalui pendekatan pertambahan jam kerja UMKM).


(2)

4.6.1. Model-Model Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif ditujukan untuk mengetahui dampak program perkuatan terhadap ke enam indikator keberhasilan program tersebut seperti dikemukakan di atas. Untuk tujuan ini akan digunakan model-model analisis statistik sederhana, nilai rata-rata tengah (mean dilambangkan dengan U) dan untuk menghitung bias kesimpulannya digunakan koefisien deviasi populasi V (variance). Model kecenderungan digunakan untuk mengetahui manfaat suatu bantuan perkuatan ,serta teknik uji beda untuk melihat dampak bantuan perkuatan terhadap UMKM dengan membandingkan kinerja bisnis UMKM sebelum dan sesudah mendapat bantuan perkuatan. Analisis distribusi frekwensi digunakan untuk melihat profil kecenderungan variabel yang dianalisis.

U = E /n V =

Dimana ; U adalah E adalah

N adalah jumlah populasi V adalah

Untuk analisis evaluatif digunakan model analisis regresi berjenjang (step wise analisys) dengan 3 faktor tidak bebas (dependent variable) dan 15 variable bebas (X) .

Model dasar analisis regresi berganda Y ij = a +Bxij + e

Dimana : Yij = Keragaan Dependent Variabel yang dianalisis a = Intersep

B = Constanta

Xij = Variabel Independent e = Galat (kesalahan baku).


(3)

Variable tidak bebas di atas yaitu ;

Y1. Dampak program perkuatan terhadap peningkatan omset usaha UMKM

Y2. Dampak program perkuatan terhadap peningkatan laba / pendapatan UMKM

Y3. Dampak program perkuatan terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja

Sedangkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kemanfaatan bantuan perkuatan atau Independent Variable terdiri dari ;

X1 Modal Awal yang dimiliki UMKM

Adalah sejumlah modal yang dimiliki UMKM untuk melaksanakan suatu kegiatan usaha, sebelum menerima bantuan program perkuatan, baik yang bersumber dari modal sendiri maupun modal pinjaman dari orang lain dengan satuan nilai uang (rupiah)

X2 Pengalaman UMKM

Adalah lama UMKM dalam melaksanakan kegiatan usaha yang mendapat bantuan program perkuatan, sebelum UMKM tersebut mendapat bantuan program perkuatan, dengan satuan tahun ;

X3 Pemilikan Aset

Adalah kekayaan asset yang dimiliki UMKM dan digunakan untuk mendukung suatu kegiatan usaha yang mendapat bantuan perkuatan. Bentuk kekayaan bisa berupa lahan, gedung, alat-alat produksi dan kendaraan. Aset dinilai dalam satuan uang (rupiah)

X4 Jenis Kelamin UKM penerima bantuan

Adalah jenis kelamin UMKM yang menerima bantuan perkuatan yaitu laki-laki dan perempuan


(4)

X5 Ketersediaan bahan baku lokal

Tersedianya sejumlah bahan baku yang diperlukan dalam proses produksi UMKM yang mendapat bantuan perkuatan, baik yang merupakan produksi daerah atau yang didatangkan dari luar daerah. Ketersedian bahan baku dari aspek kemudahan mendapatkannya dinilai dengan menggunakan metoda point skor, dimana ; a) sangat sulit nilai skor (0), b) sulit nilai skor (1) ; c) agak sulit nilai skor (2), d) mudah nilai skor (3) dan sangat mudah nilai skor (4). Dari aspek harga dinilai dengan ; a) sangat mahal nilai skor (0), b) mahal nilai skor (1), c) agak mahal nilai skor (2), d) murah nilai skor (3) dan e) sangat murah nilai skor (4). Hasil akhir adalah perkalian antara tingkat kesulitan dengan harga.

X6 Tenaga kerja lokal yang tersedia

Ketersediaan sejumlah tenaga yang diperlukan dalam proses produksi UMKM yang mendapat bantuan perkuatan, baik yang berasal dari daerah setempat atau didatangkan dari luar daerah. Ketersedian tenaga dari aspek kemudahan mendapatkannya dinilai dengan menggunakan metoda point skor, dimana ; a) sangat sulit nilai skor (0), sulit nilai skor (1), b) agak sulit nilai skor (2), c) mudah nilai skor (3) ; d) sangat mudah nilai skor (4). Dari aspek tingkat upah dinilai dengan ;

X7 Teknologi Produksi yang digunakan

Adalah teknologi yang digunakan dalam proses produksi UMKM yang dinilai dengan menggunakan metoda skoring dimana ; a) tradisional nilai skor (0), b) semi modern nilai skor (1), c) modern nilai skor (2), dan ; d) sangat modern nilai skor (3)

X8 Manajemen Usaha yang diterapkan

Adalah system manajemen yang digunakan dalam proses produksi UMKM yang dinilai dengan menggunakan metoda skoring dimana ; a)


(5)

manajemen tradisional nilai skor (0), b) manajemen semi modern nilai skor (1), c) manajemen modern nilai skor (2), dan ; d) manajemen sangat modern nilai skor (3)

X9 Prasana Pendukung yang tersedia

Prasarana yang tersedia untuk mendukung proses produksi UMKM yang dinilai dari ketersediaannya dengan menggunakan metoda skoring dimana ; a) sangat kurang nilai skor (0), b) kurang nilai skor (1), c) cukup nilai skor (2), dan ; d) sangat cukup nilai skor (3)

X10 Prosedur Pinjaman

Prosedur yang digunakan dalam pengajuan pinjaman sampai dengan proses pengembalian yang diterapkan dalam pelaksanakan dalam program perkuatan yang dinilai dengan menggunakan metoda skoring dimana ; a) sangat sulit nilai skor (0), b) sulit nilai skor (1), c) agak sulit nilai skor (2), mudah nilai skor (3) dan ; e) sangat mudah nilai skor (3) ;

X11 Jumlah Pinjaman

Jumlah pinjaman yang diberikan dalam program perkuatan yang dinilai dengan menggunakan metoda scoring yaitu ; a) sangat tidak memadai nilai skor (0), b) tidak memadai nilai skor (1) ; c) cukup nilai skor (2), dan ; d) sangat cukup nilai skor (3)

X12 Tingkat Bunga

Adalah tingkat bunga (interest rate) yang ditetapkan dalam program perkuatan yang dinilai dari ketetapan jumlah bunga dalam satuan persen terhadap jumlah pinjaman yang diberikan

X13 Kebebasan penggunaan dalam program perkuatan

Tingkat kebebasan penggunaan pinjaman oleh peminjam untuk menggunakan dalam program perkuatan yang dinilai dengan


(6)

menggunakan metoda skoring dimana ; a) sangat terikat pada ketentuan nilai skor (0), b) terikat pada ketentuan nilai skor (1), c) tidak terikat nilai skor (2), dan ; d) sangat bebas nilai skor (3)

X14 Pinjaman Pihak ke tiga yang diterima

Adalah sejumlah uang yang dipinjam oleh UMKM dari pihak-pihak lain sesudah atau sebelum UMKM tersebut menerima pinjaman dana dari program perkuatan. Satuan pinjaman ini dinilai dengan uang (rupiah).

X15 Jenis Usaha Peminjam

Adalah kesesuian jenis usaha yang dilaksanakan oleh UMKM yang menggunakan modal pinjaman dari program perkuatan sesuai dengan potensi pribadi dan potensi daerahnya, yang dinilai dengan menggunakan metoda skoring dari aspek potensi pribadi ; a) sangat tidak sesuai nilai skor (0), b) kurang sesuai nilai skor (1), c) sesuai skor (2), dan ; d) sangat sesuai nilai skor (3). Dengan potensi daerah ; a) sangat tidak sesuai nilai skor (0), b) kurang sesuai nilai skor (1), c) sesuai nilai skor (2), dan ; d) sangat sesuai nilai skor (3). Nilai akhir adalah hasil perkalian antara potensi pribadi dengan potensi daerahnya.