Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama.
TESIS
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT
INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH
MENENGAH PERTAMA
NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
(2)
TESIS
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT
INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH
MENENGAH PERTAMA
NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI NIM: 1492161015
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT
INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH
MENENGAH PERTAMA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas
Udayana
NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI NIM: 1492161015
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(4)
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 13 JUNI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. G.N. Indraguna P., M.Sc., Sp.GK dr. I W.G. Artawan E.P., M.Epid NIP: 195805211985031002 NIP: 198104042006041005
Mengetahui
Ketua Program Studi Direktur
Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof. dr. D.N. Wirawan, MPH Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP: 194810101977021001 NIP. 195902151985102001
(5)
TESIS INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL 03 JUNI 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No: 2417/UN144/HK/2016
Tanggal 03 JUNI 2016
Ketua
: Dr. dr. G. N Indraguna Pinatih, MSc., SpGK
Anggota
:
1.
dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M. Epid
2.
Dr. dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A (K)
3.
Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, MSi
4.
dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc, PhD
(6)
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : NI MADE SEPTIARI MARYANI ARDI
NIM : 1492161015
PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
JUDUL TESIS :HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT
INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Dengan ini menyatakan bahwa tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 12 Juni 2016
(7)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya dalam menyusun tesis ini sehingga tesis yang berjudul “Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi pada Siswa Sekolah Menengah Pertama” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan berbagai pihak maka tesis ini tidak dapat terwujud dengan baik. Untuk itu, dengan segala hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku Ketua Program Studi Magister Imu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana atas dorongan, bimbingan, dan dukungan selama proses pembelajaran khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Dr. dr. G.N. Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK selaku pembimbing I dan dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran meluangkan waktu, tenaga dan pemikirannya untuk memberikan bimbingan dan saran serta semangat kepada penulis.
Ucapan yang sama juga penulis tujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD (KEMD) dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
(8)
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis yaitu Dr. dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A (K); Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, MSi; dan dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc,PhD yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga sampaikan banyak terima kasih kepada Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Denpasar serta Kepala Sekolah SMP Santo Yoseph Denpasar atas diberikannya izin untuk melakukan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para siswa beserta orangtuanya yang telah meluangkan waktu dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam penelitian tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada seluruh dosen dan staf karyawan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat atas bimbingan dan dukungannya selama menempuh pendidikan. Juga penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah banyak memberikan masukan dan dorongan selama penyusunan tesis.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua, suami, serta putra putri tercinta yang merupakan sumber motivasi dan semangat penulis dalam menjalani segala aktivitas dengan penuh ketegaran.
Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
(9)
ABSTRAK
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT INTELEGENSI PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah meningkatnya prevalensi obesitas terutama pada anak remaja. Remaja yang obesitas selain berisiko mengalami penyakit tidak menular juga mempengaruhi tingkat intelegensinya. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik Cross Sectional dengan sampel sebanyak 176 siswa yang dipilih secara simple random sampling. Data dikumpulkan melalui tes IQ dengan metode Standard Progressive Matrices, pengukuran berat badan dan tinggi badan serta menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji Mann-Whitney dan uji chi-square serta multivariat menggunakan uji regresi Poisson dengan 95% CI.
Subyek penelitian terdiri dari 95 (54%) siswa dan 81 (46%) siswi, dengan rerata umur 12,2 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata Indeks Massa Tubuh siswa adalah 23,5; yang tergolong normal sebanyak 99 (56,3%) dan obesitas sebanyak 77 (43,7%). Median skor IQ pada kelompok status gizi normal adalah 110 sedangkan pada yang obesitas hanya 89. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan tingkat intelegensi siswa adalah status gizi obesitas dengan PR=6,6; 95%CI: 2,0-21,5 dan riwayat tidak mendapatkan ASI dengan PR=2,8; 95%CI: 1,4-5,6. Hasil penelitian ini juga membuktikan adanya hubungan lama obesitas dengan tingkat intelegensi siswa yaitu obesitas < 6 tahun dengan PR=14,0; 95%CI: 4,8-40,9 dan obesitas >6 tahun dengan PR=16,7; 95%CI: 5,8-47,7.
Adanya hubungan yang kuat antara status gizi obesitas dan lamanya obesitas dengan tingkat intelegensi siswa menunjukkan pentingnya pemantauan status gizi anak dalam upaya untuk mencegah serta mendeteksi dini terjadinya obesitas sehingga dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat demi mendapatkan generasi yang berkualitas.
(10)
ABSTRACT
CORRELATION OF NUTRITIONAL STATUS AND INTELLIGENCE QUOTIENT DEGREE OF THE STUDENTS
IN JUNIOR HIGH SCHOOL
Indonesia faces the increasing of obesity prevalence especially among the teenagers. The effect of obesity not only increasing risk of non communicable disease, also the risk of under average IQ degree. This study aimed to determine that nutritional status has an association with intelligence quotient degree of the students in Junior High School.
This was a cross sectional study with a total sample of 176 students determined by simple random sampling. Data were collected by giving IQ test of Standard Progressive Matrices method, measuring the weights and the heights, and giving self-administered questionnaires. Data were analyzed by univariat, bivariat using Mann-Whitney test and Chi-Square test and multivariate Poisson regression test of 95% Confidence lnterval.
The study subject consist of 95 (54%) males and 81 (46%) females student which is 12,2 year of age average. The study showed that the average of the students’ BMI is 23,5; consist of normal nutrition 99 (56,3%) and obesity 77 (43,7%). Median of the students’ IQ on the normal nutrition group is 110 meanwhile on the obesity group is only 89. Multivariate analysis showed that intelligence quotient (IQ) degree have association with obesity (PR=6,6; 95%Cl= 2,0-21,5) and history of non-breastfeed (PR=2,8; 95%Cl= 1,4-5,6). The period of obesity was significantly associated to the students’ intelligence quotient (IQ) degree, that was <6 years of obesity (PR=14,0; 95%CI: 4,8-40,9) and ≥6 years of obesity (PR=16,7; 95%CI: 5,8-47,7).
The association of obesity and the period of obesity towards the student’ intelligence quotient (IQ) degree indicate that the importance of continuous observation of the children’ nutritional status. It is necessary as an effort to prevent and early detection of obesity in order to build a qualified generation.
Keywords: obesity, intelligence quotient (IQ) degree, students of Junior High School.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR MAGISTER ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ... v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ... vii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian... 8
1.3.1 Tujuan Umum ... 8
1.3.2 Tujuan Khusus ... 8
1.4 Manfaat Penelitian... 8
1.4.1 Manfaat Praktis ... 8
1.4.2 Manfaat Teoritis ... 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja dan Perilaku Rentan Gizi ... 10
2.2 Intelegensi ... 11
(12)
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi Remaja 12
2.2.3 Pengukuran Tingkat Intelegensi ... 24
2.3 Obesitas ... 25
2.3.1 Definisi ... 25
2.3.2 Penilaian Status Gizi ... 27
2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi ... 29
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ... 33
3.2 Konsep Penelitian ... 34
3.3 Hipotesis Penelitian ... 35
BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 36
4.2 Populasi dan Sampel ... 36
4.2.1 Populasi Penelitian ... 36
4.2.2 Sampel Penelitian ... 36
4.3 Cara Pengumpulan Data Penelitian ... 38
4.4 Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
4.5 Variabel Penelitian ... 39
4.6 Instrumen Penelitian ... 43
4.7 Prosedur Penelitian ... 43
4.7.1 Pengumpulan Data Penelitian ... 43
4.7.2 Pengolahan data ... 44
4.8 Analisis Data ... 45
4.8.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 45
4.8.2 Analisis Perbandingan ... 45
(13)
BAB V. HASIL PENELITIAN
5.1 Hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 47
5.2 Hasil Analisis Perbandingan ... 51
5.3 Hasil Analisis Multivariat ... 56
BAB VI. PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan Hasil Penelitian ... 59
6.2 Keterbatasan Penelitian ... 81
BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan... 82
7.2 Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 85
(14)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan
Indeks ... 28
Tabel 4.1 Definisi Operasional... 40
Tabel 4.2 Tabulasi Silang ... 46
Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 47
Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Ibu Subjek Penelitian ... 48
Tabel 5.3 Gambaran Variabel Penelitian ... 49
Tabel 5.4 Hasil Analisis Perbandingan Tingkat Intelegensi berdasarkan Status Gizi ... 51
Tabel 5.5 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi ... 52
Tabel 5.6 Hasil Analisis Bivariat Hubungan Faktor Lainnya dengan Tingkat Intelegensi ... 54
Tabel 5.7 Hasil Analisis Multivariat pada Variabel yang Berhubungan dengan Tingkat Intelegensi ... 57
(15)
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 34
(16)
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
SINGKATAN
4-HHE : 4-hidroksiheksenal 4-HNE : 4-hidroksinonenal
AA : Asam Arachidonat
AS : Amerika Serikat
ASEAN : Association of South East Asia Nations
ASI : Air Susu Ibu
BB/PB : Berat Badan menurut Panjang Badan BB/TB : Berat Badan menurut Tinggi Badan BB/U : Berat Badan menurut Umur
BBLR : Berat Badan Lahir Rendah BPS : Badan Pusat Statistik
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
CI : Confidence Interval
DHA : Docosahexaenoic Acid
Disdikpora : Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
FFA : Free Fatty Acid
FIQ : Full IQ
HPK : Hari Pertama Kehidupan IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia IMD : Inisiasi Menyusu Dini
IMT : Indeks Massa Tubuh
IMT/U : Indeks Massa Tubuh menurut Umur IPM : Indeks Pembangunan Manusia IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IQ : Intelligence Quotient
IQR : Inter-Quartile Range
(17)
MGRS : Multicentre Growth Reference Study MRI : Magnetic Resonance Imaging
NCEP : National Cholesterol Education Program NCHS : National Center for Health Statistics NOO : National Obesity Observatory OSAS : Obstructive Sleep Apnea Syndrome PAUD : Pendidikan Anak Usia Dini
PB/U : Panjang Badan menurut Umur
PIQ : Performance IQ
PR : Prevalence Ratio
PUFA : Polyunsaturated Fatty Acids RDA : Requirement Daily Allowances ROS : Reactive Oxygen Species
SD : Standar Deviasi
SDM : Sumber Daya Manusia
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SPM : Standard Progressive Matrices TB/U : Tinggi Badan menurut Umur
VIQ : Verbal IQ
WAIS-R : Wechsler Adult Intelligence Scale-Revised WAIS-III : Wechsler Intelligence Scale-Edisi III WHO : World Health Organization
WPPSI-R : Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ... 98
Lampiran 2. Surat Pemberitahuan Penelitian kepada Orangtua ... 111
Lampiran 3. Master Data Penelitian ... 113
Lampiran 4. Hasil Analisis Data ... 125 Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian
(19)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan input utama pembangunan bangsa Indonesia untuk dapat bersaing atau berkompetisi di era globalisasi dengan bangsa lain. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi anak remaja sebagai generasi penerus bangsa. Perkembangan anak remaja yang dimaksud dalam hal ini adalah perkembangan kognitif. Menurut Piaget (1970), anak remaja yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, merupakan tahap perkembangan aspek kognitif yang sering disebut sebagai period of formal operation. Perkembangan anak remaja pada usia ini adalah kemampuan untuk berpikir secara simbolis serta mampu memahami sesuatu secara bermakna tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek yang visual. Berdasarkan tahap kemampuan kognitif (berpikir), anak remaja usia SMP sangat potensial untuk mengoptimalkan kemampuan intelektualnya. Salah satu indikator yang menunjukkan kemampuan intelektual anak yaitu dengan mengetahui tingkat intelegensi (Intelligence Quotient / IQ).
Studi oleh Lynn dan Vanhanen mengenai rata-rata IQ dari 113 negara pada beberapa tahun lalu yang dipublikasikan pada National IQ Scores-Country Rankings menunjukkan rata-rata IQ orang Indonesia pada urutan ke-20 yaitu berada pada angka 87, yang tergolong dalam rentangan rata-rata IQ sedang antara
(20)
2
85-115. Singapore, Korea Selatan dan Jepang menduduki urutan pertama, kedua, dan ketiga dengan rata-rata IQ masing-masing 108, 106, dan 105. Posisi Indonesia ini sejajar dengan sembilan negara lainnya yaitu Azerbaijan, Bolivia, Brazil, Guyana, Iraq, Myanmar, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara dengan ras kulit putih seperti Eropa, Amerika Serikat dan Kanada, Argentina dan Uruguay di Amerika Selatan serta Australia dan Selandia Baru di Oseania memiliki rata-rata IQ tinggi walau tidak berada pada posisi lima besar. Negara-negara di benua Afrika memiliki IQ terendah diantara seluruh kawasan, seperti Ethiopia yang dirundung bencana pangan memiliki rata-rata IQ 63 yang berada jauh dibawah rata-rata dunia yaitu 90.
Rendahnya rata-rata IQ orang Indonesia apabila dilihat dari bidang kesehatan dapat dipengaruhi oleh status gizi. Selain kekurangan gizi, masalah yang dihadapi adalah kelebihan gizi atau obesitas yang lebih dikenal dengan Sindroma Dunia Baru (New World Syndrome). Dalam hal ini, Indonesia menghadapi tantangan masalah gizi ganda atau double burden. Dalam artian bahwa masalah mengenai gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya namun sudah muncul masalah gizi lebih yaitu obesitas. WHO (2000) mendefinisikan obesitas sebagai kondisi abnormal atas akumulasi lemak yang ekstrim pada jaringan adipose. Sedangkan overweight adalah kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak atau jaringan non lemak, misalnya pada seorang atlet binaragawan kelebihan berat badan dapat disebabkan oleh hipertrofi otot.
(21)
3
Obesitas pada anak secara tidak langsung dapat menurunkan tingkat intelegensi anak tersebut. Hal tersebut diduga akibat dari dampak penyakit yang diderita oleh anak obesitas seperti diabetes, Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), masalah respirasi, masalah psikososial (rendah diri, mengisolasi diri, dan depresi) serta masalah kematangan sosial (Datar dkk., 2004). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hartini dkk. (2014), menunjukkan adanya korelasi derajat obesitas dengan prestasi belajar siswa sekolah dasar. Derajat obesitas ditemukan berhubungan lebih kuat dengan penurunan nilai rerata bahasa Indonesia dibandingkan dengan matematika. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi obesitas 16,1%, lebih besar 1,6 kali dibandingkan penelitian sebelumnya di Denpasar yang dilakukan oleh Dewi dkk. pada tahun 2008, dimana prevalensi obesitas anak umur 8-12 tahun sebesar 9,7%. Pada tahun 1995, Li menemukan anak yang obesitas mempunyai nilai IQ yang lebih rendah dibandingkan anak normal terutama pada aspek berbahasa. Hal tersebut berkaitan dengan salah satu tanda terjadinya OSAS yaitu mendengkur, dikatakan anak yang menderita OSAS menjadi mengantuk, sulit berkonsentrasi sehingga kemampuan untuk mengikuti pelajaran dan aktivitas menjadi berkurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Montolalu, dkk. pada tahun 2009 yang dipublikasikan pada jurnal Paediatrica Indonesiana, menemukan bahwa terdapat hubungan antara obesitas dengan intelegensia pada siswa SMP yang berusia berusia 12-13 tahun. Peningkatan derajat obesitas berbanding lurus dengan rendahnya tingkat intelegensia. Penelitian ini dilakukan di kota Manado pada tiga SMP, dengan jumlah sampel 100 siswa yang obesitas dan tidak obesitas.
(22)
4
Sebanyak 58 siswa memiliki IMT normal dan 42 siswa tergolong obesitas (36 merupakan obesitas ringan, dan 6 dengan obesitas berat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 siswa yang obesitas, 1% memiliki IQ rendah, 1% memiliki IQ dibawah rata-rata, 22% memiliki IQ rata-rata, 7% memiliki IQ diatas rata-rata dan 11% memiliki IQ superior. Sedangkan dari 58 siswa dengan IMT normal, tidak ada yang memiliki IQ dibawah rata-rata, 20% memiliki IQ rata-rata, 18% memiliki IQ diatas rata-rata.
Gizi lebih merupakan masalah kesehatan dunia dengan jumlah prevalensi yang selalu meningkat setiap tahun, baik di negara maju maupun berkembang. Prevalensi gizi lebih pada anak usia 2-19 tahun di Amerika Serikat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gizi lebih pada anak laki-laki meningkat pada tahun 2000 sebesar 14,0% menjadi 18,6% pada tahun 2010 dan pada anak perempuan juga mengalami peningkatan dari 13,8% menjadi 15,0% (NOO, 2011). Berdasarkan hasil penelitian National Health and Nutrition Examination Survey tahun 2009-2010 di Amerika persentase overweight dan obesitas berdasarkan kelompok umur, yaitu anak usia 2-5 tahun sebesar 26,7%, usia 6-11 tahun sebesar 32,6% dan usia 12-19 tahun sebesar 33,6%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi overweight dan obesitas tertinggi pada anak remaja usia 12-19 tahun. Pada tahun 2009-2010 Asia memiliki prevalensi gizi lebih sebesar 26,4% pada anak laki-laki dan 16,8% pada anak perempuan (NOO, 2011). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih secara nasional pada anak umur 13-15 tahun sebesar 10,8% yang terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk atau obesitas. Prevalensi gizi lebih pada remaja umur 16-18 tahun
(23)
5
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2007 sebesar 1,4% menjadi 7,3% pada tahun 2013. Berdasarkan Riskesdas 2013 dalam angka, kejadian gizi lebih di Bali pada anak usia 13-15 tahun mencapai 13,9% yang terdiri dari gemuk 9,7% dan obesitas 4,2%. Sedangkan di Denpasar prevalensi obesitas meningkat dari 11% pada tahun 2002 menjadi 21,7% pada tahun 2010 (Yoga dan Sidiartha, 2010).
Golongan di masyarakat yang banyak mengalami masalah obesitas antara lain balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa dan orang lanjut usia. Fokus yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah mengenai obesitas pada anak usia 13-14 tahun yaitu pada anak remaja yang berada pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal tersebut terkait dengan masalah rentan gizi pada kelompok anak remaja. Pada masa remaja ini terjadi perubahan sikap dan perilaku dalam memilih makanan dan minuman yang turut dipengaruhi oleh teman sebaya dan lingkungan. Perilaku makan bagi sebagian besar remaja menjadi bagian gaya hidup sehingga kadang pada remaja sering terjadi perilaku makan yang tidak seimbang, diantaranya melewatkan sarapan pagi, konsumsi fast food dan soft drink (French, dkk., 2001). Makanan cepat saji atau fast food mengandung kalori, lemak dan karbohidrat yang tinggi. Apabila asupan karbohidrat dan lemak berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dalam jumlah terbatas, sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak tubuh. Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas, sehingga jika konsumsi lemak tinggi secara intensif maka resiko terjadinya obesitas semakin besar (Soegih dan Wiramihardja, 2009). Hasil penelitian Badjeber, dkk. (2009) di Manado
(24)
6
menunjukkan bahwa anak memiliki risiko menjadi obesitas 3,3 kali lebih besar apabila memiliki kebiasaan makan makanan siap saji lebih dari tiga kali per minggu daripada anak yang jarang atau 1-2 kali per minggu makan makanan siap saji.
Penelitian-penelitian mengenai status gizi yang telah dilakukan selama ini lebih banyak berfokus pada dampak (outcome) dari anak yang mengalami gizi buruk sedangkan dampak dari anak yang mengalami obesitas terkait tingkat intelegensi belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu mengenai korelasi obesitas dengan tingkat intelegensi mengunakan klasifikasi status gizi untuk orang dewasa dalam menentukan status gizi obesitas yaitu dengan nilai IMT > 25, sedangkan pada penelitian ini menggunakan standar baku penilaian status gizi sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak yang mengacu pada standar World Health Organization (WHO 2005). Kriteria penentuan status gizi obesitas untuk usia 5-18 tahun yaitu dengan nilai IMT/U > 2 SD.
Hasil survey status gizi yang dilakukan pada saat studi pendahuluan di SMP Santo Yoseph Denpasar pada tanggal 16 – 18 September 2015, didapatkan bahwa terdapat total jumlah siswa kelas VII sebanyak 312 siswa yang terdiri dari 164 siswa laki-laki dan 148 siswa perempuan. Pengukuran antropometri dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi badan, kemudian klasifikasi status gizi menggunakan nilai IMT/U sesuai dengan standar baku penilaian status gizi anak yang berlaku di Indonesia. Siswa laki-laki yang memiliki status gizi normal yaitu sebanyak 100 orang atau sebesar 61,0%; yang mengalami overweight sebanyak 37
(25)
7
orang atau sebesar 22,5%; dan yang mengalami obesitas sebanyak 27 orang atau sebesar 16,5%. Siswa perempuan yang memiliki status gizi baik yaitu sebanyak 55 orang atau sebesar 37,2%; yang mengalami overweight sebanyak 57 orang atau sebesar 38,5%; dan yang mengalami obesitas sebanyak 36 orang atau sebesar 24,3%. Prevalensi obesitas pada siswa kelas VII di SMP Santo Yoseph Denpasar secara keseluruhan adalah 20,2%. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan prevalensi obesitas di kota Denpasar pada penelitian Hartini dkk. (2014) yaitu 16,1%.
Berdasarkan latar belakang dan hasil studi pendahuluan, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil temuan terdahulu dengan menggunakan standar klasifikasi status gizi dan metode analisis yang berbeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
1.2 Rumusan Masalah
Potensi SDM Indonesia dapat dikatakan belum optimal yang ditunjukkan dengan rata-rata IQ orang Indonesia berada dalam rentangan IQ sedang. Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan di bidang kesehatan yaitu terjadi peningkatan prevalensi obesitas terutama pada anak remaja, yang dapat berdampak pada penurunan tingkat intelegensi remaja tersebut. Dengan demikian, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu:
1.2.1 Apakah terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP?
(26)
8
1.2.2 Apakah terdapat hubungan antara lama obesitas dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan bahwa status gizi berhubungan dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP.
1.3.2 Tujuan khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan:
a. Menentukan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP yang mengalami obesitas.
b. Menentukan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP dengan status gizi normal.
c. Membandingkan proporsi IQ di bawah rata-rata pada siswa SMP yang mengalami obesitas dengan siswa SMP yang status gizinya normal.
d. Membuktikan hubungan lama obesitas dengan tingkat intelegensi pada siswa SMP.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya peningkatan kualitas SDM dengan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak remaja yang nantinya akan berdampak pada tingkat intelegensi. Intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan informasi mengenai dampak
(27)
9
memberikan makanan cepat saji kepada anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya yaitu berpotensi mengalami obesitas yang kemudian berdampak secara tidak langsung terhadap tingkat intelegensinya. Dengan demikian diharapkan dapat menekan jumlah anak yang mengalami obesitas, yang juga berpotensi menderita penyakit tidak menular pada saat dewasa serta dapat mewujudkan generasi dengan kemampuan intelektual yang optimal. 1.4.2 Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence atau bukti ilmiah mengenai hubungan status gizi dengan tingkat intelegensi anak remaja sehingga dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
b. Sebagai acuan atau bahan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk
(28)
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja dan Perilaku Rentan Gizi
Definisi remaja menurut WHO adalah suatu masa perkembangan seorang individu yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda seksual sekunder (pubertas) hingga mencapai kematangan seksual. Periode ini adalah suatu perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yang terdiri dari perubahan secara biologik, psikologik dan sosial. Batasan umur remaja menurut WHO yaitu 10-18 tahun (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja ini dikatakan rentan terhadap masalah gizi oleh karena terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang memerlukan energi lebih banyak serta terjadi perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yang menuntut penyesuaian masukan energi dan zat gizi.
Perilaku rentan gizi pada remaja salah satunya ditunjukkan dengan kebiasaan makan yang kurang baik. Kebiasaan makan yang kurang baik ini biasanya diawali dengan kebiasaan makan keluarga yang tidak baik yang sudah tertanam sejak kecil kemudian berlanjut hingga remaja. Bentuk kebiasaan makan yang tidak baik ini diantaranya adalah makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan berbagai zat gizi dan dampak akibat tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan.
Sebuah studi di Korea yang dilakukan oleh Kim, dkk. (2007) membuktikan bahwa pola makan pada remaja dapat mempengaruhi status gizi
(29)
11
mereka. Penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan remaja pada tiga pola makan, yaitu pola makan tradisional Korea, pola makan barat, pola makan modifikasi. Hasil penelitiannya menemukan bahwa kejadian obesitas sentral paling tinggi pada pola makan barat sebesar 16,8%. Pola makan barat dalam hal ini adalah pola makan yang banyak mengkonsumsi tepung dan roti, hamburger, pizza, makanan ringan dan sereal, gula dan makanan manis. Kejadian obesitas sentral pada kelompok dengan pola makan tradisional Korea adalah 9,8%. Pola makan tradisional Koreal yaitu pola makan yang banyak mengkonsumsi kimchi, nasi, ikan dan rumput laut. Sementara kejadian obesitas sentral pada kelompok dengan pola makan modifikasi sebesar 9,7%. Pola makan modifikasi dalam hal ini adalah pola makan yang banyak mengkonsumsi mie, tetapi diselingi dengan kimchi dan nasi. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hallstrom, dkk. (2011) menunjukkan bahwa sekitar 34% remaja di Eropa memiliki kebiasaan tidak sarapan di pagi hari. Sementara Merten, dkk. (2009) membuktikan bahwa remaja yang memiliki kebiasaan sarapan memiliki kecenderungan untuk tidak mengalami obesitas.
2.2 Intelegensi 2.2.1 Definisi
Wechsler (1974) menjelaskan definisi Intelegensi adalah kemampuan dalam bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
(30)
12
secara rasional. Dengan demikian, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, tetapi harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Binet (1905), seorang tokoh perintis dalam pengukuran intelegensi, menguraikan bahwa intelegensi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2) kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto critism. Sedangkan Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi (Boeree, 2003).
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi remaja
Secara garis besar faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya IQ seorang remaja menurut Boeree (2003), meliputi:
a. Faktor genetik atau keturunan
Untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh genetik terhadap perkembangan intelegensi remaja, dapat mengacu pada konsep heritabilitas. Heritabilitas adalah bagian dari variansi dalam suatu populasi yang dikaitkan dengan faktor genetik. Indeks heritabilitas dihitung menggunakan teknik korelasional. Tingkat paling tinggi dari heritabilitas adalah 1,00 dengan korelasi 0,70 keatas mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat. Penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association, menyimpulkan bahwa pada tahap remaja akhir, indeks heritabilitas kecerdasan 0,75. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh genetik yang kuat terhadap perkembangan intelegensi (Santrock, 2007).
(31)
13
Patrick, dkk. (2014), membuktikan bahwa nilai IQ berhubungan dengan jenis kelamin, dimana rerata nilai IQ responden laki-laki lebih tinggi dibandingkan rerata responden perempuan (r = 0,279; p = 0,005). Penelitian Burgaleta, dkk. (2012) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan volume otak antara laki-laki dan perempuan yaitu volume otak laki-laki 10% lebih besar dibandingkan perempuan. Haier, dkk. (2005) menunjukkan bahwa otak laki-laki memiliki lebih banyak substansia grisea dibandingkan otak perempuan. Substansia grisea memiliki peran penting dalam kecerdasan. Temuan tersebut dapat menjelaskan adanya perbedaan nilai IQ antara laki-laki dan perempuan. b. Faktor gizi
Pemenuhan kebutuhan gizi pada saat hamil, menyusui dan pada waktu bayi sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, karena masa tersebut merupakan golden period yang biasa disebut 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu sejak kehamilan sampai anak usia 24 bulan (IDAI, 2015). Kekurangan dan kelebihan gizi pada saat masa pertumbuhan, dapat mempengaruhi perkembangan sel otak anak. Hasil penelitian Wibowo, dkk. (1995), menemukan bahwa status gizi anak berpengaruh pada tingkat intelegensinya.
1) Berat badan lahir bayi
Center for Urban Epidemiologic Studies New York, AS, membuktikan terdapat hubungan antara berat lahir bayi dengan tingkat kecerdasan (IQ). Rata-rata perbedaan angka IQ dari bayi yang berat lahirnya < 2500 gram dengan bayi yang lahirnya 4000 gram mencapai 10
(32)
14
angka (Matte, dkk., 2001). Rubin, dkk. (1973) menemukan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah dipengaruhi oleh kesehatan ibu selama kehamilan terutama pada trimester pertama kehamilan, yang merupakan fase pembentukan sistem saraf sentral yang berpengaruh pada fungsi intelektual. Sementara berat badan bayi besar berakibat pada ketidaksempurnaan logika, kemampuan mental (psikologis) dan kemampuan belajar. Sejumlah penelitian lain juga melaporkan bahwa anak dengan berat lahir rendah lebih memiliki kesulitan akademis dibandingkan anak dengan berat lahir cukup (Erickson, dkk., 2010). 2) Masa kehamilan
Anak yang lahir dengan usia kandungan kurang dari sembilan bulan menyebabkan tidak sempurnanya keadaan bayi yang membuatnya lebih sensitif terhadap tekanan, stress dan penyakit dari lingkungan. Hal ini berpengaruh pada proses perkembangan otak yang pada akhirnya mempengaruhi fungsi intelektual. Otak yang belum mature rentan terhadap komplikasi neonatal seperti perdarahan intraventricular, perdarahan matriks germinal, periventricular leukomalacia, mielinisasi yang tertunda dan volume otak yang berkurang, sehingga berdampak pada fungsi kognitif anak (Kuperus, dkk., 2008).
3) Riwayat pemberian ASI
Penelitian Novita, dkk. (2008), menemukan bahwa peluang terjadinya IQ di bawah rata-rata 1,7 kali lebih besar dibandingkan di atas rata-rata apabila bayi diberikan ASI non eksklusif. Bayi yang diberikan
(33)
15
ASI eksklusif menunjukkan fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki rata-rata IQ 128,3 dengan rentangan 112-142 sedangkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki rata-rata IQ 114,4 dengan rentangan 82-137. Penelitian Maslahah (2010), menemukan bahwa terdapat perbedaan pengaruh pemberian ASI dengan pemberian susu formula terhadap tingkat IQ anak usia 5-6 tahun. Secara lebih spesifik dikatakan bahwa pemberian ASI atau pemberian susu formula di waktu bayi dapat mempengaruhi tingkat IQ anak. Anak yang memiliki riwayat mengkonsumsi ASI di waktu bayi mempunyai kemungkinan memiliki tingkat IQ dalam kategori cerdas sebesar 4,2 kali lebih besar daripada anak yang memiliki riwayat mengkonsumsi susu formula di waktu bayi.
ASI memiliki kandungan lemak yang terdiri dari asam linoleat dan kolesterol yang dibutuhkan untuk perkembangan otak (Wardlaw dan Hampl, 2007). Selain itu, ASI juga mengandung DHA dan AA yang dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel otak secara optimal. ASI mengandung jumlah DHA dan AA yang sangat mencukupi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Selain AA dan DHA, Taurin merupakan asam amino penting yang terdapat dalam ASI dengan konsentrasi tinggi yang memiliki peran penting dalam perkembangan jaringan otak (Salimo, 2009). Susu formula yang berbahan dasar susu sapi tidak memiliki komponen AA, DHA dan Taurin
(34)
16
seperti yang dimiliki oleh ASI. Walaupun saat ini beberapa produsen susu formula telah menambahkan minyak nabati sebagai sumber Polyunsaturated Fatty Acids/PUFA seperti AA dan DHA tetapi hasilnya tidak dapat menyamai ASI. Menurut Susianto (2010), kandungan gizi pada susu formula tidak stabil seperti yang ada di dalam ASI dikarenakan adanya faktor perubahan suhu yang menyebabkan perubahan komposisi senyawa dalam kandungan susu formula. Hal tersebut yang mendasari adanya perbedaan IQ anak yang mengkonsumsi ASI dengan anak yang mengkonsumsi susu formula.
4) Status gizi pada usia dua tahun
Mulai sejak lahir sampai berusia dua tahun terjadi perkembangan otak yang pesat pada bayi yaitu sekitar 80%. Secara umum apabila terjadi kekurangan atau kelebihan zat gizi pada periode usia 0-2 tahun bersifat ireversibel dan akan berdampak pada kualitas hidup dan mempengaruhi perkembangan otak jangka panjang yang selanjutnya berdampak pada kemampuan kognitif dan prestasi pendidikan (IDAI, 2015). Penelitian Anwar (2010), menemukan bahwa riwayat status gizi buruk pada usia dua tahun ke bawah berpengaruh pada tingkat kecerdasan anak saat berusia 5-6 tahun. Anak umur 5-6 tahun dengan riwayat status gizi buruk memiliki skor IQ 6,5 poin lebih rendah daripada anak dengan riwayat status gizi baik.
(35)
17
5) Gizi kurang
Kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan terganggu, badan lebih kecil yang diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan organisasi biokimia (neurotransmitter) dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak (Pamularsih, 2009). Penelitian Sari (2010) menunjukkan bahwa siswa dengan status gizi kurang mempunyai skor IQ lebih rendah sebesar 13 poin secara signifikan dibandingkan siswa dengan status gizi normal. Penelitian lainnya yang dilakukan Wibowo (1994) telah membuktikan bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap intelegensinya.
Menurut penelitian Karsin (2004) anak yang mengalami Kurang Energi Protein (KEP) mempunyai skor IQ lebih rendah 10-13 skor dibandingkan anak yang tidak KEP. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak. Asam amino esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmitter di otak (Bourre, 2006). Selain KEP, malnutrisi pada anak-anak dapat dipengaruhi oleh kekurangan mikronutrien (zat besi, yodium, seng, dan vitamin A), yang juga memiliki pengaruh buruk pada pertumbuhan. Anak yang mengalami anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan yang tidak anemia. Anak yang mengalami Gangguan Akibat Kekurangan Iodium
(36)
18
(GAKI) mempunyai IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan anak yang mengalami GAKI (Karsin, 2004).
c. Faktor kesehatan fisik
Data survei nasional memperkirakan bahwa sekitar 30% dari semua anak mempunyai beberapa bentuk kondisi kesehatan yang kronik, dan 15- 20% dari semua anak mempunyai masalah fisis, pembelajaran, dan gangguan perkembangan. Anak lelaki lebih banyak menderita penyakit kronik daripada anak perempuan. Penyakit kronik serius terbanyak adalah asma; lebih dari 12% anak pernah didiagnosis asma pada suatu waktu dalam kehidupannya. Setengah dari anak yang dilaporkan asma mengalami gejala asma sebelum usia 12 bulan. Hampir 6% anak dilaporkan mengalami gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder/ADHD). Kegemukan biasanya tidak dimasukkan dalam masalah kesehatan kronik, walaupun hampir 17% dari semua anak usia 6 sampai 19 tahun mempunyai indeks massa tubuh di atas persentil ke-95 (Kliegman, dkk., 2007).
Anak dengan penyakit kronik di Indonesia dikelompokkan dengan sebutan Anak Dengan Disabilitas (ADD). Kelompok ini merupakan salah satu kelompok anak Indonesia yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan kesehatan. Kondisi kesehatan ADD sangat kompleks, terdiri atas berbagai jenis disabilitas dengan permasalahan yang cukup spesifik sehingga memerlukan pendekatan secara khusus dalam penanganannya. Mereka merupakan kelompok yang rentan dan rawan
(37)
19
terhadap paparan penyakit maupun ancaman tindak kekerasan (Kemenkes RI, 2014).
World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah ADD sekitar 7 sampai 10% dari total populasi anak. Gambaran data ADD di Indonesia sangat bervariasi; belum ada data terkini tentang jumlah dan kondisi ADD. Data Susenas 2003 menunjukkan sebagian besar (85,6%) anak dengan disabilitas berada di tengah masyarakat dan hanya sebagian kecil (14,4%) berada di institusi, termasuk sekolah luar biasa (SLB) dan lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA). Menurut data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 8,3 juta jiwa ADD, atau sekitar 10% dari total populasi anak di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).
Anak dengan penyakit kronik dapat mengalami hambatan untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Mereka dapat mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisis, kognitif, komunikasi, motorik, adaptif, atau sosialisasi, juga gangguan dalam aspek pertumbuhan seperti kenaikan berat badan dan tinggi badan yang tidak optimal. Hal lain yang perlu dideteksi yaitu risiko timbulnya perilaku yang menyimpang seperti emosi yang meledak-ledak, sikap menentang, cenderung nekat, dan drug abuse yang banyak dijumpai pada masa remaja (Kliegman, dkk., 2007). Gangguan tumbuh kembang yang terjadi mulai dari gejala ringan sampai dengan berat, dapat pula bersifat sementara atau permanen. Gangguan tersebut akibat gejala atau kelainan yang menetap, pengobatan yang terlambat, keterbatasan aktivitas atau mobilitas, atau keterbatasan terhadap kegiatan di sekolah,
(38)
20
rekreasi, bermain, aktivitas keluarga, atau dalam pekerjaan (Suris, dkk., 2008). Penyakit kronik berdampak terhadap perkembangan anak serta menimbulkan berbagai masalah dan menurunkan kualitas hidupnya (Michaud, dkk., 2007; Neinstein, 2008).
d. Faktor lingkungan
Remaja membutuhkan lingkungan yang baik untuk dapat mengoptimalkan perkembangan intelektualnya melalui dukungan secara mental seperti rasa kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan dan rangsangan intelektual. Dukungan mental tersebut dapat bersumber dari pengasuh utama remaja tersebut sejak kecil. Pengasuhan, perhatian, dan hubungan yang dibangun dengan penuh kasih sayang akan mempercepat perkembangan emosional dan kesehatan mental anak. Ketika hubungan dengan anak dibangun dengan penuh kebaikan dan penghargaan, maka anak akan berkembang dengan perasaan aman dan emosi yang merasa terlindungi. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan (relationship) menyediakan “dasar yang aman” sehingga anak dapat mulai mengeksplorasi dunia dengan jaminan rasa aman. Semakin banyak hal baru yang dieksplorasi, semakin sukses pengalaman yang diperoleh anak. Pengasuhan melalui pembinaan hubungan dengan penuh kasih sayang ini akan membuat anak merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan senantiasa merasa berharga. Selain itu, pengasuhan ini akan mengajarkan anak untuk memperlakukan orang lain di lingkungannya dengan baik. Perlu disadari bahwa anak meniru apa yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya, menyimpannya dalam
(39)
21
memori dan suatu saat akan melakukan hal yang sama dengan orang dewasa tersebut. Anak yang diperlakukan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh menjadi seseorang yang peduli dengan orang lain (Osofsky, 2003).
Faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh pada intelegensi anak yaitu, tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan riwayat sosial-budaya. 1) Tingkat pendidikan ibu
Hasil penelitian Sari (2010), menunjukkan bahwa skor IQ pada anak dari ibu yang berpendidikan rendah 10 poin lebih rendah dibandingkan anak dari ibu yang berpendidikan menengah, sedangkan anak dari ibu yang berpendidikan tinggi memiliki skor IQ sembilan poin lebih tinggi. Tingkat pendidikan ibu berkaitan dengan kemampuan penerimaan informasi tentang gizi. Menurut Suhardjo (2003), seorang ibu dengan pendidikan yang rendah akan lebih mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga lebih sulit menerima informasi baru tentang gizi, dan begitu pula sebaliknya.
Avan, dkk. (2007), menyatakan bahwa anak yang diasuh oleh orangtua yang menyelesaikan pendidikan hingga ke tahap sekunder atau lebih akan memiliki nilai IQ yang lebih tinggi. Anak yang diasuh oleh ibu yang hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah dasar akan mempunyai risiko tiga kali lebih besar untuk mengalami hambatan pertumbuhan dibandingkan anak yang diasuh ibu berpendidikan lebih tinggi. Penelitian lain menyebutkan bahwa ibu yang menempuh pendidikan formal lebih dari lima tahun akan lebih banyak memberikan
(40)
22
respon kepada anak secara verbal dan emosional, lebih mampu mengorganisasi lingkungan, cukup menyediakan materi bermain dan permainan, keterlibatannya dengan anak lebih besar dan stimulasi yang mereka berikan juga lebih bervariasi (Andrade, dkk., 2005).
2) Pendapatan keluarga
Penelitian yang dilakukan oleh Seifert (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dan kecerdasan. Orangtua yang memiliki pendapatan yang rendah mengalami kesulitan untuk memfasilitasi lingkungan yang secara intelektual dapat menstimulasi anak-anak mereka. Hal inilah yang menyebabkan kurang optimalnya perkembangan kognitif anak. Mc Wayne (2004) menjelaskan bahwa anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang rendah memiliki risiko terhambatnya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang berada pada keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi. Pendapatan keluarga memiliki hubungan positif yang cukup tinggi dengan tingkat intelegensi anak sejak usia tiga tahun sampai dengan remaja. Pendapatan keluarga rendah, kurang memiliki akses terhadap sumber daya yang meliputi nutrisi, layanan kesehatan dan kesempatan pendidikan dibandingkan dengan keluarga berpenghasilan tinggi. Hasil ulasan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan orangtua memiliki pengaruh positif tidak hanya pada kesehatan dan kesejahteraan tetapi juga pada nilai tes kognitif anak (Mayer, 2002). Selain itu, anak-anak dari latar belakang sosio-ekonomi yang rendah
(41)
23
lebih cenderung berisiko mengalami perkembangan kognitif yang lebih buruk karena kurangnya stimulasi kognitif dirumah (Votruba-Drzal, 2003).
3) Latar belakang sosial-budaya
Santrock dan Yussen (1992) menyatakan bahwa latar belakang sosial budaya anak mempengaruhi kemampuan mentalnya. Tes kecerdasan pada 320 anak Yahudi, Cina, Negro dan Puerto Rico menunjukkan hasil bahwa: (1) nilai anak Yahudi lebih tinggi pada bagian verbal dan lebih rendah pada pemikiran (reasoning) dan angka serta pengetahuan ruang (space); (2) nilai anak Negro lebih tinggi pada kemampuan verbal dan lebih rendah pada pemikiran, ruang dan angka (number); (3) anak Puerto Rico lebih rendah pada bagian verbal tetapi lebih tinggi pada angka, ruang dan pemikiran; (4) nilai anak Cina rendah pada kemampuan verbal, tetapi lebih tinggi pada angka, ruang dan pemikiran. Dalam perbandingan antara anak kulit putih dan anak Asia, nilai anak kulit putih lebih tinggi pada kemampuan verbal namun lebih rendah pada kemampuan mengenai ruang (spatial orientation). Penelitian Wibowo (1994) menunjukkan bahwa performance IQ anak balita Jawa relatif lebih tinggi dibanding anak balita Sumbar.
4) Rangsangan intelektual
Rangsangan atau stimulasi yang didapatkan anak sejak usia dini, baik di lingkungan keluarga maupun dari lingkungan sekitar anak berpengaruh terhadap tingkat inteligensi anak. Studi longitudinal
(42)
24
mengenai kemampuan kognitif pada anak yang mendapatkan pendidikan usia dini yang dilakukan oleh Campbell dan Ramey (1995) dalam
American Educational Research Journal, menemukan bahwa adanya
hubungan antara intervensi dini melalui pendidikan usia dini pada anak-anak dari keluarga dengan pendapatan rendah dengan intelegensi jangka panjang dan prestasi belajarnya. Penelitian tersebut membuktikan bahwa remaja yang mendapatkan pendidikan usia dini menunjukkan hasil yang lebih tinggi untuk tes bahasa dan matematika daripada remaja yang hanya mendapatkan intervensi pendidikan pada sekolah dasar. Hasil penelitian Setyaningrum, dkk. (2014), menemukan bahwa anak usia dini yang mengikuti pembelajaran di PAUD berpeluang mempunyai perkembangan kognitif yang baik sekitar empat kali dibandingkan dengan anak usia dini yang tidak ikut PAUD. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah pada pembelajaran di PAUD perkembangan intelegensinya lebih cepat daripada anak yang kurang stimulasi atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi. Berbagai stimulasi melalui pancaindera seperti melihat, mendengar, merasa, mencium dan meraba, yang diberikan selama awal kehidupan mempunyai pengaruh yang besar pada pertumbuhan dan maturasi otak (Warsito, dkk., 2010).
2.2.3 Pengukuran tingkat intelegensi
Tes intelegensi atau sering disebut tes IQ merupakan suatu jenis tes psikologis yang secara khusus digunakan sebagai alat pengukuran tingkat
(43)
25
intelegensi atau kemampuan kognitif seseorang (Sukardi, 1993). Tes intelegensi disusun untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan dalam memberikan suatu jawaban atau kesimpulan secara logis berdasarkan informasi yang diberikan (Guilford, 1982). Metode untuk pengukuran tingkat intelegensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode Standard Progressive Matrices (SPM). SPM merupakan bentuk asli dari Raven Progressive Matrices yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1938. Tes ini terdiri dari lima kelompok soal, dimana masing-masing kelompok soal berisi 12 soal, sehingga jumlah keseluruhan soal adalah sebanyak 60 soal. Setiap soal akan bergerak dari soal yang mudah hingga soal yang sulit. Kondisi ini menunjukkan bahwa dibutuhkan kapasitas kognitif yang lebih besar untuk memasukkan dan menganalisa informasi di dalam otak. Tes ini dirancang khusus untuk usia enam hingga 65 tahun yang dapat disajikan secara individual ataupun klasikal. Waktu untuk mengerjakan tes ini adalah kurang lebih 30 menit. Aspek yang diukur pada SPM adalah daya abstraksi, berpikir logis/menalar, berpikir sistematis, kecepatan dan ketelitian serta konsentrasi.
2.3 Obesitas 2.3.1 Definisi
Penderita obesitas lebih banyak dijumpai pada usia remaja dan eksekutif muda di perkotaan oleh karena mengkonsumsi makanan berlebih serta kurangnya aktivitas fisik dan berolahraga. Obesitas biasanya disebabkan karena remaja tidak dapat mengontrol makanannya, makan dalam jumlah berlebih sehingga berat
(44)
26
badannya melebihi normal. Pada beberapa kasus obesitas terjadi karena binge eating disorder yaitu suatu keadaan seseorang yang makan dalam jumlah besar secara terus menerus dan cepat tanpa terkontrol. Setelah menyadarinya baru merasa bersalah tapi jika keadaan binge datang lagi dia akan kembali melakukannya tanpa sadar (Sulistyoningsih, 2011).
Kegemukan (overweight) seringkali disamakan dengan obesitas, namun pada dasarnya memiliki arti yang berbeda. Kegemukan merupakan keadaan berat tubuh yang melebihi berat tubuh secara normal, sedangkan obesitas merupakan keadaan kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak. Kegemukan dan obesitas bisa terjadi pada berbagai golongan umur dan jenis kelamin. Juvenil obesity adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak). Sekitar 50-70% obesitas yang muncul pada remaja cenderung berlanjut hingga dewasa (Sulistyoningsih, 2011).
Obesitas merupakan suatu bentuk penyimpangan dari bentuk tubuh yang ideal. Obesitas menjadi hal yang penting bagi remaja, karena pada masa ini penampilan fisik menjadi suatu hal yang penting yang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Obesitas tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit bagi penderitanya, tetapi juga berpengaruh pada masalah psikososial. Seseorang yang obesitas sering kali diasosiasikan memiliki harga diri yang rendah. Hal ini tidak timbul dengan sendirinya namun karena adanya stigma dan stereotipe yang berada di masyarakat yang membuat penderita obesitas menjadi tidak puas dengan dirinya sehingga memiliki harga diri yang rendah.
(45)
27
Warschburger (2005) menyatakan obesitas membuat remaja mengalami gangguan kesehatan emosional seperti timbulnya harga diri yang negatif, meningkatnya depresi dan kecemasan. Akan tetapi, besarnya hubungan antara masalah berat badan dengan masalah psikologi ini bervariasi dan obesitas tidak secara langsung mengakibatkan masalah psikososial. Sebuah penelitian oleh Eisenberg, dkk. (2003) menyatakan bahwa ejekan yang berhubungan dengan berat badan yang ditujukan pada penderita obesitas dapat menurunkan harga diri baik pada remaja putri dan putra. Masalah psikososial yang terjadi pada remaja obesitas ini juga mempengaruhi aspek lain dalam hidup salah satunya adalah prestasi belajar (Aluja dan Blanch, 2002; Xie, dkk., 2006).
2.3.2 Penilaian status gizi
Standar pertumbuhan yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) berdasarkan penelitian longitudinal di enam negara yang tersebar di empat benua yaitu Pelotas (Brasil), Accra (Ghana), Delhi (India), Oslo (Norwegia), Muscat (Oman), Davis (California-AS). WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk menyediakan data yang menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan cara memasukkan kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan tidak merokok). MGRS menghasilkan Standar Pertumbuhan Normal (preskriptif), berbeda dengan yang hanya deskriptif. Standar baru memperlihatkan bagaimana pertumbuhan anak dapat dicapai apabila memenuhi syarat-syarat tertentu seperti pemberian makan, imunisasi dan asuhan selama sakit. Standar baru ini dapat
(46)
28
digunakan diseluruh dunia, karena penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari negara manapun akan tumbuh sama apabila gizi, kesehatan dan kebutuhan asuhannya dipenuhi. Standar WHO (2005) ini diadopsi sebagai acuan untuk menilai status gizi anak di Indonesia. Kategori dan ambang batas status gizi anak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori
Status Gizi Ambang Batas (Z-Score) Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Gizi Buruk < -3 SD
Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Pendek < -3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan
menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5 – 18 Tahun
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 1 SD Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD Obesitas >2 SD
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak
(47)
29
2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi
Li (1995) menemukan bahwa anak yang obesitas memiliki IQ (Intelligence Quotient) yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan anak yang tidak obesitas. Akan tetapi, IQ hanya mengukur kemampuan anak dan tidak memprediksi prestasi belajar. Penelitian oleh Mo-Suwan, dkk. (1999) menemukan bahwa obesitas pada remaja diasosiasikan dengan prestasi belajar yang buruk, sedangkan pada anak usia 8-12 tahun yang obesitas tidak ditemukan hubungan tersebut. Sebuah studi lima tahun lebih dari 2.200 orang dewasa mengklaim telah menemukan hubungan antara obesitas dan penurunan tingkat intelegensi seseorang. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan Indeks Massa Tubuh 20 atau kurang bisa mengingat 56% kata dalam tes kosa kata, tetapi mereka yang mengalami obesitas, dengan IMT 30 atau lebih tinggi, bisa mengingat hanya 44%. Subyek gemuk juga menunjukkan tingkat yang lebih tinggi penurunan intelegensi ketika mereka diuji ulang lima tahun kemudian, ingatan mereka turun menjadi 37,5% tetapi subyek dengan berat badan yang sehat mempertahankan tingkat recall (Chandola, dkk., 2006). Studi terbaru menunjukkan, orang yang kegemukan atau obesitas memiliki jaringan otak 8% lebih sedikit dibanding pada orang yang berat badannya normal. Akibatnya otak mengalami kemunduran sampai 16 tahun lebih tua dibandingkan orang yang tidak terlalu banyak lemak. Orang yang overweight memiliki jaringan otak 4% lebih sedikit dan otaknya terlihat lebih tua 8 tahun (Haris, 2008).
Secara fisiologik, tingginya kadar lemak dalam tubuh akan menghasilkan berbagai macam oksidan penyebab terganggunya perkembangan intelegensi,
(48)
30
seperti eicosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid, reactive oxygen species (ROS), 4-hidroksinonenal (4-HNE) dan 4-hidroksiheksenal (4-HHE). Stres oksidatif ini diduga sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan tingkat intelegensi. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme lemak mengakibatkan terjadi akumulasi kerusakan oksidatif biomelekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidatin endogen. Jaringan otak hanya mempunyai sedikit perlindungan antioksidan dan mempunyai kadar asam lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga mudah terkena oksidasi (Purnomo dkk, 2009). Selain itu, penimbunan lemak pada penderita obesitas akan menyebabkan tingginya kadar asam lemak bebas (FFA) dan trigliserida dalam plasma, dimana FFA dan trigliserida ini merupakan hasil metabolisme dari lemak. FFA bersifat lipotoxocity bagi tubuh dan dapat menyebabkan toksisitas pada saraf (Farooqui dan Harrocks, 2006).
Sekitar 36-59% anak dan remaja obesitas menderita Obstructive Sleep
Apnea Syndrome (OSAS), gejalanya dapat berupa mengorok dan mengompol
yang dapat mengakibatkan ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan terjadi hipertensi pulmonal (Wing dan Pak, 2003). Penyebabnya adalah adanya penebalan pada jaringan lemak di daerah faringeal yang seringkali diperberat oleh adanya hipertrofi adenotonsilar. Obstruksi saluran nafas intermiten di malam hari dapat mengakibatkan tidur gelisah serta mengurangi sirkulasi oksigen ke otak. Sebagai akibatnya, anak akan mengantuk pada keesokkan harinya dan mengalami hipoventilasi. OSAS yang terjadi berkepanjangan akan berdampak pada gangguan perkembangan intelegensi anak tersebut. Pada sebuah studi tentang hasil MRI
(49)
31
pada penderita OSAS membuktikan bahwa terjadinya penyusutan volume gray matter pada bagian frontal, parietal, temporal, hipokampus dan serebelum (Hunt, 2004). Obesitas dan OSAS adalah dua faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan intelegensi melalui mekanisme hipoksia. Hipoksia yang terjadi intermiten dapat menyebabkan kerusakan hingga atropi otak. Hipertensi merupakan faktor risiko potensial yang dapat menyebabkan degenerasi otak dan sistem saraf pusat (Pandav, dkk., 2003).
Obesitas merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular karena terjadi penebalan dan pengerasan pembuluh darah, hal yang sama juga terjadi dengan arteri di otak. Selain itu, hormon yang dikeluarkan dari lemak dapat memiliki efek merusak pada sel otak, sehingga fungsi otak berkurang. Orang yang obesitas akan kehilangan jaringan otak di bagian depan dan bagian lobus temporal, area otak yang sangat penting untuk memori dan pencernaan. Selain itu area lain yang terganggu adalah anterior cingulate gyrus (berfungsi untuk pemusatan perhatian), hippocampus (memori jangka panjang), dan bangsal ganglia (untuk pergerakkan). Hal tersebut akan menyebabkan terjadi perubahan struktur anatomi otak yang kemudian menyebabkan gangguan fungsi faal otak terutama daya ingat (Chandola, 2006).
Riset yang dilakukan oleh Gale dan tim peneliti mengumpulkan data dari 8200 laki-laki dan perempuan yang berusia 30 tahun, dimana IQ mereka pernah dites sebelumnya saat mereka berusia 10 tahun. Hasilnya yaitu anak yang memiliki IQ tinggi banyak yang menjadi vegetarian saat mereka berusia 30 tahun.
(50)
32
Seperti yang diketahui bahwa seorang vegetarian memiliki kadar kalesterol yang rendah serta jarang menderita obesitas ataupun penyakit jantung. Studi lainnya juga menemukan bahwa anak dengan kemampuan otak yang cerdas biasanya mempunyai gaya hidup sehat seperti tidak merokok, tidak kegemukan, tekanan darahnya normal, dan rajin berolahraga (Gale, 2009). Para ahli setuju bahwa pengaruh obesitas terhadap IQ didasarkan pada pola kehidupan masyarakat yang moderen seperti tingkat stres tinggi, pola makan seperti mengkonsumsi makanan siap saji, kurang aktivitas seperti berolahraga yang mengakibatkan penumpukan lemak tubuh secara berlebihan. Oleh karena itu perubahan gaya hidup anak-anak, remaja, sampai dewasa sangat penting (Gale, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jorien Veldwijk dkk. (2011), dengan jumlah sampel 236 anak usia tujuh tahun, menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara IMT dengan intelegensi anak sekolah. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat intelegensi menurun seiring dengan peningkatan IMT tetapi hubungan ini menunjukkan tidak signifikan pada analisis statistik yang dilakukan. Meskipun telah melakukan analisis multivariat untuk mengontrol variabel confounding seperti aktivitas fisik, tingkat pendidikan ibu, IMT ibu sebelum hamil, perilaku merokok ibu selama hamil, dan berat badan lahir, tetap menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan obesitas dengan tingkat intelegensi pada anak sekolah.
(1)
Warschburger (2005) menyatakan obesitas membuat remaja mengalami gangguan kesehatan emosional seperti timbulnya harga diri yang negatif, meningkatnya depresi dan kecemasan. Akan tetapi, besarnya hubungan antara masalah berat badan dengan masalah psikologi ini bervariasi dan obesitas tidak secara langsung mengakibatkan masalah psikososial. Sebuah penelitian oleh Eisenberg, dkk. (2003) menyatakan bahwa ejekan yang berhubungan dengan berat badan yang ditujukan pada penderita obesitas dapat menurunkan harga diri baik pada remaja putri dan putra. Masalah psikososial yang terjadi pada remaja obesitas ini juga mempengaruhi aspek lain dalam hidup salah satunya adalah prestasi belajar (Aluja dan Blanch, 2002; Xie, dkk., 2006).
2.3.2 Penilaian status gizi
Standar pertumbuhan yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) berdasarkan penelitian longitudinal di enam negara yang tersebar di empat benua yaitu Pelotas (Brasil), Accra (Ghana), Delhi (India), Oslo (Norwegia), Muscat (Oman), Davis (California-AS). WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk menyediakan data yang menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan cara memasukkan kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan tidak merokok). MGRS menghasilkan Standar Pertumbuhan Normal (preskriptif), berbeda dengan yang hanya deskriptif. Standar baru memperlihatkan bagaimana pertumbuhan anak dapat dicapai apabila memenuhi syarat-syarat tertentu seperti pemberian makan, imunisasi dan asuhan selama sakit. Standar baru ini dapat
(2)
digunakan diseluruh dunia, karena penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari negara manapun akan tumbuh sama apabila gizi, kesehatan dan kebutuhan asuhannya dipenuhi. Standar WHO (2005) ini diadopsi sebagai acuan untuk menilai status gizi anak di Indonesia. Kategori dan ambang batas status gizi anak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori
Status Gizi Ambang Batas (Z-Score) Berat Badan menurut Umur
(BB/U)
Anak Umur 0 – 60 Bulan
Gizi Buruk < -3 SD
Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD Gizi Lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Pendek < -3 SD
Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan
menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Gemuk >2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 0 – 60 Bulan
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Gemuk >2 SD
Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 5 – 18 Tahun
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD Normal -2 SD sampai dengan 1 SD Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD Obesitas >2 SD
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak
(3)
2.4 Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Intelegensi
Li (1995) menemukan bahwa anak yang obesitas memiliki IQ (Intelligence Quotient) yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan anak yang tidak obesitas. Akan tetapi, IQ hanya mengukur kemampuan anak dan tidak memprediksi prestasi belajar. Penelitian oleh Mo-Suwan, dkk. (1999) menemukan bahwa obesitas pada remaja diasosiasikan dengan prestasi belajar yang buruk, sedangkan pada anak usia 8-12 tahun yang obesitas tidak ditemukan hubungan tersebut. Sebuah studi lima tahun lebih dari 2.200 orang dewasa mengklaim telah menemukan hubungan antara obesitas dan penurunan tingkat intelegensi seseorang. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan Indeks Massa Tubuh 20 atau kurang bisa mengingat 56% kata dalam tes kosa kata, tetapi mereka yang mengalami obesitas, dengan IMT 30 atau lebih tinggi, bisa mengingat hanya 44%. Subyek gemuk juga menunjukkan tingkat yang lebih tinggi penurunan intelegensi ketika mereka diuji ulang lima tahun kemudian, ingatan mereka turun menjadi 37,5% tetapi subyek dengan berat badan yang sehat mempertahankan tingkat
recall (Chandola, dkk., 2006). Studi terbaru menunjukkan, orang yang kegemukan atau obesitas memiliki jaringan otak 8% lebih sedikit dibanding pada orang yang berat badannya normal. Akibatnya otak mengalami kemunduran sampai 16 tahun lebih tua dibandingkan orang yang tidak terlalu banyak lemak. Orang yang
overweight memiliki jaringan otak 4% lebih sedikit dan otaknya terlihat lebih tua 8 tahun (Haris, 2008).
Secara fisiologik, tingginya kadar lemak dalam tubuh akan menghasilkan berbagai macam oksidan penyebab terganggunya perkembangan intelegensi,
(4)
seperti eicosanoid, dokosanoid, lisofosfolipid, reactive oxygen species (ROS), 4-hidroksinonenal (4-HNE) dan 4-hidroksiheksenal (4-HHE). Stres oksidatif ini diduga sebagai salah satu faktor utama yang berperan dalam penurunan tingkat intelegensi. Stres oksidatif berupa radikal bebas hasil metabolisme lemak mengakibatkan terjadi akumulasi kerusakan oksidatif biomelekul, terutama pada kondisi insufisiensi mekanisme pertahanan antioksidatin endogen. Jaringan otak hanya mempunyai sedikit perlindungan antioksidan dan mempunyai kadar asam lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga mudah terkena oksidasi (Purnomo dkk, 2009). Selain itu, penimbunan lemak pada penderita obesitas akan menyebabkan tingginya kadar asam lemak bebas (FFA) dan trigliserida dalam plasma, dimana FFA dan trigliserida ini merupakan hasil metabolisme dari lemak. FFA bersifat
lipotoxocity bagi tubuh dan dapat menyebabkan toksisitas pada saraf (Farooqui dan Harrocks, 2006).
Sekitar 36-59% anak dan remaja obesitas menderita Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS), gejalanya dapat berupa mengorok dan mengompol yang dapat mengakibatkan ventrikel kanan mengalami hipertrofi dan terjadi hipertensi pulmonal (Wing dan Pak, 2003). Penyebabnya adalah adanya penebalan pada jaringan lemak di daerah faringeal yang seringkali diperberat oleh adanya hipertrofi adenotonsilar. Obstruksi saluran nafas intermiten di malam hari dapat mengakibatkan tidur gelisah serta mengurangi sirkulasi oksigen ke otak. Sebagai akibatnya, anak akan mengantuk pada keesokkan harinya dan mengalami hipoventilasi. OSAS yang terjadi berkepanjangan akan berdampak pada gangguan perkembangan intelegensi anak tersebut. Pada sebuah studi tentang hasil MRI
(5)
pada penderita OSAS membuktikan bahwa terjadinya penyusutan volume gray matter pada bagian frontal, parietal, temporal, hipokampus dan serebelum (Hunt, 2004). Obesitas dan OSAS adalah dua faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan intelegensi melalui mekanisme hipoksia. Hipoksia yang terjadi intermiten dapat menyebabkan kerusakan hingga atropi otak. Hipertensi merupakan faktor risiko potensial yang dapat menyebabkan degenerasi otak dan sistem saraf pusat (Pandav, dkk., 2003).
Obesitas merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular karena terjadi penebalan dan pengerasan pembuluh darah, hal yang sama juga terjadi dengan arteri di otak. Selain itu, hormon yang dikeluarkan dari lemak dapat memiliki efek merusak pada sel otak, sehingga fungsi otak berkurang. Orang yang obesitas akan kehilangan jaringan otak di bagian depan dan bagian lobus temporal, area otak yang sangat penting untuk memori dan pencernaan. Selain itu area lain yang terganggu adalah anterior cingulate gyrus (berfungsi untuk pemusatan perhatian),
hippocampus (memori jangka panjang), dan bangsal ganglia (untuk pergerakkan). Hal tersebut akan menyebabkan terjadi perubahan struktur anatomi otak yang kemudian menyebabkan gangguan fungsi faal otak terutama daya ingat (Chandola, 2006).
Riset yang dilakukan oleh Gale dan tim peneliti mengumpulkan data dari 8200 laki-laki dan perempuan yang berusia 30 tahun, dimana IQ mereka pernah dites sebelumnya saat mereka berusia 10 tahun. Hasilnya yaitu anak yang memiliki IQ tinggi banyak yang menjadi vegetarian saat mereka berusia 30 tahun.
(6)
Seperti yang diketahui bahwa seorang vegetarian memiliki kadar kalesterol yang rendah serta jarang menderita obesitas ataupun penyakit jantung. Studi lainnya juga menemukan bahwa anak dengan kemampuan otak yang cerdas biasanya mempunyai gaya hidup sehat seperti tidak merokok, tidak kegemukan, tekanan darahnya normal, dan rajin berolahraga (Gale, 2009). Para ahli setuju bahwa pengaruh obesitas terhadap IQ didasarkan pada pola kehidupan masyarakat yang moderen seperti tingkat stres tinggi, pola makan seperti mengkonsumsi makanan siap saji, kurang aktivitas seperti berolahraga yang mengakibatkan penumpukan lemak tubuh secara berlebihan. Oleh karena itu perubahan gaya hidup anak-anak, remaja, sampai dewasa sangat penting (Gale, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Jorien Veldwijk dkk. (2011), dengan jumlah sampel 236 anak usia tujuh tahun, menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara IMT dengan intelegensi anak sekolah. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat intelegensi menurun seiring dengan peningkatan IMT tetapi hubungan ini menunjukkan tidak signifikan pada analisis statistik yang dilakukan. Meskipun telah melakukan analisis multivariat untuk mengontrol variabel confounding seperti aktivitas fisik, tingkat pendidikan ibu, IMT ibu sebelum hamil, perilaku merokok ibu selama hamil, dan berat badan lahir, tetap menunjukkan hubungan yang tidak signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui konsistensi hasil penelitian terdahulu mengenai hubungan obesitas dengan tingkat intelegensi pada anak sekolah.