REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiologi Nasionalisme dalam Lirik Lagu Indonesiaku Oleh Kelompok Musik Ungu).
(Studi Semiologi Nasionalisme dalam Lirik Lagu Indonesiaku Oleh
Kelompok Musik Ungu )
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
ARI RUBIANTI NPM. 0543010273
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
SURABAYA
2010(2)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena karuniaNya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Representasi Nasionalisme Dalam Lirik Lagu (Studi Semiologi Nasionalisme dalam Lirik Lagu Indonesiaku Oleh Kelompok Musik Ungu).
Tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu selama menyusun penulisan skripsi ini.
Adapun penulis sampaikan rasa terima kasih, kepada:
1. Allah SWT. Karena telah melimpahkan segala karuniaNYA, sehingga penulis mendapatkan kemudahan selama proses penulisan skripsi ini.
2. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.
3. Juwito, S.Sos, M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN ”Veteran” Jatim.
4. Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si, Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN ”Veteran” Jatim, sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan motivasi.
5. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan dorongan dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu , the best parents yang telah memberikan dorongan, semangat, dan pengertiannya bagi penulis baik secara moril dan materiil.
(3)
iv
7. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu ada dalam segala suasana, d’mbulets (Afni, Anggrez, Budi, Butet, Intan, Defi, Dewi, Eche, Iin, Lemot, Nani, Rima, Ria).
8. Mbah, Mbah Uti, (Alm)Mbah Kakung, Pakde, Bude, Om, Tante, the Big Family of Mbalor yang ikut memberikan dorongan semangat dan doanya untuk penulis.
9. Teman-teman KKN seperjuangan kelompok 38, Probolinggo 2008. 10. Teman-teman angkatan 2005 komunikasi UPN Veteran Jatim.
11. Special thanks to UNGU, atas inspirasinya sehingga lagu ”Indonesiaku” peneliti jadikan sebagai objek penelitian.
12. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu oleh penulis, yang telah membantu penyelesaian skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah dibutuhkan guna memperbaiki kekurangan yang ada.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya teman-teman di Program studi Ilmu Komunikasi.
Surabaya, 11 Juni 2010
(4)
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
ABSTRAKSI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10
2.1. Landasan Teori ... 10
2.1.1. Musik ... 10
2.1.2. Lirik Lagu ... 11
2.1.3. Nasionalisme Kebangsaan Indonesia Lagu ... 12
(5)
2.1.3.3. Nasionalisme Modern ... 18
2.1.4 Representasi ... 20
2.1.5 Semiotika dan Semiologi Komunikasi ... 23
2.1.6. Semiologi Roland Barthes ... 25
2.1.6.1 Kode Pembacaan ... 35
2.2. Kerangka Berpikir... 37
BAB III METODE PENELITIAN ... 39
3.1. Metode Penelitian ... 39
3.1.1. Analisis Semiotik ... 39
3.1.2. Unit Analisis ... 39
3.1.3. Korpus Penelitian ... 41
3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 45
4.2. Penyajian dan Analisis Data ... 50
4.2.1. Penyajian Data ... 50
4.2.2. Analisis Data ... 53
(6)
vii
5.2. Saran ... 80
(7)
Halaman
Table 4.1. ……… 52
viii
(8)
Halaman
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes ……… 27
Gambar 2.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes ……… 32
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir ……… 38
Gambar 4.1 Peta Tanda Bait 1 Lirik 1 ……… 58
Gambar 4.2. Peta Tanda Bait 1 Lirik 2 ... 59
Gambar 4.3. Peta Tanda Bait 1 Lirik 3 ... 60
Gambar 4.4 Peta Tanda Bait 1 Lirik 4 ... 61
Gambar 4.5 Peta Tanda Bait 1 Lirik 5 ... 62
Gambar 4.6 Peta Tanda Bait 2 Lirik 1 ... 63
Gambar 4.7 Peta Tanda Bait 2 Lirik 2 ... 64
Gambar 4.8 Peta Tanda Bait 2 Lirik 3 ... 65
Gambar 4.9 Peta Tanda Bait 2 Lirik 4 ... 66
Gambar 4.10 Peta Tanda Bait 2 Lirik 5 ... 67
ix
(9)
x
Gambar 4.12. Peta Tanda Bait 3 Lirik 2 ... 69
Gambar 4.13. Peta Tanda Bait 3 Lirik 3 ... 70
Gambar 4.14. Peta Tanda Bait 3 Lirik 4 ... 71
Gambar 4.15. Peta Tanda Bait 4 Lirik 1 ... 72
Gambar 4.16. Peta Tanda Bait 4 Lirik 2 ... 73
Gambar 4.17. Peta Tanda Bait 4 Lirik 3 ... 74
Gambar 4.18. Peta Tanda Bait 4 Lirik 4 ... 75
Gambar 4.19. Peta Tanda Bait 5 Lirik 1 ... 76
Gambar 4.20. Peta Tanda Bait 5 Lirik 2 ... 77
Gambar 4.21. Peta Tanda Bait 5 Lirik 3 ... 78
(10)
Halaman Lampiran 1. Ungu ungkapkan rasa nasionalisme melalui lagu
‘Indonesiaku’………... 83 Lampiran 2. Cover album Ungu “Penguasa Hati” 2009 ……….. 84 Lampiran 3. Kelebihan Indonesia dibanding negara lain……….. 85
(11)
ARI RUBIANTI. REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiologi Nasionalisme dalam Lirik Lagu Indonesiaku Oleh Kelompok Musik Ungu)
Penelitian ini didasarkan pada kurangnya rasa Nasionalisme di masyarakat Indonesia khususnya pada generasi muda Indonesia. Lagu Indonesiaku merupakan salah satu dari sedikit lagu yang mengangkat tema Nasionalisme. Lagu atau musik merupakan salah satu media komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan kepada generasi muda. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan representasi Nasionalisme dalam lagu tersebut. Nasionalisme merupakan suatu paham yang memberikan ilham kepada sebagian terbesar penduduk dan yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami segenap anggota-anggotanya. Nasionalisme adalah faham yang menunjukkan bahwa kesetiaan dari setiap individu atau warga negara ditujukan kepada bangsanya.
Studi penelitian ini diarahkan pada pendekatan semiotika Roland Barthes. Konsep yang digunakan adalah peta tanda Roland Barthes dan lima kode pembacaan, yaitu kode hermeneutik, kode proaretik, kode semik, kode kultural, dan kode budaya yang akan digunakan untuk memaknai setiap lirik dalam lagu tersebut.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif interpretative dengan menggunakan pendekatan semiotik berdasarkan konsep signifikasi dua tahap Roland Barthes. Unit analisis yang digunakan adalah tanda-tanda yang berupa kata-kata yang terdapat dalam lirik “Indonesiaku”.
Gambaran umum objek penelitian dijabarkan tentang latar belakang pencipta lagu dalam menciptakan lagu tersebut. Dari data yang sudah diinterpretasi dan dianalisis, maka disimpulkan bahwa karena pencipta lagu melihat generasi muda sudah mulai kehilangan rasa Nasionalisme, maka pencipta lagu menciptaka lagu tersebut untuk mengajak para generasi muda untuk meningkatkan rasa nasionalismenya dengan bangga akan karya-karya bangsa Indonesia.
Saran yang disampaikan penulis adalah agar kita sebagai warganegara Indonesia lebih bisa menjaga warisan nenek moyang kita, yaitu budaya-budaya yang ada di Indonesia, serta terus menjaga dan memelihara rasa nasionalisme dan cinta tanah air.
Kata kunci : representasi nasionalisme lirik lagu
(12)
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Musik merupakan hasil budaya manusia yang menarik diantara banyak hasil budaya yang lain, dikatakan menarik karena musik memegang peranan yang sangat banyak di berbagai bidang. Seperti jika dilihat dari psikologinya, musik kerap menjadi sarana kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan berkreasi. Dari sisi sosial musik dapat disebut sebagai cermin tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat musik tersebut diciptakan.
Musik dapat dikatakan sebagai bahasa yang universal, dapat juga diartikan sebagai media ekspresi masyarakat, baik itu kalangan bawah hingga lapisan yang paling atas. Tanpa disadari musik juga mempengaruhi kehidupan sosial di dalam kehidupan masyarakat, sehingga musik banyak tercipta dari tema yang cukup beraneka ragam mulai masalah percintaan, kehidupan sehari-hari, seni budaya, agama, olah raga, mode maupun sebagai alat kontrol sosial dan kritik terhadap salah satu pihak seperti pemerintahan.
Musik diartikan sebagai ungkapan perasaan yang dituangkan dalam bentuk bunyi-bunyian atau suara. Ungkapan yang dikeluarkan melalui suara manusia disebut vokal sedangkan ungkapan yang dikeluarkan melalui bunyi alat musik disebut instrumental (Subagyo, 2006:4).
(13)
Musik dalam sebuah lagu adalah sekumpulan lirik diberi instrument akor dan melodi, meskipun terlihat sederhana, namun proses pembuatan sebuah lagu dibutuhkan keahlian menulis lirik lagu hingga keahlian dalam berimajinasi menciptakan sebuah ide, meskipun dalam prakteknya lirik tersebut berdasarkan pengalaman pribadi atau keadaan sosial didalam kehidupan bermasyarakat. Lirik lagu merupakan sebuah komunikasi verbal yang memiliki makna pesan di dalamnya. Sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu memikat perhatian. Kekuatan lirik lagu adalah unsur yang penting bagi keberhasilan bermusik, sebab pesan yang disampaikan oleh pencipta lagu ternyata tidak berasal dari luar diri pencipta lagu tersebut, dalam artian bahwa pesan tersebut bersumber pada pola pikir serta kerangka acuan (frame of reference) dan pengalaman (field of eksperiense) sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya (www.balipost.co.id/baliposcetak/g3.html).
Musik merupakan satu kesatuan dari nada, lirik, bahkan visual (video klip) yang diciptakan berdasarkan perasaan pencipta musik tersebut yang kemudian diterjemahkan ke dalam musik. Isi tanda musik dalam hal ini adalah emosi yang dibangkitkan dalam diri pendengar, jadi apabila seseorang menangkap sebuah musik yang berupa ungkapan yang diubah menjadi sebuah nada dan lirik maka pendengar tersebut akan ikut merasakan ungkapan
(14)
perasaan pencipta musik tersebut. Langer berpendapat bahwa musik merupakan ekspresi perasaan, bentuk simbolik yang spesifikasinya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat didefinisikan karena ia hanya bersifat implicit, tetapi secara konvensional tidak tetap.
Dapat dikatakan musik yang di dalamnya terdapat lirik sebuah lagu adalah sebuah proses komunikasi, hal ini seperti diungkapkan Tubbs and Moss dalam human communication: proses komunikasi itu sebenarnya mencakup pengiriman pesan dari sistem saraf kepada sistem saraf orang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama dengan yang ada dalam benak pengirim. Pesan verbal melakukan hal tersebut melalui kata-kata yang merupakan unsur dasar bahasa dan kata-kata-kata-kata, sudah jelas merupakan simbol verbal.
Musik juga merupakan bagian dari komunikasi, seperti yang dikemukakan oleh Wiliam I. Gorden menyatakan bahwa komunikasi itu mempunyai empat fungsi. Keempat fungsi tersebut meliputi komunikasi sosial, budaya ekspresif, komunikasi ritual, dam instrumental yang tidak saling meniadakan (mutually exclusive) (Dedy Mulyana, 2005:5-30).
Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu sangat penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk
(15)
memperoleh kebahagiaan terhindar dari tekanan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain (Dedy Mulyana, 2005:5)
Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian maupun kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi). Perasaan tersebut dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk-bentuk seni seperti novel, puisi, musik tarian atau lukisan. Harus diakui musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (Dedy Mulyana, 2005:21).
Setiap kata mengandung makna, makna itu ada yang sudah jelas, tetapi, ada juga yang maknanya kabur. Setiap kata dapat saja mengandung lebih dari satu makna. Dapat saja sebuah kata mengacu pada sesuatu yang berbeda sesuai dengan lingkungan pemakainya. Hubungan makna tampak pula jika kata akan dirangkaikan satu dengan yang lain sehingga akan terlihat makna dalam pemakaian bahasa. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan karena mempunyai banyak makna, sehingga musik tidak hanya bunyi suara belaka.
(16)
Musik juga memainkan peran dalam evolusi manusia, dibalik perilaku dan tindakan manusia terdapat pikiran dan perkembangan diri dipengaruhi oleh musik. Pemakaian bahasa pada sebuah karya seni berbeda dengan penggunaan bahasa sehari-hari atau dalam kegiatan lain. Musik berkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada, sehingga mengandung makna yang tersembunyi dan berbeda di dalamnya. Musik dapat juga digunakan sebagai media penyampaian suatu pesan kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan berbgai macam, mulai pesan yang hanya bertujuan memperlihatkan akan sesuatu hal sampai mengajak melakukan sesuatu. Salah satu contoh pesan yang biasa disampaikan adalah pentingnya rasa nasionalisme terhadap bangsa sendiri.
Nasionalisme adalah satu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada kebangsaan (Kohn,1984:11). Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Nasionalisme dalam arti kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. Dan nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua segi kehidupan, menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara, negaranya sendiri, dan bahwa negara itu harus meliputi seluruh bangsa. Ikatan nasionalisme tumbuh
(17)
ditengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan menolong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah.
Nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri dan secara bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu, yang disebut semangat kebangsaan. Sehingga nasionalisme kebangsaan Indonesia membuka pintu bagi siapa saja untuk berpatisipasi membangun Negara Republik Indonesia, tanpa melakukan pembedaan dalam rasialis, etnis, agama, dan orientasi politik.
Belakangan para generasi muda bangsa kita sudah kekurangan akan nilai nasionalisme terhdap bangsanya, mereka sibuk mencari jati diri sendiri dan asik dengan budaya luar dan melupakan jati diri sebagai bangsa yang besar. Hanya sedikit generasi bangsa yang peduli dengan rasa nasionalisme terhadap bangsanya. Salah satu musisi Indonesia yang mengungkapkan nasionalisme melalui lirik lagu adalah group band Ungu. Jiwa nasionalisme jugalah yang telah mendorong band ini menciptakan sebuah lagu berjudul “Indonesiaku”. Di saat semangat nasionalisme masyarakat Indonesia
(18)
semakin surut, Ungu muncul menunjukkan nasionalisme kebangsaannya melalui lagu. Ungu adalah kelompok musik yang beraliran pop. Band ini beranggotakan Pasha (vocal), Makki (bassis), Enda (gitaris), Oncy (gitaris) dan Rowman (drum). Dalam lirik lagu “Indonesiaku” ini, Ungu ingin mengingatkan generasi saat ini untuk selalu cinta terhadap tanah air, menyadarkan kepada mereka bahwa Indonesia ini mempunyai alam yang indah yang harus kita patri dalam hati.
Lirik lagu yang dibawakan oleh Ungu tersebut adalah sebuah proses komunikasi yang mewakili seni karena terdapat informasi dan pesan yang terkandung dalam lirik lagu tersebut yang sengaja digunakan oleh komunikator untuk disampaikan kepada komunikan dalam hal ini masyarakat luas, dengan menggunakan bahasa yang verbal. Ketika sebuah lirik lagu mulai diaransemen dan diperdengarkan kepada khalayak, lirik tersebut mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu. Pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagunya tentu tidak akan berasalkan dari luar diri si pencipta lagu, artinya bahwa pesan tersebut bersumber dari pola pikirnya yang terbentuk dari hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Metode Roland Barthes menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara
(19)
konvensi dalam teks dengan konvesi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of significationI”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kutural dan personal), hingga menghasilkan suatu interpretasi mengenai bagaimana nasionalisme kebangsaan diinterpretasikan dalam lirik lagu ”Indonesiaku”.
. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi semiologi agar dapat mengetahui representasi nasionalisme dalam lirik lagu “Indonesiaku” yang dibawakan band Ungu.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Representasi Nasionalisme dalam lirik lagu “studi semiologi Nasionalisme dalam lirik lagu “Indonesiaku” oleh kelompok musik Ungu.
1.3 Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi nasionalisme dalam lagu tersebut.
(20)
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat membantu pembaca dalam memaknai tanda yang menggambarkan nasionalisme yang ada dalam lirik lagu tersebut. Dan diharapkan akan dapat menyamakan persepsi terhadap pesan yang disampaikan oleh pencipta lagu, penyanyi, dan khalayak luas pendengar lirik lagu tersebut.
1.4.2 Kegunaan Teoritis
Bermanfaat untuk menambah literatur penelitian kualitatif ilmu komunikasi khususnya mengenai analisis berupa lirik lagu dengan menggunakan metode semiotik.
(21)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1 Musik
Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya, penggubah musik dalam mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itukah sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis.
Meski demikian, tidak ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada semiotik musik tanpa semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan harus senantiasa membuktikan hak kehadirannya ( Van Zoest, 1993: 120-121).
2.1.2 Lirik Lagu
Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan diperdengarkan
(22)
kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai , bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003: 7-8). Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Termasuk realitas sosial yang menggambarkan nasionalisme, sebagai wujud rasa cinta tanah air terhadap bangsa dan negara.
Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rachmawati (2000: 1) yang mengatakan :
”Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasulkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya”.
Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.
Penelitian tentang lirik lagu merupakan penelitian tentang makna isi pesan dalam lirik lagu tersebut. Dimana lirik lagu merupakan suatu produk yang salah satu sumbernya adalah situasi sosial. Dimana lirik lagu berada didalamnya, kemudian
(23)
merefleksikannya dalam sistem tanda berupa lirik lagu. Maka, dapat dikatakan bahwa lirik lagu “Indonesiaku” milik Ungu merupakan proses komunikasi yang mewakili seni karena terdapat pesan yang terkandung dalam simbol lirik lagu tersebut yang sengaja digunakan oleh komunikator sebagai pencipta lagu untuk disampaikan kepada komunikan dengan bahasanya tentang suatu rasa nasionalisme bangsa Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Namun dalam hal ini bahasa verbal yang berupa kata-kata yang tertuang dalam teks lirik lagu.
2.1.3 Nasionalisme Kebangsaan Indonesia
Konsep nasionalisme adalah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama.
Nasionalis adalah pecinta nusa dan bangsa sendiri atau orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya. Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Sedangkan nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan secara bersama mencapai, mempertahankan, mengabdikan integritas kemakmuran dan kekuatan bangsa itu, yang disebut semangat kebangsaan. Bangsa merupakan suatu komunitas ’terbayang’ yang para anggota masyarakat terkecil sekalipun tidak mengenal sebagian besar anggota lainnya, bahkan mungkin tidak
(24)
pernah mendengar tentang mereka. Hal yang terpenting tetap berdirinya suatu bangsa adalah adanya perasaan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa tersebut (Benedict Anderson dalam Madjid, 2004: vii). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan budaya dalam arti umum dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Menurut Ernest Renan filsuf asal Perancis, bangsa adalah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak dan bersedia untuk memberi korban itu lagi. Ia mengandung pengertian suatu waktu yang lampau, tapi terasa dalam waktu yang sekarang sebagai suatu kenyataan yang dapat dipegang yakni persetujuan, keinginan yang dinyatakan tegas untuk melanjutkan hidup bersama. (www.mail-archive.com/[email protected])
Wawasan yang kita anut adalah wawasan kebangsaan yang berlandaskan Pancasila. Dengan landasan Pancasila itu, wawasan kebangsaan yang kita anut menentang segala bentuk penindasan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, oleh suatu golongan tehadap golongan lain, juga oleh manusia terhadap manusia lain., karena dilandasi oleh Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang mengajarkan kepada kita untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak azasi manusia. Sebagai bangsa yang majemuk, wawasan kebangsaan Indonesia menentang praktek-praktek
(25)
yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial, juga menentang segala bentuk separatisme sebab sila Persatuan Indonesia memberikan tempat kepada kemajemukan dan mengakomodir adanya perbedaan alamiah maupun budaya dari anak-anak bangsa ini. (Yudhohusodo, 1996: 13-14)
Nasionalisme kebangsaan dan paham kebangsaan memerlukan aktualisasi dan dinamisasi yang sesuai dengan yang dihadapinya. Wawasan dan paham kebangsaan harus terus disegarkan, disesuaikan dengan kenyataan yang ada saat ini agar wawasan dan paham kebangsaan dapat ditumbuhkembangkan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi. Pengembangan rasa kebangsaan tidak bisa hanya didasari oleh hal-hal yang terbentuk abstrak seperti motif-motif yang sifatnya seperti emosi (Yudhohusodo, 1996: 20-22).
Nasionalisme kebangsaan adalah kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, yaitu terhadap bangsa dan negara. Nasionalisme ini yang kemudian mendorong seseorang untuk memiliki perasaan rela berkorban sebagai wujud rasa cinta terhadap tanah air. Nasionalisme ini kemudian lebih populer disebut nasionalisme kebangsaan.
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam sejarah manusia. Dalam seratus tahun terakhir tak ada satu ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah menusia akan berbeda sama sekali. (http://kompas.com/kompas-cetak/0411/bentara/1363295.htm).
(26)
Semangat nasionalisme kebangsaan bisa diwujudkan dalam bentuk yang beragam. Masyarakat yang memelihara hutan demi kelestarian lingkungan, berprestasi dalam bidang olahraga dalam event-event internasional,cinta dan bangga menggunakan produk-produk dalam negeri juga merupakan wujud nasionalisme kebangsaan. Nasionalisme dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan, kondisi, atau keahlian dari masing-masing individu.
Nasionalisme kebangsaan Indonesia adalah kesadaran dan komitmen sebagai anggota dari bangsa Indonesia yang secara potensial atau aktual, lewat pemikiran, tindakan, perkataan, perbuatan, ataupun kelalaian berhubungan dengan integritas, dan kemakmuran Indonesia.(http://www.mailarchive.com/politiktionghoa@yahoogroup
s.com/msg01286.html)
2.1.3.1 Fungsi Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Untuk mempersatukan seluruh kekuatan politik, ekonomi, sosial dan budaya sehingga mempunyai daya ketahanan dan kekuatan daripada bangsa Indonesia untuk menangkal sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yaitu pancasila dan UUD’45.
2. Nasionalisme Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghilangkan dominasi asing atau bersifat asing dalam bidang
(27)
politik, ekonomi, sosial, dan budaya seperti ajaran marxisme, komunisme, liberalisme yang bertentangan dengan doktrin pancasila yang telah dijabarkan dalam P4.
3. Nasionalisme Indonesia mempunyai fungsi untuk mempertahankan keaslian nasionalisme itu sendiri baik nasionalisme politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang kiranya dapat bertentangan dengan pancasila merupakan ideologi terbuka, maka diperlukan penyaringan-penyaringan terhadap pemikiran-pemikiran yang kiranya dapat menimbulkan bencana terhadap kehidupan, kemasyarakatan, kenegaraan Indonesia.
4. Nasionalisme Indonesia mempunyai kewajiban baik secara idiil spiritual dan konstitusional untuk memperoleh gengsi atau pengaruh di dunia internasional dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
5. Fungsi nasionalisme Indonesia adalah harus mampu mendorong dan membangkitkan rasa kebangsaan yang dalam agar bangsa Indonesia menjadi suatu bangsa yang kuat dalam poleksosbud hankam ataupun angkatan bersenjata.
6. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme pancasila yang mempunyai fungsi untuk menjunjung tinggi dan memuliakan agama dan mengusahakan hilangnya faham sekularisme, yaitu faham yang memisahkan antara agama dengan negara yang
(28)
merupakan perwujudan dari faham liberalisme dalam bidang agama.
7. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang terbentuk karena adanya perlawanan terhadap kolonialisme baik kolonialisme Belanda, Inggris maupun Jepang yang telah menjajah bangsa Indonesia, sehingga dalam nasionalisme ini mengandung adanya faktor yang harus ditumbangkan baik secara nasional maupun internasional yaitu kolonialisme dan imperialisme. Itulah sebabnya, nasionalisme Indonesia dalam rangka melawan kolonialisme dan imperialisme secara nasional dan internasional mengadakan konferensi Asia Afrika di Bandung yang terkenal dengan Dasa Sila Bandung.
8. Nasionalisme Indonesia terbentuk pula daripada sub-sub nasional Indonesia atau suku-suku bangsa yang menyebar di seluruh wilayah nusantara. Oleh karena itu, untuk tidak timbulnya rasa nasionalisme yang sempit yang ditujukan untuk kehormatan dan keagungan bangsanya sendiri, maka nasionalisme Indonesia mempunyai fungsi untuk memeratakan karakter sehingga terwujud suatu kesatuan yang homogen agar tidak tercetus ke permukaan tentang adanya rasialisme atau sukuisme di Indonesia. (Sukarna,1991:94-95).
(29)
2.1.3.2 Ciri Nasionalisme Indonesia
Ciri-ciri nasionalisme dapat berupa rela mati dalam memperjungkan tanah air, mencintai produk-produk dalam negeri dan rela melakukan apa saja yang terbaik untuk tanah air. Ciri nasionalisme Indonesia yaitu nasionalisme religius seperti yang dicetuskan Bung Karno (Soekarno) adalah nasionalisme yang tumbuh dari budaya Indonesia, Nasionalisme religius merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan dan keberagamaan. Nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan semangat religius bersumber kepada ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat. Antara nilai-nilai Pancasila dan Islam dapat saling dikompromikan dan tidak berbenturan. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan semangat nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis. Namun, pengaruh berbagai ideologi global membuat nasionalisme religius mulai dimaknai secara berbeda oleh sebagian kelompok. Makna religius mulai dipengaruhi oleh berbagai faham keagamaan global dan faham sekularisme. Nasionalisme religius pun bergeser menjadi nasionalisme kosmopolitan.(www.mail-archive.com)
2.1.3.3 Nasionalisme Modern
Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan akan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku-suku dan
(30)
kelompok etnis yang terpisah-pisah, karena nasionalisme merupakan unsur penting bagi pembangunan bangsa Indonesia.(Madjid, 2004:32-33). Batasan-batasan nasionalisme modern adalah:
1. Adanya Suverinitet, yang berarti adanya ketidak bergantungan pada pihak asing dan adanya kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. 2. Adanya negara dimana pemerintahannya disokong oleh segenap
lapisan masyarakat. Dan adanya hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara pemerintah dan rakyatnya.
3. Adanya integral politik yang tidak mementingkan kepeningan dirinya dan kelompok sendiri.
4. Adanya ikatan kebangsaan yang kokoh dan adanya saling hubungan timbal balik dengan bangsa-bangsa yang lainnya yang ada diluarnya.
Artinya nasionalisme suatu bangsa itu harus dipandang tidak terpisah dan terisolasi dari nasionalisme bangsa-bangsa yang ada diluarnya, dengan demikian maka terjadilah suatu nasional yang kuat dan tidak berpandangan sempit.
Nasionalisme jaman dulu berfungsi sebagai landasan pemersatu dan tonggak kelahiran Republik Indonesia dalam konteks melawan kolonialisme klasik maka nasionalisme saat ini dapat menjadi alat untuk mempertahankan persatuan serta menjadi elemen spiritual dalam rangka mencari cara untuk memperbaiki atau membangun Indonesia secara menyeluruhditengah-tengah era
(31)
globalisasi. Karena Indonesia adalah negeri yang multikultural, integrasi tiap budaya lokal ke dalam budaya nasional bukan pemaksaan satu budaya dominan atau peleburan budaya-budaya ke dalam suatu bentuk, yapi membiarkannya terintegrasi, sehingga nasionalisme tetap ada.
(http://osdir.com/ml/culture.region.china.budayationghoa/msg00411.h
tml)
Dalam menghadapi globalisasi dan menatap masa depan untuk mengisi kemerdekaan, kita memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing-masing. Perjuangan non fisik dilandasi oleh nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia, sehingga kita tetap memiliki wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan prilaku yang cinta tanah air, dan mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan non fisik memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan mahasiswa sebagai contoh calon cendekiawan pada khususnya, yaitu melalui Pendidikan Kewarganegaraan.(Sumarsono, 2001: 3)
2.1.4 Representasi
Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang
(32)
sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.
Representasi menunjuk pada proses maupun produksi dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yng kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, lirik lagu, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ”pengalaman berbagi”. Seorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ”bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep yang sama. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).
Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan
(33)
atau gambar), kita mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu, makna sesuatu hal yang tergantung dari cara kita mempresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam mempresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu.
Ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang ”sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk suatu yang abstrak. Kedua ”bahasa”, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ”bahasa” yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ”peta konseptual” kita . Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara ”peta konseptual” dengan bahasa atau simbol yang berfungsi mempresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ”sesuatu” , ”peta konseptual”, dan bahasa/simbol adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-bersama itulah yang kita namakan representasi.
(34)
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi melalui proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).
Dalam penelitian ini representasi menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda yang terdapat pada lirik lagu ”Indonesiaku” yang mengacu pada permasalahan nasionalisme kenegaraan/ kebangsaan. Nasionalisme kenegaraan merupakan bentuk kesetiaan masyarakat atau penduduk terhadap suatu wilayah. Nasionalisme inilah yang mendorong seseorang atau sekelompok orang memiliki perasaan rela berkorban demi bangsa dan negara sebagai wujud rasa cinta terhadap tanah airnya.
2.1.5 Semiotika dan Semiologi Komunikasi
Kata ’semiotika’ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ’tanda’ atau ’seme’ yang berarti ’penafsir tanda’. Semiotika sendiri berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji suatu tanda. Tanda adalah perangkat-perangkat yang kita
(35)
pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah masyarakat dan hidup bersama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal nama objek itu hendak berkomunikasi , tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan dalam Sobur, 2004: 15)
Bagi seseorang yang tertarik dengan semiotik, maka tugas utamanya adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-gejala di sekelilingnya melalui berbagai tanda yang dilihatnya. Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan.
Menurut Littejohn (1996:64) dalam Sobur (2001:15) tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi dengan sesamanya. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama manusia.
Semiotika seperti kata Lechte (2001:191) adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs “tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) (Segers, 2000:4). Hjelmslev (dalam Chistomy, 2001:7) mendefinisikan tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahana
(36)
ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plant). Charles Morris menyebutkan semiosis sebagai suatu “proses tandanya”, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme. Dari beberapa definisi di atas maka semiotika atau semiosis adalah ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda.
Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah:
S (s, i, e, r, c)
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i adalah interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh ; r untuk reference (rujukan); c untuk conteks (konteks) atau conditions (kondisi).
2.1.6 Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama, ekspones penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes (2001:208) menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan central dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam
(37)
waktu tertentu. Ia mengajukan pendapat ini dalam Writing Degree Zero (1953; terj. Inggris 1977) dan Critical Essays (1964; terj. Inggris 1972) (Sobur, 2004:63).
Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003:11).
Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seseorang semiotikus dalam. mempelajari semua sistem-sistem sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya (Kurniawan, 2001:156). Di dalam semiologi, seseorang diberikan kebebasan di dalam memaknai sebuah tanda.
Dalam pengkajian tekstual, Barthes menggunakan analisis naratif struktural yang dikembangkannya. Analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali
(38)
makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu (Kurniawan, 2001:89).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya (Sobur, 2004:68-69).
Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut konotatif, yang dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda:
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda) 3. Denotative (tanda denotative)
4. Connotative Signifier (petanda konotatif) 5. Connotative signified (Petanda Konotatif) 6. Connotative sign (tanda konotatif)
Sumber: Paul Cobley & Litza Jansa, 1999 dalam Alex Sobur, 2004:69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (l) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat
(39)
bersamaan tanda denotative adalah juga petanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Janz, 1999:51 dalam Sobur, 2004:69).
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan. Namun, juga mengandung makna kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Sasurre, yang hanya berhenti pada tatanan denotatif.
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sementara, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan keterutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis.
(40)
Sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22 dalam Sobur, 2004:0-71).
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman, 2001:28 dalam Sobur, 2004:1). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun, sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula petanda dapat memiliki beberapa penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut (Sobur, 2004:71).
Menurut Bertens (2001) tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda atau petanda. Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa; apa yang dikatakan, apa yang didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran
(41)
atau konsep. Jadi Petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi signifier (penanda) dan signified (petanda). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan Petanda merupakan, seperti dua sisi dari sehelai kertas” (Sobur, 2004:46). Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu sebagai nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan, memisahkannya hanya akan menghancurkan “kata” tersebut (Sobur, 2004:47).
Semiologi Roland Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa pada tingkat pertama adalah sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut sebagai metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru nada taraf yang lebih tinggi.
(42)
Sistem tanda pertama kadang disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa (Kurniawan, 2001:115).
Tatanan penandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum, maka jelaslah tentang tanda. Sebuah contoh foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jalan mendenotasi jalan pertokoan yang membentang diantara bangunan (Fiske, 2006:118). Denotasi menurut Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2004:70).
Konotasi dan Metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda di luar kesatuan penanda-penanda asli, diluar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan literatur memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisila atau ideologis secara umum (Kuniawan, 2001:68).
(43)
Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Mitos biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru, namun pemakaian yang biasa itu adalah bagi penggunaan oleh orang yang tak percaya. Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya dalam artiannya orisinal. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive berkenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos kita yang lebih bertaktik-taktik adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda, maka mitos pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske, 2006:121).
Gambar 2.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes sumber: Fiske, 2006 121- 123
Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.
Penanda Petanda
Konotasi
isi
bentuk
Mitos Denotasi
(44)
Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Mitos menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi, sambil menguniversalisasikannya dan membuat mitos tersebut tidak bisa diubah, tapi juga cukup adil (Fiske, 2006:123).
Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi deseminasi makna dan pluralitas teks, maka Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan berutun yang disebutnya sebagai leksi-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek yang bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya adalah sebuah leksia. Akan tetapi sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua patah kata kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraph, tergantung pada ke”gampang”annya (convenience) saja. Dimensinya tergantung kepada kepekatan dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama diantara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu
(45)
dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tatanan-tatanan pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003:54).
Dalam memaknai sebuah “teks” kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan pisau analisis mana yang bisa kita pakai dari sekian jumlah, pendekatan yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu semestinya “setia” dengan satu pilihan, namun bisa juga mencampuradukkan dengan beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan “pembaca” dalam membeda pembacaannya. Bisa pula benar-benar hanya memfokuskan pada teks dan “melupakan” sang pengarang, “pembaca” kemudian dapat melakukan interpretasi terhadap suatu karya.
Dalam hal ini “pembacalah” yang memberikan makna dan penafsiran. “Pembaca” mempunyai kekuasaan absolut untuk memaknai sebuah hasil karya (lirik lagu) yang dilihatnya, bahkan tidak harus sama dengan maksud pengarang. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik dalam lagu itu memberikan maknanya. Wilayah kajian “teks” yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Barthes melihat seluruh produk budaya merupakan teks yang bisa dibaca secara otonom dari pada penulisnya.
(46)
2.1.6.1 Kode Pembacaan
Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok yang di dalamnya semua penanda tekstual (baca: leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan. Adapun kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikasi dapat dipahami, meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks.
Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode herneutika (kode teka-teki), kode proretik, kode budaya, kode semik, dan kode simbolik. (Kurniawan, 200l:69).
1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur terstruktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian di dalam cerita. (Sobur, 2004:65).
(47)
2. Kode Proaetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif (Sobur, 2004:66).
3. Kode Gnomik atau kode cultural (budaya) banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan di kodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan kea pa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan (Sobur, 2004:66).
4. Kode semik atau konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” (Sobur, 2004: 65-66). 5. Kode simbolik (tema) merupakan aspek pengkodean fiksi
yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini
(48)
didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses (Sobur, 2004:66).
2.2 Kerangka Berfikir
Oleh karena latar belakang pengalaman (field of experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda pada setiap individu tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam bentuk lagu, maka pencipta lagu juga tidak terlepas dari dua hal di atas.
Begitu juga peneliti dalam memaknai tanda dan lambang yang ada dalam obyek, juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peneliti melakukan interpretasi terhadap tanda dan tambang berbentuk tulisan pada lirik lagu “Indonesiaku” dalam hubungannya dalam representasi nasionalisme dengan menggunakan metode semiologi dari Roland Barthez, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi nasionalisme tersebut.
Dari data-data berupa lirik lagu “Indonesiaku”, kata-kata dan rangkaian kata dalam lirik lagu tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode signifikasi dua tahap (two order of signification) dari Roland Barthez. Dimana pada tataran pertama tanda denotatif
(49)
(denotative sign) terdiri atas penanda dan petanda (signifier signified) dan pada tataran kedua tanda denotatif (denotative sign) juga merupakan penanda konotatif (konotative signifier) sehingga muncul petanda konotatif (konotative signified) yang akan membentuk tanda konotatif (konotatif signifier) sehingga muncul petanda konotatif (konotative sign). Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar. Kemudian teks akan dimaknai dengan menggunakan lima macam kode Barthenz, yaitu kode hemeunitik, kode semik, kode simbolik, kode proaetik, dan kode kultural untuk pemaknaan melalui pembacaan dari kode-kode tersebut akan di ungkap substansi dari pesan dibalik lirik lagu “Indonesiaku”.
Lirik Lagu “Indonesiaku” band
Ungu
Analisis semiologi Roland Barthes :
5 kode yaitu hermenuetik, semik, simbolik, proaretik dan
cultural
Representasi dari pembacaan kode – kode yang ada di dalam Lagu
“Indonesiaku” band Ungu
Gambar 2.3
(50)
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Dengan data yang digunakan adalah data kualitatif (data yang tidak terdiri atas angka-angka), melainkan berupa pesan-pesan verbal (tulisan) yang terdapat dalam lirik lagu “Indonesiaku” oleh band Ungu. Data-data kualitatif tersebut berusaha diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensi-referensi secara ilmiah.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat peneliti dan yang diteliti. Dan yang ketiga, metode ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola yang dihadapi (Moleong, 2002:5).
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini bersifat kualitatif-interpretative, penelitian ini akan mendekonstruksi tanda-tanda dengan menggunakan metode semiotik dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua tahap (two order signification). Dimana pada tataran pertama tanda denotatif (denotative sign) terdiri atas penanda dan petanda (signifier signified) dan pada tataran kedua, tanda denotatif (denotative sign) juga merupakan
(51)
penanda konotatif (konotative signifier) sehingga muncul petanda konotatif (konotative signified) yang membentuk tanda konotatif (konotative sign). Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar.
Melalui pandangan dari Roland Barthes tersebut, kemudian dijelaskan lewat penafsiran dengan menggunakan teori perspektif nasionalisme. Yang pada akhirnya akan dapat ditarik suatu makna nasionalisme yang tersirat dari lirik lagu tersebut. Sesuai dengan definisi nasionalisme itu sendiri, yaitu faham yang menunjukkan bahwa kesetiaan dari setiap individu atau negara ditujukan kepada kepribadian bangsanya.
Dengan menggunakan paradigma konstruktivisme, analisis semiotika bersifat kualitatif, jenis penelitian ini memberi peluang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif (Sobur, 2001:147).
3.1.1 Analisis Semiotik
Metode semiotika adalah sebuah metode yang memfokuskan pada “tanda dan teks” sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut (Piliang, 2003:270). Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh
(52)
praktek sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (Pilliang, 2003:257).
Dengan semiotika kita berurusan dengan tanda dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah dunia yang centang-perenang ini, setidaknya agar kita mempunyai pegangan. “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengerjakan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawa pada sebuah kesadaran” (Sobur, 2003:16).
3.1.2 Unit Analisis
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanda-tanda berupa tulisan, yaitu terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu “Indonesiaku”.
3.1.3 Korpus Penelitian
Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas, yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001:70). Korpus atau data yang dikumpulkan berwujud teks. Pada penelitian ini yang menjadi korpus adalah lirik lagu berjudul dan “Indonesiaku” yang menunjukkan atau mewakili konsep nasionalisme.
Alasan peneliti menggunakan lagu dan “Indonesiaku” sebagai korpus adalah dikarenakan dalam lagu tersebut dalam liriknya terdapat
(53)
ungkapan nasionalisme kebangsaan dimana nasionalisme kebangsaan adalah kesetiaan masyarakat terhadap wilayah, yaitu terhadap bangsa dan negara. Nasionalisme ini yang kemudian mendorong seseorang untuk memiliki perasaan akan wujud rasa cinta terhadap tanah air. Dan berikut ini adalah lirik lagu “Indonesiaku”
Indonesiaku
Hamparan alam luas
Membentang di jagad khatulistiwa Harum tanahmu
Hijau warnamu
Takkan pernah terlupakan
Tempat dimana Aku dilahirkan
Dan tempat dimana nanti Aku kembali duduk disini Menutup hari dan mati
Kuberjanji rasa ini Akan selalu di hati Sampai suatu hari nanti Ku akan tetap disini
(54)
Kucinta hijaunya alammu Kucinta birunya lautmu Kucinta semua yang ada Padamu Indonesiaku
Indonesiaku Indonesiaku Indonesiaku
3.2 Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data di dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder yang diperoleh dari:
1. Data primer: korpus atau data yang dikumpulkan oleh peneliti, berwujud tulisan yaitu lirik lagu yang berjudul “Indonesiaku” yang dipopulerkan oleh Ungu.
2. Data sekunder : data yang berasal dari bahan-bahan referensi, seperti buku, artikel dan data dari internet yang berhubungan dengan objek kajian yang diteliti.
3.3 Metode Analisis Data
Peneliti menginterpretasikan teks dalam lirik lagu “Indonesiaku”, serta menyimpulkan berbagai makna mengenai bagaimana nasionalisme
(55)
dipresentasikan dalam lirik lagu tersebut. Nasionalisme dipresentasikan dalam lirik lagu tersebut. Nasionalisme kebangsaan adalah kesetian masyarakat terhadap wilayah, yaitu terhadap bangsa dan Negara. Nasionalisme inilah yang kemudian mendorong seseorang untuk memiliki perasaan rela berkorban sebagai wujud rasa cinta tanah air.
Dari definisi nasionalisme ini yang kemudian akan dianalisis dalam penelitian ini dengan menggunakan pandangan dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua tahap (two order of signification) yang akan dianalisis menggunakan lima macam kode pembacaan menurut Barthes, yaitu kode hermeunitik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode cultural untuk pemaknaan sebuah tanda sehingga akan mengetahui tanda denotatif dan tanda konotatifnya.
Melalui pandangan dari Roland Barthes tersebut kemudian dijelaskan lewat penafsiran dengan menggunakan teori perspektif nasionalisme yang pada akhirnya akan dapat ditarik suatu makna yang sebenarnya tentang rasa nasionalisme masyarakat Indonesia itu sendiri.
(56)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian
Ungu salah satu nama band yang ada di Indonesia. Band ini beranggotakan 5 personil yang terdiri dari Pasha pada vocal, Enda pada guitar, Makki pada bass, Rowman pada drum, dan Oncy pada guitar. Band yang pertama kali dibentuk pada tanggal tahun 1996 telah beberapa kali mengubah format personilnya hingga sampai format yang terakhir ini.
Motor awal pembentuknya adalah Ekky (gitar) dan pada saat itu vokalisnya adalah Michael, sedangkan drum dipegang oleh Pasha Van derr Krabb. Tahun 1997, saat Ungu hendak manggung, Pasha Van derr Krabb 'menghilang' dan posisinya digantikan oleh Rowman. Enda yang sebelumnya adalah roadies-nya Ekky juga ikut bergabung dengan Ungu. Awalroadies-nya mereka datang dengan bandnya masing-masing, tapi karena sering bertemu dan kolaborasi bareng. Acara kolaborasi bareng ini tidak berakhir di studio latihan saja, tapi juga ke panggung-panggung dan pensi-pensi sekolah sekitar daerah Tebet. Namanya band jika manggung, selalu mempunyai nama. Jadilah nama “Ungu”. Karena menurut mereka alasan memakai nama Ungu adalah simple, tapi berkesan mewah, gabungan dari berbagai macam warna. Yang jelas mereka mencari nama yang sederhana dan mudah diingat. Setelah berkarir di seputaran Tebet, mulailah tawaran-tawaran untuk mengisi acara berdatangan sampai akhirnya personil Ungu berguguran karena dibajak band lain, karena harus kuliah dan lain sebagainya.
(57)
Proses gonta-ganti personil berlanjut cukup lama dan cukup sering. Sekitar sembilan kali kurang lebih. Salah satu mantan personil yang sekarang dikenal sebagai penyanyi solo adalah Ariyo, sebelum bergabung dengan SOG sejak awal tampil, Ungu sudah mulai membawakan lagu-lagunya sendiri. Mulailah beberapa orang terdekat mereka menyarankan agar mereka mencoba menawarkan lagu-lagu tersebut ke perusahaan rekaman untuk membuat album.
Pada tahun 2000, Ungu mendapat kesempatan untuk mengisi 2 lagu dalam sebuah album kompilasi KLIK di Warner Music Indonesia bersama Lakuna, Borneo, Piknik dan Energy. Kedua lagu tersebut adalah "Hasrat" dan "Bunga". Saat kompilasi ini pun personil Ungu belum seperti komposisi sekarang. Mempunyai dua lagu dalam album kompilasi ternyata menjadi pemicu mereka untuk membuat lagu lebih banyak lagi dan berharap dapat membuat satu album penuh. Setelah berputar-putar di Jakarta, akhirnya mereka bertemu dengan Anang Hermansyah yang berjasa memperkenalkan Ungu kepada seorang produser. Kali ini sang produser tertarik dengan materi-materi Ungu. Akhirnya Ungu resmi bergabung dengan Hemaswara (Musica Group). Setelah proses yang panjang dalam rekaman dan bahkan harus kembali kehilangan personil.
Di bawah Hemaswara, Ungu mengeluarkan album yang diberi judul “Laguku” (2002) yang mengemas 12 lagu yang bervariasi. Begitu seriusnya mereka ingin tampil, Ungu meminta Sawung Jabo untuk membuatkan aransement untuk strings section (bagian dawai) yang kemudian digarap oleh Banyu Mili, string section dari Jogjakarta. Tidak disangka single pertama mereka, “Bayang Semu” menjadi soundtrack sinetron ABG membawa Ungu ke berbagai kota di
(58)
Indonesia untuk melakukan live performance. Sejak album tersebut beredar, Ungu sudah tampil di berbagai panggung di seluruh Indonesia. Perjalanan tur mereka nikmati dengan benar, tetapi juga tidak berasa bahwa deadline album kedua semakin mendekat. Sambil tur, terkadang di bis, di pesawat, maupun di kapal ferry, Ungu menyempatkan membuat lagu. Curhatan hati para lelaki pun terkadang bisa menjadi inspirasi dalam membuat lagu.
Saat akan masuk dapur rekaman album kedua, Ekky memutuskan keluar. Oncy yang baru saja keluar dari Funky Kopral dipilih untuk menggantikan Ekky. Jika proses rekaman album pertama cukup panjang, maka proses rekaman album kedua cukup singkat. Hanya dalam waktu tiga minggu Ungu mengaransemen dan rekaman di Hijau Studio milik Anang Hermansyah. Album kedua yang diberi nama sesuai dengan harapan mereka (menuju) “Tempat terindah” pada tahun 2003. Ada hal yang menarik dalam membuat video klip dari single pertama “Karena Dia Kamu” Ungu sampai rela ditangkap aparat polisi karena membuat jalan protokol macet. Karena di video klip tersebut Ungu beraksi di atas mobil trailer panjang yang berjalan mulai dari Jalan Thamrin, Sudirman, Semanggi sampai ke daerah Senen.
Di antara promo album kedua dan show di berbagai kota, Ungu juga menempatkan diri untuk menciptakan dan menyanyikan lagu di luar album mereka. Contohnya mereka ikut menyumbangkan lagu “Ciuman Pertama” untuk soundtrack film Buruan Cium Gue yang dilarang edar. Ungu juga menyumbangkan 3 buah lagu untuk film Coklat Stroberi yakni dua lagu baru, "Disini Untukmu" dan "Sahabatku", serta mengikutkan lagu "Berjanjilah" dari
(59)
album ketiga mereka Melayang. Kemudian Ungu juga mengaransemen ulang lagu “Bimbi” milik Titiek Puspa. Ungu juga dipercaya Chrisye untuk menciptakan dan berduet di lagu “Cinta Yang Lain”. Band Ungu semakin lama semakin erat dan mengenal satu sama lain.
Pada album ketiga “Melayang” di awal Desember 2005 dirilis. Dengan gambar sayap pesawat di cover album ini Ungu ingin terbang dan menerbangkan semua keinginan, cita-cita dan harapan Pasha, Oncy, Makki, Rowman dan Enda. Album Melayang ini menjadi salah satu pencapaian yang terbesar. Dengan pencapaian itu, Ungu mempunyai target yang lebih besar lagi. Kekuatan lagu dan lirik “Demi Waktu” membuat album ini meraih Platinum Award di bulan pertama jualannya. Padahal mereka baru menerima Platinum Award untuk album “Laguku” setelah hampir dua tahun album tersebut dirilis. Tidak lama setelah itu, Ungu kembali menerima Double Platinum Award untuk album Melayang.
Menyambut Ramadhan 1428 H, Ungu merilis album religi lagi yang berbentuk mini album bertajuk Para Pencari-Mu. Dalam album ini Ungu berkolaborasi dengan ustad Jeffry Al Buchori. Album ini hanya berisi lima lagu, yaitu "Para PencariMu", "Sembah Sujudku", "Surga Hati", "Sesungguhnya", dan "Tuhanku". Sebelum mini album ini dirilis, tiga dari lima lagu telah terpilih sebagai soundtrack sinetron religi yang tayang selama Bulan Ramadhan. Dalam ajang "SCTV Music Awards 2007" di Balai Sidang Jakarta (JHCC), Ungu mendapat 4 kemenangan. Album SurgaMu yang diproduseri Trinity (Prosound) membawa Ungu menjadi penerima penghargaan 'Album Religi', 'Lagu Paling Ngetop' dan 'Video Klip Paling Ngetop' untuk lagu "Andai Kutahu". Sedangkan Melayang
(60)
dengan lagu andalan "Tercipta Untukmu" memenangkan kategori 'Album Pop Rock Duo/Grup'.
Ungu kembali merilis album reguler keempatnya bertajuk Untukmu Selamanya. Album ini di-launching di empat negara sekaligus, yaitu 9 Agustus 2007 di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Agustus 2007 di Singapura, 12 Agustus 2007 Hongkong dan puncaknya 15 Agustus 2007 di Jakarta, Indonesia. Ungu kembali meraih penghargaan untuk kategori 'Band Ngetop' di ajang SCTV Awards 2007, yang berlangsung di JCC Senayan Jakarta, Jumat, 24 Agusutus 2007. Dalam ajang itu, Ungu berhasil menyisihkan grup band lainnya, seperti Ada Band, Peterpan, Radja, dan pendatang baru yang mendadak populer, Kangen Band. Pada tahun 2007, Ungu bersama Samsons dan Naff, dijuluki 'The Rising Star' band oleh penyelenggara konser musik akbar Soundrenaline, A Mild Live Productions dan Deteksi Productions, juga oleh raksasa label rekaman Musica Studio.
Pada 2009 Ungu meluncurkan album kelima yang berjudul “Penguasa Hati”. Mereka mengandalkan lagu bernuansa dangdut dalam lagu “Hampa Hatiku” karena ingin memperluas penggemar Ungu sebanyak mungkin. Mereka melakukan pemilihan lagu melalui pilihan personil Ungu, produser album Trinity Optima Production dan komunitas penggemar Ungu, Cliquers (sebutan untuk para penggemar Ungu) mendukung "Hampa Hatiku" menjadi hit pertama diantara 12 lagu dalam album Penguasa Hati. Album yang diluncurkan pada 1 Mei 2009 tidak hanya menampilkan lagu-lagu bertema percintaan, tetapi juga lagi bernuansa
(61)
nasionalisme lewat lagu “Indonesiaku” dan “Yang Pertama”. Lagu tersebut sebagai ungkapan Ungu sebagai rasa nasionalismenya kepada bangsa Indonesia.
4.2. Penyajian Data dan Analisis Data 4.2.1.Penyajian Data
Lagu ”Indonesiaku” sangat kental nuansa Nasionalisme karena dalam lirik lagu terdapat lirik yang menunjukan kebanggaan terhadap bangsa Indonesia sendiri. Seperti beberapa contoh lirik Kucinta hijaunya alammu, Kucinta birunya lautmu, Kucinta semua yang ada dan lain-lain, menjelaskan bahwa masih terkandung rasa nasionalisme yang berupaya dengan rasa memiliki dan bangga akan negeri sendiri, serta menjaga kelestarian alam dan budaya Indonesia.
Korpus dalam penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Indonesiaku”. Lirik lagu “Indonesiaku” selengkapnya sebagai berikut :
Indonesiaku
Hamparan alam luas
Membentang di jagad khatulistiwa Harum tanahmu
Hijau warnamu
Takkan pernah terlupakan
Tempat dimana Aku dilahirkan
(62)
Aku kembali duduk disini Menutup hari dan mati
Kuberjanji rasa ini Akan selalu di hati Sampai suatu saat nanti Ku akan tetap disini
Kucinta hijaunya alammu Kucinta birunya lautmu Kucinta semua yang ada Padamu Indonesiaku
Indonesiaku Indonesiaku Indonesiaku
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap lagu ”Indonesiaku”, maka hasil pengamatan tersebut kemudian akan disajikan pemaknaannya, setelah itu akan diketahui pesan yang terkandung didalamnya tentang Representasi Nasionalisme pada Lirik Lagu ”Indonesiaku” yang diinterperstasikan dan dianalisis berdasarkan atas landasan teori dari Roland Barthes, untuk mengetahui pengungkapan pemaknaan yang nantinya dalam hasil pemaknaan tersebut akan mengandung sebuah pesan sosial.
Tanda-tanda berupa tulisan, terdiri dari kata-kata tersebut akan dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia (satuan bacaan)
(63)
yang dapat berupa kata, beberapa kalimat, sebuah paragraf atau beberapa paragraf, untuk dikategorikan ke dalam lima kode Barthes, sehingga dapat diketahui bagaimana Representasi Nasionalisme dalam lirik lagu tersebut. Suatu bentuk nasionalisme adalah kebanggaan dan memiliki rasa mencintai bangsa Indonesia sendiri, sehingga menimbulkan perasaan rela berkorban demi bangsa.
Berikut adalah kode-kode pembacaan dalam lirik lagu ”Indonesiaku” yang menggambarkan tentang nasionalisme :
Tabel 4.1.
Kode-kode Pembacaan dalam Lirik Lagu ”Indonesiaku” Kode
Pembacaan
Lirik lagu Bait dan Kalimat Kode Hamparan alam luas Bait ke-1 kalimat ke-1 Hermeneutik Membentang di jagad khatulistiwa Bait ke-1 kalimat ke-2 Takkan pernah terlupakan Bait ke-1 kalimat ke-5 Tempat dimana Bait ke-2 kalimat ke-1 Kode Semik Harum tanahmu Bait ke-1 kalimat ke-3 Hijau warnamu Bait ke-1 kalimat ke-4 Menutup hari dan mati Bait ke-2 kalimat ke-3 Ku akan tetap disini Bait ke-3 kalimat ke-4 Kode Simbolik Padamu Bait ke-4 kalimat ke-1
Indonesiaku Bait ke-5 kalimat ke-1
Kode Proaretik Takkan pernah terlupakan Bait ke-1 kalimat ke-5 Akan kembali duduk disini Bait ke-2 kalimat ke-4 Kuberjanji rasa ini Bait ke-3 kalimat ke-1 Akan selalu dihati Bait ke-3 kalimat ke-2 Ku akan tetap disini Bait ke-3 kalimat ke-4 Kucinta hijaunya alammu Bait ke-4 kalimat ke-1 Kucinta birunya lautmu Bait ke-4 kalimat ke-2 Kucinta semua yang ada Bait ke-4 kalimat ke-3 Kode Kultural Kucinta semua yang ada Bait ke-4 kalimat ke-3 Padamu Indonesialu Bait ke-5 kalimat ke-1
(64)
4.2.2. Analisis Data
Berdasarkan kode-kode pembacaan yang ada dalam lirik lagu ”Indonesiaku” maka dijelaskan konsep-konsep yang menggambarkan tentang nasionalisme, yaitu sebagai berikut :
Kode Hermeneutik
Kalimat hamparan alam luas pada bait ke-1 kalimat ke-1 termasuk kode hermeneutik karena dalam kalimat tersebut mengandung pertanyaan hamparan alam milik siapa yang luas? Dalam hal ini hamparan alam yang membentang luas adalah hamparan alam Indonesia
Kalimat membentang di jagad khatulistiwa pada bait ke-1 kalimat ke-1 termasuk kode hermeneutik karena kalimat tersebut menimbulkan teka-teki. Bagaimana kondisi alam Indonesia yang dilalui oleh garis khatulistiwa?
Kalimat takkan pernah terlupakan pada bait ke-1 kalimat ke-5 termasuk kode hermeneutik karena dalam kalimat tersebut mengandung artian yang luas, berusaha menjelaskan bahwa ada sesuatu yang tidak adan pernah dilupakan.
Kalimat tempat dimana pada bait ke-2 kalimat ke-1 termasuk kode hermeneutik karena mengandung pertanyaan bahwa dimana tempat tersebut berada.
Kode semik atau konotasi
Pada kalimat harum tanahmu pada bait ke-1 kalimat ke-3 termasuk kode semik atau konotasi, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan isyarat bahwa Indonesia sangat terkenal namanya.
(65)
Pada kalimat hijau warnamu pada bait ke-1 kalimat ke-4 termasuk kode semik atau konotasi, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan isyarat bahwa Indonesia mempunyai alam hijau yang tumbuh subur.
Pada kalimat menutup hari dan mati pada bait ke-2 kalimat ke-3 termasuk dalam kode semik atau konotasi, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa setiap manusia dalam hidupnya akan selalu mengalami pergantian hari dan juga mengalami kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kalimat ku akan tetap disini pada bait ke-3 kalimat ke-4 termasuk dalam kode semik atau konotasi, karena kalimat tersebut menunjukkan adanya rasa nasionalisme kepada bangsa.
Kode simbolik
Pada kata padamu termasuk kode simbolik karena didalam lirik lagu ”Indonesiaku” mengandung tema tentang rasa nasionalisme kepada bangsa Indonesia.
Pada kalimat Indonesiaku juga termasuk kode simbolik karena kalimat ini termasuk judul dari lirik lagu ”Indonesiaku”
Kode Proaretik atau tindakan
Pada kalimat takkan pernah terlupakan pada bait 1 kalimat ke-5 termasuk kode proaretik atau tindakan, karena dalam kalimat tersebut menjelaskan bahwa karena menunjukkan sebuah tindakan yang berhubungan erat dengan ungkapan
(66)
pada kalimat sebelumnya, yaitu tidak akan melupakan Indonesia yang mempunyai alam membentang luas yang berada di jagad khatulistiwa.
Pada kalimat aku kembali duduk disini pada bait ke-2 kalimat ke-4 termasuk kode proaretik atau tindakan, karena dalam kalimat tersebut merupakan penegasan dan juga sebagai tindakan untuk kembali ke tempat semula.
Pada kalimat kuberjanji rasa ini pada bait ke-3 kalimat ke-2 termasuk kode proaretik atau tindakan, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan suatu tindakan untuk berjanji menjaga rasa nasionalisme kepada Indonesia.
Kalimat akan selalu dihati pada bait ke-3 kalimat ke-2 termasuk kode proaretik atau tindakan, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan suatu tindakan yang muncul akibat dari sebuah peristiwa atau kejadian. Yaitu tindakan untuk menjaga rasa nasionalisme kepada Indonesia selalu di hati.
Kalimat ku akan tetap disini pada bait ke-3 kalimat ke-4 termasuk kode proaretik atau tindakan, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk tetap berada disini.
Kalimat kucinta hijaunya alammu pada bait ke-4 kalimat ke-1 termasuk kode proaretik, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan sebuah tindakan yang dilakukan untuk mengungkapkan keinginan hatinya. Dengan mempunyai alam yang hijau maka tindakan yang muncul adalah timbulnya akan rasa cinta terhadap Indonesia
Kalimat kucinta birunya lautmu pada bait ke-4 kalimat ke-2 termasuk kode proaretik, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan sebuah tindakan yang muncul akibat dari sebuah peristiwa atau kejadian. Dengan mempunyai kekayaan
(67)
alam yang berupa laut maka tindakan yang muncul adalah rasa cinta terhadap Indonesia.
Kalimat kucinta semua yang ada pada bait ke-4 kalimat ke-3 termasuk kode proaretik, karena dalam kalimat tersebut menunjukkan sebuah tindakan mencintai semua yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kode Kultural
Pada kalimat kucinta semua yang ada pada bait ke-4 kalimat ke-3 termasuk kode kultural, karena setiap warganegara pasti akan mempunyai perasaan mencintai tanah airnya sendiri.
Pada kalimat padamu Indonesiaku pada bait ke-5 kalimat ke-1 juga termasuk kode kultural, karena menunjukkan budaya Indonesia yang cinta tanah air.
Dalam tahap ini peneliti akan menganalis lirik lagu atau kata-kata yang terdapat dalam lagu “Indonesiaku” berdasarkan peta tanda Roland Barthes.
Berikut adalah hasil dari analisis data :
Penanda yang ada dalam lirik lagu ini adalah seluruh lirik lagu atau kata-kata yang terdapat dalam lagu “Indonesiaku” mulai dari judul lagu, bait pertama sampai pada bait terakhir.
Petanda dalam lirik lagu “Indonesiaku” ini adalah makna tersembunyi atau konsep yang ada dalam kata-kata yang digunakan oleh penulis lirik lagu tersebut., sehingga akan tercipta sebuah pesan yang ingin disampaikan. Saat seseorang
(1)
77
Dalam bait lima, di lirik ke- 1 terdapat kata Indonesiaku, Indonesia adalah negara yang berdaulat dan kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara yang melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia. Ku adalah aku, sebagai petunjuk.
Makna konotasi dari lirik Indonesiaku mengungkapkan makna bahwa bangsa Indonesia mempunyai perasaaan ikut memiliki Indonesia.
Bait ke- 5 Lirik 2 : Indonesiaku Gambar 4.20. Peta Tanda Bait 5 Lirik 2 1. Penanda :
Indonesiaku
2. Petanda :
Konsep tentang rasa ikut memiliki Indonesiaku. 3. Tanda denotatif :
Indonesia akan selalu menjadi milik warga Indonesia.
4. Penanda Konotatif :
Menunjukkan bahwa Indonesia akan selalu menjadi milik bangsanya sendiri.
5. Petanda Konotatif : Konsep tentang rasa ikut memiliki Indonesia. 6. Tanda Konotatif :
Menunjukkan kebanggaan akan selalu menjaga perasaan ikut memiliki Indonesia.
Dalam bait lima, di lirik ke- 1 terdapat kata Indonesiaku, Indonesia adalah negara yang berdaulat dan kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara yang melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia. Ku adalah aku, sebagai petunjuk.
(2)
78
Makna konotasi dari lirik Indonesiaku mengungkapkan makna bahwa bangsa Indonesia mempunyai perasaaan ikut memiliki Indonesia.
Bait ke- 5 Lirik 3 : Indonesiaku Gambar 4.21. Peta Tanda Bait 5 Lirik 3 1. Penanda :
Indonesiaku
2. Petanda :
Konsep tentang rasa ikut memiliki Indonesiaku. 3. Tanda denotatif :
Indonesia akan selalu menjadi milik warga Indonesia.
4. Penanda Konotatif :
Menunjukkan bahwa Indonesia akan selalu menjadi milik bangsanya sendiri.
5. Petanda Konotatif : Konsep tentang rasa ikut memiliki Indonesia. 6. Tanda Konotatif :
Menunjukkan kebanggaan akan selalu menjaga perasaan ikut memiliki Indonesia.
Dalam bait lima, di lirik ke- 1 terdapat kata Indonesiaku, Indonesia adalah negara yang berdaulat dan kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara yang melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia. Ku adalah aku, sebagai petunjuk.
Jadi pengertian kalimat Indonesiaku mengungkapkan makna bahwa bangsa Indonesia mempunyai perasaaan ikut memiliki Indonesia.
(3)
79
4.2.2.1. Penggambaran Nasionalisme Dalam Lirik Lagu ”Indonesiaku”
Dari hasil pemaknaan diatas maka dapat diketahui bahwa lirik lagu ”Indonesiaku” menggambarkan rasa nasionalisme seseorang kepada bangsanya. Dalam lagu ini si pencipta lagu “Indonesiaku” menggunakan kata “Indonesiaku” sebagai judul. Kata Indonesia bermakna negara yang berdaulat dan kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara yang melintang di khatulistiwa antara benua Asia dan Australia. Sedangkan ku berarti aku, sebagai petunjuk. Jadi rangkaian dari kata Indonesiaku bermakna bangsa Indonesia mempunyai rasa ikut memiliki negaranya sendiri.
Representasi makna nasionalisme dalam lirik lagu ”Indonesiaku” menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda yang terdapat pada lirik lagu yang mengacu pada permasalahan nasionalisme kenegaraan atau kebangsaan. Nasionalisme kenegaraan merupakan bentuk kesetiaan masyarakat atau penduduk terhadap suatu wilayah. Nasionalisme inilah yang mendorong seseorang atau sekelompok orang memiliki perasaan rela berkorban demi bangsa dan negara sebagai wujud rasa cinta terhadap tanah airnya.
(4)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Hasil pemaknaan Lirik lagu “Indonesiaku” milik Ungu dengan menggunakan semiologi Roland Barthes menggunakan peta tanda dan kode-kode pembacaan pada korpus penelitian ini, maka peneliti memaknai lirik lagu “Indonesiaku” sebagai berikut:
Berdasarkan dari penelitian studi semiologi terhadap lirik lagu “Indonesiaku” terlihat bahwa lirik lagu tersebut merepresentasikan Nasionalisme. Didalam lirik lagu tersebut terlihat jelas bahwa lagu “Indonesiaku” menunjukan rasa nasionalismenya dengan cara bangga akan alam bangsa dan budaya Indonesia. Penulis lirik lagu ini mengajak para anak bangsa untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dengan cara mencintai alam Indonesia, dan juga mencintai hasil karya bangsa Indonesia.
2. Saran
Adapun saran yang dapat peneliti ajukan adalah:
Supaya lebih terbukanya kajian semiologi terhadap objek penelitian dibalik tanda-tanda yang ada dalam masyarakat yang terwakili melalui karya-karya yang kreatif. Beragam tanda selalu menerpa manusia baik
(5)
81
1. secara verbal maupun nonverbal, oleh karena itu untuk mengetahui makna yang terpendam diperlukan kajian yang lebih ilmiah untuk dikaji.
2. Dengan disuarakannya seruan-seruan dari masyarakat dan anak-anak muda yang diwakili oleh Ungu maka diharapkan anak muda yang lain mengikuti jejak mereka yang memiliki rasa nasionalisme yang kuat. 3. Supaya para anak muda lebih banyak membuat karya yang
membangun rasa nasionalisme demi kelestarian kebudayaan bangsa serta karya-karyanya. Hal tersebut dapat membuat bangsa inidonesia dilihat menjadi bangsa yang besar dan kaya akan kebudayaan dan hasil budayanya.
(6)
82
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Budiman, Kris, 2004, Semiotika Visual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Balai Pustaka, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
Fiske, John, 2006. Cultural and Communications Studies, Suatu Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.
Kohn, Hans, 1984. Nasionalisme Arti dan sejarahnya. Jakarta: Erlangga. Kurniawan, 2001. Semiologi Roland Barthes, Penerbit Yayasan Indonesiatera.
Moleong, Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Mulyana, Dedi, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Sobur, Alex, 2001. Analisis Teks Media, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex, 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Yudhohusodo, Siswono, 1996. Semangat Baru Nasionalisme Indonesia. Jakarta :
Yayasan Pembangunan Bangsa.
NON BUKU:
http://balipost.co.id/balipostcetak/g3.html http://kunci.or.id/esai/nws/representasi
http://kompas .com/kompas-cetak/bentara/1363295.htm