REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LAGU (Studi semiologi Nasionalisme dalam Lagu “Rindu Bersatu” ).

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

ANALISA ROFIQ

0643010228

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA

2010


(2)

Alhamdullillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadiratAllah SWT yang telah

memberi rahmat-Nya, sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikan

skripsi ini dengan lancar, meskipun masih belum dapat dikatakan sempurna.

Selama mengerjakan hingga terwujudnya skripsi ini, penulis dalam

pengerjaannya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah bersedia meluangkan

waktunya dalam memberikan bantuan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1.

Allah SWT yang memberikan kemampuan, kesehatan, kelancaran kepada

penulis, sehingga penulis masih diberi kesempatan hingga saat ini untuk

menyelesaikan skripsi ini.

2.

Kedua Orang Tuaku yang telah banyak memberikan dorongan, dukungan,

semangat dan doa baik secara moril maupun material sehingga terselesainya

skripsi ini.

3.

Ibu Dra.Hj.Suparwati,Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

4.

Bapak Juwito,S.Sos,Msi selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

5.

Zainal Abidin Achmad, MSi.M.Ed selaku dosen Pembimbing “Terima Kasih

atas waktu dan saran yang diberikan serta bimbingannya”.


(3)

ini.

7.

Teman-teman Fisip angkatan 2006 (Rully, Winda) makasih atas dukungan dan

semangat dari kalian semua.

8.

Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak memberikan bantuan dalam menyusun skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun

besar harapan bahwa skripsi ini insya Allah akan berguna bagi semua pembaca,

khususnya teman-teman di Jurusan Ilmu Komunikasi.

Surabaya, 20 November 2010

Penulis


(4)

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI

... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

ABSTRAKSI ... viii

BAB I

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 10

2.1 Landasan Teori ... 10

2.1.1 Musik ... 10

2.1.2 Lirik Lagu ... 11

2.1.3 Nasionalisme ... 12

2.1.4 Representasi... 16

2.1.5 Pendekatan Semiotika... 19


(5)

2.2 Kerangka Berpikir ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Metode Penelitian ... 35

3.1.1 Analisis Semiotika ... 36

3.1.2 Unit Analisis ... 37

3.1.3 Korpus Penelitian ... 37

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 38

3.3 Metode Analisis Data ... 39

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 40

4.1.1. ST12 Band ... 40

4.2. Penyajian dan Analisis Data ... 45

4.2.1. Penyajian Data ... 45

4.2.2. Analisis Data ... 46

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1. Kesimpulan ... 69

5.2. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(6)

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes ... 23

Gambar 2.2 Dua Tatanan Pertandaan Barthes ... 27

Gambar 2.3 Kerangka Berfikir ... 34


(7)

semiologi Nasionalisme dalam Lagu “Rindu Bersatu” )

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan representasi Nasionalisme

dalam lagu tersebut. Nasionalisme adalah paham yang menunjukkan bahwa

kesetiaan dari setiap individu atau warga Negara ditujukan kepada bangsanya.

Studi penelitian ini diarahkan pada pendekatan semiotika Roland Barthes.

Konsep yang digunakan adalah peta tanda Roland barthes dan lima kode

pembacaan, yaitu kode hermeneutik, kode proaretik, kode semik, kode gnomik,

dan kode simbolik yang akan digunakan untuk memaknai setiap lirik dalam lagu

tersebut.

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif interpretative dengan

menggunakan pendekatan semiotik berdasarkan konsep signifikasi dua tahap

Roland Barthes. Unit analisis yang digunakan adalah tanda-tanda yang berupa

kata-kata yang terdapat dalam lirik lagu “Rindu Bersatu”.

Dari data yang sudah diinterpretasi dan dianalisis, maka disimpulkan bahwa

karena pencipta lagu melihat masyarakat Indonesia sudah mulai kehilangan rasa

nasionalisme, maka pencipta lagu menciptakan lagu tersebut untuk mengajak

warga Indonesia meningkatkan rasa nasionalisme dengan mmperkuat rasa

persatuan.Saran yang disampaikan penulis adalah agar kita sebagai warga Negara

Indonesia lebih bisa menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia, serta terus

menjaga dan memelihara rasa Nasionalisme dan cinta tanah air.

Kata Kunci: representasi, Nasioanalisme, lirik lagu, semiologi, Charly ST 12,

Rindu Bersatu


(8)

ix

ANALISA ROFIQ. Nationalism REPRESENTATION IN THE SONG

(semiology Nationalism Studies in Song "missed United").

This study aimed to describe the representation of Nationalism in the song.

Nationalism is understood that indicates that the fidelity of each individual or

citizens addressed to the nation.

This research study focused on Roland Barthes' semiotic approach. The

concept used is a map of Roland Barthes and five signs reading code, namely

hermeneutic code, code proaretik, semik code, code gnomik, and symbolic codes

that will be used to interpret any lyrics in the song.

The method used is qualitative interpretative method by using a semiotic

approach based on the historical significance of the two stages of Roland Barthes.

The unit of analysis used are the signs that form of words contained in the lyrics

of the song "Missed United".

From the data that has been interpreted and analyzed, it was concluded that

because the creator of the song to see the people of Indonesia have started to lose

a sense of nationalism, then create the song to invite citizens of Indonesia to

increase a sense of nationalism with a sense of unity. Suggestions submitted by

the authors is that we as citizens of the State of Indonesia more able to maintain

unity and integrity of Indonesia, and continues to maintain and preserve a sense of

nationalism and love of our homeland.

Keywords: representation, Nasionalism, song lyrics, semiology, Charly ST 12, Fly

United


(9)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Musik merupakan hasil budaya manusia yang menarik diantara banyak budaya yang lain, dikatakan menarik karena musik memegang peranan yang sangat banyak di berbagai bidang. Seperti jika dilihat dari psikologinya, musik kerap menjadi sarana pemenuhan kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan rekreasi. Dari sisi sosial musik dapat disebut sebagai cermin tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat musik tersebut diciptakan.

Musik dapat dikatakan sebagai bahasa yang universal, dapat juga dikatakan sebagai media ekspresi masyarakat dan musik mampu menyatukan banyak kalangan masyarakat, baik itu kalangan bawah hingga lapisan paling atas. Tanpa disadari musik juga mempengaruhi kehidupan sosial di dalam kehidupan masyarakat, sehingga musik banyak tercipta dari pengungkapan beberapa fenomena-fenomena yang ada di dalam kehidupan masyarakat, karena musik banyak tercipta dari tema yang cukup beraneka ragam mulai masalah percintaan, kehidupan sehari-hari, seni budaya, agama, olah raga, mode maupun sampai alat control sosial dan kritik terhadap salah satu pihak seperti pemerintahan.

Musik diartikan sebagai ungkapan perasaan yang dituangkan dalam bentuk bunyi-bunyian atau suara. Ungkapan yang dikeluarkan melalui suara


(10)

manusia disebut vocal, sedangkan ungkapan yang dikeluarkan melalui bunyi alat musik disebut instrumental (Subagyo,2006:4).

Musik dalam sebuah lagu adalah sekumpulan lirik diberi instrument akor dan melodi, meskipun terlihat sederhana, namun proses pembuatan sebuah lagu dibutuhkan keahlian, baik itu keahlian memainkan alat musik, keahlian menulis lirik lagu hingga keahlian dalm berimajinasi menciptakan sebuah ide, meskipun dalam prakteknya lirik tersebut berdasarkan pengalaman pribadi atau keadaan sosial di dalam kehidupan masyarakat. Lirik lagu merupakan sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan di dalamnya. Sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu memikat perhatian. Kekuatan lirik lagu adalah unsur yang penting bagi keberhasilan bermusik, sebab pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu ternyata tidak berasal dari luar diri pencipta lagu tersebut, dalam artian bahwa pesan tersebut bersumber pada pola pikirnya serta kerangka acuan (frame of reference) dan pengalaman (field of experience) sebagai hasil interaksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Lirik lagu juga menjadi parameter sosial untuk mengukur tingkat kebutuhan masyarakat.

Musik merupakan satu kesatuan dari nada, lirik, bahkan visual (video klip) yang diciptakan berdasarkan perasaan pencipta musik tersebut yang kemudian diterjemahkan kedalam musik. Isi tanda musik dalam hal ini adalah emosi yang dibangkitkan dalam diri pendengar, jadi apabila seseorang menangkap sebuah musik yang berupa ungkapan yang diubah menjadi sebuah


(11)

nada dan lirik maka pendengar tersebut akan ikut merasakan ungkapan perasaan pencipta musik tersebut. Langer berpendapat bahwa musik ekspresi perasaan, bentuk simbolik yang signifikasinya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat didefinisikan karena ia hanya bersifat implicit, tetapi secara konvensional tetap.

Dapat dikatakan musik yang didalamnya terdapat lirik sebuah lagu adalah sebuah proses komunikasi, hal ini seperti diungkapkan Tubbs and Moss dalam Human Communication: Proses komunikasi itu sebenarnya mencakup pengiriman pesan dari system saraf kepada system saraf orang lain, denagn maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama dengan yang ada dalam benak pengirim. Pesan verbal melakukan tersebut melalui kata-kata yang merupakan unsure dasar bahasa dan kata-kata, sudah jelas merupakan simbol verbal (Tubbs dan Moss:66).

Musik juga merupakan bagian dari komunikasi, seperti yang dikemukakan oleh William I. Gorden menyatakan bahwa komunikasi itu mempunyai empat fungsi. Keempat fungsi tersebut meliputi komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual, dan instrumental, yang tidak saling meniadakan (mutually exclusive).

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu sangat penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain (Mulyana 2005:5).


(12)

Erat kaitannya dengan komunikasi sosial komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian maupun kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi). Perasaan tersebut dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal, emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk-bentuk sejenis seperti novel, puisi, musik tarian atau lukisan. Harus diakui musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, bahkan pandangan hidup (Mulyana, 2005:21).

Setiap kata mengandung makna, makna itu ada yang sudah jelas, tetapi ada juga yang maknanya kabur. Setiap kata dapat saja mengandung lebih dari satu makna. Dapat saja sebuah kata mengacu pada sesuatu yang berbeda sesuai dengan lingkungan pemakaian bahasa. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan karena mempunyai banyak makna, sehingga musik tidak hanya bunyi suara saja.

Musik memainkan peran dalam evolusi manusia, dibalik perilaku dan tindakan manusia terdapat pikiran dan perkembangan diri dipengaruhi oleh musik. Pemakaian bahasa pada karya seni musik berbeda dengan bahasa sehari-hari atau dalam kegiatan lain. Musik berkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada, sehingga mengandung makna yang tersembunyi dan berbeda didalamnya.

Musik dapat juga digunakan sebagai media penyampaian suatu pesan kepada masyarakat. Pesan yang disampaikan berbagai macam, mulai pesan yang


(13)

hanya bertujuan memperlihatkan akan sesuatu hal sampai mengajak melakukan sesuatu. Salah satu contoh pesan yang disampaikan adalah pentingnya rasa nasionalisme akan suatu perdamaian terhadap bangsa sendiri.

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bentuk bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersamauntuk sekelompok manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh ditengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan menolong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggatungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukan suatu negeri. Namun, bila suasananya aman dari serangan musuh dan musuh tersebut terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Selain pemahaman diatas, terdapat paham lain yang menyebutkan bahwa Nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan secara bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, itegritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu, yang disebut semangat kebangsaan. Sehingga nasionalisme kebangsaan Indonesia membuka pintu bagi siapa saja utuk berpartisipasi membangun Negara republik Indonesia, tanpa melakukan pembedaan dalam rasialis, etnis, agama, dan orientasi politik.


(14)

Belakangan ini masyarakat Indonesia sudah kekurangan akan nilai nasionalisme terhadap bangsanya, memudarnya rasa persatuan dan kesatuan, semakin banyaknya kerusuhan, pertengkaran, perkelahian pertikaian yang hingga menimbulkan korban jiwa. Contohnya kerusuhan di Poso, dan Boul Sulawesi Tengah, makam Mbah Priok, dan yang baru-baru ini kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur. Melihat kondisi yang seperti itu banyak band di Indonesia yang masih perduli akan rasa nasionalisme, dan menuangkan inspirasinya dengan melihat keadaan di sekitarnya melalui sebuah lirik lagu.

Karena industri musik sekarang ini lebih cenderung mengangkat tema atau lagu tentang cinta atau seks bebas hanya sebagian kecil yang mempunyai rasa nasionalisme untuk menciptakan lagu – lagu bertemakan nasionalisme, salah satu artis penyanyi, pencipta lagu yang bertemakan nasionalisme adalah Charly (Vokalis ST 12), Charly menciptakan lagu ini karena didasari kerinduan masa kecil tentang begitu indahnya Indonesia, tapi sekarang Indonesia semakin semrawut dengan peperangan antar kepentingan yang membuat hancur. Lagu ciptaan Charly yaitu Lagu “Rindu Bersatu” dan lagu ini juga menjadi sebuah lagu pilihan dalam program Indonesia Bersatu. Lagu secara tidak langsung mengajak bangsa Indonesia untuk selalu menjaga perdamaian, agar tidak ada lagi peperangan lewat lagu-lagu yang bernuansanakan nasionalis yang akan dinyanyikan oleh 14 artis dan grup band papan atas yang menguasai 80 persen pangsa musik nasional. Mereka adalah Gita Gutawa, ST12, Ungu, Changcuters, Rio Febrian, Kangen Band, Sherina, Nidji, d’masiv, Vierra, Kotak, Geisha, Alexa dan Azura. Dan sebagian hasil penjualan RBT lagu ini disepakati untuk


(15)

disumbangkan kepada program Save A Teen – Sampoerna Foundation; sebuah program yang ditujukan untuk memberikan beasiswa untuk mencegah anak-anak tak mampu putus sekolah.

Lirik lagu yang diciptakan oleh Charly ST12 tersebut adalah sebuah proses komunikasi yang mewakili seni karena terdapat informasi dan pesan yang terkandung dalam lirik lagu tersebut yang sengaja digunakan oleh komunikator untuk disampaikan kepada kominukan dalam hal ini masyarakat luas, dengan menggunakan bahasa yang verbal. Penggunaan bahasa pada kegiatan pembuatan hasil karya lirik lagu pada sebuah karya seni musik berbeda pada pemakaian bahas pada kegiatan yang lain, seperti pada pemakaian sehari-hari (natural atau ordinary language). Perbedaan itu terlihat dari kalimat-kalimat yang dibuat, karena didalamnya mengandung makna tersembunyi yang dapat dipersepsikan oleh khalayak sebagai sebuah tanda tanya terhadap maksud lirik tersebut. Makna pada kata-kata merupakan suatu jalinan asosiasi, pikiran yang berkaitan serta perasan yang melengkapi konsep yang diterapkan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Dalam metode Barthes, menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman personal cultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of significational”, mencakup denotasi (makna sebenarnyasesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal), sehingga menghasilkan ungkapan


(16)

yang penuh makna sebagi hasil dari interpretasi data mengenai liriklagu tersebut.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan studi semiologi agar dapat menunjukkan representasi nsionalisme dalam lirik lagu “Rindu Bersatu” yang diciptakan Charly ST12 dan dibawakan oleh 14 artis dan group band.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “ Representasi nasionalisme dalam lirik lagu “Rindu Bersatu” yang diciptakan Charly ST 12 ? “

1.3. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi nasionalisme dalam lagu tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan masukan pada perkembangan serta pendalaman studi komunikasi dengan menganalisis semiotika dalam lirik lagu.


(17)

10

2.1. Landasan Teori 2.1.1 Musik

Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik dibandingkan dengan budaya-budaya manusia yang lain dari sisi psikologis humanistik, musik atau lagu bisa menjadi saran untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu tersebut diciptakan. Dari sisi ekonomi, lagu merupakan sebuah komoditi yang menguntungkan (Rahmat, 1993:19).

Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya, penggubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik, adanay tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian terarah pada sintaksis.

Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan sintaksis: tidak ada semiotik tanpa semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan, senantiasa membuktikan kehadirannya (Van Zoest, 1993:120-121).


(18)

2.1.2 Lirik Lagu

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai srana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003:7-8)

Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Sejalan dengan pendapat Seorjono dalam Rachmawati (2001:1) yang menyatakan:

“Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”

Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung didalam masyarakat.


(19)

Penelitian tentang lirik lagu merupakan penelitian tentang makna isi pesan dalam lirik lagu tersebut. Dimana lirik lagu merupakan suatu produk yang salah satu sumbernya adalah situasi sosial. Diman lirik lagu berada didalamnya, kemudian merefleksikannya dalam sistem tanda berupa lirik lagu. Maka, dapat dikatakan bahwa lirik lagu “Rindu Bersatu” ciptaan Charly ST 12 merupakan proses komunikasi yang mewakili seni karena terdapat pesan yang terkandung dalam simbol lirik lagu tersebutyang sengaja digunakan oleh komunikator sebagai pencipta lagu untuk disampaikan kepada komunikan dengan bahasanya tentang suatu rasa nasionalisme bangsa Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Namun dalam hal ini bahasa verbal yang berupa kata-kata yang tertuang dalam teks lirik lagu.

2.1.3 Nasionalisme

Nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya dengan tradisi setempat dan penguasa-penguasa rsemi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Bangsa-bangsa adalah buah hasil tenaga hidup dalam sejarah, dan karena itu selalu bergelombang dan tak pernah membeku. Bangsa-bangsa merupakan golongan-golongan yang beraneka ragam dan tak terumuskan secara eksak (Kohn 1984:84).

Kelayakan bangsa-bangsa itu memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membuat mereke berbeda dari bangsa-bangsa lain, misalnya persamaan


(20)

turunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat dan tradisi, atu persamaan agama. Meskipun faktor-faktor obyektif itu penting, namun unsur yang terpenting ialah kemauan bersama yang hidup nyata. Kemauan inilah yang dinamakan nasionalisme (Kohn 1984:12).

Nasionalisme merupakan suatu paham yang memberikan ilham kepada sebagian terbesar penduduk yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami segenap anggota-anggotanya. Nasionalisme adalah faham yang menunjukkan bahwa kesetiaan dari setiap individu atau warga negara ditujukan bangsanya (Boehn dalam sukarna, 1991:92).

Jadi, seorang nasionalis adalah pecinta nusa dan bangsa sendiri atau orang yang memprjuangkan kepentingan bangsanya. Bangsa merupakan komunitas yang para anggota masyarakat terkecil sekalipun tidak akan mengenal sebagian besar anggota yang lainnya, hal yang terpenting tetap berdirinya suatu bangsa adalah adanyaperasan kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota komunitas bangsa tersebut.

Nasionalisme kebangsaan Indonesia adalah sifat yang tidak keras terhadap fakta multi etnik, multi kultur, multi agama, multi lingual. Karena Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila yang mencegah nasionalisme Indonesia berubah menjadi fasisme. Sehingga nasionalisme kebangsan Indonesia membuka pintu bagi siapa saja untuk berpartisipasi membangun negara Repiblik Indonesia tanpa pembedaan dalam rasialis, etnis agama dan orientasi politik. Akan tetapi, nasionalisme bukanlah sesuatu yang kaku, baku, dan statis. Setiap


(21)

zaman memiliki kondisi dan tantangan yang berbeda sehingga membutuhkan wujud nasionalisme yang dinamis.

Wawasan yang kita anut adalah wawasan kebangsaan yang berlandaskan Pancasila. Dengan landasan Pancasila itu, wawasan kebangsaan yang kita anut, menentang segala bentuk penindasan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain, oleh suatu golongan terhadap golongan lain, juga oleh manusia terhadap manusia lain, karena dilandasi oleh Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap yang mengajarkan kepada kita untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak manusia. Sebagai bangsa yang majemuk, wawasan kebangsaan Indonesia yang menentang praktek-praktek yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial, juga menetang segala bentuk separatisme sebab sila Persatuan Indonesia memberikan tempat kepada kemajemukan dan mengakomodir adanya perbedaan alamiah maupun budaya dari anak-anak bangsa ini (Yudohusodo:13-14).

Gagasan nasionalisme yang berkembang di Indonesia seharusnya tidak dipahami hanya dari sudut perkembangan obyektif semata, tetapi juga dalam ruang politik pembentukan negara republik dan kebutuhan survival sebuah

negara baru dalam pergaulan internasioanl. Tidak dapat dipungkiri, saat terbentukrepublik bernama Indonesia, konteks sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pikiran dan ideologi manusia Indonesia yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau sekuler. Selain itu, kekuatan-kekuatan politik yang ada juga mengusung beragam faham seperti sosialisme, marhaenisme, dan


(22)

komunisme, termasuk kelompok-kelompok etnis dan keturunan Tionghoa dan Arab.

Republik Indonesia dibentuk dari institusi yang dilahirkan masyarakat modern. Dengan demikian, bisa disimpulkan, sejarah pembentukan republik tidak menunjukkan keberadaan suatu gagasan nasionalisme Indonesia dalam arti bulat dan utuh. Bukan berarti Sumpah Pemuda tahun 1928 tidak berarti, tetapi makna Indonesia memiliki arti berbeda ketika negara republik dibentuk, dibanding saat pertama kali gagasan itu diikrarkan.

Perlu disebutkan juga teori tiga dunia yang dipelopori Mao Tse Tung dan Chou En Lai yang membagi kondisi politik internasional dalam blok Barat dibawah Amerika Serikat, blok Timur di bawah Uni Soviet saat itu, dan negara-negar dunia ketiga yang baru merdeka. Cetusannya dalam konteks historis adalah Konferensi Asia-Afrika dan lahirnya gagasan Non_Blok yang menjadi kekuatan baru di dunia.

Indonesia sebagai imagined community terbentuk dari kesadaran politik

orang-orang Indonesia saat itu dalam membangun republik baru dan pertarungan dalam politik internasioanl. Presiden RI Soekarno tidak pernah terlalu pusing membahas apa itu nasionalisme Indonesia. Ia adalah seorang romantik yang mencintai rakyatnya dan mengagumi keragaman budaya Nusantara. Ia tidak merasa tidak Indonesia meski lebih akrab berbahasa Belanda atau Jawa dengan kolega sahabat, atau saat berpidato di depan massa.

(http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/02/18530855/nasionalisasi.nasionali sme).


(23)

Kini kita butuh semangat nasionalisme dalam menyelamatkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita butuh nasionalis yang berperang keras terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Nasionalis modern adalah nasionalis yang memperjuangkan harkat, martabat, dan keutuhan NKRI. Nasionalisme kita adalah nasionalisme pembelaan kepada rakyat Indonesia. Semangat yang terakhir inilah semangat praksis nasionalisme Indonesia yang dibutuhkan

(http://www.kompas.com/read/xml/2008/01/20/10391319)

2.1.4 Representasi

Representasi adalah salah satu praktek penting yang mempreoduksi kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Sseorang dikatakn berasal dari kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama (Juliastuti, 2005:5).

Konsep lama mengenai representasi didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antar makna yang diberikan oleh representasi dan arti beda yang sebenarnya digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Representasi mengacu pada sebuah proses konstruksi didalam tiap medium (khususnya dalam media massa) apek-aspek realitas seperti orang, tempat, obyek-obyek tertentu, kejadian-kejadian, identitas kultur dan konsep abstrak


(24)

lainnya. Representasi dapat hadir dalam sebuah percakapan, tulisan, serupa dengan representasi yang hadir dalam sebuah media audio visual.

Hal menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikerasi atu dicipta. Hall menyebutkan “representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif darisebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.

Dalam representasi, bahasa adalah yang menjadi medium perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena bahasa beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis lisan atau gambar) kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara mempresentasikannya. Dengan mengamati kata-kat yang kita gunakan dalam mempresentasikan sesuatu, bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut (Juliastuti, 2006:6).

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa, ada tiga teori representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif, bahasa berfungsi untuk merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu dengan cara pandang kita terhadap sesuatu.


(25)

Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstusionis, dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkontruksi makna bahasa yang kita pakai (Juliastuti, 2007:7).

Ada dua proses representasi yaitu representasi mental dan representasi bahasa. Representasi mental adalah konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala kita masing-masing, representasi ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Sedangkan representasi bahasa adalah representasi yang berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstark yang ada dalam kepala kita diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda-tanda dan simbol-simbol tertentu (Julianti, 2000:8).

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dengan mengkontruksi seperangkat rantai korepondensi antara sesuatu dengan sistem :konseptual” kita. Dalam proses kedua, kita mengkontruksi seperangkat rantai korespondensi antara “peta konseptual” dengan bahasa atua simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual” dan simbol dalam bahasa adalah suatu proses makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi.

Inti kajian representasi memfokuskan kepada isu-isu mengenai bagaimana caranya representasi itu dibentuk hingga menjadi sesuatu yang kelihatan alami. Jika sudah sampai pada tahap ini, maka representsai itu dikatakan berhasil dibangun dan dipercayai masyarakat sebagai sebuah


(26)

normalitas alami yang tidak perlu dipertanyakan kembali karena sudah dianggap sebuah kewajaran. Dalam sebuah representasi terdapat sebuh sistem yang disebut sistem representasi, yang artinya pembangun sebuah konsep representasi selalu identik dengan nilai-nilai ideologis yang melatar belakanginya.

Konsep representasi pada penelitian merujuk apada pengertian, tentang bagaiman seseorang yaitu pencipta lagu membentuk makna dalam sebuah lirik lagu. Dalam lirik lagu alat representasi itu berupa tulisan-tulisan syair apada lirik laguyang bahasanya berbeda dengan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat. Lewat lirik lagu pencipta dapat mengungkapkan pikiran yang ada dalam dirinya dalam mempresentasikan sesuatu.

2.1.5 Pendekatan Semiotika

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan dunia ini, ditengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia semiotik pada dasarnya hendak mempelajari bagaiman kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal (things).

Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata Yunani semenion yang

berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi yang terbngun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16), sedangkan secar terminologis, semiotik dapat didefinisikan


(27)

sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:6).

Bagi seseorang yang tertarik dengan semiotik, maka tugas utamanya adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-gejala di sekelilingnya melalui berbagai tanda yang dilihatnya. Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan.

Menurut Littejohn (1996:64) dalam Sobur (2001:15) tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi dengan sesamanya. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama manusia.

Semiotika seperti kata Lechte (2001:19) adalah teori tentang tanda dan penandaan . lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs “tanda-tanda” dan

berdasarkan pada sign system (code) (Segers, 2004:4). Hjelmslev (dalam

Chistomy, 2001:7) mendefinisikan tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahan isi (content plant). Charles Morris

menyebutkan semiosis sebagai suatu “proses tandanya”, yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organism. Dari beberapa definisi diatas maka semiotika atau semiosis dalah ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda.


(28)

Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah

S (s, i, e, r,c)

S adalah semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); I

untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya suatu

disposisi dalam I akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisis tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk contex (konteks)

atau conditions (kondisi).

2.1.6 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah satu seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistic dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama, ekspones penerapan struktualisme dan semiotika pada studi sastra. Barthes (2001:208) menyebutkan seagai tokoh yang memainkan peranan central dalam struktualisme tahun 1960-an d1960-an 70-1960-an. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem t1960-anda y1960-ang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia mengajukan pendapat ini dalam Writing Degree Zero (1953;terj.

Ingrris 1977) dan Critical Essays (1964;terj. Inggris 1972) (Sobur, 2004:63).

Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya atau seni.


(29)

Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003:11).

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seseorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-sistem sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya (Kurniawan, 2001:156). Didalam semiologi, seseorang diberikan kebebasan disalam memaknai sebuah tanda.

Dalam kajian tekstual, Barthes menggunakan analisis naratif struktural yang dikembangkannya. Analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semilogi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahamimakna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatau cara tertentu (Kurniawan, 2001:89).

Selain satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun atas sistem lain yang telah ada sebelumnya (Sobur, 2004:68-69).

Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh


(30)

Barthes disebut konotatif, yang dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaa tataran pertama Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda:

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes 1. Signifier (penanda) 2. Signified (Petanda)

3. Denotative (tanda denotative

4. Connotative Signifier (petanda konotatif) 5. Connotative signified

petanda konotatif 6. Connotative sign (tanda konotatif)

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) da petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotative adalah juga petanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsure material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah kootasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Janz, 1999:51 dalam Sobur, 2004:69).

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya sekedar memiliki makna tambahan. Namun, juga mengandung makna kedua bagian tanda denotative yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Sasurre, yang hanya berhenti pada tatanan denotative.


(31)

Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagi makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sementara, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan keterutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1992:22 dalam Sobur, 2004:0-71).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology, yang disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominant yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001:28 dalam Sobur, 2004:1). Didalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun, sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula petanda dapat memiliki beberapa penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah


(32)

pemunculn sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut (Sobur, 2004:71).

Menurut Bertens (2001) tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda atau petanda. Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa; apa yang dikatakan, apa yang didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Jadi Petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, -kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi signifier (penanda) dan signified (petanda). Suatu penanda tanpa

petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. "Penanda dan Petanda merupakan, seperti dua sisi dari sehelai kertas" (Sobur, 2004:46). Setiap tanda kebahasaan, menurut Saussure pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu sebagai nama.

Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda

(signifier), sedang konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak

dapat dipisahkan, memisahkannya hanya akan menghancurkan "kata" tersebut (Sobur, 2004:47).

Semiologi Roland Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa


(33)

pada tingkat pertama adalah sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut sebagai metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru nada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa (Kurniawan, 2001:115).

Tatanan penandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai denotasi. Hal ini mengacu pada anggapan umum, maka jelaslah tentang tanda. Sebuah contoh foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jalan mendenotasi jalan tertentu; kata jalan mendenotasi jalan pertokoan yang membentang diantara bangunan (Fiske, 2006:118). Denotasi menurut Barthes merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2004:70).

Konotasi dan Matabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda di luar kesatuan penanda-penanda asli, diluar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan literatur memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisila atau ideologis secara umum (Kuniawan, 2001:68).


(34)

Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos. Mitos biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru, namun pemakaian yang biasa itu adalah bagi penggunaan oleh orang yang tak percaya. Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya dalam artiannya orisinal. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive berkenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos kita yang lebih bertaktik-taktik adalah tentang maskulinitas dan feminitas, tentang keluarga, tentang keberhasilan atau tentang ilmu. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berfikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda, maka mitos pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske, 2006:121).


(35)

Gambar 2.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes sumber: Fiske, 2006 121- 123

Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya

Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Mitos menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi, sambil menguniversalisasikannya dan membuat mitos tersebut tidak bisa diubah, tapi juga cukup adil (Fiske, 2006:123).

Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi deseminasi makna dan pluralitas teks, maka Barthes mencoba memilah-milah

penanda-Denotasi Penanda

Petanda

Konotasi

Mitos Bentuk


(36)

penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan berutun yang disebutnya sebagai leksi-leksia (Iexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek yang bervariasi.

Sepotong bagian teks yang apabila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya adalah sebuah leksia. Akan tetapi sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua patah kata kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraph, tergantung pada ke"gampang"annya (convenience) saja. Dimensinya

tergantung kepada kepekatan dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama diantara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tatanan-tatanan pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003:54).

Dalam memaknai sebuah "teks" kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan pisau analisis mana yang bisa kita pakai dari sekian jumlah, pendekatan yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu semestinya "setia" dengan satu pilihan, namun bisa juga mencampuradukkan dengan beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan "pembaca" dalam membeda pembacaannya. Bisa pula benar-benar hanya memfokuskan pada teks dan "melupakan" sang pengarang, "pembaca" kemudian dapat melakukan interpretasi terhadap suatu karya.


(37)

Dalam hal ini "pembacalah" yang memberikan makna dan penafsiran. "Pembaca" mempunyai kekuasaan absolut untuk memaknai sebuah hasil karya (lirik lagu) yang dilihatnya, bahkan tidak hanis sama dengan maksud pengarang. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik. dalam lagu itu memberikan maknanya. Wilayah kajian "teks" yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Barthes melihat seluruh produk budaya merupakan teks yang bisa dibaca secara otonom dari pada penulisnya.

2.1.6.1 Kode Pembacaan

Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland Barthes di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok yang di dalamnya semua penanda tekstual (baca: leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan. Adapun kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikasi dapat dipahami, meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks.

Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode herneutika (kode teka-teki), kode proretik, kode budaya, kode semik, dan kode simbolik. (Kurniawan, 2001:69).


(38)

1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan untuk mendapatkan "kebenaran" bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur terstruktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian di dalam cerita. (Sobur, 2004:65). Di bawah kode ini, orang dapat mendaftar beragam istilah yang sebuah teka-teki dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disikapi. Kode ini disebut juga suara kebenaran (The Voice of Truth) (Kurniawan,

2001:69).

2. Kode Proaetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif (Sobur, 2004:66). Kode proaetik

yaitu kode yang mengandung cerita urutan narasi, atau antar narasi

(Tinarbuko, 2008:19).

3. Kode Budaya sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan tipe pengetahuan mengacu pada, tanpa cukup jauh mengkontruksi (merekonstruksi), budaya yang mereka ekspresikan (Kurniawan, 2001:69). Gnomik atau kode kultural (Budaya) banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan di kodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisionaI didefinisi oleh acuan


(39)

kea pa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan (Sobur, 2004:66). 4. Kode semik atau semantic, yaitu kode yang mengandung konotasi

pada level penanda (Tinarbuko, 2008:18). Kode semik menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling "akhir" (Sobur, 2004: 65-66).

5. Kode simbolik (tema) yang bersifat tidal: stabil dan dapat dimasuki melalui beragam sudut pendekatan. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses (Sobur, 2004:66).


(40)

2.2 Kerangka Berfikir

Manusia adalah Homo Semioticus, dimana masing-masing individu

mempunyai latar belakang pemikiran yang berbeda-beda dalam memaknai suatu objek atau peristiwa. Manusia dapat memproklamasikan sesuatu, apa saja sebagai tanda karena hat itu dapat dilakukan oleh semua manusia (Van Zoest, 1993 dalam Sobur 2004:vii).

Oleh karena latar belakang pengalaman (field of experience) dan

pengetahuan (frame of reference) yang berbeda pada setiap individu

tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hat ini pesan disampaikan dalam bentuk lagu, maka pencipta lagu juga tidak terlepas dari dua hal di atas.

Begitu juga peneliti dalam memaknai tanda dan lambang yang ada dalam obyek, juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peneliti melakukan interpretasi terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada lirik lagu "Rindu Bersatu" dalam hubungannya dalam representasi nasionalisme dengan menggunakan metode semiologi dari Roland Barthes, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi nasionalisme tersebut.

Dari data-data berupa lirik lagu "Rindu Bersatu", kata-kata dan rangkaian kata dalam lirik lagu tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode signifikasi dua tahap (two order of signification) dari

Roland Barthes. Dimana pada tataran pertama tanda denotatif (denotative


(41)

kedua tanda denotatif (denotative sign) juga merupakan penanda konotatif

(konotative signifier) sehingga muncul petanda konotatif (konotative

signified) yang akan membentuk tanda konotatif (konotatif signifier)

sehingga muncul petanda konotatif (konotative sign). Dalam tahap kedua

dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar. Kemudian teks akan dimaknai dengan menggunakan lima macam kode Barthenz, yaitu kode hemeunitik, kode semik, kode simbolik, kode proaetik dan kode kultural untuk pemaknaan melalui pembacaan dari kode-kode tersebut akan di ungkap substansi dari pesan dibalik lirik lagu "Rindu Bersatu”

Gambar 2.3 Bagan kerangka pikir peneliti tentang representasi Lagu "Rindu Bersatu”

Representasi dari pembacaan kode-kode yang ada dalam lagu “Rindu Bersatu” Lagu

“Rindu Bersatu”

Analisis Semiologi Roland Barthes : 5

Kode yaitu hermenuetik, semik,

simbolik, proretik dan cultural


(42)

35

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya data yang digunakan merupakan data kualitatif yaitu tidak menggunakan data atas angka-angka, melainkan berupa pesan-pesan verbal atau (tulisan) yang terdapat dalam lirik lagu “Rindu bersatu Charly ST12. Data-data kualitatif tersebut berusaha diiterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensi-referensi secara ilmiah.

Penelitian kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila behadapan dengan kenyataan ganda. Kedua metode ini menyajikan secara langsung hakikat peneliti dan yang diteliti. Dan yang ketiga, metode ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola yang dihadapi (Moleong, 2002:5)

Metode yang digunakan didalam penelitian ini bersifat kualitatif-interpretative, penelitian ini akan mendekonstruksi tanda-tanda dengan menggunakan metode semiotik dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua tahap (two order signification). Dimana pada tataran pertama tanda denotative

(denotative sign) terdiri atas penanda dan petanda (signifier signified) dan pada

tataran kedua, tanda denotative (denotative sign) juga merupakan penanda


(43)

yang membentuk tanda konotatif (connotative sign). Dalam tahap kedua dari tanda konotative akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar.

Melalui pandangan dari Rolland Barthes tersebut kemudian dijelaskan lewat penafsiran dengan menggunakan teori perspektif nasionalisme yang pada akhirnya akan dapat ditarik makna nasionalisme yang tersirat dari lirik lagu tersebut. Sesuai dengan definisi nasionalisme itu sendiri, yaitu paham yang menunjukkan bahwa kesetiaan dari tiap individu atau negara ditujukan kepada kepribadian bangsanya

Dengan menggunakan paradigma konstruktivisme, analisis semiotika bersifat kualitatif, jenis penelitian ini memberi peluang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif (Sobur, 2001: 147)

3.1.1. Analisis Semiologi

Metode semiotika adalah sebuah metode yang memfokuskan pada “tanda dan teks” sebagai obyek kajiannya. Serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut (Pilliang, 2003 : 270). Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya dan seni sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (Piliang 2003 : 257)


(44)

Dengan semiotika kita berurusan dengan tanda dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan ditengah dunia yang centang penerang ini, setidak nya agar kita mempunyai pegangan. “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah pada sebuah kesadaran” (Sobur, 2003:16).

3.1.2 Unit Analisis

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanda-tanda berupa tulisan, yaitu terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu dan “Rindu Bersatu”.

3.1.3. Korpus Penelitian

Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas, yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis semacam kesemenaan bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001:70). Korpus atau data yang dikumpulkan berwujud teks. Pada penelitian ini yang menjadi korpus adalah lirik lagu berjudul “Rindu Bersatu” yang menunjukkan atau mewakili konsep nasionalisme..

Alasan peneliti menggunakan lagu dan “Rindu Bersatu” sebagai korpus adalah dikarenakan dalam lagu tersebut menggambarkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.

Berikut lirik lagu lagu “Rindu Bersatu” yang mewakili konsep nasionalisme yang berbeda didalam penelitian ini :


(45)

RINDU BERSATU

Ada satu yang hilang Dari negeriku

Tak seperti dahulu saling bersatu Ada yang tlah berubah

Dari bangsaku

Hilangnya kasih sayang itu menyakitkanku Percuma ada cinta

Kalau tuk bertengkar terus Percuma ada rindu

Kalau tak saling bersatu Jangan takut menjadi Indonesia Teruslah maju negeriku

Teruslah bertahan bangsaku Dan tetap indah seperti dulu

3.2 Tehnik Pengumpulan data

Tehnik pengumpula data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder yang diperoleh dari:

1. Data primer : pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mendengarkan lagu “Rindu Bersatu”, kemudian membaca serta memahami kata-perkata dari lirik lagu tersebut, yang kemudian dipilih kembali oelh peneliti lirik-lirik yang menggambarkan nasionalisme. 2. Data sekunder : data yang berasal dari bahan-bahan referensi, seperti

buku-buku artikel dan data dari internet yang berhubungan dengan objek kejadian yang diteliti.


(46)

3.3 Metode Analisis Data

Peneliti menginterpretasikan teks dalam lirik lagu “Rindu Bersatu”, serta menyimpulkan berbagai makna mengenai bagaimana nasionalisme digambarkan dalam lirik lagu tersebut. Nasionalisme kebangsaan adalah kesetiaan masyarakat terhadap wilayah, yaitu terhadap bangsa dan negara. Nasionalisme ini yang kemudian mendorong seseorang untuk memiliki perasaan rela berkorban sebagai wujud rasa cinta terhadap tanah air. Dari lirik lagu terdirir judul lagu dan reffinilah yang akan dianalisis dalam penelitian ini dengan menggunakan pandangan dari roland barthes, yaitu metode signifikasi dua tahap (two order of

signification) yang akan dianalisis menggunakan lima macam kode pembacaan

menurut barthes, yaitu kode hermeunitik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dank ode cultural untuk pemaknaan sebuah tanda sehingga akan mengetahui tanda denotative dan tanda konotatifnya.

Melalui pandangan dari Roland Barthes tersebut kemudian dijelaskan lewat penafsiran dengan menggunakan teori persfektif nasionalisme yang pada akhirnya akan dapat ditarik suatu makna yang sebenarnya tentang rasa nasionalisme masyarakat Indonesia itu sendiri.


(47)

40

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1. ST12 Band

ST12 adalah grup musik yang mengusung aliran musik berkarakter musik melayu. ST 12 didirikan di Bandung oleh Hilman Febry alias Pepep (drum), Dedy Sudrajad alias Pepeng (gitar), Muhammad Charly Van Houten alias Charly (vokal) dan Iman Rush (gitar).

Awalnya, keempat personil ini tak saling kenal, meskipun mereka telah lama berkecimpung di dunia musik. Mereka mulai akrab setelah ssering bertemu di studio rental di Jalan Stasiun Timur 12, Bandung, milik Pepep. Mereka pun akhirnya mendirikan ST12 pada tanggal 20 Januari 2005. Nama ST12 yang merupakan kependekan dari Jl. Stasiun Timur No.12 adalah pemberian dari Pepep, Helmi Aziz. (www.st12Band.com, diakses pada 06 November 2010).

Meskipun keempat personel ini memiliki aliran music favorit yang berbeda, Charly menggemari Jazz, Pepep suka jazz dan rock, sementara Pepeng tumbuh bersama music rock, namun mereka kompromi untuk membuat ST12 beraliran melayu. Jika yang lain menyanyikan notasi minor dengan cara bule, ST12 dengan bangga menyayikan dengan cara


(48)

melayuyang merupakan akar budaya Indonesia. ( www.tentangst12-band.com, diakses pada 06 November 2010).

St12 terpaksa merilis album perdana mereka melalui jalur independent

(indie) Karen tak ada label yang mau menampung mereka. Saying, pada bulan Oktober 2005, saat tour promosi album di Semarang, Iman Rush meninggal dunia akibat pecah pembuluh darah di otak. Trinity Optima Production mulai melirik ST12 setelah album perdananya, Jalan terbaik (2005), meraih sukses. Album kedua, P.U.S.P.A (2008) yang didesikan untuk Iman, dirilis dibawah label Trinity.

Album perdana ‘Jalan Terbaik’ yang berhasil menarik perhatian masyarakat luas. ATSL (Aku Tak Sanggup Lagi), Rasa Yang Tertinggal atau Aku Masih Sayang menjadi single andalan mereka. Masih ada

beberapa single yang menarik perhatian di album pertama ini, diantaranya

Ruang Rindu, Kepedihan Jiwa, Cinta Abadi, Sirna Sudah, Dewiku, jiwa Yang Hilang, dan Jalan Terbaik.

Meski duka melanda karena salah satu personil mereka Iman Rush meninggal, ST12 tetap bertahan. 3 tahun kemudian mereka membuktikan eksistensinya dengan album kedua P.U.S.P.A. diman album kedua ini berisikan 12 lagu andalan, diantaranya P.U.S.P.A (Putuskan Saja Pacarmu), jangan Pernah Berubah, Cari Pacar Lagi, Putri Iklan, S.K.J (saat kau Jauh), Saat Terakhir, Tak Dapat Apa-Apa (My Hot), Cinta Jangan Dinanti, Cinta Tak Direstui, jalan Terbaik, Rasa Yang Tertinggal, dan aku Masih saying.


(49)

Sukses dengan kedua albumnya, kali ini ST12 mencoba merilis single

rohani dengan judul Kebesaranmu. Setelah album rohani yang juga meraih sukses, Charly dengan spontan menciptakan single lagu terbarunya berjudul

“Sinar Pahlawanku”, yang dinyanyikan bersama Regina (istri), dan Restu (anaknya). Single lagu ini terinspirasi karena bentuk simpati terhadap cinta

bocah perempuan bernama Sinar yang masih berumur 6 tahun kepada ibunya yang menderita lumpuh. (http:///berandakawasan.wordpress.

com/2010/11/06/kisah-sinar-menggugah-banyak-orang/).

Moch.Charly van houten yang lahir 5 November 1981 tak pernah luput dari Gitar.Charly selalu membawa Gitar nya kemana pun,entah ketika tidur,hang out,sarapan,bahkan mau masuk kamar mandi.Untuk sarapan Pagi Charly selalu memakan Roti,agar stamina saat bernyanyi diatas panggung kalau Libur, Charly selalu menghabiskan waktu bersama pacarnya dipegunungan/lesehan.menurut Charly, ia bisa sukses berkat kedua Orang Tuanya Soegendri & Toethe Hartika.Tanpa dukungan ke2 Ortu mungkin bisa tak seperti Cekarang.Ada satu Hobi Charly yang Unik.Rupanya Lulusan Fakultas Seni Musik Universitas Pasundan ini sering mengisengi para personel ST12. Saat temannya sedang Bermain Ps Charly suka mencabut stop kontak Tv/mematikan Tv, cowok bernama asli Muhammad Charly Van Houtten ini awalnya tertarik untuk jadi gitaris, gara-gara uwaknya yang musisi itu pernah memberinya hadiah berupa gitar. Gitar kesayangannya itu lalu dia bawa kemana-mana sebagai instrumen membuat lagu. Nggak disangka-sangka, ternyata banyak orang yang bilang suara


(50)

Charly cukup merdu untuk jadi seorang vokalis. Akhirnya sejak tahun 1998, saat mulai manggung dari kafe ke kafe bareng teman-temannya, Charly dipercaya untuk memegang posisi vokal.

Buat cowok kelahiran Cirebon, 5 November 1982 ini, musik bukan cuma sekedar hobi, tapi juga tujuan hidup. Ini yang jadi alasan utamanya hijrah ke Bandung dari Cirebon di tahun 2000, yaitu untuk mengambil kuliah jurusan seni musik di Universitas Pasundan Bandung.

Selama di Bandung, Charly mengaku nggak pernah punya tempat tingggal. Biasanya dia menginap di rumah teman atau di studio musik tempatnya latihan. Sedangkan untuk membeli makan, dia terpaksa mengamen di perempatan jalan Dago.

Untungnya perjuangan ini nggak sia-sia, karena pengagum Al Jarreau dan Armand Maulana ini berhasil menelurkan satu album bareng sebuah band bernama Afterclose, sebelum akhirnya ditarik bergabung oleh ST12.

Perannya di ST12 cukup penting, karena hampir semua lirik lagu band ini adalah ciptaan Charly. Bahkan, cowok yang menulis lagu sejak kelas 1 SMP ini sekarang mulai mencoba-coba membuat lagu untuk dinyanyikan artis lain. Pingkan Mambo dan Aris Idol adalah beberapa di antaranya.

Mengenai Aris, Charly punya alasan sendiri untuk kagum pada salah satu peserta Indonesian Idol itu.

"Waktu itu di salah satu episode Idol, Aris sempat bawain lagu ST12 yang judulnya Rasa Yang Tertinggal. Jujur aja aku sempat nangis liatnya, dia bawain lagu itu dengan bagus banget. Dan ternyata latar belakang Aris juga


(51)

nggak jauh sama aku, dia dulunya pengamen juga. Jadi aku salut lah sama dia, mudah-mudahan aja dia nggak patah semangat," kata Charly

sSukses dengan single Sinar Pahlawanku dan mendapat respon yang

baik oleh masyarakat. Charly menciptakan single lagu bertemakan

nasionalisme “Rindu Bersatu”, single ini terinspirasi karena suatu kerinduan

bahwa Indonesia sangat indah waktu Charly masih kecil, tetapi sekarang Charly melihat Indonesia semakin semrawut denganpeperangan antar kepentingan yang membuat hancur. Lagu ini menyadarkan bila kita punya cinta dan bagaimana menyatukan sesuatu yang tadinya semrawut. Charly mengaku sangat bangga karena lagunya, ‘Rindu Bersatu’ bias terpilih untuk program Indonesia Bersatu (Indonesia Unite). Lagu ini dinyanyikan oleh 14 artis dan group band papan atas yang menguasai 80 persen pangsa music nasional. Mereka adalah Gita Gutawa, ST12, Ungu, Changcuters, Rio Febrian, Kangen Band, Sherina, Nidji, d’masiv, Vierra, Kotak, Geisha, Alexa, dan Azura. Sebagai hasil penjualan RBT lagu ini disepakati untuk disumbangkan kepada program Save A Teen – Sampoerna Foundation; sebuah program yang ditujukan untuk memberikan beasiswa untuk mencegah anak-anak tidak mampu ptutus sekolah. Lagu ini juga di dedikasikan untuk persatuan dan kstuan bangsa. (http://wap.vivanews. com/news/read/162945-lagu-rindu-bersatu-keprihatinan-charlie-st12), diakses 06 November 2010.


(52)

4.2 Penyajian dan Analisis Data 4.2.1 Penyajian Data

Lagu Rindu Bersatu sangat kental nuansa Nasionalisme karena dalam lirik lagu terdapat lirik lagu yang menunjukkan kerinduan bahwa dahulu Indonesia sangat indah, tetapi sekarang Indonesia semakin semrawut dengan peperangan antar kepentingan yang membuat hancur. Lagu ini menyadarkan bila kita punya cinta dan bagaimana menyatukan sesuatu yang tadinya semrawut.

Korpus dalam penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Rindu Bersatu”. Lirik lagu “Rindu Bersatu ” selengkapnya sebagai berikut:

RINDU BERSATU

Ada satu yang hilang Dari negeriku

Tak seperti dahulu saling bersatu

Ada yang tlah berubah Dari bangsaku

Hilangnya kasih sayang itu menyakitkanku

Percuma ada cinta

Kalau tuk bertengkar terus Percuma ada rindu

Kalau tak saling bersatu

Jangan takut menjadi Indonesia Teruslah maju negeriku

Teruslah bertahan bangsaku Dan tetap indah seperti dulu


(53)

4.2.2 Analisis Data

Judul lagu mencerminkan isi dari lirik lagu yang diwakilinya. Representasi lirik lagu “Rindu Bersatu” ini akan dilakukan peneliti dengan menentukan penanda dan petanda dalam peta tanda Roland Barthes, mengkategorikan kalimat dari bait ke dalam lima kode dan leksia yaitu kode

hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik,

kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik atau kode kultural. Pada

lirik lagu “Rindu Bersatu” ini terdapat tiga bait dan satu bait puisi, isi bait yang pertama terdiri dari tiga kalimat yaitu :

………. Ada satu yang hilang

Dari negeriku

Tak seperti dahulu saling bersatu

………. Bait 1 kalimat 1 :

Ada satu yang hilang

1.Signifier (penanda)

Ada Satu Yang

Hilang

2. Signified

(petanda) Sesuatu yang hilang

3. Denotative sign (tanda denotatif) Ada sesuatu yang telah musnah

4. Connotative Signifier (penanda konotatif) Kerinduan akan sesuatu yang telah musnah

5. Connotative

Signified (Petanda

Konotatif)

Suatu rasa yang

musnah 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)


(54)

Kalimat pertama dari bait pertama ini termasuk dalam kode

hermeneutik, karena dalam kalimat Ada satu yang hilang menimbulkan

sutu pertanyaan dan teka-teki. Sesuatu apakah yang hilang? Hilang seperti apakah yang dimaksud?

Pada kalimat pertama yaitu Ada satu yang hilang. Kata ada artinya

telah tersedia, kata satu artinya menunjukkan suatu bilangan, kata yang

artinya kata yang menyatakan bahwa kalimat itu di utamakan atau dibedakan, kata hilang artinya sesuatu yang telah musnah..

Makna konotasi dari lirik Ada satu yang hilang merupakan suatu kerinduan akan rasa persatuan yang kini telah musnah.

Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan melihat keadaan negri ini yang telah kehilangan rasa persatuan dan kesatuan antar warga negara. Banyak masyarakat yang memimpikan Indonesia bersatu seperti dahulu, bahkan ketidakpuasan ini dilampiaskan oleh “Indonesia All Stars” (14 musisi yang menyanyikan lagu ciptaan Charly ST12).


(55)

Bait 1 kalimat 2 :

Dari negeriku

1. Signifier (penanda)

Dari negeriku

2. Signified (petanda) Tempat tinggal

3. Denotative sign (tanda denotatif) negeriku

4. Connotative Signifier (penanda konotatif) Tanah air di mana kita bertempat tinggal

5. Connotative

Signified (Petanda Konotatif)

Negeri tempat kita tinggal

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Menunjukkan berasal dari tanah air negeri sendiri tempat kita tinggal

Kalimat kedua dari bait pertama ini termasuk dalam kode simbolik

karena kalimat tersebut menunjukkan simbol dari negara Indonesia

Pada kalimat ke 2 yaitu Dari negeriku, kata dari artinya kata depan

yang menyatakan permulaan, kata negeriku artinya tanah tempat tinggal

bangsaku.

Makna konotasi dari lirik Dari negeriku menjelaskan bahwa menunjukkan sesuatu yang berasal dari tempat kita tinggal.

Dari kalimat diatas bisa diartikan negri yang indah, dimana pengucapan “Negeriku” biasa menunjukkan kebanggan atas diri seseorang terhadap negerinya, tetapi jika dikaitkan dengan lirik pertama ada sebuah kerinduan besar yang dulu pernah ada di negeri ini.


(56)

Bait 1 kalimat 3 :

Tak seperti dahulu saling bersatu 1. Signifier (penanda)

Tak seperti dahulu

saling bersatu

2. Signified (petanda)

Sudah berubah

3. Denotative sign (tanda denotatif) Saling bersatu

4. Connotative Signifier (penanda konotatif) Tidak seperti waktu yang telah lalu saling menyatu

5. Connotative

Signified (Petanda

Konotatif)

Perubahan dimana

sekarang sudah

tidak menyatu

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Menunjukkan bahwa waktu yang telah lalu saling menyatu tetapi sekarang ini tidak menyatu lagi

Kalimat ke tiga dari bait pertama ini termasuk dalam kode proaretik

karena kalimat tersebut menunjukkan tindakan yang tidak saling menyatu antar warga.

Pada kalimat ke 3 yaitu Tak seperti dahulu saling bersatu, kata dari

tak artinya penolakan atau pengingkaran, kata seperti artinya serupa

dengan, kata dahulu artinya yang telah lalu atau lampau, kata saling artinya

kata untuk menerangkan perbuatan yang berbalas-balasan, kata bersatu

persatuan atau perpaduan.

Makna konotasi dari lirik Tak seperti dahulu saling bersatu

menjelaskan bahwa perubahan yang telah terjadi dari bangsa indonesia yang saat ini sekarang sudah tidak menyatu lagi atau sudah pudar.

Dari kalimat diatas dapat disimpulkan Indonesia yang tidak seperti dahulu indah jarang terjadi pertengkaran, menjunjung tinggi persatuan dan


(57)

kesatuan, toleransi, gotong royong, namun kini sering terjadi perpecahan dikarenakan masalah antar ras, suku, agama, kepentingan politik.

Sehingga makna bait pertama secara keseluruhan adalah melihat keadaan negri ini yang telah kehilangan rasa persatuan dan kesatuan antar warga negara. Banyak masyarakat yang memimpikan Indonesia bersatu seperti dahulu, bahkan ketidakpuasan ini dilampiaskan oleh “Indonesia All Stars” (14 musisi yang menyanyikan lagu ciptaan Charly ST12). Dari kalimat diatas bisa diartikan negri yang indah, dimana pengucapan “Negeriku” biasa menunjukkan kebanggan atas diri seseorang terhadap negerinya, tetapi jika dikaitkan dengan lirik pertama ada sebuah kerinduan besar yang dulu pernah ada di negeri ini. Dari kalimat diatas dapat disimpulkan Indonesia yang tidak seperti dahulu indah jarang terjadi pertengkaran, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, toleransi, gotong royong, namun kini sering terjadi perpecahan dikarenakan masalah antar ras, suku, agama, kepentingan politik.

Isi lirik pada bait kedua terdiri dari tiga kalimat, yaitu : ………

Ada yang tlah berubah Dari bangsaku

Hilangnya kasih sayang itu menyakitkanku ………


(58)

Bait 2 kalimat 4 :

Ada yang tlah berubah 1 Signifier

(penanda)

Ada yang tlah berubah

2. Signified

(petanda)

Sesuatu yang

berganti

3. Denotative sign (tanda denotatif)

Sesuatu yang kini sudah menjadi lain

4. Connotative Signifier (penanda konotatif) Sesuatu yang kini menjadi lain

5. Connotative Signified

(Petanda Konotatif)

Ada sesuatu yang

menjadi berubah

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Menunjukkan suatu yang menjadi lain dikareakan perubahan terhadap bangsa indonesia

Dari kalimat ke 4 bait ke 2 ini termasuk dalm kode hermeneutik karena

dalam kalimat tersebut menimbulkan pertanyaan dan teka-teki. Apakah yang berubah? Berubah seperti apakah yang dimaksud.

Kalimat ke 4 yaitu Ada yang tlah berubah, kata ada yang artinya telah

tersedia, kata yang artinya kata yang menyatakan bahwa kalimat itu

diutamakan atau dibedakan, kata tlah artinya sudah, kata berubah artinya

menjadi lain.

Makna konotasi dari lirik Ada yang tlah berubah menunjukkan sesuatu yang sekarang telah berganti tidak seperti dahulu dimana bangsa indonesia kini telah berubah dikarenakan perpecahan antar warga negara Indonesia.


(59)

Dari kalimat tersebut dapat disimpulkan wajah bangsa Indonesia yang dulu ramah dan majemuk tidak lagi terlihat manis dan harmonis. Hal ini bisa dilihat dibanyak media massa, televisi hampir setiap hari mengabarkan tawuran siswa, mahasiswa atau kelompok masyarakat, kepentingan politik. Padahal bila ditelusuri pemicu dari tawuran atau aksi anarkis warga sebetulnya sangat sepele. Hal ini meyakinkan semua pihak bahwa memang telah ada yang berubah, dan perubahan itu sangat serius bahkan hampir bisa dikatakan bangsa Indonesia kehilangan identitas dan kehormatannya.

Bait 2 kalimat 5 :

Dari bangsaku 1. Signifier

(penanda)

Dari bangsaku

2. Signified

(petanda) Dari bangsa ini

3. Denotative sign (tanda denotatif) Berasal dari bangsa Indonesia

4. Connotative Signifier (penanda konotatif) Dari bangsa Indonesia

5. Connotative Signified

(Petanda Konotatif) Bangsa tempat kita tinggal

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Menunjukkan dari bangsa indonesia tempat kita tinggal

Kalimat ke 5 dari bait ke 2 ini termasuk dalam kode simbolik, karena

kalimat tersebut menunjukkan simbol Negara Indonesia.

Kalimat ke 5 dari bait ke 2 Dari bangsaku, kata dari artinya kata depan


(1)

66

Kalimat ke empat belas bait empat ini termasuk dalam kode semik karena dalam kalimat tersebut terdapat kata konotasi “indah” yang berarti tidak ada perpecahan. Termasuk dalam kode simbolik karena dahulu bangsa ini sangat menunjung rasa persatuan sehingga indah tanpa ada perpecahan.

Kalimat ke empat belas bait empat Dan tetap indah seperti dulu, kata dan merupakan kata penghubung, kata tetap artinya selalu berada atau berdiri ditempatnya, kata indah artinya keadaan enakdipandang atau elok, kata seperti artinya serupa, kata dulu artinya yang telah lalu atau telah lampau.

Makna konotasi dari lirik Dan tetap indah seperti dulu adalah tetap mempertahankan negara ini dalam kedaan damai jarang terjadi perpecahan, sehingga enak dipandang mata.

Dari kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan kita menjaga persatuan dan kesatuan, bangsa kita ini bias menjadi bangsa yang seperti dahulu jarang terjadi perpecahan pertengkaran, cinta damai, bahkan bias menjadi bangsa yang lebih maju lagi dan dapat bersaing dengan negara-nagara maju lainnya.

Sehingga makna bait keempat secara keseluruhan adalah menyiratkan masih adanya harapan dan bangga dengan melihat keadaan Indonesia yang saat ini carut marut tetap optimis bahwa kita bangsa indonesia tidak boleh takut menjadi Indonesia yang lebih maju lagi, karena jika ada kemauan dan komitmen dari semua pihak, perpecahan dan perselisihan yang acap kali terjadi itu bisa diatasi. Tetap memotivasi dan


(2)

mengajak semua masyarakat indonesia yang cinta akan perdamaian di indonesia untk terus memantapkan harapan dan cita-cita agar persatuan itu bisa diwujudkan dan menjadi akhir dari perpecahan yang memilukan segenap rakyat dan bangsa indonesia. Indonesia bisa bertahan dan memperjuangkan impiannya untuk kembali bersatu seperti dulu. Walaupun terasa berat dan bahkan hampir tidak mungkin ditengah-tengah kompleksitas permasalahan bangsa ini, masih ada setitik motivasi untuk membenahi semua itu. Dari kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan kita menjaga persatuan dan kesatuan, bangsa kita ini bias menjadi bangsa yang seperti dahulu jarang terjadi perpecahan pertengkaran, cinta damai, bahkan bias menjadi bangsa yang lebih maju lagi dan dapat bersaing dengan negara-nagara maju lainnya.

Setelah melihat makna secara keseluruhan dari lirik lagu “Rindu Bersatu” ini dapat dikatakan bahwa lirik lagu tersebut mengungkapkan tau menceritakan berbagai macam fenomena dan perubahan kondisi negara yang saat ini sudah tidak damai lagi. Banyak teradi perpecahan tersebut disebabkan karena ulah manusia sendiri yang rasa persatuan dan kesatuannya saat ini sudah pudar atau sudah keluar dari dasar negara Indonesia sendiri yaitu Pancasila, sila ketiga berisi Persatuan dan Kesatuan. Hal kecilpun dapat menimbulkan perpecahan atau pertengkaran, dari perpecahan antar kelompok, ras, suku, agama, bahkan masalah politik. Pepecahan itu terjadi karena rasa toleransi dan musyawarah untuk mencapai


(3)

68

mufakat bersama kini sudah tidak ada lagi, mementingkan ego masing-masing individu.

Kita sebagai manusia generasi penerus bangsa ini harus dapat menjaga dan mempertahankan persatuan dan kesatuan ini demi kemakmuran bersama bahkan sampai anak cucu kita nanti. Berharap bangsa seindah, damai, berjaya seperti dahulu lagi, tidak ada pertengkaran lagi. Negara kita kini dikenal oleh bangsa lain sebagai negara yang ramah, kaya akan hasil alam, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Tetapi kenyataannya didalam negeri Indonesia sendiri masih semrawut banyak terjadi perpecahan, pertengkaran. Jika kita tidak menjaga dan mempertahankan persatuan ini, negara kita akan ketinggalan jauh dengan negara-negara maju lainnya.


(4)

69 5.1 Kesimpulan

Hasil pemaknaan Lirik Lagu “Rindu Bersatu” ciptaan Charly ST 12 dengan menggunakan Semiologi Roland Barthes menggunakan peta tanda dank ode-kode pembacaan pada korpus penelitian ini, maka peneliti memaknai lirik lagu “Rindu Bersatu” sebagi berikut:

Berdasarkan dari penelitian studi semiologi terhadap lirik lagu “Rindu Bersatu” terlihat bahwa lirik lagu tersebut merepresentasikan Nasionalisme. Didalam lirik lagu tersebut terlihat jelas bahwa lagu “Rindu Bersatu” menunjukkan rasa nasionalismenya dengan cara menjunjung tinggi persatuan Indonesia. Penulis lirik lagu ini mengajak warga Negara Indonesia untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dengan cara menjaga dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.


(5)

70

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat peneliti ajukan adalah:

1. Supaya lebih terbukanya kajian semiologi terhadap objek penelitian dibalik tanda-tanda yang ada dalam masyarakat yang mewakili melalui karya-karya yang kratif. Beragam tanda selalu menerpa manusia baik secara verbal maupun non verbal, oleh karena itu untuk mengetahui makna yang terpendam diperlukan kajian yang lebih ilmiah untuk dikaji. 2. Dengan disuarakannya seruan-seruan dari masyarakat dan anak muda yang diwakili oleh Charly ST12 maka diharapkan anak muda yang lain mengikuti jejak mereka yang memiliki rasa nasionalisme yang kuat. 3. Supaya para anak muda lebih banyak yang membuat karya yang

membangun rasa nasionalisme demi kemajuan bangsa. Hal tersebut dapat bangsa Indonesia dilihat menjadi bangsa yang besar kaya dan kuat akan persatuannya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Kris, 2006, Semiotika Visual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Balai Pustaka, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta

Effendy, Onong, 2002, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Fiske, John, 2006, Culture and Communication Studies, Suatu Pengantar Paling Komprehensif, Yogyakarta : Jalasutra

Keraf, Gorys, 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. gramedia Widia Sarana Indonesia.

Kohn, Hans, 1984, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta : Erlangga Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Penerbit Yayasan Indonesia. Moleong, Lexy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif

Mulyana, Dedi, 2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakaya.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Sobur, Alex, 2004, Semiotika Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Non Buku :

http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/02/18530855/nasionalisasi. nasionalime


Dokumen yang terkait

KONSTRUKSI NILAI-NILAI NASIONALISME DALAM SYAIR LAGU Konstruksi Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Syair Lagu (Studi Hermeneutika pada Lagu-Lagu Album Untukmu Indonesiaku dari Cokelat Band).

0 1 15

KONSTRUKSI NILAI-NILAI NASIONALISME DALAM SYAIR LAGU Konstruksi Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Syair Lagu (Studi Hermeneutika pada Lagu-Lagu Album Untukmu Indonesiaku dari Cokelat Band).

0 1 12

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU ( Studi Semiologi Terhadap Lirik Lagu “Dari Mata Sang Garuda” Karya Pee Wee Gaskins).

4 4 116

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiologi Nasionalisme dalam Lirik Lagu Indonesiaku Oleh Kelompok Musik Ungu).

7 9 93

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU “KPK DI DADAKU” (Studi Semiotik Representasi Nasionalisme Dalam Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” Yang Dibawakan Oleh Bagus Netral, Faris RM, Once ).

0 2 93

REPRESENTASI CINTA DAMAI DALAM LIRIK LAGU ” PERDAMAIAN ’’ (Studi Semiologi Representasi Dalam Lirik Lagu ’’ Perdamaian ’’ Oleh Band GIGI).

0 5 64

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiologi Nasionalisme dalam Lirik Lagu Indonesiaku Oleh Kelompok Musik Ungu)

0 1 20

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU ( Studi Semiologi Terhadap Lirik Lagu “Dari Mata Sang Garuda” Karya Pee Wee Gaskins)

0 0 18

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LAGU (Studi semiologi Nasionalisme dalam Lagu “Rindu Bersatu” )

0 0 16

REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU “KPK DI DADAKU” (Studi Semiotik Representasi Nasionalisme Dalam Lirik Lagu ”KPK di Dadaku” Yang Dibawakan Oleh Bagus Netral, Faris RM, Once )

0 0 19