pimp4DASARPEMERINTAHANYANGBAIK

(1)

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KEPEMIMPINAN TINGKAT IV

Lembaga Administrasi Negara - Republik Indonesia 2008


(2)

Hak Cipta Pada : Lembaga Administrasi Negara Edisi Tahun 2008

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110

Telp. (62 21) 3868201, Fax. (62 21) 3800188

Dasar - Dasar Kepemerintahan Yang Baik

Jakarta – LAN – 2008 91 hlm: 15 x 21 cm

ISBN: 979 – 8619 – 43 – 9

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menegaskan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional. Untuk mewujudkan profesionalisme PNS ini, mutlak diperlukan peningkatan kompetensi, khususnya kompetensi kepemimpinan bagi para pejabat dan calon pejabat Struktural Eselon IV baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai pejabat struktural yang berada pada posisi paling depan atau ujung tombak, pejabat struktural eselon IV memainkan peran yang sangat penting karena bertanggung jawab dalam mensukseskan pelaksanaan kegiatan-kegiatan secara langsung, sehingga buah karyanya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Untuk mempercepat upaya peningkatan kompetensi tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menetapkan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat IV. Dengan kebijakan ini, jumlah penyelenggaraan Diklatpim Tingkat IV dapat lebih ditingkatkan sehingga kebutuhan akan pejabat struktural eselon IV yang profesional dapat terpenuhi. Agar penyelenggaraan Diklatpim Tingkat IV menghasilkan alumni dengan kualitas yang sama, walaupun diselenggarakan dan diproses oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang berbeda, maka LAN menerapkan kebijakan standarisasi program Diklatpim Tingkat IV. Proses


(3)

standarisasi meliputi keseluruhan aspek penyelenggaraan Diklat, mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran sampai pada pengadministrasian penyelenggaranya. Dengan proses standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni dapat lebih terjamin.

Salah satu unsur penyelenggaraan Diklatpim Tingkat IV yang mengalami proses standarisasi adalah modul untuk para peserta (participants’ book). Disadari sejak modul-modul tersebut diterbitkan, lingkungan strategis khususnya kebijakan-kebijakan nasional pemerintah juga terus berkembang secara dinamis. Di samping itu, konsep dan teori yang mendasari substansi modul juga mengalami perkembangan. Kedua hal inilah yang menuntut diperlukannya penyempurnaan secara menyeluruh terhadap modul-modul Diklatpim Tingkat IV ini.

Oleh karena itu, saya menyambut baik penerbitan modul-modul yang telah mengalami penyempurnaan ini, dan mengharapkan agar peserta Diklatpim Tingkat IV dapat memanfaatkannya secara optimal, bahkan dapat menggali kedalaman substansinya di antara sesama peserta dan para Widyaiswara dalam berbagai kegiatan pembelajaran selama Diklat berlangsung. Semoga modul hasil perbaikan ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Kepada Drs. Idup Suhadi, M.Si dan Drs. Desi Fernanda, M.Soc, Sc selaku penulis serta seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi, kami ucapkan terima kasih atas kesungguhan dan dedikasinya.

Jakarta, Juli 2008 KEPALA

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SUNARNO

KATA PENGANTAR

Sejalan dengan upaya mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional melalui jalur pendidikan dan pelatihan (Diklat), pembinaan Diklat khususnya Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat IV ke arah Diklat berbasis kompetensi, terus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Salah satu upaya pembinaan yang telah ditempuh adalah melalui penerbitan modul Diklat.

Kehadiran modul Diklatpim Tingkat IV ini memiliki nilai strategis karena menjadi acuan dalam proses pembelajaran, sehingga kebijakan pembinaan Diklat yang berupa standarisasi penyelenggaraan Diklat dapat diwujudkan. Oleh karena itu, modul ini dapat membantu widyaiswara atau fasilitator Diklat dalam mendisain pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta Diklat; membantu pengelola dan penyelenggara Diklat dalam penyelenggaraan Diklat; dan membantu peserta Diklat dalam mengikuti proses pembelajaran. Untuk maksud inilah maka dilakukan penyempurnaan terhadap keseluruhan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV yang meliputi substansi dan format.

Disadari bahwa perkembangan lingkungan strategis berlangsung lebih cepat khususnya terhadap dinamika peraturan perundangan yang diterbitkan dalam rangka perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, maka kualitas modul terutama kesesuaian isi dengan kebijakan yang berkembang perlu terus dipantau dan disesuaikan manakala terdapat hal-hal yang sudah tidak relevan lagi. Sehubungan dengan hal ini, modul ini dapat pula dipandang sebagai bahan minimal Diklat, dalam artian bahwa setelah substansinya disesuaikan dengan perkembangan yang ada, maka dapat dikembangkan selama relevan dengan hasil belajar yang akan dicapai dalam modul ini. Oleh karena itu, kami harapkan bahwa dalam rangka menjaga kualitas modul ini, peranan widyaiswara termasuk


(4)

peserta Diklat juga dibutuhkan. Kongkritnya, widyaiswara dapat melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap isi modul, sedangkan peserta Diklat dapat memperluas bacaan yang relevan dengan modul ini, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dinamis, interaktif dan aktual.

Selamat memanfaatkan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV ini. Semoga melalui modul ini, kompetensi kepemimpinan bagi peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dapat tercapai.

Jakarta, Juli 2008 DEPUTI BIDANG PEMBINAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

APARATUR

NOORSYAMSA DJUMARA

DAFTAR ISI

SAMBUTAN………...………. iii

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR ISI……… vii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Deskripsi Singkat………. 3

C. Hasil Belajar……….… 4

D. Indikator Hasil Belajar……….… 5

E. Materi Pokok……… 5

F. Manfaat……… 6

BAB II PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL POLITIK ANTARA PEMERINTAH DENGAN MASYARAKAT... 7 A. Dinamika Sistem Sosial Politik…….……….. B. Kompleksitas Sistem Sosial Politik…………. C. Keanekaragaman Sistem Sosial Politiik…….. D. Implikasi Bagi Kepemerintahan……….. E. Latihan………. F. Rangkuman………..

13 16 19 21 23 23 BAB III PERUBAHAN PARADIGMA :

DARI GOVERNMENT MENJADI

GOVERNANCE………..……….. 25


(5)

A. Konsepsi Kepemerintahan (Governance)... B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan……….. C. Latihan………. D. Rangkuman………..

27 40 46 46 BAB IV KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD

GOVERNANCE)……… 49 A. Pengertian Kepemerintahan Yang Baik……... B. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik… C. Latihan………. D. Rangkuman………..

49 57 65 66 BAB V ANALISIS KASUS KEPEMERINTAHAN

YANG BAIK……….. 68 A. Kasus Pertama………. B. Kasus Kedua……… C. Kasus Ketiga………

69 73 75 BAB VI PENUTUP……….. 79 A. Simpulan……….. 79 B. Tindak Lanjut……….. 80

DAFTAR PUSTAKA……….. DAFTAR DOKUMEN………

81 83


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era reformasi yang dewasa ini sedang dijalani oleh bangsa dan negara Republik Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru, telah memberikan peluang bagi proses transformasi (perubahan) struktural di segala bidang. Transformasi struktural tersebut ditandai dengan proses demokratisasi yang semakin tumbuh dan berkembang, pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang, penegakkan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan, penghormatan hak-hak asasi manusia dan masih banyak lagi dinamika perubahan interaksi sosial, politik dan ekonomi antara pemerintah dan masyarakat.

Proses perubahan yang terjadi dewasa ini di Indonesia, tanpa disadari memiliki kesearahan dengan kecenderungan perkembangan paradigma pembangunan dan pemerintahan dalam skala global. Berbagai negara di hampir seluruh pelosok dunia, maupun lembaga-lembaga internasional yang bergerak dalam pemberian bantuan dan asistensi pembangunan, secara sinergis dalam dasawarsa terakhir ini sedang bergiat melakukan dan mempromosikan perubahan paradigma pemerintahan dan pembangunan berdasarkan konsepsi kepemerintahan yang baik (Good Governance).


(7)

Trend global perubahan paradigma tersebut dalam banyak hal didorong oleh semangat belajar dari pengalaman berbagai kegagalan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, yang dalam beberapa dekade yang lalu telah cenderung berdampak negatif bagi masyarakat maupun keberlanjutan lingkungan hidupnya. Pengalaman menunjukkan bahwa meskipun di satu sisi sebagian masyarakat mengalami peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, tetapi di sisi yang lain sebagian masyarakat bahkan cenderung mengalami kemiskinan dan ketertinggalan yang semakin memburuk. Sebagian masyarakat di satu sisi memiliki akses dan kesempatan berperan aktif dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan politik. Di sisi yang lain sebagian masyarakat justru mengalami kerawanan pangan bahkan kelaparan, menjadi korban penyakit epidemik yang mematikan, mengalami kemiskinan karena tidak memiliki aset ekonomi, dan tidak pula memiliki akses terhadap sumber-sumber mata pencaharian dan kesempatan kerja karena tidak memiliki latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang memadai, bahkan menjadi korban eksploitasi dan politisasi rezim pemerintahan yang berkuasa, maupun kelompok masyarakat lainnya yang justru memperoleh berbagai kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan sosial, ekonomi, politik yang cenderung berkembang semakin lebar, baik antar kelompok masyarakat, maupun antar wilayah daerah, bahkan antar negara di penghujung abad ke-20 yang baru lalu.

Kini, kesadaran baru telah muncul dan berkembang di berbagai negara yang mengoreksi peranan pemerintah yang selama ini sentralistik bahkan otoriter, korup, dan kolusif, ke arah pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi pada misi pemberdayaan peran serta masyarakat secara aktif dalam berbagai upaya peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, serta demokratisasi politik yang dilandasi oleh penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia.

Pemerintah di berbagai negara dewasa ini tengah menjalani proses perubahan yang relatif mendasar untuk mewujudkan karakter pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel, bersih dan bebas korupsi, berorientasi kepada pasar dan peran serta aktif masyarakat dalam berbagai bidang. Singkatnya dewasa ini sedang terjadi perubahan dari pola kepemerintahan yang buruk (Bad Governance) ke arah terwujudnya kepemerintahan yang baik (Good Governance).

B. Deskripsi Singkat

Dalam modul ini dijelaskan tentang pengertian, prinsip-prinsip dan karakteristik kepemerintahan maupun kepemerintahan yang baik, serta implikasi penarapannya dalam konteks penyelenggaraan administrasi publik di Indonesia.

Mata Pendidikan dan Pelatihan ini berkaitan dengan Mata Pendidikan dan Pelatihan “Dasar-dasar Administrasi Publik” dan Mata Pendidikan dan Pelatihan “Operasional Pelayanan


(8)

Prima”, terutama yang berhubungan dengan pembahasan mengenai pelayanan publik yang prinsip-prinsipnya juga harus mengandung dan mencerminkan nilai dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik.

Pemahaman yang lebih luas mengenai “kepemerintahan yang baik akan diberikan dan dibahas lebih lanjut pada Diklatpim Tingkat III dalam Mata Diklat “Membangun Kepemerintahan yang Baik”.

C. Hasil Belajar

Setelah membaca Modul Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik ini peserta mampu memahami dan menjelaskan latar belakang dan perkembangan interaksi sosial politik

antara pemerintah dengan masyarakat (Government and

Society) dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, dinamis, dan beranekaragam; memberikan dasar-dasar pengertian, prinsip-prinsip, dan karakteristik

kepemerintahan (Governance) dan kepemerintahan yang

baik (Good Governance) dalam kerangka interaksi sosial

politik tersebut; serta memberikan pengetahuan dan wawasan praktis mengenai implikasi penerapan konsep kepemerintahan dan kepemerintahan yang baik dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam sektor-sektor pemerintahan tertentu.

D. Indikator Hasil Belajar

Indikator-indikator hasil Belajar adalah peserta mampu memahami dan menjelaskan :

1. Latar belakang dan perkembangan interaksi sosial

politik antara pemerintah dengan masyarakat;

2. Pengertian dan prinsip-prinsip kepemerintahan sebagai wujud pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma Pemerintah menjadi paradigma Kepemerintahan ;

3. Pengertian dan karakteristik kepemerintahan yang baik sebagai paradigma administrasi publik yang baru dan berkembang dewasa ini.

4. Implikasi dan penerapan konsep kepemerintahan yang baik di Indonesia, khususnya dalam sektor-sektor pemerintahan tertentu seperti halnya unit kerja di mana para peserta Diklatpim IV itu berasal.

D. Materi Pokok

Materi Pokok yang dibahas dalam modul Dasar-Dasar Kepemerintahan Yang Baik adalah :

1. Latar belakang dan kepemerintahan yang baik; 2. Prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik;


(9)

Disamping itu, kepada para peserta Diklat disarankan untuk mencermati berbagai kasus yang timbul dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan dan karakteristik kepemerintahan yang baik di lingkungan kerjanya, serta mengemukakannya sebagai materi bahan diskusi dalam proses pembelajaran.

E.

Manfaat

Berbekal hasil belajar pada modul Dasar-Dasar Kepemerintahan Yang Baik ini, peserta diharapkan mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance serta mampu melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam pelaksanaan keseluruhan atau sebagai tugas-tugasnya, guna meningkatkan kinerja instansinya.

7

BAB II

PERKEMBANGAN INTERAKSI

SOSIAL-POLITIK ANTARA PEMERINTAH

DENGAN MASYARAKAT

Permasalahan pembangunan nasional dari waktu ke waktu dirasakan bukannya semakin ringan dan mudah, pada kenyataannya bangsa Indonesia justru dihadapkan kepada kondisi yang semakin sulit, kompleks, dinamis, dan beraneka ragam sejalan dengan perkembangan tingkat kebutuhan, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri. Kondisi demikian bukan hanya dialami bangsa Indonesia, tetapi juga bangsa-bangsa lainnya di berbagai penjuru dunia.

Kecenderungan pergeseran interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya peranan sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam penyelenggaraan tugas-tugas dan tanggungjawab yang sebelumnya menjadi semacam monopoli pemerintah atau sektor publik. Kenyataan ini di satu sisi merupakan perkembangan baru yang perlu dicermati dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Di sisi lain, hal tersebut menunjukkan fakta adanya

Setelah membaca Bab II, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan latar belakang dan pengertian


(10)

keterbatasan kapasitas aparatur pemerintah atau sektor publik untuk memenuhi aneka ragam pelayanan publik. Sebagai konsekuensinya, pemerintah perlu melakukan inovasi kebijakan dan praktek administrasi publik yang baru yang lebih mampu menjawab tantangan perkembangan interaksi sosial politik tersebut, melalui kerja sama atau kolaborasi yang efektif dengan sektor swasta dan masyarakat (society) pada umumnya.

Pada akhir abad XX dan dalam memasuki abad XXI, Indonesia seperti halnya negara-negara lain di berbagai belahan dunia menghadapi suatu tantangan yang berupa perubahan lingkungan strategis yang berat, baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (external), perubahan lingkungan strategis tersebut juga merupakan tantangan dalam pembangunan administrasi negara. Secara eksternal, globalisasi yang dipacu oleh perkembangan teknologi terutama teknologi informasi dan semangat liberalisasi telah mendorong terjadinya perubahan besar dalam kehidupan ekonomi, politik, pemerintahan, dan sosial budaya. Perubahan tersebut seakan-akan mengarah pada terbentuknya dunia tanpa batas (borderless world). Peristiwa penting yang terjadi pada suatu negara secara cepat dapat diakses oleh masyarakat di negara pada belahan dunia lainnya. Globalisasi juga ditandai oleh meningkatnya persaingan bebas yang mengharuskan setiap bangsa utuk secara terus menerus meningkatkan kompetensinya dalam bersaing dengan bangsa lain.

Pengaruh globalisasi semakin terasa dan tidak dapat diabaikan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan oleh suatu negara dan organisasi internasional seperti AFTA, APEC, WTO, World Bank, IMF, dan organisasi-organisasi hak asasi manusia perlu dijadikan pertimbangan dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pemerintahan dan pembangunan. Tingkat keterkaitan baik antar organisasi pemerintah, masyarakat dan dunia usaha maupun organisasi-organisasi internasional sangat tinggi dan saling mempengaruhi.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah manajemen pelayanan sektor publik dan sektor bisnis sedemikian rupa sehingga berbagai transaksi dapat dilakukan tanpa bertatap muka; arus informasi telah mampu menembus batas ruang dan waktu secara cepat. Seiring dengan itu demokratisasi, hak asasi manusia, dan pelestarian kualitas lingkungan hidup telah menjadi tuntutan dunia yang semakin mendesak. Sementara itu secara internal, pemerintah dan masyarakat Indonesia juga dihadapkan pada krisis multidimensi di antaranya situasi politik yang belum stabil, ancaman disintegrasi bangsa, menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan KKN, lambatnya pemulihan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, pengangguran dan jumlah penduduk miskin serta merosotnya daya saing.

Dalam konteks perubahan sosial masyarakat, kita menyaksikan bagaimana tingkat perubahan dalam masyarakat berlangsung dengan sangat cepatnya pada akhir abad kedua puluh dan memasuki abad keduapuluh satu dewasa ini. Demikian pesatnya perubahan sosial masyarakat yang terlihat dari aspek-aspek perubahan teknologi,


(11)

komunikasi, gaya hidup, budaya, cara berpakaian (fashion) dan sebagainya, sehingga masyarakat sendiri dihadapkan kepada situasi yang menuntut mereka untuk mengetahui lebih banyak, tetapi tidak memiliki cukup waktu untuk bereaksi terhadap perubahan yang terjadi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat berada pada kedudukan yang sangat rentan terhadap berbagai dampak perubahan itu sendiri. Perubahan yang cepat telah pula mengakibatkan semakin beragamnya identitas diri masing-masing kelompok masyarakat bukan cuma antar bangsa, tetapi juga antar etnis atau suku bangsa, bahkan antar individu dalam masyarakat itu sendiri. Perbedaan etnis, bahasa, dan agama telah mendorong terbentuknya identitas masyarakat yang beranekaragam. Bahkan dalam keanekaragaman tersebut masyarakat kemudian menuntut adanya perlakuan-perlakuan khusus dari pemerintah; atau menuntut otonomi kepada pemerintah agar mampu mengurus kepentingan spesifik kelompok masyarakat tersebut, sesuai dengan karakteristik kebutuhan yang berbeda dari kelompok masyarakat lainnya.

Di sektor swasta, pertumbuhan perusahaan multinasional telah mendorong perubahan pola operasi dan administrasi yang semula sangat tersentralisasi pada perusahaan induk di negara asalnya, kini mereka lebih mempercayakan manajemen operasinya kepada unit-unit cabang usahanya yang berlokasi di berbagai kota di seluruh dunia. Jaringan hubungan antar perusahaan cabang tidak lagi berbentuk hirarki, tetapi telah mengarah kepada pola-pola kompetisi dan kolaborasi.

Sedangkan di lingkungan lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO), kita melihat semakin pesatnya pertumbuhan dan kemunculan organisasi tersebut dengan berbagai tujuan yang berbeda satu sama lainnya. Kini kita bisa melihat bahwa setiap individu masyarakat merupakan bagian atau anggota dari berbagai kelompok atau organisasi yang berlainan. Pada suatu saat seseorang adalah anggota dari kelompok pencinta alam, sementara pada saat yang sama orang tersebut adalah juga anggota asosiasi profesi tertentu, sekaligus menjadi anggota atau pengurus pada satu atau beberapa organisasi kemasyarakatan lainnya.

Begitu kompleks, dinamis dan beranekaragamnya kehidupan masyarakat di jaman ini, secara ringkas tergambarkan dalam tulisan Andrew Dunsire (1993: 3-34) yang menurutnya semuanya itu memerlukan kapasitas tersendiri untuk dapat mengelola dan mengendalikannya. Pada kenyataannya menurut Dunsire, pemerintah atau siapapun tidak mungkin dapat mengelolanya dengan cara-cara yang konvensional. Pertanyaan yang diajukannya dalam rangka mencari jawaban terhadap fenomena perubahan sosial masyarakat yang demikian pesat tersebut adalah sebagai berikut:

“… Apakah perubahan sosial yang demikian pesat dan mengarah kepada semakin meningkatnya kompleksitas, keanekaragaman, dan kekritisannya mampu diakomodasi oleh tatanan kemasyarakatan yang ada sekarang agar perubahan tersebut dapat dikendalikan dan diarahkan pada kondisi-kondisi yang diharapkan – melalui apa yang disebut dengan kepemerintahan (governance): atau apakah – dalam kurun waktu singkat– berbagai perubahan yang bersifat turbulen itu justru akan menghasilkan permasalahan seperti


(12)

semakin menurunnya tingkat kepatuhan masyarakat, sulitnya menjalankan pemerintahan, yang akhirnya mengarah kepada timbulnya kekacauan sosial…?” (Dunsire, 1993: 22-23)

Apapun yang terjadi, tuntutan bagi penyelenggaraan pemerintahan adalah melakukan perubahan untuk menyesuaikan diri terhadap kecenderungan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, kompleks, beranekaragam, dan kritis. Pertanyaan yang diajukan oleh Kooiman (1993) tampaknya mewakili tuntutan realitas kehidupan masyarakat modern dewasa ini: “How can a dynamic, complex and diverse socio-political world be governed in a dynamic, complex and diverse way ?”

Dalam hubungan itu, Dunsire dengan mengutip pernyataan Ashby (1957) mengungkapkan bahwa untuk menghadapi kondisi yang kompleks, dinamis dan sangat beragam tersebut diperlukan model kepemerintahan yang beragam pula. Menurut Ashby (Dunsire, 1993: 23) : “Hal ini tidak berarti bahwa kita harus memahami dinamika, kompleksitas, dan keragaman obyek yang harus diatur (objects to be governed) dengan berbagai keterkaitannya, tetapi kita juga harus mengerti bagaimana kualitas kepemerintahan (quality of governance) yang seharusnya.”

Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Renate Mayntz (1993) yang mengungkapkan bahwa yang sebenarnya bukan hanya jenis instrumen pemerintahan apa yang penting itu, tetapi adalah format kelembagaan proses penyusunan kebijakan yang mampu menjamin bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan, informasi yang dipertimbangkan tidak terbatas kepada kebutuhan dan kekhawatiran

mengenai siapa yang akan menjalankan kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah informasi mengenai indikasi efek sampingan, saling ketergantungan (interdependensi), dan permasalahan lainnya yang akan muncul.

Untuk memahami bagaimana perkembangan interaksi sosio-politik masyarakat yang semakin kompleks, dinamis dan bervariasi, berikut ini akan diuraikan bagaimana karakteristik dinamika, kompleksitas, dan keanekaragaman tersebut secara konseptual, sebagaimana diungkapkan oleh Kooiman (1993: 36-41) sebagai berikut:

A.

Dinamika Sistem Sosial Politik

Dinamika sosio-politik dapat dipandang sebagai suatu hubungan sebab akibat diantara berbagai variabel, baik yang bersifat non linier maupun linier. Dalam kenyataan kehidupan, dinamika sistem sosio-politik adalah suatu kondisi dimana sistem tersebut berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain karena adanya tekanan, dorongan, atau pengaruh dari faktor-faktor eksternal seperti gejala alam, perkembangan teknologi, maupun kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya. Pengaruh dari luar atau bahkan dari dalam sistem itu sendiri dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan (disequilibrium) sistem, yang kemudian akan dan harus dikoreksi dengan berbagai upaya perbaikan dan penyempurnaan untuk memperoleh titik keseimbangan sosial-politik yang baru.


(13)

Dalam konteks pengalaman Indonesia, sebagai contoh, adalah bagaimana gerakan mahasiswa pada tahun 1997/98 telah menjadi kekuatan sosial Reformasi Total, yang berhasil merubuhkan tatanan kekuasaan Orde Baru yang telah membentuk tata kehidupan masyarakat selama lebih kurang 32 tahun. Dengan keberhasilan tersebut, dewasa ini kita lihat bagaimana pola-pola interaksi antara pemerintah dengan masyarakat menjadi berubah. Kehidupan demokrasi telah menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, dengan semakin leluasanya masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya, kegiatan unjuk-rasa dan demonstrasi mahasiswa tidak lagi diberangus dengan pendekatan keamanan yang represif sepanjang tidak bersifat anarkis atau mengganggu ketertiban umum.

Sementara itu, keberadaan partai politik tidak lagi dibatasi hanya kepada tiga partai seperti di jaman Orde Baru. Kini lebih dari tiga puluh partai politik hadir dalam sistem demokrasi Indonesia. Kondisi tersebut tidak berhenti sampai disitu, melainkan terus berlanjut dengan berbagai upaya penataan kembali sistem dan struktur-struktur, serta instrumen-instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan sosio-politik nasional, yang juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan internasional maupun global.

Kooiman (1993: 38) menyatakan bahwa dinamika sistem sosial-politik tidak mungkin dapat dipahami tanpa memiliki wawasan yang cukup mengenai interaksinya. Interaksi sosial-politik tidak

hanya menjelaskan proses makro yang berkaitan dengan diferensiasi dan integrasi, tetapi juga proses kerjasama, kolaborasi, bahkan konflik-konflik sosial-politik pada tataran mikro dan meso. Setiap interaksi sosial-politik yang merupakan kekuatan dinamika sosial masyarakat, pada dasarnya meliputi unsur, yaitu tingkat aksi, struktural, dan tingkat dimana unit interaksi tersebut terjadi. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk membangun teori mengenai kepemerintahan (governance) perlu dibedakan jenis-jenis interaksi sosial-politik yang mencakup: interferences (gangguan, pemengaruhan), interplays (keterlibatan), dan interventions (campur tangan).

Interferensi atau saling mempengaruhi merupakan dinamika yang sangat mendasar dalam alam dan kehidupan manusia. Dalam ruang lingkup kepemerintahan, interferensi tersebut dapat dilihat terutama dalam skala primer, misalnya dalam kehidupan keluarga, sekolah, atau unit usaha (perusahaan).

Sedangkan jenis interaksi dalam masyarakat modern yang berikutnya, yaitu interplays atau keterlibatan, pada umumnya cenderung terjadi secara sangat terorganisir atau melembaga. Dilihat dari sudut pandang kepemerintahan dan penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan, tatanan kelembagaan tersebut sangat penting karena didalamnya telah mengandung unsur dinamika tersendiri.

Intervensi merupakan bentuk interaksi sosial politik yang ketiga antara Pemerintah dengan masyarakat. Bentuk interaksi ini


(14)

merupakan tindakan campur tangan (biasanya dari pihak pemerintah) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, yang diarahkan untuk terciptanya suatu keadaan tertentu sesuai dengan ketentuan atau keinginan pemerintah; bahkan mungkin berdasarkan permintaan sebagian unsur masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, interaksi dalam bentuk intervensi ini biasanya (meskipun tidak selalu) melibatkan banyak pelaku, baik dari lingkungan pemerintah sendiri maupun dari berbagai unsur masyarakat (swasta, LSM, individual, dan sebagainya)

Ketiga jenis interaksi tersebut pada dasarnya memiliki ciri yang sama, yaitu adanya interaksi atau hubungan yang dinamis diantara dua atau lebih unsur pelaku. Sedangkan perbedaannya terutama terletak pada format kelembagaan atau organisasi dan tingkat pengarahannya (level of directions). Dalam rangka kepemerintahan, sangat penting untuk mendapatkan gambaran teoritis maupun empiris mengenai berbagai bentuk interaksi sosio-politik, karena dengan begitu sistem pemerintahan yang dibangun akan mampu mengimbangi dinamika proses interaksi yang berkembang dalam masyarakat.

B.

Kompleksitas Sistem Sosial Politik

Kompleksitas adalah sebuah konsep yang biasanya digunakan dengan mudah, tetapi lebih sering penggunaan tersebut tidak berarti apa-apa selain menggambarkan sebuah isu (issue), situasi, atau permasalahan tertentu, yang biasanya sulit untuk dimengerti atau terlalu rumit untuk dipecahkan. Tetapi yang

lebih penting bukanlah kompleksitasnya sendiri, melainkan aspek-aspek mendasar dari setiap fenomena yang terjadi yang harus dipertimbangkan dalam memecahkan permasalahan kepemerintahan.

Menurut Kooiman (1993:39) berdasarkan literatur yang ada, terdapat tiga cara yang bisa dilakukan dalam memanfaatkan kompleksitas bagi pengembangan teori dan konseptualisasi kepemerintahan dan kondisi memerintah (governance and governability), yaitu: seleksi dan reduksi (Luhmann, 1970), penstrukturan (Simon, 1969), dan operasionalisasi (La Porte, et.al, 1975). Menurut Luhmann (1970), permasalahan fundamental dari seluruh sistem sosial masyarakat adalah mengurangi kompleksitasnya. Dalam pandangannya, kompleksitas itu tidak harus berarti jumlah atau bervariasinya subsistem permasalahan, tetapi yang bersifat kompleks itu adalah interaksinya. Dengan demikian memilah-milah (menyeleksi) dan menyusun pola interaksi adalah pekerjaan yang mendasar dalam upaya memecahkan kompleksitas permasalahan. Metode inilah yang digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis pengembangan sistem-sistem, seperti sistem pendidikan, sistem hukum dan peradilan, baik pada skala makro maupun dalam perspektif kesejarahan.

Jika dipandang sebagai struktur, maka konstruksi kompleksitas itu menurut Simon (1969) sebenarnya merupakan sebuah struktur di dalam struktur, dan di dalam struktur lainnya yang lebih besar (a structure within a structure, within another


(15)

biggest structure). Oleh karena itu, ia merekomendasikan bahwa untuk mempelajari kompleksitas sesuatu permasalahan interaksi sosial sebaiknya digunakan prinsip “nearly-decomposability” yang berarti bahwa beberapa bagian dalam suatu sistem cenderung lebih memiliki keterkaitan yang erat dibandingkan dengan beberapa bagian lainnya dari sistem tersebut.

Kompleksitas interaksi sosial masyarakat sebagaimana diungkapkan La Porte et.al (1975) dapat pula ditanggulangi dengan cara memandangnya sebagai problematika operasional. Apa yang dilakukannya dalam upaya memecahkan permasalahan kompleksitas adalah melalui kajian dengan konseptualisasi dan studi kasus berbagai tingkatan sosial. Hampir semua pendekatan studi mengenai kompleksitas sosial memiliki pandangan yang sama bahwa kompleksitas adalah sekumpulan interaksi dari berbagai unsur dalam suatu sistem tertentu. Karakteristik ini mendekati kondisi yang sebenarnya dari fenomena interaksi sosial-politik yang kita hadapi sehari-hari.

Selanjutnya, kita dapat mengatakan bahwa kompleksitas selalu berkaitan dengan bagian-bagian atau unsur-unsur dan keseluruhannya (parts and wholes). Oleh karena itu, kita tidak mungkin dapat memahami kompleksitas sosial, dengan mengabaikan berbagai interaksi yang terjadi diantara unsur-unsurnya dan berbicara hanya keseluruhannya saja; atau jika kita hanya mengkaji keseluruhan fenomena, tanpa

mempertimbangkan interaksi yang terjadi di antara unsur-unsurnya.

Akhirnya, berdasarkan hal-hal tersebut di atas kita dapat mengatakan bahwa untuk menghadapi kompleksitas permasalahan sosial tidak mungkin hanya dengan mengandalkan satu jalan pemecahan. Untuk itu, cara yang terbaik adalah memilih cara terbaik dari beberapa alternatif penyelesaian, tergantung kepada apa dan bagaimana permasalahan yang dihadapi itu. Berbagai kriteria mungkin dapat dikemukakan untuk pemilihan alternatif tersebut, misalnya yang berkaitan dengan tingkat pemusatan, intensitas, ataupun cakupan atau ruang lingkup pemecahannya.

C.

Keanekaragaman Sistem Sosial Politik

Keanekaragaman (diversity) sebagai konsep dasar sangat terkait dengan perkembangan indivualisasi, diferensiasi, spesialisasi, dan beragam aspek kehidupan dunia modern lainnya. Kooiman (1993:40) telah mendefiniskan kompleksitas berdasarkan hubungan-hubungan atau interaksi yang terjadi, dan keanekaragaman mengacu kepada komponen-komponen yang membentuk interaksi tersebut. Sebuah sistem mungkin saja terdiri dari beraneka macam komponen, tetapi sistem tersebut mungkin terdapat hubungan-hubungan atau keterkaitan yang relatif sederhana diantara bagian-bagiannya. Mungkin saja rangkaian dalam sistem tersebut terlihat rumit, tetapi sebenarnya tidak kompleks. Tetapi sebuah sistem mungkin saja terdiri dari


(16)

unsur-unsur yang hampir sama (tidak jauh berbeda), namun demikian hubungan atau keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya bisa saja sangat berbeda (spesifik), sehingga dapat dikatakan bahwa sistem tersebut bersifat kompleks.

Kooiman menyatakan selanjutnya bahwa bagaimanapun, argumennya mengenai keanekaragaman sebagai bagian dari karakteristik dasar sistem sosial politik (dan kepemerintahannya), adalah terletak pada nilai penting dan strategisnya keanekaragaman dalam sistem tersebut. Dengan menggunakan konsep keanekaragaman kita dapat mempertimbangkan berbagai aktor (pelaku) dalam sistem sosial-politik. Dengan konsep kompleksitas kita dapat mengkaji dan menguraikan struktur-struktur hubungan, dan dengan menggunakan konsep keanekaragaman (diversitas) kita dapat mengkaji berbagai aspek dalam sistem tersebut, seperti mengkaji tentang maksud dan tujuannya, kekuasaannya dan sebagainya. Dengan demikian dapat ditarik semacam hipotesis bahwa kenakeragaman dapat berimplikasi bahwa berbagai variasi, diferensiasi, dan spesialisasi adalah sebuah keniscayaan dalam sistem sosial-politik. Mengabaikan adanya keanekaragaman sebagai ciri khusus dan mendasar dari sistem sosial politik barangkali merupakan akar permasalahan dari banyak masalah kepemerintahan (governance) dan kemampuan pemerintahannya (governability).

Konsep keanekaragaman sangat bermanfaat dalam upaya pengkajian substansi sistem sosial-politik, yang pada umumnya

bersifat abstrak dan formal. Sedangkan dalam konteks pengembangan teori tentang kepemerintahan sosial-politik (socio-political governance), konsepsi keanekaragaman telah mendorong perubahan beberapa disiplin ilmu – seperti ilmu administrasi publik dan ilmu politik – ke arah keilmuan yang bersifat interdisiplin atau multidisiplin. Dalam bidang lainnya, seperti ilmu ekonomi, sosiologi, dan ekologi, semuanya diperlukan untuk memahami dan menginterpretasikan keanekaragaman para pelaku sosial-politik dengan berbagai maksud dan tujuannya, norma-norma, dan kekuasaannya masing-masing. Ini berarti bahwa teori kepemerintahan (governance) yang menaruh perhatian kepada kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman sosial-politik, haruslah bersifat multidisiplin dengan segala permasalahan dan peluang yang dihadapinya.

D.

Implikasi Bagi Kepemerintahan

Kepemerintahan ataupun pengelolaan (Governing) sosial-politik pada dasarnya dilakukan dalam interaksi di antara para pelaku baik pada tataran mikro, meso, maupun makro dari keseluruhan sistem sosial-politik. Berbagai interaksi yang terjadi tidak hanya mencerminkan kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman; tetapi sesungguhnya interaksi sosial-politik itu sendiri memiliki ciri yang kompleks, dinamis, dan beranekaragam. Dalam sistem sosial-politik tergambarkan kompleksitas yang menyangkut substansi strukturnya, dinamika substansi perubahannya, serta


(17)

keanekaragaman substansi saling ketergantungan dan keterkaitan dari berbagai unsur.

Oleh karena itu, dalam pengaturan dan pengelolaan ataupun kepemerintahan sosial-politik kondisi-kondisi seperti tersebut harus mendapatkan perhatian yang serius. Meskipun demikian tidak berarti bahwa dalam pola kepemerintahan yang tradisional hal-hal tersebut tidak pernah dipertimbangkan; tetapi yang terjadi dalam kepemerintahan tradisional adalah pendekatan yang cenderung kasuistis, terpilah-pilah, tidak sistematis, dan cenderung bersifat aksidental (secara kebetulan).

Seandainya sistem kepemerintahan diharapkan dapat lebih efektif, maka kondisi-kondisi kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman sosial-politik harus merupakan bagian yang integral dan sangat mendasar dalam pertimbangan kebijakan dan implementasinya. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan kepemerintahan tidak lagi harus digunakan pendekatan yang seragam, pemecahan masalah yang simplistik, birokrasi yang kaku, hirarki otoritas dan jalur perintah yang panjang; tetapi kepemerintahan modern harus mampu memiliki karakter yang dinamis, jaringan yang kompleks tetapi hubungannya sederhana, serta keanekaragaman tindakan dan kebijakan yang sesuai dengan situasi dan kualitas interaksi sosial-politik yang dihadapi.

E.

Latihan

1. Bagaimana kondisi sosial politik masyarakat modern dewasa ini, dan faktor-faktor apa yang dapat menjelaskan kondisi interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat ?

2. Mengapa pemerintah gagal dalam menjalankan fungsinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ? 3. Model pemerintahan mana yang dapat mendekati kondisi

Indonesia sekarang ini ?

F.

Rangkuman

Berdasarkan uraian dalam Bab ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai rangkuman, sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan antara negara/pemerintah dengan masyarakat bukanlah merupakan hal yang sederhana dalam masyarakat post-modern dewasa ini. Kondisi ini diwarnai oleh dinamika, kompleksitas, dan keanekaragaman dalam interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat, yang mempengaruhi bagaimana pola kepemerintahan yang harus dijalankan.

2. Kegagalan dalam interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat, secara umum dan mendasar adalah disebabkan oleh pendekatan yang kurang tepat yang dilakukan oleh Pemerintah. Dalam hal ini pemerintah kurang atau bahkan tidak peka terhadap kondisi perkembangan masyarakat modern bahkan post-modern yang telah semakin


(18)

dinamis, kompleks, kritis, dan sangat beragam dalam karakteristik dan kebutuhannya. Kegagalan pemerintahan Orde Baru maupun rezim lainnya di Indonesia merupakan contoh bagaimana kondisi tersebut muncul dalam suatu negara.

3. Dalam konteks interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat, dalam perkembangannya telah melahirkan konsepsi mengenai model-model atau pola kepemerintahan yang disesuaikan dengan tingkat dinamika, kompleksitas dan diversitas sosial politik yang dihadapi. Dalam hal ini terdapat empat model umum, yaitu pola negara/pemerintahan hirarki (the Hierarchical State), pemerintahan otonom (the Autonomous State), pemerintahan negosiasi (the Negosiating State), dan pemerintahan responsif (the Responsif State). Pemerintahan yang responsif sendiri memiliki tiga varian, yaitu: pemerintahan supermarket (the Supermarket State) dan pemerintahan pelayanan (the Service State) yang keduanya dilandasi oleh pandangan kelompok “Kanan-Baru” atau “the New Right Normative State”, serta model negara berkepemerintahan mandiri (the Self-Governing State) yang dilandasi oleh pemikiran kelompok “Kiri” (“Leftist”) yang berorientasi kerakyatan.

25

BAB III

PERUBAHAN PARADIGMA: DARI

GOVERNMENT MENJADI

GOVERNANCE

Dalam Bab II telah diuraikan bagaimana konsepsi mengenai kondisi masyarakat dewasa ini yang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kondisi setengah abad yang lalu. Kemajuan pembangunan sosial, ekonomi telah semakin meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup maupun kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, dinamis, dan sangat beragam. Dalam kondisi yang demikian kita sebenarnya juga telah menyaksikan bagaimana perekonomian berbagai negara, khususnya Indonesia, telah sempat mengalami fluktuasi bahkan pada menjelang akhir tahun 1990-an justru mengalami kegagalan pasar yang memacu timbulnya krisis multi dimensional yang berakhir dengan kegagalan pemerintah (khususnya Pemerintah Orde Baru di Indonesia) dalam mempertahankan kekuasaannya.

Dengan latar belakang kegagalan yang demikian itu, ditambah dengan kenyataan semakin menguatnya tuntutan aktualisasi peranan masyarakat dalam bentuk aspirasi maupun partisipasi aktif dalam pembangunan, dominasi peranan pemerintah dalam pembangunan mulai dipertanyakan. Sementara itu, dalam interaksi sosial politik

Setelah membaca Bab III, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan konsepsi dan prinsip-prinsip kepemerintahan.


(19)

masyarakat dengan pemerintah, sejalan dengan semakin menguatnya kesadaran akan nilai-nilai demokrasi, masyarakat – dalam pengertian luas – mulai menuntut keterlibatan mereka dalam berbagai proses penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengendalian. Berdasarkan hal itu, banyak negara yang kemudian bereksperimen menemukan pola-pola baru ataupun pendekatan-pendekatan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, maupun pembangunan dengan melibatkan peran aktif masyarakat termasuk dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat yang lebih besar. Format kepemerintahan baru inilah yang merubah pandangan klasik bahwa pemerintahlah yang harus berperan dominan dalam pembangunan masyarakat. Dewasa ini pandangan tersebut telah beralih dengan memberikan penekanan yang lebih besar kepada masyarakat melalui konsepsi kepemerintahan (governance).

Setelah mempelajari Bab ini, para peserta Diklatpim Tingkat IV diharapkan dapat memahami konsepsi dan pengertian kepemerintahan (governance), serta prinsip-prinsip yang melandasinya. Selain itu, para peserta diharapkan dapat pula memahami dan menjelaskan kembali pilar-pilar pelaku yang menjadi komponen kepemerintahan, serta pola interaksi atau kolaborasi diantara pilar-pilar tersebut.

A.

Konsepsi Kepemerintahan (Governance)

Sebagaimana telah teruraikan dalam bab sebelumnya, karakteristik masyarakat post-modern dewasa ini secara umum bersifat kompleks, dinamis, dan beranekaragam. Berbagai kemajuan pembangunan masyarakat yang selama ini dicapai telah mendorong terbentuknya kondisi masyarakat seperti tersebut di atas. Dalam hubungan itu, pola interaksi sosial-politik antara pemerintah dengan masyarakat juga cenderung berubah, sejalan kompleksitas, dinamika, dan keragaman permasalahan yang dihadapi.

Sepanjang sejarah pembangunan bangsa-bangsa terutama di berbagai negara yang sedang berkembang, baik di Asia, Afrika, maupun Amerika Latin, bahkan Eropa Timur akhir-akhir ini, dan tentu saja di Indonesia khususnya di era Orde Baru; pemerintah telah cenderung sangat dominan menentukan bagaimana kondisi sosial-ekonomi bahkan politik dalam kehidupan masyarakat yang perlu ditumbuh-kembangkan. Pemerintah dengan segala kompetensi, pengalaman, serta akses yang lebih baik terhadap sumber-sumber dan informasi statistik, telah mengambil peran sebagai pemegang monopoli dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, menengahi konflik-konflik dalam masyarakat, menyelidiki berbagai permasalahan dan upaya pemecahannya, dan akhirnya melaksanakan sendiri kebijakan dan program yang telah dirancang. Dewasa ini tampaknya pendekatan klasik atau ortodoks dalam pembangunan yang menempatkan pemerintah sebagai agen


(20)

pembaharu (Change Agent atau Agent of Development), dewasa ini justru telah cenderung mulai ditinggalkan.

Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dari semula “sarwa negara” atau pemerintah (government) sebagai paradigma klasik pemerintahan negara dan penyelenggaraan pembangunan maupun pelayanan publik, telah bergeser menjadi format baru kepemerintahan yang lebih dikenal dengan istilah governance.

1. Konsepsi Penyelenggaraan Pemerintahan

(Governing)

Sebelum menjelaskan konsepsi dan pengertian kepemerintahan, berikut ini akan diuraikan bagaimana konteks pemerintahan dalam masyarakat kontemporer yang dinamis, kompleks, dan beranekaragam, sebagaimana dijelaskan oleh Kooiman (1993: 255-259). Dalam dunia dengan karakteristik masyarakat seperti tersebut di atas, kita dapat melihat hal sebagai berikut:

a. Permasalahan sosial dalam masyarakat pada umumnya disebabkan oleh interaksi berbagai faktor (yang tidak semuanya selalu dapat diidentifikasi) dan tidak bisa dibatasi oleh sebab munculnya suatu faktor tertentu secara terisolasi;

b. Pengetahuan politis maupun teknis mengenai berbagai permasalahan dan kemungkinan pemecahannya, pada kenyataannya sangat tersebar di antara berbagai aktor;

c. Tujuan kebijakan publik tidak mudah untuk dirumuskan, bahkan lebih sering menjadi bahan untuk disempurnakan: ketidakpastian menjadi aturan dan bukan sebagai pengecualian.

Sebagai dampak dari kondisi tersebut, dalam masyarakat dewasa ini, kegiatan dalam rangka pemerintahan dapat didefinisikan sebagai: “proses interaksi antara berbagai aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat” (Kooiman: 255). Karena sifatnya yang interaktif seperti definisi tersebut, dapat juga dikemukakan bahwa pola pemerintahan yang berkembang dalam masyarakat dewasa ini, baik yang bersifat hirarkis maupun non-hirarki, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Offe (1985: 310) bahwa: “…hasil dari tindakan administrastif dalam berbagai bidang adalah bukan merupakan hasil dari pelaksanaan tugas pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sebelumnya; tetapi lebih merupakan hasil dari kegiatan produksi bersama (co-production) antara lembaga pemerintahan dengan klien masing-masing.”

Penyelenggaraan pemerintahan (governing) dalam masyarakat dewasa ini pada intinya adalah merupakan proses koordinasi, pengendalian (steering), pemengaruhan (influencing) dan penyeimbangan (balancing) setiap hubungan interaksi tersebut. Dengan demikian dapat diartikan bahwa format pemerintahan yang baru diperlukan,


(21)

untuk dapat memenuhi tuntutan perubahan pola interaksi sosial-politik antara pemerintah dengan masyarakat seperti tersebut di atas. Pola tersebut tentu saja harus berbeda dengan pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang terutama mendasarkan pada perspektif hubungan yang bersifat “top-down”, atau pendekatan “aturan-pusat-rasional” (Rational-Central-Rule Approach) (Kooiman: 255). Tetapi hal ini tidak berarti sepenuhnya meninggalkan gagasan tentang keberadaan pemerintah dengan berbagai instrumen pemerintahan yang bisa digunakan untuk melayani ataupun mengendalikan kehidupan sosial-ekonomi politik masyarakat.

Dalam masyarakat modern atau post-modern dewasa ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing adalah sebagai berikut (Kooiman: 257):

a. Kompleksitas: dalam menghadapi kondisi yang kompleks, maka pola penyelenggaraan pemerintahan perlu ditekankan pada fungsi koordinasi dan komposisi.

b. Dinamika: dalam hal ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan adalah pengaturan atau pengendalian (steering) dan kolaborasi (pola interaksi saling mengendalikan diantara berbagai aktor yang terlibat dan atau berkepentingan dalam sesuatu bidang tertentu). c. Keanekaragaman: masyarakat dengan berbagai

kepentingan yang beragam dapat diatasi dengan pola penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pada

pengaturan (regulation) dan integrasi atau keterpaduan (integration).

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan (governing) dapat dipandang sebagai: “intervensi pelaku politik dan sosial yang berorientasi hasil, yang diarahkan untuk menciptakan pola interaksi yang stabil atau dapat diprediksikan dalam suatu sistem (sosial-politik), sesuai dengan harapan ataupun tujuan dari para pelaku intervensi tersebut”.

2. Konsepsi Kepemerintahan (Governance).

Pemerintah atau “Government” dalam Bahasa Inggris yang berarti: “The authoritative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc.” atau dalam bahasa Indonesia berarti “Pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah negara, negara bagian, kota dan sebagainya.” Bisa juga berarti “The Governing body of a nation, state, city etc.” atau “Lembaga atau Badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya.” Sedangkan istilah “kepemerintahan” atau dalam Bahasa Inggrisnya disebut “Governance” yang berarti “the act, fact, manner, of governing” atau jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia berarti: “Tindakan, fakta, pola, dari kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan”.

Dengan demikian “governance” adalah suatu kegiatan (proses), sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (eds,


(22)

1993) bahwa governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut.

Dalam tulisannya yang berjudul “Good Governance” (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), Prof. Bintoro Tjokroamidjojo (34:2000), mengemukakan sebagai berikut: “Governance artinya: memerintah-menguasai-mengurus-mengelola”. Beliau juga mengutip pendapat Bondan Gunawan yang menawarkan istilah “penyelenggaraan” sebagai terjemahan dari “governance”. Kemudian dalam Pidato Presiden 16 Agustus 2000, istilah “governance” diterjemahkan sebagai “pengelolaan”.

Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa istilah “governance”, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate governance dan banking governance. Governance sebagai terjemahan dari pemerintahan kemudian berkembang dan menjadi populer dengan sebutan kepemerintahan, sedangkan praktek terbaiknya disebut kepemerintahan yang baik (good governance). Istilah kepemerintahan yang baik dapat

ditemukan misalnya dalam Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAN dan BPKP; 2000), dan Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000, Tentang Diklat Jabatan PNS.

Kooiman (1993:258) memandang governance sebagai sebuah struktur yang muncul dalam sistem sosial-politik sebagai hasil dari tindakan intervensi interaktif diantara berbagai aktor yang terlibat. Sesuai dengan karakteristik interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang cenderung bersifat plural, maka konsepsi governance tersebut tidak dapat hanya dibatasi kepada salah satu unsur pelaku atau kelompok pelaku tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh Marin dan Mayntz (eds, 1991: sampul belakang) bahwa: “Kepemerintahan politik dalam masyarakat modern tidak bisa lagi dipandang sebagai pengendalian pemerintah terhadap masyarakat, tetapi muncul dari pluralitas pelaku penyelenggaraan pemerintahan.”

United Nations Development Program (UNDP) dalam Dokumen Kebijakannya yang berjudul “Governance for Sustainable Human Development, January 1997”, mendefinisikan kepemerintahan (governance) sebagai berikut:

“Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels and the means by which states promote social


(23)

cohesion, integration, and ensure the well-being of their population. It embraces all methods used to distribute power and manage public resources, and the organizations that shape government and the execution of policy. It encompasses the mechanisms, processes, and institution through which citizen and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations, and resolve their differences.”

(“Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/ kekuasaaan di bidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Hal ini mencakup berbagai metode yang digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan dan mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang membentuk pemerintahan serta melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme, proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi hak-hak hukum, memenuhi tanggung jawab dan kewajiban sebagai warganegara, dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara sesama.”

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, UNDP mengindikasikan adanya tiga model kepemerintahan, yaitu:

a. Economic governance, yang meliputi proses pembuatan

keputusan (decision making processes) yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap kesetaraan, kemiskinan dan kualitas hidup;

b. Political governance, yang mencakup proses-proses pembuatan berbagai keputusan untuk perumusan kebijakan; dan

c. Administrative governance, yaitu sistem implementasi kebijakan.

Oleh sebab itu kelembagaan dalam governance meliputi tiga domain, yaitu negara (state), sektor swasta (private sector) dan masyarakat (society) yang saling berinteraksi dalam menjalankan fungsinya masing-masing.

Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakkan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik. Negara, sebagai satu unsur governance, adalah termasuk di dalamnya lembaga-lembaga politik maupun lembaga-lembaga sektor publik.


(24)

Sektor swasta meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dan sektor informal lain di pasar. Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial politik dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusaaan-perusahaan itu sendiri.

Sedangkan masyarakat (society) terdiri dari individual dan kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dalam kaitan dengan masyarakat Hubbard (2001) mengatakan “governance is more than goverment”, kemudian “governance” didefinisikan sebagai: “how societies steer them selves”.

Novartis Foundation for Sustainable Development (NFSD) mendefinisikan governance sebagai seni kepemimpinan publik yang terdiri dari tiga dimensi yaitu :

a. bentuk dari rezim politik (the form political regime); b. proses penyelenggaraan kewenangan dalam manajemen

ekonomi dan sumber-sumber daya sosial negara (the process by which authority is exercised in the management of country’s economic and social resources); dan

c. kemampuan pemerintah untuk merancang, mendesain, merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan serta melaksanakan fungsi-fungsinya (the capacity of goverments to design, formulate, and implement policies and discharge functions).

Secara sederhana, konsep kepemerintahan tersebut dapat juga dirumuskan dengan pengertian sebagai “…the way state power is used in managing economic and social resources for development of society” (“kepemerintahan adalah cara menggunakan kekuasaan pemerintah/negara dalam pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat.”) (Rainer Tetzlaff dalam D+C Development and Cooperation, 1995: 20-22).

Berbagai pengertian mengenai konsep kepemerintahan tersebut di atas pada dasarnya hampir sama, yaitu mengenai bagaimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik dalam upaya pemenuhan kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam bidang ekonomi proses kepemerintahan tersebut mencakup proses yang mempengaruhi kegiatan perekonomian nasional dan hubungannya dengan perekonomian negara-negara lain. Sedangkan dalam lingkup politik, kepemerintahan mencakup proses pengambilan keputusan untuk menetapkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, kepemerintahan administratif – yang dilaksanakan melalui sektor publik yang independen dan akuntabel - adalah merupakan sistem implementasi kebijakan yang


(25)

menghasilkan berbagai konsekuensi bagi kondisi sosial masyarakat.

3. Aktor Dalam Kepemerintahan (Governance).

Dalam praktek kepemerintahan terdapat banyak pelaku atau aktor yang dapat diidentifikasikan, mencakup individual, organisasi, institusi, dan kelompok-kelompok sosial, yang keberadaannya sangat penting bagi terciptanya kepemerintahan yang efektif. Beberapa aktor yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut:

a. Negara dan Pemerintahan. Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani (Civil Society Organizations). Pengertian negara (State) atau pemerintahan dalam hal ini secara umum mencakup keseluruhan lembaga politik dan sektor publik. Peranan dan tanggung jawab negara atau pemerintah adalah meliputi penyelenggaraan pelayanan publik, penyelenggaraan kekuasaan untuk memerintah, dan membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level lokal, nasional, maupun internasional dan global.

b. Sektor Swasta. Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan (manufacturing), perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk juga kegiatan sektor informal. Peranan sektor

swasta sangat penting dalam pola kepemerintahan dan pembangunan, karena peranannya sebagai sumber peluang untuk meningkatkan produktivitas, penyerapan tenaga kerja, sumber penerimaan, investasi publik, pengembangan usaha, dan pertumbuhan ekonomi;

c. Masyarakat Madani (Civil Society). Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada di antara atau di tengah-tengah antara Pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi. Kelembagaan masyarakat sipil tersebut pada umumnya dapat dirasakan oleh masyarakat, melalui kegiatan fasilitasi partisipasi masyarakat dengan cara mobilisasi.

Interaksi diantara ketiga pelaku governance secara sederhana dapat digambarkan sebagaimana terlihat dalam Bagan 1,

PEMERINTAH

Interaksi Antar Pelaku Dalam Kerangka

SWASTA MASYARAKAT


(26)

B.

Prinsip-Prinsip Kepemerintahan

Telah dibahas sebelumnya bahwa konsepsi kepemerintahan pada dasarnya merupakan sistem interaksi sosial-politik antara pemerintah/negara dengan masyarakat modern dewasa ini yang memiliki karakteristik yang kompleks, dinamis, dan beraneka ragam. Dalam implementasi konsep kepemerintahan dengan demikian tidak dapat dipisahkan antara peranan pemerintah dan peranan masyarakat, meskipun tuntutan dari konsep kepemerintahan dewasa ini menghendaki peranan yang lebih dominan justru terletak di tangan masyarakat. Alasan yang melandasinya sebenarnya sederhana saja, yaitu bahwa permasalahan yang harus ditangani pemerintahan (governability) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan meningkatkan kompleksitas, dinamika, dan keanekaragaman kepentingan masyarakat modern dewasa ini, yang secara umum belum dipertimbangkan dalam kerangka teori dan praktek penyelenggaraan kepemerintahan.

Sedangkan prinsip mendasar yang melandasi perbedaan antara konsepsi kepemerintahan (governance) dengan pola pemerintahan yang tradisional, adalah terletak pada adanya tuntutan yang demikian kuat agar peranan pemerintah dikurangi dan peranan masyarakat (termasuk dunia usaha dan LSM/Ornop) semakin ditingkatkan dan semakin terbuka aksesnya.

Mengapa dalam pola kepemerintahan dewasa ini peranan masyarakat (society) perlu mendapatkan perhatian yang lebih

besar? Jawabannya dapat terwakili oleh beberapa pernyataan yang menunjukkan bagaimana selama ini model pemerintahan tradisional telah cenderung mengabaikan aktualisasi keberadaan masyarakat sebagai subyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Masyarakat selama ini cenderung hanya menjadi obyek pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, sehingga di berbagai negara terdapat fakta bahwa dengan pembangunan nasional yang dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah, justru berakhir dengan kesengsaraan, bukan kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesimpulan dari hasil studi mengenai interaksi antara pemerintah dan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Duclaud Williams menurut Kooiman (1993: 251) adalah sebagai berikut:

1. Bahwa keberadaan struktur kekuasaan, metode, dan instrumen pemerintahan tradisional dewasa ini telah gagal; 2. Berbagai bentuk dan ruang lingkup kegiatan interaksi

sosial-politik yang baru telah muncul, tetapi format kelembagaan dan pola tindakan mediasi berbagai kepentingan yang berbeda pada kenyataannya masih belum tersedia;

3. Terdapatnya berbagai isu baru yang sangat strategis dan menjadi pusat perhatian seluruh aktor yang terlibat dalam interaksi sosial politik, baik dari lingkungan pemerintah maupun masyarakat; dan

4. Diperlukan adanya konvergensi atau kesearahan tujuan dan kepentingan untuk menghasilkan dampak yang bersifat sinergis atau situasi “menang-menang” (Win-win Situation).


(27)

Beberapa kondisi obyektif tersebut telah mendorong munculnya format kepemerintahan sosial-politik (Social-political Governance) baru dalam masyarakat modern dewasa ini. Selain kondisi obyektif yang diperlukan dalam kerangka pikir kepemerintahan yang ternyata tidak muncul dalam pola pemerintahan tradisional, beberapa kondisi subyektif yang harus dapat dimunculkan dalam diri setiap aktor yang terlibat dalam rangka pengembangan konsep kepemerintahan, adalah adanya: 1. Derajat tertentu dalam sikap saling mempercayai atau saling

memahami (mutual trust atau mutual understanding); 2. Kesiapan untuk memikul tanggungjawab (bersama);

3. Derajat tertentu keterlibatan politik dan dukungan sosial masyarakat.

Beberapa kondisi obyektif maupun kondisi subyektif tersebut kiranya dapat dipandang sebagai prinsip yang melandasi format kepemerintahan modern yang diperlukan dewasa ini, yang menekankan kepada pola interaksi antara pemerintah dan masyarakat yang semakin terpadu, kohesif, dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat, bukan kepada kepentingan pemerintah semata.

Pola kepemerintahan kontemporer yang ditandai dengan proses pengelolaan bersama (co-arrangement) antara pemerintah dengan masyarakat (termasuk swasta dan LSM), memiliki karakteristik yang relatif berbeda dibandingkan dengan pola kepemerintahan tradisional atau konvensional yang memiliki karakter utama “lakukan sendiri” oleh pemerintah (“Do it

alone” Government). Perbandingan diantara keduanya dapat digambarkan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.

Dalam masyarakat modern yang dinamis dan kompleks, serta sangat beraneka ragam dewasa ini, pemerintah (dan masyarakat umum) memiliki berbagai tugas baru sebagai berikut:

1. Pemberdayaan interaksi sosial politik, hal ini mengandung arti penarikan diri dalam berbagai kesempatan, namun seringnya (dan pada saat yang sama) hal ini berarti mengambil tanggung jawab untuk mengorganisasikan interaksi sosial politik yang memberikan dorongan bagi pertumbuhan sistem interaksi sosial-politik untuk mengatur dirinya sendiri.

2. Pembentukan dan pemeliharaan kelangsungan berbagai jenis dan bentuk “co-arrangements” dimana permasalahan, tanggung jawab dan tindakan kolektif ditanggung bersama (shared).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disusun sebuah kerangka acuan berpikir bagi para pejabat pemerintahan Daerah maupun pemerintahan Pusat dalam kerangka aktualisasi pelaksanaan gagasan konsepsional kepemerintahan sebagai berikut:

1. Bahwa orientasi interaktif dan eksternal bagi organisasi pemerintahan merupakan salah satu hal yang sangat penting dan strategis;

2. Administrasi publik harus mampu memberikan perhatian terhadap beragam sudut pandang administratif, politik, ilmiah, dan sosial; dan harus pula mempertimbangkan


(28)

berbagai pengertian yang berlaku mengenai permasalahan tindakan kolektif dan upaya pemecahannya, dari dalam diri administrasi publik tersebut;

3. Pemerintah harus mampu mencoba mendelegasikan tanggung jawab makro terhadap berbagai unsur pelaku sosial, dan pada saat yang bersamaan mendorong dan memberdayakan mereka untuk mengambil dan menerima tanggung jawab tersebut;

4. Peranan pemerintah pada akhirnya perlu dibekali dengan kemampuan diri dan kompetensi untuk menjembatani konflik diantara berbagai kelompok kepentingan dan berbagai hambatan lainnya dalam kerangka sosial-politik.

Tabel 1:

Perbandingan Pola Kepemerintahan Tradisional dan Kontemporer Dalam Hubungannya dengan Kondisi Kompleksitas, Dinamika, dan Keanekaragaman

Interaksi Sosial-Politik Masyarakat

Karakteristik Interaksi Sosial-Politik

Pemerintahan Tradisional “Do it Alone”

Kepemerintahan Modern “Co-arrangement” Kompleksita

s

Hubungan sebab-akibat

Ketergantungan yang bersifat unilateral

Terbagi atau dibagi-bagi kedalam berbagai unit organisasi atau disiplin keilmuan

Menyeluruh dan bagian-bagiannya

Saling ketergantungan (interdependensi) yang bersifat multididiplin

Pengelolaan melalui jaringan komunikasi

Dinamika • Linieritas dan

predik-tabilitas

Kontinuitas dan reversalitas (reversability)

Menggunakan mekanisme “ feed-forward”

Polanya bersifat non-linier dan Chaotic

Diskontinuitas dan Ireversalitas (irreversability)

Memanfaatkan model pemecahan permasalahan, melalui penggunaan mekanisme “Feed-While”/ Feed-back

Keanekaraga man

Pendekatan/analisis didasarkan pada pola perhitungan rata-rata

Perubahan pengaturan dari orientasi hukum dan perundang-undangan kepada berbagai pengecualian.

Analisis bersifat situasional dan diskrit

Dari pengecualian kepada aturan perundang-undangan

Sumber: Jan Kooiman (eds) , 1993, Modern Governance: New


(29)

C.

Latihan

1. Mengapa paradigma penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berubah dari sarwa negara kepada paradigma kepemerintahan (governance) ?

2. Bagaimana konsepsi kepemerintahan (governance) dapat dirumuskan ?

3. Apa implikasi dari rumusan konsep kepemerintahan tersebut dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya ?

D.

Rangkuman

Uraian dalam Bab ini dapat dirangkumkan dalam beberapa butir sebagai berikut:

1. Sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi-politik masyarakat di berbagai negara, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, peranan negara dan pemerintah yang sangat dominan dalam pembangunan nasional telah cenderung bergeser ke arah peranan masyarakat dan swasta yang lebih besar. Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat telah bergeser dari paradigma klasik sarwa negara (government) telah bergeser kearah paradigma kepemerintahan yang berorientasi pada peranan masyarakat madani dalam format kepemerintahan (governance).

2. Penyelenggaraan pemerintahan (governing) dalam konteks tersebut di atas dapat diartikan sebagai proses interaksi antara

berbagai aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat.

3. “Governance”, tidak hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung arti pengurusan, pengelolaan, pengarahan, pembinaan, penyelenggaraan dan bisa juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat istilah public governance, private governance, corporate governance dan banking governance.

4. Konsepsi kepemerintahan dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan kewenangan/ kekuasaaan dibidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat.

5. Konsepsi governance mencakup berbagai metode yang digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan dan mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang membentuk pemerintahan serta melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme, proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi hak-hak hukum, memenui tanggung jawab dan kewajiban sebagai warga negara, dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara sesama.


(30)

6. Dalam konsepsi governance, para pelaku dalam interaksi kepemerintahan terdiri dari unsur sektor publik (pemerintah) yang berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta yang menciptakan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat, dan masyarakat madani (civil society) yang memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakkan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik.

7. Paradigma kepemerintahan (governance) adalah paradigma yang menekankan bagaimana pemerintah berinteraksi secara kondusif dalam kesetaraan dan keseimbangan peranan dengan sektor swasta dan masyarakat madani dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik untuk berkolaborasi memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan masyarakat itu sendiri.

49

BAB IV

KEPEMERINTAHAN YANG BAIK

(

GOOD GOVERNANCE

)

Arti kepemerintahan yang baik sebagai terjemahan dari good governance dalam modul ini lebih ditekankan pada peran pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, walaupun mempunyai obyek menyentuh berbagai sektor. Hal ini sejalan dengan pendapat Pinto (1994) bahwa istilah “governance” mengandung arti “Praktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya”.

A.

Pengertian Kepemerintahan Yang Baik

Dalam bab terdahulu telah dijelaskan dijelaskan mengenai pengertian governance yang dalam modul ini dialihbahasakan menjadi kepemerintahan, sehingga para peserta Diklat dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya untuk membahas lebih lanjut konsep kepemerintahan yang baik dalam konteks modul ini.

Setelah membaca Bab IV, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan pengertian Kepemerintahan yang Baik beserta


(1)

74 Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik

Menurut Laily Indrayani, Kepala Puskesmas itu, selain mengancam lewat telepon, “mereka juga berteriak-teriak di depan puskesmas dan melakukan intervensi jika ada pasien datang,” ujarnya Jumat pekan lalu. Karena takut, perawat dan dokter tidak mau bertugas di sana lagi.

Munculnya teror, kata Laily, bermula ketika Hamdan, warga Gunungsari, meninggal setelah dirawat di Puskesmas, Oktober silam. Versi Laily, penderita sesak napas itu tidak kooperatif dan memaksa pulang ketika diobati. Selain itu, mutasi tiga perawat ke Kantor Dinas Kesehatan Lombok Barat yang terjadi beberapa waktu lalu juga ikut menjadi penyebabnya. “Diantaranya ada yang mengadu ke FKMG,” ujarnya.

Penutupan Puskesmas itu tentu saja berdampak buruk bagi warga setempat. Menurut Laily, setiap malam rata-rata 4 orang berobat dan 3 orang menjalani rawat inap. Kendati mendapat jaminan keamanan dari Kapolsek Gunungsari, Inspektur Polisi Dua Murni, para perawat dan dokter menolak bertugas karena masih trauma.

Benarkah demikian? menurut Ketua FKMG, Fauzan Halid, penutupan itu terkait dengan pengaduan masyarakat terhadap pelayanan puskesmas itu ke DPRD. “Selain karena kasus meninggalnya Hamdan, warga juga mengadukan tingginya tarif rawat inap yang tidak sesuai dengan peraturan,” katanya. Fauzan memberi contoh biaya perawatan yang mestinya hanya Rp. 45 ribu dalam prakteknya Rp. 95 ribu. Tambahan biaya itu diakui

Modul Diklatpim Tingkat IV 75

Laily. “Puskesmas harus membayar langganan air, listrik dan cleaning service, ” katanya.

Hingga Sabtu pekan lalu belum ada keputusan dari Pemda Lombok Barat terhadap nasib Puskesmas itu.

Latihan

1. Setelah membaca guntingan berita tersebut, diskusikan diantara para peserta Diklatpim Tingkat IV bagaimana kepemerintahan yang baik tercermin dalam sistem pelayanan kesehatan di Puskesmas Gunungsari tersebut ?

2. Apakah selayaknya Puskesma tersebut di tutup dan apakah masyarakat sudah melakukan tindakan yang benar ? Jelaskan

C.

Kasus Ketiga:

Pesawat Terbang Buat Gubernur

(Sumber: Majalah Tempo, 26 November – 2 Desember 2001, hal. 40)

Ibarat OKB (orang kaya baru), begitulah perilaku para penguasa daerah setelah keran otonomi daerah dibuka. Merasa kaya dan punya uang sendiri, macam-macam usul pun mereka ajukan. Provinsi Jawa Timur, misalnya merasa kini waktunya untuk memiliki sebuah pesawat terbang untuk gubernur. Usul ini dimunculkan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi D DPRD dan Kantor Dinas Perhubungan Jawa Timur, Rabu Pekan lalu.


(2)

Kali ini usul datang dari anggota dewan. Pada masa Basofi Sudirman memimpin Jawa Timur, ia juga pernah mengajukan usul serupa, tapi tak disetujui Jakarta. Adalah Ketua Komisi D DPRD Jatim, Edy Wahyudi, yang meletuskan usul itu. Dengan pesawat itu katanya, Gubernur bisa lebih sering mengunjungi rakyatnya. Contohnya, masyarakat di Pulau Bawean di Utara provinsi tersebut, yang bisa lebih sering bertemu gubernurnya karena hanya butuh 20 menit ke sana.

Usul itu, lucunya, disambut anggota lainnya dengan antusias. “Menurut saya, itu ide brilian,” kata Fraksi PDIP DPRD Jawa Timur, Andrianus Harsini. Meski mengakui pembelian pesawat itu masih berupa usul, ia menyatakan hampir seluruh anggota dewan secara informal sudah menyatakan dukungannya.

Antusiasme anggota dewan itu mengherankan. Tak biasanya legislatif memberi kemudahan buat eksekutif. Belakangan ketahuan, ada udang di balik batu. Kata Andrianus, pesawat itu bisa dimanfaatkan secara bergantian antara gubernur dan anggota dewan.

Boleh saja anggota dewan ngotot, tapi yang mau dibelikan pesawat malah ogah. Gubernur Jawa Timur Imam Oetomo, kepada Wahyu Dhyatmika dari Tempo, berkali-kali menegaskan bahwa dirinya sama sekali tak punya pikiran membeli pesawat terbang. Rencana pembelian ini belum dimasukkan dalam program tahun 2002. Alasannya sederhana, pemerintah Jatim belum cukup punya dana.

Kalau melihat besarnya anggaran belanja Dinas Perhubungan Jatim, usul itu tampak berlebihan. Tahun 2001, misalnya anggarannya hanya Rp. 10 miliar, yang sebagian besar akan dipergunakan untuk merawat fasilitas jalan darat di daerah iitu. Padahal, harga sebuah pesawat halikopter bisa mencapai Rp. 20 miliar. Mau diambil dari anggaran kunjungan kerja selama setahun. Karena itu, pihak Pemda melihat ide pembelian helikopter masih jauh. “Mungkin lima tahun ke depan,” kata Kepala Tata Usaha Dinas Perhubungan Jatim, Haribowo Soekotjo.

Namun, DPRD punya perhitungan lain soal sumber dana pembelian pesawat itu. Andrianus masih yakin, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mampu membeli heli dalam anggaran 2002. Sumbernya? “penambahan dana alokasi umum dari pusat ditambah,” katanya. Jatim, kata Andrianus, menyetorkan uang Rp. 32-34 triliun per tahun ke pusat. Jika uang itu dikembalikan 40 persen saja ke Jatim, Andri yakin, daerahnya mampu membeli pesawat. “Kita punya angan-angan dan punya kekuatan,” tambahnya dengan yakin.

Lepas dari jadi atau tidaknya pembelian helikopter itu, usul itu sendiri kini mendapat tentangan dari masyarakat. Direktur Pusat Studi Demokrasi dan dan Hak Asasi Manusia Jatim, Aribowo, meski tak yakin masyarakat akan mampu membendung rencana pembelian halikopter itu, mengaku kecewa dengan sikap anggota dewan. Menurut dia, usul itu bukti kesekian DPRD


(3)

78 Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik

melontarkan gagasan aneh-aneh soal penataan pemerintahan di daerah.

Latihan

Jika teks tersebut di atas telah selesai dibaca dan dipahami, buatlah pengelompokkan peserta Diklatpim IV ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok anggota DPRD, kelompok Pemerintah Daerah (Gubernur dan Perangkatnya), dan kelompok Masyarakat Madani (LSM dan Masyarakat Umum).

Simulasikan dalam waktu sekitar 10-15 menit sikap-sikap yang berkembang dalam kasus tersebut, baik yang pro maupun kontra. Diskusikan diantara para peserta, apakah karakteristik kepemerintahan yang baik muncul dalam kasus tersebut dan berikan penjelasan mengapa demikian ?

BAB VI

PENUTUP

A. Simpulan

Sesuai dengan tujuan instruksional umumnya, modul “Dasar-Dasar Kepemerintahan Yang Baik” untuk peserta Program Diklatpim Golongan IV telah membahas dan menguraikan mengenai latar belakang dan perkembangan interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat (government and society) dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, dinamis, dan beranekaragam. Selain itu modul ini telah pula memberikan dasar-dasar pengertian, prinsip-prinsip, dan karakteristik kepemerintahan (governance) dan kepemerintahan yang baik (good governance) dalam kerangka interaksi sosial politik tersebut. Modul ini juga telah memberikan pengetahuan dan wawasan praktis mengenai implikasi penerapan konsep kepemerintahan dan kepemerintahan yang baik dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam sektor-sektor pemerintahan tertentu sebagaimana tercermin dalam latihan analisis kasus.

Sebagai upaya untuk mendorong terwujudnya kemampuan menganalisis permasalahan dalam penerapan kepemerintahan yang baik dalam ruang lingkup kerja sehari-hari, modul ini telah pula dilengkapi dengan tiga buah artikel berita media massa sebagai contoh kasus yang sederhana, yang dapat dikembangkan


(4)

kajian dan analisisnya melalui diskusi di antara para peserta Diklatpim Tingkat IV.

B. Tindak Lanjut

Keseluruhan materi modul yang sederhana ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran yang cukup memadai dan efektif dalam meningkatkan kompetensi kognitif, afektif, maupun psikomotorik para peserta Diklatpim Tingkat IV, sehingga mampu memiliki kemampuan menganalisis dan menerapkan konsep dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) dalam permanent system masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Bhatta, Gambhir, 1996, Capacity Building at the Local Level for Effective Governance, Empowerment Without Capacity is Meaningless.

Japan Association For Civil Service Training and Education, “How To Win Public Confidence As Government Officials”: 100 Sheets For Effective And Efficient Public Administration. LAN-BPKP, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Jakarta McKinney, Jerome B., Lawrence C Howard, 1979, Public

Administration: Balancing Power and Accountability, Oak Park, Illinois : Moore Publishing Company, Inc.

Mustopadidjaja, AR. (1997), “Transformasi Manajemen Menghadapi Globalisasi Ekonomi”, dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vol. 1, No. 1, 1997, ISSN 1410-5101, PP PERSADI, Jakarta.

Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, (2000), Manajemen Pembangunan Nasional: Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, makalah disampaikan pada Suskomsos TNI – TA 1999/2000, SESKO TNI, LAN-RI, Bandung, 28 Februari 2000.

Osborne, David, and Ted Gaebler, (1992), Reinventing Government: How Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Co.Inc.

Senge, Peter M, 1994, The Fifth Discipline, Sydney, Random House Australia Pty.Ltd.

Supriyadi, Gering, Drs., MM. (2001), Modul Diklat Pajabatan Golongan III : “Etika Birokrasi”, Jakarta, LANRI.

Syafiie, Inu Kencana, Djamaludin Tandjung, dan Supardan Mordeong, (1999), Ilmu Administrasi Publik, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta.


(5)

82 Dasar-Dasar Kepemerintahan yang Baik

Stewart, J.D. 1984, “The Role of Information in Public Accountability”, dalam Anthony Hopwoord and Cyril R. Tomkins, eds., Issues in Public Sector Accounting, Oxford, England: Phillip Alan.

Tjokroamidjojo, Bintoro, 2000, Good Governance, Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Jakarta : UI Press.

UNDP, 1997, Governance for Sustainable Development – A Policy Document, New York : UNDP

__________, 1999, UNDP and Governance: Experiences and Lesson Learned, Lesson Learned Series No. 1, New York: UNDP Management Development and Governance Division, Downloaded internet document file.

Wallis, Malcolm, (1989), Bureaucracy: Its Roles In The Third World Development, Basingstoke: London, McMillan Publisher Ltd.

DAFTAR DOKUMEN

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 Tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan.

Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan PNS.

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintahan.


(6)