LANDASAN TEORI Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Dengan Stres Kerja Pada Wanita Di Pt Pelita Tomangmas Karanganyar.

(1)

8 A. Stres Kerja 1. Pengertian stres kerja

Menurut Ivancevich dan Matteson (1980) stres kerja adalah suatu respon adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan atau proses psikologi individu yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang. Stres biasanya dianggap sebagai istilah negatif, stres dianggap terjadi karena disebabakan oleh suatu yang buruk namun tidak selalu berarti demikian karena stress yang dimaksud adalah stres kerja yang artinya suatu bentuk interaksi individu terhadap lingkungannya. Stres mempunyai dampak positif atau negatif. Dampak positif stres pada tingkat rendah sampai pada tingkat moderat bersifat fungsional dalam arti berperan sebagai pendorong peningkatan kinerja pegawai sedangkan pada dampak negatif stress pada tingkat yang tinggi adalah penurunan pada kinerja karyawan yang drastic (Gitosudarmo dan Suditta, 1997).

Menurut Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2007) stres adalah suatu respons adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi atau peristiwa dan yang menempatkan tuntutan khusus pada seseorang.

Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor,


(2)

pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan.

Cooper (1998) mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan.

Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Rice dalam Pratama, 2010).

Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal dan eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek (Cooper, 1994).

Menurut Morgan dan King (1986) Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi


(3)

terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah tekanan pekerjaan yang mempengaruhi emosi yang dimana tingkatannya berbeda-beda dari satu orang ke orang lainnya dan reaskinya pun dapat berbeda-beda setiap orangnnya.

2. Aspek-aspek Stres Kerja

Everly dan Girdano (1980) mengajukan daftar tanda-tanda dari adanya distress. Menurut mereka, stres akan mempunyai dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka (musculoskeletal) dan organ-organ badan dalam badan (visceral).

Selain itu menurut Beehr dan Newman (dalam Widyanto, 2013) telah memeriksa sejumlah penelitian tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam 3 tipe dari hasil negatif individu terhadap stres kerja yaitu gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku.

a. Gejala fisik dari stres kerja yang termasuk dalam gejala-gejala fisik yaitu : 1. Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah , 2. Meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin, 3. Timbulnya gangguan perut , 4. Kelelahan fisik, 5. Kematian , 6. Timbulnya penyakit kardiovaskuler , 7. Ketegangan otot , 8. Keringat berlebihan, 9. Gangguan kulit, 10. Sakit kepala, 11. Kanker , dan 12. Gangguan tidur

Salah satu masalah yang membuat hubungan antara pekerjaan-stres-kesehatan adalah beberapa wanita yang bekerja membawa masalah pekerjaan-stres-kesehatan


(4)

fisiknya ke pekerjaan. Hal ini bisa berhubungan dengan perilaku yang berisiko tinggi pada lingkungan sosial. Kondisi tempat kerja bisa memperberat masalahkesehatan, walaupun hal ini membuat lebih nyata tetapi pekerjaanlah yang berindikasi besar pada masalah kesehatan.

b. Gejala psikologis dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala psikologis yaitu :

1.Ketegangan, kecemasan, kebingungan, dan mudah tersinggung , 2.Perasaan frustasi, marah, dan kesal, 3.Emosi yang menjadi sensitif dan hiperaktif, 4.Perasaan tertekan, 5. Kemampuan berkoumikasi efektif menjadi kurang, 6. Menarik diri dan depresi, 7. Persaan terisolir dan terasing, 8. Kebosanan dan ketidakpuasan dalam bekerja, 9.Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual, dan 10.Menurunnya harga diri.

Kemungkinan besar prediksi efek stres kerja adalah ketidakpuasan pekerjaan. Ketika hal ini muncul, seseorang merasa kurang termotivasi untuk bekerja, tidak bekerja dengan baik, atau tidak melanjutkan pekerjaan. Gejala-gejala ini muncul pada tahapan yang berbeda di dalam perjalanan dari pekerjaan tersebut dan bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya.

c. Gejala perilaku dari stres kerja Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku yaitu :

1. Bermalas-malasan dan menghindari pekerjaan, 2. Kinerja dan produktivitas menurun, 3. Meningkatnya penggunaan alcohol dan obat-obat terlarang, 4. Melakukan sabotase pada pekerjaan , 5.Makan berlebihan sebagai pelarian yang bisa mengakibatkan obesitas, 6.Mengurangi makan sebagai perilaku


(5)

menarik diri dan berkombinasi dengan depresi, 7.Kehilangan selera makan dan menurunnya berat badan secara tiba-tiba, 8.Meningkatnya perilaku yang berisiko tinggi, 9.Agresif, brutal, dan mencuri, 10.Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan teman, dan 11.Kecenderungan melakukan bunuh diri.

Cridder dkk., (dalam Widyanto, 2013), individu yang mengalami stres akan memberi respon yang bersifat emosional, kognitif dan fisiologis seperti berikut:

a. Respon Emosional

Ketika individu dalam kondisi stres, biasanya tanggapan akan perasaan mereka kurang mengenakkan, curiga, depresi, perasaan bersalah, dan sebagainya. Pada intinya individu yang stres hampir selalu menampakkan emosi negatif atas masalahnya.

b. Respon Kognitif

Biasanya berupa gangguan berfikir, citra diri, konsentrasi, dan ingatan. Dalam keadaan stres, fungsi berfikir mengalami gangguan. Berfikir kurang rasional, dan kurang logis, citra diri dapat terganggu dalam bentuk kegagalan yang mendominasi kesadaran individu berupa mimpi buruk, dan emosi negatif. Konsentrasi akan menurun, dan akhirnya akan mengambat kinerja dan kemampuan memecahkan masalah. Ingatan melemah sehingga sering terjadi kelupaan dan kebingungan. c. Respon Fisiologis

Individu yang sedang stres akan memiliki bermacam-macam gejala seperti sembelit, sakit kepala, dan badan lemas.


(6)

Uraian di atas menunjukkan bahwa gejala stres kerja merupakan gejala yang kompleks, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, maupun perilaku. Namun demikian gejala tersebut tidak muncul bersamaan waktunya pada seseorang, kemunculannya bersifat kumulatif, yang sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama, hanya saja tidak terdeteksi jika tidak menunjukkan perilaku tertentu.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja

Menurut Rini (2002), sejak jaman dahulu hingga kini, persoalan yang dihadapi oleh kaum wanita yang bekerja di luar rumah sepertinya tidak jauh berbeda. Berbagai hambatan dan kesulitan yang mereka alami dari masa ke masa, berasal dari sumber-sumber bagi wanita yang bekerja dapat dibedakan sebagai berikut :

a) Faktor internal

Yang dimaksud dengan faktor internal adalah persoalan yang timbul dalam diri pribadi wanita yang bekerja tersebut. Ada di antara para wanita yang bekerja tersebut lebih senang jika dirinya benar-benar hanya menjadi ibu rumah tangga, yang sehari-harinya di rumah dan mengatur rumah tangga. Namun, keadaan “menuntut”nya untuk bekerja, untuk menyokong keuangan keluarga. Kondisi tersebut mudah menimbulkan stres karena bekerja bukanlah timbul dari keinginan diri namun seakan tidak punya pilihan lain demi membantu ekonomi rumah tangga. Biasanya, para wanita yang bekerja mengalami masalah yang demikian, cenderung merasa sangat lelah (terutama secara psikis), karena seharian “memaksakan diri” untuk bertahan di tempat kerja.


(7)

b) Faktor eksternal 1) Dukungan Suami

Dukungan suami dapat di terjemahkan sebagia sikap penuh pengertian yang ditunjukan dalam bentuk kerja sama yang positif, ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus anak-anak, serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap karir atau pekerjaan istrinya. Di Indonesia, iklim patrilinial yang sangat kuat, justru menjadi faktor yang membebani peran wanita yang bekerja, karena masih terdapat pemahaman bahwa pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan wanita, apalagi ikut mengurus masalah rumah tangga. Masalah rumah tangga adalah kewajiban sepenuhnya seorang istri. Masalah yang kemudian timbul akibat bekerjanya istri, sepenuhnya merupakan kesalahan dari istri dan untuk itu ia harus bertanggung jawab menyelesaikannya sendiri. Keadaan itu akan menjadi sumber tekanan yang berat bagi istri, sehingga ia pun akan sulit merasakan kepuasan dalam bekerja. Kurangnya dukungan suami, membuat peran wanita yang bekerja di rumah pun tidak optimal karena terlalu banyak yang masih dikerjakan sementara dirinya juga merasa lelah sesudah bekerja. Akibatnya, timbul rasa bersalah karena merasa diri bukan wanita yang bekerja dan istri yang baik.

2. Kehadiran anak

Masalah pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh wanita yang bekerja yang mempunyai anak kecil/balita. Semakin kecil usia anak, maka semakin besar tingkat stres yang dirasakan. Rasa bersalah karena meninggalkan anak untuk seharian bekerja, merupakan persoalan yang sering dipendam oleh


(8)

para wanita yang bekerja.apalagi jika pengasuh yang ada tidak dapat dipercaya, sementara tidak ada famili lain yang dapat membantu.

3. Masalah pekerjaan

Pekerjaan bisa menjadi sumber ketegangan dari stres yang besar bagi para wanita bekerja. Mulai dari peraturan kerja yang kaku, bos yang tidak bijaksana, beban kerja yang berat, ketidakadilan yang dirasakan di tempat kerja, rekan-rekan yang sulit bekerja sama, waktu kerja yang sangat panjang, ataupun ketidaknyamananpsikologis yang dialami akibat dari masalah sosial politis di tempat kerja. Situasi demikian akan membuat wanita yang bekerja menjadi sangat lelah, sementara kehadirannya masih sangat dinantikan oleh keluarga di rumah. Kelelahan psikis dan fisik itulah yang sering membuat mereka sensitif dan emosional, baik terhadap anak-anak maupun terhadap suami. Keadaan ini biasanya makin intens, jika situasi di rumah tidak mendukung suami dalam keadaan rileks, santai dan hangat merupakan kegiatan penting yang tidak bisa diabaikan, untuk membina, mempertahankan dan menjaga kedekatan relasi serta keterbukaan komunikasi satu dengan yang lain.

Kebanyakan orang menghabiskan waktu untuk bekerja daripada mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya. Wajarlah jika kemudian pekerjaan menjadi sumber utama dari stres. Fakta menunjukkan bahwa stres pekerjaan berdampak pada kesehatan fisik dan mental dari karyawan. Menurut Cooper (2010) mengidentifikasikan faktor-faktor stres kerja sebagai berikut :

a. Kondisi pekerjaan


(9)

1) Lingkungan kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi dan menurutnya produktivitas kerja.

2) Overload. Dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualititatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam “tegangan tinggi”. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.

3) Deprivational stress, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).

4) Pekerjaan beresiko tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.

b. Stres karena peran

Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, khususnya para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir


(10)

sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres.

c. Faktor interpersonal

Hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting di tempat kerja. Dukungan dari sesame pekerja, manajemen, keluarga, dan teman-teman diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu ada kepedulian pihak manajemen pada karyawannya agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.

d. Pengembangan karir

Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk berkarir, misalnya sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan untuk meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan merasa kehilangan harapan, tumbuh perasaan ketidakpastian ang dapat menimbulkan perilaku stres.

e. Struktur Organisasi

Struktur organisasi berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan secara kaku, pihak manajemen kurang mempedulikan


(11)

inisiatif karyawan, tidak melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak adanya dukungan bagi kreativitas karyawan.

f. Tampilan rumah-pekerjaan

Ketika pekerjaan berjalan dengan lancer, tekanan yang ada di rumah cenderung bisa dihilangkan. Bagi kebanyakan orang, rumah sebagai tempat untuk bersantai, mengumpulkan dan membangun kembali kekuatan yang hilang. Tetapi, ketika keheningan terganggu, bisa karena pekerjaan atau konflik di rumah, efek dari stres cenderung meningkat., (6) ketegangan dan kesalahan, (7) menurunnya kualitas hubungan interpesonal.

Uraian diatas menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi faktor penyebab terjadinya stres kerja pada wanita adalah stres karena peran. Wanita dituntut dapat menjalankan dua peran sekaligus yaitu menjadi seorang pekerja dan ibu rumah tangga.

B. Konflik Peran Ganda 1. Pengertian konflik peran ganda

Menurut Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2007) konflik peran ganda muncul ketika seseorang menerima pesan yang tidak sebanding berkenaan dengan perilaku peran yang sesuai.

Konflik secara umum merupakan suatu proses dimana individu atau kelompok mempersepsikan bahwa orang lain telah atau akan segera mengambil tindakan yang tidak sejalan dengan kepentingan pribadi individu tersebut (Baron, 2005).


(12)

Newcomb (dalam Kusumawati, 2007) menyatakan konflik peran berasal dari kumpulan-kumpulan harapan yang bertentangan, hal ini dirasakan individu jika salah satu dari dua kumpulan harapan-harapan peran saling bertentangan, dalam keadaan ini akan menimbulkan konflik karena menghadapi harapan-harapan yang tidak dapat disatukan sekaligus. Konflik peran ganda adalah peran yang sekaligus harus dimainkan seseorang sebab orang tersebut menduduki banyak jabatan, seperti seorang wanita yang berperan sebagai karyawati suatu perusahaan dan sebagai ibu rumah tangga (Gibson, 1990).

Selain itu Arinta & Azwar (dalam Kusumawati, 2007) menjelaskan bahwa konflik peran ganda bersifat psikologis dengan gejala antara lain, rasa bersalah, gelisah, tergantung, dan frustrasi. Konflik peran ganda muncul karena peran dengan orientasi berbeda sama-sama membutuhkan pengabdian yang baik.

Paden dan Buchler (Pratama, 2010) mendefinisikan konflik peran ganda merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh seseorang. Dipekerjaan, seorang wanita yang profesional diharapkan untuk agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya pada pekerjaan. Di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi dan menjaga suaminya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, konflik peran ganda adalah seseorang yang memiliki dua peran dan memiliki harapan-harapan dalam hidupnya yang bertentangan dengan kenyataan yang ada. Konflik peran ganda juga bersifat psikologis dengan beberapa gejala contohnya gelisah dan rasa bersalah.


(13)

2. Aspek-aspek konflik peran ganda

Greenhaus dan Beutell (dalam Hennessy, 2005) mendefinisikan tiga aspek dari konflik peran ganda, yaitu:

a. time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus.

b. strain-based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Ketegangan peran ini bisa termasuk stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah dan sakit kepala.

c. behavior-based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita yang merupakan manajer eksekutif dari suatu perusahaan mungkin diharapkan untuk agresif dan objektif terhadap pekerjaan, tetapi keluarganya mempunyai pengharapan lain terhadapnya. Dia berperilaku sesuai dengan yang diharapkan ketika berada di kantor dan ketika berinteraksi di rumah dengan keluarganya dia juga harus berperilaku sesuai dengan yang diharapkan juga.


(14)

Menurut Boles, James S., W. Gary Howard & Heather H. Donofrio (2001) Indikator-indikator konflik peran ganda adalah: Tekanan Kerja, Banyaknya tuntutan tugas, kurangnya kebersamaan keluarga, sibuk dengan pekerjaan dan konflik komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga.

Dari uraian di atas dapat di simpulkan ada beberapa aspek dari konflik peran ganda, yaitu konflik karena waktu, ketegangan dan karena pengharapan yang terlalu berlebih. Tekanan dan sibuk karena pekerjaan juga akan mengakibatkan konflik peran ganda. Hal ini menyebabkan kurangnya kebersamaan keluarga.

3. Faktor-faktor konflik peran ganda

Menurut Rini (dalam Kusumawati, 2007) faktor-faktor penyebab munculnya konflik peran ganda adalah sebagai berikut: Faktor Internal, Faktor Eksternal (Dukungan Suami, Kehadiran Anak, Masalah Pekerjaan), dan Faktor Relasional. Sementara muncul pendapat lain dari Holland (dalam Kusumawati, 2007) yang menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda, diantaranya: Bakat, Inteligensi, Jenis Kelamin, dan Kepribadian. Menjalankan dua peran sekaligus secara tidak langsung memberikan dampak baik bagi wanita itu sendiri maupun bagi lingkungan keluarga dan lingkungan kerja. Wanita berperan ganda dituntut untuk berhasil dalam dua peran yang bertentangan, dirumah wanita dituntut untuk berperan subordinat (memiliki kedudukan dibawah suami) dan menunjang kebutuhan keluarga dengan mengurus suami dan anak-anak. Sementara ditempat kerja mereka dituntut untuk mampu bersikap mandiri dan dominan (Munandar, 1985). Disebutkan juga untuk memuaskan tuntutan dari satu


(15)

atau dua peran tertentu, individu membutuhkan sebagian besar waktu dan usahanya. Masalah yang dihadapi wanita peran ganda bukan hanya tuntutan kedua peran yang dijalankan, akan tetapi masalah kurangnya toleransi serta bantuan yang diberikan oleh orang lain khususnya suami. Rini (dalam Kusumawati, 2007) menyatakan jika suami kurang memberikan tolerasi karena merasa terancam, tersaingi, cemburu dengan status “bekerja” wanita peran ganda, maka kedua peran yang dijalankan menimbulkan beban ganda, bahkan menganggap suami tidak mengerti dengan keadaan wanita peran ganda. Kemudian adanya hambatan promosi menjadi permasalahan pada wanita peran ganda karena muncul pandangan bahwa wanita yang telah berkeluarga dianggap kurang mampu menjalankan pekerjaan dengan baik, karena selain tugas kantor, ada tugas lain yang harus dikerjakan (sebagai ibu rumah tangga) meskipun pada dasarnya mampu dan berprestasi. Hal semacam ini membuat wanita peran ganda merasa diperlakukan tidak adil dalam tempat kerjanya, sehingga dengan masalah-masalah yang muncul mengakibatkan konflik peran ganda pada wanita karier. Dimana konflik peran ganda secara umum dikatakan sebagai konflik antara dua peran yang bertentangan.

Uraian diatas menjelaskan ada tiga faktor penyebab munculnya konflik peran ganda yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor relasional. Selain itu ada juga ada faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda yaitu bakat, intelegensi, jenis kelamin, dan kepribadian. Faktor suami yangtakut tersaingi, merasa terancam, cemburu juga menyebabkan munculnya konflik peran ganda pada wanita yang melakukan dua peran sekaligus.


(16)

C. Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Stres kerja Pada Wanita Bekerja adalah salah satu cara untuk mendapatkan nafkah. Biasanya pria yang lebih dominan dalam mencari nafkah, namun di era globalisasi seperti sekarang peran wanita dalam dunia kerja tidak dapat di pungkiri, selain karena tingkat kebutuhan yang terus meningkat lapangan pekerjaan bagi wanita juga semakin luas. Bagi wanita yang belum berkeluarga, bekerja bisa jadi merupakan kebutuhan untuk membangun citra diri, bersosialisasi dengan banyak orang dan memiliki kemandirian dalam hal ekonomi, sedangkan bagi wanita yang telah berkeluarga bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Wanita yang bekerja terkadang dianggap kurang memperhatikan keluarganya, karena memiliki dua peran sekaligus yang masing-masing memiliki tuntutan yang sama pentingnya. Hal ini akan menimbulkan stres pada wanita jika tidak dapat menjalakan kedua perannya dengan baik, karena tekanan-tekanan yang di terima.

Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan. Cooper (1998) mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan.

Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya


(17)

mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Rice dalam pratama, 2010).

Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal dan eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek (Cooper, 1994). Menurut Morgan dan King (1986) Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut stres kerja (Austin, 2004).

Konflik secara umum merupakan suatu proses dimana individu ataukelompok mempersepsikan bahwa orang lain telah atau akan segera mengambil tindakan yang tidak sejalan dengan kepentingan pribadi individu tersebut (Baron, 2005). Kemudian Newcomb (dalam Kusumawati, 2007) menyatakan konflik peran berasal dari kumpulan-kumpulan harapan yang bertentangan, hal ini dirasakan individu jika salah satu dari dua kumpulan harapan-harapan peran saling bertentangan, dalam keadaan ini akan menimbulkan konflik karena menghadapi harapan-harapan yang tidak dapat disatukan sekaligus. Peran ganda adalah peran yang sekaligus harus dimainkan seseorang sebab orang tersebut menduduki banyak jabatan, seperti seorang wanita yang berperan sebagai karyawati suatu perusahaan dan sebagai ibu rumah tangga (Gibson, 1990). Selain itu Arinta & Azwar (dalam Kusumawati, 2007) menjelaskan bahwa konflik peran ganda bersifat psikologis dengan gejala antara lain, rasa bersalah, gelisah,


(18)

tergantung, dan frustrasi. Konflik peran ganda muncul karena peran dengan orientasi berbeda sama-sama membutuhkan pengabdian yang baik.

Wanita yang memiliki dua peran sekaligus dan tidak dapat menjalankan perannya secara seimbang akan mengalami stres karena adanya tuntutan dari lingkungan keluarga dan lingkungan tempat kerja. Apabila wanita dapat membagi waktunya dengan seimbang dan lingkungan yang mendukung tidak akan menimbulkan stres kerja dan konflik peran pada wanita.

D. Hipotesis

Berdasarkan dari beberapa teori yang telah diuraikan diatas maka hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini adalah:


(1)

2. Aspek-aspek konflik peran ganda

Greenhaus dan Beutell (dalam Hennessy, 2005) mendefinisikan tiga aspek dari konflik peran ganda, yaitu:

a. time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus.

b. strain-based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Ketegangan peran ini bisa termasuk stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah dan sakit kepala.

c. behavior-based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita yang merupakan manajer eksekutif dari suatu perusahaan mungkin diharapkan untuk agresif dan objektif terhadap pekerjaan, tetapi keluarganya mempunyai pengharapan lain terhadapnya. Dia berperilaku sesuai dengan yang diharapkan ketika berada di kantor dan ketika berinteraksi di rumah dengan keluarganya dia juga harus berperilaku sesuai dengan yang diharapkan juga.


(2)

Menurut Boles, James S., W. Gary Howard & Heather H. Donofrio (2001) Indikator-indikator konflik peran ganda adalah: Tekanan Kerja, Banyaknya tuntutan tugas, kurangnya kebersamaan keluarga, sibuk dengan pekerjaan dan konflik komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga.

Dari uraian di atas dapat di simpulkan ada beberapa aspek dari konflik peran ganda, yaitu konflik karena waktu, ketegangan dan karena pengharapan yang terlalu berlebih. Tekanan dan sibuk karena pekerjaan juga akan mengakibatkan konflik peran ganda. Hal ini menyebabkan kurangnya kebersamaan keluarga.

3. Faktor-faktor konflik peran ganda

Menurut Rini (dalam Kusumawati, 2007) faktor-faktor penyebab munculnya konflik peran ganda adalah sebagai berikut: Faktor Internal, Faktor Eksternal (Dukungan Suami, Kehadiran Anak, Masalah Pekerjaan), dan Faktor Relasional. Sementara muncul pendapat lain dari Holland (dalam Kusumawati, 2007) yang menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda, diantaranya: Bakat, Inteligensi, Jenis Kelamin, dan Kepribadian. Menjalankan dua peran sekaligus secara tidak langsung memberikan dampak baik bagi wanita itu sendiri maupun bagi lingkungan keluarga dan lingkungan kerja. Wanita berperan ganda dituntut untuk berhasil dalam dua peran yang bertentangan, dirumah wanita dituntut untuk berperan subordinat (memiliki kedudukan dibawah suami) dan menunjang kebutuhan keluarga dengan mengurus suami dan anak-anak. Sementara ditempat kerja mereka dituntut untuk mampu bersikap mandiri dan dominan (Munandar, 1985). Disebutkan juga untuk memuaskan tuntutan dari satu


(3)

atau dua peran tertentu, individu membutuhkan sebagian besar waktu dan usahanya. Masalah yang dihadapi wanita peran ganda bukan hanya tuntutan kedua peran yang dijalankan, akan tetapi masalah kurangnya toleransi serta bantuan yang diberikan oleh orang lain khususnya suami. Rini (dalam Kusumawati, 2007) menyatakan jika suami kurang memberikan tolerasi karena merasa terancam, tersaingi, cemburu dengan status “bekerja” wanita peran ganda, maka kedua peran yang dijalankan menimbulkan beban ganda, bahkan menganggap suami tidak mengerti dengan keadaan wanita peran ganda. Kemudian adanya hambatan promosi menjadi permasalahan pada wanita peran ganda karena muncul pandangan bahwa wanita yang telah berkeluarga dianggap kurang mampu menjalankan pekerjaan dengan baik, karena selain tugas kantor, ada tugas lain yang harus dikerjakan (sebagai ibu rumah tangga) meskipun pada dasarnya mampu dan berprestasi. Hal semacam ini membuat wanita peran ganda merasa diperlakukan tidak adil dalam tempat kerjanya, sehingga dengan masalah-masalah yang muncul mengakibatkan konflik peran ganda pada wanita karier. Dimana konflik peran ganda secara umum dikatakan sebagai konflik antara dua peran yang bertentangan.

Uraian diatas menjelaskan ada tiga faktor penyebab munculnya konflik peran ganda yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor relasional. Selain itu ada juga ada faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda yaitu bakat, intelegensi, jenis kelamin, dan kepribadian. Faktor suami yangtakut tersaingi, merasa terancam, cemburu juga menyebabkan munculnya konflik peran ganda pada wanita yang melakukan dua peran sekaligus.


(4)

C. Hubungan Konflik Peran Ganda dengan Stres kerja Pada Wanita Bekerja adalah salah satu cara untuk mendapatkan nafkah. Biasanya pria yang lebih dominan dalam mencari nafkah, namun di era globalisasi seperti sekarang peran wanita dalam dunia kerja tidak dapat di pungkiri, selain karena tingkat kebutuhan yang terus meningkat lapangan pekerjaan bagi wanita juga semakin luas. Bagi wanita yang belum berkeluarga, bekerja bisa jadi merupakan kebutuhan untuk membangun citra diri, bersosialisasi dengan banyak orang dan memiliki kemandirian dalam hal ekonomi, sedangkan bagi wanita yang telah berkeluarga bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Wanita yang bekerja terkadang dianggap kurang memperhatikan keluarganya, karena memiliki dua peran sekaligus yang masing-masing memiliki tuntutan yang sama pentingnya. Hal ini akan menimbulkan stres pada wanita jika tidak dapat menjalakan kedua perannya dengan baik, karena tekanan-tekanan yang di terima.

Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan. Cooper (1998) mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan.

Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya


(5)

mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Rice dalam pratama, 2010).

Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal dan eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek (Cooper, 1994). Menurut Morgan dan King (1986) Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut stres kerja (Austin, 2004).

Konflik secara umum merupakan suatu proses dimana individu ataukelompok mempersepsikan bahwa orang lain telah atau akan segera mengambil tindakan yang tidak sejalan dengan kepentingan pribadi individu tersebut (Baron, 2005). Kemudian Newcomb (dalam Kusumawati, 2007) menyatakan konflik peran berasal dari kumpulan-kumpulan harapan yang bertentangan, hal ini dirasakan individu jika salah satu dari dua kumpulan harapan-harapan peran saling bertentangan, dalam keadaan ini akan menimbulkan konflik karena menghadapi harapan-harapan yang tidak dapat disatukan sekaligus. Peran ganda adalah peran yang sekaligus harus dimainkan seseorang sebab orang tersebut menduduki banyak jabatan, seperti seorang wanita yang berperan sebagai karyawati suatu perusahaan dan sebagai ibu rumah tangga (Gibson, 1990). Selain itu Arinta & Azwar (dalam Kusumawati, 2007) menjelaskan bahwa konflik peran ganda bersifat psikologis dengan gejala antara lain, rasa bersalah, gelisah,


(6)

tergantung, dan frustrasi. Konflik peran ganda muncul karena peran dengan orientasi berbeda sama-sama membutuhkan pengabdian yang baik.

Wanita yang memiliki dua peran sekaligus dan tidak dapat menjalankan perannya secara seimbang akan mengalami stres karena adanya tuntutan dari lingkungan keluarga dan lingkungan tempat kerja. Apabila wanita dapat membagi waktunya dengan seimbang dan lingkungan yang mendukung tidak akan menimbulkan stres kerja dan konflik peran pada wanita.

D. Hipotesis

Berdasarkan dari beberapa teori yang telah diuraikan diatas maka hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini adalah: