DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM TIONGHOA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indones

  

DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM TIONGHOA

DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA

(Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)

Skripsi

  

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

  Oleh Dika Prasetyo Wibisono

  NIM: 06 4114 018

  

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

  i ii

iii

  

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Saya memang seseorang yang berjalan lamban, tetapi saya tidak akan berjalan ke belakang.

  

(Abraham Lincoln)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap

kali kita jatuh.

  

(Confusius)

Salah satu penemuan terbesar yang pernah ditemukan manusia adalah bahwa mereka akhirnya

menyadari jika mereka bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak mereka sangka bisa

mereka lakukan.

  

(Henry Ford)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

  Sang Maha Kasih, Yesus Kristus Bapak Ibu yang telah membuat aku ada

  Mbak mita yang memotivasiku Serta semua orang yang kukasihi iv

  

ABSTRAK

Wibisono, Dika Prasetyo. 2013. Dominasi dan Hegemoni Kerajaan Demak Terhadap Kaum

Tionghoa dalamm novel Putri Cina Karya Sindhunata. Kajian Sosiologi Sastra.

  Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

  Penelitian ini mengkaji dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa di dalam novel Putri Cina karya Sindhunata. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa.

  Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis alur cerita; kemudian menggunakan hasil analisis alur untuk lebih memahami dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.

  Hasil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Alur dalam novel Putri Cina adalah alur campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak berjalan secara kronologis atau progresif. Ini dikarenakan ada beberapa peristiwa yang mengalami flash back. Konflik utama dalam novel

Puteri Cina sendiri adalah hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa.

(2) Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali sejak Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin Bun) dan berakhir ketika kerajaan Demak mengalahkan kerajaan Majapahit. Hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa yang terlihat dalam empat bidang yaitu hegemoni agama, hegemoni politik, hegemoni ekonomi dan hegemoni budaya. Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukan oleh Gramsci yaitu Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decandent), dan hegemoni yang minimum.

  Dominasi kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa diawali sejak Demak dikuasai oleh Raden Patah (Jin Bun) dan berakhir ketika kerajaan Demak mengalahkan kerajaan Majapahit. Hegemoni agama kerajaan Demak digambarkan ketika Raden Patah mendirikan kerajaan Demak. Hegemoni politik kerajaan Demak dijabarkan ketika kaum Tionghoa dipaksa tunduk pada aturan yang telah dibuat oleh kerajaan Demak. Hegemoni ekonomi kerajaan Demak digambarkan pada saat Kaum Tionghoa yang mayoritas bekerja sebagai pedagang menjadi sapi perahan. Kaum Tionghoa hanya dianjurkan untuk berdagang dan berdagang saja demi kemakmuran kerajaan. Hegemoni budaya kerajaan Demak terdekripsikan ketika kaum Tionghoa dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan budaya mereka sendiri. Hegemoni total (integral) Gramsci tampak ketika kerajaan Demak telah berhasil menguasai kerajaan Majapahit sepenuhnya. Hegemoni merosot kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa ditunjukkan oleh rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh kaum Tionghoa atas kebijakan yang telah dibuat oleh Raden Patah. Hegemoni minimum dalam kaitannya dengan analisis novel Putri Cina hegemoni minimum ditunjukkan oleh kediktatoran Raden Patah yang dirasakan sudah tidak lagi memandang kaun Tionghoa sebagai bagian dari rakyat kerajaan Demak.

  Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dominasi dan hegemoni yang terjadi pada para tokoh dalam novel Puteri Cina terjadi karena ketamakan kerajaan Demak terhadap kekuasaan. Kaum Tionghoa menghadapi kekerasan dan pembunuhan bahkan pemerkosaan. Keadilan terhadap kaum Tionghoa sengaja diabaikan karena pihak penguasa sibuk mengurusi urusan kekuasaan mereka masing- masing. Pihak yang berkuasa lebih mementingkan tahta v mereka daripada mengurusi kehidupan rakyatnya. Akibatnya rakyat menjadi kehilangan arah, dan dengan mudah dapat dihasut oleh pihak yang mengambil keuntungan pribadi dari kekacauan yang ditimbulkan. vi

  

ABSTRACT

Wibisono, Dika Prasetyo. 2013. The Domination and Hegemony of Demak Kingdom

toward the Tionghoa. The Sosiology Literature. A Thesis. Indonesian Literature, Faculty of

Literature, Sanata Dharma University. Yogyakarta.

  This thesis studied about the domination and hegemony of Demak kingdom toward the Tionghoa in Putri Cina novel written by Sindhunata. The aim of this study was to analyze and describe the domination hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa.

  This study used sosiology literature approach. Begun with structure of the text analyses which is focused on plot analyses then continued with the domination and hegemony of Demak kingdom.

  The Demak’s kingdom domination begun at Raden Patah controlled Demak Kingdom. The hegemony consisted of four aspects. Those were religion, politics, culture and economics. There are three level of Hegemony based on Gramsci’s theory, total hegemony (integral), slump hegemony (decadent) and third minimum hegemony.

  The method used in this study was descriptive method. The steps done in this study was through the plot story analysis; then used the result of plot of the story to really comprehend the domination and hegemony of Demak kindoms towards the Tionghoa.

  The result of this research were (1) The plot of Putri Cina novel was mixture plot. The events did not happen chronologically or progresive. This was because some of the events were flash back. The main conflict in Putri Cina novel itself was the domination and hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa. (2) The domination of Demak kingdom was begun at Demak controlled by Raden Patah. Hegemony of Demak kingdom towards the Tionghoa seen in this novel consisted of four aspects. Those were religion, politics, economics and culture.

  The domination of Demak kingdom described when Raden Patah was controlled. The religion hegemony of Demak kingdom described when Raden Patah built Demak kingdom. The politics hegemony of Demak kingdom happened when the Tionghoa forced to obey the rules made by Demak kingdom. The economic hegemony of Demak kingdom was described when the Tionghoa as the majority worked as traders became the colonized. The Tionghoa was only suggested to trade and only trade for the sake of the wealth of the country. The culture hegemony of Demak kingdom described when the Tionghoa banned to hold the activities deal with own culture.

  As the thesis result, it can be concluded that the hegemony of the characters in Putri Cina novel happened because the arrogancy of Demak and Majapahit towards the hegemony. The Tionghoa faced the cruelty and killing and also rape. The justice towards the Tionghoa ignored by the authority because they were busy to mantain their authority. The authority people their aothority than maintaining life of their population. As a result, their population lost their ways and easy to be instigated by the people who take the advantages from the chaos happened. vii

KATA PENGANTAR

  viii

  

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akhir dalam menempuh ujian sarjana pada Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan

dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yaitu: 1.

  S.E Peni Adji, S.S, M.Hum sebagai dosen pembimbing I, terima kasih

telah meluangkan banyak waktu untuk memberi masukan dan

membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

  2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, sebagai dosen pembimbing II, terima kasih

atas segala bimbingan dan masukan kepada saya untuk meyelesaikan

skripsi ini.

3. Seluruh dosen jurusan Sastra Indonesia, yang telah dengan sabar membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Sastra Indonesia.

  4. Bapak dan ibu tercinta yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran

dan biaya sehingga dapat mendidik penulis sampai melangkah sejauh ini. ix

x

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ iii ABSTRAK ....................................................................................................... iv ABSTRACT ...................................................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................... viii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ ix PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................ x DAFTAR ISI ................................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

  1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1

  1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 5

  1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 5

  1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 5

  1.5 Tinjuan Pustaka ........................................................................... 6

  1.6 Landasan Teori ............................................................................ 11

  1.6.1 Teori Alur ........................................................................ 10

  1.6.2 Teori Sosiologi Sastra ..................................................... 12

  1.6.3 Teori Dominasi dan Hegemoni Gramsci ....................... 14

  1.6.3.1 Teori Dominasi ………………………………………... 14

  1.6.3.2 Teori Hegemoni ……………………………………….. 17

  1.7 Metode Penelitian ....................................................................... 17

  1.7.1 Pendekatan ...................................................................... 21

  1.7.2 Metode Penelitian ........................................................... 21

  1.7.2.1 Metode Pengumpulan Data ............................. 22

  1.7.2.2 Metode Analisis Data ..................................... 23

  1.7.2.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ........... 24

  1.7.2.4 Sumber Data .................................................... 25

  1.8 Sistematika Penyajian ................................................................. 25 xi

  BAB II ANALISIS ALUR NOVEL PUTRI CINA KARYA ................... SINDHUNATA ............................................................................... 26

  2.1 Alur ............................................................................................. 26

  2.1.1 Tahap Situation (Tahap Penyituasian) ............................... 27 2.1.2 Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan ....

  Konflik .............................................................................. 29

  2.1.3 Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik) ........... 32

  2.1.4 Tahap Climax (Tahap Klimak) …………………………. 34

  2.1.5 Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian) ........................ 37

  2.2 Rangkuman ................................................................................. 40

  BAB III DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK TERHADAP KAUM TIONGHOA DALAM NOVEL PUTRI CINA KARYA SINDHUNATA ....................................... 43

  3.1 Kerajaan Demak .......................................................................... 45

  3.1.1 Dominasi Kerajaan Demak Terhadap Kaum Tionghoa ..... 46

  3.1.2 Hegemoni Kerajaan Demak Terhadap kaum Tionghoa … 51

  3.1.2.1 Hegemoni Agana Kerajaan Demak ……………… 53

  3.1.2.2 Hegemoni Politik Kerajaan Demak …………………… 60

  3.1.2.3 Hegemoni Ekonomi Kerajaan Demak …………………. 66

  3.1.2.4 Hegemoni Budaya Kerajaan Demak …………………... 67

  3.2 Rangkuman ................................................................................. 73

  BAB IV PENUTUP

  4.1 Kesimpulan ................................................................................................ 76

  4.2 Saran .......................................................................................................... 81 Daftar Pustaka .................................................................................................. 82 xii

  1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Sastra merupakan jalan untuk menyempurnakan hidup manusia. Melalui sastra seseorang mampu melihat dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya dan merencanakan apa yang akan dia perbuat. Manusia memerlukan kesenian untuk melengkapi kehidupannya.Kesenian tersebut dapat diperoleh salah satunya melalui sebuah karya sastra. Dunia sastra merupakan sebuah wadah seni yang dapat memberikan kepuasan ataupun pengetahuan yang diterima oleh pembaca melalui refleksinya terhadap karya sastra, realitas, dan imajinasi. Hanya saja, yang membedakannya dengan seni yang lain adalah sastra memiliki aspek bahasa (Semi,1984:39).

  Karya sastra muncul dari proses kreatif pengarang yang secara tidak sadar telah meununtunnya ke suatu dunia imajinasi. Inspirasi yang diperoleh pengarang dapat menggiring daya kreasi pengarang ke dalam suatu dunia yang tak terbatas ruang dan waktu.Pengarang memiliki sebuah hak otonom untuk menciptakan sebuah dunianya.Sumber inspirasi juga dapat diperoleh dari hasil observasi maupun pengalaman empiris oleh pengarang itu sendiri. Hal ini juga dijelaskan oleh Sumardjo (1979:65) yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan sekitarnya. Ada banyak kejadian yang dapat memotivasi seseorang untuk menciptakan karya sastra.Di antaranya adalah peristiwa sejarah, pengalaman pribadi, tragedi kemanusiaan maupun peristiwa politik dapat menjadi cikal bakal sebuah karya sastra.

  Sebuah karya sastra dijadikan alat pengontrol sosial dalam masyarakat.Karya sastra bagi pembaca dapat menjadi gambaran suatu kehidupan sosial sebuah masyarakat.Di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai humanisme yang secara implisit maupun eksplisit terdapat di dalam substansi sebuah karya.

  Hal ini juga terdapat dalam novel Putri Cina .

  Di dalam novel Putri Cina, Sindhunata mendeskripsikan cerita yang bersumber pada kenyataan sosial dalam masyarakat.Kenyataan ini tampak dalam usaha penegasan kekuasaan atau usaha menciptakan suatu hegemoni antarelemen masyarakat. Novel ini menggambarkan proses hegemoni di tanah Jawa yang selalu berakhir dengan cara kekerasan dan menggunakan cara-cara yang licik. Kerajaan Demak dan Majapahit sebagai pihak yang memiliki hegemoni berusaha untuk dapat melanjutkan kekuasaan yang dimilikinya selama mungkin.Namun, ketika pihak penguasa tidak mampu mengatasi berbagai persoalan, diperlukan kambing hitam sebagai pembenaran atas ketidakmampuan penguasa.Di dalam hal ini identitas menjadi suatu alat politik.Kaum Cina sebagai minoritas dipaksa menjadi tameng pihak penguasa.

  Putri Cina bercerita tentang seorang putri berkebangsaan Cina yang

  diangkat menjadi selir Prabu Brawijaya.Dia sangat dibenci oleh permaisuri Prabu Brawijaya yaitu Putri Cempa.Untuk meredam kebencian ini, Prabu Brawijaya mengasingkan Putri Cina ke Palembang ke tempat anaknya yaitu Prabu Arya

  Damar. Di Palembang Putri Cina melahirkan dua anak sekaligus yaitu Raden Patah dan Raden Kusen yang kelak akan mendirikan kerajaan Demak di tanah Jawa.

  Dari Palembang Putri Cina melakukan pengembaraan ke Pulau Jawa.Di pulau Jawa, dia melihat bagaimana kaumnya dianiaya bahkan dibunuh demi melanggengkan kekuasaan pihak penguasa dalam hal ini kaum Jawa.Dalam novel ini terlihat jelas konflik antara kaum Jawa dengan kaum Tionghoa. Hal tersebut diperkuat dengan dialog antara tokoh Sabdopalon-Nayagenggong dengan Putri Cina:

  “Orang yang dianggap bersalah dan ditimpai kesalahan adalah Paduka (Putri Cina) dan kaum Paduka” (Sindhunata 2007:71).

  Dalam kutipan di atas tampak bagaimana kaum Jawa (kerajaan Majapa hit) mencari “kambing hitam” bagi keberlangsungan kekuasaan. Kaum Tionghoa dijadikan korban bagi pertikaian yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit dengan segala hegemoni dan otoritas yang dimiliki dapat mencari korban atas rivalitas politik yang terjadi diantara mereka.

  Kerajaan Majapahit dengan cerdik mencari kambing hitam atas kesalahan yang dilakukan oleh pihak penguasa.

  Hegemoni yang dimiliki oleh kerajaan Demak dan Majapahit juga telah mampu mengatur aspek kehidupan dan adat-istiadat kaum Cina. Kejadian tersebut tampak dalam kutipan berikut ini:

  “Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang, dan bahkan disukai juga oleh orang-orang pribumi.Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat mereka di kelenteng-kelenteng.Bahkan mereka tidak diperbolehkan merayakan tahun baru Cina. Orang Cina yang nekat terpaksa merayakan tahun barunya dengan sembunyi- sembunyi”(Sindhunata 2007:110).

  Dari kutipan-kutipan di atas terlihat bahwa ada usaha kerajaan Demak untuk merepresi kaum Cina.Konflik antara tokoh dikemas dengan nuansa politik yang cukup kental.Keinginan yang besar kerajaan Demak dan Majapahit untuk melanggengkan kekuasaan telah mengakibatkan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dipersalahkan.

  Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengangkat novel Putri

  

Cina dengan gambaran hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit sebagai objek

  penelitian. Penulis akan mengkaji benturan diantara sesama kaum Jawa yang mengkondisikankaum Cina sebagai korbannya.

  Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra.Menurut Ratna (2003:2) pendekatan sosiologi sastra mempunyai hubungan yang dialektik antara karya sastra dan masyarakat.Jadi secara sosiologis karya sastra tidak bisa terlepas dari sebuah kelompok masyarakat. Dalam hal ini, analisis struktur yang akan dikaji oleh penulis adalah alur cerita Putri Cina. Hal ini dikarenakan alur yang terdapat di dalam novel ini dapat mendeskripsikan hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa

  Latar sosial yang akan dianalisis dari novel Putri Cina adalah hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Tionghoa. Hegemoni ini digambarkan melalui konflik-konflik yang terjadi di dalam cerita.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana unsur alur yang ada dalam novel Putri Cina ?

  1.2.2 Bagaimana dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina?

1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan-rumusan masalah di atas, maka tujuan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Mendeskripsikan alur yang terdapat dalam novel Putri Cina ?

  1.3.2 Mendeskripsikan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kehidupan kaum Tionghoa dalam novel Putri Cina ?

1.4 Manfaat Penelitian

  Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan manfaat dari penelitian ini yaitu:

1.4.1 Dalam dunia sastra, khususnya sastra Indonesia sapat menambah khazanah sosiologi sastra.

  1.4.2 Dari segi praktis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi kesusastraan Indonesia yaitu apresiasi terhadap novel

  Putri Cina .

  1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi pembaca sastra untuk meninjau fenomena kehidupan sosial dalam novel yang ada di Indonesia.

1.5 Tinjauan Pustaka

  Novel ini pernah diresensi oleh Maria Hartiningsih di harian Kompas 23 September 2007.Hartiningsih menceritakan bahwa Putri Cina mengisahkan adanya pengkambinghitaman etnis Cina oleh etnis Jawa yang disusun secara rapi dan sistematis.Novel ini menggambarkan peralihan kekuasaan di tanah Jawa yang selalu berlumur darah dan pengkhianatan. Ketika raja tak mampu menghadapi beragam persoalan, akan selalu diperlukan kambing hitam. Identitas menjadi permainan politik. Di situ, memakukan identitas tunggal tak hanya berbahaya,tetapi juga kejam. Manusia terus mengulang sejarah itu dalam konteks kekuasaan yang berbeda-beda.Pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina juga terjadi waktu itu.Sejarah kontemporer mencatat pengkambinghitaman etnis Cina sejak 1740.

  Novel Putri Cina pernah dibahas di dalam Jurnal ilmiah kebudayaan

  

Sintesis Volume 6. Nomor 1, Maret 2008.Di dalam jurnal tersebut, Novita Dewi

  menulis makalah berjudul “Putri Pewarta Perdamaian”.Dewi mencoba melihat rekonsiliasi masyarakat pasca-konflik lewat imajinasi historis dalam novel karya Sindhunata Putri Cina.

  Rekonsiliasi akan pesan perdamaian dalam novel Putri Cina ditunjukkan pada bagaian awal dan akhir novel. Bahwa tokoh menerima ketidakjelasan identitasnya.Pesan ini menjadi mengena karena dikemas secara riuh dengan kisah- kisah peperangan, balas dendam, dan tentu saja pengkambinghitaman.Kisah-kisah tadi diangkat dari sejarah, mitos, cerita rakyat dan realitas politik modern yang menggarisbawahi kengerian dan kesia-siaan perang antarsaudara.Lebih-lebih, adanya narasi tokoh Putri Cina yang menerima takdirnya dan bersedia mengampuni musuh yang telah menfitnah dan memporakporandakan keluarganya.Hal ini merupakan narasi-narasi perdamaian dan rekonsiliasi yang dibayar oleh cinta dan kematian. Aroma cinta dan kematian juga tersirat dalam kisah perjalan cinta berujung maut antara dua anak manusia berbeda warna kulit Gurdo Paksi-Giok Tien yang menjadi titik bidik buku ini berdiri di atas lapisan- lapisan kisah lain yang secara beragam melibatkan cinta dan kematian sebagai tema. Karya ini juga menghadirkan ruang untuk berkontemplasi bahwa “melindungi semua orang, Jawa maupun Cina” tidak hanya dibebankan pada senapati, tetapi merupakan tugas semua manusia yang (masih) peduli akan kemanusiaannya. Adanya hibriditas, identitas mengambang, warga dunia dan istilah muluk lainnya diidealkan tidak hanya cocok untuk budaya, tetapi diharapkan bisa bersenyawa dengan ekonomi dan atau politik lintas etnis (Dewi, 2008).

  Novel Putri Cina pernah dibahas dalam peluncuran dan bedah novel Putri

  Cina

  dengan tema “Narasi dan Identitas Putri Cina” di Bandung pada tanggal 11 Desember 2007 yang dimuat dalam majalah BASIS edisi Januari-Februari 2008 oleh Karlina Supelli dan Bambang Sugiharto. Karlina Supelli, dosen STF Driyakara Jakarta membahas novel Putri Cina dengan judul Putri Cina: Tragedi dan Transendensi. Karlina Supelli menyatakan bahwa Putri Cina adalah perjalanan memasuki problematika eksistensi dengan ketidakpastian hakikat diri serta kegamangan identitas hanyalah merupakan bagian. Novel ini (Putri Cina) adalah penelusuran terhadap situasi manusia sekaligus kondisi eksistensinya dengan pencabangan pokok-pokoknya ke banyak sekali peristiwa, tetapi semuanya mengerucut ke satu hal: kekerasan bukan perkara yang menyergap manusia secara gaib (Putri Cina halaman 63). Kekerasan mengakar dalam kondisinya sebagai manusia (BASIS, 2008: 36).

  Putri Cina membawa pesan yang lama sudah ada bersama kita, bahkan

  sejak mitos kejatuhan Adam.Yang pertama, kondisi asali manusia adalah konflik yang tak berkesudahan.Kedua, kondisi eksternalnya tidak mungkin berubah, kecuali manusia mengenali sosok tersembunyi yang paling mencemaskan, yaitu kerapuhan hatinya.Putri Cina menghasilkan ledakan emosional pembacanya.Kesedihannya terasa senyap. Mungkin karena kita (pembaca) terbiasa dengan emosi mentah sebagaimana ditampilkan sinetron, debat para politisi, tayangan berita, dan peristiwa sehari-hari di jalan raya. Kita hanya terpicu secara emosional jika pengarang menyuguhkan kepada kita informasi lengkap mengenai tokoh-tokoh utama, baik karakter, tampilan fisik, masa lalu, maupun jatuh bangun emosinya.Putri Cina memaksa kita (pembaca) mengimajinasikan itu semua melalui dialog-dialog batinnya, dalam penafsirannya atas peristiwa, atau dalam langkah berikut yang ia (Putri Cina) pilih setiap kali ia selesai mendengarkan dongeng, atau kala dongeng menjelma di dalam dirinya ( BASIS: 2008: 41).

  Bambang Sugiharto dalam makalahnya yang berjudul Putri Cina :

  

Semacam Genealogi Kekerasan menyatakan bahwa novel Putri Cina adalah novel

  yang tidak lazim. Ketidaklaziman disebabkan karena tokoh (Putri Cina) adalah sosok perempuan anonim, representasi simbolik perempuan Tionghoa umumnya, namun sekaligus juga konkret, sebab ia muncul dalam setiap zaman dalam sosok- sosok perempuan berbeda, yang terpintal dalam aneka peristiwa. Novel ini (Putri Cina) tak lazim juga karena pada akhirnya agaknya semua tokoh di sana hanyalah konfigurasi konseptual untuk membangun wacana tentang hakikat kekerasan dan mekanisme pengkambinghitaman, sekaligus pula ia (novel Putri Cina) semacam penulisan ulang sejarah dalam rangka merumuskan kerumitan masalah identitas (BASIS, 2008: 43).

  Novel Putri Cina menggunakan kerangka, bahasa dan gaya bercerita ala dongeng motologis. Maka, apapun bisa menjadi apapun.Alur cerita bisa menjadi surealis, peristiwa-peristiwa yang mungkin nyata sengaja dipandu dengan keyakinan dan metafora yang tak mesti sepenuhnya logis.Kepala bisa tiba-tiba menjadi mawar hitam, wajah bisa dijinjing di tangan, orang terbang ke Cina hanya naik layangan, anjing beribu manusia, dan sebagainya.Alhasil, membaca novel Putri Cina adalah bagaikan membaca tulisan purba babad Jawa.Di dalamnya fakta dan fiksi saling berkelit dan dengan amat bebasnya (BASIS, 2008: 45).

  Yang menonjol dari novel ini adalah upaya pelacakan identitas, yang berakhir pada semacam genealogi kekerasan beserta mekanisme kambing hitamnya.Genealogi kekerasan di sini dalam arti pelacakan akar-akar yang telah membentuk situasi-situasi penuh dilemma dan kekerasan hingga hari ini.

  Kepentingan reflektif-filosofis ini memang membuat gaya dan kerangka mitologis menjadi siasat yang strategis (BASIS, 2008: 45).

  Novel Putri Cina pernah dianalisis dalam bentuk skripsi oleh Christhoper Woodrich (2011) dengan judul Pengaruh Kerusuhan Mei 1998 dalam Putri Cina.

  Woordrich (2011: 106) mengatakan bahwa Kerusuhan Mei 1998 telah sangat mempengaruhi pikiran warga Cina di Indonesia. Perkosaan, pembunuhan, dan penjarahan massal itu telah meninggalkan bekas di hati mereka yang tidak mudah hilang. Penulisan Putri Cina bukanlah sekadar penulisan novel, tetapi pengabadian suatu pengalaman dalam bentuk tulisan. Hal-hal yang terjadi di dalam novel mempunyai maksud untuk mencatat pengalaman dan keterjadian untuk masa depan, supaya orang dapat memahami apa yang dialami. Meskipun ditulis secara alegoris, kenyataan sangat menonjol. Putri Cina mengemukakan kenyataan pahit yang harus dipahami. Novel ini juga menyampaikan suatu pesan,bahwa perlu ada kebhinekatunggalikaan supaya negeri ini (Indonesia).

  Berdasarkan berbagai analisis di atas, terlihat bahwa novel Putri Cina bukanlah sebuah karya satra biasa. Novel ini sengaja ditulis oleh Sindhunata untuk menggambarkan bagaimana sejarah kelam yang dialami oleh kaum Tionghoa sejak zaman dahulu. Penguasa pada zaman dulu menggunakan kaum Tionghoa sebagai pihak yang dikorbankan untuk melanggengkan kekuasaan yang telah dimiliki oleh pihak penguasa. Putri Cina merupakan gabungan antara tragedi dengan peristiwa sejarah Jawa. Hal inilah yang menarik penulis untuk mengangkat novel Putri Cina dengan dominasi dan hegemoni kerajaan Demak terhadap kaum Tionghoa.

1.6 Landasan Teori

  Untuk dapat memahami hegemoni kerajaan Demak dan Majapahit terhadap kaum Cina dalam novel Putri Cina penulis menggunakan teori alur, sosiologi sastra dan konsep hegemoni.

1.6.1 Teori Alur

  Alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain (Stanton dalam Nurgiyantoro 2010:113).

  Sudjiman (1988:30) menambahkan bahwa alur merupakan peristiwa- peristiwa yang diurutkan untuk membangun tulang punggung cerita.Peristiwa- peristiwa tidak hanya meliputi yang bersifat fisik seperti cakapan/lakuan, tetapi termasuk perubahan sikap tokoh yang mengubah jalan nasib.

  Semua peristiwa yang terjadi dalam sebuah teks sastra tidak selalu dimasukkan dalam tahapan alur, hanya peristiwa-peristiwa yang potensial yang dapat menjalankan sebuah alur cerita saja.Peristiwa-peristiwa ini juga disebut dengan peristiwa penting.Peristiwa penting adalah kejadian-kejadian yang mempengaruhi gerak sebuah alur cerita.Dalam sebuah teks sastra, peristiwa penting ini berkembang dengan sifat yang saling terkait sehingga menciptakan sebuah alur cerita. Untuk menganalisis sebuah alur cerita, yang harus dirunut dan dianalisis hanya kejadian-kejadian yang termasuk dalam peristiwa penting saja (Singgalingging: 2009: 14).

  Menurut Nurgiyantoro (2010:149), tahapan alur dapat dibagi menjadi lima tahapan yaitu, (1) tahap situation atau tahap penyituasian, (2) tahap generating atau tahap pemunculan konflik, (3) tahap rising action atau tahap

  circumstances

  peningkatan konflik, (4) tahap climax atau tahap klimaks, dan (5) tahap denouement atau tahap penyelesaian.

  Tahap penyituasian adalah tahapan yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2010: 149).

  Tahap pemunculan konflik adalah tahap ketika konflik berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap peningkatan konflik merupakan tahapan ketika konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.

  Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan (Nurgiyantoro, 2010:149).

  Tahap klimaks merupakan tahapan ketika konflik yang terjadi mencapai titik intensitas puncak.Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memilki lebih dari satu klimaks, namun tetap ada satu klimaks utama.Tahap penyelesaian adalah tahapan konflik yang telah memasuki babak penyelesaian atau ketegangan dikendorkan. Dalam tahap ini, konflik-konflik yang lain atau konflik-konflik tambahan (jika ada) diberi jalan keluar atau ceritanya diakhiri (Nurgiyantoro, 2010:150).

1.6.2 Sosiologi Sastra

  Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner antara sosiologi dengan ilmu sastra (Wiyatmi,2006:30). Sosiologi sastra adalah studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial (Swingewood via Faruk.2005:1). Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi (Ratna, 2010:332).

  Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial.Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di lingkungan sosial dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.

  Fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.

  Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antara peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran realitas sosial , atau yang hendak digambarkan.

1.6.3 Teori Dominasi dan Hegemoni

1.6.3.1 Dominasi

  Arti dominasi dalam prespektif teori kritis adalah suatu kekuasaan yang paling dominan, berasal dari luar diri manusia, sangat mempengaruhi dan turut mengatur seluruh aktivitas dan kegiatan berpikir serta tingkah laku manusia, sementara manusia menerimanya tanpa landasan kesadaran yang utuh (Ginting, 2012:42).

  Sementara itu, arti dan bentuk dominasi yang berkembang di masyarakat hadir dalam rupa yang sangat variatif. Dominasi dapat berupa sistem birokrasi, hukum pasar, bentuk-bentuk kebudayaan yang memaksakan, ilmu pengetahuan, ideologi, bahkan filsafat. Dominasi itu disadari atau tidak disadari telah melahirkan disorientasi nilai, penyimpangan eksistensi, alineasi, budaya tunggal yang mematikan budaya pluralisme, memusnahkan budaya minoritas. Singkatnya dominasi meletakkan manusia pada titik nadir terrendah dalam nilai-nilai kemanusian (Ginting, 2012:42).

  Secara lebih spesifik (Ginting, 2012:42) membagi dominasi menurut bidangnya yaitu dominasi birokrasi, dominasi budaya. Dominasi birokrasi dikemukakan oleh Max Webber sedangkan dominasi budaya dianalisis oleh Jurgen Habermas.

  Birokrasi menurut Max Webber mengacu pada mengacu kepada kasus- kasus pemaksaan kekuasaan, tatkala seseorang pelaku menuruti perintah spesifik yang dikeluarkan orang lain. Menawarkan bentuk-bentuk hadiah, penghargaan, materiil, kehormatan sosial, merupakan bentuk paling meresap dari ikatan yang mengikat antara pengikut dan pimpinan. Ditambahkan bahwa telah terjadi dominasi dalam organisasi birokrasi yang berskala besar. Weber memandang bahwa birokrasi sudah tidak lagi efisien, akan tetapi menghasilkan korban yang bersifat psikologis atau emosional. Ikatan kesetiaan pribadi yang memberi arti dan tujuan hidup di masa lampau dirusakkan oleh impersonalitas birokrasi. Kepuasan dan kesenangan mencetuskan perasaan secara spontan ditekan oleh tuntutan taat pada spesialisasi sempit, rasional dan sistematis dalam sebuah kantor birokrasi. Singkatnya, logika efesiensi telah menghancurkan perasaan dan emosi manusia secara sistematis (Weber via Ginting, 2012:45).

  Suatu ciri yang utama dalam birokrasi adalah keteraturan. Setiap birokrasi harus menghasilkan sebuah sistem kategori yang dapat memberikan tempat pada segala sesuatu di dalam yuridiksi tertentu, serta dapat menjadi refrens untuk menangani segala sesuatu. Karena administrasi birokrasi berlangsung kontinyu dalam jangka waktu tertentu, maka sistem kategori ini berkembang. Ada superioritas (superiority) birokrasi yang memandang kesemestaan persoalan sebagai hal kacau balau, tidak tersistematisasi, bisu menanti untuk diubah menjadi keadaan tertib, yang menembus berkat adanya administrasi. Akhirnya, birokrasi menghasilkan suatu gaya taksonomik (sifat tergolong-golong), yang memungkinkan terbawa atau menjalar secara berhasil ke dalam lingkungan kehidupan sosial lainnya. Selanjutnya, yang lebih fatal lagi adalah birokrasi kurang bersifat menstimulus timbulnya fantasi kreatif dan cenderung memfiksasi daripada menginovasi. Weber mengatakan bahwa kekuasaan yang baik ialah bersifat tradisionil, kharismatik, legal dan rasional, sebagai kemungkinan bahwa seorang pelaku akan mampu mewujudkan gagasannya sekalipun ditentang orang lain, dengan siapa pelaku itu berada dalam hubungan sosial (Webber via Ginting, 2012:47).

  Sementara arti dan bentuk dominasi budaya menurut Habermas dapat dijumpai dalam pandangannya mengenai proses saintifikasi (pengilmiahan).

  Habermas menjelaskan bahwa kebudayaan ilmiah masyarakat industri maju, riset, teknologi, produksi dan administrasi jalin- menjalin menjadi sebuah sistem yang saling tergantung. Sistem tersebut kemudian menjadi basis kehidupan manusia modern dalam arti harafiah (Habermas via Ginting, 2012:47-48). Hubungan manusia dengan sistem tersebut menjadi aneh. Hubungan itu bersifat intim sekaligus mengasingkan. Habermas melihat bahwa muncul suatu dogmatisme baru, bukan berasal dari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi bersumber dari pemutlakan dimensi teknis pada bidang sosial dan budaya lainnya. Apabila ditafsirkan, disinilah arti domnasi dalam pandangan Hebermas, agaknya rasio tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif manusia untuk membebaskan diri dari dogmatisme, melainkan sebagai kemampuan kognitif memanipulasi alam secara teknis.

1.6.3.2 Teori Hegemoni

  Antonio Gramsci menciptakan suatu teori untuk menganalisis kekuasaan.Teori ini disebut teori hegemoni.Teori ini lahir sesudah teori fundamental dari Karl Max.Di dalam teori hegemoni dan dominasi ini Gramsci menjabarkan mengenai kekuasaan yang bertendensi menjadi sesuatu yang disebutnya sebagai hegemoni.

  Menurut Hendarto via Patria-Arief (2003:125) ada tiga syarat suatu keadaan disebut hegemoni. Pertama, orang menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuens-konsekuensi bila ia tidak menyesuaikannya. Dalam keadaan ini konformitas ditempuh melalui penekanan dan sanksi-sanksi yang menakutkan.Kedua, orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-tujuan dengan cara-cara tertentu.Konformitas dalam hal ini merupakan partisipasi uang tidak terefleksikan dalam hal bentuk aktivitas yang tetap, sebab orang yang menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang dimungkinkan untuk menolak.Ketiga, konformitas yang muncul dari tingkah laku memiliki hubungan dengan unsur tertentu dalam masyarakat.

  Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai “dominasi” dan sebagai „kepemimpinan‟ intelektual dan moral. Dan di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan mereka, bahkan mungkin menggunakan kekuatan bersenjata. Di lain pihak, kelompok sosial memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu mereka. Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika kelompok socsal ini mempraktekkan kekuasaan, tapi bahkan bila pihak penguasa telah memegang kekuasaan penuh di tangannya,pihak penguasa masih harus terus “memimpin” juga ( Gramsci via Patria- Arief 2003: 117-118).

  Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”.Lebih sering kata itu digunakan oleh para komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian dominasi.Akan tetapi, bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks.Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk

  • – bentuk politis, kultural dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa (Faruk 2005:63).

  Ada tiga tingkatan hegemoni yang dikemukakan Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemoni yang merosot (decandent), dan hegemoni yang minimum. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh.Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang diperintah. Hegemoni yang merosot (decandent) adalah suatu keadaan ketika sistem yang ada telah memenuhi kebutuhan atau sasarannya Suatu kelompok massa tidak selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek hegemoni. Hegemoni minimum adalah kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara.

  Menurut Gramsci, kriteria metodologis yang menjadi dasar studinya (teori hegemoni) didasarkan pada asumsi, bahwa supremasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan moral dan intelektual”. Suatu kelompok sosial mendominasi kelompok

  • – kelompok anatagonistik yang cenderung “dihancurkan” , atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara. Atau, kelompok tersebut memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya ( Faruk 2005: 68).

  Dalam sistem kekuasaan menurut Gramsci, suatu rezim akan memakai dua jalan untuk memperoleh kekuasaan. Yang pertama adalah penguasaan kesadaran melalui jalan pemaksaan dan kekerasan (coercive). Kedua adalah melalui penguasaan lewat jalan hegemoni, yaitu kepatuhan dan kesadaran elemen masyarakat (Sutrisno-Putranto, 2013:30).