HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DENGAN MINAT MEMBELI PRODUK KOSMETIKA PEMUTIH KULIT PADA REMAJA PUTRI ETNIS CINA

  HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DENGAN MINAT MEMBELI PRODUK KOSMETIKA PEMUTIH KULIT PADA REMAJA PUTRI ETNIS CINA

  SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Oleh: Frany Chia

  NIM : 999114135 NIRM : 990051121705120132

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2003

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………………… ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… iii MOTTO ……………………………………………………………………… iv HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………… v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………… vi KATA PENGANTAR ……………………………………………………… vii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… x DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xiv DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xv ABSTRAK ……………………………………………………………………… xvi

  BAB I : PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ……………………………………………... 1 B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………………... 8 C. TUJUAN PENELITIAN ……………………………………………... 9 D. MANFAAT PENELITIAN …………………………………………... 9 BAB II: DASAR TEORI A. CITRA RAGA

  1. Pengertian …………………………………………………….. 10

  2. Komponen citra raga …………………………………………….. 12

  B. REMAJA

  1. Pengertian ……………………………………………………. 23

  2. Remaja putri etnis Cina ………………………………………….. 26

  3. Citra raga pada remaja putri ……………………………………. 28

  C. MINAT MEMBELI PRODUK KOSMETIKA PEMUTIH KULIT

  1. Pengertian minat …………………………………………… 29

  1. Pengertian minat membeli …………………………………… 32

  2. Aspek-aspek minat membeli ………………………………….... 34

  3. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat membeli ……………... 35

  4. Produk kosmetika pemutih kulit ………………………………... 40

  D. HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DENGAN MINAT MEMBELI PRODUK KOSMETIKA PEMUTIH KULIT PADA REMAJA PUTRI

  E. HIPOTESIS …………………………………………………... 45

  BAB III : METODOLODI PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN …………………………………………... 46 B. IDENTIFIKASI VARIABEL …………………………………... 46 C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN ………… 46 D. SUBJEK PENELITIAN …………………………………………... 47

  E. METODE DAN ALAT PENGUMPUL DATA

  BAB IV : PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Persiapan Uji Coba Alat Penelitian

  2. Reliabilitas skala citra raga …………………………. 61

  1. Uji kesahihan butir skala citra raga …………………. 60

  2. Reliabilitas skala minat membeli produk kosmetika pemutih kulit …………………………. 59 b. Skala pengukuran citra raga …………………………. 60

  1. Uji kesahihan butir skala minat membeli produk kosmetika pemutih kulit …………………………. 58

  2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur …………………. 56 kosmetika pemutih kulit …………………………………. 58

  1. Uji Coba Alat Penelitian ………………………………….. 55

  G. METODE ANALISIS DATA ………………………………….. 54

  1. Metode Pengumpul Data ………………………………….. 48

  2. Uji Reliabilitas ………………………………………….. 53

  1. Uji Validitas ………………………………………….. 52

  F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT PENGUMPUL DATA

  b. Skala Citra Raga ………………………………………….. 51

  a. Skala Minat Membeli Produk Kosmetika Pemutih Kulit …….. 50

  2. Alat Pengumpul Data ………………………………………….. 48

  B. PELAKSANAAN PENELITIAN …………………………………. 61

  C. DESKRIPSI DATA PENELITIAN

  1. Deskripsi Subyek Penelitian …………………………………. 62 2. cara Pengambilan Sampel …………………………………. 62

  2. Deskripsi Data Penelitian …………………………………. 63

  D. ANALISIS HASIL PENELITIAN

  1. Uji Asumsi …………………………………………………. 66

  a. Uji Normalitas Sebaran …………………………………. 67

  b. Uji Linearitas Hubungan …………………………………. 67

  2. Uji Hipotesis …………………………………………………. 68

  E. ANALISIS TAMBAHAN …………………………………………. 69

  F. PEMBAHASAN …………………………………………………. 70

  BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN …………………………………………………. 77 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..... 79

  

DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Distribusi Butir-butir Pernyataan Skala Minat Membeli Produk Kosmetika Pemutih Kulit sebelum uji coba …………………… 51

  Tabel 2. Distribusi Butir-butir Pernyataan Skala Citra Raga sebelum uji coba …………………………………………………… 52 Tabel 3. Distribusi Butir-butir Pernyataan yang sahih dan gugur Skala Minat

  Membeli Produk Kosmetika Pemutih Kulit setelah uji coba …… 58 Tabel 4. Distribusi Butir-butir Pernyataan Skala Minat Membeli

  Produk Kosmetika Pemutih Kulit setelah uji coba …………… 59 Tabel 5. Distribusi Butir-butir Pernyataan yang sahih dan gugur

  Skala Citra Raga setelah uji coba …………………………………… 60 Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian …………………………………………… 63 Tabel 8. Mean teoritis, mean empiris dan standar deviasi …………………… 63 Tabel 9. Norma kategorisasi skor …………………………………………… 65 Tabel 10. Kategorisasi skor minat membeli …………………………………… 65 Tabel 11. Kategorisasi skor citra raga …………………………………… 66 Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Sebaran …………………………………… 67 Tabel 13. Hasil Uji Linearitas Hubungan …………………………………… 68

DAFTAR LAMPIRAN

  A. SKALA UJI COBA ……………………………………………….. 83

  B. HASIL UJI COBA ……………………………………………….. 91

  C. RELIABILITAS DAN VALIDITAS SKALA UJI COBA ……….. 108

  D. SKALA PENELITIAN ……………………………………….. 113

  E. HASIL PENELITIAN ……………………………………….. 120

  F. UJI NORMALITAS ……………………………………………….. 154

  G. UJI LINEARITAS ……………………………………………….. 158

  H. UJI KORELASI ……………………………………………….. 163

  I. HASIL KATEGORISASI ……………………………………….. 165 J. ANALISIS TAMBAHAN ……………………………………….. 169

  

ABSTRAK

Frany Chia

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara citra raga dengan minat membeli produk kosmetika pemutih kulit pada remaja putri etnis Cina. Latar belakang penelitian ini adalah adanya penelitian yang menyatakan bahwa banyak sekali orang, terutama wanita yang menginginkan kulit putih, bahkan mereka yang memiliki kulit putih ingin tampil lebih putih lagi. Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui apakah ada hubungan antara citra raga dengan minat membeli produk kosmetika pemutih kulit pada remaja putri etnis Cina.

  Subjek pada penelitian ini berjumlah 96 remaja putri etnis Cina yang berusia antara 15-18 tahun yang terdaftar sebagai siswi kelas 1, 2 dan 3 di SMU Xaverius Tanjungkarang, Bandar Lampung. Alat yang digunakan sebagai pengumpul data Dari uji coba skala dihasilkan reliabilitas 0,9565 pada skala minat membeli produk kosmetika pemutih kulit dan reliabilitas 0,9595 pada skala citra raga.

  Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi linier. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi

  

Product Moment dari Pearson dengan taraf signifikansi 0,05 (1 ekor) dan diperoleh

  koefisien korelasi sebesar – 0,202. Artinya ada hubungan negatif antara citra raga dengan minat membeli produk kosmetika pemutih kulit pada remaja putri etnis Cina.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada masa sekarang ini, ketika kita membicarakan kosmetika tentunya tidak

  terlepas dari kaum wanita. Kosmetika dianggap sebagai kebutuhan dasar bagi sebagian besar wanita, karena kecenderungan wanita ingin tampil cantik dan menarik.

  Kriteria cantik berubah-ubah menurut waktu dan tempat karena apa yang disebut cantik merupakan persepsi dan konstruksi sosial yang dibangun oleh industri-industri kecantikan (Sihombing dalam Kompas Cyber Media, 7 Mei 2000). Industri kosmetika menciptakan apa yang disebut cantik: kulit putih, rambut hitam lurus, tubuh langsing, kulit mulus yang gencar ditiupkan oleh iklan-iklan di media massa, perempuan dan mewajibkan diri perempuan untuk seperti citra-citra yang muncul dalam media massa tersebut. Bahkan perempuan tercantik pun tidak pernah merasa sempurna; ada bagian yang selalu kurang, entah lututnya, payudaranya, warna kulitnya dan lain sebagainya (Germaine Greer dalam The Whole Woman, dalam Kompas Cyber, 14 Mei 2001).

  Hal yang paling tidak masuk akal adalah kriteria cantik yang diiklankan oleh media massa terutama televisi di Indonesia sebagai kulit yang berwarna putih.

  Padahal faktanya adalah sebagian kulit orang Indonesia berwarna coklat atau kuning, bahwa kulit putih adalah cantik membuat para wanita yang berkulit kuning atau sawo matang menjadi tidak percaya diri dan mencoba untuk memiliki kulit putih, bahkan wanita yang berkulit putih pun ingin tampil dengan kulit yang lebih putih lagi. Hal ini dapat dilihat dari riset dalam rangka menunjukkan tingginya jumlah wanita Asia untuk mendapatkan kulit putih yang dilakukan oleh Usage & Habit Study kelompok bisnis kosmetik asal Perancis, L'Oreal, di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan, pada tahun 1997 bahwa perempuan Indonesia diperkirakan 85 persennya berkulit cenderung gelap, tetapi 55 persennya ingin berkulit lebih putih. Sementara itu, hasil studi perusahaan kosmetik Procter & Gamble yang asal Amerika, menyebutkan bahwa 70-80 persen perempuan Asia ingin punya kulit lebih putih.

  Selain itu riset yang dilakukan L'Oreal di sejumlah negara Asia lainnya, bahkan di mana para perempuannya memiliki kulit terang seperti di Cina, Taiwan, Thailand, perempuan berkulit kuning bersih yang sering menimbulkan kekaguman karena kehalusan kulitnya itu, ternyata juga ingin punya kulit yang warnanya lebih putih.

  Sama halnya Procter & Gamble (P&G) yang asal Amerika, P&G menemukan bahwa 70-80 persen perempuan di Asia yaitu di Cina, Thailand, Taiwan, dan Indonesia, ingin punya kulit lebih putih. Begitu pula yang diungkapkan oleh Dicky Tarmizi, Assistant Brand Manager Oil of Olay untuk kawasan ASEAN, India, dan Australia, dari kantornya di Singapura bahwa studi yang dilakukan oleh Prof. Miho Saitoh dari Universitas Waseda, Jepang, di Jepang, Taiwan, dan Indonesia. Di Indonesia, Prof. aspirasi mereka sama, ingin kulit lebih putih (Bintarti dan Pambudy dalam Kompas Cyber Media, 25 Februari 2001).

  Pihak produsen menyadari tingginya harapan wanita Asia untuk memiliki kulit putih sebagai suatu peluang pasar yang menguntungkan dan mereka berlomba- lomba memasarkan produk-produk kosmetika pemutih kulit, baik untuk wajah maupun tubuh, termasuk di Indonesia. Produk kosmetika pemutih kulit banyak dipasarkan di berbagai media di Indonesia. Dimulai dengan produsen kosmetika dari luar negeri yang memproduksi produk pemutih kulit seperti Oil of Olay UV Natural

  

Lighting, Ponds, Plenitude White Perfect L’Oreal, Nivea Whitening, dan lain

  sebagainya. Serta tak ketinggalan produk dari dalam negeri ikut membanjiri konsumen dengan produk pemutih kulit seperti Sari Ayu White, Citra White, Ovale

  

Whitening, Cempaka White Lotion, Putri Skin White Lotion dan lain-lain. Pasar

  indah” gencar ditiupkan melalui iklan di media massa, terutama televisi. Iklan yang bertubi-tubi memang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi para wanita tentang kecantikan dan juga menimbulkan minat membeli, tetapi itulah yang dilontarkan oleh industri kosmetika dan industri media massa, yaitu membuat perempuan selalu merasa cemas dan selalu merasa tidak sempurna sehingga mereka akan selalu membeli (dalam Kompas Cyber, 14 Mei 2001).

  Minat merupakan sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, minat juga memainkan peran yang penting sikap (Hurlock, 1993). Minat terjadi karena adanya perhatian dan perasaan senang terhadap obyek tertentu yang menjadi sumber motivasi dalam mengarahkan tindakan seseorang. Untuk membuktikan lebih lanjut obyek minatnya tersebut direalisasikan dengan perilaku membeli. Perilaku membeli ini timbul disebabkan adanya sikap dan keyakinan terhadap produk kosmetika pemutih kulit. Bahwa kosmetika pemutih kulit dapat membuat kulit menjadi lebih putih dan membuat wanita, dalam hal ini remaja putri dapat terlihat lebih cantik.

  Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti remaja putri etnis Cina sebagai subyek penelitian, karena mengacu pada riset yang dilakukan L'Oreal yang telah disebutkan sebelumnya bahwa di sejumlah negara Asia lainnya, bahkan di mana para perempuannya memiliki kulit terang seperti di Cina, Taiwan, Thailand, Hongkong, dan Singapura, serta Malaysia, ternyata ingin memiliki kulit yang lebih bahwa orang etnis Cina sebagian besar memiliki kulit yang lebih putih atau lebih terang dibandingkan keturunan pribumi, misalnya etnis Jawa; tetapi orang etnis Cina tetap ingin memiliki kulit yang lebih putih lagi.

  Peneliti juga mewawancarai lima remaja putri etnis Cina sebagai data awal yang membantu memperkuat pendapat penulis tentang keinginan remaja putri etnis Cina yang telah memiliki kulit terang untuk tampil lebih putih lagi dengan mengkonsumsi produk kosmetika pemutih kulit. Hasil wawancara singkat yang dilakukan oleh peneliti menyebutkan bahwa dari kelima remaja putri itu hanya satu ternyata memakai paling tidak satu macam jenis produk kosmetika yang mengandung pemutih, entah itu kosmetika untuk wajah ataupun kulit dan baik itu produk asing maupun produk dalam negeri. Selain itu, ketika ditanya alasan apa yang membuat remaja putri tersebut menggunakan produk kosmetika pemutih, mereka secara langsung mengatakan ingin tampil lebih putih lagi lalu baru disertai alasan-alasan lain setelah itu, seperti: baunya enak, sudah cocok, harganya terjangkau, dan lain sebagainya. Padahal menurut peneliti, ke-4 subyek yang diwawancara itu telah memiliki kulit yang putih. Dari sini dapat terlihat bahwa persepsi cantik yang dibangun oleh media membuat individu itu mau dan berminat untuk mengkonsumsi kosmetika pemutih. Padahal produk-produk kosmetika pemutih kulit memiliki resiko yang besar bila digunakan, hal ini disebabkan oleh kandungan bahan-bahan dalam produk pemutih. Kulit dapat mengalami iritasi, belang-belang, dan jangka panjang konsumen produk kosmetika pemutih kulit (Susanto dalam Kompas Cyber, 30 September 2001).

  Persepsi cantik yang dibangun oleh media massa juga mempengaruhi individu dalam membentuk citra raganya. Menurut Jestes D.A (2001) citra raga itu berkaitan dengan tingkah laku, pikiran, keyakinan dan kepercayaan individu tentang keadaan fisiknya. Gardner (1996) mengungkapkan bahwa citra raga adalah konsep pandangan seseorang terhadap bagian-bagian tubuhnya maupun penampilan fisik secara keseluruhan berdasarkan penilaian diri sendiri maupun orang lain. Pendapat ini tingkat kepuasan individu terhadap tubuhnya itu diwakili oleh bagian tubuh dan penampilan keseluruhan.

  Kulit termasuk citra raga, karena kulit termasuk dalam bagian tubuh karena kulit merupakan salah satu bagian kecil pada tubuh kita dan keseluruhan dari tubuh.. karena kulit menunjang penampilan fisik seseorang. Sehingga jelas bahwa kulit termasuk dalam citra raga.

  Selain media massa yang telah disebutkan diatas sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya citra raga, faktor lain yang juga turut mempengaruhi dalam pembentukan citra raga seseorang adalah reaksi orang lain, perbandingan dengan orang lain, peranan seseorang, identifikasi terhadap orang lain (Hardy dan Heyes, 1988), budaya dan faktor psikologis (Grogan, 1999). Pengaruh-pengaruh dalam pembentukan citra raga tersebut menimbulkan perasaan memiliki pengaruh yang besar terutama pada masa remaja karena remaja sangat peka terhadap penampilan dirinya, selalu membayangkan dan menggambarkan seperti apa tubuhnya serta apa yang diinginkan dari tubuhnya (Britt dalam Fuhrmann, 1990).

  Remaja merupakan konsumen yang potensial untuk produk-produk kosmetika karena pada masa ini remaja selalu memandang segala hal mengenai dirinya dari segi fisik dan ingin mencapai penampilan fisik yang baik (Jersild, 1968). Oleh sebab itu memiliki citra raga yang positif, dalam hal ini kulit wajah dan tubuh yang putih merupakan dambaan sebagian remaja, karena dengan memiliki citra raga positif berinteraksi dengan lingkungan sosial. Selain itu, orang yang menarik dianggap mempunyai kepribadian yang lebih menyenangkan dan lebih mampu dibandingkan dengan orang yang tidak menarik (Hurlock, 1993).

  Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan penulis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang membeli produk kosmetika pemutih kulit lebih dipengaruhi oleh citra raganya. Mengapa demikian? telah disebutkan diatas bahwa Jersild (1979) menggambarkan citra raga sebagai tingkat kepuasan individu terhadap tubuhnya itu diwakili oleh bagian tubuh dan penampilan keseluruhan. Gardner (1996) berpendapat sama dengan apa yang telah diungkapkan oleh Jersild, hanya sedikit menambahkan bahwa citra raga didasarkan oleh penilaian diri sendiri maupun orang lain. Citra raga khususnya dipengaruhi oleh pemikiran mengenai fisik, yaitu kecantikan dan keburukan raga, sedangkan konsep kecantikan itu sendiri sifatnya Indonesia pada saat ini menilai bahwa cantik itu adalah orang yang memiliki kulit putih (dalam Kompas Cyber Media, 14 Mei 2001), sedangkan orang-orang etnis Cina sebelumnya menilai bahwa cantik itu adalah orang yang memiliki kulit yang mulus dan bersih, kulit putih tidak dicantumkan disini karena mereka telah puas kulit putih yang mereka miliki. Tetapi beberapa tahun belakangan ini orang orang etnis Cina juga menunjukkan adanya keinginan untuk memiliki kulit putih, hal ini dibuktikan dengan adanya laporan pada Kompas edisi Minggu, 25 Februari 2001 yang menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk memiliki kulit putih merupakan

  2001). Kulit sendiri termasuk dalam citra raga, karena kulit merupakan bagian tubuh dan keseluruhan tubuh. Oleh karena itu, orang yang tidak puas dengan kulitnya dan dirasa tidak menunjang penampilannya, dalam hal ini kulitnya dirasa tidak putih akan menggunakan produk kosmetika pemutih kulit untuk menunjang penampilannya untuk menghasilkan citra raga yang positif atau kepuasan terhadap citra raganya. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang membeli pemutih lebih disebabkan oleh citra raganya.

  Fenomena tersebut membuat penulis ingin mengetahui apakah ada hubungan antara citra raga dengan minat membeli produk kosmetika pemutih kulit pada remaja putri etnis Cina? Asumsinya yaitu jika memiliki citra raga yang positif maka minat membeli produk kosmetika pemutih kulit akan rendah, dan sebaliknya.

  Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara citra raga dengan minat membeli produk kosmetika pemutih kulit pada remaja putri etnis Cina ?

C. TUJUAN PENELITIAN

  Penelitian ini diharapkan peneliti mengetahui apakah ada hubungan antara citra raga dengan minat membeli produk kosmetika pemutih kulit pada remaja putri etnis Cina.

D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat Teoritis:

  Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah perbendaharaan ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi perkembangan dan psikologi konsumen.

  Manfaat Praktis:

  • Bagi remaja

  Penelitian ini diharapkan agar para remaja tidak mendewa-dewakan kulit putih karena citra raga seseorang tidak hanya ditentukan oleh kulitnya saja.

  • Bagi produsen kosmetika pemutih kulit

  Penelitian ini dapat dijadikan informasi pada produsen kosmetika pemutih kulit bahwa konsumen terbesar dari produk mereka adalah para remaja sehingga hendaknya produsen kosmetika pemutih kulit dapat menerapkan kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan image (misalnya: produk ini sangat cocok digunakan oleh remaja) dengan cara mengemas produk tersebut dan mempromosikannya sesuai dengan karakter remaja (misalnya: produk tersebut dikemas dengan warna-warna menarik dan menggunakan sosok remaja sebagai model) agar lebih mudah diterima dan diminati oleh remaja.

BAB II DASAR TEORI A. CITRA RAGA

1. Pengertian

  Istilah body image pertamakali diperkenalkan oleh Paul Schilder, seorang neurolog dan psikiater pada tahun 1935. Body image atau citra raga bersinonim dengan istilah-istilah seperti body concept dan body scheme, yang kesemuanya mengandung arti cara individu memandang tubuhnya (Sills dalam Trisnawaty, 2000).

  Citra raga menurut Schilder (dalam Grogan,1999) adalah gambaran mental yang dimiliki setiap individu tentang penampilan tubuhnya yang dibentuk orang lain.

  Gardner (1996) mengungkapkan bahwa citra raga adalah konsep pandangan seseorang terhadap bagian-bagian tubuhnya maupun penampilan fisik secara keseluruhan berdasarkan penilaian diri sendiri maupun orang lain. Pendapat ini hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Jersild (1979) bahwa citra raga adalah tingkat kepuasan individu terhadap tubuhnya itu diwakili oleh bagian tubuh dan penampilan keseluruhan.

  Citra raga menurut Kartono dan Gulo (2000) adalah citra mental

  Kihlstrom dan Cantor (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) mengemukakan bahwa citra raga adalah gambaran mental dan evaluasi seseorang terhaadap dirinya, dan merupakan bagian dari konsep diri. Citra raga umumnya dibentuk dengan membandingkan nilai fisik terhadap standar keindahan dari suatu kebudayaan.

  Hardy dan Heyes (1988) juga mengungkapkan bahwa citra raga merupakan konsep diri yang berkaitan dengan sifat fisik. Citra raga khususnya dipengaruhi oleh pemikiran mengenai fisiknya, yaitu kecantikan dan keburukan raga. Konsep kecantikan itu sendiri sifatnya relatif tergantung budaya.

  Menurut Judy Lightstone (1999) citra raga melibatkan persepsi kita, imajinasi, emosi, dan sensasi fisik mengenai tubuh kita. Hal itu tidak statis tetapi selalu berubah karena peka terhadap suasana hati, lingkungan dan pengalaman

  Citra raga berkaitan dengan sikap, pikiran, dan kepercayaan individu terhadaap penampilan fisiknya (Jestes, Dusty A, 2001).

  Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa citra raga adalah pandangan, sikap dan perasaan seseorang terhadap tubuhnya yang diwakili oleh bagian-bagian tubuhnya daan penampilan keseluruhan yang berasal dari penilaian dirinya sendiri yang mendatangkan rasa puas atau tidak puas terhadap tubuhnya sendiri, bersifat tidak tetap dan diperoleh dengan cara dipelajari.

2. Komponen citra raga

  Secara garis besar citra raga terdiri dari dua komponen ( Jersild, 1979; Gardner, 1996) yaitu: a. Komponen persepsi.

  Bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya yaitu mengukur tingkat keakuratan persepsi seseorang dalam mengestimasi ukuran tubuh, seperti; tinggi atau pendek, cantik atau jelek, putih atau hitam, kuat atau lemah.

  b. Komponen sikap.

  Yaitu berhubungan dengan kepuasan atau perasaan individu terhadap tubuhnya. Perasaan ini diwakili dengan tingkat kepuasaan atau ketidakpuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh ataupun keseluruhan

  Peneliti dalam penelitian ini akan memakai komponen sikap dan persepsi menjadi landasan pengukuran. Telah di jelaskan di atas bahwa komponen persepsi menunjuk pada bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya, yaitu mengukur tingkat keakuratan persepsi seseorang dalam mengestimasi ukuran tubuh seperti: tinggi atau pendek, cantik atau jelek, hitam atau putih, dan lain sebagainya. Dalam menggambarkan kondisi fisiknya, seseorang akan memberikan penilaian terhadap tubuhnya. Oleh karena itu penilaian merupakan aspek yang tepat untuk mewakili komponen persepsi. Komponen sikap mengarah pada mengarah pada sikap yang muncul pada kondisi-kondisi tertentu sehingga muncul harapan-harapan mengenai tubuhnya dan biasanya terjadi tindakan demi mewujudkan harapan tersebut (Jersild, 1979; Gardner, 1996). Oleh karena itu aspek perasaan dan aspek harapan mewakili komponen sikap.

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penilaian, perasaan dan harapan yang menyertai obyek citra raga menjadi aspek pengukuran terhadap citra raga.

  a. Penilaian adalah bagaimana persepsi seseorang dalam mengestimasi ukuran tubuh indvidu seperti: Bentuk tubuh saya sangat indah.

  b. Perasaan adalah bagaimana perasaan individu memandang tubuhnya, biasanya perasaan ini diwakilkan oleh tingkat kepuasan dan ketidak puasan. fisiknya, biasanya harapan ini diwakilkan oleh keinginan.

  Pengukuran terhadap ke-3 aspek tersebut menghasilkan kepuasan atau ketidak puasan seseorang terhadap tubuhnya. Ketidak puasaan menunjukkan rendahnya citra raga seseorang, sebaliknya kepuasan menunjukkan tingginya citra raga seseorang.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi citra raga

  dkk., (1985) menyatakan faktor-faktor sosiokultural berperan penting dalam citra raga. Ditambahkan pula bahwa dalam lingkungan sosial tertentu ada anggapan masyarakat mengenai tubuh ideal seperti: tubuh ramping, kaki panjang, dan wajah menarik. Citra seperti ini banyak digambarkan melalui media massa dan tubuh ideal ini cenderung disukai oleh gadis-gadis. Pendapat ini diperkuat oleh Grinder (1978) bahwa standar ideal dari daya tarik fisik mempengaruhi citra raga remaja dalam berkembangnya nilai remaja bersangkutan.

  Menurut Schonfeld (dalam Blyth, dkk., 1985) dan Paludi (1992) faktor- faktor yang mempengaruhi citra raga adalah: a. Reaksi orang lain.

  Manusia sebagai mahluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain. Agar dalam interaksinya seseorang dapat diterima dengan orang lain maka ia akan termasuk pendapat mengenai fisiknya. Bila yang terlontar adalah pendapat atau reaksi negatif maka akan timbul kekhawatiran bahwa dirinya tidak dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan hal ini akan mempengaruhi citra raganya.

  b. Perbandingan dengan orang lain atau culture idea.

  Wanita cenderung sangat peka terhadap penampilan dirinya, selalu menggambarkan dan membayangkan seperti apa tubuhnya serta minat terhadap dirinya sendiri secara mendalam. Kecenderungan ini membuat wanita selalu keadaan dirinya dengan stereotype yang ada dan ini akan mengurangi citra terhadap raganya.

  c. Identifikasi terhadap orang lain.

  Beberapa wanita merasa perlu menyulap diri agar serupa atau mendekati idola atau symbol kecantikan yang dianutnya agar ia merasa lebih baik dan lebih menerima keadaan fisiknya.

  Selain pendapat diatas, Hardy & Heyes (1988) dan Hurlock (1993) menambahkan faktor peran sosial dalam faktor yang mempengaruhi citra raga.

  Tubuh bagi kaum wanita berkaitan dengan peranan yang dipegangnya dalam kehidupan, khususnya dalam pergaulan dan perkawinan. Ada anggapan tertentu dalam pekerjaan dan pergaulan lebih mudah diraih oleh mereka yang memiliki daya tarik fisik. dalam Grogan, 1999. Di dalam buku ini memuat faktor-faktor yang mempengaruhi citra raga, yaitu:

a. Budaya

  Suatu budaya sangat berperan dalam pembentukan citra tubuh ideal, baik pria maupun wanita. Konsep tentang tubuh ideal dalam masyarakat berubah dari masa ke masa.

  Menurut Fallon (dalam Grogan, 1999) pada tahun 1800-an tubuh ideal bagi seorang wanita adalah tubuh gemuk, berpinggul besar, berbuah dada besar Tubuh perempuan yang menjadi soal, 2002) bahwa dalam lukisan-lukisan klasik abad pertengahan sering dijumpai figur-figur perempuan yang bertubuh subur, dengan perut, lengan serta wajah yang berdaging dan berisi. Bahkan para ahli purbakala banyak menemukan figur-figur patung atau relief yang menggambarkan sosok-sosok perempuan bertubuh gemuk dan subur, seperti sebuah patung yang cukup terkenal bernama "Venus of Willendorf" seolah mencitrakan bahwa Dewi Venus yang banyak dipuja sebagai simbol kecantikan itupun bertubuh sangat gemuk. Berbagai gambaran yang didapat tentang perempuan baik dari lukisan maupun foto, bisa ditangkap kesan bahwa bentuk tubuh perempuan yang ideal adalah yang mampu mewakili citra kesuburan.

  VENUS OF WILLENDORF Gambar diam

  Pada tahun 1920-an, konsep tubuh ideal pada wanita berubah. Tubuh ideal wanita pada masa ini adalah langsing. Hal ini berlanjut terus-menerus sampai tahun 1950-an, tetapi dengan perubahan yang cukup signifikan, yaitu selain bertubuh langsing juga berbuah dada besar. Contoh wanita bertubuh ideal

MARI LYN MONROE

  Gambar diambil dari www.marilyn-monroe.org.uk Pada akhir tahun 1960-an sampai tahun 1980-an tubuh ideal bagi wanita berubah lagi, yaitu yang bertubuh langsing, nyaris kurus dan berdada rata. Hal ini karena munculnya seorang artis bernama Twiggy yang bertolak belakang dengan citra perempuan yang subur. Ia tidak punya buah dada, ceking, dan memotong pendek rambutnya seperti laki-laki . Ia terlalu kurus untuk ukuran perempuan normal dengan berat hanya 41 kg, seukuran dengan gadis usia belasan tahun.

  Twiggy mampu mengubah citra bentuk tubuh perempuan (dalam Grogan, 1999 dan Jurnal Perempuan, Media Awareness, 2002).

   TW I GGY Pada tahun 1990-an sampai sekaraang, tubuh yang ideal bagi wanita adalah tubuh yang memiliki proporsi seimbang antara berat dan tinggi badan.

  Tubuh wanita yang ideal pada masa saat ini adalah Cindy Crawford, Claudia Schiffer, dan Christy Turlington, yang kesemuanya adalah peragawati dan foto model (Grogan, 1999).

CINDY CRAWFORD

  Gambar diambil dari www.voodo.cz Begitu halnya pula dengan kulit. Sejak zaman dahulu kala wanita sudah melakukan perawatan terhadap kulit wajah maupun kulit tubuh. Fenomena ini dapat dilihat sejak 3500 Sebelum Masehi, Mesir telah memanfaatkan tumbuhan, hewan, rempah-rempah, madu dan susu untuk digunakan merawat dan mempercantik diri (Putro, 1998). Pada jaman kerajaan-kerajaan di Indonesia, putri-putri keraton melakukan perawatan kulit dengan menggunakan bahan-bahan tradisional, karena citra cantik bagi wanita pada masa itu adalah yang berkulit kuning langsat maka banyak digunakan lulur, mangir dan sebagainya. Bahkan belum lewat satu dasawarsa citra itu tetap ada. (Bintarti dan Pambudy dalam dukung oleh Dwikarya (2003) yang mengatakan bahwa salah satu jenis kulit yang banyak diminati adalah kulit putih, tidak sedikit orang menginginkan kulitnya putih dengan alasan agar menarik dipandang.

b. Media Massa.

  Media massa dan iklan adalah salah satu faktor yang turut mempengaruhi citra raga. Media massa, baik itu elektronik maupun non elektronik sering menampilkan bentuk dan ukuran tubuh yang ideal baik pada laki-laki maupun pada wanita. Hal ini berpengaruh pada norma-norma sosial tentang konsep bentuk dan ukuran tubuh yang ideal bagi masyarakat (Grogan, 1999).

  Hal ini diperkuat dengan beberapa penelitian. Salah satunya penelitian tentang pengaruh media massa terhadap pembentukan citra raga dilakukan oleh khususnya majalah wanita maupun pria membentuk persepsi sosial dan turut memberikan sumbangan bagi proses kebudayaan tentang konsep tubuh ideal.

  Keadaan tersebut pada akhirnya akan menjadikan seseorang dalam memandang tubuhnya akan berdasarkan cara pandang masyarakat memandang tubuhnya.

  Penelitian pengaruh iklan terhadap citra raga dilakukan oleh Mishkind (dalam Grogan, 1999). Pada penelitian yang dilakukan oleh Mishkind ini tampak adanya hubungan yang signifikan antara iklan yang menampilkan bentuk tubuh ideal laki-laki dan kecenderungan seseorang untuk memperhatikan bentuk

  Penelitian yang sama tentang pengaruh media masa terhadap pembentukan citra raga juga dilakukan oleh peneliti dari Harvard yang bernama Anne Becker (Sihombing dalam Kompas Cyber Media, 7 Mei 2000), yang meneliti di Kepulauan Fiji. Sejak tahun 1995 di Kepulauan Fiji terjadi kasus bulimia yang cenderung meningkat. Kejadian ini menurutnya agak aneh karena sebenarnya masyarakat di kepulauan Pasifik itu menganut paham makan banyak dan tubuh yang subur adalah cantik karena berkaitan dengan fungsi reproduksi. Ternyata setelah diteliti, penyebabnya adalah televisi yang sejak 1995 menyiarkan secara luas tayangan dari luar Fiji yang memperlihatkan perempuan yang dipersepsikan cantik adalah yang ramping, bahkan cenderung kurus. Maka kasus gadis yang memuntahkan makanannya untuk mengontrol berat badan naik dari 3 persen pada tahun 1995 menjadi 15 persen tahun 1998. kulit putih dan mulus yang gencar ditiupkan oleh iklan-iklan di media massa, seperti: majalah, dan yang terutama iklan-iklan di televisi memasuki lebih jauh lagi alam bawah sadar perempuan dan mewajibkan diri perempuan untuk seperti citra-citra yang muncul dalam media massa tersebut. Pencitraan bahwa kulit putih adalah cantik membuat para wanita yang berkulit kuning atau sawo matang menjadi tidak percaya diri dan mencoba untuk memiliki kulit putih bahkan wanita yang berkulit putih pun ingin tampil dengan kulit yang lebih putih lagi. Hal ini dapat dilihat dari riset yang dilakukan oleh Usage & Habit Study kelompok bisnis berkulit cenderung gelap, tetapi 55 persennya ingin berkulit lebih putih. Sementara itu, hasil studi perusahaan kosmetik Procter & Gamble yang asal Amerika, menyebutkan bahwa 70-80 persen perempuan Asia ingin punya kulit lebih putih. Selain itu riset yang dilakukan L'Oreal di sejumlah negara Asia lainnya, bahkan di mana para perempuannya memiliki kulit terang seperti di Cina, Taiwan, Thailand, Hongkong, dan Singapura, serta Malaysia, ternyata memberi hasil sama. Para perempuan berkulit kuning bersih yang sering menimbulkan kekaguman karena kehalusan kulitnya itu, ternyata juga ingin punya kulit yang warnanya lebih putih. Sama halnya Procter & Gamble (P&G) yang asal Amerika, P&G menemukan bahwa 70-80 persen perempuan di Asia yaitu di Cina, Thailand, Taiwan, dan Indonesia, ingin punya kulit lebih putih.. Begitu pula yang diungkapkan oleh Dicky Tarmizi, Assistant Brand Manager Oil of Olay untuk yang dilakukan oleh Prof. Miho Saitoh dari Universitas Waseda, Jepang, di Jepang, Taiwan, dan Indonesia. Di Indonesia, Prof Miho Saitoh mewawancarai sejumlah mahasiswi Universitas Indonesia, ternyata aspirasi mereka sama, ingin kulit lebih putih. (Bintarti dan Pambudy dalam Kompas Cyber Media, 25 Februari 2001).

c. Faktor Psikologis

  Citra raga seseorang terbentuk karena dipengaruhi oleh reaksi orang citra raga tersebut menimbulkan perasaan penerimaan ataupun penolakan terhadap tubuhnya, terutama pada masa remaja karena remaja sangat peka terhadap penampilan dirinya, selalu membayangkan dan menggambarkan seperti apa tubuhnya serta apa yang diinginkan dari tubuhnya (Britt dalam Fuhrmann, 1990).

  Pendapat senada diungkapkan oleh Hurlock (1973) bahwa persepsi terhadap raga merupakan bagian dari konsep diri. Seseorang yang menerima atau menolak keadaan tubuhnya tergantung dari proses pembentukan konsep dirinya. Bila tubuhnya dapat diterima dengan baik, maka akan memberikan pengukuhan positif terhadap dirinya. Sebaliknya, jika keadaan tubuh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan maka individu akan mengalami penolakan pada dirinya dan akan memberikan pengukuhan yang negatif terhadap dirinya. Oleh sebab itu memiliki citra raga yang positif, dalam hal ini kulit wajah dan tubuh yang putih merupakan dapat meningkatkan kepercayaan diri seseorang terutama dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial. Selain itu, orang yang menarik dianggap mempunyai kepribadian yang lebih menyenangkan dan lebih mampu dibandingkan dengan orang yang tidak menarik (Hurlock, 1993).

  Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor sosiokultural berperan penting dalam citra raga seseorang. Pada setiap kebudayaan terdapat standar ideal fisik dan dalam standar ideal daya tarik fisik ini akan mempengaruhi citra raga pada remaja, khususnya remaja putri dalam citra raga. Sama halnya dengan media massa dan faktor psikologis seorang individu yang juga turut berperan dalam mempengaruhi citra raga.

  Citra raga merupakan bagian dari konsep diri. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Kihlstrom dan Cantor (dalam Calhoun and Acocella, 1990) bahwa citra raga adalah gambaran mental dan evaluasi seseorang terhadap dirinya, dan merupakan bagian dari konsep diri. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hardy dan Heyes (1988) bahwa citra raga merupakan konsep diri yang berkaitan dengan sifat fisik. Hurlock (1993) secara jelas menggambarkan bahwa kegagalan mengalami kepuasan terhadap tubuh, yang berarti memiliki citra raga yang negatif menjadi salah satu timbulnya konsep diri yang kurang baik dan kurangnya harga diri dalam remaja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki citra raga yang negatif akan menyebabkan konsep diri dan

B. REMAJA

1. Pengertian remaja

  Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin yaitu adolescere (kata bendanya , adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1993).

  Para ahli memberikan pandangan yang berbeda-beda tentang pengertian remaja.

  Remaja menurut Hurlock (1993) dimulai pada saat anak-anak secara seksual menjadi matang dan berakhir pada saat ia mencapai usia matang secara hukum.

  Neidhart (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1984) berpendapat bahwa remaja merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa anak ke masa dewasa, dimana ia sudah harus dapat berdiri sendiri.

  E.H Erikson (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1984) mengemukakan bahwa adolesensia adalah masa dimana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas. Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain. Secara hakiki ia tetap sama walaupun telah mengalami berbagai macam perubahan.

  Selain itu, Anna Freud ( dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1984) berpendapat dimana terjadi perubahan-perubahan dalam hal motivasi seksuil, organisasi daripada ego, dalam hubungannya denag orangtua, orang lain dan cita-cita yang dikejarnya.

  Pengertian yang berbeda ini membuat batasan usia remaja yang diberikan oleh para ahli juga berbeda, sesuai dengan sudut pandangnya sendiri. Pada dasarnya pendapat para ahli ini tidak jauh berbeda.

  Usia remaja menurut Hurlock (1993) dimulai pada umur 13 tahun – 16 atau 17 tahun. Menurut WHO batasan usia remaja antara 10 tahun - 20 tahun beranggapan bahwa masa remaja berada diantara umur 13-21 tahun. Ia membagi masa remaja menjadi 3 sub periode, yaitu: Wanita Pria

  Remaja awal 13 – 15 tahun 15 – 17 tahun Remaja tengah 15 – 18 tahun 17 – 19 tahun Remaja akhir 18 – 21 tahun 19 – 21 tahun Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa masa remaja berada diantara umur 13-21 tahun untuk wanita dan umur 15-21 tahun untuk pria. Pertimbangan yang dipikirkan peneliti bahwa: pertama, periode masa remaja antara wanita dan pria berbeda, karena rata-rata laki-laki lebih lambat matang daripada anak perempuan sehingga laki-laki mengalami masa remaja yang perempuan Indonesia telah matang secara seksual (ditandai dengan haid pada wanita) dan pada usia 21 tahun telah dianggap matang secara hukum. Sedangkan pada sebagian besar anak laki-laki di Indonesia mengalami kematangan seksual pada usia 15 tahun dan pada usia 21 tahun telah dianggap matang secara hukum.

  Pada penelitian ini, peneliti memilih subyek remaja putri yang berusia antara 15-18 tahun atau remaja putri yang berada pada periode remaja tengah.