TASAWUF ISLAM DALAM MISTIK KEBATINAN JAWA: STUDI KASUS SEJARAH MISTIK KAPRIBADEN 1955-1998 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora

  

TASAWUF ISLAM DALAM MISTIK KEBATINAN

JAWA: STUDI KASUS SEJARAH MISTIK

KAPRIBADEN 1955-1998

SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Humaniora

Oleh :

ERIKO DWI SAPUTRO

  

216-14-013

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

  

MOTTO

  Di mana saja engkau berada, kepada siapapun, bagaimanapun keadaanmu, cobalah selalu menjadi pecinta yang senantiasa dimabuk oleh kasih-Nya.

  (Jalaluddin Rumi)

  

PERSEMBAHAN

  Skripsi ini penulis persembahkan kepada Sang Maha Hidup juga sesama hidup seluruhnya yang meliputi semesta raya ini.

KATA PENGANTAR

  Puja dan puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT yang tak pernah henti mengasihi, menyayangi juga mencintai, sehingga penulis berani mengarungi samudera kehidupan yang penuh lika-liku ini. Shalawat serta salam senantiasa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang teladan sejati untuk seluruh hidup di alam semesta.

  Kini tiba saatnya, setelah melalui beberapa proses dalam penulisan skripsi ini, dapat dikatakan telah mencapai titik akhir. Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini tidak akan tiba pada titik akhir tanpa adanya keterlibatan berbagai pihak di dalamnya. Atas bimbingan, arahan juga semangat yang hadir dari berbagai pihak, akhirnya penulis merasa haru

  • –meski masih jauh dari rasa puas- karena yang pastinya proses di lapangan tidaklah semudah omongan. Terkait dengan hal itu, dengan penuh kerendahan penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.

  Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga beserta jajaranya.

  2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ushuludin, Adab dan Humaniora beserta jajarannya.

  3. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos, M.A., Selaku Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam beserta seluruh Dosen Pengajar juga staf akademik.

  4. Bapak Drs. Taufiqul Mu’in, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing penulis.

  5. Bapak Sagimin, Ibu Sutiyem dan Mbak Nuning Rukmanawati orang tua dan saudari tercinta penulis yang tiada henti berjuang demi kesuksesan penulis.

  6. Bapak Dr. KH. Sapto Wibowo, S.Par, M.M, M.Hum., selaku sang pamomong penulis beserta keluarga juga seluruh santri Pondok Pesantren Manunggal Nurul Huda Hidayatullah.

  7. Segenap Asatidz dan Ustadzah KMI Assalam serta seluruh guru penulis yang senantiasa membimbing, mendidik dan mengajari penulis.

  8. Teman-teman Jurusan Sejarah Peradaban Islam angkatan tahun 2014 juga seluruh teman dari kecil hingga akhir hayat yang telah dan akan banyak mewarnai studi penulis.

  9. Segenap saudara penghayat Kapribaden yang telah rela membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

  10. Saudara-saudari yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang senantiasa merestui dan mendukung perjalanan hidup penulis.

  Salatiga, 18 September 2018 Yang menyatakan, Eriko Dwi Saputro ABSTRAK Eriko Dwi Saputro, 2018. Tasawuf Islam dalam Mistik Kebatinan Jawa: Studi

  Kasus Sejarah Mistik Kapribaden 1955-1998. Skripsi. Jurusan Sejarah

  Peradaban Islam Fakultas Ushuluddin Adab, dan Humaniora. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. 2018. Pembimbing: Drs.

  Taufiqul Mu’in, M.Ag. Kata kunci: Semono, Mistik dan Kapribaden.

  Wacana tentang mistik kebatinan Jawa telah ada sejak orang Jawa belum mengenal agama-agama besar, seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan lain- lain. Dimensi mistik pada setiap agama bermula dari kesadaran manusia bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Spiritualitas merupakan salah satu sikap yang meyakini adanya kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam diri manusia, meski terkadang juga tidak seperti itu. Kesadaran ini menimbulkan pengalaman keagamaan pada dirinya mengenai hubungan dengan Tuhannya itu, yang terefleksikan dalam sikap takut, cinta, rindu, ingin dekat kepada-Nya, dan lain sebagainya. Penghayat kepercayaan di Indonesia, khususnya di Jawa, identik dengan perkumpulan suatu kelompok yang bermanifestasikan atas dasar kepercayaan yang berasal dari tradisi nenek moyang dan dibalut dengan budaya kearifan lokal di Indonesia. Atas dasar itu penulis tertarik untuk mengkaji sebuah aliran kepercayaan yang masih eksis dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Melihat hal itu penulis mengambil rumusan masalah bagaimana sebab kemunculan mistik kebatinan di Indonesia, khususnya di Jawa, serta bagaimanakah aspek tasawuf Islam dalam mistik Kapribaden. Dari tulisan ini penulis bertujuan dan berharap agar supaya dapat memberikan pemahaman variasi perilaku spiritual masyarakat, khususnya Jawa, dalam berkehidupan dan beragama.

  Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat deskriptif analitis dan menggunakan metode sejarah, yaitu dengan tahapan heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Adapun data-data yang digunakan adalah data sumber primer, sumber sekunder, dan literatur yang setema. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan fenomenologi.

  Dari hasil analisis sumber-sumber yang diperoleh penulis, dapat disimpulkan bahwa tumbuhnya berbagai mistik Kebatinan merupakan dampak dari masa krisis dan masa transisi masyarakat. Masa krisis disebabkan karena berbagai permasalahan dan resesi ekonomi yang mendera. Mistik Kapribaden lahir perantara seorang yang bernama Semono Sastrohadidjojo pada tanggal 13 malam

  14 November 1955, bertepatan pada malam Senin Pahing pukul 18:05 WIB, di jalan Perak Barat No. 93 Surabaya. Paguyuban Kapribaden didirikan semata- mata untuk mendapatkan legalitas dari negara dan mengurus segala perizinan bila suatu saat mengadakan sebuah kegiatan. Pada intinya, konsepsi dalam mistik Kapribaden hakekatnya sama dengan konsepsi yang terdapat pada agama Islam, khususnya dalam dunia tasawuf Islam. Seperti halnya aspek tentang penyucian diri, esensi Tuhan, mikro kosmos dan makro kosmos, serta insan kamil.

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .................................................... iv HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... ix DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM .................................................... xi

  

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ............................... 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 4 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 4 E. Kerangka Konseptual ............................................................................ 7 F. Metode Penelitian ................................................................................ 13 G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 15

BAB II SEJARAH LAHIRNYA MISTIK KAPRIBADEN ...................... 16

A. Kemunculan Mistik Kebatinan di Jawa .............................................. 16 B. Lahirnya Mistik Kapribaden ............................................................... 21 C. Konsepsi Mistik Kapribaden .............................................................. 30

  

BAB III DINAMIKA MISTIK KAPRIBADEN .......................................... 41

A. Perkembangan Penghayat Mistik Kapribaden ..................................... 41 B. Berdirinya Paguyuban Penghayat Kapribaden ..................................... 43 C. Konflik dalam Mistik Kapribaden ...................................................... 49

BAB IV TASAWUF ISLAM DALAM MISTIK KAPRIBADEN ............ 52

A. Pembersihan Diri ................................................................................. 52 B. Esensi Tuhan ....................................................................................... 54 C. Mikro Kosmos dan Makro Kosmos .................................................... 56 D. Insan Kamil ......................................................................................... 58

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 62

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64 DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD : Anggaran Dasar ART : Anggaran Rumah Tangga BKKI : Badan Kongres Kebatinan Indonesia KEMENDIKBUD : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan KTP : Kartu Tanda Penduduk MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat PANGESTU : Paguyuban Ngesti Tunggal PKI : Partai Komunis Indonesia PNPS : Penetapan Presiden SD : Sekolah Dasar SUBUD : Susila Budhi Dharma UU : Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Wacana tentang mistik kebatinan Jawa telah ada sejak orang Jawa belum

  mengenal agama-agama besar, seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan lain- lain. Di Indonesia, khususnya di Jawa, sudah menjadi sesuatu yang tidak asing bagi kita dengan istilah mistik kebatinan Jawa. Kemunculan mistik kebatinan Jawa sendiri dilatarbelakangi dengan adanya naluri religius yang dimiliki setiap manusia, khususnya manusia Jawa. Mereka sadar, bahwa betapa pun hebatnya mereka, ada satu Dzat yang memegang kendali seluruh kejadian di alam semesta

  1 yang mereka tinggali.

  Penghayatan batiniah kepada Tuhan dengan jalan spiritualitas tertentu dapat ditemui di hampir setiap agama. Kompleksitas hidup dalam sehari-hari dan pengalaman personal menjadikan tidak semua penganut agama mampu dan mau menekuni laku mistik. Walaupun diyakini bersama, bahwa agama itu berasal dari Tuhan, namun spiritualitas adalah area manusia. Spiritualitas merupakan salah satu sikap yang meyakini adanya kehadiran dan campur tangan Tuhan dalam diri

  2 manusia, meski terkadang juga tidak seperti itu.

  Dimensi mistik pada setiap agama bermula dari kesadaran manusia bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Kesadaran ini menimbulkan pengalaman keagamaan pada dirinya mengenai hubungan dengan 1 Haryo Aji Nugroho, Dunia Mistik Orang Subud, Cet-1, (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2014), hlm. 3. Tuhannya itu, yang terefleksikan dalam sikap takut, cinta, rindu, ingin dekat kepada-Nya, dan lain sebagainya. Pengalaman keagamaan itu kemudian terpolakan menjadi suatu sistem ajaran yang mengajarkan bagaimana cara, metode ataupun jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan yakni kembali menyatu dengan Tuhan. Dalam kenyataannya, rasa keagamaan bukan sekedar perasaan yang hanya bersandar pada formalitas agama, tanpa substansi, atau penunaian seruan agama yang dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingan diri sendiri. Sebaliknya, rasa keagamaan ialah pemahaman secara intens dan pengamalan terhadap ajaran, sehingga mewujudkan keselarasan dalam hidup

  3 menyembah Tuhan dan bergaul dengan sesama makhluk hidup.

  Penghayat kepercayaan di Indonesia, khususnya di Jawa, identik dengan perkumpulan suatu kelompok yang bermanifestasikan atas dasar kepercayaan yang berasal dari tradisi nenek moyang dan dibalut dengan budaya kearifan lokal Indonesia. Kepercayaan lokal inilah yang kemudian sering disebut sebagai aliran Kepercayaan, Kebatinan atau Mistik. Sejak Orde Lama, mereka hidup di tengah

  4 percaturan politik yang keras antara kelompok agama dan komunis.

  Kaitannya dengan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sebuah aliran kepercayaan yang masih eksis dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penelitian ini, penulis memilih objek aliran kepercayaan atau lebih tepatnya mistik Kapribaden sebagai objek kajian penulis. Penulis melihat, bahwa eksistensi mistik Kapribaden masih kurang dikenal (awam) oleh 3 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Cet-1, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 11. 4 diakses pada pukul 12.15 hari Rabu 22 masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, bila dibandingkan dengan mistik Kebatinan lainnya. Di sini penulis mendapati mistik Kapribaden merupakan salah satu mistik yang menawarkan kepada siapa saja agar bisa hidup bahagia, akibat permasalah hidup yang senantiasa ada dan silih berganti. Lebih dari itu, mistik Kapribaden juga bisa digunakan siapa saja untuk mencapai kesempurnaan hidup, yaitu selamat dunia dan akhirat. Oleh karena itu, di sini penulis akan menguraikan sejarah mistik Kapribaden sebagai sebuah ajaran (wulang wuruk), bukan sebagai sebuah agama, kepercayaan, organisasi, gerakan, dan lain sebagainya. Dan dalam mengkaji mistik Kapribaden sendiri, penulis melakukan penelitian lapangan (field research).

B. Rumusan masalah dan Ruang Lingkup

  Dari uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan dengan pertanyan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah lahirnya mistik Kapribaden? 2.

  Bagaimana dinamika perkembangan mistik Kapribaden? 3. Bagaimanakah aspek tasawuf Islam dalam mistik Kapribaden?

  Terkait ruang lingkup dalam penelitian ini, penulis membatasi dimensi spasialnya hanya seputar sejarah mistik Kapribaden, sebab itu merupakan objek kajian penulis. Adapun batasan dimensi temporal, penulis membatasi mulai dari tahun 1955 sampai 1998. Tahun 1955 merupakan menyatanya mistik Kapribaden sebagai sebuah ajaran mistik (wulang wuruk) yang bisa diajarkan kepada siapa saja yang menghendaki hidup bahagia. Adapun tahun 1998 penulis gunakan sebagai batasan akhir dimensi temporal, sebab pada tahun 1998 merupakan berakhrinya masa Orde Baru, yang mana pada masa Orde Baru, mistik Kebatinan Jawa, khususnya Kapribaden, mengalami tindak diskriminatif.

  C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri bagaimana awal mula kemunculan mistik kebatinan Jawa, lebih khususnya bagaimana lahirnya mistik Kapribaden, dan bagaimana dinamika yang terjadi pada mistik Kapribaden itu sendiri, serta bagaimana aspek-aspek keislaman yang terdapat dalam mistik Kapribaden.

  Penulis berharap agar supaya tulisan ini dapat memberikan pemahaman variasi perilaku spiritual masyarakat Jawa dalam berkehidupan dan beragama. Tak luput pula penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para tokoh agama juga kalangan pemerintah dalam hal memberikan pemahaman kritis tentang sikap, karakteristik dan persepsi umat dan masyarakatnya.

  Adapun manfaat dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan, khususnya dalam bidang kajian mistik yang menggunakan pendekatan kesejarahan. Semoga dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada pembaca mengenai salah satu mistik atau kebatinan Jawa yang masih terjaga keberadaannya, serta dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai mistik Kapribaden. Lebih penting lagi, semoga tulisan ini dapat memberi sedikit pemahaman tentang keberagaman masyarakat sebagai potensi positif umat bukan komoditas untuk dipertentangkan.

  D. Tinjauan Pustaka

  Sejauh ini, penulis menemukan beberapa buku dan penelitian-penelitian yang bisa penulis jadikan sebagai salah satu acuan dalam mengkaji penelitian ini. Di antaranya: buku karya Simuh yang berjudul Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf

  

Islam ke Mistik Jawa (1996), skripsi Moch. Syafi’udin (1996) yang berjudul

  Konsep Manusia Menurut Penghayat Kapribaden, skripsi Siti fauziyah (2014) yang berjudul Spiritualitas Penghayat Kapribaden di Desa Kalinongko

  

Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo , skripsi M. Sholeh (2016) yang berjudul

Konsep Perbuatan Manusia Dalam Pandangan Aliran Kepercayaan Kapribaden ,

  skripsi Abdul Basit (2016) yang berjudul Strategi Perlawanan Kelompok

  

Penghayat Kapribaden Terhadap Diskriminasi Agama studi kasus di Dusun

Kalianyar Desa Ngunggahan Kecamatan Bandung Kabupaten Tulungagung .

  Dalam buku Simuh yang berjudul Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf

  

Islam ke Mistik Jawa (1996), memperlihatkan bahwa di Jawa terdapat tasawuf

  yang unik, yaitu tasawuf murni atau tasawuf mistik yang kemudian dikenal dengan mistikisme. Dalam bukunya, Simuh memetakan adanya dua jenis tasawuf, yakni tasawuf Islam dan tasawuf mistik. Tasawuf Islam didasarkan atas ajaran Qur’an dan Hadits, sedang tasawuf mistik menekankan pada tercapainya manunggal dengan Tuhannya (manunggaling kawula Gusti).

  Dalam skripsi Moch. S yafi’udin (1996) dengan judul Konsep Manusia

  

Menurut Penghayat Kapribaden, penulis menemukan perincian unsur-unsur

  dalam diri manusia, serta bagaimana dan apa tujuan sebenarnya manusia diciptakan berdasar pada penuturan para penghayat Kapribaden. Dan dapat disimpulkan bahwa manusia terdiri dari raga dan hidupnya (roh), adapun tujuan sebenarnya manusia hidup adalah manunggal dengan Gusti Ingkang Moho Suci dengan menggunakan alat Panca gaib.

  Dalam skripsi Siti fauziyah (2014) yang berjudul Spiritualitas Penghayat

  

Kapribaden di Desa Kalinongko Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo penulis

  melihat orientasi yang dilakukan Fauziah menekankan pada ajaran Kapribaden, bahwa dalam ajaran Kapribaden untuk mengenal hidup (urip), menggunakan laku yang terdiri dari singkir, paweling, kunci, asmo dan mijil. Dan dalam menjalani hidup selalu melakukan mijil dalam gelar dan gulung.

  Dalam skripsi M. Sholeh (2016) yang berjudul Konsep Perbuatan Manusia

  

Dalam Pandangan Aliran Kepercayaan Kapribaden penulis menemukan objek

  kajian penelitian Sholeh menitik beratkan terhadap perbuatan manusia dalam menjalani kehidupan. Dan dapat diambil kesimpulan, bahwa berdasarkan pandangan Kapribaden, perbuatan manusia merupakan cipta dan karsanya sendiri. Manusia dapat memilih baik atau buruk. Dengan kebebasan tersebut manusia akan menanggung akibat dari perbuatannya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan

  

Panca gaib dan Pangumbahing rogo agar mampu mengenalkan manusia dengan

hidup.

  Skripsi Abdul Basit (2016) yang berjudul Strategi Perlawanan Kelompok

  

Penghayat Kapribaden Terhadap Diskriminasi Agama studi kasus di Dusun

Kalianyar Desa Ngunggahan Kecamatan Bandung Kabupaten Tulungagung

  mengemukanan bagaimana perlawanan para penghayat Kapribaden atas diskriminasi yang dilakukan oleh warga setempat, yaitu dengan cara perlawanan terbuka atau konfrontasi dan dengan perlawanan tertutup (segregasi), di samping itu juga membaur dengan masyarakat setempat.

  Dari penelitian ini jelas terdapat kesamaan objek penelitian, akan tetapi terdapat perbedaan dalam k ajian, yaitu Moch. Syafi’udin mengkaji tentang konsep manusia dalam pandangan Kapribaden, Siti Fauziah mengkaji mengenai spiritualitas penghayat Kapribaden, M. Sholeh mengkaji mengenai konsep perbuatan manusia berdasarkan aliran Kapribaden, Abdul Basit mengkaji mengenai perlawanan penghayat kapribaden atas diskriminasi yang dilakukan oleh warga setempat, sedangkan penulis mengkaji tentang sejarah lahirnya mistik Kapribaden.

  Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, penulis menegaskan, bahwa belum ada penelitian secara khusus yang mengkaji mengenai sejarah mistik Kapribaden.

E. Kerangka Konseptual

  Dalam sebuah penelitian diperlukan kerangka konseptual agar alur pemikiran penulis dapat dipahami sehingga tidak menimbulkan kekaburan atau salah pengertian mengenai judul yang penulis ambil, maka dalam kerangka konseptual ini, penulis akan menjelaskan beberapa kata penting secara rinci, yaitu:

a. Mistik

  Kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystiek atau mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Jadi mistisisme dapat diartikan paham yang memberi ajaran serba mistis (serba rahasia) hingga hanya dapat dikuasai dan dipahami oleh orang atau kelompok tertentu saja,

  5 terutama penganutnya. Menurut Jalaluddin, kata mistik berasal dari bahasa Yunani, yaitu myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis). Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri. Dalam arti luasnya, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan

  6 tunggal.

  Menurut Harun Nasution, dalam tulisan Orientalis Barat mengatakan bahwa mistisisme disebut juga sebagai sufisme, sebutan ini tidak dikenal di agama-agama lain kecuali Islam. Itu menandakan bahwa di dalam dunia Islam, juga terdapat mistik dan aliran mistik, yaitu tasawuf. Sebagaimana mistisme, tasawuf atau sufisme juga memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk

  7 bisa memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan.

  Damarjati Supadjar mengemukakan ciri-ciri mistik, di antaranya: pertama, mistisisme adalah persoalan praktik, kedua, secara keseluruhan mistisme segala aktivitas yang bersifat spiritual, ketiga, jalan mistisme adalah cinta kasih sayang, keempat, mistisme menghasilkan pengalaman psikologis yang

  8 nyata, kelima, mistisme sejati tidak mementingkan diri sendiri.

  Selain dari beberapa pengertian tentang mistik di atas, masih banyak pengertian lain tentang mistik, baik versi kamus maupun disiplin ilmu lain.

  Untuk menambah pemahaman kita mengenai mistik, maka penulis akan

  6 Jalaluddin dan Ramayalis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), hlm. 51. 7 Petir Abimanyu, Mistik Kejawen, Cet-1, (Yogjakarta: Palapa, 2014), hlm. 27-28. memaparkan beberapa pengertian mistik dari berbagai disiplin ilmu tersebut, di antaranya: a)

  Mistik merupakan hal gaib yang tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa.

  b) Mistik merupakan subsistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia bersatu dengan Tuhan.

  c) Mistik merupakan bentuk religi yang berdasar kepercayaan kepada satu Tuhan, yang dianggap meliputi segala hal di alam semesta.

  d) Mistik merupakan pengetahuan yang tidak dapat dipahami secara rasio, maksudnya hubungan sebab-akibat yang terjadi tidak dapat dipahami oleh rasio.

  e) Mistik merupakan pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indra dan rasio.

  9 Dari semua pengertian mengenai mistik di atas dapat disimpulkan, bahwa

  mistik berbeda dengan sikap irasional, bodoh, klenik, maupun puritan. Akan tetapi, mistik merupakan suatu perbuatan yang adiluhung dan edipeni. Mistik sarat akan spiritualitas, yakni pengalaman-pengalaman halus, di mana terjadi adanya sinkronisasi antara logika rasio dan logika batin. Pelaku mistik juga dapat memahami eksistensi gaib sebagai kenyataan yang logis atau masuk akal. Hal demikian disebabkan karena akal telah mendapat informasi dari dimensi gaib.

b. Kebatinan

  Kata “kebatinan” berasal dari bahasa Arab “batin” yang artinya di dalam, bagian dalam. Dalam bahasa Indonesia mendapat imbuhan ke

  • –an, jadi kebatinan, artinya bagian yang tertutup yang berada di dalam. Ditinjau dari makna, kebatinan mempunyai bermacam-macam pengertian, yaitu: di dalam “Ensiklopedia Umum” Kebatinan ialah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.

  Di dalam ‘Ensiklopedia Pendidikan”, Kebatinan adalah sumber rasa dan kemauan untuk mencapai kebenaran, kenyataan,

  

10

kesempurnaan, dan kebahagiaan.

  Rasyidi mengatakan bahwa kata batin dapat diartikan sebagai orang- orang yang mencari arti yang dalam dan tersembunyi. Mereka mengartikan kata itu tidak menurut bunyi hurufnya tetapi menurut bunyi

  11

  interpretasi sendiri. Rahmat Subagyo mengemukakan bahwa kebatinan adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan absolut, yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Tuhan tanpa

  12 perantara.

  Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) mengemukan bahwa kebatian adalah sepi ing pamrih rame ing gawe, memayu hayuning 10 bawono ; artinya: kebatinan adalah tidak punya maksud yang

  Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan, (Semarang: Aneka Ilmu, 1999), hlm. 3. 11 H. M. rasyidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967), hlm. 49. 12 Rahmat Subagya, Kepercayaan Kebatinan Kerohanian Kejiwaan dan Agama, meguntungkan, giat bekerja, dan berupaya untuk mensejahterakan dunia.

  13 Dalam kongres BKKI yang kedua, definisi kebatinan diubah menjadi

  “kebatinan adalah sumber asas dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mencapai budi luhur, guna kesempurnaan hidup.

  14 c.

   Kapribaden

  Istilah kapribaden

  15

  di sini merupakan sebuah laku spiritual pribadi masing-masing untuk menuju kesempurnaan dengan mengikuti lakunya hidup yang juga diikuti oleh raganya, menuju Tuhan yang Maha Esa.

  16 Jadi, di sini penulis menggunaan istilah mistik Kapribaden sebatas untuk

  mempermudah pemahaman; di samping itu juga agar tidak melenceng dari makna “laku hidup” yang terkandung dalam mistik Kapribaden itu sendiri.

  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan paradigma fenomenologi. Fenomenologi diartikan sebagai sebuah pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal, dan suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk petunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, fenomenologi mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.

  17

  13 Definisi pertama yang dirumuskan oleh Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang ke-1, 1959, hlm. 7. 14 Definisi ini dirumuskan pada kongres BKKI yang ke-2 di Semarang. Alasan

penggantian definisi karena definisi yang pertama masih lemah sebab tidak mempunyai landasan hukum. 15 Berdasarkan KTP Romo Semono; pada kolom agama tertulis Kapribaden. 16 M. Sholeh, Konsep Perbuatan Manusia dalam Pandangan Aliran Kepercayaan Kapribaden, (Skripsi: Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, 2016), hlm. 6. 17 Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala persepsi. Langkah pertamanya adalah menghindari semua kontruksi dan asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah kontruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum

  18 pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.

  Husserl mengajukan sebuah langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti ”menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampak, tanpa memberikan putusan benar

  19 salahnya terlebih dahulu.

  Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh pre-suposisi. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting yakni penundaan keputusan, maksudnya keputusan harus ditunda atau dikurangi dulu dalam kaitannya dengan status objek. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu: pertama, metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan. Kedua, meninggalkan sikap keputusan atau diam dan menunda. Ketiga, mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang trasendental dalam kesadaran murni. Keempat, mencari

18 Ibid., hlm. 14-15.

  esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi dari

  20 intisari realitas itu.

F. Metode Penelitian

  Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian sejarah, yaitu: heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber), verifikasi (kritik dan keabsahan sumber),

  21 interpretasi (analisis dan sintesis), serta historiografi (penulisan).

  Melihat objek yang penulis kaji dalam penelitian ini, maka tema penelitian ini tergolong tema kontemporer, sehingga dalam pengumpulan sumber penulis juga menggunakan sumber lisan, yaitu melalui wawancara dengan pelaku sejarah. Selain itu, penulis juga menggunakan sumber tertulis berupa transkrip-transktip wedaran mistik Kapribaden dan foto. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer. Adapun sumber-sumber sekunder penulis juga menggunakannya untuk melengkapi kekurangan-kekurangan.

  Dalam tahapan heuristik, sampai sejauh ini, penulis mendapatkan sumber primer berupa, transkrip wedaran mistik Kapribaden dengan judul Wedharan

  

Romo Semono Pitulas Tahun Mijil Kunci , transkrip dialog antara Semono dan

  para penghayat Kapribaden (kadang) yang berjudul Sabda Dhawuh

  

Panganndhika Romo yang dirangkum oleh Soedaryo, buku Pambuka rasa

“Purwa Dumadine Manungsa” (1968), berkas-berkas tertulis tentang paguyuban

  Kapribaden yang penulis dapatkan dari Susalid Prasetyo Hutomo, serta Sabda

  

Hanacaraka yaitu satu-satunya ajaran tertulis yang ditulis oleh Semono, penulis

  dapatkan dari website resmi Paguyuban Penghayat Kapribaden. Penulis juga 20 M. Sholeh, Konsep Perbuatan Manusia, hlm. 28. melakukan wawancara lisan dengan Sapto Wibowo (Semarang), Daniel Riyanto (Semarang), Susalid Prasetyo Hutomo (Salatiga), dan Purnomo (Purworejo).

  Adapun sumber sekunder penulis dapatkan dari beberapa wedaran Semono yang telah dihimpun oleh ‘Kadhang” penghayat Kapribaden, diantaranya: kumpulan wedaran mistik Kapribaden yang dihimpun oleh pengikut Kapribaden, yaitu: M. Soewardhiyono dan Djoko Roso Seger Pitulas dengan diberi judul “Panggugah Rasa Sejati Tuntunan Hidup Berdasarkan Sabda Romo Semono” (1985). Buku yang berjudul “Hidup Bahagia yang diakhiri dengan mencapai

  Kasampurnan Jati

  ” ditulis oleh ketua pertama Paguyuban Kapribaden Wahyono Raharjo, meski tergolong pelaku sejarah, akan tetapi buku tersebut tercatat dibuat pada tahun 1993. Buku kasampurnan Jati; Panca Gaib dan Adiatma, buku “Kunci Hidup” yang ditulis oleh Sapto Wibowo (kadhang), Serta beberapa rekaman yang penulis dapatkan saat mengikuti wedaran mistik kapribaden oleh kadhang Sapto Wibowo.

  Dalam tahapan verifikasi, penulis mencoba mengkritisi sumber-sumber yang telah didapat agar sumber-sumber tersebut dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Karena dari sumber-sumber yang telah diperoleh terdapat pula hal- hal yang sifatnya non-akademis.

  Dalam tahapan interpretasi, penulis mencoba untuk menganalisis sumber- sumber yang telah dikritisi tersebut. Dari hasil analisis itu, penulis mensintesiskan agar tidak terjadi simpang siur.

  Tahapan akhir dalam penulisan ini adalah historiografi, yaitu penulisan sejarah itu sendiri. Dalam penulisan ini, penulis mencoba untuk menarasikan sejarah secara deskriptif analitis berdasar konsep dan teori yang penulis penulis gunakan dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

  Penyajian penulisan karya ilmiah secara umum memiliki tiga bagian sistematika, bab satu dengan bab yang lainnya saling berkesinambungan. Untuk itu penulis akan membagi bab-bab sebagai berikut:

  Dalam bab I, penulis memaparkan mengenai latar belakang, rumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  Dalam bab II, penulis membahas mengenai lahirnya mistik Kapribaden, dengan memaparkan sebab kemunculan mistik kebatinan Jawa, lahirnya mistik Kapribaden, dan konsepsi dalam mistik Kapribaden.

  Dalam bab III penulis menjelaskan bagaimana terjadinya perkembangan penghayat mistik Kapribaden, berdirinya paguyuban Penghayat mistik Kapribaden, serta terjadinya konflik antara kalangan Islam dan Pemerintah Indonesia dengan mistik Kapribaden.

  Dalam bab IV penulis mengemukakan mengenai aspek-aspek keislaman yang terdapat dalam mistik Kapribaden, di antaranya: pembersihan diri, esensi Tuhan, mikro kosmos dan makro kosmos, dan insan kamil.

  Dalam bab V penulis memaparkan penutup, yaitu sebuah kesimpulan dan saran dari bahasan-bahasan yang telah diuraikan

BAB II SEJARAH LAHIRNYA MISTIK KAPRIBADEN A. Kemunculan Mistik Kebatinan Jawa Kebatinan Jawa telah ada sejak orang Jawa belum mengenal agama-agama

  besar, seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan lain-lain. Di sini penulis mengalami kesulitan dalam penelusuran sumber-sumber dan literatur terkait asal- usul lahirnya mistik kebatinan Jawa. Awal munculnya mistik kebatinan Jawa tidak disebutkan secara eksplisit di dalam beberapa referensi. Di Jawa, sudah menjadi sesuatu yang tidak asing bagi kita dengan istilah mistik kebatinan Jawa. Faktor yang melatarbelakangi munculnya mistik Jawa dikarenakan adanya naluri religius yang dimiliki setiap manusia, khususnya manusia Jawa. Mereka sadar bahwa betapa pun hebatnya mereka, ada satu Dzat yang memegang kendali seluruh kejadian di alam semesta yang mereka tinggali.

  Purbatjaraka menacatat, bahwa jauh sebelum kedatangan Hindu-Budha, masyarakat Jawa sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tata caranya sendiri. Salah satu sebutan untuk tuhan dari era pra-Hindu dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Tuhan adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Sang Hyang

  

Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Sang Hyang Taya (Sang Maha Gaib). Hal

  tersebut merepresentasikan bagaimana masyarakat jawa dulu sudah memiliki konsep tentang Tuhannya sendiri sebelum tercampur dengan agama-agama besar dunia. Sementara banyak dari kalangan ahli meyakini, bahwa mistik kebatinan Jawa dimulai sejak orang Jawa mendapat amunisi rohani atau mistis dari bangsa India dengan agama Syiwa dan Budha-nya yang kemudian ditambah dengan

  22 unsur-unsur Islam.

  Pada awal masa kemerdekaan Indonesia, gerakan kebatinan, khususnya di Jawa, menjadi salah satu gerakan yang populer, kritis dan spiritualis serta eksistensinya diakui oleh pemerintah. Saat terjadi perang kemerdekaan berbagai propaganda dan semangat-semangat nasionalisme begitu digencarkan, hal itu dilakukan sebagai usaha mempertahankan kemerdekaan yang baru terbentuk.

  Orang-orang bersatu dengan segala cara supaya bisa memenangkan perang dengan kolonial Belanda. Berbagai laskar-laskar rakyat dibentuk untuk membantu angkatan bersenjata. Hal itu menumbuh suburkan perguruan atau paguyuban . aliran kejawen yang juga ikut andil dalam perang kemerdekaan Ribuan kaum laki-laki dan para pemuda berduyun-duyun mencari kesaktian atau kekebalan tubuh untuk mencari keselamatan dan menambah mental berani berperang secara

  23 fisik.

  Tumbuhnya berbagai aliran kepercayaan itu juga sebagai dampak dari masa krisis dan masa transisi masyarakat. Masa krisis disebabkan karena berbagai permasalahan dan resesi ekonomi yang mendera. Krisis yang terjadi ini merupakan sebuah bencana bagi masyarakat kita, karena berbagai bahan makanan

  22 23 Aji Nugroho, Dunia Mistik, hlm. 3.

  Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2006), yang sulit ditemui, tidak ada minyak tanah dan bahkan pakaian pun sulit didapat.

  24 Keadaan tersebut menyengsarakan rakyat Indonesia.

  Pada masa itu, disebut juga sebagai masa transisi, sebab dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun (1940-1945) sudah terjadi perpindahan kekuasaan dari zaman Belanda ke zaman Jepang, kemudian menjadi zaman Indonesia merdeka. Ketidakpastian sistem kekuasaan membuat sebuah kebingungan tersendiri bagi rakyat. Terlebih kebijakan sistem pemerintahan yang diterapkan sangat berbeda, sehingga mengombang-ambingkan psikis rakyat. Kebingungan secara fisik dan psikologis itu membuat setiap orang harus terus survive dengan berbagai cara bersama keluarganya. Faktor itulah yang mendukung dan menimbulkan

  25 berbagai gerakan kebatinan.

  Di sisi lain, sistem dogma dan ritual agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, tidak mampu memberikan kepuasan bagi pemeluknya. Dari sinilah yang

  26

  menyebabkan orang-orang beralih ke Kebatinan. Gerakan ini mencoba untuk melindungi diri dari gerakan-gerakan sekulerisme, materialisme dan rasionalisme dengan menggali nilai-nilai luhur terpendam dari kebudayaan asli. Bahkan misi lain gerakan kebatinan ini karena ingin menyelamatkan unsur dari tradisi yang sangat kaya tetapi sudah luntur. Kelompok gerakan kebatinan menyediakan juga pemikiran-pemikiran untuk penguatan rasa agama dan kepribadian (sebagai

  24 25 Subagya, Kepercayaan, hlm. 115. 26 Ibid., hlm. 115.

  Harun Hadiwijoyo, Kebatinan Islam Abad XVI. Cet-II. (Jakarta: Gunung Mulia,1985), bagian dari kepercayaan) asli maupun pemulangan harga diri melawan rasa

  27 minder terhadap teknologi asing.

  Menurut Bakker, hal itu masuk dalam kategori gerakan Gnostik, yaitu sebuah gerakan sosio-agama yang sekali-kali timbul dalam zaman kegoncangan besar.

  Gerakan tersebut terjadi bila dalam sistem masyarakatnya terjadi perubahan sosial secara cepat atau bila nilai-nilai moral dan keagamaan mendadak menjadi pudar sehingga nilai-nilai yang dipegang menjadi lenyap, bila tekanan lahir mengasingkan manusia dari identitasnya maka muncul pula dengan yang disebut harkat gnostik. Harkat itu mendorong manusia untuk memikirkan kembali tempatnya dalam arus zaman, selain itu manusia semakin didorong ke dalam refleksi dan permenungan ke dalam segala pemecahan masalah-masalah yang sedang memporak-porandakan sistem mereka. Gerakan ini bisa dimasukkan sebagai bagian dari mistik (jalan hidup spiritual) yang dekat dengan nuansa

  28 mistis.

  Menurut Sartono Kartodirjo, maju mundurnya gerakan mistik selaras dengan keadaan sosial dan banyak contoh mengenai gerakan-gerakan mistik khiliastik (yang sangat menantikan Ratu Adil dan sejenisnya) yang dipimpin oleh guru-guru mistik yang kharismatis sebagai protes terhadap penindasan. Sama halnya dengan pendapat Niels Mulder, yang menganggap bahwa perkembangan ramai dari berbagai aliran mistik yang harus dimengerti sebagai usaha mengungkapkan diri dan mencari makna ditengah-tengah suatu 27 28 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia. ( Jakarta : Djaya Pirusa, 1981). Hlm. 252.

  Bekker, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah, 1979), zaman yang kacau. Bahkan hal itu terkadang sebagai suatu bentuk organisasi

  29 modern untuk menghidupkan kembali warisan kebudayaan Jawa.

  Sementara solusi yang ditawarkan oleh kelompok agamawan tidak serta merta mampu menyejukkan jiwa masyarakat yang sedang kekeringan batin, doktrin ajaran yang biasa menjadi sangat menjemukan dan memuakkan bagi sebagian besar bagi masyarakat yang sedang menderita. Apalagi ajaran-ajaran

  30 agama yang terlalu bersifat doktriner teologis yang ketat.

  Di masa seperti itu, orang butuh sesuatu yang mampu menjawab berbagai tantangan hidup dan perubahan zaman. Maka tak heran kalau di tengah kejenuhan hidup tumbuhlah berbagai aliran-aliran agama lokal yang menjanjikan sebuah pencerahan dan sebuah kepastian. Dari latar belakang keresahan seperti itulah yang mendorong segala jenis gerakan-gerakan kebatinan, semangat kebatinan ini menjadi harapan besar untuk datangnya zaman baru yang adil, aman, makmur,

  31 sentosa dan lain sebagainya.

  Saat itu banyak pilihan atau alternatif pilihan yaitu berupa paguyuban atau komunitas, dimana orang bisa mencari dan mendapatkan sebuah keselamatan, kedamaian dan kecukupan, yaitu seperti aliran kepercayaan Sapto Dharmo, Susila Budhi Dharma, Pangestu, Adam Makrifat, Kawruh Bejo, Budha Jawi, Pran-Suh, Waris Mataram dan lain sebagainya. Dalam data Departemen Agama tahun 1953 melaporkan adanya 360-an aliran kepercayaan di Indonesia.

  29 30 Niels Mulder, Mistisme Jawa, Ideologi Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 20. 31 Haryo Aji, Dunia Mistik, hlm. 7. Gerakan kebatinan yang sangat pesat pada periode itu, selain bergerak di bidang spiritual, mereka juga membentuk wadah di kalangan para penghayat kepercayaan itu sendiri, yaitu dengan membentuk Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) pada tanggal 19 Agustus 1955 di Semarang. Pembentukan BKKI itu dihadiri oleh 70 wakil aliran besar kepercayaan se-Indonesia dan memutuskan untuk memilih Wongsonegoro sebagai ketua kongres tersebut. Latar belakang pembentukan ini adalah sebagai wujud preventif terhadap anggapan dan prasangka buruk yang diarahkan kepada kelompok keprcayaan ini. BKKI inilah yang memperjuangkan hak-hak kelompok aliran kepercayaan

  32

  untuk disetarakan dengan ”agama resmi”.

B. Lahirnya Mistik Kapribaden

  Sebagaimana telah kita kenal, bahwa di Jawa masih terdapat banyak aliran mistik Kebatinan yang sampai saat ini masih eksis, seperti Sapto Darmo, Hardapusara, Susila Budi Darma (Subud), Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Paguyuban Sumarah, dan lain-lain. Terlepas dari aliran-aliran mistik kebatinan tersebut, terdapat sebuah aliran mistik yang sampai saat ini kurang terkenal dan masih asing di telinga mayoritas masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Mistik yang dimaksud penulis tidak lain ialah mistik Kapribaden.