PENGARUH PENDIDIKAN DAN PENDAPATAN ORANG (1)

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Secara umum pendidikan dipandang sebagai faktor utama dalam bidang
pembangunan. Pandangan ini mengandung suatu pengertian bahwa pendidikan dapat
memotori dan menopang proses pembangunan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi
salah satu kebutuhan masyarakat yang dianggap sangat penting. Namun cukup
banyak permasalahan yang dihadapi dalam proses pemenuhan akan pendidikan,
khususnya di Indonesia yaitu masalah kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan dari
lembaga pendidikan pada jenjang tertentu dapat dilihat dari kualitas lulusan yang
dihasilkannya.
Salah satu indikator untuk menilai kualitas pendidikan adalah prestasi belajar
yang dicapai oleh siswa. Menurut Muhibbin (2011: 141), “Prestasi belajar adalah
tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah
program”. Prestasi belajar ini digunakan untuk menilai hasil pembelajaran para siswa
pada akhir jenjang pendidikan tertentu. Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat
dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan,
keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik (Syaodih, 2003: 102-103).

Rendahnya prestasi belajar merupakan salah satu masalah yang sering kita
jumpai dalam masyarakat kita dan masalah ini hampir terdapat di seluruh sekolah
baik itu tingkat dasar, menengah bahkan di perguruan tinggi. Sebagai bangsa yang
ingin maju, kita juga tentu menginginkan agar kualitas pendidikan kita dapat
meningkat. Tetapi persoalannya adalah bahwa masalah pendidikan ini sangat

2

kompleks yang terkait dengan berbagai hal, dari masalah kebijakan pemerintah
secara nasional sampai dengan masalah yang menyangkut masing-masing peserta
didik.
Mengingat pentingnya mutu pendidikan, maka perlulah kiranya untuk
menyelidiki variabel-variabel yang berhubungan dan sejauh mana hubungan tersebut
dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Karena kebanyakan orang percaya
kegagalan anaknya disebabkan oleh kemampuan otaknya yang kurang. Mereka
belum menyadari bahwa masih banyak faktor lain yang ikut menentukan
keberhasilan studi anak. Meskipun kita tidak dapat menyangkal bahwa otak yang
cerdas merupakan faktor yang dominan dalam menentukan studi seseorang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar banyak jenisnya, tetapi
dapat digolongkan menjadi dua yaitu faktor ekstern dan faktor intern. Ini sesuai

dengan pendapat Slameto (2003 : 54) yang menyatakan bahwa, “Faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa digolongkan menjadi dua golongan saja yaitu
faktor internal dan faktor eksternal”. Faktor ekstern yaitu faktor yang ada pada luar
individu, dapat berasal dari keluarga, sekolah, masyarakat, sebagai contoh yaitu
keharmonisan keluarga, pendidikan dan pendapatan orang tua. Faktor intern adalah
faktor yang ada dalam diri individu siswa, baik berasal dari jasmani maupun rohani
seperti cacat tubuh, aspek psikologis anak dan sikap siswa terhadap pelajaran
tertentu.
Faktor penentu keberhasilan belajar dalam proses pembelajaran adalah
individu sebagai pelaku dalam kegiatan belajar. Tanpa kesadaran, kemauan, dan
keterlibatan individu dalam pembelajaran, maka hasil belajar kurang maksimal.

3

Belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Namun untuk pertama kalinya
aktivitas belajar dilakukan dalam lingkungan keluarga, sebab keluarga adalah
lingkungan yang pertama dan utama bagi pendidikan anak. Kondisi keluarga sangat
berpengaruh terhadap perilaku siswa, karena dari lingkungan inilah siswa mulai
berinteraksi dengan orang lain, baik keluarga maupun masyarakat sekitarnya.
Variabel status keluarga seperti tingkat pendidikan orangtua telah dianggap

sebagai faktor yang berpengaruh terhadap prestasi akademik anak-anak. Tingkat
pendidikan orang tua akan menentukan cara orang tua dalam membimbing dan
mengarahkan anaknya dalam hal pendidikan. Tingkat pendidikan orang tua yang
rendah akan cenderung sempit wawasannya terhadap pendidikan, sedangkan tingkat
pendidikan orang tua yang tinggi akan lebih luas wawasannya terhadap pendidikan.
Mereka akan mengarahkan dan membimbing anaknya untuk terus menambah ilmu
sehingga anak tersebut mempunyai minat dalam belajar.
Kemudian pendapatan sebuah keluarga juga sangat berpengaruh terhadap
kelancaran proses belajar anak. Keluarga merupakan lembaga sosial pertama yang
dikenal oleh anak dan dalam keluarga ini dapat ditanamkan sikap-sikap yang dapat
mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Keluarga bertanggung jawab
menyediakan dana untuk kebutuhan pendidikan anak. Keluarga (orang tua) yang
mempunyai pendapatan tinggi tidak akan banyak mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan sekolah anak, berbeda dengan orang tua yang pendapatannya
rendah. Contohnya anak dalam belajar akan sangat memerlukan sarana penunjang
belajarnya, yang kadang-kadang harganya mahal. Bila kebutuhannya tidak terpenuhi
maka ini akan menjadi penghambat bagi anak dalam pembelajaran.

4


Sikap adalah faktor intern yang mempengaruhi proses belajar dan hasil
belajar siswa. Sikap diartikan sebagai penilaian seseorang terhadap suatu obyek,
situasi, konsep, orang lain maupun dirinya sendiri akibat hasil dari proses belajar
maupun pengalaman di lapangan yang menyatakan rasa suka (respon positif) dan
rasa tidak suka (respon negatif).
Dalam pembelajaran matematika sikap sangat penting karena sikap
merupakan salah satu tipe karakteristik afektif yang sangat menentukan keberhasilan
seseorang dalam proses pembelajaran. Sikap belajar ikut menentukan intensitas
kegiatan belajar. Sikap belajar yang positif akan menimbulkan intensitas kegiatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sikap belajar yang negatif. Siswa yang sikap
belajarnya positif akan belajar lebih aktif dan dengan demikian akan memperoleh
hasil yang lebih baik dibandingkan siswa yang sikap belajarnya negatif.
Sikap mengandung tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan tingkah laku
(Azwar S, 2009: 4). Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek dan sikap terhadap
objek ini disertai dengan perasaan positif atau negatif. Sikap belajar penting karena
didasarkan atas peranan guru dalam proses belajar mengajar. Gaya mengajar yang
diterapkan guru disekolah berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar siswa. Sikap
belajar bukan saja sikap yang ditujukan pada guru , melainkan juga pada tujuan yang
dicapai, materi pelajaran, tugas, dan lain-lain. Sikap senang atau tidak senang siswa
dalam belajar matematika akan berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar yang

dicapainya.
Peneliti pernah melakukan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP
Negeri 3 Sigli Kabupaten Pidie pada bulan Agustus sampai dengan bulan November

5

2012. Dalam proses pembelajaran, peneliti banyak menemukan perbedaan sikap
belajar antara satu siswa dengan siswa lainnya. Oleh karena itulah, peneliti menjadi
tertarik untuk membuat penelitian tentang sikap siswa tersebut.
Di samping itu, di daerah pedesaan atau di daerah pelosok penghasilan orang
tua relatif dianggap homogen. Tetapi akan menjadi lain bila kita mengamati hal yang
sama pada SMP Negeri 3 Sigli, mengingat bahwa SMP ini adalah sekolah yang
berlokasi di daerah pinggiran pantai. Sebagaimana yang dimaksudkan dari penelitian
ini penulis melihat penghasilan sebulan dari orang tua siswa. Berlatar belakang
sosiokultur pedesaan dan bahkan sekelompok orang pedesaan bersosiokultur
perkotaan, maka tentu penghasilan keluarga disana juga jadi bervariasi dan
heterogen. Keadaan dengan penghasilan orang tua yang bervariasi dan heterogen
seperti ini menciptakan karakteristik tersendiri yang khas. Dengan kondisi
penghasilan orang tua seperti di atas juga dapat menyebabkan prestasi belajar siswa
yang beraneka ragam.

Dari paparan diatas, penulis berkeinginan untuk mengadakan penelitian
dengan judul “Pengaruh Pendidikan Orang Tua dan Pendapatan Orang Tua
terhadap Sikap dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 3 Sigli
Tahun Pelajaran 2012/2013”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran seperti yang telah diuraikan di atas maka lingkup
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini difokuskan pada pengaruh
pendidikan orang tua dan pendapatan orang tua terhadap sikap dan prestasi belajar

6

matematika siswa serta interaksi dari variabel-variabel tersebut. Untuk lebih jelasnya
maka masalah penelitian dirumuskan seperti berikut:
a. Bagaimana pengaruh pendidikan orang tua dan pendapatan orang tua
terhadap sikap belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Sigli? Selanjutnya
rumusan masalah ini dijabarkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh langsung pendidikan orang tua dan pendapatan orang
tua terhadap sikap belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Sigli, baik
secara individual maupun klasikal?
b. Bagaimana pengaruh pendidikan orang tua, pendapatan orang tua dan sikap

siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Sigli?
Selanjutnya rumusan masalah ini dijabarkan dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh langsung pendidikan orang tua, pendidikan orang tua,
dan sikap siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP Negeri
3 Sigli, baik secara individual maupun klasikal?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Pengaruh pendidikan orang tua dan pendapatan orang tua terhadap sikap
belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Sigli, baik secara individual maupun
klasikal.
b. Pengaruh pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, dan sikap siswa
terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP Negeri 3 Sigli, baik secara
individual maupun klasikal.

7

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
a. Menjadi bahan informasi bagi orang tua siswa maupun para pengelola

pendidikan dalam kaitannya dengan usaha peningkatan mutu pendidikan
yaitu prestasi belajar siswa.
b. Sebagai bahan informasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya terutama yang erat
kaitannya dengan permasalahan di atas.
1.5 Anggapan Dasar dan Hipotesis Penelitian
1.5.1

Anggapan Dasar
Menurut Arikunto (2006 : 72-73), "Anggapan dasar adalah sesuatu yang

diyakini kebenarannya oleh peneliti yang akan berfungsi sebagai hal-hal yang
dipakai untuk tempat berpijak bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian".
Adapun yang menjadi anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sikap dan
prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh faktor intern dan faktor ekstern.
1.5.2

Hipotesis penelitian
Menurut Suryabrata (2004: 21), “Hipotesis penelitian adalah jawaban

sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara

emperis”. Berdasarkan latar belakang masalah dan pendapat para ahli maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
a. Pendapatan orang tua dan pendidikan orang tua mempunyai pengaruh yang
signifikan secara bersama-sama terhadap sikap belajar matematika siswa
SMP Negeri 3 Sigli.

8

b. Pendidikan orang tua, pendapatan orang tua dan sikap siswa mempunyai
pengaruh yang signifikan secara bersama-sama terhadap prestasi belajar
matematika siswa SMP Negeri 3 Sigli.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini terbatas di SMP Negeri 3 Sigli tahun ajaran 2012/2013.
b. Teknik pengumpulan data yang digunakan hanya angket dan dokumentasi.
c. Penilaian yang digunakan untuk menilai prestasi belajar matematika siswa
diperoleh dari raport siswa semester ganjil.
1.7 Organisasi Laporan Penelitian
Operasi laporan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu dengan perincian
sebagai berikut:

Bab I

Sebagai bab pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, anggapan dasar
dan hipotesis penelitian, ruang lingkup penelitian, dan organisasi laporan
penelitian.

Bab II

Sebagai bab landasan teori yang membahas tentang konsep dan pengertian
belajar, prestasi belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sikap
siswa dalam belajar, tingkat pendidikan orang tua, hubungan tingkat
pendidikan orang tua dengan prestasi belajar siswa, tingkat pendapatan
orang tua, dan hubungan tingkat pendapatan orang tua dengan prestasi
belajar siswa.

9

Bab III


Membahas tentang metodologi penelitian yang berisikan tentang tempat
dan waktu penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data,
proses pengumpulan data dan teknik pengolahan data.

Bab IV Memuat hasil penelitian dan membahas tentang pengumpulan data,
pengolahan data, tinjauan terhadap hipotesis penelitian dan pembahasan.
Bab V

Sebagai bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran
hasil penelitian.

10

B A B II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Konsep dan Pengertian Belajar
Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan banyak faktor. Faktor-faktor
tersebut saling berhubungan sehingga menjadi kompleks. Definisi yang tepat tentang
belajar menjadi semakin rumit, namun demikian dengan sudut pandang yang
beragam para ahli pendidikan telah mencoba memberikan definisi tentang belajar.
Winkel (Darsono, 2000: 4) menyatakan bahwa, “Belajar adalah suatu aktivitas
mental/psikis dalam interaksi aktif subyek dengan lingkungan dan menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap yang
bersifat menetap”.
Pendapat senada dikemukakan oleh Garrett (Rasyad, 2003: 29) yang
menyatakan bahwa, “Belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka
waktu lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada perubahan
diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu”. Pengertian
belajar selanjutnya dikemukakan oleh Slameto (2003: 57) yang menyatakan bahwa,
“Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan secara menyeluruh sebagai hasil
pengalaman anak itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungan”. Dari sudut
pandang lain, Ahmadi (2003: 81) menyatakan bahwa, “Belajar adalah suatu proses,
bukan suatu hasil. Oleh karena itu, belajar berlangsung secara aktif dan integratif
dengan menggunakan berbagai bentuk perubahan untuk mencapai tujuan”.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses
yang membawa perubahan tingkah laku berupa pengetahuan pada diri anak sehingga

11

terjadi perubahan-perubahan yang lebih baik dari yang dicapai sebelumnya.
Perubahan terjadi karena adanya usaha anak yang sengaja dilakukan untuk mencapai
tujuan. Salah satu cara untuk mengetahui bahwa untuk mencapai tujuan tersebut
sudah dicapai atau belum maka pengetahuan anak dapat dilihat melalui tes yang
diberikan oleh gurunya.
2.2 Prestasi Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
2.2.1

Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan

belajar, karena prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dari
suatu kegiatan belajar. Darmadi (2009: 100) menyatakan bahwa, “Prestasi belajar
adalah sebuah kecakapan atau keberhasilan yang diperoleh seseorang setelah
melakukan sebuah kegiatan dan proses belajar sehingga dalam diri seseorang tersebut
mengalami perubahan tingkah laku sesuai dengan kompetensi belajarnya”.
Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses
belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emseosional, atau perubahan tingkah
laku yang dapat diukur dengan tes tertentu (Abdullah, 2008: 13). Sedangkan menurut
Haryati (2008: 43), ”Prestasi belajar merupakan hasil usaha yang dilakukan dan
menghasilkan perubahan yang dinyatakan dalam bentuk simbol untuk menunjukkan
kemampuan pencapaian belajar dalam waktu tertentu”.
Dari pengertian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa prestasi belajar
merupakan hasil yang telah dicapai murid, yaitu perubahan tingkah laku yang
dinyatakan dalam bentuk angka yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah
materi pelajaran yang telah dipelajari. Ini berarti bahwa prestasi merupakan suatu

12

ukuran berhasil tidaknya seorang siswa setelah mengikuti pelajaran tertentu termasuk
pelajaran matematika.
2.2.2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Prestasi belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang

berasal dari dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Faktor yang
berasal dari diri sendiri meliputi faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor
kematangan fisik maupun psikis. Sedangkan faktor yang berasal dari luar dirinya
meliputi faktor sosial (lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
masyarakat dan lingkungan masyarakat), faktor budaya, faktor lingkungan fisik, dan
faktor lingkungan spiritual.
a. Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam individu yang
bersangkutan dengan seluruh pribadi baik fisik maupun mental. Faktor ini dibagi
menjadi dua faktor yaitu:
a. Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis yang mempengaruhi prestasi belajar siswa
adalah sebagai berikut:
i. Kesehatan jasmani
Kesehatan jasmani sangat mempengaruhi dalam proses belajar
mengajar, anak didik yang mengalami kekurangan fisik akan mengalami
kesulitan dalam belajar. Adapun cacat jasmani yang mungkin ada pada
anak didik di antaranya adalah tuli, bisu dan sebagainya.

13

Cacat yang telah disebut di atas, jika salah satunya ada pada anak
didik maka si anak akan terganggu dalam proses belajar dan merasa
minder sehingga dia akan tertinggal dalam belajar.
ii. Kesehatan rohani
Kesehatan rohani juga sangat penting dan berpengaruh dalam
proses belajar, dapat kita lihat bahwa kegiatan yang disebut berpikir
dalam prosesnya sangat berkait dengan kemampuan kecerdasan siswa.
Kecerdasan sangat dipengaruhi oleh kegiatan belajar, jika siswa lemah
dalam berpikir maka akan mengalami kesulitan dalam proses belajar.
Kegiatan belajar siswa banyak tergantung pada faktor ingatan dan
perasaan.
b. Faktor psikologis
Jika seseorang anak yang mengalami gangguan psikologis dalam
belajar akan mengganggu kebahagiaan fisik yang pada akhirnya berpengaruh
pada prestasi belajar siswa. Faktor psikologis adalah faktor yang
mempengaruhi kejiwaan. Adapun faktor ini antara lain:
a. Intelegensi
Intelegensi merupakan kecerdasan yang dimiliki oleh setiap
individu yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan belajar, cepat
tidaknya suatu permasalahan dapat dipecahkan tergantung kemampuan
intelegensinya. Winkel (Darsono, 2000: 529) menyatakan bahwa,
"Intelegensi atau kemampuan intelektual menunjukkan peranan yang
sangat penting khususnya terpengaruh kuat terhadap tinggi rendahnya

14

prestasi yang dicapai oleh siswa, kenyataan ini semakin nampak dalam
prestasi pada bidang studi yang menuntut banyak berpikir”.
b. Bakat
Bakat dapat diartikan sebagai kemampuan bawaan seseorang yang
perlu dilatih dan dikembangkan agar lebih tertuju. Menurut Slameto
(2003: 57), ”Jika bahan pelajaran yang dipelajari dengan bakatnya maka
hasil belajarnya lebih baik pula”.
Bakat juga merupakan salah satu faktor yang besar pengaruhnya
terhadap pemahaman dalam mencapai prestasi yang lebih baik bagi siswa.
Kalau sebaliknya siswa tidak mengembangkan bakat yang ada pada
dirinya maka sedikit demi sedikit bakat itu akan hilang dengan sendirinya.
c. Minat
Minat merupakan keinginan untuk belajar. Jika siswa tidak
berminat pada pelajaran maka siswa tersebut tidak memahami dengan
baik pelajaran yang disajikan, sehingga tidak berhasilnya proses belajar
seperti yang diharapkan. Menurut Sumardi (2004: 184), “Jika seseorang
tidak berminat untuk mempelajari sesuatu maka tidak dapat diharapkan
bahwa ia akan berhasil dengan baik dalam mempelajari hal tersebut”.
d. Motivasi
Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai daya
penggerak yang telah menjadi aktif (Sardiman, 2001: 71). Sementara itu
Dalyono (2005: 55) memaparkan bahwa, “Motivasi adalah daya

15

penggerak/pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan, yang bisa
berasal dari dalam diri dan juga dari luar”.
Dari pendapat para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
motivasi merupakan dorongan terhadap seseorang untuk melakukan
sesuatu motivasi akan mempengaruhi seseorang dalam melakukan sesuatu
untuk

mencapai

tujuan.

Motivasi

sangat

mempengaruhi

tingkat

keberhasilan dalam belajar. Apabila motivasi belajar kuat maka semangat
belajar pun tinggi, sebaliknya apabila motivasi belajar lemah maka
semangat belajar pun rendah. Dengan demikian motivasi adalah suatu
faktor yang mempengaruhi belajar.
b. Faktor Ekstern
Faktor ekstern merupakan faktor yang timbul dari luar diri siswa yang
mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Slameto (2003: 2) membagi faktor ekstern
kepada tiga bagian sebagai berikut:
1. Faktor keluarga
Keluarga merupakan tempat yang pertama bagi seorang anak dalam
pembentukan moral serta tingkah laku sehari-hari dan juga memberi
ketenangan dan kegembiraan anak untuk menjalani hidup selanjutnya. Siswa
yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua
mendidik relasi antara keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi
keluarga.
Orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya, maka anak
berpikir bahwa orang tua saja tidak mau tahu tentang belajarnya, tidak pernah

16

memberikan dorongan untuk belajar. Apapun yang terjadi dalam belajar
misalnya memperoleh nilai jelek, orang tua tidak pernah menanyakan atau
memperhatikan.
2. Faktor sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai
peranan penting dalam usaha meningkatkan potensi siswa dan sekolah
mempunyai tujuan sehingga dapat mendorong siswa untuk belajar lebih giat.
Lingkungan sekolah ditentukan oleh beberapa faktor, metode
mengajar yang tidak sesuai dengan materi yang diajarkan akan
mengakibatkan siswa cepat bosan. Ketidaklengkapan sarana dan prasarana
mengakibatkan gangguan dalam mencapai tujuan pendidikan sebagaimana
yang diharapkan. Kemampuan guru sangat dituntut dan memegang peranan
penting dalam usaha meningkatkan prestasi dan keberhasilan siswa.
Kurikulum yang baik, interaksi antara guru dan siswa harus terlihat akrab.
3. Faktor masyarakat
Diantara faktor-faktor masyarakat yang banyak mempengaruhi
prestasi belajar siswa adalah media, pergaulan siswa dan kegiatan siswa
dalam masyarakat. Rahayu (2002: 6) mengatakan ada empat faktor, yaitu:
1.
Mess media, misalnya bioskop, TV, majalah, radio dan lain-lain.
2.
Teman bergaul.
3.
Aktivitas dalam masyarakat.
4.
Corak kehidupan lingkungan masyarakat yang jelek, misalnya lingkungan
penjudi, prostitusi dan pencuri.

17

2.3 Sikap Siswa Dalam Belajar
2.3.1 Pengertian Sikap
Menurut Muhibbin (2011: 132), “Sikap adalah gejala internal yang
berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response
tendence) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan
sebagainya, baik secara positif maupun negatif”.
Menurut Djaali (2008: 114), “Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak
berkenaan dengan objek tertentu. Sikap bukan tindakan nyata (overt behavior)
melainkan masih bersifat tertutup (covert behavior)”. Menurut Robert R.Gabe
(Siskandar, 2008: 440), “Sikap merupakan kesiapan yang terorganisir yang
mengarahkan atau mempengaruhi tanggapan individu terhadap obyek”.
Definisi sikap yang telah dikemukakan di atas, masih umum dan bersifat
teoritis. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pengukurannya, oleh sebab itu Show
dan Wright (Azwar, 2000: 5) menyatakan bahwa, ”Sikap memiliki referensi atau
kelas referensi yang spesifik dan membatasi konstruksi sikap komponen afektif saja”.
Lebih jauh mereka mengemukakan, aspek afektif ini mendahului tingkah laku dan
didasarkan pada proses kognitif.
Menurut Azwar, sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang yaitu:
1.

Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai
oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe
yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan
(opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang
kontroversial.
2.
Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek
emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam

18

sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang mungkin dapat mengubah sikap seseorang.
Komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang
terhadap sesuatu.
3.
Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku
tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Komponen konatif
berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap
sesuatu dengan cara-cara tertentu.
Dari semua pengertian yang di ungkapan di atas dapat diambil sebuah
pengertian tentang sikap, yaitu sikap adalah penerimaan, tanggapan, dan penilaian
seseorang terhadap suatu obyek, situasi, konsep, orang lain maupun dirinya sendiri
akibat hasil dari proses belajar maupun pengalaman di lapangan yang menyebabkan
perasaan senang (positif/sangat positif) atau tidak senang (negatif/sangat negatif).
2.3.2

Tingkatan Sikap
Menurut Silverius (Riyono, 2005: 11), sikap meliputi lima tingkat

kemampuan yaitu:
a. Menerima (Receiving)
Tingkat ini berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk ikut
dalam suatu fenomena atau stimulus khusus, misalnya dalam kegiatan
pembelajaran di kelas. Kata-kata kerja operasional yang dapat digunakan untuk
rumusan indikatornya adalah menanyakan, menyebutkan, mengikuti, dan
menyeleksi.
b. Menanggapi/Menjawab (Responding)
Pada tingkatan ini, siswa tidak hanya menghadiri suatu fenomena tetapi
juga bereaksi terhadapnya. Kata-kata kerja operasional yang dapat digunakan
untuk rumusan indikatornya adalah menjawab, berbuat, melakukan, dan
menyenangi.
c. Menilai (Valuing)

19

Tingkat ini berkenaan dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap
sesuatu obyek atau fenomena tertentu. Tingkat ini berjenjang mulai dari hanya
sekedar penerimaan sampai pada tingkat komitmen yang lebih tinggi. Kata-kata
kerja operasional yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah
membedakan, mempelajari, dan membaca.
d. Organisasi (Organization)
Hasil belajar pada tingkat ini berkenaan dengan organisasi suatu nilai
(merencanakan suatu pekerjaan yang memenuhi kebutuhannya). Kata-kata kerja
operasional yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah
menyiapkan, mempertahankan, mengatur, menyelesaikan, dan menyusun.
e. Karakteristik dengan suatu nilai atau kompleks nilai
Hasil belajar pada tingkat ini meliputi banyak kegiatan, tapi
penekanannya lebih besar diletakkan pada kenyataan bahwa tingkah laku itu
menjadi ciri khas atau karakteristik siswa tersebut. Kata-kata kerja operasional
yang dapat digunakan untuk rumusan indikatornya adalah menerapkan,
membenarkan cara pemecahan masalah, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini tingkatan sikap siswa
terhadap pembelajaran matematika dijabarkan sebagai berikut:
1. Pada tingkat pertama (menerima), sikap positif siswa dapat dilihat dari
kesediaan siswa untuk mengikuti pembelajaran matematika di kelas.
2. Pada tingkat kedua (menanggapi), siswa yang bersikap positif akan
cenderung menyenangi pembelajaran matematika di kelas.
3. Pada tingkat ketiga (menilai), siswa yang bersikap positif akan berusaha
untuk mempelajari materi matematika lebih dalam lagi. Sebagai contoh
mempelajari materi matematika saat di rumah.
4. Pada tingkat keempat (organisasi), siswa yang bersikap positif akan berusaha
menyelesaikan masalah / soal-soal matematika yang ada secara maksimal
walaupun soal-soal tersebut tergolong sangat sulit.

20

5. Pada tingkat kelima (karakteristik), siswa yang bersikap positif terhadap
pembelajaran matematika akan berusaha menerapkan pengetahuannya dalam
memecahkan masalah pada kehidupan sehari-hari atau dapat berpikir kritis
dalam menghadapi segala hal.
2.3.3

Pengukuran sikap
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap.

Menurut Bloom (Annisa, 2011: 20) dalam pengajaran matematika dikenal dua
kategori skala sikap yaitu “Interest and Attitude” dan “Appreciation”. Kategori
pertama mencakup lima dimensi afektif, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Attitude yaitu tingkat kecenderungan positif
atau Eegative yang berhubungan dengan suatu objek psikologis.
Interest atau minat yaitu kecenderungan
menghayati suatu objek untuk mengenal objek tersebut.
Motivation (motivasi) yaitu kekuatan yang ada
didalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan
aktivitas – aktivitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan.
Anxiety yaitu kecemasan seseorang yang
disebabkan oleh rasa ketidakmampuannya dalam memecahkan suatu
permasalahan.
Self – concept yaitu pandangan individu
terhadap dirinya sendiri yang sangat dipengaruhi oleh anggapan dan pendapat
dari orang lain.
Kategori kedua dibedakan atas tiga dimensi, yaitu:

1. Extrinsic Appreciation adalah aktivitas yang timbul akibat dari dorongan yang
berasal dari luar diri individu.
2. Intrinsic Appreciation adalah aktivitas yang timbul karena adanya dorongan
dari dalam diri individu itu sendiri.
3. Operational Appreciation adalah bentuk perbuatan intelektual yang mungkin
terjadi selama proses berpikir.
Beberapa aspek sikap yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu:
a. Keyakinan
Kategori keyakinan dirancang untuk mengukur kepercayaan diri siswa
dan konsep kinerja mereka dalam matematika. Contohnya siswa yakin dapat

21

mempelajari matematika dengan baik, tidak merasa gugup dan tertekan saat
belajar matematika, dapat memecahkan masalah matematika tanpa banyak
kesulitan, dan percaya pada diri sendiri saat mengerjakan soal matematika.
b. Nilai
Nilai dari kategori matematika dirancang untuk mengukur keyakinan
siswa pada relevansi, kegunaan dan nilai matematika dalam kehidupan mereka
sekarang dan di masa depan. Contohnya dengan memahami matematika ada
keyakinan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan berusaha memperdalam
pengetahuan tentang matematika misalnya mengikuti kursus matematika di luar
sekolah.
c. Kenikmatan
Kenikmatan dari kategori matematika dirancang untuk mengukur sejauh
mana siswa menikmati pelajaran matematika dan kelas matematika. Contohnya
senang mengikuti pelajaran mattematika dan mengerjakan latihan soal maupun
tugas matematika tepat waktu.
d. Motivasi
Kategori motivasi ini dirancang untuk mengukur minat dalam matematika
dan keinginan untuk melanjutkan studi dalam matematika. Contohnya siswa
merasa tertantang jika guru memberikan soal matematika yang sulit, dan merasa
penting untuk mendapatkan penilaian ataupun penghargaan atas latihan soal atau
tugas matematika.

2.3.4

Sikap Matematika

22

Menurut Arcavi (2006: 2), “Sikap matematika adalah kecenderungan
intelektual terhadap matematika dan pemecahan masalah, termasuk perspektif
tentang apa matematika dan aktivitas matematika”. Khalik (2006: 2) menjelaskan
bahwa, “Sikap matematika adalah faktor afektif yang sangat penting dalam
menentukan perilaku siswa dalam pemikiran matematika dan pemecahan masalah
karena upaya siswa dalam pemikiran matematis tergantung pada bagaimana mereka
tertarik dalam pemecahan masalah atau pelajaran”.
Definisi sikap matematika juga dikemukakan oleh Katagiri (2006: 13), yang
menegaskan bahwa ,”Mathematical thinking seperti sebuah sikap, di dalamnya dapat
dinyatakan sebagai keadaan "mencoba untuk melakukan" atau "bekerja untuk
melakukan" sesuatu. Hal ini tidak terbatas pada hasil yang diwakili oleh tindakan,
seperti dalam "kemampuan untuk melakukannya," atau "bisa melakukan" atau "tidak
bisa melakukan" sesuatu”.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat kita pahami bahwa sikap
matematika merupakan suatu kencenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak
suka terhadap suatu aktifitas pemecahan masalah matematika. Perubahan sikap
seorang siswa dapat diamati dalam proses pembelajaran. Dalam konteks pemecahan
matematika dan aktivitas matematika maka sikap matematika dapat diukur pada
empat dimensi pengukuran sikap yang disintesis berdasarkan definisi-definisi di atas
yaitu:
1.
2.
3.
4.

Memahami masalah dan tujuan serta substansi masalah dengan jelas
secara mandiri
Mencoba mengambil tindakan logis
Mencoba untuk mengekspresikan hal-hal dengan jelas dan ringkas
Mencoba mencari penyelesaian yang lebih baik.

2.4 Tingkat Pendidikan Orang Tua

23

2.4.1

Pengertian Pendidikan
Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 14 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 yang dimaksud pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Menurut Ihsan (2003: 05), pendidikan dapat diartikan sebagai:
1. Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan;
2. Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam
pertumbuhannya;
3. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang
dikehendaki oleh masyarakat;
4. Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju
kedewasaan.
2.4.2

Tingkat Pendidikan Orang Tua
Tingkat atau jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan

yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat kerumitan
bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran (Ihsan, 2003: 18). Jenjang
pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat

24

(Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 17 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Menurut Ihsan (2003: 22), “Pendidikan dasar adalah pendidikan yang memberikan
pengetahuan dan keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam
masyarakat, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan
menengah”.
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah
kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat (Undang-undang No. 20 Tahun
2003 Pasal 18 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Pendidikan menengah adalah
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial
budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut
dalam dunia kerja atau pendidikan (Ihsan, 2003: 23).
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis,
dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Perguruan Tinggi dapat
berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas (Undangundang No. 20 Tahun 2003 Pasal 19 dan 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Menurut Undang-Undang No.2 tahun 1999, pengukuran tingkat pendidikan
formal digolongkan menjadi 4 (empat) yaitu:
1. Tingkat pendidikan sangat tinggi, yaitu minimal pernah menempuh
pendidikan tinggi

25

2. Tingkat pendidikan tinggi, yaitu pendidikan SLTA/sederajat
3. Tingkatan pendidikan sedang, yaitu pendidikan SMP/sederajat
4. Tingkat pendidikan rendah, yaitu pendidikan SD/sederajat
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan tingkat pendidikan orang tua
adalah tingkat pendidikan menurut jenjang pendidikan yang telah ditempuh, melalui
pendidikan formal di sekolah berjenjang dari tingkat yang paling rendah sampai
tingkat yang paling tinggi, yaitu dari SD, SMP, SMA sampai Perguruan Tinggi.
2.5 Hubungan Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa
Menurut Slameto (2003: 60-64), “Siswa yang belajar akan menerima
pengaruh dari keluarga berupa: cara orang tua mendidik, relasi antara anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar
belakang kebudayaan”. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih
tinggi memiliki sumber daya yang cenderung lebih besar, baik pendapatan, waktu,
tenaga, dan jaringan kontak, yang memungkinkan mereka untuk terlibat lebih jauh
dalam pendidikan anak. Dengan demikian, pengaruh tingkat pendidikan orang tua
pada prestasi terbaik siswa mungkin direpresentasikan sebagai hubungan yang
dimediasi oleh interaksi antara proses dan variabel status.
Literatur juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap
pengetahuan orang tua, keyakinan, nilai, dan tujuan tentang pengasuhan, sehingga
berbagai perilaku orang tua berkaitan langsung dengan prestasi sekolah anak-anak.
Sebagai contoh, tingkat pendidikan yang lebih tinggi dapat meningkatkan fasilitas
orang

tua

untuk

terlibat

dalam

pendidikan

anak-anak mereka,

dan

juga

memungkinkan orang tua untuk memperoleh model keterampilan sosial dan strategi
pemecahan masalah yang kondusif bagi sekolah untuk keberhasilan anak-anak.

26

Dengan demikian, siswa yang orang tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih
tinggi mungkin memiliki hal untuk kesempurnaannya belajar, keyakinan akan
kemampuan yang lebih positif, orientasi kerja yang kuat, dan mereka mungkin
menggunakan strategi belajar yang lebih efektif daripada anak-anak dengan orang tua
yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah.
Sementara banyak teori para ahli dan peneliti yang berpendapat bahwa siswa
yang memahami makna prestasi telah memiliki dasar-dasar yang cukup baik dalam
proses sosialisasi, seperti belajar melalui pengamatan permodelan orangtuanya, yang
lain berpendapat bahwa melalui kualitas pribadi mereka, anak-anak aktif terhadap
bentuk pengasuhan yang mereka terima. Orang tua mensosialisasikan anak-anak
mereka, tetapi anak-anak juga mempengaruhi orang tua mereka. Orang tua dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga memungkinkan untuk lebih percaya diri
pada kemampuan mereka dalam membantu anak-anak mereka belajar. Dengan
tingkat keyakinan tersebut maka diperkirakan akan berpengaruh secara signifikan
terhadap kemampuan akademis anak-anak.
2.6 Tingkat Pendapatan Orang Tua
Dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan yang lainnya setiap
orang memerlukan pekerjaan. Dengan bekerja mereka akan memperoleh pendapatan.
Apabila pendapatan tersebut dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mencukupi
kebutuhan rumah tangga lainnya, maka keluarga tersebut dikatakan makmur.
Pendapatan adalah semua penghasilan yang didapat oleh keluarga baik berupa uang
ataupun jasa. Setiap orang berhak untuk mencari nafkah dalam upaya untuk

27

mencukupi kebutuhan hidup sehingga pendapatan dapat mempengaruhi seseorang
untuk mengejar apa yang mereka cita-citakan.
Untuk masyarakat yang mempunyai penghasilan yang kecil, hasil dari
pekerjaannya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk keluarga yang
berpenghasilan menengah mereka lebih terarah kepada pemenuhan kebutuhan pokok
yang layak seperti makan, pakaian, perumahan, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan
keluarga yang berpenghasilan tinggi dan berkecukupan mereka akan memenuhi
segala keinginan yang mereka inginkan termasuk keinginan untuk menyekolahkan
anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Karsidi, 2008:34).
Di dalam menyekolahkan anak, masyarakat membutuhkan pembiayaan yang
tidak sangat kecil sehingga membutuhkan suatu pengorbanan sehingga pendidikan
itu dianggap sebagai suatu investasi di masa depan. Menurut Schultz (Soenarya,
2000: 31), “Pembiayaan yang dialokasikan untuk pendidikan tidak semata-semata
bersifat konsumtif, tetapi lebih merupakan suatu investasi dalam rangka
meningkatkan kapasitas tenaga kerja untuk menghasilkan barang dan jasa.
Pendidikan di sekolah merupakan salah satu bagian investasi dalam rangka
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia”.
Investasi yang dilakukan masyarakat dalam dunia pendidikan tidak lepas dari
pengaruh pendapatan yang diperoleh sebagai akibat dari pekerjaan yang mereka
jalani. Berdasarkan penggolongannya, Badan Pusat Statistik (BPS, 2008)
membedakan pendapatan menjadi 4 golongan adalah:
1. Golongan pendapatan sangat tinggi, adalah jika pendapatan rata-rata lebih
dari Rp. 3.500.000,00 per bulan
2. Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.
2.500.000,00 – s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan

28

3. Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.
1.500.000,00 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan
4. Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata 1.500.000,00
per bulan
Menurut Lipton (Rustiadi, 2007: 99) , “Meskipun secara historis negara Asia
mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi sebagian (proportion)
dari masyarakat perdesaan masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan dan
jumlahnya tidak banyak berkurang”. Kemudian secara umum dia menyimpulkan
bahwa di dalam ekonomi telah terjadi misalokasi sumber daya antara kawasan
perkotaan dan wilayah perdesaan yang dia sebut sebagai urban biased. Kita ketahui
bahwa jumlah penduduk perdesaan lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk
kota, namun bentuk permukiman penduduk perdesaan lebih tersebar, lebih miskin,
tidak berpikiran inovatif dan kurang terorganisasi dengan baik dibanding dengan
penduduk kota. Sebagai akibatnya terjadi bias dalam alokasi sumber daya yang
tercermin dalam kepincangan antara wilayah perdesaan dan kawasan perkotaan yang
secara ekonomi tidak efisien. Keadaan tersebut menyebabkan kurangnya investasi
dilakukan di wilayah perdesaan sebagai akibat dari transfer sumber daya yang
berlebihan ke arah kota-kota yang tercermin dari kurangnya fasilitas jasa-jasa umum
yang disediakan kepada masyarakat perdesaan yang miskin.
Kecenderungan umum juga terlihat dari terkonsentrasinya fasilitas umum
yang berlokasi pada pusat administrasi pemerintahan lokal, sedangkan di dalam
wilayah perdesaan yang jauh dan miskin bahwa fasilitas-fasilitas seperti sekolah,
puskesmas, penyuluh pertanian sering tidak dapat menjangkau. Kalaupun fasilitas
tersebut ada, tetapi ketersediaannya sangat tidak mencukupi, yang menyebabkan

29

sangat jauhnya perjalanan murid-murid pergi ke sekolah dan jarang dikunjungi
penyuluh pertanian, sehingga produktivitas mereka rendah.
Berdasarkan uraian di atas, pendapatan masyarakat antara satu sama lain
berbeda-beda tergantung jenis/profesi pekerjaan yang dilakukan sehingga variasi
tingkatan pendapatannya dapat berbeda-beda. Pendapatan yang dihasilkan dari
pekerjaan yang dilakukan ada yang dibayarkan per hari, mingguan atau bulanan
sehingga pendapatan inilah yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
baik keperluan makan atau keperluan lain seperti untuk keberlanjutan pendidikan
anak yang merupakan suatu investasi untuk masa depan.
2.7 Hubungan Tingkat Pendapatan Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa
Pendidikan memerlukan biaya, tenaga dan waktu yang cukup untuk berhasil,
disamping potensi fisik dan mental yang dimiliki. Biaya pendidikan yang dimaksud
di sini adalah biaya pendidikan formal, ketika biaya ini tidak dipenuhi pada saat
diperlukan maka akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan kemajuan
belajar anak.
Pernyataan di atas cukup beralasan mengingat untuk dapat mengembangkan
kecerdasan dan intelegensi anak dibutuhkan antara lain pemenuhan gizi yang cukup
dan tersedianya fasilitas belajar yang memadai. Pada golongan penghasilan kecil,
biaya yang dialokasikan untuk itu relatif kecil pula atau bahkan tidak sama sekali.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mulyanto (2005: 68) bahwa, “Golongan yang
berpenghasilan kecil adalah golongan yang memperoleh pendapatan sebagai imbalan
terhadap kerja mereka yang jumlahnya jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan

30

kebutuhan pokoknya. Jadi bagaimana mungkin memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain
bila kebutuhan pokok pun sulit dipenuhi”.
Sementara itu orang tua sendiri akan mengalami tekanan yang bersifat
fundamental, sehingga tidak dapat memberikan dorongan dan dukungan bagi
keberhasilan pendidikan anak-anaknya. Lain halnya dengan orang tua yang
perekonomiannya mapan, maka sang anak akan mendapatkan kesempatan yang lebih
luas dalam mengembangkan berbagai kesempatan yang tidak dapat ia kembangkan
apabila tidak ada alat-alatnya. Hubungan sosial antara orang tua dan anak akan
berlainan coraknya apabila orang tua hidup dalam keadaan ekonomi yang serba
cukup, sebab orang tua kurang mengalami tekanan yang sifatnya fundamental.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa siswa dengan penghasilan orang tua
yang besar akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk meningkatkan prestasi
belajarnya. Sedangkan bagi siswa dengan tingkat penghasilan orang tua rendah maka
kesempatan untuk itu relatif sempit.

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

31

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penelitian yaitu SMP Negeri 3 Sigli
Kabupaten Pidie tahun pelajaran 2012/2013. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada
tanggal 29 s/d 30 April 2013.
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti dalam suatu penelitian
penetapan suatu objek penelitian merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan,
karena penelitian itu sendiri bertujuan untuk mengambil kesimpulan objek secara
keseluruhan. Sedangkan sampel adalah sebagian untuk diambil dari keseluruhan
obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
Untuk memperoleh keterangan mengenai populasi dan sampel dalam
penelitian ini, penulis mengutip pendapat Sudjana (2005 : 6) yang menyatakan
bahwa, “Totalisme semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran
kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota
kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya dinamakan
populasi. Adapun sebagian yang di ambil dari populasi disebut sampeling”.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arikunto (2006 : 134) bahwa, “Apabila
subjeknya kurang dari 100, sampelnya lebih baik diambil semua sehingga
penelitiannya merupakan penelitian populasi. Akan tetapi, jika jumlah subyeknya
besar, sampel dapat diambil di antara 10-15% atau lebih, tergantung kemampuan
peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana”. Sedangkan populasi penelitian ini lebih
dari 100, maka peneliti ini mengambil sampel 15% dari populasi untuk
mempermudah dalam penelitian ini.

32

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 3
Sigli yang berjumlah 195 siswa. Kemudian diambil sampel sebanyak 15% dari 195
siswa yaitu 29,25 dan digenapkan menjadi 30 siswa.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data primer untuk
keperluan penelitian. Data yang dikumpulkan harus cukup valid untuk digunakan
dalam penelitian agar hasil penelitian yang dibuat tidak menyimpang dari tujuan.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, digunakan beberapa
tehnik pengumpulan data, meliputi:
a. Kuesioner/angket
Yang dimaksud dengan kuesioner/angket yaitu suatu cara untuk
mendapatkan data dengan cara memberikan daftar-daftar pertanyaan yang
kemudian akan diisi oleh responden atau objek penelitian untuk memperoleh
data. Pada penelitian ini, jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner
tertutup atau kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang sudah disediakan
jawabannya. Jawaban Kuesioner disusun untuk mengetahui kecocokan responden
dengan indicator-indikator yang sudah disusun dengan menggunakan skala
Likert.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei yaitu penelitian
yang bersifat menjelaskan hubungan kausal dan untuk pengujian hipotesis.
Penelitian survei ini memfokuskan pada pengungkapan hubungan kausal antar
variabel, yaitu suatu penelitian yang diarahkan untuk menyelidiki hubungan
sebab berdasarkan pengamatan terhadap akibat yang terjadi. Variabel sebab-

33

akibat tersebut adalah pendidikan orang tua (X1), pendapatan orang tua (X2),
sikap belajar matematika siswa (X3), terhadap prestasi belajar matematika siswa
(Y).
Dalam penelitian ini, pertama-tama kuesioner dijustifikasi oleh dosen
pembimbing (pakar), kemudian dilakukan uji tryout kuesioner sementara yang
disebar kepada siswa SMP Negeri 2 Peukan Pidie sebanyak 30 orang. Uji tryout
ini dilakukan untuk menguji validitas dan realibilitas dari kuesioner. Jika tidak
valid dan reliabel, maka yang tidak valid akan dibuang. Jika benar-benar valid
dan reliabel, maka akan digunakan untuk penelitian pada responden
sesungguhnya.
b. Dokumentasi
Tehnik dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara
mempelajari catatan-catatan (dokumen) yang sudah ada. Tehnik ini digunakan
sebagai pelengkap data yang tidak dapat diperoleh dari tehnik angket.Tehnik
dokumentasi dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengumpulkan data
tentang prestasi belajar matematika siswa berupa nilai raport siswa di SMP
Negeri 3 Sigli semester ganjil tahun ajaran 2012/2013.
3.4. Uji Coba Instrumen
Agar suatu instrumen dapat memperoleh hasil yang baik, maka instrumen
harus memenuhi suatu kriteria yang baik pula. Kriteria tersebut adalah dengan
mengukur tingkat validitas dan reliabilitas dari instrumen yang digunakan. Sebelum
angket digunakan untuk mengumpulkan data dari subyek penelitian, terlebih dahulu

34

harus dilakukan uji coba instrumen. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh alat
ukur yang valid dan reliabel.
3.4.1. Uji Validitas
Validitas data menunjukkan seberapa jauh suatu test atau satu set dari operasioperasi untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Jogiyanto, 2004: 120) dan
Azwar S (2000: 5) mengartikan validitas sebagai sejauh mana kesempatan dan
kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Dalam pengujian
instrumen pengumpulan data, validitas bisa dibedakan menjadi validitas faktor dan
validitas item. Validitas faktor diukur bila item yang disusun menggunakan lebih dari
satu faktor (antara faktor yang satu dengan yang lain ada kesamaan).
Pengukuran validitas faktor ini dengan cara mengorelasikan antara skor faktor
(penjumlahan item dalam satu faktor) dengan skor total faktor (total keseluruhan
faktor), sedangkan pengukuran valid