Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan
Jurnal
Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan
ISSN 1411 – 0253 Volume 17 Nomor 2, Oktober 2015
Versi Online: www.jipi-ui.web.id DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2015
Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan
Volume
17 Nomor
Oktober 2015
ISSN 1411 – 0253
Volume 17 Nomor 2, Oktober 2015 Versi Online: www.jipi-ui.web.id
DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2015
Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan
2015. Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi FIB UI Telepon (+6221) 7863528; (+6221) 7872353 • Faks (+6221) 7872353; (+6221) 7270038
Ketua Dewan Editor:
Dr. Laksmi, M.A.
Dewan Editor:
Dr. Ike Iswary Lawanda, M.S.; Nina Mayesti, M.Hum.; Ir. Anon Mirmani, MIM., Arc./Rec.; Indira Irawati, M.A.; Dr. Tamara Adriani
Susetyo, M.A.
Editor Layout dan Desain:
Muhamad Prabu Wibowo, M.Sc. & Arie Nugraha, M.TI.
Editor Naskah:
Margareta Aulia Rahman, M.Hum.; Kiki Fauziah, M.Hum.;
Proof Reader:
Riva Delviatma, M.Hum.
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi terbitan ini tanpa izin tertulis dari Penerbit, kecuali kutipan kecil dengan menyebutkan sumbernya dengan layak.
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, akhirnya Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan,dan Kearsipan kembali menerbitkan tulisan-tulisan yang membahas isu di bidang terkait, baik dalam tataran akademis maupun praktis. Edisi terbaru ini, dengan Volume 17, Nomor 2, Tahun 2015, terbit terlambat dikarenakan adanya satu dan lain hal dan juga karena sulitnya mendapatkan artikel. Kami mohon maaf dan berusaha untuk mengatasi kesulitan tersebut. Terbitan ini dilandasi dengan semangat untuk berbagi pengetahuan, serta membangun budaya penelitian, yang selalu terkait dengan berbagai dinamika pengetahuan dan informasi di lapangan.
Terbitan edisi ini diisi oleh 5 tulisan yang mengembangkan wawasan bidang ilmu informasi, perpustakaan, dan kearsipan. Artikel pertama merupakan hasil penelitian dari Dyah Safitri, M.Hum dan Priyanto, S.S., M.Hum dengan judul Proses Pemindahan Pengetahuan (Knowledge Transfer) Pada Perajin Batik Tulis Di Desa Wisata Kliwonan Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen Jawa Tengah . Penelitian ini menyajikan proses pemindahan pengetahuan (knowledge transfer) pada pembatik tulis di desa wisata Kliwonan Masaran Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Dengan pendekatan kualitatif dan metode analisis studi kasus, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pemindahan pengetahuan di lokasi tersebut mendapat hambatan besar, terutama dari generasi muda yang lebih suka menjadi pekerja pabrik daripada menjadi perajin batik.
Artikel kedua ditulis oleh Ikhsan Dwitama Putera, dengan judul Perpustakaan Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi (PUSIDO) Badan Standar Nasional (BSN) dalam implementasi sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 . Berdasarkan pendekatan kualitatif, penelitian ini membahas tentang proses implementasi ISO 9001:2008 yang dilakukan oleh staf layanan PUSIDO, hasil penelitian menunjukkan bahwa proses implementasinya mengikuti klausul yang terdapat pada ISO 9001:2008. Para staf layanan memiliki pedoman dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari menggunakan Sistem Manajemen Mutu dengan standar internasional untuk merekam kegiatan kerja mereka secara akuntabel.
Artikel ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Sudiyanto, dengan judul Mengetahui perkembangan organisasi Litbang Keantariksaan melalui arsip , membahas tentang perkembangan organisasi LAPAN sejak berdiri sampai sekarang berdasarkan kajian arsip. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa organisasi LAPAN telah berkembang secara signifikan, dengan mengembangkan empat bidang, yaitu sains antariksa dan atmosfer, penginderaan jauh, teknologi penerbangan dan antariksa, serta kajian kebijakan penerbangan dan antariksa.
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
Artikel keempat, yaitu berjudul Representasi fungsi perpustakaan umum dalam novel Libri di Luca karya Mikkel Birkegaard, ditulis oleh Surya Rangga. Penelitian ini membahas mengenai representasi perpustakaan umum dan fungsi perpustakaan umum yang terdapat dalam novel Libri di Luca. Penelitian dengan menggunakan metode semiotik Roland Barthes ini, menunjukkan bahwa novel tersebut merepresentasikan fungsi perpustakaan umum yang lazim digunakan di tiga tempat di dalam novel tersebut, yaitu perpustakaan umum Osterbro, Krystalgade, dan Bibliotheca Alexandrina, adalah fungsi rekreasi, informasi, dan sebagai tempat pertemuanArtikel
Terakhir, artikel kelima adalah tulisan dari Ery Meirani, berjudul Strategi promosi taman bacaan masyarakat (TBM) Kampung Buku, Cibubur . Penelitian yang menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif ini, menunjukkan bahwa TBM Kampung Buku telah melakukan strategi promosi yang unik, yaitu selain menggunakan strategi promosi mereka juga melakukan bauran promosi periklanan, promosi penjualan, penjualan perorangan dan pemasaran media interaktif. Waktu, desain, dana dan sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor yang mempengaruhi kegiatan promosi di TBM Kampung Buku.
Terbitnya nomor ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, redaksi mengucapkan banyak terimakasih kepada para penulis yang berkenan memberikan tulisan untuk jurnal ini, serta kepada seluruh anggota redaksi yang telah bekerja keras agar Jurnal Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan ini dapat terbit. Kami berharap artikel-artikel dalam jurnal ini dapat bermanfaat dan memberikan banyak pencerahan agar budaya pengetahuan atau informasi menjadi lebih baik.
Depok,
Ketua Tim Redaksi
ii
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
Daftar Isi
PROSES PEMINDAHAN PENGETAHUAN (KNOWLEDGE TRANSFER) PADA PERAJIN BATIK TULIS DI DESA WISATA KLIWONAN KECAMATAN MASARAN KABUPATEN SRAGEN JAWA TENGAH / Dyah Safitri & Priyanto ................................. 81
PERPUSTAKAAN PUSAT INFORMASI DAN DOKUMENTASI STANDARDISASI (PUSIDO) BADAN STANDAR NASIONAL (BSN) DALAM IMPLEMENTASI SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 / Ikhsan Dwitama Putera .......................................... 95
MENGETAHUI PERKEMBANGAN ORGANISASI LITBANG KEANTARIKSAAN MELALUI ARSIP / Sudiyanto ..................... 111
REPRESENTASI FUNGSI PERPUSTAKAAN UMUM DALAM NOVEL LIBRI DI LUCA KARYA MIKKEL BIRKEGAARD / Surya Rangga ..................................................................................... 125
STRATEGI PROMOSI TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KAMPUNG BUKU, CIBUBUR / Ery Meirani .............................. 139
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
- Halaman Dikosongkan -
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
PROSES PEMINDAHAN PENGETAHUAN (KNOWLEDGE TRANSFER) PADA PERAJIN BATIK TULIS DI DESA WISATA KLIWONAN KECAMATAN MASARAN KABUPATEN SRAGEN JAWA TENGAH
Dyah Safitri 1
Program Studi Manajemen Informasi dan Dokumen, Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia Email : [email protected]
Priyanto 2
Program Studi Pariwisata, Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pemindahan pengetahuan (knowledge transfer ) pada pembatik tulis di desa wisata Kliwonan Masaran Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Metodologi yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemindahan pengetahuan di lokasi penelitian dapat berlangsung meskipun terdapat hambatan besar terutama dari generasi muda yang lebih suka menjadi pekerja pabrik daripada menjadi perajin batik. Apabila kondisi tersebut tidak dapat teratasi maka keberlangsungan desa wisata Kliwonan dapat terancam.
Abstract
This study aims to determine knowledge transfer for batik artisans in a tourist village Kliwonan Masaran Sragen, Central Java. The methodology was used qualitative research method and case study approach. The results of this study indicate that knowledge transfer was happened in research location despite huge obstacles, especially from the younger generation that would rather be factory worker than batik artisans. If these conditions can’t be resolved, sustainability of rural tourism in Kliwonan will be threatened.
Kata Kunci : batik, batik tulis, knowledge transfer, pemindahan pengetahuan, indigenous knowledge, pengetahuan masyarakat lokal, desa wisata
1 Staf pengajar Manajemen Informasi dan Dokumen Program Pendidikan Vokasi UI 2 Staf pengajar Program Studi Pariwisata Pendidikan Vokasi UI
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
1.Pendahuluan
Batik telah dikenal di Indonesia sejak abad keempat atau kelima Masehi. Sejumlah teknik batik sudah diterapkan di beberapa pulau, bahkan di Jawa Batik sudah menjadi warisan tradisi turun temurun sejak jaman Majapahit. Kata batik banyak diyakini berasal dari kata ambatik yang berarti kain lebar dengan sekumpulan titik. Akhiran tik berarti titik-titik kecil. Dalam manuskrip daun lontar dari abad ke-15 yang ditemukan di Galuh Cirebon Selatan, tulisan batik itu juga disebut sebagai seratan atau dalam bahasa Jawa berarti tulisan (Kementerian Perdagangan, 2008).
Bagi masyarakat Jawa, batik bukan sekadar kain bercorak belaka. Ada sejumlah simbol dan filosofi penting di balik masyarakat Jawa pada batik mulai dari buaian hingga kematian. Ketika seorang bayi lahir, batik digunakan untuk menutupi tubuh bayi. Ketika agak besar kain batik digunakan untuk menggendong. Pada saat menikah, batik juga digunakan tidak hanya oleh pengantin tetapi juga orang tua pengantin. Saat meninggal, batik juga kerap digunakan untuk menutup tubuh selama prosesi pemakaman. Karena itu, dengan fungsi seperti itu batik memiliki daya jangkau teknologi, estetis, fungsional, dan ekonomi. Bahkan hingga saat ini. Nilai filosofi dari simbol yang ada di batik juga memiliki pengaruh ritual. Objek-objek yang tergambar di batik seperti bunga, tanaman, burung, kupu-kupu, ikan hingga bentuk geometris adalah simbol-simbol kekayaan. Biasanya simbol ini dipercaya oleh masyarakat Jawa sejak agama Hindu masuk ke tanah Jawa. Ketika masuknya Islam ke Jawa, larangan menampilkan gambar manusia atau hewan membuat corak batik Keraton seperti Parang Rusak atau Keris Rusak menjadi umum bagi masyarakat sejak demokratisasi dikenalkan oleh Islam (Kementerian Perdagangan, 2008).
Sebagai sebuah teknik pembuatan kain, ada tiga jenis batik yaitu batik tulis, printing /cap, dan kombinasi. Batik tulis biasanya diproduksi dari kain mori jenis primisima, prima, maupun mori biru. Batik tulis diproduksi menggunakan lapisan lilin yang disebut malam. Malam direbus di atas bara api yang stabil, dan dalam kondisi panas pembatik akan menorehkan mulut canting ke kain mengikuti motif yang ada. Proses membuat batik tulis membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan dapat beberapa bulan, tergantung dari tingkat kerumitan motif batik. Ada beberapa proses yang harus dilakukan mulai dari nyoret (membuat pola gambar dalam kain), nglowong (membatik pola-pola yang sudah digambar menggunakan canting dan malam). Pada batik berkualitas tinggi biasanya nglowong dilakukan di dua sisi kain (nerusi). Lalu ada proses ngisen- iseni (memberi isi) dengan mempergunakan canting bermulut kecil atau disebut juga canting isen. Canting ini bermacam- macam misalnya “nyeceki” (membuat motif yang terdiri dari titik-titik), Neloni menggunakan canting telon, hasilnya disebut telon . Mrapati menggunakan canting prapatan, hasilnya prapatan, dan seterusnya Selanjutnya adalah proses nembok (membatik bagian-bagian yang dikehendaki tetap berwarna putih –warna kain asli- sebelum dicelup dalam zat pewarna). Proses ini dapat berlangsung hingga dua minggu, bergantung pada rumit atau tidaknya pola serta rencana pewarnaan yang akan digunakan pada kain batik tersebut. Proses selanjutnya adalah melakukan pewarnaan pertama (medel). Setelah itu, ada proses ngerok atau menghilangkan malam yang menempel di kain pada saat nglowong.
Lalu, ada langkah mbironi untuk meletakkan warna-warna yang akan dikehendaki. Proses ini berulang, sampai mendapatkan kain dengan corak warna yang dikehendaki.
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
Langkah terakhir adalah nglorod atau menghilangkan sisa-sisa malam yang tersisa dengan cara memasukkan kain batik ke dalam air mendidih. Untuk membuat satu lembar kain batik tulis ini, proses dari nyoret hingga nglorod dapat berlangsung hingga dua bulan. Hasil dari batik tulis meskipun dari pola yang sama biasanya tidak akan sama persis karena perbedaan saat ngisen-iseni. Setiap pembatik dapat melakukan kreasi tersendiri pada tahapan tersebut sehingga batik tulis dengan pola yang sama, hasilnya tidak akan sama persis.
Karena prosesnya yang relatif lama, biasanya perajin atau pengusaha batik memikirkan cara untuk membuat kain batik dengan proses yang lebih cepat. Muncul kemudian batik printing/ cap –dengan menghilangkan tahapan pemakaian canting dan malam. Batik printing malam yaitu batik dengan cap malam –menghilangkan proses canting- dan batik kombinasi yaitu menggabungkan antara proses printing dengan memasukkan unsur batik tulis seperti langkah mbironi ke dalam batik tersebut. Proses pembuatan batik jenis ini dapat berlangsung relatif cepat sehingga dipilih para pengusaha batik untuk memenuhi permintaan konsumen. Kedua jenis batik ini motifnya dapat berubah dengan cepat bahkan dalam hitungan minggu dan berganti-ganti sesuai keinginan pasar. (Sumarsono, 2015).
Ketika 2 Oktober 2009 UNESCO menobatkan batik sebagai warisan budaya dunia dan dimasukkan ke dalam daftar representatif sebagai budaya tak-benda warisan manusia (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) ada dua keping sisi yang dihadapi Indonesia. Di satu sisi ada pengakuan resmi dunia terhadap batik tulis adalah hasil budaya Indonesia, di sisi lain membutuhkan upaya sungguh-sungguh agar batik tetap lestari. Masalah ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara serius karena apabila pembatik tidak terus berkarya dari satu generasi ke generasi berikutnya, eksistensi batik sebagai warisan tradisi akan terancam. Penelitian Sugiarti (2011) menunjukkan bahwa masalah terbesar pengembangan batik sebagai karya seni adalah kurangnya minat generasi muda menjadi pembatik tulis yang mengandalkan pengetahuan (knowledge) pada batik sebagai sumber utama.
Kondisi tersebut menarik diteliti bagaimana pengetahuan dalam membuat batik tulis yang relatif rumit dapat dipindahkan (knowledge transfer) dari individu ke individu berikutnya. Dalam konteks ini menarik diamati bagaimana di sentra-sentra produksi batik, pembatik tulis didominasi oleh generasi yang berusia di atas 50 tahun. Pengetahuan pembatik dalam membuat batik tulis dapat dinamakan sebagai pengetahuan lokal. Pelestarian pengetahuan membatik dilakukan melalui generasi tua perempuan ke generasi muda yang perempuan pula yang biasanya ada di dalam satu keluarga. Meskipun tidak ada pola yang baku dalam penurunan pengetahuan tersebut, pembatik tulis biasanya memang memperoleh pengetahuan membatik dari ibunya sejak kecil. Lantas, apakah ada yang salah dari proses pemindahan pengetahuan tersebut sehingga generasi muda tidak memiliki hasrat yang tinggi menekuni kerajinan batik tulis. Dalam catatan Fornhal, Zellner, dan Audretsch (2005), ada dua asumsi mengenai pemindahan pengetahuan. Pertama, pengetahuan adalah sama dengan pengetahuan ekonomi yang melihat pengetahuan memiliki harga ekonomis. Kedua, adalah efek samping dari pengetahuan yang dialihkan dari sumber ke penerima. Dalam konteks tersebut, pengaliran pengetahuan sama sekali tidaklah otomatis terjadi, sehingga harus didorong agar pengetahuan dapat berpindah.
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
Selain Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan, Kabupaten Sragen menjadi salah satu sentra produksi batik terbesar di Jawa Tengah. Terdapat dua sub sentra batik yakni kecamatan Plupuh dan Masaran. Dua sub sentra tersebut memiliki beberapa desa penghasil batik dan terletak berseberangan di sisi Utara dan Selatan Sungai Bengawan Solo. Desa-desa di utara sungai adalah Jabung dan Gedongan di Kecamatan Plupuh, sedangkan di selatan adalah Desa Pilang, Sidodadi, dan Kliwonan Kecamatan Masaran. Batik dari Sragen ini kerap disebut sebagai batik Girli (Pinggir Kali), karena berada di Pinggir sungai. Di dua sub sentra batik tersebut terdapat 4.817 perajin batik dengan menyerap sekurangnya 7.072 tenaga kerja. (Pemerintah Kabupaten Sragen, 2015)
Generasi awal perajin batik Sragen adalah buruh batik di Solo dan memulai usaha sendiri di desanya masing-masing. Sentra batik desa Kliwonan menjadi yang terbesar sehingga ditetapkan oleh pemerintah kabupaten sebagai kawasan wisata terpadu dengan nama Desa Wisata Batik Kliwonan. Di desa tersebut menjadi pusat pengembangan, pelatihan, dan pemasaran batik. Di desa itu pula, bahan batik dari hulu ke hilir seperti kain, malam, canting, dan sebagainya juga telah tersedia. Dari segi motif, batik Sragen kaya ornamen flora dan fauna seperti motif tumbuhan atau hewan yang disusupi oleh motif klasik seperti Parang, Sidoluhur dan sebagainya. Aktivitas keseharian masyarakat juga terekam dalam motif batik Sragen yang bermakna lebih tegas, berbeda dengan corak klasik yang berkembang di Yogya ataupun Solo.
Desa wisata didefinisikan sebagai bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara tradisi yang berlaku. Nuryanti, Wiendu (1993). Penetapannya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi.
2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata.
3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.
4. Keamanan di desa tersebut terjamin.
5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.
6. Beriklim sejuk atau dingin. 7.Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Dari aksesibilitas, desa wisata Kliwonan terletak 12 km dari sebelah selatan pusat kota Kabupaten Sragen atau 15 km sebelah timur laut kota Solo. Untuk mencapai lokasi desa ini aksesnya dapat melalui jalan raya Solo-Surabaya, melalui Museum Purbakala Sangiran, atau dari objek wisata Waduk Kedung Ombo. Di sepanjang jalan menuju lokasi desa wisata yang terletak 4 km dari jalan raya Solo-Surabaya itu, wisatawan akan disuguhi pemandangan hamparan sawah menghijau. Wisatawan tidak hanya dapat berbelanja busana dan kain batik karena tersedia banyak showroom penjualan batik.Wisatawan juga dapat melihat proses pembuatan batik dari awal hingga akhir serta dapat menginap di homestay yang tersedia. Wisatawan juga dapat belajar membatik hingga ikut berkotor-kotor melakukan pencelupan warna pada kain batik. Kombinasi suasana alam pedesaan yang asri dan tawaran produk budaya batik menjadi suguhan utama desa wisata Kliwonan ini.
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
Pengetahuan masyarakat lokal seperti pada batik tulis menjadi penting ketika arus modernisasi membuat pengetahuan lokal tergerus dan bahkan nyaris punah. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menyumbang pemikiran mengenai pemindahan pengetahuan, terutama pada pengetahuan masyarakat lokal khususnya pada batik tulis. Keberlangsungan desa wisata yang mengedepankan produk budaya batik sebagai suguhan utama akan terancam pada saat pemindahan pengetahuan dari generasi tua ke generasi muda tidak dapat berjalan dengan baik.
2. Teori Knowledge Transfer
Davenport dan Prusak (1998) menyebut pengetahuan sebagai pengalaman, nilai-nilai, konteks dan wawasan yang tercampur sehingga menyediakan sebuah kerangka kerja untuk mengevaluasi dan menghubungkan pengalaman-pengalaman dan informasi baru. Kedua peneliti ini menemukan bahwa di dalam organisasi, pengetahuan kerap menjadi artefak yang melekat seperti dokumen, video, audio atau penyimpanan di dalam rutinitas, proses, praktek, dan norma-norma organisasi. Mereka juga melihat bahwa pengetahuan akan bernilai apabila ada tambahan konteks, budaya, pengalaman, dan interpretasi dari manusia. Nonaka (1994) melihat pengetahuan dalam arti yang lebih spesifik. Pengguna pengetahuan harus mengerti dan melihat pengalaman dengan konteks yang ada, kondisi dan pengaruh yang melingkupi, sehingga pengetahuan dihasilkan dan berarti untuk mereka.
Nonaka dan Takeuchi (1995) menggambarkan dua tipe pengetahuan yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge.
Tacit knowledge adalah pemahaman yang ada di dalam pikiran pemilik pengetahuan dan tidak secara langsung dapat dimunculkan dalam bentuk data atau representasi pengetahuan sehingga kerap disebut pengetahuan yang tidak terstruktur.
Explicit knowledge yaitu pengetahuan yang secara langsung berbentuk pengetahuan dan umumnya disebut sebagai pengetahuan terstruktur. Sehingga, pengetahuan adalah gabungan antara kedua pengetahuan tersebut.
Pemindahan Pengetahuan (Knowledge Transfer)
Istilah pemindahan pengetahuan (knowledge transfer) kerap digunakan untuk menggambarkan pertukaran pengetahuan antara individu, kelompok, atau organisasi secara sengaja atau tidak. Dalam pemindahan pengetahuan itu definisi sumber pengetahuan dan penerima harus fokus dan memiliki identifikasi tujuan yang jelas (King, 2008)
Nonaka dan Takeuchi (1995) menawarkan empat model pembentukan knowledge transfer atau yang dikenal sebagai model SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization ). Socialization adalah membuat tacit knowledge sebagai model mental dan keterampilan teknis. Tacit knowledge dapat diperoleh melalui observasi, imitasi, dan praktek. Externalization adalah proses artikulasi tacit knowledge dalam bentuk konsep eksplisit berwujud metafora, analogis, hipotesis, atau model. Combination adalah proses konsep sistemis ke dalam sistem pengetahuan dengan
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
menggabungkan expilicit knowledge yang berbeda. Explicit knowledge dipindah melalui media seperti dokumen, pertemuan, email atau percakapan telepon. Kategorisasi pengetahuan ini akan memunculkan pengetahuan baru. Internalization adalah proses mengubah explicit knowledge menjadi tacit knowledge dan dekat dengan konsep pengalaman karena mengerjakan atau dapat disebut learning by doing
Keempat proses tersebut memperlihatkan bahwa knowledge transfer bergantung pada pemahaman antara pemilik pengetahuan dan pengguna pengetahuan. Pemahaman umum terdiri atas konteks dan pengalaman. Konteks adalah cerita dibalik pengetahuan, kondisi atau situasi yang membuat pengetahuan dapat dimengerti. Sedangkan pengalaman adalah aktivitas yang memproduksi model mental bagaimana pengetahuan digunakan.
Model pemindahan pengetahuan seperti diungkapkan Dixon (2000) ada lima tipe yaitu serial, near, far, strategic , dan expert transfer. Masing-masing dibedakan menurut tujuan, metode, dan cara menggunakannya. Adapun lima tipe utama tersebut adalah Serial Transfer, diterapkan ke sebuah tim yang mengerjakan satu tugas, kemudian tim yang sama mengulang tugas tersebut dalam konteks baru. Di serial transfer, tim sumber dan tim penerima adalah tim yang sama. Serial transfer menawarkan efisiensi dalam kecepatan dan kualitas. Tipe berikutnya adalah Near transfer : melibatkan transfer pengetahuan dari tim sumber ke tim penerima yang mengerjakan pekerjaan serupa dalam konteks sama tetapi di lokasi berbeda. Syarat utamanya adalah pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan besar dan terus menerus. Far transfer melibatkan pemindahan tacit knowledge dari tim sumber ke tim penerima ketika pengetahuan berkaitan dengan tugas non-rutin. Contohnya adalah tim ekplorasi minyak mengundang tim lain untuk membantu menginterpretasi data seismik dan geologi yang telah mereka kumpulkan.
Pengetahuan ditransfer langsung ke masing-masing anggota tim terutama pada langkah dan prosedur yang tidak tertulis. Karena interpretasi dari data tersebut adalah tugas dengan beragam variabel, mereka harus menyajikan sesuai dengan pengetahuan mereka. Far transfer biasa digunakan untuk memungkinkan pemindahan pengetahuan yang sangat spesifik. Strategic transfer melibatkan pemindahan pengetahuan yang sangat kompleks, seperti bagaimana merilis sebuah produk dari satu tim ke tim lain yang terpisah baik tempat maupun waktu. Transfer ini berbeda dari far transfer karena strategic transfer lebih terbatas lingkupnya seperti pada satu tim tertentu. Biasanya strategic transfer akan bermanfaat bagi perusahaan berskala global ketika pengetahuan bisa dipindahkan ke lokasi cabang di belahan dunia lain dengan konteks lingkungan yang berbeda. Expert Transfer, melibatkan pemindahan explicit knowledge mengenai tugas yang dikerjakan rutin. Contohnya adalah teknisi yang mengirim surat elektronik ke jaringan pertemanannya untuk bertanya bagaimana meningkatkan kecerahan monitor kuno dan mendapatkan jawaban dari ahli yang mendalami bidang tersebut. Di dalam model transfer ini, kebutuhan keahlian dapat menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan.
4. Pengetahuan Masyarakat Lokal (indigenous knowledge)
Menurut Fein dalam Masango (2010), indigenous knowledge adalah
the local knowledge that is unique to a culture or society. Other names for it include: local knowledge, folk knowledge, people’s knowledge, traditional wisdom or traditional science. This knowledge is passed from
generation to generation, usually by word of mouth and cultural rituals, and has been the basis for agriculture, food
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
preparation, health care, education, conservation and the wide range of other activities that sustain societies in many parts of the world.
Terkait dengan batik tulis, Shaari (2015) menyebut batik tulis adalah hasil kerajinan tangan kreatif sebagai kekayaan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge ) sehingga muncul sebagai potret identitas dan nilai kehidupan dalam sebuah kebudayaan. Pengetahuan masyarakat lokal ini memiliki sifat sebagai tacit knowledge yang tidak terstruktur dan tersimpan dalam memori pemilik pengetahuan.
Pemindahan Pengetahuan Masyarakat Lokal (indigenous knowledge transfer)
Pengetahuan masyarakat lokal yang sifatnya tacit akan diberikan ke generasi berikutnya atau ke orang lain dalam bentuk informasi dahulu, sebelum generasi atau orang yang menerima pengetahuan mengolah dan menerapkannya menjadi pengetahuan mereka sendiri. Pemindahan pengetahuan masyarakat lokal tersebut menjanjikan upaya pelestarian pengetahuan. Tetapi pada saat yang sama terjadi hambatan. Pemindahan pengetahuan masyarakat lokal hanya dapat terjadi apabila terdapat saling percaya antara pemberi pengetahuan dan penerima pengetahuan. Penerimaan akan menentukan kualitas pengetahuan yang diberikan, sedangkan kepercayaan harus diciptakan melalui motivasi terus menerus. Generasi yang mendapat pengetahuan harus dapat mempercayai bahwa pengetahuan yang diberikan oleh generasi sebelumnya akan bermanfaat di kemudian hari secara ekonomi.
Proses pemindahan pengetahuan masyarakat lokal tersebut, beberapa tahapan seperti diungkapkan Jounjobsong (2010) adalah identifikasi pengetahuan (knowledge identification), proses komunikasi (communication process), dan proses interpretasi (interpretation process). Selain itu ada faktor eksternal yang memengaruhi dalam proses pemindahan pengetahan masyarakat lokal ini yaitu karakteristik masyarakat lokal yang bersangkutan, karakteristik masyarakat di sekitar tempat pengetahuan masyarakat lokal berada, budaya, hingga pengaruh teknologi komunikasi dan informasi.
5. Pemindahan Pengetahuan Masyarakat Lokal
Pemindahan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) sudah dilakukan oleh banyak komunitas yang ada di setiap negara. Kalau di Pulau Simelue Aceh, ada tradisi lisan smog yang terwarisi turun temurun yakni ketika setelah gempa besar lantas air laut tiba-tiba surut di pantai maka pada saat itu pula mereka harus pergi ke tempat lebih tinggi. Pengetahuan lokal inilah yang menyelamatkan masyarakat pulau tersebut dari terjangan dahsyat Tsunami Aceh pada 2005 lalu, padahal pulau ini berhadapan langsung dengan titik pusat gempa. Warga Pulau Simelue langsung mengungsi ke tempat yang lebih tinggi ketika mendapati setelah gempa air laut di pantai benar-benar surut. Pengetahuan pembatik tulis di Desa Wisata Kliwonan Sragen dapat dikatakan sebagai pengetahuan lokal yang sifatnya unik (indigenous knowledge). Sebaran pengetahuan pembatik hanya di sekitar wilayah tersebut, tidak melebar ke wilayah kabupaten Sragen lainnya. Pengetahuan lokal membatik ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
Dengan menggunakan model pemindahan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dari Jounjobsong (2012), ada tiga tahapanan pemindahan yaitu identifikasi pengetahuan (knowledge identification), proses komunikasi (communication process), dan proses interpretasi (interpretation process).
Identifikasi Pengetahuan
Ada empat lapis generasi yang dapat diidentifikasi dari masyarakat Kliwonan. Pertama adalah generasi dengan usia 60-an tahun, generasi di atas 40 tahun, generasi 20-40 tahun, dan generasi di bawah usia 20 tahun. Mengenai pengetahuan membuat batik tulis, hampir seluruhnya didominasi oleh perempuan. Tahapan membatik seperti nglowong dan ngisen-iseni dengan canting dan malam menjadi pekerjaan yang dilakukan oleh para perempuan. Sedangkan tahapan pembuatan batik seperti menyelupkan kain ke pewarna (medel), ngerok, hingga nglorod dilakukan oleh kaum laki-laki.
Pengetahuan membatik perempuan mulai dari nglowong hingga ngisen-isen awalnya adalah menjadi milik dari generasi tua. Mereka memperoleh ilmu membatik dengan cara menularkannya secara langsung sejak mereka masih dalam usia anak-anak. Pada pembatik yang sudah berusia 40 tahun ke atas, mereka mendapat ilmu membatik sebagai bekal untuk membantu ekonomi keluarga. Apalagi pada saat mereka usia sekolah, anak-anak perempuan ini hanya tamat Sekolah Dasar atau bahkan tidak mengenyam dunia pendidikan formal sama sekali. Membatik jadi suatu kewajiban agar kelak masih dapat bertahan secara ekonomi karena memiliki keterampilan dari membatik. Cara memindahkan pengetahuan membatik tulis ini juga khas, anak-anak langsung dipaksa belajar menggunakan canting dan malam ke kain yang dibatik ibunya. Bukan di bagian yang ada motifnya, tetapi bagian yang sebaliknya (nerusi). Batik tulis nerusi ini biasanya adalah batik tulis kualitas tinggi karena nanti ketika jadi, motif kain batik akan sama meski kain dibolak-balik. Nerusi juga mengurangi risiko salah menggambar sesuai pola karena tinggal menebalkan apa yang sudah di klowong di sebalik kain.
Generasi pembatik tua (usia di atas 60 tahun) yang ditemui peneliti membenarkan bahwa anak perempuannya belajar membatik darinya. Belajarnya cukup sederhana karena tinggal melakukan proses nerusi. Ketika proses ini dilakukan berulang-ulang sekitar tiga tahun, perempuan generasi berikutnya tersebut sudah siap untuk dapat membuat batik tulis sendiri. Karena prosesnya yang panjang, maka dalam pembuatan batik tulis biasanya ada tiga model pembuatan berdasarkan lokasi. Pertama adalah pembatik melakukan pekerjaannya di lingkungan pabrik milik pengusaha batik. Mereka datang sesuai jam kerja dan dibayar sesuai dengan pekerjaannya pada hari itu. Kedua, adalah membawa kain batik yang sudah diberi pola, canting, serta malam dan membatiknya di rumah. Ketiga, pembatik mengambil pekerjaan batik dari juragan kecil-kecilan (pengepul) dan mengumpulkan pekerjaannya ke juragan kecil tersebut. Juragan kecil ini nanti yang menyetor ke pengusaha batik. Juragan kecil ini pula yang menalangi terlebih dulu (kasbon), bila pembatik membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Model kedua dan ketiga menitikberatkan membatik di rumah menjadi awal pemindahan pengetahuan membatik batik tulis. Selain dibekali perlengkapan membatik yang
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
lengkap, sejak dini anak-anak si pembatik tersebut dapat mengamati secara langsung apa yang dikerjakan oleh ibu atau neneknya. Umumnya kegiatan membatik ini dilakukan sebagai sambilan saja, bukan menjadi pekerjaan utama, dan dilakukan di sela mengurus sawah (panen/menanam padi) atau mengurus keluarga. Biasanya, pengetahuan membatik lainnya yang dipindahkan dari generasi tua ke generasi yang labih muda adalah soal corak atau motif. Corak-corak klasik gaya Solo yang sudah melekat biasanya hapal diluar kepala bagi pembatik generasi tua seperti Parang, Sidomulyo, Kawung, hingga Babon Angrem. Motif-motif itu pula yang dipelajari oleh generasi pembatik berikutnya. Ketika permintaan konsumen makin variatif pada batik tulis dengan ornamen-ornamen baru, seperti pohon kelapa yang peneliti saksikan, pembatik sekadar membatik apa yang sudah tergambar/tercorak di kain. Proses kreatif pembatik pada bagian isen-isen, misalnya membuat cecek atau pretelon. Ruang kreatif tetap berada di wilayah pengusaha batik karena mereka biasanya memperkerjakan desainer khusus yang bertugas membuat corak atau pola yang inovatif untuk mengejar selera dan keinginan konsumen batik tulis. Soal filosofis tentang apa kegunaan dan manfaat dari batik tulis dengan corak klasik tidak menjadi titik perhatian dalam pemindahan pengetahuan tentang batik tulis tersebut. Jadi, generasi baru sekadar memperoleh pengetahuan bagaimana cara menggunakan canting, membatik dari kain putih, hingga menjadi kain siap jual saja.
Pengetahuan dasar membatik seperti bagaimana menggunakan canting, mendidihkan malam dengan api yang stabil, membatik mengikuti motif hingga membuat isen-isen biasanya diajarkan ke generasi berikutnya melalui pengajaran langsung. Dengan motivasi ekonomi, karena anak perempuan nantinya akan menjadi ibu rumah tangga, mereka harus memiliki keterampilan membatik agar dapat membantu ekonomi keluarga kelak. Bahkan ketika generasi muda itu masih anak-anak, membatik adalah cara mudah untuk membeli beras dan memenuhi kebutuhan pada saat itu. Cara yang digunakan untuk memindah pengetahuan adalah dengan nerusi atau membuat pola mengikuti alur motif batik yang sudah dibuat di sebalik kain. Baru setelah lancar, proses lain yang lebih rumit seperti ngisen-iseni menggunakan canting khusus baru diperkenalkan. Bagi generasi dengan umur 40 tahun lebih, rata-rata mereka belajar dari ibunya masing-masing menggunakan metode ini sehingga pemindahan pengetahuan dapat berlangsung dengan baik.
Tetapi ada masalah yang terjadi karena generasi di bawah 40 tahun tidak menganggap pekerjaan membatik sebagai solusi dalam menghadapi persoalan ekonomi keluarga. Bagi mereka, bekerja sebagai buruh di pabrik sepanjang jalan raya Sragen-Surabaya lebih menjanjikan dan terhormat. Membatik dianggap sebagai pekerjaan rendah dan dianggap sebagai pelarian daripada tidak memperoleh penghasilan sama sekali. Akibatnya, mayoritas pembatik yang ditemukan di desa Kliwonan adalah di atas 40 tahun. Kesediaan melakukan pemindahan pengetahuan membatik sebenarnya sudah dimiliki oleh generasi di atas 40 tahun. Namun, kesediaan tersebut tidak bersambut karena generasi di bawah 40 tahun lebih memilih menjadi buruh pabrik. Padahal, dari perspektif pengusaha batik. Kalaupun tidak membuat membatik tulis yang biasanya dapat uangnya dalam waktu yang lama karena proses pembuatannya yang juga memakan waktu, mereka dapat membatik kombinasi yang lebih sederhana tetapi cepat menghasilkan uang. Dari wawancara didapatkan fakta bahwa pembatik kombinasi (printing dan tulis) dapat membawa uang tiap hari sekitar 50 ribu rupiah bersih dengan
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
bekerja tanpa mengeluarkan biaya transportasi dan uang makan. Nilai seperti itu sebenarnya tidak kalah dengan pendapatan yang diperoleh dari pabrik.
Kekhawatiran habisnya generasi pembatik baru ini dirasakan tidak hanya oleh pengusaha batik yang diwawancarai tetapi juga oleh pembatik senior. Ada kalanya mereka mengajari anak-anaknya ikut membatik saat liburan sekolah dengan cara yang sama yakni nerusi. Biasanya tempat pembatikan penuh dengan anak-anak yang ikut magang (internship). Namun ketika waktu sekolah mulai lagi, gairah anak-anak untuk membatik ikut sirna. Pembatik usia muda hanya mau membatik ketika mereka memiliki waktu saja, ketika tidak ada waktu, intensitas pada batik pun mandek. Pendeknya, mereka menyadari batik menjadi salah satu ikon budaya yang harus dilestarikan, tetapi citra membatik yang dianggap kotor, kumuh, dan menghasilkan uang tidak seberapa jadi pertimbangan utama bagi generasi muda untuk membatik.
Proses komunikasi
Dalam proses pemindahan pengetahuan, terjadi proses komunikasi antarmanusia. Menurut DeVito (1997) komunikasi antarmanusia adalah komunikasi yang terjadi di antara dua orang yang memiliki hubungan matang; orang-orang yang dengan berbagai cara berhubungan. Definisi ini dilatarbelakangi oleh komunikasi antarmanusia dilakukan paling sedikit dua orang dan memiliki hubungan relasi. Dalam proses pemindahan pengetahuan ini, proses komunikasi antara pemberi dan penerima pengetahuan menjadi salah satu faktor penting berhasilnya pemindahan pengetahuan. Umumnya kegiatan pemindahan pengetahuan membatik antara generasi muda dan generasi lebih tua adalah kaum perempuan yang terhubung dalam keluarga. Misalnya sebuah keluarga memiliki tiga anak perempuan, biasanya si ibu akan melakukan komunikasi dengan ketiga putrinya menggunakan medium kain melalui proses nerusi. Komunikator adalah ibu pada generasi senior sedangkan komunikannya biasanya adalah anak perempuan usia sekolah dasar sekitar 10-12 tahun. Dengan proses nerusi berulang-ulang, diharapkan pada usia sekolah menengah, anak-anak perempuan tersebut sudah dapat membatik sendiri tanpa perlu bantuan pengarahan si ibu.
Penyampaian pesan biasanya dilakukan dengan mengenal bahan kain batik , motif, dan mengatur keluarnya malam dari canting sesuai motif. Pesan-pesan ini biasanya dilakukan menggunakan bahasa Jawa dan langsung secara tatap muka. Biasanya anak- anak itu langsung praktek di depan kain yang sudah dibatik si ibu, kemudian mengikuti alur motif yang sudah dibatik langsung dari tempat ibunya bekerja. Proses ini berlangsung beberapa lama mengikuti order membatik yang dibawa si ibu sehingga si anak bisa luwes menggunakan canting maupun mengerjakan motif termasuk cara membuat isen-isen.
Hambatan terbesar yang terjadi adalah ketika komunikan menganggap bahwa message melalui media kain batik tidak bermanfaat bagi komunikan. Bekerja sebagai pembatik, khususnya batik tulis adalah pekerjaan yang rumit, melelahkan, sedangkan dari sisi ekonomi juga tidak terlalu menjanjikan apa-apa. Komunikan menganggap bahwa bekerja di pabrik yang cukup jauh dari desa lebih memberikan harapan karena dapat memperoleh pendapatan yang pasti tiap minggu atau tiap bulan.
Efek komunikasi yang terjadi pada komunikasi antarmanusia ini adalah ada efek kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif adalah komunikasi menyebabkan individu
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang semula tidak mengerti menjadi mengerti, atau yang semula tidak sadar menjadi sadar. Dalam konteks ini, generasi penerima pengetahuan akan memperoleh pengetahuan tentang membatik tulis yang sifatnya informatif bagi dirinya. Efek afektif adalah efek komunikasi yang berhubungan dengan perasaan. Komunikasi antarmanusia menyebabkan individu yang merasa tidak senang menjadi senang, dari semula sedih menjadi gembira, atau semula takut menjadi berani. Pengetahuan baru yang diperoleh akan menjadikan generasi penerima pengetahuan akan terus belajar, meskipun ada hambatan seperti pekerjaan membatik tulis adalah pekerjaan rumit dan njlimet. Tetapi mereka biasanya akan tetap bersemangat karena ada nilai ekonomis bila berhasil membuat kain batik. Efek konatif lebih pada efek komunikasi antarmanusia untuk melakukan kegiatan fisik atau jasmaniah yang lebih baik. Untuk komunikasi pada pemindahan pengetahuan tentang membatik, efek konatifnya ada pada kepercayaan diri bahwa mereka dapat menyelesaikan pekerjaan membatik dan menganggap membatik adalah pekerjaan seni yang luhur dan bernilai ekonomis.
Proses interpretasi
Dalam proses ini, interpretasi terhadap nilai filosofis disuntikkan untuk motif-motif klasik, misalnya digunakan untuk kegiatan sosial apa saja. Motif-motif ini biasanya ada pada kain batik klasik gaya Kraton Solo seperti Parang, Kawung, Ceplok, Sidomukti, hingga Babon Angrem. Interpretasi tidak dilakukan mendalam karena yang terpenting bagi pembatik ini adalah bagaimana menggunakan canting, membuat isen-isen, nglowong, hingga mbironi.
Interpretasi terhadap motif dan seni terjadi ketika kebutuhan konsumen masa kini mengarah kepada motif baru. Pembatik dituntut untuk selalu melakukan interpretasi terhadap motif baru. Memang bukan pada keseluruhan motif dasar, karena ini sudah dibuat oleh pengusaha batik, tetapi pada interpretasi isen-isen motif, apakah menggunakan cecek (titik-titik) sehingga menghasilkan kain batik tulis yang indah dan sedap dipandang. Interpretasi pada motif dengan isen-isen yang diserahkan kepada pembatik membuat kain batik tulis dengan motif yang sama hasil akhirnya tidak akan sama persis antara satu pembatik dengan pembatik lainnya karena intepretasi pada isen- isen motif tersebut. Pembatik harus memiliki imajinasi pula terhadap proses pewarnaan akhir bila kain batik nanti selesai sehingga isen-isen pun dapat mendukung motif sehingga kain menjadi lebih indah.
Model pemindahan pengetahuan Nonaka dan Takeuchi
Merujuk pada empat model pembentukan dan pemindahan pengetahuan yang dibuat oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) yaitu model SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization ), pola pemindahan pengetahuan pada pembatik tulis dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Socialization : pengetahuan membatik pada generasi tua adalah pengetahuan tacit yang berada dalam pengalaman pembatik sebagai pemberi pengetahuan. Beberapa pengetahuan tacit itu adalah filosofi mengenai motif-motif klasik, penggunaan alat-alat batik seperti jenis-jenis canting yang digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk nglowong, mbironi, ngisen-iseni, hingga mbironi. Pengetahuan tacit ini tersirat dan muncul melalui pengamatan, imitasi, dan praktek.
VOLUME 17, NOMOR 2, OKTOBER 2015
2. Externalization adalah proses artikulasi tacit knowledge. Pengetahuan menggunakan alat-alat seperti canting dengan berbagai kegunaan dan mendidihkan malam saat akan nglowong dalam proses nerusi menjadi contoh bagaimana eksternalisasi terjadi karena pengetahuan tacit segera dieksplisitkan melalui praktik langsung.
3. Combination adalah proses konsep sistemis ke dalam sistem pengetahuan dengan menggabungkan explicit knowledge yang berbeda. Ketika penerima pengetahuan telah belajar membatik dengan cara nerusi, para penerima pengetahuan ini dapat saling berbagi pengalaman mengenai segala hal berkaitan dengan cara, metode, atau memperkaya motif batik melalui isen-isen yang telah dipelajari. Di sinilah kekhasan batik tulis, karena di tangan pembatik yang beda, isen-isen pun dapat berbeda sehingga batik dengan motif yang sama sekalipun tidak akan persis sama hasilnya nanti saat menjadi kain batik tulis
4. Internalization adalah proses mengubah explicit knowledge menjadi tacit knowledge dan dekat dengan konsep pengalaman karena mengerjakan atau dapat disebut learning by doing. Proses inilah yang dilakukan oleh penerima pengetahuan, karena membatik tidak diajarkan melalui teori tetapi langsung praktek ke kain meskipun sekadar nerusi atau mengikuti alur pola yang telah dibatik di sebalik kain. Kebiasaan nerusi adalah proses learning by doing sehingga pemindahan pengetahuan dapat berlangsung dengan baik.
Model pemindahan pengetahuan Dixon
Model pemindahan pengetahuan lain datang dari Dixon (2000). Dengan pendekatan Dixon tersebut, pemindahan pengetahuan antar pembatik generasi senior ke yang lebih muda masuk dalam near transfer. Di lokasi yang sama mereka dapat memindah pengetahuan tanpa perlu pergi ke suatu tempat untuk memperdalam pengetahuan tersebut. Biasanya pemindahan pengetahuan membatik tulis berlangsung antara ibu dengan anak-anak perempuannya di rumahnya masing-masing. Ketika si ibu membatik kain di rumah atau menjadi anggota kelompok dari pembatik juragan kecil dan bukan bekerja di pabrik, anak- anak perempuan si ibu akan dibekali pengetahuan membatik melalui proses nerusi terus menerus. Harapannya, keterampilan membatik tersebut akan memberi dampak ekonomi saat anak-anak ini beranjak dewasa ataupun sudah berkeluarga.
Kesimpulan
Dari penelitian kualitatif yang dilakukan pada sentra batik di Desa Wisata Kliwonan Kecamatan Masaran Kabupaten Sragen Jawa Tengah peneliti dapat menyimpulkan bahwa terjadi proses pemindahan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge ) yaitu proses pembuatan batik tulis dari generasi tua ke generasi yang lebih muda. Proses pemindahan pengetahuan itu kini terancam ketika penerima pengetahuan tidak mau menerima pemindahan tersebut karena menganggap pekerjaan membatik dicitrakan sebagai pekerjaan rendah, kotor, dan hasilnya tidak seberapa bila dibandingkan pekerjaan sebagai pekerja pabrik. Proses pemindahan pengetahuan tersebut melalui komunikasi antarmanusia menggunakan bahasa Jawa dan dalam komunikasi non-formal. Pemindahan pengetahuan membatik dilakukan di rumah melalui pola SECI dan near transfer dari pembatik generasi tua (ibu) ke anak-anak perempuannya (pembatik muda). Ketika terjadi pemindahan pengetahuan, pembatik
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN
generasi muda dapat melakukan proses interpretasi terhadap pengetahuan yang dipindahkan. Mereka dapat melakukan pelbagai modifikasi terhadap teknik-teknik penggunaan canting seperti isen-isen untuk motif-motif inovatif yang diinginkan konsumen masa kini. Isen-isen ini tetap pada koridor motif dasar sehingga meskipun motif dasarnya sama, hasil kain batik yang dibuat oleh dua orang dapat berbeda karena interpretasi terhadap isen-isen tersebut.
Daftar Acuan