Studi deskriptif pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali

(1)

STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN PERKAWINAN

REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KEHAMILAN TIDAK

DIINGINKAN DI BALI

Skripsi

Diajukkan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Made Ayu Wahyuning Prativi NIM : 099114023

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Jika kamu berani bermimpi maka keajaiban akan datang karena

keajaiban itu nyata bagi kamu yang berani bermimpi. Maka bermimpilah.”

“Tak selamanya Tuhan memberikan hal buruk namun bagi kamu yang

berani menghadapi hal buruk maka Tuhan akan memberikan sesuatu yang

indah.”

“Tak perlu menjadi hebat hanya perlu menjadi diri sendiri, berdiri tegak

dan hadapi. Akan ada orang-orang yang percaya akan dirimu disamping

mu, menggenggam tangan mu dan berdoa untuk dirimu.”

“Kehidpuan adalah seni. Selalu tampak abadi walau waktu berputar tanpa henti. Terlihat indah namun menyimpan segala getir kehidupan.”

Karya ini ku persembahkan untuk : Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu memberikan secercah sinar harapan. Orang tua serta saudara ku yang selalu mendukung setiap langkah ku serta kepercayaan. Keluarga besar ku yang memberikan banyak pelajaran. Serta sahabat-sahabat ku dan segenap orang-orang yang ku sayangi


(5)

(6)

vi

STUDI DISKRIPTIF PENGALAMAN PERKAWINAN REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI BALI

Made Ayu Wahyuning Prativi ABSTRAK

Penelitian ini betujuan untuk mendeskripsikan pengalaman perkawinan remaja putri yang menikah akibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali. Pertanyaan utama penelitian yang diajukan adalah bagaimana pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali. Pendataan dilakukan terhadap tiga subjek yang berada pada kisaran usia 19-20 tahun yang usia pernikahannya antara dua hingga tiga tahun melalui wawancara semi-terstruktur. Strategi penelitian adalah fenomenologi deskriptif, sehingga dapat memahami makna-makna psikologis yang berkaitan dengan perilaku individu dalam fenomena tersebut. Proses validasi yang digunakan adalah validitas member checking, paper trail, dan refleksivitas. Hasil penelitian ditemukan bahwa pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali mengalami rasa bersalah melanggar norma masyarakat, kebingungan identitas, keintiman dan kebutuhan akan adanya penerimaan dari pasangan, mertua, serta masyarakat. Remaja mengalami regresi ke tahap perkembangan sebelumnya. Kewajiban adat dianggap sebagai beban dalam perkawinannya. Pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama, diawal perkawinan merasa mengalami hal yang tidak diinginkan seperti merasa adanya ketidaksiapan, keterpaksaan, menuju kearah merasa memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa. Tipe kedua, diawal perkawinan merasa mendapatkan hal yang diinginkan karena dapat hidup dengan pasangan dapat terpenuhi menuju kearah merasa memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa. Hal ini dapat disimpulkan bahwa walaupun terdapat perbedaan diawal perkawinannya, kedua tipe bergerak kearah yang sama yaitu menyadari bahwa setelah menikah menjadi memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa.


(7)

vii

DESCRIPTIVE STUDY MARRIAGE EXPERIENCE OF ADOLESCENTS UNWANTED PREGNANCY IN BALI

Made Ayu Wahyuning Prativi ABSTRACT

This research aimed to describe marriage experience of adolescents unwanted pregnancy in Bali. The central question is about how marriage experience of adolescents unwanted pregnancy in Bali. The data were collected from three subjects were adolescents who 19 years old until 20 years old with 2 years until 3 years age of marriage through semi-structured interview. Strategic of this research were descriptive phenomenology so it can explained psychological meanings of behavior from people with that phenomena. Validity process used member checking validity, paper trail and reflexivity. The result of study found that they experience guilt violate

society’s norms, identity confusion, intimacy, and the need for acceptance with partner, parents in

law and society. Adolescents experience a regression to earlier developmental stage. Customary obligation is considered as an expense in the marriage. The experience can be divided into two types: the first type, in early marriage was experiencing undesirable like feeling unpreparedness and under compulsion moving toward having new responsibilities and become adult. The second type, in early marriage was getting something to be desired because it can live with a partner moving towards having new responsibilities a nd become adult. It can be concluded that although there are differences in the beginning of marriage, the two types of moves in the same directions is realized that after marrying into having new responsibilities and become adult.


(8)

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasiNya yang telah memberikan tuntunan, kemudahan serta kelancaran dalam proses pembuatan skripsi ini hingga dapat terselesaikan. Adapun hambatan serta kesalahan yang ditemukan akan peneliti gunakan sebagai pembelanjaran yang terbaik dalam pengalaman kehidupan.

Skripsi yang bejudul “Studi Deskriptif Pengalaman Perkawinan Remaja Putri yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan di Bali” ini diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma guna memenuhi syarat-syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi.

Saran dan kritik yang membangun akan sangat penulis harapkan demi kelengkapan penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan dan kepekaan peneliti dalam menulis skripsi. Segala bentuk tukar pikiran, diskusi, atau hal-hal yang dapat memperluas wawasan serta pandangan yang baru akan peneliti terima dengan senang hati. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Ratri Sunar A, M.Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Victorius Didik Suryo Hartoko, M. Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan, nasehat serta mengarahkan peneliti untuk melakukan penelitian yang lebih baik lagi.


(10)

x

4. Ibu Dr. Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan masukan, nasehat serta mengarahkan peneliti dalam studi mulai dari awal hingga akhir.

5. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Psi., yang telah mengajarkan tentang makna kehidupan untuk tidak menyerah dalam setiap pembelajaran yang diberikan oleh Tuhan.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang sudah memberikan ilmu serta pengetahuannya selama peneliti menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas Muji dan Mas Doni) yang telah banyak membantu selama masa studi sehingga dapat berjalan dengan baik.

8. Kedua orang tua saya yang tercinta Putu Gde Budhyasa, SE. dan Made Sri Yuliati yang selalu memberikan nasehat, dukungan, kekuatan dan doa disetiap langkah saya.

9. Saudara-saudara saya (Putri, Arik dan Widya) dan keluarga besar saya yang selalu memberikan dukungan untuk saya.

10.Ketiga subjek peneltian saya (AB, AD dan RD) yang telah bersedia untuk membantu saya dalam penelitian ini.

11.Pipit dan Ayu Lestari yang bersedia untuk mencarikan dan mempertemukan saya dengan subjek penelitian.


(11)

xi

12.Sahabat-sahabat saya di Bali terutama Kurcaci, Ngurah, yang senantiasa memberikan dukungan dan bantuannya hingga saya dapat menyelesaikan studi.dan Arya yang bersedia mengantar saya menjelajah perpus Unud. 13.Putu Ardika Yana, S.Psi., yang banyak membatu dalam proses pembuatan

penelitian ini.

14.Sahabat-sahabat saya di Fakultas Psikologi (Samira, Odil, Dina, Ayu, Fani, Angel) yang memberikan dukungan serta perhatiannya, teman-teman satu bimbingan dengan saya dan semua teman-teman saya di Fakultas Psikologi yang telah bersedia berdinamika bersama saya baik suka maupun duka.

15.Sahabat saya Widi, Krisna, Nover, yang memberikan dukungan dan perhatian selama saya berada di Jogja.

16.Saudara-saudara saya di KMHD Universitas Sanata Dharma yang memberikan perasaan seperti tetap berada di kampung halaman.

17.Serta seluruh pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas bantuan, doa serta dukungan selama ini.

Penulis,


(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SKEMA ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoretis ... 7


(13)

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Remaja ... 9

1. Psikososial Remaja ... 9

2. Remaja yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan ... 12

B. Pengalaman Perkawinan dalam Adat Bali ... 14

1. Pengalaman Perkawinan ... 14

2. Perkawinan dalam Adat Bali ... 16

C. Kerangka Penelitian ... 20

D. Pertanyaan Penelitian ... 21

1. Central Question ... 22

2. Subquestion ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

A. Jenis Penelitian ... 23

B. Fokus Penelitian ... 24

C. Subjek Penelitian ... 25

D. Metode Pengumpulan Data ... 25

E. Prosedur Analisis Data ... 29

F. Validitas Penelitian ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Hasil Penelitian ... 33

1. Subjek AB ... 33

2. Subjek AD ... 43


(14)

xiv

4. Struktur Umum Keseluruhan Subjek ... 58

B. Pembahasan ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Keterbatasan Penelitian ... 70

C. Saran ... 70

1. Bagi subjek penelitian ... 70

2. Bagi keluarga, orang tua dan masyarakat ... 71

3. Bagi peneliti selanjutnya ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(15)

xv

DAFTAR SKEMA


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Verbatim Subjek 1 (AB) ... 75

Lampiran 2. Verbatim Subjek 2 (AD) ... 80

Lampiran 3. Verbatim Subjek 3 (RD) ... 85

Lampiran 4. Transformasi Subjek 1 (AB) ... 90

Lampiran 5. Transformasi Subjek 2 (AD) ... 105

Lampiran 6. Transformasi Subjek 3 (RD) ... 121

Lampiran 7. Struktur Umum Subjek 1 (AB) ... 138

Lampiran 8. Struktur Umum Subjek 2 (AD) ... 144

Lampiran 9. Struktur Umum Subjek 3 (RD) ... 150

Lampiran 10. Struktur Umum Subjek 1, 2, dan 3 ... 156


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus kehamilan yang tidak diinginkan semakin banyak ditemui di Bali. Putri (2009) mengungkapkan dalam acara workshop advokasi yang digelar Kisara di Denpasar bahwa klinik Kisara yang baru beroperasi selama empat bulan sudah menangani konseling 177 kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD). Data pada bulan September hingga Desember 2008 menunjukkan terdapat 155 kasus atau 88 persen terjadi pada usia 10-24 tahun, sisanya 21 kasus atau 11,9 persen terjadi pada remaja putri berusia 21 tahun keatas. Data ini bisa dipastikan di luar angka estimasi KTD di seluruh Bali seperti dirilis oleh BKKBN. Data tahun 2006, tingkat KTD di Bali mencapai 18.582 kasus (Kompas.com, 2009).

Kelonggaran yang diberikan oleh orang tua di dalam keluarga Bali memungkinkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dikalangan remaja. Untuk mempertanggungjawabkan perilakunya tersebut, terdapat remaja yang akhirnya memutuskan untuk melangsungkan perkawinan. Pada masyarakat Bali terdapat budaya yang mengharuskan untuk membicarakan keputusan-keputusan yang akan diambil dalam keluarga inti kepada keluarga besar. Keluarga inti yang akan menikahkan anaknya harus mendapatkan persetujuan dari keluarga besar. Setelah mendapatkan persetujuan dari keluarga besar, akan diadakan pertemuan dengan warga banjar untuk


(18)

membicarakan perkawinan yang akan diselenggarakan tersebut. Hal ini memungkinkan lingkungan tempat tinggal mengetahui perkawinan remaja yang disebabkan oleh kehamilan tidak diinginkan ini. Remaja tersebut memiliki tanggungjawab moral kepada kelurga dan masyarakat (Artadi, 2012).

Perkawinan yang biasa dilangsungkan oleh warga masyarakat adat Bali adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa atau purusa. Pihak perempuan meninggalkan rurmahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan ditempat kediaman suaminya dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur suaminya secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib).

Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan anak (keturunan) yang berguna untuk menebus dosa-dosa orang tuanya. Anak diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar seseorang atau roh yang sedang menderita di neraka dan bertugas untuk menyelamatkan roh tersebut dari penderitaan seperti yang diuraikan pada pasal 161 Buku IX Manawa Dharmasastra. Anak laki-laki dipandang mempunyai kedudukan yang lebih utama dibandingkan anak perempuan (Sagung Ngurah, 2009; Windia, 2011).

Menurut Jensen dan Suryani (1996) masyarakat Bali memiliki hubungan yang erat dengan keluarga besar dan leluhurnya. Keluarga, leluhur, dan masyarakat saling terikat erat dan saling bergantung. Hal ini juga berperan


(19)

penting dalam keberlangsungan perkawinan. Keberadaan anggota keluarga ini berfungsi sebagai pengawas dan pengontrol dalam suatu keluarga inti. Menurut Sudiasa (1992) masyarakat di Bali dipengaruhi oleh sistem kekerabatan, kasta (suatu pelapisan sosial di Bali), status sosial-ekonomi maupun pengaruh pariwisata.

Seseorang yang sudah menikah akan dihadapkan dengan tanggungjawab terhadap upacara keagamaan yang diadakan secara teratur dan menyita sebagian waktu dan usaha. Upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali berhubungan dengan siklus hidup seseorang, keseharian dan berkala sesuai dengan penanggalan kalender Bali. Upacara pada umumnya melibatkan keluarga besar, banjar, atau seluruh desa. Maka perlu adanya kesiapan dalam menghadapi kehidupan perkawinan (Jensen & Suryani, 1996).

Rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari keluarga batih monogami, ditambah dengan anak laki-laki yang sudah menikah bersama keluarga batihnya serta dengan kerabat yang menumpang tinggal. Salah satu anak laki-lakinya akan tetap tinggal bersama dengan orangtuanya untuk melanjutkan atau menggantikan rumah tangga orangtuanya serta kewajiban adat orangtuanya. Hal ini akan dilanjutkan secara turun temurun sesuai dengan garis keturunan serta kasta yang dimiliki ketika menikah (Laksmiwati, 1999).

Walaupun masyarakat Bali lebih mengutamakan anak laki-laki, wanita yang menikah memiliki peranan yang sangat penting dalam keberlangsungan rumah tangganya, antara lain: menjadi pusat pemeliharaan kepentingan-kepentingan rumah tangga, pendidikan anak terutama dalam hal moral,


(20)

membangun kehidupan bermasyarakat dan dalam hal kesatuan ritual. Kemudian seiring berkembangnya zaman terdapat penambahan peran pada wanita yaitu membantu suami dalam penambahan pendapatan keluarga. Perlu adanya kesiapan yang matang pada diri wanita untuk dapat menyelaraskan peran dalam keluarga dengan peran dalam hubungan kemasyarakatannya.

Dari penjelasan diatas maka akan terjadi ketimpangan antara kebebasan untuk berhubungan selama berpacaran dengan setelah menikah. Remaja tersebut harus bertanggungjawab dengan tugas-tugas yang ada dan mendapatkan evaluasi dari keluarga besar serta masyarakat adat. Perkawinan yang disebabkan dari kehamilan tidak diinginkan ini akan menjadi berat karena adanya unsur keterpakasaan yang membuat pasangan tersebut belum memiliki kesiapan untuk membina keluarga. Hal ini mengakibatkan permasalahan yang baru dalam rumah tangga. Selain itu, remaja putri yang baru masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki harus berhadapan dengan serangkaian tugas-tugas sebagai wanita Bali yang sudah menikah.

Ngantung (2012) melakukan penelitian pada remaja putri di Salatiga yang menikah karena mengalami kehamilan tidak diinginkan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat kendala pada penyesuaian diri dalam perkawinannya antara lain, ekspektasi lingkungan untuk menyelesaikan pendidikan belum dapat tercapai yang membawa remaja tersebut memiliki perasaan bersalah, ketegangan psikologis, amarah, merasa menyesal dan kecewa serta penundaan pada kebutuhan seksualnya. Selain itu, permasalahan ini dikarenakan kehadiran anak ditahun pertama perkawinan. Kendala


(21)

penyesuaian ini juga berasal dari remaja putri yang tidak mendapatkan peran ideal dari suami karena suami masih mempertahankan perilaku remajanya. Disisi lain, peran orangtua dirasa sangat mempengaruhi kesiapan remaja untuk menjalani peran ibu sehingga remaja perlu memiliki kedekatan dengan orangtua pasangan selama berpacaran.

Winata (2013) menemukan bahwa sepasang suami istri di usia remaja yang menikah karena kehamilan tidak diinginkan di Surabaya lebih sering menyelesaikan konflik dengan cara avoidance atau penghindaran. Penghindaran yang pertama yaitu menghindar untuk menenangkan diri agar mereka dapat berpikir dengan benar, dan yang kedua yaitu menghindar karena memang mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik. Jika konflik tidak dihindari maka akan berisiko terhadap perpecahan. Mereka khawatir dengan adanya perpecahan dengan alasan anak. Dari penghindaran ini terdapat ketidakpuasan sehingga menimbulkan konflik yang tidak diungkapkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewata (2004) mengenai motivasi pada mahasiswa yang masih berusia remaja menikahi pasangannya karena hamil diluar nikah memperoleh hasil bahwa motivasi mereka menikah paling besar dikarena faktor tanggungjawab dan cinta. Selain itu, faktor kebersamaan dan kesamaan serta faktor komunikasi kurang mendominasi motivasi perkawinan tersebut. Penyesalan sudah tidak diperdulikan lagi, hanya mengharapkan yang terbaik untuk masa depan keluarganya.


(22)

Dari penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan tersebut terdapat kendala penyesuaian diri didalam perkawinannya karena ekspektasi lingkungan, ketegangan psikologis, emosi negatif, penundaan kebutuhan seksual serta kehadiran anak di awal tahun pernikahan. Mereka cenderung menggunakan penghindaran dalam menyelesaikan konflik agar tidak terjadi perpecahan. Motivasi yang dimiliki dalam perkawinan paling besar berasal dari faktor tanggung jawab dan cinta.

Penelitian yang ditemukan hanya membahas sebuah aspek namun kurang menjelaskan pengalaman perkawinan remaja yang mengalami kehamilan secara menyeluruh. Penelitian tersebut kurang menjelaskan bagaimana remaja tersebut mengalami dunia perkawinannya. Hal ini yang membuat peneliti ingin mendeskripsikan pengalaman perkawinan remaja putri akibat kehamilan tidak diinginkan agar dapat lebih mengerti bagaimana dunia yang dimiliki oleh remaja tersebut. Menurut Rogers (dalam Alwisol, 2011) untuk dapat memahami tingkahlaku individu perlu untuk melihat pengalamannya secara utuh sehingga akan dapat lebih memahami mengenai dunia yang dijalaninya dari perspektif remaja tersebut. Hal ini akan berhubungan dengan pembentukan struktur self dan hubungannya dengan lingkungannya. Remaja putri yang menikah karena kehamilan tidak diinginkan akan memiliki unsur keterpaksaan dan tidak memiliki kesiapan dalam membina keluarga.


(23)

Hal ini dirasa penting untuk diteliti karena penelitian mengenai pengalaman perkawinan remaja akibat kehamilan tidak diinginkan masih jarang diteliti terutama di Bali, sedangkan perempuan di Bali ketika sudah menikah akan dihadapkan dengan tugas-tugas yang berat setelah memasuki jenjang perkawinan serta terdapat peran keluarga besar dalam mengontrol dan mengawasi perkawinannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan pengalaman perkawinan remaja putri yang menikah akibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang psikologi, terutama pada psikologi perkembangan dan sosial. Melalui deskriptif pengalaman ini dapat mengambarkan mengenai hubungan tugas perkembangan dengan perannya dalam hal perkawinan.


(24)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi subjek penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu subjek penelitian dalam mengerti dan menyadari konflik yang terjadi pada dirinya dan perkawinannya sehingga dapat menentukan langkah selanjutnya dalam menghadapi perkawinan di usia remaja. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu subjek penelitian untuk lebih menyadari perannya di dalam keluarga serta masyarakat.

b. Bagi masyarakat dan orangtua

Penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan orangtua mengenai perkawinan di usia remaja sehingga dapat lebih membimbing remaja agar lebih memikirkan perkawinan yang akan dijalankan nantinya. Selain itu, dapat membantu remaja dalam memberikan pengetahuan mengenai perannya di dalam keluarga serta masyarakat setelah melangsungkan perkawinan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat dalam pembuatan aturan serta sanksi yang tepat dalam hukum adat.


(25)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Psikososial Remaja

WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia, 1974) mendefiniskan bahwa remaja adalah periode perkembangan pubertas atau peralihan biologis serta perkembangan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa (dalam Sarwono, 2008). Papalia (2008) menjelaskan perubahan yang terjadi mulai dari fisik, kognitif dan psikososial. Periode ini berada pada kelompok usia 10-24 tahun. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri menuju kehidupan dewasa, termasuk dalam aspek seksualnya. Masa remaja merupakan puncak perkembangan emosi. Dalam tahap ini mulai mementingkan orang lain dan harga diri (Muss, 1968, dalam Sarwono, 2008).

Remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, masa mengintergrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Remaja memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir tidak dapat dipuaskan (Santrock, 2012). Menurut Erickon (1968) pada tahap remaja seseorang dihadapkan pada pencarian identitas. Pada tahap ini seseorang berusaha mengembangkan perasaan akan eksistensi diri yang koheren, termasuk pada peran yang dimainkan di dalam masyarakat. Identitas dan intimasi berkembang beriringan pada diri wanita. Giligan (1982) perasaan akan eksistensi diri wanita lebih banyak


(26)

berkembang melalui penjalinan hubungan daripada pencapaian identitas secara terpisah. Wanita akan menilai diri mereka berdasarkan tanggung jawab mereka dan kemampuan mereka memperhatikan orang lain dan diri sendiri (dalam Papalia, 2008).

Relasi teman sebaya menjadi lebih kuat di dalam tahap remaja. Remaja yang tidak yakin dengan identitas sosialnya cenderung akan lebih menyesuaikan diri dengan teman sebayanya. Teman sebaya akan lebih cenderung menyesuaikan diri ketika ada seseorang yang menurut mereka memiliki status yang lebih tinggi (Brown, dkk, 2008, Prinstein, dkk, 2000, dalam Santrock, 2012).

Masa remaja sebagian besar harga diri berkembang dalam konteks hubungan dengan teman sebaya. Harga diri wanita lebih bergantung pada koneksi dengan orang lain. Wanita memiliki harga diri tinggi menonjolkan diri mereka dalam cara kolaboratif bukan kompetitif (Thorne & Michaelieu, 1996, dalam Papalia, 2008). Beberapa riset mengungkapkan bahwa wanita memiliki harga diri yang lebih rendah daripada pria terutama di akhir masa remaja.

Remaja memiliki tendensi untuk memiliki emosi yang kuat. Hal ini sangat mempengaruhi pengambilan keputusan pada remaja. Ketika remaja dalam situasi yang emosional dapat menghambat kemampuannya dalam mengambil keputusan. Remaja membutuhkan lebih banyak kesempatan untuk mempraktekan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang


(27)

realistis. Remaja harus dibiasakan masuk ke dalam proses pengambilan keputusan terutama yang menyangkut dirinya sendiri.

Remaja akan lebih sering membahas abatraksi seperti cinta, keadilan dan kebebasan. Para remaja putri lebih cenderung menghubungakan seks dengan cinta. Hal ini menyebabkan terdapat alasan untuk berubungan seksual pra nikah karena ingin menunjukkan rasa cintanya terhadap pasangannya (Sarwono, 2008).

Elkind (1998, dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa remaja terkadang menunjukkan keyakinan diri mereka spesial, mereka memiliki pengalaman yang unik, serta tidak tunduk pada peraturan sehingga terdapat remaja yang menyatakan bahwa tidak ada yang jatuh cinta sedalam dirinya. Selain itu, remaja tersebut juga kurang memiliki pengalaman serta strategi efektif untuk memilih sehingga mengikuti kemauan dari pasangan untuk melakukan hubungan seksual pra nikah demi menunjukkan rasa cintanya. Hubungan seksual pra nikah ini dapat menyebabkan kehamilan tidak diinginkan.

Remaja putri lebih melihat penilaian moral kepada tanggung jawab untuk menunjukkan kasih sayang dan menghindari hal yang membahayakan. Dalam tahap penalaran moral Kohlberg (dalam Papalia, 2008), remaja menginternalisasikan standar figur otoritas. Mereka peduli tentang menjadi baik, memuaskan orang lain dan mempertahankan tatanan sosial. Mereka akan menganggap perilakunya salah jika melanggar peraturan dan menyakiti orang lain. Mereka percaya bahwa akan lebih


(28)

baik jika mematuhi hukum yang berlaku dimasyarakat. Perkembangan moral bergerak dari kontrol eksternal terhadap standar sosial yang diinternalisasikan ke prinsip moral personal.

2. Remaja yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan

Kehamilan tidak diinginkan merupakan kehamilan yang terjadi karena tidak adanya perencanaan dan kesiapan terhadap kehamilan tersebut (Monika, 2010). Hal ini akan memberikan dampak yang serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, penyesalan, dan penyalahan diri. Akibat psiko-sosial lainnya adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah dari gadis menjadi seorang ibu. Terkadang menimbulkan cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya (Sarwono, 2008). Hal ini dikarenakan remaja sering kali berasumsi bahwa hal yang dipikirkan oleh orang lain sama dengan yang dipirkannya sehingga peristiwa ini akan mempengaruhi self-concept

remaja tersebut. Remaja akan cenderung merasa gagal, mencemarkan nama baik keluarga, perasaan bingung, cemas, malu, bersalah bercampur dengan depresi, pesimis terhadap masa depan terkadang disertai dengan benci dan marah terhadap diri sendiri maupun pasangan hingga nasib.

Remaja yang mengetahui dirinya mengandung akan mengalami perubahan pikiran, perasaan dan sikap. Pandangan masyarakat akan mempengaruhi pola pikir remaja yang melakukan hal tersebut sehingga akan berpikir bahwa dirinya bersalah sama seperti padangan masyarakat.


(29)

Ditinjau dari psikoanalisa, rasa bersalah muncul karena ego ditekan oleh super ego. Ego dianggap melanggar norma-norma masyarakat. Bila rasa bersalah terus ada, bahkan terus ditekan oleh lingkungan masyarakat maka itu akan berkembang menjadi self blaming (menyalahkan diri). Self blaming ini antara lain: berdosa, merasa terisolasi dari lingkungannya, berpikir buruk mengenai dirinya, dan menjadi sulit mempercayai orang lain (menjadi tertutup). Terkadang remaja tersebut, menjadi tidak dapat menyalurkan emosi negatifnya seperti: kecemasan, malu, tidak berdaya, menyesal. Remaja tersebut akan mengingat kembali aturan moral yang ditanamkan orangtua, standar sosial, dan penilaian masyarakat. Remaja akan keluar dari fase aman menuju fase tidak aman. Ketika itu akan mulai muncul stressor-stressor dari internal maupun eksternal. Remaja yang mendapatkan dukungan dari orang tua akan memiliki self blaming yang tidak begitu besar (Monika, 2010).

Emosi berkaitan dengan harga diri. Emosi-emosi negatif seperti kesedihan, berkaitan dengan harga diri yang rendah, sementara emosi positif, seperti kegembiraan berkaitan dnegan harga diri yang tinggi. Remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan yang memiliki emosi negtif akan memiliki harga diri yang rendah. Pengaruh pengalaman lingkungan dapat memberikan kontribusi yang labih besar terhadap emosi remaja. Pengalaman yang menekan pada remaja akan sangat mempengaruhi perubahan dalam emosi remaja. Banyak remaja yang kurang mampu mengelola emosinya secara efektif walaupun


(30)

meningkatkan kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja tersebut (Santrock, 2007).

Remaja yang tiba-tiba mengandung akan memiliki kebingungan identitas (atau peran), yang akan memperlambat pencapaian kedewasaan psikologis. Identitas terbentuk ketika remaja berhasil memecahkan tiga masalah utama: pilihan pekerjaan, adopsi nilai yang diyakini dan dijalani, dan perkembangan identitas seksual yang memuaskan. Erikson (dalam Papalia, 2008) menjelaskan bahwa intimasi remaja berbeda dari intimasi orang dewasa yang melibatkan komitmen yang lebih besar, pengorbanan, dan kompromi.

B. Pengalaman Perkawinan dalam Adat Bali 1. Pengalaman Perkawinan

Sebuah perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Perkawinan ini bersifat sakral sehingga ikatan ini juga berfungsi untuk mengontrol hubungan seks yang layak pada suatu pasangan.

Pernikahan adalah suatu yang sangat sakral dan tidak hanya melibatkan pasangan yang akan berkomitmen, namun terdapat orang lain yang memiliki bagian didalamnya seperti anak, mertua, saudara, keluarga besar serta masyarakat yang lebih luas lagi (Kertamuda, 2009).


(31)

Menurut Walgito (dalam Kertamuda, 2009) terdapat hal yang harus diperhatikan untuk melangsungkan suatu perkawinan yaitu: kematangan fisologis, kematangan psikologis, kematangan sosial-ekonomi, jangkauan masa depan serta pengertian perbedaan pria dan wanita. Seseorang yang menikah harus siap dengan segala beban yang timbul dan bertanggung jawab penuh. Hal ini yang menentukan usia yang tepat untuk mulai membina perkawinan.

Dari perkawinan yang dijalani oleh seseorang akan membentuk sebuah pengalaman. Pengalaman adalah suatu hal yang pernah dialami, dirasai dan dijalani (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa). Schwant (dalam Polkinghorne, 2005) menjelaskan bahwa pengalaman hidup merupakan dunia berdasarkan pada bagaimana individu hidup, merasakan, mengalami, memberi rasa, serta pencapaian individu. Menurut Georgi, suatu pengalaman didasarkan pada pengalaman sebelumnya yang akan mempengaruhi pengalaman selanjutnya. Hal ini dikarenakan pengalaman bergerak secara berkelanjutan terus menerus.

Menurut Rogers (dalam Alwisol, 2010) pengalaman adalah segala sesuatu yang berlangsung di dalam diri individu pada saat tertentu, meliputi proses psikologik, kesan-kesan sensorik dan aktivitas motorik. Individu menanggapi dunianya berdasarkan realita subjektifnya. Hal ini yang menggerakkan tingkah laku individu tersebut. Untuk dapat memahami tingkah laku seseorang perlu memakai kerangka pandangan


(32)

orang tersebut yaitu, persepsi, sikap dan perasaan yang dimiliki oleh seseorang tersebut dalam memandang dunia yang dimilikinya.

Pengalaman perkawinan merupakan dunia yang didasari oleh suatu yang dialami, dirasai, dan dijalani seseorang dalam suatu ikatan lahir batin antara dirinya dan pasangannya dengan melibatkan anak, mertua, saudara, keluarga besar serta masyarakat yang lebih luas lagi.

2. Perkawinan dalam Adat Bali

Masyarakat di Indonesia terikat dalam hukum nasional dan hukum adat. Hukum adat dapat diatur berdasarkan dengan kebijakan dari tiap daerah. Hal ini juga berlaku di Bali. Masyarakat Bali memiliki nilai-nilai sosial budaya dan kepercayaan yang berdasarkan pada ajaran agama Hindu (Kusumajaya, 1999; Paramadnyaksa, 2009). Menurut sosiologi agama, agama menciptakan suatu ikatan bersama yang dapat mempersatukan anggota-anggota masyarakat dalam memenuhi kewajiban-kewajiban sosialnya. Hal ini pula yang menjadi dasar pengaturan masyarakat Bali (Nottingham, 2002).

Hukum adat Bali memiliki tiga hal pokok yang menjadi konsep dasar dari hukum adat Bali yaitu Tri Hita Karana (Setia, 2005; Wati, 2008; Artadi, 2012). Konsep ini antara lain upaya untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan alam. Hal ini merupakan penuangan dari falsafah agama hindu yang begitu mendalam mewarnai


(33)

kehidupan masyarakat Bali dalam upaya untuk dapat mengendalikan ketimpangan masyarakatnya (Subadra, dkk, 2006; Artadi, 2012).

Dalam hukum adat Bali terdapat wadah yang berfungsi untuk mengorganisir masyarakat secara bulat yang disebut dengan desa adat. Desa adat terbagi dalam konsep banjar-banjar yang terbungkus oleh sarana keagamaan yang menjadi sumber kewajiban dan hak-hak yang mengatur masyarakat didalamnya. Dalam hubungan antar warga desa ini, terdapat aturan-aturan yang tertuang ke dalam awig-awig. Awig-awig mengatur batas pekarangan, pitra yadnya (kegiatan keagamaan di tempat persembahyangan desa), penataan kebiasaan pergaulan hidup yang berupa tata susila, sopan santun dalam pergaulan seperti halnya cara bertegur sapa hingga tolong menolong. Aturan-aturan ini ditaati secara turun temurun dan perlu dilaksanakan sebagai pegangan tanpa adanya paksaan dari siapapun (Artadi, 2012).

Awig-awig ini berfungsi untuk mempererat ikatan menyama braya

(persaudaraan) diantara masyarakat Bali. Masyarakat yang sudah menikah akan dihadapkan dengan kerja adat yang biasa disebut dengan ngayah dan nguopin. Ngayah merupakan kegiatan gotong royong karma banjar adat dalam berbagai kegiatan mulai dari ritual keagamaan hingga masalah sosial kemasyarakatan dan masyarakat yang terlibat tidak mendapatkan upah (Setia, 2008). Menurut Dharmapatni (2012), nguopin hampir sama dengan ngayah hanya saja nguopin dalam skala yang lebih kecil yaitu lingkungan rumah atau keluarga dan biasanya dilakukan oleh para wanita


(34)

dalam suatu banjar. Kegiatan tersebut mengurus mulai dari perkawinan, kelahiran hingga kematian.

Krama banjar adat yang tidak ikut serta dalam kegiatan ngayah akan mendapatkan sanksi berupa denda namun besarnya tidak seragam di masing-masing banjar adat. Jenis ngayah antara lain memperbaiki lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk dan mengantar ke kuburan saat ada kematian dan lain-lain. Namun hal yang menjadi titik berat disini, warga banjar bukannya takut membayar denda melainkan berapa kali sudah kena denda. Hal ini berkaitan dengan semakin banyak tidak ikut serta dalam kegiatan ngayah maka semakin besar sanksi sosial yang akan diterimanya. Sanksi tersebut seperti pelaksanaan perkawinan tidak dibantu oleh banjar (Setia, 2008; Artadi, 2012).

Kegiatan ngayah dan nguopin bermanfaat untuk memupuk rasa tolong menolong antara masyarakat. Kegiatan ini tetap berlangsung karena adanya rasa balas budi. Jika sebelumnya sudah pernah dibantu maka yang bersangkutan membantu ketika ada upacara. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk memenuhi kewajiban sosialnya. Dalam kegiatan ini diharapkan warga banjar memiliki kesadaran akan perannya sebagai warga banjar dan mengerti akan tugas yang harus dilakukannya (Dharmapatni, 2012).

Perkawinan yang biasa dilangsungkan oleh warga masyarakat adat Bali adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki


(35)

dengan seorang perempuan. Masyarakat adat di Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa atau purusa. Pihak perempuan meninggalkan rurmahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan ditempat kediaman suaminya dan kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur suaminya secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib).

Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan anak (keturunan) yang berguna untuk menebus dosa-dosa orang tuanya. Anak diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar seseorang atau roh yang sedang menderita di neraka dan bertugas untuk menyelamatkan roh tersebut dari penderitaan seperti yang diuraikan pada pasal 161 Buku IX Manawa Dharmasastra (Ngurah, 2009; Swastika, 2010).

Dalam setiap keluarga atau rumah tangga, kelahiran anak yang Suputra merupakan dambaan utama. Suputra berarti anak yang baik, dalam hal ini adalah anak yang berbhakti kepada orang tua dan leluhurnya. Memperoleh keturunan merupakan tuntutan demi kelangsungan hidup dan kehidupan suatu keluarga, baik secara biologis dan atau secara adat, budaya, dan agama (Swastika, 2010).

Keluarga yang dibentuk melalui perkawinan diharapkan menjadi keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang. Diliputi suasana kasih


(36)

sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, harmonis serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam serta melaksanakan nilai-nilai sradha dan bhakti (Swastika, 2010).

Dalam ajaran agama Hindu, sangat disalahkan jika terdapat perasaan berkorban dan dikorbankan. Semuanya adalah suatu pengabdian. Sangat keliru jika orang tua merasa berkorban untuk anaknya, begitupula sebaliknya. Seorang suami sangat keliru jika merasa berkorban dan terpaksa melakukan sesuatu untuk istri serta anaknya. Pada dasarnya semua pihak sadar dan paham bahwa semua yang dilakukan merupakan kewajiban pengabdian dengan jalinan kasih sayang diantara sesama anggota keluarga dan pelakasanaan amanat dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Swastika, 2010).

C. Kerangka Penelitian

Masa remaja merupakan periode perubahan pubertas dimana terjadi perubahan fisik, kognitif dan psikososial dari masa kanak-kanak menjadi dewasa. Pada tahap ini merupakan masa mengintergrasikan seksualitas ke dalam identitas seseorang. Remaja akan dihadapkan dengan pencarian identitas yang di dalamnya terdapat peran keluarga, teman sebaya dan masyarakat. Remaja akan lebih sering membahas abatraksi seperti cinta, keadilan dan kebebasan. Para remaja putri lebih cenderung menghubungakan seks dengan cinta. Hal ini menyebabkan terdapat alasan untuk berubungan


(37)

seksual pra nikah karena ingin menunjukkan rasa cintanya terhadap pasangannya.

Ketika terjadi kehamilan tidak diinginkan terdapat remaja yang memutuskan untuk menikah. Padahal intimasi remaja berbeda dari intimasi orang dewasa yang melibatkan komitmen yang lebih besar, pengorbanan, dan kompromi. Perkawinan tersebut tidak hanya melibatkan sepasang suami istri melainkan melibatkan keluarga besar hingga masyarakat. Seperti halnya perkawinan yang terdapat di Bali. Remaja tersebut akan dihadapkan dengan tugas-tugas sebagai wanita Bali yang sudah menikah seperti kegiatan adat dan mendapatkan evaluasi keluarga besar. Seseorang yang sudah menikah akan dihadapkan dengan tanggungjawab terhadap upacara keagamaan yang diadakan secara teratur dan menyita sebagian waktu dan usaha. Remaja sering kali berasumsi bahwa hal yang dipikirkan oleh orang lain sama dengan yang dipikirkannya. Hal ini yang memberikan warna berbeda dalam pengalaman perkawinan karena memberikan beban yang lebih kepada remaja yang menikah karena mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali. Selain menikah karena keterpaksaan dan tidak adanya kesiapan, remaja tersebut dihadapkan dengan serangkaian tugas sebagai wanita Bali yang sudah menikah serta memiliki tanggung jawab moral.

D. Pertanyaan Penelitian

Pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) di Bali dapat digali berdasarkan pertanyaan:


(38)

1. Central Question

Central question adalah pertanyaan utama pada penelitian. Central question pada penelitian ini adalah bagaimana pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali?

2. Subquestion

Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan penelitian utama. Subquestion pada penelitian ini adalah bagaimana penerimaan lingkungan terhadap perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) di Bali?


(39)

23 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai pandangan berpikir yang berfokus pada pengalaman subjektif manusia (Moleong, 2008). Menurut Denzin dan Lincoln (1987; dalam Moleong, 2008) penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk menafsirkan fenomena. Penelitian ini berfungsi memahami sikap, pandangan, perasaan, dan perilaku individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga digunakan untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam konteks khusus.

Jenis penelitian ini digunakan oleh peneliti karena pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) di Bali dapat hadir dalam konteks yang berbeda. Pengalaman perkawinan pada remaja ini melibatkan sikap, pandangan, perasaan dan perilaku dirinya dan masyarakat dalam kehidupan sosial budaya di Bali.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi. Menurut Smith (2009), tujuan dari analisis fenomenologi ini untuk mengeksplorasi secara detail bagaimana subjek penelitian memahami dunia pribadi dan sosialnya. Selain subjek berusaha untuk menjelaskan dunianya, peneliti juga berusaha untuk mengerti dan masuk ke dalam dunia subjek. Pada


(40)

proses ini, aspek yang penting adalah bahasa, kognitif, afeksi untuk dapat berhubungan dengan pemikiran dan keadaan emosional subjek.

Strategi penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah analisis fenomenologi deskriptif. Analisis fenomenologi deskriptif ini bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Fenomenologi deskriptif ini juga berusaha untuk dapat menangkap sedekat mungkin bagaimana pengalaman tersebut dialami dalam konteks terjadinya pengalaman itu. Selain itu, analisis ini berusaha untuk menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam pengalaman tersebut (Giorgi dalam Smith, 2009).

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada pengalaman perkawinan yang dimiliki oleh remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) di Bali. Pengungkapan bagaimana dunia dipandang sebagai suatu hal berdasarkan yang dialami, dirasakan, serta dijalani oleh individu dari perspektif subjektif individu tersebut. Suatu pengalaman berasal dari pengalaman sebelumnya dan akan mempengaruhi pengalaman selanjutnya sehingga hal ini akan berkaitan dengan urutan waktu dari suatu pengalaman. Hal ini berkaitan dengan pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan, kemudian terikat dengan sosial budaya yang memiliki hukum adat serta tradisi yang wajib untuk diikuti.


(41)

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah remaja putri di Bali yang menikah pada usia 19-20 tahun. Subjek sudah menikah selama 2-3 tahun. Subjek bertempat tinggal di Bali dari lahir hingga menikah. Subjek memutuskan untuk menikah setelah mengetahui bahwa dirinya mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD). Ketika menikah, subjek tetap melanjutkan studinya.

D. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara semi-terstruktur. Hal ini berguna untuk memberikan kebebasan kepada subjek penelitian untuk memberikan respon pada pertanyaan yang diutarakan oleh peneliti. Pelaksanaan tanya-jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari. Peneliti menggunakan dua pertanyaan utama dalam proses wawancara yang berfokus untuk mengungkap tujuan dan fokus penelitian. Kemudian melakukan probing dari pernyataan yang diutarakan subjek penelitian.

Proses pengumpulan data melalui wawancara ini, terdapat beberapa tahap sebagai berikut:

1. Mencari subjek yang bersedia untuk dijadikan subjek penelitian. Subjek berjenis kelamin perempuan dan berada pada usia remaja yaitu sekitar 19-20 tahun. Subjek menikah karena mengalami hamil sebelum menikah dengan rentang usia perkawinan 2-3 tahun. Subjek telah ditentukan sebanyak tiga orang.


(42)

2. Membangun rapport dan menjelaskan mengenai penelitian yang akan dilakukan. Peneliti menjelaskan bahwa subjek diminta untuk menjelaskan pengalaman perkawinan akibat dari kehamilan tidak diinginkan di Bali. Peneliti juga meminta ijin akan merekan percakapan selama proses wawancara. Hal ini berfungsi agar subjek penelitian mengerti mengenai proses pengumpulan data dan bersedia untuk berproses pada penelitian ini. 3. Kemudian menentukan waktu yang tepat untuk memulai proses wawancara. Hal ini berfungsi agar aktivitas subjek penelitian tidak terganggu sehingga proses wawancara dapat berjalan dengan baik. Subjek pertama pada tanggal 12 dan 19 Oktober 2013, subjek kedua tanggal 11 dan 18 Oktober 2013, dan subjek ketiga tanggal 10 dan 17 Oktober 2013. 4. Menentukan dua pertanyaan utama dalam proses wawancara. Hal ini

berfungsi agar peneliti tidak terkesan menuntun subejk dalam menjelaskan pengalamannya dan mendapatkan data apa adanya. Peneliti menggunakan dua pertanyaan utama yaitu :

a. Bagaimana awal mulanya kamu bisa menikah?

b. Bisa diceritakan bagaimana pengalaman kamu sekarang menjadi perempuan yang sudah menikah?

Kemudian peneliti melakukan probing dari pernyataan yang diutarakan oleh subjek penelitian.

Contoh :

Bisa kakak ceritakan bagaimana awal mulanya kakak bisa menikah? Ya awalnya itu kakak hamil. Terus karena takut dosa, kakak memilih menikah aja terus suami kakak juga memilih menikah karena takut gimana-gimana


(43)

kalo gugurin kandungannya itu. Ya kakak juga takut kan kalo misalnya gugurin kandungan. Kakak memilih menikah karena suami minta menikah, sama kakak juga takut itu. Terus akhirnya bilang sama orangtua kalo kita mau nikah. Kakak pacaran baru 6 bulan tapi udah kenal lama dari SMA. Kita

sama-sama dari Jembrana tapi beda banjar. Jadi itu mental kakak gak siap,

finansial gak siap semuanya gak siap, tak jalan-jalanin aja ya. Sambil jalan

aja belajarnya. Terus kakak tinggalnya di Denpasar atau di Jembrana, kan

kakak kuliah di Denpasar? Kakak kos di Denpasar sama suami sama anaknya kakak. Jadinya kakak sama suami harus bagi tugas. Kalau pagi sampe sore suami kakak yang jaga anak dirumah. Kakak ke kampus buat klinik ini terus sore sampe malem suami kakak yang kerja, jadi kakak yang jaga anak dirumah.

5. Melakukan wawancara semi-terstruktur a. Subjek pertama

Pada subjek pertama, rapport dilakukan dengan cukup cepat karena sifat subjek yang ramah dan terbuka dengan orang baru. Selain itu, sebelumnya subjek penelitian sudah diberitahukan akan menjadi subjek penelitian. Setelah melakukan rapport dilanjutkan dengan menjelaskan inform concern. Namun ketika memulai wawancara, subjek terlihat sedikit sulit untuk menjelaskan pengalamannya. Subjek juga terlihat berhati-hati ketika bercerita. Walaupun demikian subjek tetap menceritakan dengan baik setiap pengalamannya. Proses wawancara dilakukan dua kali. Wawancara yang pertama dilakukan sekitar 30 menit. Ketika wawancara kedua, peneliti menceritakan hasil


(44)

wawancara yang pertama kemudian mengutarakan pertanyaan dari hasil wawancara yang pertama. Wawancara dilakukan sekitar 30 menit.

b. Subjek kedua

Subjek kedua tidak memiliki kendala untuk berinteraksi dengan orang baru. Subjek juga cukup kooperatif karena subjek dan peneliti berada diusia yang sama sehingga peneliti tidak perlu melakukan

rapport terlalu lama kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan inform concern. Sebelumnya subjek penelitian sudah diberitahukan akan menjadi subjek penelitian. Subjek terlihat senang menceritakan pengalaman perkawinannya. Beberapa kali subjek bertanya mengenai perkembangan anak. Proses wawancara dilakukan dua kali. Wawancara yang pertama dilakukan sekitar 30 menit. Ketika wawancara kedua, peneliti menceritakan hasil wawancara yang pertama kemudian mengutarakan pertanyaan dari hasil wawancara yang pertama. Wawancara dilakukan sekitar 40 menit.

c. Subjek ketiga

Pada subjek ketiga, rapport dilakukan dengan sangat cepat karena subjek sangat terbuka dan santai. Setelah rapport dilanjutkan dengan menjelaskan inform concern. Sebelumnya subjek penelitian sudah diberitahukan akan menjadi subjek penelitian. Di awal wawancara, subjek sedikit bingung untuk menjelaskan pengalamannya. Namun subjek tetap dapat menjelaskan


(45)

pengalamannya. Proses wawancara dilakukan sebanyak dua kali. Wawancara pertama berlangsung sekitar 35 menit dan wawancara kedua berlangsung sekitar 40 menit.

6. Selama proses pewawancaraan, peneliti menggunakan alat perekam dan mencatat beberapa hal yang berguna untuk melengkapi data yang diperoleh. Setelah wawancara, peneliti membuat transkrip wawancara.

E. Prosedur Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi deskriptif. Terdapat empat langkah yang ditempuh antara lain: 1. Langkah pertama, membaca deskripsi yang telah didapatkan dari subjek

penelitian. Kemudian data tersebut harus dieksplisitkan. Sudut pandang yang digunakan merupakan sudut pangdang menyeluruh (holistik).

2. Langkah kedua, penyusunan atau pembuatan bagian-bagian deskripsi. Pada langkah ini, peneliti menentukan satuan-satuan makna (meaning units).

3. Langkah ketiga, peneliti membuat transformasi makna selanjutnya. Transformasi ini bertujuan untuk mengubah data yang implisit menjadi data eksplisit sehingga akan mendapatkan makna psikologis yang dialami. 4. Langkah keempat, menyusun struktur umum. Struktur ini didapatkan


(46)

F. Validitas Penelitian

Validitas penelitian merupakan upaya pemeriksaan terhadap akurasi hasil penelitian dengan menerapkan prosedur tertentu. Pada penelitin ini validitas penelitian menggunakan member checking. Metode ini dapat dilakukan dengan membawa laporan akhir atau deskripsi-deskripsi atau tema-tema spesifik kepada subjek penelitian untuk mengecek, mengoreksi, menambahkan atau mengubah hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti agar sesuai dengan pengalaman subjek. Hal ini memberikan kesempatan bagi subjek untuk berkomentar tentang hasil penelitian (Creswell, 2010). Selain itu, peneliti juga menggunakan metode validitas paper trail (Smith, 2009). Validitas ini dapat tercapai bila antara temuan dan kesimpulan bersifat rasional dan dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke dalam data mentahnya. Peneliti dapat memperlihatkan proses analisis secara detail dan lengkap.

Proses member checking ketiga subjek dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan peneliti harus mengikuti jadwal kegiatan dari ketiga subjek penelitian yang sudah mulai padat. Dalam proses member checking ini, peneliti menggunakan bantuan media elektronik. Peneliti mengirimkan naskah yang berisikan struktur dasar pengalaman dari masing-masing subjek melalui email. Kemudian peneliti dan subjek penelitian menentukan jadwal untuk melakukan video call menggunakan web camp

untuk membahas isi dari struktur umum pengalaman tersebut. Hal ini dilakukan karena perbedaan tempat tinggal antara peneliti dengan subjek


(47)

penelitian yaitu peneliti berada di Jogja dan subjek peneltian berada di Bali. Walaupun demikian, peneliti tidak menemukan masalah dalam menjelaskan isi struktur umum pengalaman tersebut. Hal ini dikarenakan subjek penelitian cukup dapat memahaminya dengan membaca naskah yang sudah dikirimkan oleh peneliti. Peneliti dan subjek penelitian sempat berdiskusi mengenai hasil-hasil yang ditemukan. Subjek penelitian sempat menanyakan kaitan antara satu tema dengan tema yang lain sehingga subjek penelitian lebih memahami dan memunculkan insight dari hal-hal yang dialaminya.

Peneliti juga menggunakan prinsip transparansi yaitu refleksivitas. Refleksivitas ini digunakan untuk mengeksplisitkan pertimbangan mengenai cara-cara spesifik seorang peneliti yang dapat mempengaruhi penelitian. Hal ini memungkinkan adanya pengaruh terhadap data ataupun cara interpetasi penelitian (baik dari latar belakang atau ketertarikan yang dimiliki peneliti).

Peneliti memiliki ketertarikan mengenai fenomena-fenomena yang terjadi dilingkungan remaja terutama mengenai gaya pacaran yang sangat bebas. Peneliti banyak menemukan remaja yang ketika pacaran sudah melakukan hubungan seks pra nikah dan tidak jarang hingga berakibat kehamilan tidak diinginkan. Peristiwa ini dianggap sebagai hal yang sudah biasa terjadi dikalangan remaja tersebut. Walaupun demikian, belum dapat dipastikan mengenai perkawinan yang dijalaninya. Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan remaja tersebut. Seorang remaja yang menjalani perkawinan ini akan mengambil tugas perkembangan yang seharusnya dijalankan ketika sudah memasuki usia dewasa. Seperti halnya di Bali,


(48)

seorang yang memutuskan untuk menikah akan dihadapkan dengan tugas adat yang wajib untuk diikuti. Selain itu, pertemuan dengan keluarga besar ketika ada kegiatan adat maupun kegiatan keagamaan akan mempengaruhi jalannya suatu perkawinan.

Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai pengalaman perkawinan remaja yang mengalami kehamilan sebelum menikah. Diharapkan dapat menjelaskan dan memberikan informasi mengenai perkawinan yang dijalani oleh remaja tersebut sehingga akan mengetahui kebutuhan yang dimiliki oleh remaja untuk menjalani perkawinannya. Selain itu, penelitian mengenai perkawinan juga jarang ditemukan padahal dalam proses perkawinan akan menentukan perkembangan anak dari hasil perkawinan tersebut sehingga perkawinan menjadi penting untuk diperhatikan.


(49)

33 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Peneliti mendapatkan tiga subjek yang kisaran usia pernikahannya 2-3 tahun, usia menikah 19-20 tahun dan masih melanjutkan studinya. Hal ini dimaksudkan agar latar belakang ketiga subjek tidak terlalu jauh berbeda. Dari ketiga subjek ini akan menghasilkan dua jenis data yaitu profil subjek dan struktur umum. Hasil yang ditemukan adalah struktur umum pengalaman remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan terdiri dari pengalaman sebelum menikah, pengalaman saat mengandung setelah menikah dan pengalaman perkawinan. Hasil yang terakhir berupa penggabungan struktur umum dari ketiga subjek. Berikut adalah data-data peneltian yang telah ditemukan :

1. Subjek AB a. Profil Subjek

Subjek yang pertama berinisial AB yang menikah ketika berusia 19 tahun karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan sebelum menikah. AB berpacaran dengan pasangannya selama 6 bulan dan sudah mengenal sejak SMA. Saat ini usia perkawinannya sudah menginjak dua setengah tahun. AB memiliki seorang anak dan suami yang bekerja di pariwisata. AB merupakan seorang mahasiswi tingkat


(50)

akhir di sebuah Universitas swasta di Bali yang mengambil jurusan kedokteran gigi.

AB berasal dari keluarga yang berkasta Dewa salah satu kasta yang tinggi di Bali sedangkan suami AB hanya berasal dari keluarga yang biasa tidak memiliki kasta tinggi. AB merupakan anak kedua dari dua bersaudara. AB tinggal bersama dengan ibunya karena sejak AB duduk di bangku sekolah dasar kedua orangtuanya bercerai. Sejak kecil AB sudah tidak menjalin komunikasi dengan ayahnya karena ayah AB sudah menikah lagi. AB dan kakaknya sejak kecil hanya dibiayai oleh ibunya yang merupakan seorang perawat rumah sakit.

Ibu AB kurang merestui AB menikah dengan suaminya. Ibu AB menginginkan AB menikah dengan seseorang yang memiliki kasta yang sama, memiliki pendidikan yang tinggi dan memiliki pekerjaan dokter yang sama seperti AB. Hal ini dikarenakan suami AB hanya menempuh pendidikan hanya sampai D1 kemudian bekerja di sebuah hotel di Bali. Penghasilan suami AB kurang dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Pendidikan AB masih dibiayai oleh ibunya dan kebutuhan sehari-hari masih memerlukan bantuan dari mertuanya.

Dalam kesehariannya AB berperan sebagai ibu rumah tangga dan juga menjadi seorang mahasiswi kedokteran yang sudah klinik. AB hanya tinggal bertiga dengan anak dan suaminya di sebuah kos-kosan di Denpasar. Hal ini dikarenakan tempat AB mengenyam


(51)

pendidikan berjarak cukup jauh dari tempat tinggal mertuanya. AB dan suaminya hanya sesekali pulang ke rumah mertuanya ketika AB tidak memiliki jadwal perkuliahan dan jika terdapat acara keagamaan. AB dan suami harus saling membagi tugas dalam menjaga anaknya. Pagi hari jika AB pergi klinik maka suaminya yang menjaga anaknya sedangkan sore harinya jika suaminya bekerja maka AB yang menjaga anaknya.

AB berasal dari Jembrana dan suami AB juga berasal dari daerah yang sama namun hanya berbeda banjar. Setelah menikah, AB tercatat sebagai warga dari banjar tempat suami AB berasal. Di banjar tersebut memiliki aturan jika warga banjar tidak dapat mengikuti kegiatan adat maka mendapatkan sanksi berupa membayarkan sejumlah uang yang sudah disepakati oleh seluruh warga banjar. Jarang sekali AB dapat mengikuti kegiatan agama atau kegiatan adat dari tahap persiapan hingga pelaksanaan. Terkadang AB hanya dapat mengikuti pada saat hari pelaksanaan. Hal ini dikarenakan AB harus segera menyelesaikan pendidikannya yang sudah terlambat dari teman-teman seangkatannya. AB berupaya keras untuk segera menyelesaikan pendidikannya agar dapat bekerja dan membantu perekonomian keluarganya.


(52)

b. Deskripsi Pengalaman Subjek AB

Sebelum menikah, AB merasa mendapatkan hal yang tidak diinginkannya. AB merasakan bahwa dirinya telah mengecewakan orang tuanya karena sejak berpacaran orang tua AB tidak merestui hubungannya namun AB tetap menjalaninya hingga mengalami kehamilan sebelum menikah. Hal ini dikarenakan keluarga AB tidak dapat menerima pasangan AB yang memiliki pendidikan dan pekerjaan tidak seperti harapan orang tua AB. Selain itu, pasangan AB tidak berasal dari keluarga yang berkasta sama dengan keluarga AB.

“Sebenarnya dari awal gak direstui sama mama. Soalnya dia kan kerja gak kuliah, kuliahnya cuma sampe D1 aja. Mama kan nyuruhnya cari dokter ngapain nyari yang kayak gitu. Dulu pernah kakak dijodohin sama saudara jauh biar sama -sama dewa (salah satu kasta yang tinggi di Bali). Kan kakak sama suami kakak

kastanya beda.” (24, 36)

“Diem-diem pacaran. Itu dah waktu ketahuan hamil tu dah. Tapi bilang sih kakak mau nikah terus di suruh pulang nanti omongin di

rumah aja. Gak marah tapi keliatan kecewa.” (25)

Walaupun AB merasa telah mengecewakan orang tuanya, AB tetap merasa dirinya berharga karena pasangannya bersedia bertanggung jawab terhadap dirinya dan memiliki kekhawatiran terhadap keselamatan dirinya jika menggugurkan kandungannya.

“Kakak memilih menikah karena suami minta menikah. suami

kakak juga memilih menikah karena takut gimana -gimana kalo

gugurin kandungannya itu” (2-3)

Hal ini memunculkan perasaan bingung karena AB dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit yaitu mengikuti orang tuanya yang


(53)

menyuruhnya menggugurkan atau mengikuti pasangannya yang bersedia menikahinya.

“Sebenarnya waktu mama tau itu kakak disuruh ngugurin. Niang

(nenek) juga nyuruh ngugurin. Tapi suaminya kakak bilang

jangan. Itu dah kan jadinya bingung .” (71)

AB menjadi memiliki perasaan kecewa terhadap sikap orang tuanya yang tidak seperti harapannya. Orang tuanya menunjukkan adanya penolakan terhadap keadaannya saat itu.

“Gak nyangka kakak, kakak pikir mamanya kakak kan baik gak mungkin nyuruh ngugurin pasti bisa nerima. Itu dah syok kakak.”

(72)

Kemudian setelah menikah, AB menjadi mengalami stress saat mengandung. AB merasa mendapatkan hukuman atas hal yang sudah dilakukannya. AB merasa malu dengan masyarakat tempat tinggalnya terdahulu yang seperti memandang dirinya negatif.

“Waktu hamil stress itu dah. Jadinya jelek rasanya kalo inget-inget waktu masa-masa hamil pertama itu. Kayak masa-masa kelam

gitu.” (73)

“Ini dah kayak di kasih hukuman. Ya gitu siapa suruh ngelanggar makanya kan gini jadinya.” (69)

“Waktu itu kan kakak masih hamil besar. Malu aja. Ya malu aja

karena nikah muda terus udah hamil lagi.” (55)

Didalam pengalaman perkawinannya, AB memiliki keinginan untuk dapat dimengerti oleh pasangannya akan keadaannya. Hal ini dikarenakan AB merasa memiliki tanggung jawab namun tidak memiliki kesiapan untuk menjalankannya.


(54)

“Jadi itu mental kakak gak siap, finansial gak siap semuanya gak siap” (5)

“pulang klinik (kuliah) langsung ngurus rumah. Kalau dulu

sebelum nikah, pulang kuliah bisa tidur-tiduran gak ada yang dipikirin. Tapi kalau sekarang belum ngurus rumah, anak, suami jadinya capek. Berantem masalah kecil. Pulang telat, rumah berantakan, ya masalah kecil gitu aja.” (8-9)

AB merasa bergantung terhadap orangtua dan mertuanya untuk mengatasi permasalahan di dalam rumah tangganya. Hal ini memunculkan keinginan untuk dapat berguna di dalam rumah tangga dengan cara secepatnya menyelesaikan pendidikan kemudian mencari pekerjaan. Selain itu, AB juga memiliki keinginan untuk dapat dihargai oleh orang tuanya karena AB merasa orang tuanya belum dapat menerima keadaannya yang sudah menikah namun masih bergantung secara finansial. AB ingin menunjukkan bahwa pilihannya tepat dan tidak ingin meniru pengalaman orang tuanya yang bercerai.

“Tapi nyeselnya nikah muda gara-gara enggak bisa bantuin suami. Jadi nyeselnya itu udah nikah masih minta-minta. soalnya belum lulus kuliah. kalo minta uang pulang, dibilang dah makanya kan mama udah bilang kan sekarang masih minta -minta uang jadinya. Tak bilang aja doain biar cepet lulus terus nanti kalo udah lulus kan udah bisa nyari uang jadinya gak minta-minta lagi. Makanya sekarang pengen cepet-cepet lulus. Terus sering dibilangin benerin nyari biar gak sama kayak mama gitu. Makanya kakak lebih seneng cari yang baik tapi gak kaya biar gak ditinggal apa lagi suka-suka selingkuh walaupun kaya ya” (31, 37)

“Yang membiayai kuliah masih orangtua kakak tapi kalau masalah

biaya hidup itu suami kakak tapi masih dibantu sama mertua kakak. Kalau biaya kuliah, kakak langsung minta sama

orangtuanya kakak” (13)

Makanya mending cari orang baik tapi gak kaya biar gak ditinggal apa lagi suka-suka selingkuh walaupun kaya ya. Itu dah


(55)

kayak mama kan ujung-ujungnya cerai biayain anaknya sendiri.” (22)

Tapi kadang-kadang emang cerita sama mertua soalnya nanti keliatan jelek kalo cerita sama orangtua aja, nanti suaminya kakak keliatan jelek dimata orangtuanya kakak. Jadi orang rumah gak tau kalo misalnya ada masalah jadi tak tutup-tutupin aja. Biar

keluarga besar kakak gak tau.” (16)

Selama menjalani perkawinannya, AB merasa ibunya tetap belum dapat menerima perkawinannya. Walaupun ibu AB tidak dapat menerima keadaan dirinya, AB merasa dapat diterima oleh mertuanya karena merasa mendapatkan perhatian dari mertuanya. AB merasa mertua tidak terlalu menuntut dirinya dan mendapat banyak bantuan dari mertuanya. Walaupun demikan, AB tetap memiliki ketakutan akan adanya penolakan dari mertuanya sehingga memunculkan perasaan malu jika meminta bantuan kepada mertuanya. AB merasa tidak ingin membebani mertuanya.

“Sampe sekarang sebenarnya mama masih sering bilang “bisa kok kamu nyari yang lain” (20)

“Mertuanya kakak itu baik kali. Udah kayak keluarga banget.”

(42)

“Terus kalo misalnya udah ada upacara tu gak terlalu sering

maksa biar bisa mejejaitan (persiapan upacara) paling kakak cuma disuruh sembahyangnya aja.” (35)

“Masih lebih enggak malu minta sama orangtua sendiri daripada

minta sama mertua ya. Apalagi masih baru-baru nikah gitu kan


(56)

AB merasa ibunya mulai dapat menerima perkawinannya karena pasangan tidak seperti ayah AB. Selain itu, ibu AB senang dengan kehadiran cucunya.

“Tapi kalo sekarang udah enggak. Udah seneng. Soalnya

mamanya kakak seneng sama cucunya. Ini sekarang lagi kesini

mau jengukin cucunya.” (61)

“Cerai soalnya dia nikah lagi sama suka-suka selingkuh gitu. Makanya mending cari orang baik tapi gak kaya biar gak ditinggal apa lagi suka-suka selingkuh walaupun kaya ya. Itu dah kayak mama kan ujungujungnya cerai biayain anaknya sendiri. Gara -gara itu mama udah mulai nerima kakak nikah sama suaminya kakak. Terus mamanya kakak seneng juga liat cucunya jadinya itu udah keliatan bisa nerima kalo kakak sekarang udah nikah sama

suaminya kakak.” (22-24)

AB juga merasa masyarakat di lingkungan barunya dapat menerima dirinya. Hal ini dikarenakan di lingkungannya yang baru sudah terbiasa dengan adanya menikah muda karena mengalami kehamilan sebelum menikah sehingga AB merasa masyarakat dapat mengerti akan keadaan dirinya. AB mendapatkan bantuan dari mertuanya dalam menjalankan perannya di dalam kegiatan adat karena AB harus mengikuti perkulihan. Masyarakat pun tidak keberatan akan hal tersebut. Namun, AB merasa kurang dapat bersosialisasi dengan masyarakat yang memunculkan ketakuatan akan adanya penolakan dari masyarakat jika jarang mengikuti kegiatan adat. AB merasa kegiatan adat tersebut merupakan kewajiban bagi wanita Bali yang sudah menikah.

“Kayaknya udah tau nikah muda pasti hamil dah. Ngapain lagi

nikah muda pasti karena hamil walaupun enggak ada nanya pasti


(57)

“Sejauh ini sih gak ada gimana-gimana kalo kakak masih diwakilin sama mertua . Orang-orang di banjar juga ngerti kayaknya, kakak tinggalnya jauh terus masih kuliah juga. Mertua kakak juga gak ada cerita apa-apa ya. Di sana itu banyak eh gak juga, ada lah yang nikah-nikah muda gini tapi gak tinggal di sana banyak tinggalnya di Denpasar atau kerjanya di Denpasar gitu. Jadinya kalo gak ikut kegiatan gitu jarang lah diomonging gitu kayakanya. Gak tau juga di belakang tapi kaliatannya kayak bukan

hal baru juga di tempatnya kakak itu.” (37-38)

“Tapi karena kakak jarang ikut-ikut kegiatannya jadi gak terlalu kenal sama orang disana. Jadinya kalau dateng ngobrolnya sama yang kakak kenal atau sering ketemu aja. Kalau yang enggak terlalu kakak kenal atau yang enggak kakak kenal, kakak enggak ajak ngobrol. Cuman yang kakak kenal-kenal aja.” (48)

“Sebenernya gak enak, malu kalo misalnya gak pernah dateng tu

takutnya nanti diomongin gak pernah mau datang gak mau berinteraksi gitu. Soalnya itu kan kewajiban juga kalo udah nikah. Jadi disempet-sempetin pulang ya walau cuma sehari tapi disempetinlah pulang, biar dapet nongol aja keliatan buat bantu-bantu. Tapi biasanya kakak kalo ada kegiatan, hari H nya kakak datengnya. Waktu odalannya atau waktu acara kawinannya. Bantu di hari H nya, kalo waktu proses persiapannya gak bisa

bantu-bantu.” (40-42)

c. Struktur Umum Subjek AB

Diawal perkawinan, AB menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang tidak diinginkannya. AB merasakan adanya ketidaksiapan untuk menikah dan mengalami kebingungan untuk menentukan pilihan yang diberikan oleh figur otoritas seperti orang tua dan pasangan. AB merasa telah mengecewakan harapan orang tuanya. AB mengalami penolakan dari orang tua sehingga AB merasa kecewa terhadap orang tuanya. AB merasa stress selama menjalani proses mengandung. AB merasa dirinya tetap berharga karena diterima oleh


(58)

pasangannya. Ketika menjalankan perkawinannya, AB berupaya untuk menjadi berguna sehingga dapat membantu pasangannya dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam rumah tangganya. Namun, ketika menjalani perkawinannya AB merasa pasangannya kurang mengerti keinginannya.

AB merasa malu dan terhukum karena telah melanggar norma masyarakat. Namun, ketika menjalankan perkawinannya AB merasa diterima oleh masyarakat. AB merasa masyarakat mengerti akan keadaannya yang masih diwakili oleh mertua ketika AB tidak dapat mengikuti kegitan adat. AB mengalami kecemasan akan adanya penolakan dari masyarakat dan merasa tidak dapat bersosialisasi dengan baik jika tidak mengikuti kegiatan adat karena kegiatan adat merupakan kewajiban ketika menikah. AB berupaya untuk mengikuti kegiatan adat sehingga dapat mengurangi kecemasan akan ditolak oleh masyarakat.

Walaupun AB mendapatkan penolakan dari ibunya, AB merasa mendapatkan penerimaan dari mertuanya. AB merasa diperhatikan dan dibantu oleh mertunya dalam menjalankan perkawinannya dan perannya di masyarakat. AB merasa menjadi bergantung dengan mertuanya. AB mengalami kecemasan akan ada penolakan dari mertua jika tidak berperilaku sesuai dengan harapan mertuanya. AB berupaya untuk tidak membebani mertuanya dengan masalah pribadinya sehingga dapat mengurangi kecemasan akan adanya penolakan dari


(59)

mertuanya. Perkawinan dianggap sebagai tanggung jawab baru dalam hidupnya. AB memiliki keinginan untuk menunjukkan kepada orang sekitarnya bahwa pilihannya untuk menikah sudah tepat.

2. Subjek AD a. Profil Subjek

Subjek yang kedua berinisial AD yang menikah ketika berusia 20 tahun dengan usia perkawinan 2 tahun. AD sudah berpacaran dengan pasangannya selama satu setengah tahun dan sejak pacaran sudah berniat untuk menikah muda. Hanya saja keinginan tersebut tidak dapat terlaksana karena tanggung jawab AD untuk menyelesaikan pendidikannya. Dengan terjadinya kehamilan ini menyebabkan keinginan AD dan pasangannya menjadi terlaksana. AD merupakan mahasiswi tingkat akhir di sebuah universitas swasta di Bali dengan jurusan kedokteran gigi. AD memiliki seorang anak dan suami yang bekerja di sebuah hotel dibagian HRD. Sebelum bekerja, suami AD pernah berkuliah di sebuah Universitas negeri di Bali namun ketika masuk semester ke lima memilih berhenti dan mulai bekerja. Biaya pendidikan AD pun sekarang dibiayai oleh suaminya.

Sebelum menikah, AD tinggal sendiri di sebuah kos-kosan di Denpasar karena jarak antara kampus dan rumah AD berjauhan. Saat ini AD, anak dan suaminya tinggal bersama di rumah mertuanya. AD sejak pacaran sudah mendapatkan restu dari orangtua maupun


(60)

mertuanya. Terkadang ibu AD menginap di rumahnya hanya sekedar untuk bertemu AD atau melihat cucunya.

Kegiatan sehari-hari AD yaitu menjadi ibu rumah tangga dan menjadi mahasiswi tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsi. AD merasa harus secepatnya mengejar ketinggalan dari teman-teman seangkatannya karena semester lalu sempat mengambil cuti. Hal ini menyebabkan tugas rumah tangga masih lebih sering di kerjakan oleh ibu mertuanya. Tugas utama AD hanya mengurus anak dan suaminya. Sekarang AD lebih sering mencari informasi-informasi mengenai tumbuh kembang anak.

Walaupun sudah menikah, AD belum menjalankan tanggung jawab sepenuhnya sebagai perempuan Bali yang sudah menikah. Hal ini dikarenakan kegiatan adat di banjar masih dikerjakan oleh mertuanya. AD hanya berfokus untuk secepatnya menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu. Suami AD berasal dari Bukit Jimbaran. Adat yang dimiliki oleh daerah ini pun tidak terlalu ketat. Jika tidak dapat mengikuti kegiatan adat, warga banjar hanya perlu membayarkan sejumlah uang yang sudah ditetapkan oleh warga banjar.

b. Deskripsi Pengalaman Subjek AD

Diawal perkawinan AD merasa seperti mendapatkan hal yang diinginkannya sehingga tetap merasa senang menjalani proses kehamilannya setelah melangsungkan perkawinannya. AD dan


(61)

pasangannya sudah memiliki renacana untuk menikah muda dan sudah mendapatkan restu dari orang tua kedua belah pihak. Namun, keinginan tersebut tidak dapat terlaksana karena terhalang oleh tanggung jawab AD untuk menyelesaikan pendidikannya sehingga dengan adanya kehamilan yang tanpa rencana ini menjadi melancarkan keinginan AD untuk dapat hidup bersama dengan pasangannya.

“Sebenernya udah dari lama mau nikah tapi karena masih kuliah jadinya diundur dulu. Sebenarnya udah sering didesak-desak gitu nikah sama ibunya dia. Terus akhirnya nikah karena hamil. Seneng sih. Gimana ya aku bilang, istilahnya karena udah ingin nikah cuma terhambat karena masih kuliah. Jadi tau hamil terus nikah ya seneng. Terus waktu hamil juga biasa-biasa aja.” (1-4)

Pada saat itu AD memiliki kebingungan untuk menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikannya atau berhenti. Awalnya AD berencana untuk memilih berhenti kuliah namun AD mendapatkan dukungan dari pasangan serta keluarga untuk tetap melanjutkan pendidikannya. Hal ini membuat AD merasa dirinya tetap berharga sehingga keluarga tidak membiarkan dirinya untuk menghentikan pendidikannya.

“Waktu hamil itu yang dipikirin itu mau berenti kuliah atau mau lanjutin kuliah. Tapi gak ada yang ngasih berhenti ya akhirnya

mutusin buat lanjut kuliah aja gak jadi berhenti.” (5)

Didalam perkawinannya AD merasa sudah memiliki tanggung jawab walaupun masih bergantung dengan mertua dan orang tua karena merasa tidak memiliki pengetahuan serta pengalaman mengenai perkawinan dan mengurus anak.


(1)

163

oleh pasangan

- Ketakutan akan ditinggalkan pasangan

- Merasa bergantung kepada keluarga

- Ketakutan akan adanya penolakan dari mertua

- Merasa dapat diterima

“Yang membiayai kuliah masih orangtua kakak tapi kalau masalah biaya hidup itu suami kakak tapi masih dibantu sama mertua kakak. Kalau biaya kuliah, kakak langsung

minta sama orangtuanya kakak” “Masih lebih enggak malu minta

sama orangtua sendiri daripada minta sama mertua ya. Apalagi masih baru-baru nikah gitu kan

malu ya minta sama mertua.”

“Mertuanya kakak itu baik kali.

bilang sama dia. Kalau pergi kemana-mana enggak bilang dia marah. Mungkin sekarang lebih nambah ya karena udah nikah jadi keberadaan aku itu dipantau sama

dia.”

“Cuma yang lebih penting kalau

ngurus suami, kalau gak diurusin ya kasian ya nanti malah nyari yang lain

lagi.”

“Tapi mungkin hal-hal yang kita bener-bener kurang pengalaman baru minta bantu sama ibu. Soalnya kan kita masih banyak yang belum kita

ngerti ya.”

“Kalau aku sih ngikut ibu aja. Kalau

disuruh gini ya gini disuruh gitu ya

gitu.”

“Kita semua saling mengutarakan

“Waktu itu aku pernah lama tinggal

dirumah orangtua ku semingguan soalnya lagi sibuk kuliah anaknya baru 3 bulan terus mertua kerja ngajar gak ada pembantu makanya aku titipin ke ibu ku kan soalnya ibu juga gak sibuk cuma jaga percetakan aja.”

“Kalo mertua lebih ke cucunya ya.

Pernah mertua ku bilang gini biarin aja dia dirumah kalo RD mau jalan-jalan, kesana dah, biarin aja dia dirumah gitu.

Diem dirumah aja ya wah sama nenek.” “Terus mertua juga baik jadi gak terlalu


(2)

164

Struktur Umum Uraian

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 oleh mertua

- Dianggap belum dewasa oleh mertua

- Merasa dihargai oleh mertua

- Merasa mendapatkan perhatian dari mertua

Udah kayak keluarga banget.”

“Jadi biasa aja dia, malah sering

nyuruh bawa anaknya kakak ke rumah mertua kalo misalnya ngerasa repot ngurus anak sambil kuliah. Tapi kakaknya yang gak

apa yang menjadi masalahnya terus entar ditanyain ke semuanya kira-kira bagus gak bener gak kalo milih gitu. Mertua juga kok kalo misalnya mau beli apa gitu biasanya nanya-nanya juga. Jadi pendapat semua itu

penting buat mau mutusin sesuatu.” “Dibilang mantu cuma status aja sih.

Masih lebih dianggap kayak anak sama ibu. Dibebasin mau kemana mau ngapain ya silahkan. Kalau sempat masak ya masak kalo enggak

juga gak kenapa.”

“Tapi mereka gak terlalu ikut

campur kalo menyangkut masalah pribadi ya. Kayak masalah kuliah. Cuma kadang-kadang nanya aja, kuliahnya udah sampe mana, ada yang kurang-kurang gak, ada yang perlu dibantu gak. Ya yang gitu-gitu

aja.”

“Kadang-kadang mertua ikut campur kalo kita ada masalah gitu. Tapi tetep

kita yang lebih mutusin ya.”

“Suami ku kan anak terakhir ya, dia dah

paling manja, ibunya bilang gitu. Ini dah paling manja dari semuanya.


(3)

165

- Merasa mendapatkan bantuan mertua dalam kegiatan adat

- Masyarakat mengerti akan dirinya

- Merasa diterima oleh masyarakat

mau, baru-baru ini aja tak titipin

sama mertuanya kakak.”

“Kalo acara odalan dateng tapi kalo

ada acara kawinan gitu mertuanya yang wakilin. Soalnya kan kakak disini masi klinik masih kuliah jadi

jarang ikut, jarang pulang juga.” “Sejauh ini sih gak ada gimana -gimana kalo kakak masih diwakilin sama mertua. Orang-orang di banjar juga ngerti kayaknya, kakak tinggalnya jauh terus masih kuliah juga. Mertua kakak juga gak ada cerita apa-apa ya.”

“Di sana itu banyak eh gak juga,

ada lah yang nikah-nikah muda gini tapi gak tinggal di sana banyak tinggalnya di Denpasar atau kerjanya di Denpasar gitu. Jadinya kalo gak ikut kegiatan gitu jarang lah diomonging gitu kayakanya. Gak tau juga di belakang tapi kaliatannya kayak bukan hal baru

“Masih diwakilin sama ibu. Masih

mertualah yang ngurus. Belum jadi tanggung jawab aku sepenuhnya

masih ibu yang pegang.”

“Terus orang-orang banjar juga enggak gimana-gimana. Ya cuma kadang-kadang ada ibu-ibu yang

bilang sama ibu, “kok gak mantunya yang kesini?” terus ibu selalu jawab, “iya dia masih kuliah kasih dah dia serius dulu kuliahnya nanti kalau udah selesai kuliah udah lulus baru dia yang gantiin urusan

mebanjarnya”.

“Kalau dilihat dari orang-orang sekitar aku tinggal mereka gak mandang gimana-gimana ya. Soalnya disana banyak yang nikah muda jadi liat aku nikah muda gini

udah biasa aja bagi mereka.”

“Lingkungan juga gak pernah nanyain

soalnya mereka udah tau aku keliatan sibuk. Pagi kuliah malem praktek jadinya keliatan sibuk ya padahal gak ada apa. Namanya juga orang desa ya gak tau gitu jadinya aku dianggep kerja

mungkin sama mereka.”

“Disini sering nikah muda terus

dirumah ku juga banyak yang nikah muda gara-gara hamil. Udah biasa


(4)

166

Struktur Umum Uraian

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3

- Kurang dapat bersosialisasi di dalam masyarakat

- Takut akan ada penolakan dari masyarakat jika tidak mengikuti kegiatan adat

juga di tempatnya kakak itu.” “Tapi karena kakak jarang ikut-ikut kegiatannya jadi gak terlalu kenal sama orang disana. Jadinya kalau dateng ngobrolnya sama yang kakak kenal atau sering ketemu aja. Kalau yang enggak terlalu kakak kenal atau yang enggak kakak kenal, kakak enggak ajak ngobrol. Cuman yang kakak kenal-kenal

aja.”

“Sebenernya gak enak, malu kalo

misalnya gak pernah dateng tu takutnya nanti diomongin gak pernah mau datang gak mau berinteraksi gitu.”

“Aku juga takut bersosialisasi di

kegiatan kayak gitu kan terus aku

juga udah bilang gitu sama ibu.”

“Jadi sebenernya pengen aja ikut -ikut. Kan kita bakal tinggal disana, terus hal-hal yang kayak gitu, kita bisa dikenal. Jangan sampe kita tinggal disana hidup disana tapi kita malah enggak tau orang disana terus kita juga gak dikenal, kan malu ya. Soalnya itu kan wajib jadi harus


(5)

Lampiran 11


(6)

LEMBAR PERSETUJUAN (Informed Consent)

Saya mahasiswi S1 Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi, ingin memohon bantuan anda untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini dalam pemenuhan tugas akhir (skripsi). Saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk menjadi partisipan penelitian yang akan saya lakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk menggali gambaran pengalaman perkawinan remaja yang dijalankan oleh perempuan di Bali. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Anda sebagai partisipan dalam penelitian ini akan diberikan pertanyaan yang membantu anda dalam menceritakan pengalaman yang anda miliki terkait dengan topik penelitian ini. Anda diharapkan dapat menceritakan pengalaman yang anda miliki secara benar dan jujur. Kegiatan wawancara akan direkam menggunakan alat rekam yang sudah disedikan oleh saya.

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai perkawinan yang dijalankan pada usia remaja, mendapatkan cara pandang baru mengenai remaja serta mendapatkan pola-pola perkawinan yang terjadi ketika melangsungkan perkawinan usia remaja bagi perempuan di Bali terkait dengan kebudayaan yang melebur bersama dengan agama yang dianutnya serta hokum adat yang harus dijalaninya. Anda sebagai partisipan memiliki peran penting dalam memberikan sumbangsih bagi keilmuan psikologi dan memberikan pertimbangan pada penerus masa depan dalam memutuskan masa depan perkawinannya.

Peneliti tidak akan membagikan hasil pengumpulan data kepada siapapun kecuali dosen pembimbing peneliti. Nama anda akan dirahasiakan dengan menggunakan inisal. Identitas Anda akan disimpan secara rahasia. Jika anda ingin mengundurkan diri dari penelitian ini, anda dapat melakukannya kapan saja tanpa hukuman atau denda. Jika anda memiliki pertanyaan, anda bebas menanyakannya kepada peneliti. Tanda tangan anda menyatakan bahwa anda menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian ini. Atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.

Partisipan Penelitian Peneliti