HUBUNGAN ANTARA STATUS ANTIOKSIDAN TOTAL DENGAN KOMPONEN SINDROM METABOLIK PADA OBESITAS ABDOMINAL.

(1)

TESIS

HUBUNGAN ANTARA

STATUS ANTIOKSIDAN TOTAL

DENGAN KOMPONEN SINDROM METABOLIK

PADA OBESITAS ABDOMINAL

HENRITA ERNESTIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TESIS

HUBUNGAN ANTARA

STATUS ANTIOKSIDAN TOTAL

DENGAN KOMPONEN SINDROM METABOLIK

PADA OBESITAS ABDOMINAL

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

HENRITA ERNESTIA

1390761004

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL Maret β016

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. dr. A. A. Gde Budhiarta, Sp.PD-KEMD Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And.,FAACS NIP. 19441ββ1197β061001 NIP. 19461β1γ1971071001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195805β119850γ100β NIP.19590β15198510β001


(4)

iv

Tesis ini telah diuji pada Tanggal Maret β016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, Nomor : .../UNI4.1/HK/β016 Tanggal.... Maret β016

Ketua : Prof. Dr.dr.A.A.Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS 2. Prof. dr. N.Agus Bagiada, Sp.BIOK

3. Dr. dr. Desak Made Wihandani, M.Kes 4. Dr. dr. I Wayan Weta, MS


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Nama : dr. Henrita Ernestia

NIM : 1γ90761004

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Anti-Aging Medicine)

Judul : Hubungan antara status antioksidan total dengan komponen sindrom metabolik pada obesitas abdominal

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI no.17 tahun β010 dan Peraturan Perundang – undangan yang berlaku.

Denpasar, Maret β016 Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan antara status antioksidan total dengan komponen sindrom metabolik pada obesitas abdominal” dalam rangka memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Biomedik, kekhususan Anti Aging Medicine, di Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Selama penelitian ini, penulis mendapat banyak pengalaman berharga yang memperkaya wawasan, serta sebagai proses pembelajaran hidup penulis, baik dari segi ilmiah maupun aspek nilai sosial. Semua ini tidak lepas dari peran serta orang- oarng disekeliling penulis yang senantiasa mendukung dengan tulus ikhlas. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat, penghargaan,dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. A. A. Gde Budhiarta, Sp.PD-KEMD selaku Pembimbing I, yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan yang teliti kepada penulis selama penyusunan tesis ini mulai dari awal hingga selesai.

2. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS selaku Pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, motivasi, dan arahan kepada penulis dari awal hingga akhir penyusunan tesis ini.

3. Prof. dr. N.Agus Bagiada, Sp.BIOK selaku Penguji, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.


(7)

vii

4. Dr. dr. Desak Made Wihandani, M.Kes selaku Penguji, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.

5. Dr. dr. I Wayan Weta, MS selaku Penguji, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.

6. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.

7. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi pada Program Magister Pascasarjana Universitas Udayana.

8. Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, Sp.GK, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menuntut ilmu di Program Magister Ilmu Biomedik. 9. Drs. I Ketut Tunas, M.Si yang telah banyak memberikan bimbingan,

arahan, dan petunjuk dalam analisis statistik tesis ini.

10. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And selaku Pembimbing Akademik, yang telah memberikan masukan, saran, dan koreksi yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini.

11. Kepala Puskesmas kelurahan Setu kecamatan Cipayung Jakarta Timur, para dokter, perawat dan penanggung jawab Posyandu, yang telah banyak


(8)

viii

membantu dalam terkumpulnya masyarakat sekitar sebagai peserta penelitian dan terselenggaranya pertemuan penelitian dan pemeriksaan laboratorium.

12. Kepala Kelurahan Setu kecamatan Cipayung Jakarta Timur berserta stafnya yang telah memberikan izin dan membantu terlaksananya acara pertemuan penelitian dan pemeriksaan laboratorium di aula kelurahan Setu.

13. Laboratorium Riset dan Eksoferik Prodia Cibubur dan Prodia Pusat Jakarta atas kerjasamanya dalam penyelenggaraan pemeriksaan laboratorium saat penelitian berlangsung.

14. Papi tercinta (Alm. Ir Veries Simanjuntak M.Sc ) dan mami tercinta (Alm. Maria Yulia Emilia Koptova) atas semua doa, dukungan, perhatian, semangat, cinta dan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis sehingga senantiasa bersemangat untuk terus belajar dan berkarya.

15. Kakak-kakakku tercinta (Ir. Leonard Erlangga, Maria Flora SE, Dr. Marcella Elwina SH M.Scn M.Hum) atas doa, cinta, dukungan moril dan materiil, serta motivasi dan kesabarannya selama penulis menempuh pendidikan ini.

16. Teman teman dan sahabat terkasih dr. Ayu Diah J, dr.Anita, Dr. dr. Heri Nugroho Sp.PD, Darsilah, Nia, Irmi, Anastasia, Ferbian Milas Siswanto, SKH atas semangat dan semua bantuannya atas terselenggaranya penelitian tesis ini.

17. Seluruh dosen Ilmu Biomedik Universitas Udayana yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat.


(9)

ix

18. Para staf Ilmu Biomedik Universitas Udayana, Geg Wahyuni, Pak Edy, Geg Amie, Geg Yeti dan Geg Eni yang telah memberikan informasi dan bantuan yang begitu bermanfaat kepada penulis mulai dari awal sampai akhir penulis menuntut ilmu di Bagian Biomedik.

19. Teman-teman mahasiswa angkatan β01γ Anti Aging Medicine yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terutama dr. Liza Bonora, dr. Ayu Diah, dr.Yeni, dr. Evelin, dr. Lisa Silvani yang telah banyak membantu, memberikan dukungan dan motivasi selama penyusunan tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Denpasar, Maret β016 Penulis,


(10)

x ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA STATUS ANTIOKSIDAN TOTAL DENGAN KOMPONEN SINDROM METABOLIK PADA OBESITAS ABDOMINAL Sindrom Metabolik (SM) adalah sekumpulan gejala kelainan metabolik, baik lipid maupun non lipid yang merupakan faktor risiko penyakit Diabetes Melitus tipe β dan kardiovaskuler. SM terdiri dari obesitas abdominal, dislipidemia aterogenik (peningkatan trigliserida dan penurunan high density lipoprotein (HDL)), tekanan darah yang meningkat, dan resistensi insulin. Diagnosis SM yang dipakai adalah sesuai kriteria IDF β005. Sindrom metabolik, resistensi insulin, pre diabetes, diabetes melitus tipe β dan penyulit kardiovaskular berada dalam satu tatanan dengan sebutan cardiovaskular continuum. Dasar pemikiran tersebut disebabkan oleh timbulnya stress oksidatif akibat berlebihnya produksi Reactive Oxygen Species (ROS) disertai menurunnya aktivitas antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan SAT dengan komponen faktor risiko SM pada obesitas abdominal.

Penelitian ini merupakan desain observasional studi potong lintang, untuk mengetahui hubungan antara status antioksidan total (SAT) dengan komponen faktor risiko SM pada obesitas abdominal. Populasi penelitian sebesar 75 orang responden dengan subyek variable meliputi tinggi badan, berat badan, IMT, lingkar pinggang, tekanan darah). Pada hari kedua dilakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan HDL, trigliserida, glukosa darah puasa dan insulin darah puasa, SAT dan perhitungan HOMA-IR.

Hasil penelitian ditemukan ββ% menderita SM dengan SAT yang rendah 41% dan SAT normal 59%. Tidak menderita SM 78% dengan SAT yang rendah 47% dan SAT normal 5γ%. Nilai koefisien korelasi subjek penelitian berdasarkan status antioksidan total (SAT) dan kriteria sindrom metabolik pada obesitas abdominal mendekati 0 yaitu -0,016. Nilai signifikansi (p) adalah 0,891. Dapat disimpulkan bahwa status antioksidan total (SAT) tidak berhubungan dengan jumlah kriteria komponen faktor risiko sindrom metabolik pada obesitas abdominal (p> 0,05). Nilai koefisien korelasi rerata antara SAT dengan masing masing komponen sindrom metabolik antara lain SAT dengan lingkar pinggang -0,0γ0, SAT denganTekanan Darah 0,084, SAT dengan glukosa puasa -0,010, SAT dengan HDL 0,007, SAT dengan trigliserida 0,145, SAT dengan insulin puasa -0,047, SAT dengan HOMA IR -0,041, seluruh komponen faktor risiko sindrom metabolik mendekati 0 (nol) dengan nilai p>005.

Pada penelitian ini disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara SAT dengan masing masing komponen sindrom metabolik. Penelitian ini perlu dikembangkan lebih dalam dengan menggunakan metode pemeriksaan yang lebih sensitif.

Kata kunci: Obesitas abdominal, Sindrom Metabolik (SM), Status Antioksidan Total (SAT)


(11)

xi

ABSTRACT

RELATIONSHIP BETWEEN TOTAL ANTIOXIDANT STATUS WITH THE COMPONENTS OF METABOLIC SYNDROME IN ABDOMINAL

OBESITY

Metabolic Syndrome (MS) was a symptoms of metabolic abnormalities, both lipid and non-lipid which is a risk factor for type 2 diabetes mellitus and cardiovascular diseases, which consists of abdominal obesity, dyslipidemia atherogenic (increased triglycerides and decreased high-density lipoprotein (HDL), increased blood pressure and insulin resistance. Diagnosis MS using criteria IDF 2005. Metabolic Syndrome, insulin resistance, pre-diabetes, type 2 diabetes mellitus and cardiovascular complications is in one premise called cardiovascular continuum. The premise is caused by the onset of oxidative stress due to excess production of Reactive Oxygen Species (ROS) which accompanied the decline of antioxidant activity. This study aimed to determine the relationship of total antioxidant status (TAS) with the components of metabolic syndrome risk factors in abdominal obesity.

This study was a cross-sectional observational study, to determine the relationship between TAS with the components of metabolic syndrome risk factors in abdominal obesity. The population was 75 respondents. The study population of 75 respondents with variable subjects include height, weight, BMI, waist circumference, blood pressure. On the second day venous blood sampling performed for inspection HDL, triglycerides, fasting blood glucose and fasting blood insulin, TAS and calculation of HOMA-IR.

The research found 22 % had MS with low TAS 41 % and 59 % of normal. Non MS 78 % with low TAS 47 % and 53 % of normal. The correlation coefficient study subjects according to TAS and the criteria for metabolic syndrome in abdominal obesity approaching 0 is -0.016. Significance value (p) was 0.891. It can be concluded that TAS is not related to the number of component criteria of MS risk factors in abdominal obesity (p > 0.05). The correlation coefficient between the mean TAS with each component of MS among others TAS with waist circumference -0.030, blood pressure 0,084, fasting glucose -0.010, HDL 0.007, triglycerides 0,145, with fasting insulin -0.047, with HOMA IR -0.041, all components of metabolic syndrome risk factor close to 0 (zero) with p values > 005.

In this research concluded that there were no correlation between TAS to each component of the metabolic syndrome. This research should be developed using more sensitive methods.

Key words: Abdominal Obesity, Metabolic Syndrome (MS), Total Antioxidant Status (TAS)


(12)

xii DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... .... i

PRASYARAT GELAR ... . ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ...v

UCAPAN TERIMAKASIH ...vi

ABSTRAK ...x

ABSTRACT ... ... .xi

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ...xv

DAFTAR GAMBAR ...xvi

DAFTAR SINGKATAN ...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ...xix

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Penelitian ...1

1.β Rumusan Masalah ...9

1.3 Tujuan Penelitian ...10

1.3.1 Tujuan umum ...10

1.3.2 Tujuan khusus ...10

1.4 Manfaat Penelitian ...11

1.4.1 Manfaat ilmiah ... .11

1.4.2 Manfaat praktis ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...1β 2.1 Obesitas Abdominal ...1β 2.1.1 Obesitas Abdominal dan pengukuran antropometri ...1β 2.1.2 Jaringan lemak ...19

2.2 Sindrom Metabolik ...20

2.2.1 Epidemiologi ...β0 2.2.2 Insidensi ...β1 2.2.3 Penyebab Sindrom Metabolik ...ββ 2.2.4 Kriteria diagnosis ...βγ 2.2.5 Penyebab SAT dengan komponen Sindrom Metabolik ...β4 2.2.5.1 Obesitas abdominal dan indeks masa tubuh...β4 β.β.5.β Resistensi insulin ...β6 β.β.5.γ Dislipidimia ...β9 β.β.5.4 Peningkatan tekanan darah ...γ1 2.3 Radikal bebas ...33 2.4 Antioksidan ... ...γ5


(13)

xiii

β.5 Hubungan Obesitas dan komponen sindrom metabolik terhadap antioksidan ...γ7

β.6 Pemeriksaan antioksidan ...40

BAB III KERANGKA BERPIKIR,KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN..4γ 3.1 Kerangka Berpikir ...4γ 3.2 Kerangka Konsep ...44

3.3 Hipotesis Penelitian ...45

BAB IV METODE PENELITIAN………..46

4.1 Rancangan Penelitian ... 46

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...46

4.2.1 Tempat penelitian ...46

4.2.2 Waktu penelitian ...46

4.3 Populasi dan Kriteria Sampel Penelitian ...47

4.3.1 Populasi penelitian ...47

4.3.1.1 Populasi target ...47

4.3.1.2 Populasi terjangkau ...47

4.3.2 Kriteria sampel ...47

4.3.2.1 Kriteria inklusi ...47

4.3.2.2 Kriteria eksklusi ...48

4.4 Penentuan Besar dan Cara Pengambilan Sampel ...48

4.4.1 Penentuan besar sampel minimaln ...48

4.4.2 Cara pengambilan sampel ...49

4.5 Variabel Penelitian ...49

4.5.1 Identifikasi variabel ...49

4.5.2 Klasifikasi variabel...49

4.5.3 Hubungan antar variabel ...50

4.5.4 Definisi operasional variabel ...50

4.5.4.1 Obesitas abdominal... ...50

4.5.4.2 Kadar trigliserida ...50

4.5.4.3 Kadar HDL ...51

4.5.4.4 Tekanan Darah ...51

4.5.4.5 Glukosa darah puasa ...51

4.5.4.6 HOMA-IR ...5β 4.5.4.7 Status antioksidan total ...52

4.5.4.8 Umur 30-60 tahun ………5β 4.5.4.9 Jenis Kelamin ...53

4.5.4.10 Belum Menopause ...53

4.5.4.11 Tidak Merokok ...53

4.5.4.12 Tidak Mengkonsumsi Alkohol ...5γ 4.5.4.13 Tidak dalam pengobatan hipertensi ...5γ 4.5.4.14 Tidak dalam pengobatan diabetes ...54

4.5.4.15 Tidak dalam pengobatan hiperkolesterol ...54

4.5.4.16 Tidak dalam pengobatan sirosis hepatis...54


(14)

xiv

4.5.4.18 Tidak dalam pengobatan asam urat ...55

4.5.4.19 Tidak menderita penyakit keganasan ...55

4.6 Bahan dan Alat Penelitian ... 55

4.7 Prosedur Penelitian ... 56

4.8 Alur Penelitian ... 58

4.9 Analisis Data ... 58

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………..60

5.1 Hasil Penelitian………...60

5.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian………...60

5.1.β Analisis deskriptif data hasil penelitian ………....61

5.1.γ Uji normalitas data………...61

5.1.4 Analisis Korelasi ………..6β 5.1.4.1 Korelasi Karakteristik Subjek Penelitian dan SAT……62

5.1.4.β Korelasi Komponen Faktor Resiko Sindrom Metabolik dan SAT………...6β 5.1.4.γ Hubungan antara status antioksidan total (SAT) dengan sindrom metabolik pada obesitas abdominal... 65

5.1.5 Analisis Komparasi Komponen Sindrom Metabolik…………67

5.2 Pembahasan ...68

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...77

6.1 Simpulan ...77

6.β Saran ...77

DAFTAR PUSTAKA...79


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel β.1 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT

dan lingkar perut menurut kriteria Asia Pasifik………...1γ Tabel β.β Ukuran lingkar pinggang sesuai etnis...18 Tabel β.γ Kriteria Klinis Sindrom Metabolik IDF β005...β4 Tabel β.4 Kadar Lipid serum...γ0 Tabel 5.1 Data AntropometriSubjek Penelitian...60 Tabel 5.β Distribusi Variabel Penelitian Menurut Jenis Kelamin…...………61 Tabel 5.γ Analisis Hubungan antara status antioksidan total (SAT) dengan ……..6β

karakteristik subjek penelitian menggunakan Uji Korelasi Pearson Tabel 5.4 Hubungan antara Komponen Faktor Resiko Sindrom Metabolik

pada Obesitas Abdominal dan SAT ………...6γ Tabel 5.5 Profil Kadar SAT Berdasarkan Kategori Variabel ………..64 Tabel 5.6 Kriteria penelitian berdasarkan status antioksidan total (SAT) dan

sindrom metabolik pada obesitas abdominal ………...66 Tabel 5.7 Analisis Komparasi Komponen Sindrom Metabolik ………...67


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar β.1 Tipe Obesitas berdasarkan distribusi lemak...14 Gambar β.β Lemak viseral dan lemak sub kutan ...15 Gambar β.γ Obesitas dan sindrom metabolik meningkatkan stres oksidatif...β4 Gambar β.4 Peran ROS terhadap aterosclerosis dan sumber produksi ROS pada diabetes mellitus tipe β...β7 Gambar β.5 Peningkatan ROS pada obesitas, sindrom metabolik

dan hipertensi...γ1 Gambar β.6 Keseimbangan oksidan antioksidan………γ5 Gambar β.7 Efek antioksidan...γ6 Gambar β.8 Mekanisme modulasi oksidan dan antioksidan balans

pada obesitas………...γ8

Gambar γ.1 Kerangka Konsep………44

Gambar 4.1 Hubungan antar variable………..50 Gambar 4.β Alur penelitian...58 Gambar 5.1 Hubungan Komponen Sindrom Metabolik dengan Kadar SAT…..66


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

AACE : American Association of Clinical Endocrinologists ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

AGEs : Advanced Glycation End Products ARB :Angiotensin Reseptors Blockers ATP III : Adult Treatment Panel

βB : Beta Bloker

BAT :Brown Adipose Tissue BMI : Body Mass Index CA :Calcium Antagonists

CHAOS : Coronary artery disease, Hypertension, Atherosclerosis, Obesity and Stroke

CRP : C-Reactive Protein CT : Computed Tomography C index : Conicity index

DPPH :Diphenyl-β-Picrylhydrazyl DINKES : Dinas Kesehatan

DNA : Deoxyribo Nucleic Acid

EGIR : The European Group for Study of Insulin Resistance ESR :Electron Spin Resonance

FRAP : Ferric reducing ability FFA : Free Faty Acid

FoxO1 : Faktor transkripsi yang pro-apoptotik GLUTβ : Transporter glukosa β

HDL : High Density Lipoprotein

HOMA-IR : Homeostasis Model Asessment – Insulin Resistence HβOβ : Hidrogen Peroksida

HβO : Air

IDF : International Diabetes Federation IL-6 : Interleukin 6

IMT : Indeks Masa Tubuh

IGT : Impaired Glucose Tolerance LH : Luteneizing hormone

LAP : Lipid Accumulation Product MDA : Malondialdehyde

MnSOD : Enzim SOD di dalam mitokondria, antioksidan mitokondrial MRI : Magnetic Resonance Imaging

MCP-1 : Monocyte Chemotatic Protein – 1 NCEP : National Cholesterol Education Program OH :Hydroxyl radical

ORAC :Oxygen Radical Absorbance Capacity OxLDL : Oxidized Low Density Lipoprotein


(18)

xviii Oβ : Superoxide anion radical

PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1

PPAR-� : Peroxicom Proliferator-Activated Receptor Gamma PSMC : Pascular Smooth Muscle Cells

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

RLPP : Rasio Lingkar Pinggang Panggul ROS :Reactive Oxygen Species

ROO :Peroxyl Radical SM : Sindrom Metabolik SOD : Super Oxide Dismutase SAT : Status Antioksidan Total

SIAS : Spina Ischiadica Anterior Superior SHBG : Sex Hormon Binding Globulin

TBARS :Thiobarbituric Acid Reactive-Substances TNF-α : Tumor Necrosis Factor – α

TβDM : Type β Diabetes Mellitus TG : Trigliserida

VAI : Visceral Adiposity Index VAT : Visceral adipose tissue WHtR : Waist to Height Ratio WAT : White Adipose Tissue WHO : World Health Organization WHR : Waist-Hip Ratio


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuesioner penelitian ...84

Lampiran 2 : Pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian ... .85

Lampiran 3 : Penjelasan mengenai penelitian... 86

Lampiran 4 : Prosedur Pemeriksaan Profil Lipid ... 90

Lampiran 5 : Pemeriksaan Trigliserida ... 92

Lampiran 6 : Pemeriksaan glukosa darah puasa ... 94

Lampiran 7 :Pemeriksaan Insulin darah puasa ... 95

Lampiran 8 : Prosedur pemeriksaan status antioksidan total (SAT) ... 97

Lampiran 9 : Lembar Ethical Clearence ... 99

Lampiran 10 : Foto foto penelitian...100

Lampiran 11 : Rekapitulasi Hasil Pemeriksaan Laboratorium...109 Lampiran 1β : Statistik ...11β


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Menua adalah proses yang tidak dapat dielakkan dalam hidup, tetapi menua dengan kualitas kesehatan yang tetap optimal dan berumur panjang diharapkan oleh semua orang.

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua kemudian sakit dan akhirnya meninggal. Faktor penyebabnya ada 2 yaitu faktor internal yaitu radikal bebas, hormon yang menurun, proses glikosilasi, metilasi DNA, apoptosis, sistem kekebalan tubuh yang menurun dan gen. Faktor eksternal yaitu gaya hidup yang tidak sehat, diet yang salah, kebiasaan yang buruk, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan. Tetapi bila faktor penyebab tadi bisa dihindari maka proses penuaan dapat dicegah, diperlambat, bahkan dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan dan angka harapan hidup diperpanjang (Pangkahila, 2011).

Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas merupakan faktor resiko utama meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas di dunia, termasuk di Indonesia.

Masalah yang ditimbulkan oleh obesitas bervariasi, mulai dari yang berisiko rendah sampai risiko tinggi. Gangguan pernapasan, gangguan muskulo-skeletal seperti osteoartritis, gout, gangguan tidur, infertilitas, resistensi insulin, diabetes tipe β dan penyakit kardiovaskuler, bahkan sampai terjadi kematian mendadak dapat terjadi pada obesitas (WHO, β014).


(21)

β

Obesitas akan membuat kualitas kesehatan dan hidup seseorang menjadi buruk, membuat angka harapan hidup menjadi semakin rendah. Obesitas adalah salah satu masalah yang harus diatasi dalam menghambat proses penuaan (Pangkahila, β011).

Pada tahun 2008 prevalensi obesitas dunia telah meningkat dua kali lipat dari 1980. Pada tahun 2008 terdapat lebih dari 1,4 miliar orang dewasa yang berusia diatas 20 tahun memiliki berat badan berlebih (overweight) sebesar 35% dan obesitas sebesar 11% (WHO, 2014). Pada tahun 2013 ditemukan 42 juta lebih anak yang berusia di bawah lima tahun (balita) memiliki kelebihan berat badan (overweight) (WHO, 2014).

Menurut analisis data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun β01γ prevalensi nasional obesitas pada penduduk berusia dewasa (>18 tahun) menurut indeks masa tubuh (IMT) mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun β010 dan tahun β007. Prevalensi penduduk laki laki dewasa obesitas pada tahun β01γ sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun β010 yaitu 7,8% dan tahun β007 yaitu sebesar 1γ,9%. Prevalensi penduduk wanita dewasa obesitas meningkat jauh lebih signifikan. Pada tahun β01γ sebanyak γβ,9%, lebih tinggi dari tahun β010 yaitu 15,5% dan tahun β007 yaitu sebesar 1γ,9% (Riskedas, β01γ).

Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas adalah suatu akumulasi lemak berlebih yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini timbul karena asupan kalori lebih besar daripada energi yang dikeluarkan. Kelebihan berat badan dan obesitas dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain


(22)

γ

meningkatnya status ekonomi masyarakat dan perubahan gaya hidup.

Penyebabnya misalnya pola makan tinggi kalori, tinggi karbohidrat, tinggi gula dan garam, asupan lemak jenuh semakin meningkat, sedangkan aktivitas fisik semakin berkurang (sedentary life style), kurangnya asupan makanan berserat, vitamin, mineral dan mikronutrien lain serta adanya gangguan hormonal seperti rendahnya hormon testosteron dan peningkatan hormon kortisol akibat stress yang tinggi (Pangkahila, β011).

Perilaku sedentari (sedentary life style) adalah perilaku hidup santai, yaitu duduk, berbaring dalam aktivitas sehari hari, misalnya saat menonton TV, main game, ngobrol, membaca buku, di depan komputer, rapat, duduk di bis, kereta api, mobil, motor dan sebagainya tetapi tidak termasuk waktu tidur (Riskesdas, β01γ). Penelitian terbaru di Amerika dengan mengurangi perilaku sedentari menjadi kurang dari γ jam per hari ternyata dapat meningkatkan usia harapan hidup sebesar β tahun (Katzmarzyk dan Lee, β01β).

Kelebihan berat badan (overweight) dan kelebihan lemak tubuh (obesitas) merupakan risiko berbagai penyakit metabolik seperti diabetes melitus tipe β (TβDM), penyakit kardiovaskuler, stroke, dislipidemia serta beberapa bentuk kanker endometrium, payudara dan colon. Penyakit jantung dan stroke merupakan penyebab utama kematian pada tahun β01β (WHO, β014). Dengan demikian tak dapat dibantah jika dikatakan obesitas meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tipe obesitas berdasarkan distribusi lemak ada β antara lain obesitas menyeluruh dan obesitas abdominal. Pada obesitas menyeluruh distribusi lemak sub kutan di daerah lengan, paha, tungkai, abdomen dan dada. Tipe obesitas ini


(23)

4

dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan karena untuk menyebabkan penyakit kardiovaskular. Obesitas abdominal atau sering disebut sebagai obesitas sentral atau obesitas viseral yang memiliki potensi untuk menimbulkan komplikasi kardiovaskular (Effendi β01γ). Beberapa studi klinik memberikan petunjuk bahwa obesitas abdominal dapat dipakai untuk memprediksi timbulnya berbagai penyakit metabolik, diabetes melitus tipe β, penyakit kardiovaskuler dan stroke (Sugondo, β014).

Obesitas berhubungan dengan perubahan yang merugikan pada produksi adipokin seperti peningkatan kadar TNF-a, IL-6, resistin, PAI-1 dan leptin. Berkurangnya kadar adiponektin akan mempengaruhi homeostasis glukosa, fungsi endotel pembuluh darah dan system pembekuan darah, sehingga akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Adipokin dan kondisi inflamasi ringan dapat menjadi penghubung antara sindroma metabolik dengan obesitas dan resistensi insulin serta penyakit kardiovaskuler. Berbagai jaringan adipose telah berperan sebagai biomarker sindrom metabolik (Effendi, β01γ). Lingkar pinggang (waist circumference) merupakan suatu cerminan dari jaringan adiposa viseral, diikuti bahwa mereka yang memiliki lingkar pinggang lebih besar akan berkurang kadar adiponektinnya (Effendi, β01γ).

Reaven GM pada tahun 1988 menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular yang disebutnya sebagai sindroma X (Soegondo dan Purnamasari, β014). Ada berbagai istilah yang sering digunakan untuk Sindrom Metabolik (SM) antara lain adalah Reaven’s Syndrome, Metabolic Syndrome X, Insulin


(24)

5

Resistance Syndrome, Cardiometabolic Syndrome, dan di Australia lebih dikenal dengan istilah Coronary artery disease, Hypertension, Atherosclerosis, Obesity and Stroke (CHAOS)(Effendi, β01γ).

Sindrom Metabolik adalah sekumpulan gejala kelainan metabolik, baik lipid maupun non lipid yang merupakan faktor risiko penyakit Diabetes Mellitus tipe β dan kardiovaskuler, yang terdiri dari obesitas abdominal, dislipidemia ateroganik (peningkatan trigliserida dan penurunan high density lipoprotein (HDL) yang rendah), tekanan darah yang meningkat, dan resistensi insulin (Effendi, β01γ). Menurut data IDF β006, diperkirakan β0-β5% penduduk dewasa mengidap SM dan berisiko tiga kali lebih banyak terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan dengan yang tidak. Penderita SM juga memiliki resiko 5 kali lipat untuk terkena Diabetes Mellitus tipe β (IDF, β006).

Insidensi SM meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi SM di USA pada usia > β0 tahun diperkirakan sekitar β5%, dan pada usia > 50 tahun sebesar 45%. Untuk Asia di Cina penelitian berdasarkan kriteria diagnosis SM IDF sebesar βγ,β% dan NCEP/ATP III sebesar 16,β% (Effendi, β01γ).

Di Indonesia dilakukan penelitian dengan menggunakan NCEP/ATP III yang dimodifikasi dengan kriteria obesitas berdasarkan IMT Asia Pasific didapatkan data di daerah pedesaan Bali sebesar 7,8% dan di kota besar seperti Denpasar sampai sebesar β4,8%, Semarang 16,6%, Bandung sebesar ββ,94%, Depok β6,γ%, Jakarta β8,4%, Makasar sebesar γγ,4% dan prevalensi SM terbesar adalah di Surabaya yaitu sebesar γ4% (Soegondo dan Purnamasari, β014).


(25)

6

obesitas abdominal dan resistensi insulin adalah β faktor yang paling utama. Faktor penyebab lainnya adalah genetik, perilaku sedentari, aging, keadaan pro inflamasi, dan perubahan hormonal (IDF, β006). Resistensi insulin ialah keadaan dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga sehingga kadar insulin dalam darah tinggi dan kadar glukosa dalam darah juga tinggi. Resistensi insulin terjadi beberapa tahun sebelum terjadinya penyakit Diabetes Melitus tipe β dan penyakit kardiovaskuler lainnya (Soegondo dan Purnamasari, β014).

Sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular yang lebih tinggi terhadap individu tersebut (Soegondo dan Purnamasari, β014).

Kriteria diagnostik untuk SM ada beberapa, antara lain kriteria SM WHO (1998), EGIR, NCEP-ATP III tahun β001 yang direvisi tahun β004, AACE tahun β00γ dan kriteria SM yang terbaru adalah IDF tahun β005 (Effendi, β01γ).

Diagnosis SM sesuai dengan IDF β005 untuk orang asia ditegakkan dengan kriteria obesitas abdominal dengan ukuran lingkar pinggang pada wanita ≥80cm, dan pada laki laki ≥90cm, ditambah β sampai 4 faktor di bawah ini antara lain profil lipid berupa peningkatan trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sudah mendapat terapi untuk peningkatan trigliserid, penurunan HDL kolesterol < 40mg/dL (1,0γ mmol/L) pada pria atau < 50 mg/dL (1,β9 mmol/L) pada wanita, atau sudah mendapat terapi untuk kolesterol, peningkatan tekanan darah Sistolik ≥1γ0 atau Diastolik ≥85 mmHg atau penderita yang sudah terdiagnosis hipertensi dan peningkatan kadar gula darah puasa >100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau


(26)

7

penderita yang sudah terdiagnosis diabetes melitus tipe β. Bila IMT > γ0kg/m², maka sudah dikatakan obesitas abdominal, sehingga tidak diperlukan pengukuran lingkar pinggang (Soegondo dan Purnamasari, β014).

Sindrom Metabolik, resistensi insulin, pre diabetes, diabetes melitus tipe β dan penyulit kardiovaskular berada dalam satu tatanan dengan sebutan cardiovaskular continuum. Dasar pemikiran tersebut disebabkan oleh timbulnya stress oksidatif akibat berlebihnya produksi ROS (Reactive Oxygen Species) yang disertai menurunnya aktivitas antioksidan MnSOD (Effendi, β01γ).

Dengan meningkatnya obesitas abdominal, lemak viseral akan berkembang dan berprilaku seperti organ endokrin yang mampu mensekresi adipokin pro inflamatorik, seperti IL-6, TNF-α, resistin, PAI-I, disertai penurunan adipokin anti-inflamatoris adiponektin. Bila asupan lemak meningkat maka lemak akan menjadi ligan PPAR- yang kuat yang kemudian akan membentuk heterodimer dengan RXR sehingga transkripsi adiposit hipertrofik meningkat. Ini akan menyebabkan penumpukan adiposit hipertrofik pada depot lemak ektopik, terutama di area intraperitoneal dan berperan seperti organ endokrin menyekresi adipokin pro-inflamatoris. Peningkatan TNF-α dan IL-6 akan menyulut timbulnya stress oksidatif akibat produksi ROS yang tidak diimbangi oleh pertahanan dari antioksidan dan akibat menurunnya antioksidan mitokondria. Stress oksidatif akan menimbulkan cedera oksidatif seperti kerusakan sel, jaringan dan DNA. Oleh karenanya maka stress oksidatif pada SM atau pre diabetes sangat berbahaya (Effendi, β01γ).


(27)

8

yang keluarganya tidak menderita diabetes, didapatkan γγ,1% memiliki komponen faktor risiko SM, dengan pemeriksaan kadar antioksidan berupa vitamin A, vitamin C dan vitamin E didapatkan sangat rendah (Sharma, β005). Di Turki pada tahun β009 didapatkan data bahwa skor status antioksidan total (SAT) pada penderita SM yang menderita diabetes nilainya lebih rendah jika dibandingkan dengan penderita SM tanpa diabetes dan orang normal (Ozbek et al., β011).

Pasien SM non obese di India memiliki konsentrasi antioksidan yang rendah terutama vitamin E, C dan carotenoids, jika dibandingkan orang yang sehat dengan menggunakan pemeriksaan antioksidan ferric reducing ability of plasma (FRAP) assay (Aparna et al., β01β).

Antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa-senyawa pemberi elektron (electron donor), dalam arti biologis pengertian antioksidan sangat luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam efek negatif oksidan, termasuk enzim -enzim dan protein-protein pengikat logam (Winarsi, β011).

Antioksidan bekerja mencegah dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas sebagai free radical scavengers. Antioksidan dapat berupa enzim misalnya SOD (Super Oxide Dismutase), katalase, dan glutation peroksidase. Dapat pula berupa vitamin E,C,A dan β-karoten, dan berbentuk senyawa lain misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, seruloplasmin, dan lain lain. Antioksidan enzimatis adalah pertahanan utama tubuh terhadap kondisi stres oksidatif dan mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru (Winarsi, β011). Status antioksidan total adalah jumlah keseluruhan senyawa antioksidan


(28)

9

dalam serum dan plasma darah yang dapat menghambat pembentukan radikal bebas. Manfaat dari pemeriksaan ini adalah untuk menilai daya tahan tubuh atau perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas, atau sebagai skrining awal penyakit yang banyak menghasilkan stress oksidatif serta monitoring pemberian obat atau suplemen antioksidan. Pemeriksaan SAT menggunakan RANDOX kit dan alat ADVIA 1800 dengan metode kolorimetri pada sampel darah vena. Nilai normal untuk SAT adalah sebesar 1.γ0- 1.77 mmol/L plasma (Randox kitmanual, 2006).

Meskipun disebut sebagai sindrom, tetapi penatalaksanaan SM selama ini masih dilakukan sebatas masing masing komponen faktor risikonya, belum berupa satu kesatuan (Soegondo dan Purnamasari, β014). Dan belum dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui tingkat SATnya, serta dalam terapinya masih belum ditambahkan pemberian antioksidan secara adekuat.

Dengan melakukan pemeriksaan SAT pada penderita SM maka akan dapat diketahui tingkat pertahanan tubuh dalam melawan ROS, sehingga edukasi mengenai pentingnya menurunkan berat badan, konsumsi nutrisi yang kaya akan antioksidan atau pemberian sumplemen antioksidan dapat dilakukan. Dengan demikian potensi kerusakan masing masing komponen faktor risiko bisa dikurangi atau dihambat sehingga kualitas hidup dan angka harapan hidup dapat diperpanjang.

1.2 Rumusan Masalah


(29)

10

masalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat hubungan antara SAT dengan kadar trigliserida pada obesitas abdominal?

2. Apakah terdapat hubungan antara SAT dengan kadar HDL kolesterol pada obesitas abdominal?

3. Apakah terdapat hubungan antara SAT dengan tekanan darah pada obesitas abdominal?

4. Apakah terdapat hubungan antara SAT dengan kadar glukosa darah puasa pada obesitas abdominal?

5. Apakah terdapat hubungan antara SAT dengan resistensi insulin pada obesitas abdominal?

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara SAT dengan komponen faktor sindrom metabolik pada obesitas abdominal.

1.3.2 Tujuan khusus Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk membuktikan hubungan SAT dengan kadar trigliserida pada obesitas abdominal.

2. Untuk membuktikan hubungan antara SAT dengan kadar HDL kolesterol pada obesitas abdominal.


(30)

11

3. Untuk membuktikan hubungan antara SAT dengan tekanan darah pada obesitas abdominal.

4. Untuk membuktikan hubungan antara SAT dengan kadar glukosa darah puasa pada obesitas abdominal.

5. Untuk membuktikan hubungan SAT dengan resistensi insulin pada obesitas abdominal.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah:

1. Hasil penelitian dapat merupakan tambahan pengetahuan mengenai hubungan SAT terhadap komponen faktor SM.

2. Status antioksidan total dapat digunakan sebagai indikator rendahnya antioksidan pada penderita SM.

1.4.2 Manfaat praktis:

1. Memberikan informasi mengenai bahaya SM pada masyarakat awam.

2. Memberikan informasi mengenai pentingnya pemberian antioksidan pada penatalaksanaan SM selain pengelolaan masing masing komponen faktor risikonya.

3. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.


(31)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas Abdominal

2.1.1 Obesitas abdominal dan pengukuran antropometri

Obesitas dapat didefinisikan sebagai keadaan kelebihan lemak tubuh (Guyton dan Hall, β011). Obesitas adalah suatu keadaan patologis yang merupakan kelainan metabolik dengan penimbunan lemak berlebih yang dapat mengakibatkan penyakit multifaktorial (Effendi, β01γ).

Secara klinis obesitas memiliki tanda dan gejala yang khas yaitu wajah membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada menggembung, payudara membesar mengandung jaringan lemak, perut membuncit, dinding perut berlipat/menggantung, kedua tungkai umumnya berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel, kulit di daerah lipatan menghitam (Effendi, β01γ).

Secara sederhana obesitas dapat dinilai berdasarkan perbandingan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB), pengukuran lingkar pinggang, lingkar panggul, lingkar lengan atas, tebal lipatan kulit area triseps, biseps, subskapula, suprailiaka maupun evaluasi lemak tubuh total dengan menggunakan bio -electrical impedance analysis (BIA) (Susantiningsih, β015).

Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas untuk orang dewasa diatas 18 tahun diukur berdasarkan indeks masa tubuh (IMT) yang memiliki korelasi kuat dengan lemak tubuh. Ini adalah cara sederhana yang mudah digunakan, tetapi


(32)

β

IMT memiliki kekurangan karena IMT diukur berdasarkan rasio berat badan (Kg) terhadap tinggi badan kuadrat (m²) tetapi tidak memperhitungkan komposisi lemak tubuh (Guyton dan Hall, β011 dan RISKESDAS, β01γ). Individu yang kurus tetapi memiliki otot yang bagus, tanpa memiliki lemak berlebihan bisa saja memiliki IMT >β5kg/m², tetapi ini merupakan sebagian masalah kecil dalam perbatasan kategori, sehingga tetap praktis untuk digunakan ( Gandy et al., β011). Pengukuran IMT pada suatu populasi sulit diinterprestasikan secara individual karena terdapat fenotipe yang berbeda antar etnis dan bangsa. WHO mengklasifikasikan IMT menjadi 4 kelas, yaitu berat badan kurang dengan IMT < 18,5 kg/m² berat badan normal dengan IMT antara 18,5-β4,9 kg/m², kelebihan berat badan dengan IMT β5,0-β9,9 kg/m², Obesitas dengan IMT > γ0 kg/m² (WHO, β014).

Tabel β.1 Klasifikasi berat badan bebih dan obesitas berdasarkan IMT dan lingkar perut menurut kriteria Asia Pasifik

Klasifikasi IMT

(kg/mβ) Resiko koLingkar perut-morbiditas

< 90cm (laki laki) ≥ 90cm (laki laki)

< 80 cm (perempuan) ≥80cm (perempuan)

Berat badan

kurang < 18,5 Rendah,resiko meningkat pada

masalah klinis lain.

Sedang

Kisaran Normal 18,5-ββ,9 Sedang Meningkat

Berat badan lebih ≥ βγ,0

Beresiko βγ,0-β4,9 Meningkat Moderat

Obesitas I β5,0-β9,9 Moderat Berat

Obesitas II ≥ γ0 Berat Sangat berat

Sumber : WHO/WPR/IASO/IOTF dalam (The Asia-Pasific Perspective:

Redefining Obesity and its Treatment, β000).

Indonesia menggunakan klasifikasi berat badan lebih dan obesitas WHO sesuai dengan kriteria Asia Pasifik yaitu berat badan kurang dengan IMT < 18,5


(33)

γ

kg/m² berat badan normal dengan IMT antara 18,5-ββ,9 kg/m², kelebihan berat badan dengan IMT βγ,0-β4,9 kg/m², Obesitas dengan IMT > β5,0 kg/m² (Sugondo, β014).

Walaupun IMT memiliki korelasi yang kuat dengan lemak tubuh, tetapi kadang kadang terjadi kesalahan dalam total body fat content. Selain jumlah lemak, distribusi lemak juga menentukan risiko yang berhubungan dengan obesitas (Lilyasari, β007).

Berdasarkan distribusi lemak dalam tubuh, kegemukan atau obesitas dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe android yang sering disebut sebagai aple shape (bentuk buah apel) dan tipe ginoid / pear shape (bentuk buah pir) (Mukhtar, β01β dan Jarvie et al., β010).

Gambar β.1 Tipe Obesitas berdasarkan distribusi lemak Sumber: (Jarvie et al., β010).

Tipe android ditandai dengan penumpukan lemak berlebihan di bagian tubuh sebelah atas, yaitu di sekitar dada, pundak, leher, wajah dan perut menyerupai buah apel. Tipe ini oleh Vague dipertimbangkan sebagai android male-type


(34)

4

obesity lebih berisiko terhadap terjadinya TβDM, hiperlipidemia, hipertensi, aterosklerosis pada arteri coroner, serebral dan perifer (Wajchenberg, β01γ).

Tipe ginoid ditandai dengan penimbunan lemak di bagian tubuh sebelah bawah, yaitu pinggul, pantat, paha dan bagian bawah. Kegemukan tipe ini banyak terjadi pada wanita (Wajchenberg, β01γ). Dari segi kesehatan tipe ginoid lebih aman bila dibandingkan dengan tipe android karena risiko kemungkinan terkena penyakit degeneratif lebih kecil. Obesitas tipe android ini dikenal juga dengan sebutan obesitas sentral atau obesitas abdominal (Effendi, β01γ).

Jaringan lemak abdominal adalah organ kompleks yang terdiri dari beberapa kompartemen dan subkompartemen, yaitu lemak subkutan dan lemak intra abdominal, lalu lemak intra abdominal terbagi lagi menjadi lemak retroperitoneal dan intraperitoneal, yang dapat dibagi lagi menjadi lemak mesenterik dan omental. Lemak intraperitoneal ini dikenal sebagai jaringan adiposa viseral (visceral adipose tissue) yang dianggap sebagai penanda resiko penyakit metabolik (Klein, β010).

Gambar β.β Lemak viseral dan lemak sub kutan (Sumber Effendi, β01γ)


(35)

5

Obesitas abdominal dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu visceral adipose tissue (VAT) menggunakan computed tomography (CT) adalah gold standartnya, tetapi cara tersebut mahal biayanya, sulit tehniknya dan terekspos radiasi (Roriz et al., β014).

Ada beberapa cara lain yang dapat dipakai tetapi membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus dari pengukurnya, antara lain waist to height ratio (WHtR), conicity index (C index), visceral adiposity index (VAI) dan lipid accumulation product (LAP) (Roriz et al., β014).

WHtR dihitung berdasarkan rumus waist circumverence (WC) (cm) dibagi tinggi (cm). Conicity index dihitung berdasarkan rumus yang dibuat oleh Valdez pada tahun 1991 yaitu:

C index = WC (cm)

0.109 X √����ℎ� �� /ℎ���ℎ� �

Rumus visceral adiposity index (VAI) dibuat oleh Amato dan kawan kawan pada tahun β010 yang dibedakan antara pria dan wanita yaitu:

VAI pria = (WC/γ6.γ8 +(1.89xBMI))x(TG/0.81)x(1.5β/HDL)

VAI wanita = (WC/γ9.68 +(1.88xBMI))x(TG/1.0γ)x(1.γ1/HDL)

Pengukuran VAI ini dilakukan setelah pasien puasa 1β jam untuk pemeriksaan laboratorium trigliserida (TG) dan high density lipoprotein (HDL) kolesterol dengan menggunakan metode kolorimetri (Roriz et al., β014).

Pengukuran lipid accumulation product (LAP) dihitung berdasarkan rumus yang dibuat oleh Kahn dan kawan kawan pada tahun β005 yang dibedakan antara


(36)

6

pria dan wanita yaitu:

LAP pria = (WC[cm]-65) x (Trigliserida (mmol/L)

LAP wanita = (WC[cm]-58) x (Trigliserida (mmol/L) (Roriz et al., β014).

Roriz dan kawan kawan tahun β014 melakukan evaluasi untuk menilai ketepatan pengukuran antropometrik dari waist to height ratio (WHtR), conicity index (C index), visceral adiposity index (VAI) dan lipid accumulation product (LAP) dibandingkan dengan hasil pengukuran computed tomography (CT). C index terbukti merupakan pengukuran paling akurat untuk mengidentifikasi obesitas viseral terutama pada pria. Jadi C index dapat digunakan untuk memprediksi risiko penyakit coroner dan penyakit kardiovaskuler sebaik WHtR (Roriz et al., β014).

Pada wanita lansia WHtR sedikit lebih akurat hasilnya jika dibandingkan dengan C index, dan memiliki ketepatan akurasi yang sama dengan LAP. Untuk pasien dengan sindrom metabolik, hasil LAP lebih akurat dibandingkan dengan WHtR. Karena adanya pemeriksaan trigliserid dan HDL kolesterol maka dalam hal memprediksi jumlah lemak viseral maka pemeriksaan LAP dan VAI kurang akurasinya jika dibandingkan dengan WHtR dan C index (Roriz et al., β014). Untuk pemeriksaan antropometri di lapangan dengan banyak responden maka cara yang akurat, banyak dipakai dan disarankan oleh WHO adalah dengan menggunakan pengukuran lingkar pinggang (waist circumference) (WC). WHO menyarankan cara pengukuran lingkar pinggang dengan menentukan dahulu arcus costae kanan dan kiri, kemudian tentukan spina ishiadica anterior superior (SIAS) kanan dan kiri, ukur sepanjang midclavicular line kanan kiri, dibagi β,


(37)

7

pada akhir ekspirasi, menggunakan pakaian tipis, dilakukan pengukuran lingkar perut menggunakan pita meteran fleksibel secara horisontal, dengan kedua tungkai dilebarkan β0-γ0 cm (Sugondo, β014).

Studi menunjukkan bahwa obesitas abdominal yang digambarkan dengan ukuran lingkar pinggang, dengan cut-off yang berbeda antara pria dan wanita, juga

disesuaikan dengan etnis lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan resiko kardiovaskuler (Soegondo dan Purnamasari, β014).

Tabel β.β Ukuran lingkar pinggang sesuai etnis

Bangsa / grup etnis Lingkar Pinggang

Eropa

Di USA, berlaku sesuai NCEP ATP III (≥Pria 10β cm, Wanita ≥88 cm)

Pria ≥ 94 cm

Wanita ≥ 80 cm

Asia Pasifik

Berdasarkan China, Melayu, Asia dan Indian

Pria ≥ 90 cm

Wanita ≥ 80 cm

China Pria ≥ 90 cm

Wanita ≥ 80 cm

Jepang Pria ≥ 90 cm

Wanita ≥ 80 cm

Amerika tengah dan selatan Menggunakan data Asia Pasifik

sampai ada data yang lebih valid

Sub Saharan Afrika Menggunakan data Eropa sampai

ada data yang lebih valid

Mediteranian & Timur Tengah Menggunakan data Eropa sampai

ada data yang lebih valid Sumber: (WHO, β014).

Lingkar pinggang (lingkar perut) pada penderita obesitas abdominal menggambarkan penumpukkan jaringan adiposa subkutan dan viseral. Dari penelitian obesitas abdominal memiliki peningkatan resistensi insulin sebesar 81,6%, peningkatan tekanan darah 47,7%, hipertrigliseridemia sebesar β6,0%, HDL kolesterol yang rendah sebesar 16,9%, serta peningkatan kadar gula darah


(38)

8

puasa sebesar 1γ,4%. Oleh karenanya semakin besar peluang terjadinya penyakit kardiovaskuler (Effendi,β01γ)

Cara lainnya adalah dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan lingkar pinggul yaitu waist-hip ratio (WHR) atau dikenal dengan rasio lingkar pinggang

panggul (RLPP) merupakan alternatif yang praktis untuk di klinik (Sugondo, β014). Menurut WHO tahun β008 batasan WHR atau RLPP untuk obesitas abdominal area Asia Tenggara adalah pria > 0.90 dan wanita > 0.85 (Listiyana et al., β01γ).

Obesitas abdominal dan resistensi insulin dianggap sebagai bagian utama dari

semua kriteria SM, baik dari WHO, EGIR, NCEP-ATP III (β001), AACE β00γ,

dan IDF β005 (Soegondo dan Purnamasari, β014). 2.1.2 Jaringan lemak

Obesitas terjadi bila jumlah dan besar sel lemak dalam tubuh bertambah, hal ini timbul bila asupan energi dalam bentuk makanan lebih banyak yang masuk jika dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan, dan akan disimpan sebagai lemak dalam bentuk trigliserida (Guyton dan Hall, β011).

Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan energi, tugas utamanya adalah menyimpan energi yang berlebih dalam bentuk trigliserida melalui proses lipogenesis, dan memobilisasi cadangan energi tersebut sebagai asam lemak bebas dan gliserol bila terjadi kekurangan energi melalui proses lipolisis (Sugondo, β014).

Obesitas adalah suatu kondisi inflamasi kronik tingkat rendah terutama pada white adipose tissue (WAT), ditandai dengan adanya fungsi biologi adiposit dan


(39)

9

adanya akumulasi makrofag pada jaringan WAT (Susantiningsih, β015).

Jaringan lemak pada mamalia terdiri dari dua jenis, yaitu jaringan lemak putih (white adipose tissue / WAT) dan jaringan lemak coklat (brown adipose tissue / BAT). WAT memiliki γ fungsi yaitu isolasi panas, bantalan mekanik dan yang terpenting adalah sebagai sumber energi. BAT berfungsi termogenesis untuk mempertahankan panas tubuh dan penting untuk mencegah dan menurangi obesitas melalui peningkatan penggunaan energi dan produksi panas ( Mukhtar, β01β dan Sugondo, β014).

Selama periode kelebihan kalori dan penggunaan energi sedikit maka akan terjadi ketidakseimbangan energi. Ukuran adiposit akan membesar (hipertrofi) dan jumlah adiposit bertambah banyak (hiperplasia), terjadi proses diferensiasi sel prekursor preadiposit menjadi adiposit matang. Jaringan adiposa menjadi radang dan terdapat infiltrasi makrofag yang kemudian meningkatkan kondisi proinflamasi sehingga diferensiasi preadiposit gagal. Diferensiasi tersebut meliputi perubahan morfologi, cell arrest, akumulasi lipid dan adiposit menjadi resisten terhadap insulin ( Mukhtar, β01β).

2.2 Sindrom Metabolik 2.2.1 Epidemiologi

Sindroma Metabolik pertama kali diperkenalkan oleh Reaven GM pada tahun 1988 yang menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular yang disebutnya sebagai sindroma X (Soegondo dan Purnamasari, β014). Kaplan


(40)

10

menemukan the deadly quartet yang terdiri atas obesitas, hipertensi, diabetes dan hipertrigliseridemia sebagai faktor penyebab yang dapat meningkatkan penyakit kardiovaskuler (Pusparini, β007).

Pada Tahun 1991 Alberto dan Zimmet menyarankan bahwa obesitas abdominal masuk dalam kriteria sindrom X , dan kemudian mengubah namanya menjadi sindrom resistensi insulin atau metabolic syndrome (Pusparini, β007). Ada berbagai istilah yang sering digunakan untuk SM antara lain adalah Reaven’s Syndrome, Metabolic Syndrome X, Insulin Resistance Syndrome, Cardiometabolic Syndrome, dan di Australia lebih dikenal dengan istilah Coronary artery disease, Hypertension, Atherosclerosis, Obesity and Stroke (CHAOS) (Effendi, β01γ). Sindrom Metabolik adalah sekumpulan gejala kelainan metabolik, baik lipid maupun non lipid yang merupakan faktor risiko penyakit Diabetes Mellitus tipe β dan kardiovaskuler, yang terdiri dari obesitas abdominal, dislipidemia ateroganik (peningkatan trigliserida dan penurunan high density lipoprotein (HDL) yang rendah), tekanan darah yang meningkat, dan resistensi insulin (Effendi, β01γ). 2.2.2 Insidensi

Menurut data IDF β006 diperkirakan β0-β5% penduduk dewasa mengidap SM dan beresiko tiga kali lebih banyak terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan dengan yang tidak. Dan penderita SM memiliki resiko 5 kali lipat untuk terkena Diabetes Mellitus tipe β (IDF, β006). Prevalensi SM di USA pada usia > β0 tahun diperkirakan sekitar β5%, dan pada usia > 50 adalah sebesar 45%, insidensi SM meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Untuk di asia, di Cina penelitian berdasarkan kriteria diagnosis SM IDF sebesar βγ,β% dan NCEP/ATP


(41)

11

III sebesar 16,β% (Effendi, β01γ).

Di Indonesia dilakukan penelitian dengan menggunakan NCEP/ATP III yang dimodifikasi dengan kriteria obesitas berdasarkan IMT Asia Pasific pada beberapa penelitian yang dilakukan, didapatkan data di daerah pedesaan Bali sebesar 7,8% dan di kota besar seperti Denpasar sampai sebesar β4,8%, Semarang 16,6%, Bandung sebesar ββ,94%, Depok β6,γ%, Jakarta β8,4%, Makasar sebesar γγ,4%, dan prevalensi SM terbesar adalah di Surabaya yaitu sebesar γ4% (Soegondo dan Purnamasari, β014).

Penelitian yang dilakukan di India tahun β005, dari 187 penderita diabetes yang keluarganya tidak menderita diabetes, didapatkan γγ,1% memiliki komponen faktor risiko SM, dengan pemeriksaan kadar antioksidan berupa vitamin A, vitamin E dan vitamin E didapatkan sangat rendah (Sharma, β005). Penelitian yang dilakukan di Turki pada tahun β009 didapati bahwa skor SAT pada penderita SM yang menderita diabetes nilainya lebih rendah jika dibandingkan dengan penderita SM tanpa diabetes dan orang normal (Ozbek et al., β011).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Aparna di daerah Tirupati India, menemukan bahwa pasien SM non obese memiliki konsentrasi antioksidan yang rendah terutama vitamin E, C dan carotenoids, dan pada pasien non obese yang menderita SM memiliki konsentrasi antioksidan yang jauh lebih rendah lagi jika dibandingankan orang yang sehat dengan menggunakan pemeriksaan antioksidan ferric reducing ability of plasma (FRAP) assay (Aparna et al., β01β).


(42)

Faktor penyebab terjadinya SM sampai saat ini masih terus diteliti, tetapi obesitas abdominal dan resistensi insulin adalah β faktor yang paling utama. Faktor penyebab lainnya adalah genetik, perilaku sedentari, aging, keadaan pro inflamasi, dan perubahan hormonal (IDF, β006).

Terdapat pula lingkaran patogenesis yang saling berkaitan antara rendahnya kadar testosteron dengan SM. Adipositas yang berkaitan dengan keadaan hiperinsulin akan menekan sintesis SHBG (sex hormon binding globulin) dan menurunkan sirkulasi hormon testosteron, yang juga akan berefek terhadap sinyal LH (Luteneizing hormone) ke testis. Insulin dan leptin memiliki efek menekan steroidogenesis testis. Oleh karena itu diyakini bahwa adipositas adalah faktor yang signifikan dalam menurunkan tingkat sirkulasi testosteron, bahkan dapat terjadi pada pria di bawah usia 40 tahun. Di sisi lain testosteron rendah dapat menginduksi SM. Bahkan tanpa adanya risiko seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular, disarangements dalam hormon seks dapat berkontribusi tehadap patogenesis SM (Pangkahila, β015).

2.2.4 Kriteria diagnosis

Sejak ditemukannya sindrom ini, beberapa organisasi kesehatan membuat kriteria SM agar dapat menjadi acuan dalam praktek klinis. Kriteria diagnostik

untuk SM ada beberapa antara lain kriteria SM WHO (1998), EGIR, NCEP-ATP

III tahun β001 dan direvisi tahun β004, AACE tahun β00γ dan kriteria SM yang terbaru adalah IDF tahun β005 (Effendi, β01γ dan Soegondo dan Purnamasari, β014 ).


(43)

Tabel β.γ Kriteria Klinis Sindrom Metabolik IDF β005

Kriteria Klinis IDF β005

Sesuai definisi IDF terbaru, SM ditegakkan berdasarkan :

Obesitas abdominal (diukur dari ukuran lingkar pinggang sesuai etnis) Ditambah β dari 4 faktor dibawah ini :

Peningkatan Trigliserida TG > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sudah mendapat terapi untuk peningkatan trigliserid

Penurunan HDL kolesterol

HDL-C < 40mg/dL (1,0γ mmol/L) pada pria atau< 50 mg/dL (1,β9 mmol/L) pada wanita, atau sudah mendapat terapi untuk kolesterol

Tekanan darah Sistolik ≥1γ0 atau Diastolik ≥85 mmHg atau penderita yang sudah terdiagnosis hipertensi

Glukosa Darah Puasa >100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau penderita yang sudah terdiagnosis diabetes tipe β *Bila IMT > γ0kg/m², maka sudah dikatakan obesitas abdominal, sehingga tidak diperlukan pengukuran lingkar pinggang (IDF, β006).

2.2.5. Hubungan SAT dengan komponen sindrom metabolik β.β.5.1 Obesitas abdominal dan indeks masa tubuh


(44)

14

Gambar β.γ Obesitas dan sindrom metabolik meningkatkan stres oksidatif (Tangvarasittichai, β015)

Pada gambar diatas dijelaskan bahwa obesitas abdominal dan SM meningkatkan stress oksidatif. Pada obesitas abdominal terjadi penambahan ukuran dan jumlah sel adiposa sehingga menimbulkan gangguan metabolik sehingga terjadi hyperinsulinemia insulin resisten yang merupakan penyebab TβDM. Selain sebagai cadangan energi, sel adiposa merupakan organ yang memproduksi adipokin seperti sitokin proinflamasi, hormon antiinflamasi dan substansi biologi lain.

Obesitas menyebabkan sitokin proinflamasi meningkat sehingga menyebabkan inflamasi dinding vaskuler yang dapat memicu terjadinya aterosklerosis. Selain itu obesitas pada obesitas terjadi peningkatan metabolisme lemak yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ROS di sirkulasi maupun jaringan adiposa. ROS akan merangsang inflamasi, mengaktivasi matriks metaloproteinase, menginduksi apoptosis, menyebabkan agregasi trombosit dan


(45)

15

menstimulasi otot polos. ROS juga berperan dalam memodulasi tonus pertumbuhan dan remodeling vaskular. Peningkatan ROS dalam sel adiposa akan menyebabkan terganggunya keseimbangan reduksi oksidasi, sehingga terjadi penurunan enzim antioksidan dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut stres oksidatif (Lilyasari, β007).

Dalam proses fisiologis obesitas terjadi peningkatan produksi ROS. Hasil produksi tersebut adalah γ ROS utama, yaitu superoxide radical, hydroxyl radical, dan hydrogen peroxide. Peningkatan dari molekul ROS akan menyebabkan terjadinya kerusakan makromolekul seperti lemak, protein dan asam nukleat. Dalam kondisi normal peningkatan ROS dalam tubuh akan dilawan oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri atau dari makanan yang kita konsumsi. Tetapi dalam keadaan obesitas dimana terjadi kelainan metabolik, jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh terhadap ROS turun. Antioksidan tubuh tidak dapat mengalahkan tingginya ROS sehingga terjadi peroksidasi lipid yang mengakibatkan terjadinya aterosklerosis (Tangvarasittichai, β015).

β.β.5.β Resistensi Insulin

Resistensi insulin pada penderita obesitas abdominal diduga merupakan pencetus terjadinya SM. Insulin adalah suatu hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino yang dihasilkan oleh sel beta pulau langerhans pankreas. Pada keadaan yang normal, ketika ada rangsangan pada sel beta pulau langerhans pankreas maka insulin akan disintesis, kemudian akan disekresikan ke dalam darah untuk regulasi glukosa darah sesuai dengan kebutuhan tubuh (Manaf, β014).


(46)

16

Insulin memiliki peran yang penting pada berbagai proses biologis dalam tubuh, terutama metabolisme karbohidrat, dalam proses penggunaan glukosa di seluruh jaringan tubuh, terutama otot, lemak dan hati. Insulin penting dalam penyimpanan lemak maupun sintesis lemak dalam jaringan adiposa, sehingga bila terjadi resistensi insulin maka proses penyimpanan lemak maupun sintesis lemak akan terganggu (Sugondo, β014).

Asupan makanan yang tinggi kandungan lemak dan karbohidratnya ketika dikonsumsi akan menghasilkan energi ATP, lemak secara fungsional berperan sebagai stress oksidatif yang mampu menyebabkan disrupsi pada reseptor insulin. Asupan karbohidrat tinggi pada penderita dengan gen resistensi insulin ketika memproduksi energi ATP maka pada membaran bagian dalam dari mitokondrianya khususnya pada rantai transportasi elektron sel akan melepaskan bye product ROS yang berlebihan. Jadi tanpa dielakkan akan mengakibatkan resistensi insulin, dan dampaknya akan memperburuk tingkat sensitifitas insulin sehingga memperburuk resistensi insulin yang mendorong timbulnya ketidakseimbangan oksidan antioksidan atau stress oksidatif pada tingkat seluler. Ini akan membuka akses bagi ROS berinteraksi dengan protein, lipid dan DNA sehingga merusak makromolekul seluler yang berlanjut pada gangguan fungsi sel (Effendi, β01γ).


(47)

17

Gambar β.4 Peran ROS terhadap aterosclerosis dan sumber produksi ROS pada diabetes mellitus tipe β (Tangvarasittichai, β015).

oxLDL: Oxidized low density lipoprotein; FFA: Free fatty acids; AGEs: Advanced glycation end-products; VSMC: Vascular smooth muscle cells; ROS: Reactive oxygen species.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien diabetes mellitus tipe β (TβDM) terjadi peningkatan produksi ROS yang mengakibatkan peningkatan kerusakan oksidatif dan penurunan defenses mechanism (mekanisme pertahanan diri) dari antioksidan. Produksi FFA dan glukosa yang berlebihan dapat menimbulkan efek inflamasi melalui stress oksidatif dan dan penurunan antioksidan (Tangvarasittichai, β015). Peningkatan produksi ROS pada TβDM diaktifkan melalui jalur yang merugikan termasuk jalur hexosamin, formasi AGEs (advanced glycation end-products), dan PKC 1/β. Kondisi hiperglikemia yang


(48)

18

persisten dapat meningkatkan oksidatif stress melalui beberapa mekanisme seperti autooksidasi glukosa, jalur polyol, glikosilasi yang menghasilkan produk AGEs, PKC 1/β kinase. Stress oksidatif berkembang dan mengakibatkan translokasi nukleo-sitoplasmik sehingga memberikan faktor transkripsi yang pro-apoptotik (FoxO1) mempengaruhi gen gen yang terkait insulin, transporter glukosa β (GLUTβ) serta glukokinase yang menimbulkan kerusakan pada sel (Efendi β01γ dan Tangvarasittichai, β015). Tingginya asam lemak bebas, leptin dan berbagai faktor sirkulasi pada pasien TβDM juga berperan terhadap produksi ROS yang berlebih (Tangvarasittichai, β015).

Inflamasi terjadi sebagai manifestasi dari stress oksidatif, dan dapat menghasilkan mediator inflamasi termasuk adhesi molekul dan interleukin yang dapat menimbulkan stress oksidatif (Tangvarasittichai, β015). Saat ini konsep bahwa aterosclerosis adalah penyakit inflamasi sudah dikenal. Inflamasi kronis mungkin berperan terhadap patogenesis resistensi insulin dan TβDM. (Tangvarasittichai, β015).

Resistensi insulin adalah suatu keadaan menurunnya kemampuan reseptor insulin yang mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi metabolik tubuh dan akan meningkatkan resiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Resistensi insulin pada obesitas abdominal mendasari SM. Pemeriksaan resistensi insulin dilakukan

dengan pengukuran Homeostasis Model Asessment – Insulin Resistence (HOMA

-IR) (Soegondo dan Purnamasari, β014). HOMA-IR didapatkan dari hasil perhitunagn: insulin darah puasa (µU/ml) × glukosa darah puasa (mmol/ml) / ββ.5 (Budhiarta, β006 dan Simental-Mendía et al., 2012).


(49)

19

Dalam keadaan SM dimana obesitas abdominal dan resitensi insulin adalah faktor pemicunya, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun (Tangvarasittichai, β015).

β.β.5.γ Dislipidemia

Klasifikasi Dislipidemia dibagi menjadi primer dan sekunder. Dislipidemia primer adalah dislipidemia yang tidak diketahui penyebabnya, dan dislipidemia sekunder adalah dislipidemia yang memiliki penyakit dasar seperti diabetes, sindroma nefrotik dan hipotiroidisme. Selain itu dislipidemia dapat dilihat berdasarkan profil lipid yang menonjol, seperti hiperkolesterolemi, hipertrigliseridemi, isolated low HDL-cholesterol, dan dislipidemia campuran. NCEP-ATP III β001 telah membuat batasan yang dapat dipakai secara umum yaitu:

Tabel β.4 Kadar Lipid serum

Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP ATP III β00β mg/dL

Kolesterol total

< β00mg/dL Optimal

β00-βγ9mg/dL Diinginkan

≥ β40mg/dL Tinggi

Kolesterol LDL


(50)

β0

100-1β9mg/dL Mendekati optimal

1γ0-159mg/dL Diinginkan

160-189mg/dL Tinggi

≥190mg/dL Sangat tinggi.

Kolesterol HDL

< 40mg/dL Rendah

≥ 60mg/dL Tinggi.

Trigliserid < 150mg/dL Optimal

150-199mg/dL Diinginkan

β00-499mg/dL Tinggi

≥ 500mg/dL Sangat tinggi

Sumber : executive summary of the third report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel iii). JAMA 2001;285:2486-2497 (Adam, β014).

Dislipidemia aterogenik pada SM ditandai dengan peningkatan trigliserida dan penurunan HDL kolesterol sesuai kriteria SM yang terbaru adalah IDF tahun β005. Kriteria trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sudah mendapat terapi untuk peningkatan trigliserid dan HDL kolesterol < 40mg/dL (1,0γ mmol/L) pada pria atau< 50 mg/dL (1,β9 mmol/L) pada wanita, atau sudah mendapat terapi untuk kolesterol (Soegondo dan Purnamasari, β014).

Dislipidemia aterogenik terjadi akibat pengaruh insulin terhadap cholesterol ester transfer protein (CETP) yang memperlancar transfer cholesteryl ester (CE) dari HDL ke VLDL (trigliserida) dan mengakibatkan terjadinya katabolisme dan apoA, komponen protein HDL. Obesitas abdominal meningkatkan terjadinya lipogenesis, peningkatan jumlah insulin sehingga sensitivitas insulin turun dan terjadi resistensi insulin, akumulasi trigliserida serta meningkatkan apoptosis adiposit yang menyebabkan produksi ROS meningkat, sehingga terjadi stres oksidatif (Susantiningsih, β015).


(51)

β1

abdominal yang disertai resitensi insulin akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun.

β.β.5.4 Peningkatan tekanan darah

Gambar β.5 Peningkatan ROS pada obesitas, sindrom metabolik dan hipertensi (Tangvarasittichai, β015).

FFA: Free fatty acid; SM: Metabolic syndrome; HT: Hypertension; IGT: Impaired glucose tolerance.

Sindrom metabolik terkait dengan salt sensitive hipertension (hipertensi yang sensitif terhadap garam). ROS berperan dalam mekanisme sindrom metabolik dan salt sensitive hipertension, yang mana akan menyebabkan terjadinya over produksi dari ROS. Pembatasan asupan garam dan diet penurunan berat badan pada pasien hipertensi yang mengalami obesitas ternyata dapat lebih menurukan


(52)

ββ

tekanan darah daripada pasien hipertensi yang tidak obesitas. Oksidatif stress pada

lemak abdominal meningkatkan sekresi adipositokin seperti TNF-α,

angiotensinogen dan asam lemak non ester. Pada pasien tinggi renin (non

-modulating salt sensitive hipertension) terjadi peningkatan level homeostasis model assessment of insulin resistence (HOMA-IR). Pasien dengan salt sensitive hipertension non obese memiliki sensitifitas insulin yang rendah dibandingkan dengan non-salt sensitive hipertension. Resistensi insulin juga dapat

menyebabkan terjadinya obesitas dengan salt sensitive hipertension dan sindrom metabolik. Peningkatan produksi ROS berlebih dari ginjal juga dapat meningkatkan salt sensitive hipertension. Peningkatan oksidatif stress pada ginjal berkontribusi pada perkembangan salt sensitive hipertension. Selanjutnya produksi ROS yang berlebihan pada sel endotelial akan menekan vasodilatasi NO -dependent yang juga berperan terhadap perkembangan salt sensitive hipertension (Tangvarasittichai, β015).

Resistensi insulin juga memegang peranan penting terhadap pathogenesis hipertensi, insulin merangsang sistem saraf simpatis dengan meningkatkan reabsobsi natrium ginjal, mempengaruhi transpor kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akan menyebabkan terjadinya hipotensi akibat terjanya vasodilatasi, dengan demikian disimpulkan bahwa hipertensi pada resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor (Soegondo dan Purnamasari, β014).


(53)

βγ

tahun β005 adalah sistolik ≥ 1γ0mmHg dan diastolik ≥ 85mmHg (Effendi, β01γ dan Soegondo dan Purnamasari, β014).

Peningkatan tekanan darah pada obesitas abdominal yang disertai resitensi insulin akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun (Tangvarasittichai, β015).

2.3 Radikal Bebas

Radikal bebas (free radical) oleh Soeatmaji (1998) didefinisikan sebagai suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya smenjadi komponen yang tidak stabil dan sangat reaktif. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif dalam mencari pasangan dengan cara mengikat elektron yang berada di sekitarnya sehingga dapat merusak senyawa di sekitarnya dengan membuat radikal bebas baru (Winarsi, β011).

Jika senyawa yang terikat oleh radikal bebas tersebut bersifat ionik maka dampak negatif yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Tetapi bila elektron yang terikat oleh radikal bebas berikatan kovalen akan sangat berbahaya. Umumnya senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul molekul besar yang disebut biomakromolekul penyusun sel, yaitu lemak, protein, asam nukleat dan polisakarida. Molekul molekul tersebut berpengaruh pada fungsi biologis yang sangat mendasar, sehingga dampak dari radikal bebas tersebut dapat menimbulkan kerusakan sel, jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif hingga kanker


(54)

β4

(Winarsi, β011).

Radikal bebas dan senyawa oksigen yang reaktif (reactive oxygen species) sel berasal dari proses metabolisme normal dalam tubuh dan dari luar tubuh. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh terbentuk akibat berbagai proses kimia kompleks di dalam tubuh, berupa hasil proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi, proses pencernaan dan proses metabolisme, diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, peroksisom, lipoksigenase, retikulum endoplasma dan inti sel, sitokrom P450. Peningkatan radikal bebas juga dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan. Radikal bebas yang berasal dari luar tubuh didapat dari polutan seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor, radiasi sinar matahari, radiasi ionisasi, makanan yang mengandung pengawet, perasa dan pewarna makanan, alkohol, bahan racun yang berasal dari lingkungan seperti pestisida, dan masih banyak lagi yang lainnya (Effendi, β01γ). Senyawa oksigen yang reaktif (reactive oxygen species) juga memiliki peran penting dalam pesinyalan redoks untuk menjaga homeostasis seluler balance antara produksi ROS dan antioksidan (Effendi, β01γ).

Stress oksidatif terdapat pada keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan. Stress oksidatif timbul sejalan dengan bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami pun semakin berkurang (Winarsi, 2011).


(55)

β5

Gambar β.6 Keseimbangan oksidan antioksidan (Effendi, β01γ)

2.4 Antioksidan

Antioksidan adalah substansi nutrisi maupun non nutrisi yang terkandung dalam bahan pangan, yang mampu mencegah atau memperlambat terjadinya kerusakan oksidatif dalam tubuh (Winarsi, β011). Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, dalam arti biologis pengertian antioksidan sangat luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam efek negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam (Winarsi, β011).


(56)

β6

Gambar β.7 Efek antioksidan (Effendi, β01γ)

Penggolongan antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi menjadi tiga yaitu : antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer atau antioksidan endogenous adalah antioksidan yang dapat disintesis oleh tubuh. Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Bekerja mencegah pembentukan radikal bebas baru dengan cara memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera menjadi menjadi molekul yang lebih stabil sehingga kurang mempunyai dampak negatif. Yang termasuk dalam antioksiden primer adalah Super Oxide Dismutase (SOD), yang ada di dalam tubuh manusia, yaitu yang berada di mitokondria (Mn SOD) dan di sitoplasma (Cu Zn SOD), katalase (Cat) dalam sitoplasma, dapat mengkatalisir HβOβ menjadi HβO dan Oβ, berbagai macam enzim peroksidase,


(57)

β7

melalui system siklus redoks glutation. Senyawa yang mengandung gugusan sulfhidril (glutation, sistein, kaptopril) dapat mencegah timbunan radikal hidroksil dengan mengkatalisir menjadi HβO. Sebagai antioksidan, enzim enzim tersebut

menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioksidant (Winarsi,

β011).

Antioksidan sekunder adalah antioksidan eksogenus atau non enzimatik yang berasal dari makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E, Selenium, Flavonoid dan lain-lain. Antioksidan kelompok ini disebut sebagai sistem pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanannya terbentuknya ROS (reactive oxygen species) dihambat atau dirusak pembentukannya dengan pengkelatan metal (Winarsi, β011). Antioksidan bekerja sebagai pertahanan utama tubuh terhadap kondisi stres oksidatif, dengan cara menangkap radikal bebas (free radical scavenggers) dan mencegah reaktivitas amplifikasinya (Winarsi, β011). Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak sebagai akibat reaktivitas dari radikal bebas (Winarsi, β011).

2.5 Hubungan Obesitas dan komponen Sindrom Metabolik terhadap Antioksidan

Komponen utama dalam SM adalah obesitas, dimana pada obesitas terjadi peningkatan jaringan lemak tubuh berlebihan yang diakibatkan oleh


(1)

β7

melalui system siklus redoks glutation. Senyawa yang mengandung gugusan sulfhidril (glutation, sistein, kaptopril) dapat mencegah timbunan radikal hidroksil dengan mengkatalisir menjadi HβO. Sebagai antioksidan, enzim enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Antioksidan kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioksidant (Winarsi, β011).

Antioksidan sekunder adalah antioksidan eksogenus atau non enzimatik yang berasal dari makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E, Selenium, Flavonoid dan lain-lain. Antioksidan kelompok ini disebut sebagai sistem pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanannya terbentuknya ROS (reactive oxygen species) dihambat atau dirusak pembentukannya dengan pengkelatan metal (Winarsi, β011). Antioksidan bekerja sebagai pertahanan utama tubuh terhadap kondisi stres oksidatif, dengan cara menangkap radikal bebas (free radical scavenggers) dan mencegah reaktivitas amplifikasinya (Winarsi, β011). Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak sebagai akibat reaktivitas dari radikal bebas (Winarsi, β011).

2.5 Hubungan Obesitas dan komponen Sindrom Metabolik terhadap Antioksidan

Komponen utama dalam SM adalah obesitas, dimana pada obesitas terjadi peningkatan jaringan lemak tubuh berlebihan yang diakibatkan oleh


(2)

β8

ketidakseimbangan antara jumlah kalori yang masuk dan pengeluaran energi. Jaringan lemak (jaringan adiposit) adalah jaringan ikat yang berfungsi sebagai depot penyimpanan energi dalam bentuk trigliserida (Sugondo, β014). Selain sebagai tempat penyimpanan energi, juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin yang mensekresikan berbagai sitokin dan neuropeptida yang berperan dalam proses metabolisme. Pada penderita obesitas, terjadi ketidakseimbangan pada pelepasan adipositokin, sel adiposit akan berusaha mempertahankan keseimbangan energi dengan melepaskan interleukin 6 (IL-6), tumor necrosis factor – α (TNF-α) serta monocyte chemotatic protein – 1 (MCP-1). Pelepasan sitokin oleh sel adiposit tersebut menandai awalnya inflamasi. Obesitas adalah bentuk inflamsi kronik, interleukin 6 dan TNF-α dapat memicu C-reactive protein (CRP) di hati, CRP yang diproduksi secara terus menerus akan memperberat inflamasi melalui aktivasi kronik terhadap sel endotel yang akan mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel (Pusparini, β007).

Jaringan adiposa berfungsi sebagai organ endokrin yang mensekresikan berbagai sitokin dan neuropeptida yang berperan dalam proses metabolisme. Ini terbukti dengan adanya struktur protein spesifik yang disekresikan oleh adiposit di sirkulasi darah. Beberapa substansi seperti leptin, adipsin, tumor necrosis factor – alfa (TNFα), transforming growth factor-beta (TGF ), interleukin-6 (IL-6), angiotensinogen, apolipoprotein-E, plasminogen activator inhibitor type (PAI-1), tissue factor (TF), adiponectin, peroxisome proliferators acticated receptor gamma (PPAR- ), resistin, metallothionein, prostaglandin F-β alpha (PDFβα), insulin like factor-1 (IGF-1), macrophage inhibitory factor (MIF), nitric oxide (NO) serta


(3)

β9

beberapa senyawa bioaktif yang khususnya berasal dari jaringan adiposa visceral. Senyawa senyawa tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya stress oksidatif dan SM (Susantiningsih, β015 dan Spiegelman, β001).

Proses lipolisis yang tinggi akan menyebabkan jumlah stress oksidatif yang dihasilkan juga menjadi sangat tinggi, jumlah reactive oxygen species (ROS) meningkat akibat peningkatan enzim oksidase dan disregulasi hormon adipositas. Peningkatan jumlah stress oksidatif akan menyebabkan terjadinya gangguan dalam proses metabolisme, baik asupan glukosa pada otot maupun pada jaringan adiposa, resistensi insulin dan kerusakan sel menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, diikuti oleh terjadinya ateroskelrosis dan akhirnya menyebabkan


(4)

γ0

Gambar β.8 Mekanisme modulasi oksidan dan antioksidan balans pada obesitas (Savini dan Catani, β01γ).

AGEs: advanced glycation end products; ATF: NF-κB, activating transcription factor; CPTβ: carnitine palmitoyltransferase β; CREB: cyclic AMP response element binding; ER: endoplasmic reticulum; FAS: fatty acid synthase; FoxO: forkhead box, sub-group O; HO-1: heme oxygenase-1; iNOS: inducible nitric oxide synthase; LPS: lipopolysaccharide MCP-1: monocyte chemotactic protein -1; miR: microRNA; NF-κB: nuclear factor-κB; Nox: NADPH oxidase; PKC: protein kinase C; PPAR-α: peroxisome proliferator-activated receptor-α; SCD1: stearoyl-CoA desaturase-1; SIRT: sirtuin; SREBP1: sucrose responsive element binding protein1; STATγ: signal transducer and activator of transcription γ; TGF

-: transforming growth factor- ; TNF-α: tumor necrosis factor-α.

Bagan di atas menerangkan mengenai mekanisme modulasi oksidan dan antioksidan balans pada obesitas. Pada bagian kiri menggambarkan mekanisme penyebab terjadinya oksidatif stress yang berlebihan pada obesitas dan komponen SM yang akan menyebabkan ketidakseimbangan antara oksidan antioksidan, sehingga jumlah SAT tubuh akan turun. Dan pada gambar kanan menggambarkan strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki antioksidan tubuh. Edukasi yang dapat diberikan antara lain dengan menurunkan berat badan, olahraga, memperbanyak konsumsi asupan sayuran dan buah yang tinggi antioksidan, pemberian suplemen antioksidan tambahan berupa vitamin C, E, A, Bβ, B6, B1β, probiotik, arginin, leucin dan sebagainya (Savini dan Catani, β01γ).

2.6 Pemeriksaan Antioksidan

Metode pemeriksaan antioksidan ada beberapa cara. Dalam beberapa tahun terakhir pemeriksaan oxygen radical absorbance capacity assays dan enhanced chemiluminescence assay banyak digunakan untuk mengevaluasi makanan, serum dan cairan biologis lainnya. Metode ini memerlukan peralatan dan tehnik


(5)

γ1

ketrampilan khusus untuk analisisnya. Metode lainnya yang juga dipakai adalah electron spin resonance (ESR) dan chemiluminescence. Metode ini mengukur kemampuan antioksidan melawan radikal bebas seperti 1,1-diphenyl-2 -picrylhydrazyl (DPPH) radical, superoxide anion radical (Oβ), hydroxyl radical (OH) atau peroxyl radical (ROO). Hasil yang diperoleh bisa berbeda beda tergantung pada spesifikasi radikal bebas yang dipakai sebagai reaktan (Prakash et al., 2006).

Metode pemeriksaan malondialdehyde (MDA) atau thiobarbituric acid reactive-substances (TBARS) assays mengukur peroksidasi lipid pada membran. Metode ini akan memakan waktu lama karena bergantung pada oksidasi dari substrat yang dipengaruhi oleh suhu, tekanan, matriks dan lain lain, sehingga tidak praktis bila jumlah sampel yang diukur banyak. Metode Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC) juga digunakan untuk memeriksa kapasitas antioksidan pada buah dan sayur (Prakash et al., 2006).

Sebuah metode cepat, sederhana, dan murah untuk mengukur kapasitas antioksidan makanan melibatkan penggunaan radikal bebas 2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH). DPPH telah banyak digunakan untuk menguji kemampuan senyawa yang bertindak sebagai radikal bebas atau donor hidrogen dan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan pada makanan. Saat ini telah digunakan untuk mendeteksi keseluruhan kapasitas antioksidan pada sistem biologi yang kompleks. Pengukuran kapasitas antioksidan total membuat pemahaman mengenai sifat makanan (Prakash et al., 2006).


(6)

γβ

dalam serum dan plasma darah yang dapat menghambat pembentukkan radikal bebas. Pemeriksaan SAT menggunakan RANDOX kit dan alat ADVIA 1800 dengan metode kolorimetri pada sampel darah vena. Nilai Normal untuk SAT adalah sebesar 1.γ0-1.77 mmol/L plasma. Manfaat dari pemeriksaan ini adalah untuk menilai daya tahan tubuh atau perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas, atau sebagai skrining awal kerusakan sel akibat stress oksidatif serta monitoring pemberian obat atau suplemen antioksidan (Randox kit manual, 2006). Dengan demikian maka pemeriksaan SAT dari RANDOX dapat dijadikan acuan untuk menilai daya tahan tubuh terhadap serangan radikal bebas atau sebagai skrining kerusakan sel akibat stress oksidatif pada SM.