TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNA JASA ANGKUTAN LAUT APABILA TERJADI KECELAKAAN (STUDI PADA PT. JJ FAST BOAT SANUR DENPASAR).

(1)

SKRIPSI

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP

PENGGUNA JASA ANGKUTAN LAUT APABILA

TERJADI KECELAKAAN

(STUDI PADA PT. JJ FAST BOAT SANUR

DENPASAR)

IDA BAGUS WISNU GUNA DIATMIKA NIM. 1203005259

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP

PENGGUNA JASA ANGKUTAN LAUT APABILA

TERJADI KECELAKAAN

(STUDI PADA PT. JJ FAST BOAT SANUR

DENPASAR)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh :

IDA BAGUS WISNU GUNA DIATMIKA NIM. 1203005259

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 24 JUNI 2016

Pembimbing I

Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH NIP. 19550306 198403 1 003

Pembimbing II

I Made Dedy Priyanto, SH., M.Kn NIP. 19840411 200812 1 003


(4)

iv

SKRIPSI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 16 JULI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor: 248/UN14.1.11/PP.05.02/2016 Tanggal 11 Juli 2016

Ketua : Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH ( )

NIP. 19550306 198403 1 003

Sekretaris : I Made Dedy Priyanto, SH.,M.Kn ( )

NIP. 19840411 200812 1 003

Anggota : 1. Dr. I Made Udiana, SH.,MH ( )

NIP. 19550925 198610 1 001

2. I Made Pujawan, SH.,MH ( )

NIP. 19530410 198603 1 001

3. I Nyoman Bagiastra, SH.,MH ( )


(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PENGGUNA JASA ANGKUTAN LAUT APABILA

TERJADI KECELAKAAN (STUDI PADA PT. JJ FAST BOAT SANUR

DENPASAR), dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang sangat berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Ibu I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, SH., M.Kn, Pembimbing Akademik

yang telah membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(6)

vi

7. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH., Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

8. Bapak I Made Dedy Priyanto, SH., M.Kn., Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, pengarahan, saran, semangat, dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

9. Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji

skripsi ini.

10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah

menuntun dan memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

11. Bapak dan Ibu Staff Laboratorium, perpustakaan, dan tata usaha yang telah

memberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

12. Kepada keluarga penulis Ida Bagus Anom Gede Ardana, Desak Made

Suartini, Ida Bagus Adhi Tresna Wardana, terimakasih atas doa serta dorongan morilnya yang dengan penuh kesabaran, pengorbanan, dukungan, perhatian, dan terus menemani serta memberikan semangat selama penulisan skripsi ini.

13. Kepada keluarga besar Griya Telaga Kaler Sanur atas doa dan dukungannya

dalam penulisan skripsi ini.

14. Kepada sahabat-sahabat penulis : Lisa Khesary, Wanda, Deno, Wahyu,

Cahya, Gusde, Maria, Komang Ucil, Jaya Nugraha, Wah aik, Dewa Angga, Tirta, Dewa Adhy, Dode, Dobi, Pebri dan semua rekan-rekan Fakultas


(7)

vii

Hukum Universitas Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

15. Bapak Ida Bagus Putu Pramartha selaku Direktur PT. JJ Fast Boat dan

Komang Nyong selaku staff dari PT. JJ Fast Boat.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini, semoga dikemudian hari penulis dapat lebih meningkatkan lagi kemampuannya. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Denpasar, 24 Juni 2016 Penulis


(8)

viii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak pernah diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya tulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 27 Juni 2016 Menyatakan,


(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSYARATAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4 Orisinalitas ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 7

1.5.1 Tujuan Umum ... 7

1.5.2 Tujuan Khusus ... 8

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.6.2 Manfaat Praktis ... 8


(10)

x

1.8 Metode Penelitian ... 14

1.8.1Jenis Penelitian ... 14

1.8.2Jenis Pendekatan ... 14

1.8.3Sifat Penelitian... 15

1.8.4Data dan Sumber Data ... 16

1.8.5Teknik Pengumpulan Data ... 17

1.8.6Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 18

1.8.7Pengolahan dan Analisis Data ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN DALAM ANGKUTAN LAUT DAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT 2.1 Pengangkutan Laut ... 20

2.1.1 Pengertian Pengangkutan Laut ... 20

2.1.2 Jenis-jenis Pengangkutan Laut ... 22

2.1.3 Hubungan Hukum dalam Perjanjian Pengangkutan Laut ... 24

2.2 Tanggung Jawab Pengangkutan Dalam Angkutan Laut ... 27

2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Laut... 27

2.2.2 Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Laut ... 28


(11)

xi

2.3.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut 32 2.3.2 Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut 35

BAB III BENTUK TANGGUNG JAWAB PT. JJ FAST BOAT TERHADAP

PENGGUNA JASA TERKAIT KECELAKAAN YANG TERJADI

PADA PT. JJ FAST BOAT SANUR DENPASAR

3.1 Hubungan Perusahaan Pelayaran dengan Nahkoda Kapal .... 38 3.2 Tanggung Jawab Perusahaan Pelayaran terhadap Pengguna

Jasa Pengangkutan terkait kecelakaan yang terjadi pada

PT. JJ Fast Boat Sanur Denpasar ... 43 BAB IV UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA YANG DAPAT

DILAKUKAN OLEH PENGGUNA JASA PT. JJ FAST BOAT

SANUR DENPASAR APABILA TERJADI KECELAKAAN YANG DISEBABKAN OLEH KESALAHAN PELAKU USAHA

4.1 Kronologis Kecelakaan PT. JJ Fast Boat Sanur Denpasar ... 48

4.2 Upaya Penyelesaian Sengketa bagi Pengguna Jasa PT. JJ

Fast Boat Sanur Denpasar ... 50 BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 57 5.2 Saran ... 58 DAFTAR PUSTAKA


(12)

xii ABSTRAK

Peranan transportasi laut merupakan bagian yang sangat bermanfaat bagi perkonomian suatu negara, ini berarti adanya hubungan transportasi antar pulau atau antar negara dilakukan melalui sarana transportasi laut, di Provinsi Bali untuk mencapai daerah yang satu ketempat tujuan yang lainnya diperlukan sarana transportasi perairan namun penggunaan transportasi laut atau perairan ini juga mempunyai risiko-risiko yang dapat menyebabkan terjadinya kerugian bagi pihak pengguna jasa angkutan laut. Berdasarkan uraian diatas adapun permasalahan

yang dibahas adalah bagaimanakah bentuk tanggung jawab PT. JJ Fast Boat

terhadap pengguna jasa terkait kecelakaan yang terjadi pada PT. JJ Fast Boat dan

bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh pengguna

jasa PT. JJ Fast Boat apabila terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan

pelaku usaha. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pengguna Jasa Angkutan Laut Apabila

Terjadi Kecelakaan (Studi Pada PT. JJ Fast Boat Sanur Denpasar).

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris dengan sumber data primer berupa data penelitian yang diperoleh melalui wawancara di PT. JJ

Fast Boat Sanur Denpasar, serta ditunjang dengan data sekunder terkait dengan permasalahan yang dibahas dan dikumpulkan dengan pengolahan analisis data secara kualitatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan fakta.

Hasil dari penelitian ini adalah bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pengguna jasa adalah mengganti segala kerugian senilai barang yang rusak ataupun hilang serta menanggung biaya perobatan terhadap korban yang luka-luka

dan upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pengguna jasa PT. JJ Fast

Boat Sanur Denpasar yaitu secara mediasi dan diselesaikan dengan upaya damai.

Dan untuk pihak perusahaan kepada pengguna jasa agar bertanggungjawab juga dalam hal ganti kerugian inmateriil, lebih memperhatikan kondisi kapal dan menyediakan pelampung untuk menjaga keselamatan dimana itu adalah kewajiban perusahaan.


(13)

xiii ABSTRACT

The role of sea transport is a part that is very beneficial for perkonomian a country, this means that the transport links between the islands and between countries is done through sea transportation, in the province of Bali to reach areas of the place of destination is more necessary means of transport the water but the use of sea transport or These waters also has risks that may cause losses for the users of marine transportation services. Based on the description above as for the issues discussed was how the responsibilities PT. JJ Fast Boat to service users related accident that occurred in PT. JJ Fast Boat and how efforts to resolve disputes that can be done by a service user PT. JJ Fast Boat event of an accident caused by mistakes entrepreneurs. This research was conducted to get an answer on the Responsibility of Business Actors Against Sea Transport Service Users When Accidents Happen (Study at PT. JJ Fast Boat Sanur Denpasar).

This type of research is juridical empirical legal research with the primary data source in the form of research data obtained through interviews in PT. JJ Fast Boat Sanur Denpasar, and supported by secondary data related to the issues discussed and collected qualitative data analysis processing. The approach taken in this study is the approach of legislation, and approaches the facts.

The results of this research is a form of corporate responsibility towards the service user is to replace any losses worth of goods were damaged or missing, and to bear the cost of medicine for the victims who were injured and dispute resolution efforts carried out by the service user PT. JJ Fast Boat Sanur in Denpasar, mediation and resolved by peaceful means. And for the company to service users to be responsible also in terms of compensation inmateriil, more attention to the condition of the ship and provide a buoy to keep safety in which it is the obligation of the company.


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sehingga dibutuhkan alat transportasi untuk menghubungkan antar pulau dalam rangka mewujudkan wawasan nusantara yang mempersatukan seluruh wilayah Indonesia, termasuk lautan nusantara sebagai satu kesatuan wilayah Indonesia.

Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang membentang dengan luas daratan dan lautan tidak kurang dari 8.746.000 km2 dan terletak antara dua Samudera membuat Negara Indonesia juga memiliki posisi geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada di dua Samudera dan benua sekaligus memiliki

perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional.1

Melihat kenyataan geografis Indonesia dimana wilayah perairan lebih luas dibandingkan wilayah daratan maka sudah merupakan hal yang wajar apabila pembangunan dan pengaturan transportasi laut dewasa ini perlu mendapat perhatian yang besar. Peranan transportasi laut merupakan bagian yang sangat bermanfaat bagi perkonomian suatu negara, ini berarti adanya hubungan transportasi antar pulau atau antar negara dilakukan melalui sarana transportasi laut. Kebijakan untuk menjadikan transportasi laut sebagai sarana perhubungan

1

Ridwan Sandhi, 2010 ”Kondisi geografis Indonesia dan keadaan alam Indonesia”, diakses dari http://kondisigeografisindonesia.blogspot.com/p/kondisi-geografis--indonesia.html., diakses tanggal 25 Oktober 2015 pukul 18.00


(15)

2

dengan atau antar daerah terpencil ini sampai sekarang masih dipertahankan. Transportasi laut merupakan salah satu alternatif guna untuk mengembangkan angkutan di negara berkembang seperti Indonesia karena mengingat kondisi geografis Indonesia.

Dengan meningkatnya aktivitas pembangunan di segala bidang khususnya di bidang ekonomi, maka sarana angkutan sebagai salah satu mata rantai perekonomian negara juga mengalami kemajuan yang cukup pesat. Pada saat sekarang ini dan dimasa mendatang jasa angkutan merupakan salah satu bentuk jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, baik itu dari kalangan umum, pemerintah maupun perusahaan-perusahaan industri.

Seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitas ekonomi tersebut, maka kebutuhan masyarakat akan alat transportasi kian meningkat pula, demikian pula halnya di Provinsi Bali. Dengan wilayahnya yang sebagian besar terdiri dari perairan serta banyak pulau-pulau, maka permintaan akan jasa angkutan laut di daerah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu, bidang usaha jasa angkutan laut di daerah ini cukup pesat pertumbuhannya.

Provinsi Bali sebagai salah satu provinsi yang memiliki ciri khusus dibandingkan dengan propinsi lainnya, dimana wilayahnya meliputi daratan dan perairan yang cukup luas yang meliputi sungai dan perairan laut. Dengan kondisi wilayah yang demikian, maka dibutuhkan sarana transportasi yang memadai untuk menjangkau daerah-daerah wilayah Provinsi Bali, untuk mencapai daerah


(16)

3

yang satu ketempat tujuan yang lainnya diperlukan sarana transportasi perairan

seperti ferry, kapal pompong, speed boat dan lain-lainnya.

Pada umumnya, transportasi mencakup bidang yang sanggat luas, hampir keseluruh segi kehidupan manusia tidak terlepas dari keperluan akan transportasi tersebut. Transportasi tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan majunya tinggkat pemikiran budaya manusia itu sendiri, sebab kehidupan yang maju ditandai oleh mobilitas yang memungkinkan tersedianya fasilitas transportasi yang cukup memadai setiap saat.

Salah satu jenis transportasi adalah transportasi perairan yang mencakup sungai, danau dan laut. Pentingnya transportasi ini bagi masyarakat di Provinsi Bali khususnya di daerah Kabupaten Denpasar akan membantu aktifitas yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat setempat. Selain dapat mengangkut penumpang dan barang dari suatu tempat ketempat yang lainnya, juga dapat mempelancar kegiatan perdagangan di Denpasar. Adapun perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan transportasi laut di daerah ini diantaranya adalah

PT. JJ Fast Boat, yang beroperasi dengan menggunakan sejenis speed boat.

Perusahaan ini berdiri didasari oleh tingginya minat konsumen yang membutuhkan dan mengunakan sarana transportasi laut untuk tujuan keberangkatan dari Sanur ke Nusa Lembongan dan sebaliknya, Sanur ke Padang Bai dan sebaliknya dan tujuan keberangkatan dari Sanur ke Gili dan sebaliknya yang dinilai lebih efektif jika penggunaan transportasi air dibanding dengan transportasi darat.


(17)

4

Sarana transportasi yang khususnya angkutan laut merupakan suatu mata rantai penghubung, yang sangat menunjang kegiatan untuk tercapainya tujuan yang diinginkan oleh pengguna jasa. Untuk itu jasa angkutan harus cukup tersedia agar semua sektor dapat berjalan dengan lancar. Namun begitupun tidak selamanya angkutan laut tersedia dengan baik, sebab tidak menutup kemungkinan pula terjadi hal-hal yang menyebabkan kerugian bagi pihak pengguna jasa angkutan laut.

Hal-hal yang merugikan tersebut antara lain adalah apabila terjadi kecelakaan yang disebabkan kelalain dari pelaku usaha. Seperti yang terjadi dalam

kasus PT. JJ Fast Boat yang terbakar di perairan Nusa Lembongan, Kabupaten

Klungkung, yang mengangkut 16 (enam belas) orang penumpang yang diduga mengalami kerusakan pada mesinnya setelah 1,5 kilometer berjalan menuju Sanur yang mengakibatkan para penumpang mengalami luka-luka. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 180 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintahan Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Selanjutnya disebut PP Angkutan di Perairan) yang menyatakan “Perubahan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkut.” Selanjutnya pada ketentuan Pasal 181 ayat (2) bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan di perairan dilakukan salah satunya apabila penumpang mengalami kematian atau luka pada saat menggunakan jasa angkutan di perairan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka penulis kemudian


(18)

5

Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pengguna Jasa Angkutan Laut Apabila Terjadi Kecelakaan (Studi Pada PT. JJ Fast Boat Sanur Denpasar).”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan diatas,

maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab PT. JJ Fast Boat terhadap

pengguna jasa terkait kecelakaan yang terjadi pada PT. JJ Fast Boat?

2. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh

pengguna jasa PT. JJ Fast Boat apabila terjadi kecelakaan yang

disebabkan oleh kesalahan pelaku usaha?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk mendapat uraian lebih terarah perlu kiranya diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, sehingga dapat diuraikan secara sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup pembahasannya

mengenai dalam bentuk apa tanggung jawab PT. JJ Fast Boat terhadap


(19)

6

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup pembahasannya mengenai

upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh pengguna jasa

PT. JJ Fast Boat apabila terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh

kesalahan pelaku usaha.

1.4 Orisinalitas Penelitian

No. Peneliti Judul Rumusan Masalah

1 Gde Yogi

Yustyawan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2015 “Tanggung Jawab Pengangkut Atas Kerugian Yang Diderita Pengirim Barang Yang Disebabkan Kelalaian Pengangkut (Studi Kasus Di PT Semesta Agung)” 1. Bagaimanakah tanggung jawab pengangkut atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang dalam penyelenggaraan pengangkutan oleh PT Bali Semesta Agung?

2. Upaya hukum apakah

yang dilakukan oleh

pengirim barang

terhadap pengangkut atas kerugian yang


(20)

7

dideritanya?

2 Hamal Octovianus

Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2008

“Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Barang Melalui Darat Di Denpasar”

1.Bagaimanakah

tanggung jawab pengangkut apabila terjadi kehilangan barang, kerusakan barang dan

keterlambatan waktu penyampaian barang tersebut?

2.Bagaimanakah upaya

yang dapat ditempuh apabila pengiriman atau penerima barang tidak mengambil barangnya tersebut?

1.5 Tujuan Penelitian

Setiap karya tulis ilmiah pada intinya suatu tujuan yang ingin dicapai baik tujuan umum maupun tujuan khusus yaitu :

1.5.1 Tujuan Umum


(21)

8

1. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab PT. JJ Fast Boat terhadap

pengguna jasa terkait kecelakaan yang terjadi pada PT. JJ Fast Boat.

2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan

oleh pengguna jasa PT. JJ Fast Boat apabila terjadi kecelakaan yang

disebabkan oleh kesalahan pelaku usaha.

3. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum (S1).

1.5.2 Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk memahami bentuk tanggung jawab PT. JJ Fast Boat terhadap

pengguna jasa terkait kecelakaan yang terjadi pada PT. JJ Fast Boat.

2. Untuk memahami upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan

oleh pengguna jasa PT. JJ Fast Boat apabila terjadi kecelakaan yang

disebabkan oleh kesalahan pelaku usaha.

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Mengharapkan hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di

bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum.

2. Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan,

pengalaman dalam bagaimana pertanggung jawaban suatu proses pengangkutan barang atau jasa jika terjadi kecelakaan.


(22)

9

1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman oleh

pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum dibidang hukum pengangkutan khususnya mengenai perlindungan hukum dan tanggung jawab pengguna jasa angkutan laut jika terjadi kecelakaan.

2. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang

berkepentingan secara langsung dalam penelitian ini.

1.7 Landasan Teoritis

Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan skripsi ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan teori, konsep, landasan-landasan terhadap permasalahan tersebut yang didasarkan pada literature - literature yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun definisi yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: 1.7.1 Pengertian Pengangkutan

Abdulkadir Muhammad mendefinisikan pengangkutan sebagai proses kegiatan memuat barang atau penumpang kedalam alat pengangkutan, membawa membawa barang atau penumpang dari tempat muatan dari ketempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkut ke tempat yang

ditentukan.2 Selanjutnya ia menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga

2

Abdulkadir Muhammad, 1991, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.19.


(23)

10

dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha (business), pengangkutan

sebagai perjanjian (agreement), dan pengangkutan sebagai proses (proses).

Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Berdasarkan suatu perjanjian;

2. Kegiatan ekonomi dibidang jasa;

3. Berbentuk perusahaan;

4. Menggunakan alat angkut mekanik.

Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah ditentujan, dan pembongkaran atau penurunan ditempat tujuan. Sarjana lainnya ada yang menyimpulkan bahwa pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi. Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya bersifat lisan tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Perjanjian

pengangkutan dapat pula dibuat secara tertulis disebut carter, charterparty.3

Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana H.M.N Purwosutjipto melihat dari perspektif hukum dengan menegaskan bahwa pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke

3


(24)

11

tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri

untuk membayar uang angkutan.4

1.7.2 Pengertian Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Selanjutnya disebut KUHPerdata) perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam membuat suatu perjanjian harus memperhatikan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu syarat sahnya perjanjian, yaitu:

1. Adanya kata sepakat

2. Kecakapan dalm membuat perjanjian

3. Hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dijelaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak ditentukan isinya oleh para pihak dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, ketentuan ini memiliki suatu kekuatan mengikat karena perjanjian yang dibuat memiliki kekuatan mengikat layaknya sebagai suatu undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Itikad baik dalam suatu perjanjian sangat penting sebab dengan adanya itikad baik maka para pihak akan melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati hal ini sesuai dengan

4

H.M.N.Purwosutjipto, 1991, Pengertian Pokok Hukum Dagang (1) Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Cet IV, Djambatan, Jakarta, h.43.


(25)

12

ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

1.7.3 Pengertian Pertangungjawaban

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Ada dua istilah yang menunjuk pada

pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility.

Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas

untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat

dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat

akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah

responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.

Dalam ketentuan pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) ditentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka


(26)

13

diperlukan tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan

tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam

hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan

hukum.5

1.7.4 Pengertian Penyelesaian Sengketa

Sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,

kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek

permasalahan. Menurut Ali Achmad berpendapat bahwa sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dalam melakukan penyelesaian sengketa secara umum dapat diselesaikan melalui dua cara yaitu, Penyelesaian secara damai ( non litigasi ) yaitu penyelesaian permasalahan hukum yang dilakukan diluar pengadilan yang dimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (yang selanjutnya disebut UU Arbitrase dan APS) yang menjelaskan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga

5

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.82.


(27)

14

penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dan yang kedua Penyelesaian melalui lembaga atau institusi yang berwenang (litigasi) yaitu penyelesaian permasalahan

hukum yang dilakukan dengan jalur pengadilan.6

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian Yuridis Empiris. Dipilihnya jenis penelitian yuridis empiris karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum primer dan sekunder dan menggunakan data primer dari lapangan. Jadi dalam penelitian ini maksudnya adalah dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan hukum yaitu dengan melihat bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat, serta melihat hukum secara nyata.

Dalam hal ini penulis menggunakan studi pada PT. JJ Fast Boat pada pengguna

jasa angkutan laut apabila terjadi kecelakaan. Karakteristik penelitian yang bersifat empiris adalah hasil yang diperoleh merupakan hal yang disampaikan

secara nyata tanpa inteprestasi penelitian.7

1.8.2 Jenis Pendekatan

Di dalam buku pedoman Fakultas Hukum Universitas Udayana, penelitian empiris umumnya mengenal 7 jenis pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan Kasus (the Case Approach)

6

Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, h.7. 7


(28)

15

2. Pendekatan Perundang-undangan (the statute Approach)

3. Pendekatan Fakta (the fact Approach)

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual

approach)

5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach)

6. Pendekatan Sejarah (historical approach)

7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skirpsi ini adalah

pendekatan fakta (the fact approach), Pendekatan Perundang-undangan (the

statute Approach).

Pendekatan fakta (the fact approach) adalah pengkajian yang dilakukan

oleh penulis terkait suatu peristiwa hukum yang diangkat serta ditunjang oleh kasus lapangan guna mendapatkkan hasil yang sempurna.

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah metode

penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.8

1.8.3 Sifat Penelitian

Sifat penelitian dari skripsi ini adalah sifat penelitian deskriptif pada penelitian termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau

8

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 97.


(29)

16

kelompok tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam

masyarakat.9

1.8.4 Data dan Sumber Data

Sumber data hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan tiga sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier.

1) Sumber data hukum primer

Sumber data hukum primer adalah data yang didapat langsung dari

penelitian lapangan (field research),yaitu penelitian yang dilakukan

secara langsung objek yang diteliti dan wawancara untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian ini data diperoleh dari PT. JJ

Fast Boat.

2) Sumber data hukum sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara library research (penelitian

keperpustakaan), yaitu data yang diperoleh adalah berasal dari perpustakaan. Tujuan dan kegunaannya apa dasarnya adalah

menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian.10

Bahan Hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran

9

Djam’an Satori dan Aan Komariah, 2009, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h.19.

10

Bambang Sunggono, 1991, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafinda Persada, Jakarta, h.112.


(30)

17

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2011

Tentang Perububahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen

3) Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah computer, ensiklopedia hukum dan internet.

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka mendapatkan data-data digunakan tiga cara dalam pengumpulan data yaitu :

1. Teknik studi dokumen (library research)

Yaitu, dalam pengumpulan data akan digunakan teknik studi dokumen terhadap sumber keperpustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian dengan cara membaca dan mencatat kembali data yang kemudian dikelompokan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penulisan skripsi ini. Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.


(31)

18

Metode ini merupakan suatu teknik untuk memperoleh data dengan mengadakan penelitian secara langsung dilapangan dengan maksud

untuk mendapatkan data primer (basic data primary data). Dalam

penelitian ini dilakukan pada PT JJ Fast Boat serta pihak-pihak yang

terkait.

3. Teknik Wawancara (interview)

Yaitu, suatu proses tanya jawab yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang akan digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan secara langsung pada pihak-pihak yang dianggap relevan dengan masalah tanggung jawab perusahaan terhadap pengguna jasa angkutan laut jika terjadi kecelakaan. Wawancara yang dilakukan bersifat terbuka, dialogis, sistematis, masih dimungkinkan adanya variable-variable pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi ketika

wawancara dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terbuka.11

1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan teknik penentuan sampel secara

non-probabilitas yaitu tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Ciri dari penentuan sampel ini yaitu :

Tidak diketahui secara pasti jumlah populasinya, penelitiannya bersifat eksploratif

atau deskriptif. Adapun bentuk dari penelitian ini yaitu : Purposive Sampling

merupakan penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan

11


(32)

19

pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

Populasi dari penelitian ini yaitu : Pada Perusahaan Pelayaran yang berada

di Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan. (PT. JJ Fast Boat Sanur Denpasar)

1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan analisis data digunakan analisis kualitatif yaitu keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis. Sehingga data yang


(33)

20 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN LAUT, TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM ANGKUTAN LAUT DAN

PENYELESAIAN SENGKETA PENGANGKUTAN LAUT

2.1 Pengangkutan Laut

2.1.1 Pengertian Pengangkutan Laut

Pengangkutan merupakan kegiatan transportasi dalam memindahkan barang dan penumpang dari satu tempat ke tempat lain atau dapat dikatakan sebagai kegiatan ekspedisi. Terdapat beberapa pengertian pengangkutan menurut para ahli yaitu : H.M.N Purwosutjipto berpendapat bahwa pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim

mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.12

Menurut R. Soekardono berpendapat pengangkutan berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien. Adapun proses dari pengangkutan itu merupakan gerakan dari tempat asal

12


(34)

21

dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu diakhiri.13

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (yang selanjutnya disebut UU Pelayaran) menyebutkan pengangkutan laut yang digunakan suatu istilah angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindangkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Selain pengertian dari angkutan di perairan juga terdapat istilah-istilah penting dalam pengangkutan laut yaitu :

 Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut

kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut.

 Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan yang

meliputi waduk, rawa, anjir, kanal.

 Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai

jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan kereta api yang terputus karena adanya perairan.

Sebagai suatu kegiatan jasa dalam memindahkan barang atau pun penumpang dari suatu tempat ke tempat lain, pengangkutan berperan sekali dalam mewujudkan terciptanya pola distribusi nasional yang dinamis. Praktik penyelenggaraan suatu pengangkutan harus dapat memberikan nilai guna yang sebesar-besarnya dalam dunia perdagangan. Serta dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat.

13


(35)

22

Pengangkutan berfungsi untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Proses pemindahan barang tersebut dilakukan melalui darat, laut, udara dan perairan darat atau sungai dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi sesuai dengan kebutuhannya.

2.1.2 Jenis-jenis Pengangkutan Laut

Berdasarkan pasal 7 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, jenis angkutan laut terdiri atas : Angkutan Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut Luar Negeri, Angkutan Laut Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat.

1. Angkutan Laut Dalam Negeri

Adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional atau dalam arti dilakukan dengan menggunakan batas-batas kedaulatan dalam negara. Pelayaran dalam negeri yang meliputi:

a. Pelayaran Nusantara, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha

pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Radius pelayarannya > 200 mil laut.

b. Pelayaran Lokal, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha

pengangkutan antar pelabuhan Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran 500 m3 isi


(36)

23

kotor ke bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah. Radius pelayarannya < 200 mil laut atau sama dengan 200 mil laut.

c. Pelayaran Rakyat, yaitu pelayaran Nusantara dengan menggunakan

perahu-perahu layar.

2. Angkutan Laut Luar Negeri

Adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khus us yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut atau dalam artian dilakukan dengan pengangkutan di lautan bebas yang menghubungkan satu negara dengan negara lain. Pelayaran luar negeri, yang meliputi:

a. Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhan-

pelabuhan negara tetangga yang tidak melebihi jarak 3.000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan;

b. Pelayaran Samudera, yaitu pelayaran ke- dan dari luar negeri yang

bukan merupakan pelayaran samudera dekat.

3. Angkutan Laut Khusus

Adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.

4. Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat

Adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan


(37)

24

menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.

2.1.3 Hubungan Hukum dalam Perjanjian Pengangkutan Laut

Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dilakukan oleh subjek hukum yang dapat melahirkan akibat hukum yaitu hak dan kewajiban

bagi para subjek hukum.14 Dalam hal pengangkutan baik barang dan atau orang

hubungan hukum terjadi antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan. Hubungan hukum antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan ini telah diatur dan dijamin kepastian hukumnya di dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaanya dilakukan melalui perjanjian.

Menurut Siti Utari, pengertian umum tentang perjanjian pengangkutan adalah sebagai sebuah perjanjian timbak balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim-penerima, pengirim atau penerima, penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya

tertentu.15 Berdasarkan pengertian tersebut perjanjian pengangkutan laut pada

umumnya dalam hubungan hukum antara pengangkut dengan pemakai jasa

pengangkutan berkedudukan sama tinggi atau koordinasi (geeoordineerd), tidak

14

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, h. 253. 15


(38)

25

seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama

tinggi atau kedudukan subordinasi (gesubordineerd).16

Menurut sistem hukum Indonesia, perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus) diantara para pihak, hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 90 KUHD yang menyatakan :

Surat angkutan merupakan persetujuan antara si pengirim atau ekspeditur pada pihak satu dan pengangkut atau juragan perahu pada pihak lain dan surat itu memuat selain apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti misalnya mengenai waktu dalam mana pengangkutan telah harus selesai dikerjakannya dan mengenai penggantian rugi dalam hal kelambatan, memuat juga : 1o. Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut,

begitupun merek-merek dan bilangannya;

2o. Nama orang kepada siapa barang-barang dikirimkannya; 3o. Nama dan tempat si pengangkut atau juragan perahu; 4o. Jumlah upah pengangkut;

5o. Tanggal;

6o. Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur.

Dalam Pasal 90 KUHD ditentukan bahwa dokumen/surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau nakhoda. Sebetulnya tanpa dokumen/surat angkutan, apabila tercapai persetujuan kehendak antara kedua belah pihak perjanjian telah ada, sehingga dokumen/surat angkutan hanya merupakan surat bukti belaka mengenai perjanjian angkutan. Dokumen/surat angkutan dinyatakan telah mengikat bukan hanya ketika dokumen/surat angkutan tersebut telah ditandatangani pengirim atau ekspeditur,

16


(39)

26

melainkan juga ketika pengangkut/nakhoda telah menerima barang angkutan

beserta dokumen/surat angkutan tersebut.17

Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :

a. Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirm dan pengangkut

tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan (tidak terus menerus), berdasarkan atas ketentuan pasal 1601 KUH Perdata.

b. Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan

berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 b KUH Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 KUH Perdata ( Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan ).

c. Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni

perjanjian melakukan pekerjaan ( pelayanan berkala ) dan perjanjian

penyimpanan (bewaargeving). Unsur pelayanan berkala ( Pasal 1601 b

KUH Perdata ) dan unsur penyimpanan ( Pasal 468 ( 1 ) KUHD ).

Selain itu syarat sahnya perjanjian pengangkutan pada pengangkutan barang maupun orang antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan sama halnya dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1. Adanya kesepakatan antara para pihak.

17

Sution Usman Adji, dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, h. 16.


(40)

27

2. Adanya kecakapan unutk membuat sebuah perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

2.2 Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Laut

2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Laut

Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan

menanggung akibatnya.18 Sedangkan pengangkut adalah pihak yang mengikatkan

diri untuk menyelenggarakan angkutan barang dan/atau penumpang yang berbentuk badan usaha. Jadi pengertian tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan yang menyelenggarakan angkutan barang dan/atau penumpang untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau

pengirim barang serta pihak ketiga.19

Menurut Pasal 1367 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disingkat KUHPerdata, tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan, karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila menimbulkan

18

Khairunnisa, 2008, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Pasca Sarjana, Medan, h.4.

19

Tjakranegara Soegijatna, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Renika Cipta, Jakarta, h.15.


(41)

28

kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan

tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut.20

Tanggung jawab perusahaan pengangkutan dalam angkutan laut terhadap penumpang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan yang telah disepakati. Demikian juga halnya dengan tanggung jawab terhadap pemilik barang (pengirim) dimulai sejak barang diterima untuk diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim atau penerima. Yang dimana tanggung jawab tersebut dikarenakan yelah terjadinya kecelakaan. Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan/atau harta benda.

2.2.2 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Laut Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:

1. Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liabelity)

Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu.

Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata tentang

perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan

20

H.K.Martono dan Eka Budi Tjahjono, 2011, Transportasi di Perairan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.168.


(42)

29

khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masing

pengangkutan.

Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”.

Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”

Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.


(43)

30

Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam pasal 1365

KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan

umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan. Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut pada pasal 468 ayat (2).

3. Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)

Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat : pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.

Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak


(44)

31

tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.

4. Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Limitation of Libelity)

Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian

pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk

undang-undang.

5. Presumtionof Non Liability

Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab. Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan.

Prinsip-prinsip tanggung jawab perusahaan pengangkut yang diatur dalam UU Pelayaran yang terdapat pada pasal 40 dan pasal 41 tersebut menyebutkan bahwa perusahaan angkutan menggunakan prinsip tanggung jawab pengangkut mutlak dan prinsip tanggung jawab praduga bersalah.


(45)

32

2.3 Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut

2.3.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut

Sengketa merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan lagi jika manusia saling berselisih atau ada perbedaan kesepahaman dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Soeryono Soekanto, sengketa dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak

terganggu atau dilanggar.21 Dalam prespektif hukum, sengketa dapat berawal dari

adanya suatu wanprestasi dari salah satu pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum.

Lahirnya suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban. Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata hak dan kewajiban (perikatan) bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum, sedangkan timbulnya perikatan yang lahir karena perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajiban atau yang dikenal dengan ”prestasi”, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Menurut PNH Simanjuntak wan prestasi adalah keadaan di mana seorang debitur (pihak yang berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagai

21


(46)

33

mana mestinya sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.22

Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitur

sendiri itu sendiri dan karena faktoradanya keadaan memaksa (overmacht/force

majeur).23 Adapun yang menjadi kriteria seorang debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila :

a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

b) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya;

c) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya dan

d) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak diwajibkan dalam perjanjian.24

Pada umumnya, wanprestasi akan terjadi jika salah satu pihak dinyatakan telah lalai memenuhi prestasi atau dengan kata lain wanprestasi ada kalau salah satu pihak tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak tentu saja dapat menimbulkan kerugian kepada pihak lainnya.

Prinsip-prinsip dari wanprestasi tersebut di atas juga dapat terjadi dalam perjanjian pengangkutan laut. Dengan demikian, pihak pengangkut wajib untuk mengganti kerugian yang dialami penumpang. Menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata, apabila debitur (pengangkut) yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :

22

PNH Simanjuntak, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djembatan, Jakarta, h.339.

23

Ibid, h. 340. 24


(47)

34

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur

(Pasal 1243 KUH Perdata)

b. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal

1267 KUH Perdata)

c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal

1237 Ayat(2) KUH Perdata)

d. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181

HIR).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata yang menyatakan “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga”, dalam hal debitur melakukan wanprestasi, maka debitur dapat memilih tuntutan-tuntutan haknya berupa :

a. Pemenuhan perjanjian

b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi

c. Ganti kerugian saja

d. Pembatalan perjanjian

e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian

Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan bahwa penyelesaian sengketa pengangkutan adalah penyelesaian suatu keadaan dimana adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan dalam hal ini antara pengangkut dengan penumpang


(48)

35

karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang.

Penyelesaian sengketa dalam pengangkutan laut dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila telah dipilih melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasi, yang terdapat dalam Pasal 45 UUPK.

2.3.2 Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut

Setiap sengketa dalam hubungan hukum pada umumnya dapat diselesaikan melalui dua cara penyelesaian, yaitu :

a. Penyelesaian secara damai (non litigasi),

b. Penyelesaian melalui lembaga atau institusi yang berwenang (litigasi).25

Kedua jenis penyelesaian sengketa di atas juga dapat diterapkan dalam pengangkutan laut. Namun, kedua jenis penyelesaian sengketa tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Penyelesaian sengketa secara damai, membutuhkan kemauan dan kemampuan berunding untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai. Penggunaan model penyelesaian sengketa non litigasi lebih mengutamakan pendekatan “konsensus” dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil

penyelesaian sengketa ke arah win-win solution. Keadilan yang ingin dicapai

25

Az. Nasution, 1999, Pengantar Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Daya Widya, Jakarta, h. 232.


(49)

36

melalui mekanisme tersebut adalah keadilan komutatif.26 Sedangkan penyelesaian

melalui lembaga atau instansi yang berwenang membutuhkan pengetahuan tentang tata cara dan/atau aturan yang berlaku bagi penyelesaian sengketa tersebut yaitu berupa aturan-aturan hukum yang bersifat prosedural.

Selain itu dalam pengangkutan laut juga dapat diterapkan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Rumusan di atas merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk membentengi atau untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha. Menurut Yusuf Shofie undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu ;

1) perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

2) ketentuan tentang pencantuman klausula baku.27

Sehingga apabila pelaku usaha dalam hal ini pengangkut melanggar salah satu perbuatan yang dilarang dalam UUPK yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen dalam hal ini penumpang maka konsumen yang dirugikan dapat menyelesaikan sengketa melalui pengajuan gugat terhadap pelaku usaha baik melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

26Adi Sulistiyono, 2006, “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution Dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25 No.1, tahun 2006, h. 72.

27

Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya, Bandung, h. 26.


(50)

37

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 UUPK yang menyatakan :

(1)Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

(2)Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui

peradilan atau diluar peradilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3)Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang

(4)Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di

luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPK , bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Maka, para pihak di beri kewenangan untuk memilih dalam menyelesaikan permasalahannya baik jalur pengadilan maupun jalur luar pengadilan. Apabila para pihak tersebut memilih jalur luar pengadilan, maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa tersebut. BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen. Adapun prinsip BPSK dalam menyelesaikan sengketa,

yaitu : mengutamakan musyawarah, cepat, murah dan adil. 28

28


(1)

2.3 Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut

2.3.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut

Sengketa merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan lagi jika manusia saling berselisih atau ada perbedaan kesepahaman dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Soeryono Soekanto, sengketa dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan dimana adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar.21 Dalam prespektif hukum, sengketa dapat berawal dari adanya suatu wanprestasi dari salah satu pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum.

Lahirnya suatu tanggung jawab hukum berawal dari adanya perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban. Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata hak dan kewajiban (perikatan) bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang terbagi lagi menjadi perbuatan menurut hukum dan perbuatan melawan hukum, sedangkan timbulnya perikatan yang lahir karena perjanjian membebankan kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajiban atau yang dikenal dengan ”prestasi”, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi maka dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Menurut PNH Simanjuntak wan prestasi adalah keadaan di mana seorang debitur (pihak yang berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagai

21


(2)

mana mestinya sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.22 Wanprestasi (lalai/alpa) dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitur sendiri itu sendiri dan karena faktoradanya keadaan memaksa (overmacht/force majeur).23 Adapun yang menjadi kriteria seorang debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila :

a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

b) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya; c) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya dan

d) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak diwajibkan dalam perjanjian.24 Pada umumnya, wanprestasi akan terjadi jika salah satu pihak dinyatakan telah lalai memenuhi prestasi atau dengan kata lain wanprestasi ada kalau salah satu pihak tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak tentu saja dapat menimbulkan kerugian kepada pihak lainnya.

Prinsip-prinsip dari wanprestasi tersebut di atas juga dapat terjadi dalam perjanjian pengangkutan laut. Dengan demikian, pihak pengangkut wajib untuk mengganti kerugian yang dialami penumpang. Menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata, apabila debitur (pengangkut) yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :

22

PNH Simanjuntak, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djembatan, Jakarta, h.339.

23

Ibid, h. 340. 24


(3)

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata)

b. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUH Perdata)

c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 Ayat(2) KUH Perdata)

d. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 HIR).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata yang menyatakan “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga”, dalam hal debitur melakukan wanprestasi, maka debitur dapat memilih tuntutan-tuntutan haknya berupa :

a. Pemenuhan perjanjian

b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi c. Ganti kerugian saja

d. Pembatalan perjanjian

e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian

Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan bahwa penyelesaian sengketa pengangkutan adalah penyelesaian suatu keadaan dimana adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan dalam hal ini antara pengangkut dengan penumpang


(4)

karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang.

Penyelesaian sengketa dalam pengangkutan laut dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Apabila telah dipilih melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasi, yang terdapat dalam Pasal 45 UUPK.

2.3.2 Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Pengangkutan Laut

Setiap sengketa dalam hubungan hukum pada umumnya dapat diselesaikan melalui dua cara penyelesaian, yaitu :

a. Penyelesaian secara damai (non litigasi),

b. Penyelesaian melalui lembaga atau institusi yang berwenang (litigasi).25 Kedua jenis penyelesaian sengketa di atas juga dapat diterapkan dalam pengangkutan laut. Namun, kedua jenis penyelesaian sengketa tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Penyelesaian sengketa secara damai, membutuhkan kemauan dan kemampuan berunding untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai. Penggunaan model penyelesaian sengketa non litigasi lebih mengutamakan pendekatan “konsensus” dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win solution. Keadilan yang ingin dicapai

25

Az. Nasution, 1999, Pengantar Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Daya Widya, Jakarta, h. 232.


(5)

melalui mekanisme tersebut adalah keadilan komutatif.26 Sedangkan penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang membutuhkan pengetahuan tentang tata cara dan/atau aturan yang berlaku bagi penyelesaian sengketa tersebut yaitu berupa aturan-aturan hukum yang bersifat prosedural.

Selain itu dalam pengangkutan laut juga dapat diterapkan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Rumusan di atas merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk membentengi atau untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha. Menurut Yusuf Shofie undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu ;

1) perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha 2) ketentuan tentang pencantuman klausula baku.27

Sehingga apabila pelaku usaha dalam hal ini pengangkut melanggar salah satu perbuatan yang dilarang dalam UUPK yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen dalam hal ini penumpang maka konsumen yang dirugikan dapat menyelesaikan sengketa melalui pengajuan gugat terhadap pelaku usaha baik melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan

26Adi Sulistiyono, 2006, “Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-Win Solution Dalam Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 25 No.1, tahun 2006, h. 72.

27

Yusuf Shofie, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya, Bandung, h. 26.


(6)

pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 UUPK yang menyatakan :

(1)Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

(2)Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui peradilan atau diluar peradilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3)Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang

(4)Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPK , bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Maka, para pihak di beri kewenangan untuk memilih dalam menyelesaikan permasalahannya baik jalur pengadilan maupun jalur luar pengadilan. Apabila para pihak tersebut memilih jalur luar pengadilan, maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa tersebut. BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen. Adapun prinsip BPSK dalam menyelesaikan sengketa, yaitu : mengutamakan musyawarah, cepat, murah dan adil. 28

28


Dokumen yang terkait

Peranan dan Tanggung Jawab Hukum PT. Pelindo I Terhadap Kapal yang Bersandar (Studi PT. Pelindo I )

28 417 119

Tanggung Jawab Pihak Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan Pulp antara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan CV. Anugrah Toba Permai Lestari (Studi pada CV. Anugrah Toba Permai Lestari)

0 119 99

Analisis Mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Memberikan Informasi Produk Melalui Transaksi E-Commerce (Studi Pada AUTO 2000-Medan)

1 79 106

Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

12 118 111

Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

11 111 118

Analisis Tentang Tanggung Jawab Pembuangan Sampah Pada Usaha Kecil Di Pasar Tradisional (Studi Kasus Pasar Sei Sikambing Medan)

1 119 72

Tanggung Jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Dalam Perjanjian Angkutan Kargo Melalui Pengangkutan Udara

24 158 102

Bentuk-Bentuk CSR Sebagai Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Terhadap Masyarakat (Studi Kasus Di PT. Djarum)

2 85 134

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA PRODUK DENGAN PROMO BERHADIAH.

1 1 75

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP KERUGIAN PENUMPANG KAPAL WISATA AKIBAT TERJADINYA KECELAKAAN : STUDI PADA PT. WAHANA GILI OCEAN FAST BOAT DI KLUNGKUNG.

3 15 52