Tanggung Jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Dalam Perjanjian Angkutan Kargo Melalui Pengangkutan Udara
TANGGUNG JAWAB
PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA
DALAM PERJANJIAN ANGKUTAN KARGO
MELALUI PENGANGKUTAN UDARA
SKRIPSIDiajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Oleh :
ARISANTA P. H. S. NIM : 070200051
Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM REGULER
MEDAN
2011
(2)
TANGGUNG JAWAB
PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA DALAM PERJANJIAN ANGKUTAN KARGO
MELALUI PENGANGKUTAN UDARA SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Oleh:
ARISANTA P. H. S. NIM : 070200051 Bagian Hukum Keperdataan
Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang Disetujui Oleh
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 196603031985081001
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello, S.H. M.S Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 196204211988031001 NIP. 196603031985081001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PROGRAM REGULER
MEDAN 2011
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas kasih dan karunia yang diberikanNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan menyelesaikan skripsi ini.
Adapun skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Skripsi ini berjudul “Tanggung Jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU) dalam Perjanjian Angkutan Kargo melalui Pengangkutan Udara” dimana isi dan materi yang terkandung di dalamnya didasarkan pada bahan-bahan literatur kepustakaan.
Penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan baik secara moril maupun materil, baik selama masa perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II
(4)
4. Bapak Muhammad Husni, S.H, M.H, selaku Pembantu Dekan Fakultas III Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga serta pemikiran dalam membimbing penulis pada penulisan skripsi ini.
6. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S, selaku Dosen Pembimbing I
yang telah membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang namanya
tidak penulis sebutkan satu persatu.
9. Seluruh pegawai yang telah membantu di bidang administrasi dan tata usaha,
termasuk pegawai-pegawai yang membuat suasana bersih dan indah Fakultas Hukum USU
10.Teristimewa skripsi ini saya persembahkan untuk orang tua yang tercinta,
bapak T. Siambaton, SH., M.Hum dan ibu M. D. Hutauruk yang telah banyak memberikan kasih sayang, kesabaran, perhatian, tuntunan, dukungan materil dan doa yang tak henti-hentinya untuk penyelesaian skripsi saya ini.
11.Abang dan adik-adik yang sangat saya cintai:
(5)
Arisanti P.E.S, adik perempuanku satu-satunya, “makasih banyak dek buat kesabaranmu membantu pekerjaanku di rumah jadi aku bisa punya cukup waktu untuk mengerjakan skripsiku ini. maaf kalau selama masa penyusunan skripsi ini aku banyak melupakanmu”.
Andreas P. Siambaton, yang selalu menjadi adik kecilku walaupun sudah SMA, “makasih dek buat candaanmu yang sehari-hari menghiburku”.
12.Saudara-saudara keluarga ayah dan ibu yang telah memberikan sedikit
waktunya untuk mendoakan kesuksesan studi saya.
13.Teman yang paling dekat dengan saya, yang saling berbagi rasa dengan saya,
Henry David Sahala Sitorus, “makasih Hen, buat tiap waktu, tenaga, pikiran, keperdulian, yang tak pernah kau perhitung-hitungkan untuk sebisa mungkin membantuku mengatasi masalah-masalah yang muncul selama waktu penulisan skripsi ini dari awal sampai akhir.”
14.Teman-teman saya yang akan sangat saya rindukan Ima Futri Barus (yang
paling sabar menghadapiku), Masnur Sidauruk (makasih mak untuk nasehat2nya), Riska Sinaga (yang mengajariku keberanian), Yudika M.D. Hutabarat, Widya L. Silaban, Fitri Wulandari Htb, Selly Herwina (untuk keceriaan yang pernah kalian berikan semasa kuliah), Sara Yosephine (dulu kau yang meyakinkan aku untuk tidak takut kuliah, makasih ya), dan untuk semua teman-teman stambuk 2007 di Fakultas Hukum USU yang tidak dapat saya tuliskan namanya satu persatu, sukses buat kalian semua ya, sampai jumpa lagi teman-teman.
(6)
Namun apapun hasilnya, segala daya upaya dalam mengoptimalkan penulisan ini sepenuhnya terbatas pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis yang pada akhirnya penulis sadar bahwa pembahasan ini belumlah sampai pada titik kesempurnaan. Dengan demikian penulis sangat terbuka bagi adanya kritik ataupun saran dari pembaca yang saya hormati.
Medan, Maret 2011
(7)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………..……….... i
DAFTAR ISI………. v
ABSTRAKSI………...……….. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang….………..……...…... 1
B. Perumusan Masalah………….………... 8
C. Tujuan Penelitian…………...…………..………... 9
D. Manfaat Penelitian………..……..………….. 9
E. Tinjauan Kepustakaan………...………... 10
F. Metode Penelitian………... 14
G. Sistematika Penulisan………. 16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA A. Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Udara 1. Pengangkutan dan Pengangkutan Udara……….. 19
2. Perkembangan Pengangkutan Udara di Indonesia 31
3. Landasan Hukum Pengangkutan Udara……….. 37
(8)
B. Tinjauan Umum Tentang Angkutan Umum Melalui Pengangkutan Udara
1. Pihak-pihak yang terkait
dalam Angkutan Kargo……….. 51
2. Dokumen-dokumen dalam Angkutan Kargo… 55
3. Perkembangan Angkutan Kargo
melalui Pengangkutan Udara……….. 62
BAB III PERIHAL PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN
PESAWAT UDARA (EMPU)
A. Pengaturan Perusahaan
Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU)…... 64
B. Fungsi dan Tugas Perusahaan
Ekspedisi Muatan Pesawat udara (EMPU)…… 68
C. Hubungan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara
dengan Perusahaan Angkutan Udara…………. 69
D. Hak dan Kewajiban Perusahaan
(9)
BAB IV TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA (EMPU) DALAM PERJANJIAN
ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA
A. Hubungan Hukum antara Pengguna Jasa Angkutan Kargo
Dengan Pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara
(EMPU)……… 74
B. Bentuk-bentuk Kerugian dalam
Angkutan Kargo Udara……… 77
C. Tanggung jawab Pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU)
terhadap Pengguna Jasa Angkutan Kargo……….... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A .Kesimpulan………. 87
B. Saran……… 88
(10)
ABSTRAKSI
Penulisan karya ilmiah ini dilatarbelakangi karena sering terjadi ketidakpastian tanggung jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara terhadap pengguna jasanya yang mengalami kerugian akibat hilang, musnah, rusak, ataupun terlambat tibanya kargo. Oleh karena itu, masalah yang diteliti adalah mengenai tanggung jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara terhadap pengirim yang mengalami hilang, musnah, rusak, ataupun terlambat tibanya kargo yang dikirimkannya. Dengan alasan ini penulis menuliskan karya ilmiah ini dengan tujuan untuk mengetahui dengan jelas hubungan hukum apa yang terjadi antara pengguna jasa angkutan kargo (pengirim) dengan perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara, mengetahui bentuk-bentuk kerugian yang mungkin dapat diderita si pengguna jasa (pengirim), serta mengetahui dan memahami sejauh mana tanggung jawab sebuah Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara secara hukum terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasanya (pengirim).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah dengan Metode Kepustakaan. Dengan metode kepustakaan ini, penulis mencari dan mengumpulkan bahan tertulis dari buku-buku bacaan yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk dijadikan landasan berpikir dan tolak ukur bagi penulis dalam menganalisa masalah-masalah dalam penulisan karya ilmiah ini.
Hasil yang diperoleh dari penulisan karya ilmiah ini yakni memperlihatkan hubungan hukum pemberian kuasa antara pengguna jasa angkutan kargo dengan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara, menguraikan bahwa bentuk-bentuk kerugian yang dapat menimpa pengirim antara lain hilang, musnah, rusak, atau terlambat tibanya kargo, serta menunjukkan bahwa bentuk tanggung jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara adalah sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa, dimana pengirim yang mempunyai hak untuk menuntu pengangkut, meskipun Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat yang mengikatkan diri secara langsung dengan pengangkut.
(11)
ABSTRAKSI
Penulisan karya ilmiah ini dilatarbelakangi karena sering terjadi ketidakpastian tanggung jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara terhadap pengguna jasanya yang mengalami kerugian akibat hilang, musnah, rusak, ataupun terlambat tibanya kargo. Oleh karena itu, masalah yang diteliti adalah mengenai tanggung jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara terhadap pengirim yang mengalami hilang, musnah, rusak, ataupun terlambat tibanya kargo yang dikirimkannya. Dengan alasan ini penulis menuliskan karya ilmiah ini dengan tujuan untuk mengetahui dengan jelas hubungan hukum apa yang terjadi antara pengguna jasa angkutan kargo (pengirim) dengan perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara, mengetahui bentuk-bentuk kerugian yang mungkin dapat diderita si pengguna jasa (pengirim), serta mengetahui dan memahami sejauh mana tanggung jawab sebuah Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara secara hukum terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasanya (pengirim).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah dengan Metode Kepustakaan. Dengan metode kepustakaan ini, penulis mencari dan mengumpulkan bahan tertulis dari buku-buku bacaan yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk dijadikan landasan berpikir dan tolak ukur bagi penulis dalam menganalisa masalah-masalah dalam penulisan karya ilmiah ini.
Hasil yang diperoleh dari penulisan karya ilmiah ini yakni memperlihatkan hubungan hukum pemberian kuasa antara pengguna jasa angkutan kargo dengan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara, menguraikan bahwa bentuk-bentuk kerugian yang dapat menimpa pengirim antara lain hilang, musnah, rusak, atau terlambat tibanya kargo, serta menunjukkan bahwa bentuk tanggung jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara adalah sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa, dimana pengirim yang mempunyai hak untuk menuntu pengangkut, meskipun Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat yang mengikatkan diri secara langsung dengan pengangkut.
(12)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dengan letak geografis antar pulau satu dan pulau lainnya berjauhan, kadangkala laut penghubung antara dua pulau lebih luas daripada pulau yang dipisahkannya. Namun demikian, secara politis semua yang ada di sisi bagian dalam garis pangkal merupakan satu kesatuan, karena Indonesia menggunakan penarikan
garis pangkal lurus (straight base line) dari titik terluar pulau terluar sehingga
Indonesia menurut Konvensi Hukum Laut 1982 disebut negara kepulauan
(archipelago state). Ketentuan ini menambah luas wilayah udara Indonesia
karena seperti dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udara yang
ada di atasnya, baik di atas daratan maupun di atas wilayah lautan.1
Untuk terjalinnya hubungan antar daerah yang luas tersebut, Indonesia membutuhkan sarana transportasi baik darat, sungai, laut, maupun udara. Pengangkutan udara merupakan pilihan untuk dikembangkan dalam upaya membuka keterisolasian daerah. Kebijakan untuk menjadikan pengangkutan udara sebagai sarana perhubungan dengan atau antar daerah terpencil ini sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
1 Toto. T. Suriaatmadja, Pengangkutan Kargo Udara, PT. Pustaka Bani Quraisy,
(13)
Pengangkutan udara merupakan suatu alternatif yang paling cocok untuk mengembangkan angkutan di negara berkembang seperti Indonesia karena mengingat kondisi geografis Indonesia. Kondisi geografi Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, membentang sepanjang katulistiwa dengan luas daratan dan lautan tidak kurang dari 8.746.000 km2 dan terletak antara dua Samudera.
Wilayah seluas itu bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, akan sama dengan seluruh daratan Amerika Serikat, bahkan propinsi Irian Jaya akan terletak di Samudera Atlantik.
Dari kondisi geografi semacam itu, jelas angkutan udara sangat berperan di dalam sarana angkutan bagi perekonomian Indonesia.
Melihat kondisi geografi sebagaimana dikemukakan di atas, serta kekayaan alamnya, penduduk yang berjumlah 147 juta jiwa di mana penyebaran penduduk yang tidak merata, lokasi industri dan sumber-sumber alam yang tersebar luas, memerlukan suatu jaring-jaring transportasi secara terpadu satu sama lain saling mengisi.
Transportasi di Indonesia dapat dilakukan melalui jaring-jaring jalan raya, baik angkutan propinsi ataupun angkutan kota, angkutan sungai, danau, dan feri, angkutan kereta api, angkutan laut, maupun angkutan udara.
Angkutan udara paling ekonomis dibandingkan dengan angkutan darat dan laut, walaupun untuk barang-barang tertentu tarifnya lebih tinggi. Apalagi kalau diingat, teminal atau pelabuhan di darat di negara-negara berkembang pada
(14)
umumnya berjejal-jejal yang akan mengakibatkan kelambatan dan mempengaruhi kenaikan ongkos.
Jaring-jaring angkutan udara untuk menghubungkan ibukota RI dengan
ibukota-ibukota propinsi dilakukan dengan angkutan udara Nusantara.2
Di samping itu, angkutan udara Nusantara juga menghubungkan ibukota RI dengan tempat-tempat tertentu yang secara ekonomis maupun politis mempunyai nilai potensial, di samping tempat-tempat yang secara politis dipandang rawan.
Dengan adanya jaring-jaring angkutan udara ini para pejabat, pedagang, industriawan, wisatawan dengan mudah melakukan beberapa pekerjaan yang tiba
gilirannya meninggikan hasil produksi nasional.3
Dari sini telah kita lihat bahwa pengangkutan udara mempermudah dalam melakukan transportasi antar pulau maupun daerah dengan waktu yang lebih singkat dan ekonomis. Pesawat udara memiliki kecepatan yang melebihi alat pengangkutan yang lain, seperti pengangkutan darat dan laut. Bepergian ke pulau lain atau dalam sebuah pulau yang berjarak jauh, apabila dilakukan dengan menggunakan pesawat udara akan menempuh waktu yang jauh lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan transportasi atau angkutan darat maupun laut.
2 K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, PT. Alumni,
Bandung, 1987, hal. 95 dan 103.
(15)
Dengan demikian, pengangkutan udara mempunyai peran yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional karena harus mampu menjadi jembatan penghubung dan membuka daerah-daerah terisolasi di dalam negeri , sehingga harus dapat menjadi sarana untuk pemerataan di segala bidang.
Selain itu, pentingnya pengangkutan udara dapat dilihat dari peningkatan sarana dan prasarana pengangkutan udara yang dari tahun ke tahun terus
meningkat.4
Perkembangan di bidang pengangkutan udara selain dialami oleh perkembangan dan peningkatan sarana dan prasarana, terjadi juga dalam penggunaan jasa pengangkutan udara.
Pada mulanya, pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut penumpang sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan hukum tentang tanggung jawab pengangkut pengangkut udara terhadap penumpang jauh lebih pesat daripada pertumbuhan tanggung jawab pengangkut terhadap kargo. Dalam
perkembangannya, pengangkutan kargo mulai menampakkan peranan penting.5
Pada tahun 1983/1984 pengguna jasa angkutan udara dalam negeri berjumlah 5.286.000 orang dan luar negeri berjumlah 1.048.943 orang. Pada tahun 1992/1993, keadaan tersebut meningkat menjadi 8.253.852 untuk pengangkutan dalam negeri, dan 1.889.283 orang untuk pengangkutan luar
4 Toto. T. Suriaatmadja, op.cit., hal. 2.
5 Toto Tohir Suriatmadja, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara
(16)
negeri. Walaupun terjadi krisis, tetapi sampai akhir tahun 1997 jumlah pengguna pengangkutan udara tetap meningkat yaitu pengangkutan dalam negeri berjumlah 13.558.000 orang dan pengangkutan luar negeri mencapai 3.498.000 orang.
Dalam pengangkutan kargo, perkembangan pengguna jasa angkutan udara terus meningkat seiring lajunya perkembangan di atas. Untuk pengangkutan kargo dalam negeri , dari kapasitas yang tersedia termanfaatkan 507.894.000 ton km untuk tahun 1988/1989 menjadi 668.492.000 ton km pada tahun 1992/1993; dan untuk pengangkutan kargo luar negeri termanfaatkan 1.224.623.000 ton km menjadi 1.555.034.000 ton km pada tahun 1992/1993, sedangkan sampai dengan tahun 1996/1997 untuk dalam negeri menjadi
984.874.000 ton km, dan untuk luar negeri menjadi 1.956.203.000 ton km.6
Perkembangan pengangkutan kargo tidak sepesat pengangkutan penumpang karena memang pada mulanya pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut penumpang. Akan tetapi, keadaan tersebut tidak menghalangi para perekayasa pesawat udara untuk tetap mengembangkan pesawat-pesawat yang mampu mengangkut kargo sesuai dengan kecenderungan yang terjadi yaitu
dengan penggunaan kontainer-kontainer standar.7
Meskipun perkembangan pengangkutan kargo tidak sepesat perkembangan penumpang, bukan berarti perusahaan-perusahaan pengangkutan tidak memberikan pelayanan yang baik bagi pengguna jasa angkutan kargo.
6 Op.cit., hal. 3.
(17)
Memang dalam hal pengangkutan udara, para perekayasa pesawat udara selain menciptakan inovasi dalam melayani pasar kargo, juga dilakukan dengan cara modifikasi pesawat yang sudah ada. Namun begitupun tidak selamanya pengangkutan udara dapat terselenggara dengan baik, sebab tidak mungkin menutup kemungkinan pula terjadinya hal-hal yang menyebabkan kerugian bagi pihak pengguna jasa angkutan kargo melalui pengangkutan udara. Kerugian-kerugian itu muncul karena rusak, hilang, atau musnahnya kargo yang diangkut.
Adanya kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan, kehilangan, dan/ atau kemusnahan kargo tersebut,maka harus ada pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kejadian tersebut.
Tanggung jawab atas pengguna jasa pengangkutan udara didasarkan pada perjanjian antar pengangkut dengan penumpang, sehingga apabila terjadi suatu hal yang menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa pengangkutan udara maka pihak pengangkut bisa dimintai pertanggungjawaban. Selama pengangkutan berlangsung, penguasaan pesawat beserta isinya ada di tangan pengangkut. Oleh sebab itu sudah menjadi jelas segala kerugian yang timbul karena kerusakan, kehilangan, dan/ atau kemusnahan kargo merupakan tanggung jawab pengangkut, kecuali kargo-kargo yang dalam hal:
1. Keadaan, kualitas atau kerusakan dari kargo sendiri;
2. Kesalahan dalam pembungkusan (packing) yang dilakukan bukan oleh
pengangkut, pekerjanya, atau agennya;
(18)
4. Suatu tindakan penguasaan sehubungan dengan masuk, keluar, dan transit
dari kargo;8
Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya. Tanggung jawab pengangkut udara terhadap pengguna jasa pengangkutan udara akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Dalam prakteknya, para pengguna jasa angkutan kargo sering kali menggunakan jasa Ekspeditur Muatan Pesawat Udara dalam hal pengangkutan kargo. Mereka membuat perjanjian dengan pihak Ekpeditur Muatan Pesawat Udara dalam perjanjian angkutan kargo melalui pengangkutan udara. Para pemakai jasa pengangkutan kargo ini memilih untuk menggunakan jasa Ekspeditur Muatan Pesawat Udara tersebut didasari dengan kepercayaan terhadap pihak ekspeditur bahwa Ekspeditur Muatan Pesawat Udara akan mampu menyelesaikan segala hal yang perlu untuk mengirimkan kargo sampai ke tujuan/ penerima kargo dalam keadaan yang baik seperti yang diharapkan.
Namun ketika kargo yang dikirim melalui pengangkutan udara sampai kepada penerima kargo dalam keadaan yang tidak seperti diharapkan, dalam arti kargo mengalami kerusakan, kehilangan, atau kemusnahan, sering kali terjadi penyimpangan tanggung jawab dari pihak Ekpedisi Muatan Pesawat Udara itu sendiri terhadap pengguna jasa angkutan kargo. Padahal, para pengguna jasa angkutan kargo itu telah menaruh kepercayaan kepada pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara untuk mengirimkan kargo sampai kepada penerima dalam
(19)
keadaan yang baik dengan mengadakan perjanjian angkutan kargo dengan pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menulisnya dalam sebuah penulisan skripsi dengan judul “ TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA (EMPU) DALAM PERJANJIAN ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA”. Penulis juga sangat mengharapkan agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis secara pribadi dan masyarakat pada umumnya.
B. Perumusan Masalah
Penulisan sebuah skripsi memerlukan pokok permasalahan agar penulisan ini tidak melebar ke arah yang tidak perlu. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan hukum antara pengguna jasa angkutan kargo dengan
pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat udara?
2. Apa saja bentuk-bentuk kerugian dalam angkutan kargo udara?
3. Bagaimana tanggung jawab pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat
Udara terhadap pengguna jasa angkutan kargo akibat kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan kargo?
(20)
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hubungan hukum yang terdapat antara pengguna jasa
angkutan kargo dengan pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat udara.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kerugian dalam angkutan kargo udara.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan
Pesawat Udara terhadap pengguna jasa angkutan kargo akibat kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan kargo.
D. Manfaat Penelitian
Penulis tentu saja mengharapkan agar penulisan karya ilmiah ini dapat membawa manfaat yang positif bagi semua pihak yang merasa berkepentingan dengan masalah yang akan dibahas di dalamnya. Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah khasanah ilmu pengetahuan transportasi udara Indonesia bagi
penulis, khususnya mengenai masalah pertanggungjawaban Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara terhadap pengguna jasa angkutan kargo sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi sesama mahasiswa.
2. Dapat memberikan gambaran kepada masyarakat pada umumnya baik secara
teori maupun secara praktek tentang tanggung jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU) dalam perjanjian angkutan kargo melalui pengangkutan udara.
(21)
3. Menjadi masukan kepada pihak Pengangkut dan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dalam hal pertanggungjawabannya kepada pengguna jasa angkutan kargo.
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam kegiatan sehari- hari, orang sering sekali beranggapan bahwa kata pengangkutan sama dengan kata “ transportasi”. Namun tidaklah bisa disamakan begitu saja. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis, sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian.
Secara etimologis, transportasi berasal dari bahasa latin, yaitu
transporter, trans berarti seberang atau sebelah lain; dan portare berarti
mengangkut atau membawa. Dapat didefinisikan transportasi sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/ atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Abdulkadir Muhammad mendefinisikan pengangkutan sebagai proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang
ditentukan.9
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 19.
Selanjutnya ia menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga
dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha (business), pengangkutan
(22)
Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Berdasarkan suatu perjanjian;
2) Kegiatan ekonomi di bidang jasa; 3) Berbentuk perusahaan;
4) Menggunakan alat angkut mekanik.
Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian dibawa menuju tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan.
Sarjana lainnya ada yang menyimpulkan bahwa pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.
Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya
bersifat lisan tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Perjanjian pengangkutan dapat pula dibuat
secara tertulis yang disebut carter (charterparty).10
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana H.M.N Purwosutjipto melihat dari perspektif hukum dengan menegaskan bahwa pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk
10
Hasim Purba, Hukum Pengangkutan Di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal. 4.
(23)
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar uang angkutan.11
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak disebutkan mengenai Pengangkutan udara. Namun Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 13 menyebutkan Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/ atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Pada dasarnya yang diangkut dengan angkutan udara adalah dominan untuk penumpang, di samping itu juga yang diangkut barang-barang yang bersifat segar, relatif ringan, dan bernilai tinggi.
Dalam sumber kepustakaan terdapat berbagai macam istilah untuk
menyebutkan barang-barang yang diangkut yaitu goods, merchandise,dan cargo.
Dalam pengangkutan udara berarti segala sesuatu benda dalam jenis apapun yang diangkut dengan pesawat, selain benda-benda pos, bagasi tangan, dan bagasi tercatat.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan menggunakan kata kargo. Pada Pasal 1 angka 23 disebutkan “kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan, atau barang yang tidak bertuan”. Alasan mengapa
11 H.M.N.Purwosutjipto; Pengertian Pokok Hukum Dagang (1) Pengetahuan Dasar
(24)
digunakan istilah kargo, pertama, kargo merupakan istilah yang bersifat lebih
netral; kedua, adanya kecenderungan penggunaan dalam konvensi-konvensi
tentang pengangkutan udara; dan ketiga, lebih dikenal oleh masyarakat baik oleh
perusahaan-perusahaan pengangkutan maupun oleh awam.
Menurut Suharto Abdul Majid & Eko Probo D. Warpani, kargo adalah semua barang yang dikirim melalui udara ( pesawat terbang ), laut (kapal) atau darat (truk kontainer) yang biasanya untuk diperdagangkan, baik antar wilayah/kota di dalam negeri maupun antar negara (internasional) yang dikenal dengan istilah ekspor-impor. Apapun jenisnya, semua barang kiriman – kecuali benda – benda pos dan bagasi penumpang – baik yang diperdagangkan (ekspor-impor) maupun untuk keperluan lainnya (non komersial) dikategorikan sebagai
kargo.12
Dalam usaha pengangkutan, adanya perantara merupakan hal yg lazim. Perantara-perantara itu kita jumpai dengan penunjukan ekspeditur. Dalam Pasal 86 ayat (1) Ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk mmenyelenggarakan pengangkutan barang dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau perairan. Khususnya di dalam pengangkutan udara, ekspeditur ini dikenal dengan istilah Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU). Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 1990 Ekspedisi Muatan Pesawat Udara adalah usaha pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut penerimaan dan penyerahan muatan
12
Eko Probo, Suharto Abdul Majid, Manajemen Pelayanan Darat Perusahaan
(25)
yang diangkut melalui udara untuk diserahkan kepada dan/ atau diterima dari perusahaan penerbangan untuk keperluan pemilik barang baik dalam maupun luar negeri, sedangkan perusahaan ekspedisi muatan pesawat udara adalah perusahaan yang kegiatannya khusus memberikan pelayanan di bidang jasa
ekspedisi muatan pesawat udara.13
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan untuk penulisan skripsi ini adalah
Metode Penelitian kepustakaan (Library research). Metode Penelitian
Kepustakaan adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang telah tersedia dalam perpustakaan. Bahan-bahan tersebut terbagi atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer dalam penulisan karya ilmiah ini antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) – staatblad 1939 No. 100. Adapun sumber atau bahan hukum primer yang didapat dalam penulisan skripsi ini dengan mempelajari dan memahami isi dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab Ekpedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU)
13
K. Martono, Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
(26)
dalam perjanjian angkutan kargo melalui pengangkutan udara yang dibahas dalam skripsi ini.
Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder ini meliputi buku-buku hukum termasuk skripsi, jurnal-jurnal hukum yang diperoleh dari pencarian lewat internet, juga buku tentang kargo. Sumber atau bahan hukum sekunder yang didapat dalam penulisan skripsi ini adalah
dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library reseeach).
Dengan metode ini penulis mencari dan mengumpulkan bahan tertulis dari buku-buku bacaan, Undang-Undang, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk dijadikan landasan berpikir dan tolak ukur bagi penulis dalam menganalisa masalah-masalah dalam penulisan skripsi ini.
E. Sistematika Penulisan
Suatu penulisan ilmiah perlu dibatasi ruang lingkupnya agar hasil yang diuraikan akan terarah dan data yang diperoleh relevan untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya.Untuk mempermudah serta membantu para pembaca dan peminat yang ingin memahami skripsi ini,penulis terlebih dahulu akan menguraikan secara singkat gambaran isi yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Secara sistematis penulis membaginya dalam lima bab dan tiap-tiap bab dibagi atas beberapa subbab sebagai berikut:
(27)
BAB I: PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang menguraikan apa yang menjadi latar belakang pemilihan penulisan skripsi ini, merumuskan masalah, memberikan tujuan penelitian, memberikan manfaat penulisan, menguraikan secara singkat tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA
Bab ini terbagi menjadi dua subbab. Subbab yang pertama menyajikan uraian teoritis secara umum tentang pengangkutan udara, perkembangan pengangkutan udara di Indonesia, menguraikan landasan hukum pengangkutan udara, dan dokumen-dokumen pengangkutan udara. Subbab yang kedua membahas mengenai pihak-pihak yang terkait dalam angkutan kargo, dokumen-dokumen dalam angkutan kargo,dan menguraikan perkembangan angkutan kargo melalui pengangkutan udara.
BAB III: PERIHAL PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA (EMPU)
Bab ini menguraikan pengaturan Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU), fungsi dan tugas Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU), membahas hubungan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dengan Perusahaan Ankutan Udara, serta
(28)
memnguraikan hak dan kewajiban Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
BAB IV: TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN EKSPEDISI MUATAN PESAWAT UDARA DALAM PERJANJIAN ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA
Dalam bab ini akan membahas mengenai hubungan hukum antara pengguna jasa angkutan kargo dengan pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU), menguraikan bentuk-bentuk kerugian dalam angkutan kargo udara, dan membahas tanggung jawab pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara terhadap pengguna jasa angkutan kargo.
BAB V: PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup. Dalam bab ini ditemukan kesimpulan yang berisikan jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dalam Bab I. Lalu penulis memberikan saran yang akan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya Hukum Dagang.
Pada bagian akhir skripsi ini juga akan dicantumkan daftar kepustakaan yang dipakai ditambah dengan lampiran yang dipandang perlu.
(29)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ANGKUTAN KARGO MELALUI PENGANGKUTAN UDARA
A.Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan Udara
1. Pengangkutan dan Pengangkutan Udara
Sangatlah penting peranan pengangkutan dalam dunia perniagaan, mengingat sarana ini sebagai angkutan dari produsen ke agen/ grosir, sampai ke konsumen. Dari pelabuhan ke gudang, dari tempat pelelangan ikan ke pasar, dan lain-lain.
Mustahil kalau ada suatu usaha perniagaan yang mengabaikan perlunya pengangkutan ini. Selain itu mengenai pengangkutan benda-benda tersebut yang diperlukan di tempat-tempat tertentu, dalam keadaan yang lengkap dan utuh serta padat tepat waktunya, tetapi juga mengenai pengangkutan orang-orang yang memberikan perantaraan pada pelaksanaan perusahaan. Ambillah misalnya seorang agen perniagaan, seorang pekerja berkeliling (handelsreziger), seorang komisioner. Mereka semuanya pada waktu tertentu tidak mungkin memenuhi prestasi-prestasinya tanpa alat pengangkutan; belum lagi terhitung bertambahnya orang-orang yang karena suatu hal misalnya untuk peninjauan di dalam atau di
luar negeri, mereka tentu memerlukan pengangkutan.14
Nilai suatu barang itu tidak hanya tergantung dari barang itu sendiri, tetapi juga tergantung pada tempat, dimana barang itu berada, misalnya di puncak atau di Cipanas, Jawa Barat, hampir tiap-tiap rumah petani sayuran
14
Sution Usman Adji, Joko Prakoso, dan Hari Pramono, Hukum Pengangkutan di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 1.
(30)
bertumpuklah sayuran kol dan sejenisnya sampai menggunung. Di sana harga sebuah kol sangat murah, tetapi setelah diangkut ke Jakarta, maka harga sebuah kol tersebut akan menjadi dua atau tiga kali lipat. Inilah jasa angkutan. Para pedagang mempergunakan jasa angkutan ini sebagai salah satu cara untuk mendapat keuntungan. Hal ini terjadi dimana-mana dan terhadap semua barang. Di tempat asal barang itu pada umumnya harganya murah, tetapi kalau sudah diangkut ke tempat lain, maka harga itu naik. Ke tempat mana barang itu harus diangkut untuk mendapat kenaikan harga yang setinggi-tingginya, adalah persoalan besar bagi pedagang yang bersangkutan. Dari contoh ini jelaslah sudah bahwa pengangkutan memegang peranan penting dalam lalu lintas perdagangan dalam masyarakat. Peranan pengangkutan dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, sebab tanpa pengangkutan, perusahaan tidak mungkin dapat berjalan. Barang-barang yang dihasilkan oleh produsen atau pabrik-pabrik dapat sampai di tangan pedagang atau pengusaha kepada konsumen juga harus mempergunakan jasa pengangkutan. Pengangkutan di sini dapat dilakukan oleh orang, kendaraan yang ditarik oleh binatang, kendaraan bermotor, kereta api, kapal laut, kapal
sungai, pesawat udara dan lain-lain.15
Dalam kegiatan sehari- hari, orang sering sekali beranggapan bahwa kata pengangkutan sama dengan kata “ transportasi”. Namun tidaklah bisa disamakan begitu saja. Pengangkutan lebih menekankan pada aspek yuridis, sedangkan transportasi lebih menekankan pada aspek kegiatan perekonomian. Namun
15
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang (3) Hukum
(31)
memang keduanya memiliki makna yang sama, yaitu kegiatan memindakan dengan menggunakan alat angkut. . Dengan demikian, transportasi berarti mengangkut atau membawa sesuatu ke sebelah lain atau dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini berarti bahwa transportasi merupakan jasa yang diberikan untuk menolong orang atau barang untuk dibawa dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Sehingga transportasi dapat didefinisikan sebagai usaha dan kegiatan mengangkut atau membawa barang dan/ atau penumpang dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Abdulkadir Muhammad mendefinisikan pengangkutan sebagai proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang
ditentukan.16
Pengangkutan sebagai usaha memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Selanjutnya ia menambahkan bahwa pengangkutan memiliki tiga
dimensi pokok, yaitu pengangkutan sebagai usaha (business), pengangkutan
sebagai perjanjian (agreement), dan pengangkutan sebagai proses (process).
1) Berdasarkan suatu perjanjian; 2) Kegiatan ekonomi di bidang jasa; 3) Berbentuk perusahaan;
4) Menggunakan alat angkut mekanik.
Pengangkutan sebagai suatu proses mengandung makna sebagai serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian
(32)
dibawa menuju tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Sedangkan pendapat lain menyatakan pengangkutan niaga adalah rangkaian kegiatan atau peristiwa pemindahan penumpang dan/ atau barang dari suatu tempat pemuatan ke tempat tujuan sebagai tempat penurunan penumpang atau pembongkaran barang.
Rangkaian kegiatan pemindahan tersebut meliputi: a) Dalam arti luas, terdiri dari:
1. memuat penumpang dan/ atau barang ke dalam alat pengangkut 2. membawa penumpang dan/ atau barang ke tempat tujuan
3. menurunkan penumpang atau membongkar barang-barang di tempat tujuan.
b) Dalam arti sempit, meliputi kegiatan membawa penumpang dan/ atau barang dari stasiun/ terminal/ pelabuhan/ Bandar udara ke tempat tujuan.
Sarjana lainnya ada yang menyimpulkan bahwa pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.
Sedangkan pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), pada umumnya
bersifat lisan tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian itu sudah terjadi. Perjanjian pengangkutan dapat pula dibuat
secara tertulis yang disebut carter (charterparty).17
17
(33)
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim, dimana H.M.N Purwosutjipto melihat dari perspektif hukum dengan menegaskan bahwa pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar uang angkutan.18
Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah pengangkut dan pengirim. Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah pihak, baik pengangkut maupun pengirim masing-masing mempunyai kewajiban sendiri-sendiri. Kewajiban pengangkut ialah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/ atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan. Istilah “menyelenggarakan pengangkutan” berarti, bahwa pengangkutan itu dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya. Istilah “dengan selamat” mengandung arti, bila pengangkutan berjalan dengan “tidak selamat” itu menjadi tanggung jawab pengangkut. Keadaan “tidak selamat” ini hanya mempunyai dua arti, yaitu barangnya tidak ada, lenyap atau musnah, sedang arti kedua ialah barangnya ada, tetapi rusak sebagian atau seluruhnya.barangnya itu tidak ada mungkin disebabkan karena terbakar, tenggelam, mungkin sengaja dilempar ke laut, dicuri orang atau karena sebab lain. Kalau barang itu rusak, baik sebagian atau
(34)
seluruhnya, sedemikian rupa sehingga barang itu tidak bias dipergunakan sebagaimana mestinya. Sehingga jelas bahwa kewajiban utama pengangkut adalah mengangkut barang sampai dengan selamat untuk diserahkan kepada si penerima (Pasal 1235 jo Pasal 1338 ayat 1 dan 3 KUH Perdata).
Kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan sebagi kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut. Di
tempat tujuan, barang diterima oleh penerima, yang mungkin si pengirim sendiri
atau orang lain.19
Secara yuridis defenisi atau pengertian pengangkutan pada umumnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Walaupun begitu, kita masih dapat menemukan arti dari pengangkut yakni dalam Pasal 466 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berbunyi, “ pengangkut dalam arti bab ini ialah barangsiapa yang baik dengan carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikutkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan”.
Fungsi pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Di sini jelas, meningkatnya daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak
(35)
hanya berlaku di dunia perdagangan saja, tetapi juga berlaku di bidang
pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain.20
Berbicara tentang fungsi pengangkutan, selanjutnya Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan vital karena didasari oleh berbagai faktor seperti:
a. Keadaan geografis Indonesia, yaitu berupa daratan yang terdiri dari
beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan berupa perairan yang terdiri dari sebagian besar laut dan sungai serta danau yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah negara. Kondisi angkutan tiga jalur tersebut mendorong dan menjadi alasan penggunaan alat pengangkut modern yang digerakkan secara mekanik.
b. Untuk menunjang pembangunan berbagai sektor.
Kemajuan dan kelancaran pengangkutan akan menunjang pelaksanaan pembangunan berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan dan distribusi hasil pembangunan berbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air, misalnya sektor industry, perdagangan, pariwisata, pendidikan.
c. Mendekatkan jarak antara desa dan kota
20
(36)
Lancarnya pengangkutan berarti mendekatkan jarak antara desa dan kota, dan ini akan member dampak bahwa untuk bekerja ke kota tidak harus pindah ke kota, mereka yang tinggal di kota tidak perlu khawatir dipekerjakan di daerah luar kota, informasi timbal balik yang cepat desa dan kota. Pola hidup di daerah pedesaan cenderung mengikuti pola hidup di daerah perkotaan. Tingkat berpikir dan ingin maju warga desa dapat tumbuh lebih cepat.
d. Untuk perkembangan ilmu dan teknologi
Perkembangan di bidang pengangkutan mendorong perkembangan pendidikan di bidang ilmu dan teknologi pengangkutan modern, sarana dan prasarana angkutan modern, dan hukum pengangkutan modern terutama mengenai perkerataapian, perkapalan, pesawat udara dan sumber daya
manusianya.21
Dari sini dapat kita lihat tujuan pengangkutan itu adalah untuk memperlancar arus perpindahan orang dan/ atau barang melalui darat, perairan maupun udara dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan mendorong stabilitas pembangunan nasional, menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas pembangunan nasional, memantapkan keutuhan dan persatuan nasional serta mempererat hubungan antar bangsa.
21
(37)
Pengangkutan adalah hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur, yakni tanah yang subur, kerja keras, dan kelancaran pengangkutan
orang dan barang dari satu bagian negara ke bagian bagian lainnya.22
Adapun jenis-jenis pengangkutan yang ada adalah yang disesuaikan dengan alat angkut yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan pengangkutan. H.M.N. Purwosutjipto membagi macam-macam pengangkutan dalam empat kelompok yang terdiri dari: pengangkutan darat; pengangkutan laut; pengangkutan udara; dan penngkutan
perairan darat.23 Sution Usman Adji dkk secara umum membedakan jenis-jenis
pengangkutan itu atas: pengangkutan udara, pengangkutan perairan darat, pengangkutan dengan kendaraan bermotor dan kereta api, dan pengangkutan di
laut.24
1. Pengangkutan darat:
Kemudian Ridwan Khairandy mengklasifikasikan macam-macam moda pengangkutan sebagai berikut:
a. Pengangkutan melalui jalan (raya);
b. Pengangkutan dengan kereta api.
2. Pengangkutan Laut
3. Pengangkutan Udara.25
22
M.N Nasution, Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal 3.
23
H.M.N Purwosutjipto, op.cit., hal. 2-3.
24
Sution Usman Adji dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
25
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UUI Press, Yogyakarta, 2006, hal. 179.
(38)
Hasim Purba cenderung membedakan jenis-jenis pengangkutan itu sebagai berikut:
a. Pengangkutan di darat, yang terdiri dari:
1. Pengankutan dengan kendaraan bermotor
2. Pengangkutan dengan kereta api
3. Pengangkutan dengan tenaga hewan
b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari:
1. Pengangkutan di laut
2. Pengangkutan di sungai dan danau
3. Pengangkutan penyeberangan
c. Pengangkutan udara.26
Pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan. Dalam Konvensi Warsawa 1929,
menyebut pengangkut udara dengan istilah carrier, akan tetapi Konvensi
Warsawa tidak memberitahu suatu batasan atau defenisi tertentu tentang istilah
pengangkut udara atau carrier ini.
Pada dasarnya yang diangkut dengan angkutan udara adalah dominan untuk penumpang, di samping itu juga yang diangkut barang – barang yang bersifat segar, relatif ringan, dan bernilai tinggi. Angkutan udara memerlukan
airport maupun airways. Airways adalah jalan yang diperuntukkan bagi pesawat
terbang yang melalui ruang udara atau angkasa sepanjang mana pesawat terbang
26
(39)
dijalankan untuk bergerak atau terbang dari satu pelabuhan ke pelabuhan
lainnya.27
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 13 menyebutkan Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/ atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.
Alat angkut dalam angkutan udara adalah pesawat terbang. Di sini perlulah dikemukakan pengertian atau defenisi pesawat udara dan pesawat terbang mengingat di dalam praktik seringkali terjadi kesalahan memahami pesawat udara yang terkadang rancu dengan pesawat terbang atau kapal udara.
Menurut Annex 6 dan 7.3 Konvensi Chicago 1944 yang telah
dimodifikasi pada tanggal 18 Nopember 1967, pesawat udara (aircraft):
“… any machine that can derive support in the atmosphere from the
reaction of the air against the earth’s suface…”.
Batasan ini digunakan sejak Konvensi Perancis 1919 yang menyebutkan
pesawat udara sebagai a machine which can derive support in the atmosphere
from the reaction of the air… . Batasan terakhir ini juga diterima dalam
Konvensi Chicago 1944 sebelum dimodifikasi pada tahun 1967.
27
Sinta Uli, Pengangkutan, Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan
(40)
Pesawat udara dalam arti luas tersebut mencakup pesawat terbang, helikopter, pesawat terbang layang, layangan, dan balon yang bebas dan dikendalikan seperti yang digunakan untuk bidang meteorologi.
Penambahan kata-kata pada batasan Konvensi Chicago 1944 di atas yang
diadakan pada tahun 1967, yaitu order that the reaction of the air against earth’s
surface dimaksudkan untuk mengecualikan hovercraft ke dalam defenisi pesawat
udara. Jadi penambahan kata-kata tersebut dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi penerbangan dan perkapalan, khususnya dengan adanya penemuan air
cushion craft (hovercraft).
Perubahan defenisi pesawat udara berdasar Konvensi Chicago tersebut ternyata belum diadopsi oleh UU No. 15 Tahun 1992. Pasal 1 UU No. 15 Tahun 1992 mendefenisikan pesawat udara sebagai setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena adanya daya tarik dari reaksi bumi. Sedangkan pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, dengan sayap tetap dan mampu
terbang dengan kekuatannya sendiri.28
Lebih maju dapat kita temui pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang menuliskan bahwa pesawat udara setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Sedangkan pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.
28
(41)
Sehingga pada hakekatnya pengangkutan udara adalah kegiatan mengangkut orang dan/ atau barang dengan menggunakan pesawat udara.
2. Perkembangan Pengangkutan Udara di Indonesia
Sebelum Kemerdekaan
Perkembangan transportasi atau pengangkutan udara di Indonesia tidak terlepas dari sejarah transportasi atau pengangkutan udara Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia. Setelah Perang Dunia I, negara-negara di Eropa (termasuk Belanda) berlomba-lomba menghubungkan daerah jajahan mereka dengan negerinya. Dalam rangka untuk menghubungkan negerinya dengan daerah jajahannya tersebut (K. Marsono SH, LLM, Transtel Indonesia 1996:32), Belanda mengadakan penerbangan pertama ke Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1924 yang dilakukan oleh kapten penerbang A. N. G. Thomassen. Penerbangan tersebut mendarat di Cililitan, yang sekarang bernama Halim Perdana Kusuma Internasional Airport pada tanggal 24 November 1924 dengan menggunakan pesawat uadara jenis Fokker 7b.
Penerbangan komersial pertama dilakukan oleh KLM yang kembali ke Netherlands pada tanggal 23 Juli 1927, dimana penerbangan tersebut digunakan untuk mengangkut surat-surat dan kartu-kartu natal. Perusahaan ini (KLM) mempunyai tugas untuk menghubungkan Netherlands dan East Indies (Indonesia) sebagai angkutan udara internasional. Untuk angkutan udara dalam negeri East Indies (Indonesia), sebuah perusahaan penerbangan “The Royal Air
(42)
Transportation Company” diberi konsesi untuk mendirikan “Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij” (KNILM) yang diberi hak monopoli untuk melakukan angkutan udara di Indonesia, KNILM didirikan pada
tanggal 15 Februari 1928.29
Sesudah Kemerdekaan
Pada tahun 1947, Direktorat penerbangan Sipil, Seksi Angkutan Udara Republik Indonesia yang dikepalai oleh A.R. Soehoed, mengirim R 1001 “Seulawah” ke Calcutta, India. Pengiriman tersebut dimaksudkan untuk menambah tangki bensin agar dapat melakukan penerbangan lebih jauh. Namun karena keadaan perang pada waktu itu, pesawat tersebut tidak mungkin kembali ke Indonesia, maka pesawat udara tersebut diterbangkan ke Birma untuk dioperasikan di sana.
Kegiatan operasi penerbangan di Birma sepenuhnya merupakan penerbangan niaga dengan konsesi penerbangan carter. Penerbangan inilah yang merupakan angkutan udara komersial pertama yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pesawat itu kembali ke Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 1950 didirikan perusahaan penerbangan dengan
nama Garuda Indonesia Airways N. V.30
29
http
Perusahaan penerbangan tersebut didirikan dengan modal gabungan antara pemerintah Republik Indonesia dengan KLM. Dalam perkembangan selanjutnya perusahaan penerbangan tersebut
30
K. Martono SH, LLM, dalam tulisannya Sistem Penyelenggaraan Angkutan Udara di Indonesia, Transtel Indonesia, 1996, hal. 33.
(43)
dinasionalisasikan oleh pemerintah. Disamping Garuda Indonesia Airways, pemerintah Indonesia pada tahun 1962 mendirikan pula sebuah perusahaan penerbangan bernama PN (sekarang PT) Merpati Nusantara Airlines yang
ditugaskan terutama untuk melakukan penerbangan dalam negeri (lokal).31
Sesuai dengan kebijaksanaan multi airlines system (sistem banyak perusahaan penerbangan) sejak tahun 1971, lahirlah perusahaan-perusahaan penerbangan nasional, baik penerbangan berjadwal maupun tidak berjadwal. Walaupun permintaan transportasi udara telah terpenuhi, namun armada perlu lebih ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, pemerintah membuka kesempatan bagi penerbangan umum untuk melayani kebutuhan angkutan udara perusahaan bersangkutan. Di samping penerbangan reguler tersebut, terdapat pula penerbangan haji untuk menunjang kebebasan beragama, transmigrasi untuk membantu program nasional penyebaran penduduk, penerbangan perintis untuk membuka daerah terisolir dan penerbangan individu maupun olahraga untuk mengembangkan kesadaran udara.
Perkembangan Rute Penerbangan
Sebagaimana ditetapkan pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan, pembagian rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dasar pertimbangan pembagian rute penerbangan antara lain status atau sifat perusahaan, keseimbangan supply dan
31
(44)
demand, kepemilikan atau penguasaan pesawat subsidi silang, pangkalan induk
(home base), dan kemampuan bandara.32
Pada pasar jasa penerbangan di Indonesia, dewasa ini menghadapi persaingan yang semakin ketat. Dengan adanya deregulasi di bidang penerbangan, kenaikan harga minyak, serta bayangan resesi, menambah tingkat persaingan untuk bekerja dengan lebih efisien lagi. Rute penerbangan merupakan satu hal yang vital bagi perusahaan penerbangan, karena dari segi pengoperasian rute penerbangan inilah didapat revenue perusahaan. Dengan demikian, perusahaan dituntut untuk melakukan penanganan yang lebih serius dalam penentuan rute yang harus dilaluinya dengan jenis pesawat yang akan dipergunakan dalam melayani rute tersebut.
Jalur atau rute penerbangan di Indonesia terdiri dari jalur penerbangan dalam negeri (domestik), jalur penerbangan perintis dan jalur penerbangan luar negeri. Jalur penerbangan dalam negeri yang dilayani perusahaan penerbangan berjadwal menghubungkan semua kota-kota besar di seluruh Indonesia. Setiap perusahaan penerbangan berjadwal melayani jalur penerbangan yang berbeda dari jalur penerbangan perusahaan penerbangan berjadwal lain.
Jadwal yang sesuai dengan kebutuhan penumpang merupakan salah satu hal yang penting. Sebagai dasar bagi mereka untuk melakukan pemilihan pemakaian penerbangan. Untuk itu perusahaan penerbangan harus dapat mengatur penerbangan hingga dapat memberikan kepuasan kepada penumpang, yaitu berupa kesempatan yang lebih besar untuk melakukan perjalanan sesuai
32
(45)
dengan waktu yang diperlukan yang dapat memberikan keuntungan maksimum kepada perusahaan penerbangan tersebut.
Sejalan dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, yaitu jalur penerbangan dalam negeri terus ditambah dari 115 rute pada tahun 1974 menjadi 240 rute pada akhir tahun 1992, yang menghubungkan 27 ibukota propinsi, 228 kota kabupaten dan 246 kota kecamatan. Beberapa jalur penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota yang lalu lintas penumpangnya padat dapat dilakukan dengan penerbangan shuttle, yaitu pesawat terbang yang berdinas atau melakukan perjalanan pulang-pergi, seperti antara Jakarta-Surabaya, Jakarta-Semarang, Jakarta-Medan, dan Jakarta-Palembang.
Dengan kepadatan jumlah penumpang pada jalur-jalur tertentu seperti tersebut di atas, maka frekuensi penerbangan ditambah menjadi lebih dari tiga kali sehari atau lebih dari lima kali sehari apabila pada waktu libur. Pada saat ini terdapat tidak kurang dari dua puluh sembilan perusahaan penerbangan nasional yang diberi konsesi penerbangan berjadwal. Dua buah perusahaan berjadwal adalah milik pemerintah (Garuda Indonesia Airways dan Merpati Nusantara
Airlines), sedangkan sisanya milik perusahaan penerbangan nasional.33
Sejalan dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, jaringan penerbangan dalam negeri terus ditambah, beberapa jalur penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota lain yang lalu lintas penumpangnya
33
(46)
padat dilakukan dengan penerbangan shuttle, seperti rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang. Dimana pada rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang, jumlah penumpangnya terus meningkat sehingga frekuensi penerbangan ditambah menjadi lima kali dalam satu hari.
Sesuai dengan kebijaksanaan yang diambil Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, pada prinsipnya pihak swasta diberi kesempatan untuk lebih banyak dalam penyediaan kapasitas angkutan udara. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Jalur penerbangan perintis yang dilayani oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah (BUMN) seperti PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara memiliki frekuensi dan kemampuan penerbangan lebih besar dibandingkan dengan perusahaan penerbangan swasta yang tidak berjadwal. Jalur penerbangan perintis dibuka dibeberapa daerah yang semula terisolasi, seperti Irian Jaya, Maluku, Kalimantan, NTT, NTB dan pantai barat Sumatera. Penerbangan perintis antar daerah hampir tidak ada, sebab penerbangan antar daerah sudah dilayani penerbangan berjadwal, dan sudah lebih dari delapan
puluh lokasi dicakup dalam jaringan penerbangan perintis.34
3. Landasan Hukum Pengangkutan Udara
Dalam dunia pengangkutan yang paling pertama berkembang sesuai dengan kemampuan manusia adalah pengangkutan darat. Hal ini tidak berbeda
34
(47)
jauh dengan kehidupan manusia pada umumnya. Penjelajahan pertama yang dapat dilakukan oleh manusia adalah di darat, selanjutnya di air ( berenang ). Tidak ada orang yang belum pernah menginjak tanah sudah dapat berenang, kecuali mungkin Suku Laut ( nomaden sea ). Pengangkutan darat terdiri dari banyak ragam mulai dari manusia, gerobak, sepeda angin, mobil, dan kereta api. Dengan demikian tidak mengherankan kalau Hukum Pengangkutan yang berkembang lebih awal terletak pada 2 moda, yaitu Hukum Pengangkutan Darat dan hukum Pengangkutan Laut.
Sementara itu, Hukum Pengangkutan Udara merupakan moda yang paling terakhir berkembang di antara Hukum Pengangkutan lainnya. Pada mulanya, pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut penumpang.
Konvensi pertama yang mengatur pengangkutan udara internasional dimulai pada tahun 1919 yang disebut Konvensi Paris. Akan tetapi, konvensi ini tidak dapat diterima oleh banyak negara menyebabkan tidak terpenuhinya jumlah peserta yang disyaratkan untuk berlakunya Konvensi. Oleh karena itu, Konvensi ini tidak pernah berlaku. Namun demikian, ada beberapa negara yang telah memasukkan ketentuan dari Konvensi ini ke dalam perundang-undangan
nasionalnya. Air Navigation Act, 1920, di Inggris misalnya, merupakan contoh
negara yang melakukan hal tersebut. Sementara itu di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1919 telah dimulai pengaturan tentang pengangkutan kargo yang dilakukan oleh Cargo Aviation Buerau ( CAB ). Pada tahun 1928, negara-negara Amerika telah membentuk suatu Konvensi yaitu Pan America Aviation Convention yang ditetapkan di Havana – Cuba.
(48)
Sebelum lahirnya konvensi-konvensi tentang pengangkutan udara, tanggung jawab pengangkut pada mulanya menerapkan aturan-aturan secara analog dari bidang Hukum lain, terutama dari bidang Hukum Perdata khususnya bidang Hukum Pengangkutan. Namun ternyata dalam penerapan demikian menimbulkan ketidakpuasan karena adanya perbedaan prinsip dan situasi dari tiap moda angkutan. Oleh karena itu, tidak mengherankan perkembangan Hukum Pengangkutan Udara sangat dipengaruhi oleh konvensi-konvensi itu di bidang pengangkutan lainnya seperti Konvensi Brussel 1924 tentang Bill of Lading dalam pengangkutan di laut dan oleh Konvensi Warsawa 1929 Tentang Pengangkutan Kargo oleh Kereta Api. Hal tersebut dapat terlihat terutama dalam hal adanya kemiripan dalam dokumen-dokumen, batasan mengenai kapan mulai dan berakhirnya tanggung jawab pengangkut dalam konvensi-konvensi pengangkutan tersebut, meskipun tetap ada perbedaan dalam detailnya. Hal ini diakui oleh para ahli hukum udara, bahwa problem yang timbul dari pengangkutan adalah di sekitar kontrak pengangkutan, tanggung jawab
pengangkut, dan Mortgages.
Upaya-upaya yang lebih terarah dimulai ketika pada Oktober dan November 1925, Pemerintah Perancis menyelenggarakan konferensi internasional yang menghasilkan draft suatu Konvensi tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara, yang dikenal dengan CITEJA (Committee International Technique d’ Experts Juridiques Aerines) yang bertugas melakukan perubahan-perubahan tentang aturan tanggung jawab pengangkut secara bertahap.
(49)
Pada mulanya Konvensi tentang Kargo dan Penumpang akan dibuat secara terpisah, tetapi karena menginggat pertimbangan ekonomis dan kesatuan (uniform) maka akhirnya pengaturan keduanya, kargo dan penumpang, disatukan. Pimpinan sidang pada Konferensi Warsawa menyatakan bahwa suatu Konvensi merupakan atau dibentuk atas Konsesi yang seimbang (mutual consession). Oleh karena itu, dipandang perlu dibuat sistem hukum yang seimbang dan bebas. Sikap itulah yang menyebabkan Konferensi Warsawa berhasil disahkan.
Hampir semua penulis menyatakan bahwa maksud Konvensi adalah untuk adanya keseragaman penerapan dan penggunaan hukum dalam pengangkutan udara. Alasan penting lainnya adalah untuk menetapkan aturan tanggung jawab yang pasti secara benar berfungsi juga sebagai pemberitahuan dalam masalah tanggung jawab pengangkut kepada pengguna jasa.
Konvensi Warsawa 1929 biasa disebut sebagai pengakhiran dari suatu
conflict of Law yang timbul dalam pengangkutan internasional. Hasil penting
dari Konvensi ini adalah kesearagaman dalam aturan hak-hak penumpang dan pengirim / penerima kargo dalam pengangkutan udara, keseragaman tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan udara internasional serta istilah-istilah dalam kontrak.
Konvensi Warsawa kemudian diperbaharui dengan The Hague Protocol,
1955 yang mengubah beberapa peraturan dalam Konvensi Warsawa 1929. Protokol The Hague 1955 bertujuan untuk, antara lain, menyederhanakan persyaratan dokumen pengangkutan ; meniadakan hak pembebasan diri dan
(50)
tanggung jawab pengangkut ; dan , menghilangkan kesulitan-kesulitan di dalam
menafsirkan kata-kata wilfulmisconduct. Konvensi Guadalajara, 1961, antara lain
berisi ; menghilangkan ketidaktentuan arti pengangkut yaitu pengangkut dapat berupa pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan pengguna (contracting carrier) maupun yang sesungguhnya melaksanakan pengangkutan / pengangkut sejati (actual carrier). Montreal Agreement, 1966, antara lain berisi ; penerapan prinsip tanggung jawab mutlak dan dapat mengadakan asuransi tambahan bagi penerbangan yang menuju ke, berangkat dari, atau yang melewati wilayah Amerika Serikat. Protokol Guatemala City, 1971 : Adanya kenaikan otomatis limit ganti rugi ; menyederhanakan persyaratan-persyaratan dokumen pengangkutan. London Agreeement, 1974, berisi antara lain ; menaikkan limit tanggung jawab. Sementara itu, Protokol Montreal 1975 Nomor 4 yang khusus untuk pengangkutan kargo bertujuan untuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak yang tidak dapat dilampaui, dan alas an pembebasan tanggung jawab bagi pengangkut.
Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya berhubungan dengan :
a. Menghilangkan hambatan yang merugikan pengguna, baik secara istilah
maupun penyederhanaan dokumen,
b. Kenaikan ganti kerugian disertai batasan yang tidak dapat dilampaui
(51)
c. Diakuinya pengangkut sejati (actual carrier) dan pengangkut penutup kontrak (contracting carrier).
d. Dianutnya prinsip tanggung jawab mutlak baik yang terbatas (strict
liability) maupun yang tidak terbatas (absolute liability)35
Dengan demikian, perubahan yang dilakukan pada dasarnya lebih memberikan keuntungan kepada pengguna. Hal ini tidak mengherankan karena pengangkutan udara semakin hari semakin berkembang dari segi teknologi pesawat, permodalan, manajemen perusahaan dan keselamatan penerbangan. Pada tahun 1999, telah berhasil dibuat satu konvensi baru yaitu Konvensi Montreal 1999, namun sampai saat ini belum berlaku karena belum terpenuhinya syarat peserta untuk berlakunya konvensi. Sehingga yang berlaku sampai saat ini adalah Perjanjian Warsawa atau yang dikenal dengan Konvensi Warsawa.
Namun Perjanjian Warsawa ini tidak berlaku begitu saja. Perjanjian Warsawa ini merupakan peraturan khusus tentang Pengangkutan Udara. Ia tetap memberi ruang untuk ditaatinya Ordonansi pengangkutan Udara (OPU). Hal ini dikarenakan OPU merupakan peraturan umum, sedangkan Perjanjian Warsawa
merupakan peraturan khusus. Mengenai ketentuan ini dianut asas “ lex specialis
derogate lex generali” (hukum khusus menghapus berlakunya hukum umum).
Sehingga hal-hal yang tidak ada ditentukan atau diatur di dalam Perjanjian Warsawa harus menuruti apa yang diatur di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara. seperti yang tercantum pada Pasal 1 OPU bahwa, ”ketentuan-ketentuan
35
(52)
dalam Ordonansi Pengangkutan Udara berlaku, apabila tidak berlaku ketentuan lain menurut Perjanjian Warsawa.
OPU ini ditujukan untuk mengatur pengangkutan udara, tetapi tidak semua pengangkutan udara tunduk pada peraturan ini (Pasal 2 OPU). Ada beberapa jenis pengangkutan, dimana OPU tidak berlaku, yaitu:
a. Pengangkutan udara tanpa bayaran, yang tidak diselenggarakan oleh suatu
perusahaan pengangkutan udara;
b. Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan
pengangkutan udara sebagai suatu percobaan pertama, berhubung dengan maksud untuk mengadakan lin (lijn, line) penerbangan teratur;
c. Pengangkutan udara yang dilakukan dalam keadaan luar biasa, menyimpang
dari usaha yang normal dari suatu perusahaan penerbangan;
d. Pengangkutan pos dan paket melalui udara yang dilaksanakan atas
permintaan dari atau atas nama penguasa yang berwenang;
e. Pengangkutan udara yang dilakukan oleh pesawat-pesawat terbang militer,
pabean, dan polisi.36
Untuk Indonesia terdapat beberapa peraturan yang perlu diperhatikan mengenai landasan hukum pengangkutan udara yaitu:
1) UU No. 83 Tahun 1958 (LN 1958 - 159), tentang “Penerbangan”. Di dalam
Undang-Undang ini diatur tentang: larangan penerbangan, pendaftaran dan kebangsaan pesawat-pesawat udara, surat tanda kelaikan dan kecakapan
36
(53)
terbang, lapangan terbang, Dewan Penerbangan dan lain-lain. Undang-Undang ini telah dicabut dengan munculnya UU No. 15 Tahun 1992. Kemudian UU itu pun dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
2) Luchtverkeersverordening (S. 1936 - 425), yang mengatur lalu lintas udara,
misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain.
3) Verordening Toezicht Lucthtvaart (S. 1936 - 426), yang merupakan peraturan
pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personil penerbangan, selanjutnya pemeriksaan sebab-sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di wilayah Indonesia dan lain-lain.
4) Luchtvaartquarantine Ordonnantie (S. 1939 - 149, jo S.1939 – 150) yang
mengatur persoalann-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang-penumpang pesawat terbang;
5) Luchtvervoerordonnantie (S. 1939 - 100), Ordonansi Pengangkutan udara,
yang mengatur pengangkutan penumpang, bagasi, dan pengangkutan barang serta pertanggungjawaban pengangkutan udara. Pada Ordonansi inilah negara-negara di dunia tunduk secara global (umum), termasuk Indonesia. Kecuali jika telah ada peratutran khusus yang dibuat oleh masing-masing negara.
(54)
6) Di samping itu ada perjanjian internasional khusus yang dihasilkan oleh International Air Transport Association (IATA) dalam bentuk General Condition of Carriage.
4. Dokumen – Dokumen Pengangkutan Udara
Dokumen dalam pengangkutan udara terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Tiket penumpang
Tiket penumpang adalah tanda bukti bahwa seseorang telaah membayar uang angkutan dan akibatnya berhak naik pesawat udara sebagai penumpang. Tiket penumpang juga menjadi tanda bukti telah ditutupnya perjanjian angkutan udara antara pengangkut dan penumpang. Jadi penumpang adalah salah satu pihak dalam perjanjian pengangkutan udara, sedangkan pihak lawannyaadalah pengangkut udara. Tiket penumpang merupakan syarat dalam perjanjian pengangkutan udara, tetapi bukan merupakan syarat mutlak sebab tidak adanya tiket penumpang tidak berarti tidak adanya perjanjian pengangkutan udara (pasal 5 ayat 2 OPU). Jadi pengangkutan udara bersifat konsensuil, dimana perjanjian itu harus dibuktikan dengan adanya tiket penumpang. Kalau tiket penumpang tidak ada, salah dibuat,atau hilang, maka perjanjian pengangkutan udara dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain.
Dengan sifat konsensuil yang dimiliki oleh perjanjian pengangkutan udara dan tiket penumpang bukanlah syarat mutlak bagi seorang penumpang, tidak berarti bahwa tiket merupakan syarat yang tidak perlu ada. hal ini demikian karena dalam pasal 5 ayat 1 OPU, pengangkut diharuskan memberika tiket
(55)
penumpang kepada setiap penumpang. Apabila pengangkut menerima seorang penumpang tanpa tiket penumpang, maka pengangkut tidak berhak mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam OPU yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (pasal 5 ayat 2 dalam kalimat terakhir).
Tiket penumpang memuat:
a. Tempat dan tanggal pemberian;
b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
c. Pendaratan yang direncanakan dengan mengingat hak pengangkut untuk
mengadakan perubahan-perubahan bila perlu;
d. Nama dan alamat pengangkut udara;
e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada
ketentuan-ketentuan tanggung jawab yang diatur dalam OPU dan perjanjian Warsawa (pasal 5 ayat 1 OPU).
Setelah kita melihat ketentuan di atas, tampak bahwa nama penumpang tidak harus ditulis dalam tiket penumpang itu. Tetapi dalam praktek nama penumpang itu selalu dituliskan dalam tiket, untuk alasan ketertiban dan keamanan.Dan memang diharuskan demikian karena berkaitan dengan syarat-syarat khusus dari perusahaan pengangkutan udara yang bersangkutan, misalnya peraturan khusus pada perusahaan Garuda Indonesia Airlines yang berbunyi, “ 2 (dua) tiket penumpang ini hanya dapat dipergunakan oleh orang yang namanya tertera di atasnya, dan tidak dapat dipergunakan oleh orang lain. Penumpang menyetujui bahwa bila perlu pengangku dapat memeriksa apakah tiket ini benar-benar dipakai oleh orang yang berhak. Jika tiket ini diperguanakan atau dicoba
(56)
untuk dipergunakan oleh orang lain daripada yang namanya tersebut dalam tiket ini, maka pengangkut berhal menolak pengangkutan orang ini, serta hak pengangkutan dengan tiket oleh orang yang berhak menjadi batal”.
Jadi untuk kepentingan ketertiban penumpang, yang bersangkutan tidak perlu dinyatakan tiket ini merupakan perjanjian pengangkutan udara tetapi tiket itu merupakan tanda bukti adanya pengangkutan udara, yang bersifat konsensuil.
2. Tiket bagasi
Tiket bagasi mencantumkan barang-barang yang dibawa oleh penumpang dalam perjanjian yang dikenal secara luas ada 2 jenis, yaitu:
a. Barang bawaan, ialah barang-barang kecil, yang dapat dibawa serta oleh
penumpang dalam tempat duduknya, misalnya: koper tangan, tas sandang, atau tas laptop. Adanya barang-barang ini tidak perlu dilaporkan kepada pengangkut dan tidak perlu dipungut biaya untuk ikut diangkutnya barang-barang itu.
b. Barang-barang bagasi, adalah barang-barang yang wajib dilaporkan
kepada pengangkut dan untuk ini penumpang mendapat tiket bagasi. Namun tidak semua barang-barang bagasi ini dikenakan biaya. Hanya barang-barang sampai berat tertentu yang tanpa biaya. Defenisi otentik mengenai bagasi terdapat dalam pasal 6 ayat 2 OPU yang berbunyi : “Bagasi adalah semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang yang atas namanya sebelum dia menumpang pesawat terbang diminta untuk diangkut melalui udara”.
(57)
Tiket bagasi itu merupakan tanda bukti penitipan barang yang nanti bila penumpang turun dari pesawat terbang, barang bagasi itu akan diminta kembali. Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi
ini merupakan “accesoire verbintennis”. Jadi tiket bagasi itu hubungannya erat
sekali dengan perjanjian pengangkutan. Tetapi meskipun begitu, tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalmnya atau hilangnya tiket bagasi tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian udara dan tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalam OPU (Pasal 6 ayat 5 OPU). Akan tetapi, bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa menerima tiket bagasi maka ia tidak berhak untuk menggunakan ketentuan-ketentuan OPU yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (Pasal 5 ayat 3 OPU).
Tiket bagasi itu harus berisi :
1. Tempat dan tanggal pemberian
2. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan
3. Nama dan alamat pengangkut
4. Nomor daan tiket penumpang
5. Pemberitahuan bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi
6. Pemberitahuan jumlah dan berat barang
7. Harga yang diberitahukan oleh penumpang
8. Pemberitahuan bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk pada
ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau Perjanjian Warsawa.
(58)
Jadi dapat disimpulkan bahwa tiket bagasi ini bersifat kepada pembawa tetapi dimaksudkan bahwa tiket ini bisa diperjualbelikan.
3. Surat Muatan Udara
Berkaitan dengan pengangkutan barang, surat muatan udara adalah apabila seorang akan mengirim barang menggunakan pesawat udara sedangkan dia sendiri tidak turut pergi maka pengirim barang itu memberikan surat muatan kepada pengangkut udara. Sebaliknya pengirim berhak minta kepada pengangkut untuk menerima surat muatan udara tersebut (Pasal 7 ayat 1 OPU).
Surat muatan itu dibuat oleh pengirim dalam rangkap 3 dan diserahkan bersama-sama dengan barangnya kepada pengangkut.
Tiga lembar surat muatan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :
a. Lembar pertama memuat kata-kata “untuk pengangkut”. Lembar ini
ditandatangani oleh pengirim
b. Lembar kedua memuat kata-kata “untuk penerima”. Lembar ini
ditandatangani oleh pengirim dan pengangkut dan dikirim bersama-sama dengan barangnya.
c. Lembar ketiga ditandatangani oleh pengangkut dan setelah barang
diterimanya, diserahkan kepada pengirim.
Setelah barang-barang diterimanya maka pengangkut harus menandatangani surat muatan itu. Tanda tangan pengirim dapat dicetak atau dengan cap.
Surat muatan udara itu biasanya sudah siap pada pengangkut berwujud “formulir blanko” yang sudah dicetak. Bila si pengirim menyatakan
(59)
kehendaknya untuk mengirim barang maka pengangkut memberikan formulir blanko yang sudah dicetak itu kepada pengirim untuk diisi. Tetapi bila pengangkut membuat surat muatan atas permintaan pengirim maka itu dianggap pengangkut bertindak atas tanggung jawab pengirim kecuali bila ada bukti menyatakan sebaliknya. (Pasal 8 OPU).
Kedudukan hukum surat muatan udara itu sama dengan tiket penumpang atau tiket bagasi, yakni kalau surat muatan tidak ada ada kesalahan di dalamnya, atau hilang, maka hal itu tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam OPU. Tetapi kalau pengangkut menerima barang muatan tanpa menerima surat muatan udara maka pengangkut tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam OPU yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (Pasal 11 OPU).
Surat muatan berfungsi menjadi bukti mengenai:
1. Tentang adanya perjanjian pengangkutan udara;
2. Tentang penerimaan barang-barang;
3. Tentang syarat-syarat pengangkutan (Pasal 14 OPU).
Menurut Pasal 10 OPU Surat Muatan Udara wajib berisikan:
1. Tempat dan tanggal surat muatan udara itu dibuat;
2. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
3. Pendaratan-pendaratan yang direncanakan dengan mengingat hak
(60)
4. Nama dan alamat pengangkut pertama;
5. Nama dan alamat pengirim;
6. Nama dan alamat penerima;
7. Macam barang;
8. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor-nomor
barang;
9. Berat, jumlah, besar atau ukuran barang-barang.
10.Keadaan luar barang-barang dan pembungkusannya;
11.Uang angkutan udara, tanggal dan tempat pembayaran dan orang-orang
yang harus dibayar. Jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran, dan harga barang dan jumlah biaya;
12.Jumlah nilai barang-barang;
13.Dalam rangkap berapa muatan/surat muatan udara dibuat.
14.Surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai
barang-barang;
15.Lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang rute yang
akan ditempuh;
16.Pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan tanggung
jawab yang diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa surat muatan udara ini isinya lebih lengkap daripada tiket penumpang atau tiket bagasi. Tetapi kedudukan hukumnya sama saja dengan tiket penumpang atau tiket bagasi, arinya bila tiket tidak ada, ada kesalahan di dalamnya, atau hilang,
(1)
sebenarnya. Dalam hal ini, kita perlu mengingat bahwa antara pengirim dengan pihak EMPU terjadi hubungan pemberian kuasa, sehingga segala tindakan EMPU (sebagai penerima kuasa) menjadi tanggung jawab si pengirim (sebagai pemberi kuasa) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1792 KUH Perdata.
(2)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hubungan hukum antara pengguna jasa angkutan kargo dengan pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU) diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Hubungan hukum itu terjadi dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Ekspeditur, yaitu, perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim, di mana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Perjanjian ini menunjukkan suatu sifat hukum pemberian kuasa.
2. Bentuk-bentuk kerugian dalam angkutan kargo udara yang dapat diderita pengirim dapat ditemukan dalam Pasal 145 dan Pasal 146 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, yaitu, kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak juga karena keterlambatan. Kehilangan yang dimaksud adalah kargo tidak ada di tempat yang layak; kerusakan adalah kargo rusak secara fisik tetapi kargonya ada; sedangkan kemusnahan diartikan tidak semata-mata musnah secara fisik tetapi lebih dilihat dari nilai ekonomi dan kegunaan dari kargo yang bersangkutan.
3. Tanggung jawab pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU) terhadap pengguna jasa angkutan kargo karena kerugian yang diderita pengirim kargo dapat dituntut olehnya dalam hal pengirim dapat membuktikan bahwa
(3)
kerugian itu disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak EMPU. Akan tetapi, jika kerugian itu terjadi pada saat kargo berada dalam pengawasan pengangkut, maka walaupun pengirim dan pengangkut tidak terikat secara langsung, pengirim memiliki hak untuk menuntut pihak pengangkut, karena si pengirimlah yang merupakan pemberi kuasa kepada EMPU untuk mencarikan pengangkut.
B. Saran
1. Saat ini kegiatan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara sudah berkembang pesat. Namun dalam ketentuan perundang-undangan yang ada saat ini masih sangat terbatas pasal-pasalnya yang secara jelas mengatur tentang hubungan Hak dan Kewajiban antara Pengirim dengan pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara. Karena itu, diperlukan adanya kepastian hukum yang lebih menegaskan tentang pengaturan terhadap hubungan tersebut dengan membuat pengaturan yang lebih jelas, baik melalui suatu ketentuan undangan yang baru; revisi terhadap ketentuan perundang-undangan yang sudah ada; atau bahkan hanya dalam bentuk kesepakatan atau kesepahaman bersama (Memorandum of Agreement/MoA dan
Memorandum of Understanding/MoU).
2. Dalam dunia akademis, pengkajian ini dapat diangkat menjadi suatu pembahasan atau pendalaman ilmu yang baru yang merupakan bagian dari dunia hukum keperdataan, serta turut berperan aktif dalam mensosialisasikan pengaturan yang baru tersebut, sehingga masyarakat
(4)
mengetahui secara pasti apa yang menjadi hak dan kewajiban sebagai pengguna jasa Ekspedisi Muatan Pesawat Udara dan bagaimana tanggung jawab pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara tersebut.
3. Melalui pengaturan yang baru tersebut juga, baik oleh Pemerintah maupun di lingkungan usaha Swasta, dapat didirikan suatu institusi yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap tanggung jawab Ekspedisi Muatan Pesawat Udara bahkan sampai memberikan sanksi administratif terhadap pihak Ekspedisi Muatan Pesawat Udara yang telah tunduk pada pengaturan baru tersebut jika terjadi kesalahan ataupun kelalaian yang merugikan pengirim kargo.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Badrulzaman, Mariam Darus, K U H Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 2005.
Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta, 2006.
Martono, K, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Alumni, Bandung, 1987.
Martono, K, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
________________, Hukum Pengangkutan Niaga,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
Nasution, M.N, Manajemen Transportasi,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008. Probo, Eko, Suharto Abdul Majid, Manajemen Pelayanan Darat Perusahaan
Penerbangan Edisi II, STMT Trisakti, Jakarta 2007.
Purba, Hasim, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005.
Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang (1) Pengetahuan
Dasar Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 1991.
_______________, Pengertian Pokok Hukum Dagang (3) Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, 1995.
Siregar, Hasnil Basri, Hukum Pengangkutan, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, Medan, 2002.
Soedjono, Wiwoho, Perkembangan Hukum Transportasi serta Pengaruh dari Konvensi-Konvensi Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1988.
(6)
Sukrisman, Ekspedisi Muatan (Freight Forwarding), Alumni, Bandung, 1985. Suriaatmadja, Toto T, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Kargo
Udara Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2005.
_______________, Pengangkutan Kargo Udara: Tanggung Jawab Pengangkut
dalam Dimensi Hukum Udara Nasional dan Internasional, Pustaka
Bani Quraisy, Bandung, 2005.
Sution Usman Adji, Djoko Prako, Hari Pramono, Hukum Pengangkutan Udara di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
_______________, Hukum Pengangkutan Udara di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Tjakranegara, Soegijatna, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.
Uli, Sinta, Pengangkutan, Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport
Angkutan Laut, Angkutan Darat, dan Angkutan Udara, USU Press,
Medan, 2006.
Widjaja, Gunawan, Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor-Impor & Imbal Beli), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchtvervoer-ordonnantie) Staatsblaad Nomor 100 Tahun 1939 Tentang Pengangkutan Udara dalam Negeri;
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan;
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara. Internet:
http: //www.dhenov.blogspot.com/2008/01/perkembangan industry penerbangan http://bataviase.co.id/node/506345