TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA PRODUK DENGAN PROMO BERHADIAH.

(1)

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN

PENGGUNA PRODUK DENGAN PROMO BERHADIAH

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN ‘Veteran’ Jawa Timur

Oleh :

WIMMAR SASONGKO

NPM. 0771010124

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA


(2)

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT serta Shalawat dan Salam kepada

junjungan besar Nabi Muhammad SAW, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan

hidayah Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Disini peneliti mengambil

judul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Pengguna Produk Dengan

Promo Berhadiah”..

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada di

Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Disamping

itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu sebelum mengadakan

penelitian dalam mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.

Dalam menyelesaikan Skripsi ini peneliti banyak memperoleh bantuan,

bimbingan, dan dorongan dari beberapa pihak. Pada kesempatan ini peneliti

mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada:

1.

Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan selaku Dosen Pembimbing

Utama.

2.

Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek I Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3.

Bapak Drs.Ec.Gendut Sukarno.Ms. selaku Wadek II Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jawa Timur.

4.

Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur


(3)

telah membimbing dan mengarahkan peneliti dalam pembuatan Skripsi sehingga

peneliti dapat menyelesaikan Skripsi ini.

6.

Bapak Paidi Pawiro Rejo,SH,.MHum beserta staf LPKS, yang telah memberikan

kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

7.

Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

8.

Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur.

9.

Kedua orang tua tercinta dan seluruh saudara-saudara yang telah memberikan

dukungan moriil maupun materiil serta doa dan restunya selama ini.

10.

Ucapan terimakasih buat yang tersayang Winda Cathartica yang selalu memberikan

motivasi dan dukungan.

11.

Teman-teman seperjuangan Koko, Rendi, Yudha dan seluruh Mahasiswa/i Fakultas

Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan Skripsi skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun peneliti harapkan

guna perbaikan dan penyempurnaan sehingga Skripsi skripsi ini dapat memberi manfaat

bagi semua pihak.

Surabaya, Januari 2011


(4)

HALAMAN JUDUL ...

i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI ...

iii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI...

iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

ABSTRAK ... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.5. Kajian Pustaka... 4

1.5.1. Pengertian Konsumen Secara Umum ... 4

1.5.2. Pengertian Pelaku Usaha Secara Umum... 11

1.5.3. Pengertian Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 14

1.5.4. Penyelesaian Sengketa Konsumen... 15

1.6 Metode Penelitian ... 24

1.6.1. Jenis penelitian... 24


(5)

1.6.4. Metode Analisa Data... 27

1.6.5. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP UPAYA

PENIPUAN DENGAN MENGGUNAKAN PROMO BERHADIAH ... 30

2.1. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha... 30

2.2. Kategori Penipuan Dengan Menggunakan Promo Berhadiah ... 39

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DENGAN PELAKU

USAHA ... 43

3.1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Litigasi... 43

3.2 Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Non Litigasi Dengan

Mekanisme Mediasi ... 46

BAB IV PENUTUP ... 65

4.1. Kesimpulan ... 65

4.2. Saran ... 66


(6)

Program Studi

: Strata 1 (S1)

Judul Skripsi

:

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN

PENGGUNA PODUK DENGAN PROMO BERHADIAH

ABSTRAKSI

Akhir-akhir ini masalah perlindungan konsumen mendapatkan sorotan tajam

masyarakat, hal ini disebabkan karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan dengan

pelaku usaha. Penelitian ini ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab

Pelaku Usaha terhadap upaya penipuan melalui promo berhadiah dan bagaimana

penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo berhadiah menggunakan

metode Yuridis Normatif yaitu Penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan

kaidah dari peraturan perundangan. Sumber data diperoleh dari literatur-literatur,

perundang-undangan yang berlaku dan data dari Kantor Lembaga Perlindungan

Konsumen Surabaya. Analisis data menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil

penelitian yang dapat di simpulkan adalah Analisis mengenai tanggung jawab Pelaku

Usaha terhadap upaya penipuan melalui promo berhadiah dan Analisa penyelesaian

sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo berhadiah.

Bentuk Tanggung Jawab Pelaku usaha yang melakukan penipuan dengan

menggunakan promo berhadiah dikenakan tanggung jawab seperti yang diatur dalam

Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 08

Tahun 1999. Sebagai konsekuensi hukum dari pelarangan yang diberikan oleh UUPK,

dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi

hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen

memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggung

jawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas

kerugian yang dididerita oleh konsumen tersebut. Dasar yang dapat dipakai untuk

membuat pelaku usaha diwajibkan memberikan bentuk tanggung jawab ganti rugi atas

kerugian konsumen dikarenakan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen

dijelaskan tentang hak-hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK yang berupa : Hak atas

informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana

mestinya. Hak-hak ini lah yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh pelaku usaha

sehingga tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan

perbuatan melawan hukum dengan cara penipuan yang berkedok adanya undian dengan


(7)

atau diluar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo

berhadiah diselesaikan melalui jalur non litigasi dengan mekanisme melalui

LPKSurabaya. Hal ini dipilih oleh penggugat (konsumen) dikarenakan melalui jalur non

litigasi lebih banyak kelebihannya disbanding melalui litigasi. Melalui non litigasi lebih

murah dan efisien waktu, kerahasiaan juga tetap terjaga dengan baik serta kekuatan

semua pihak seimbang dan kekuatan hukumnya pun bersifat final dan mengikat. Hal ini

diatur dalam pasal 54 ayat 3 UUPK dengan cara didaftarkan ke BPSK, yang kemudian

dalam pasal 57 UUPK BPSK mendaftar ke Pengadilan Negeri untuk dilakukan eksekusi

terhadap hasil putusan yang dihasilkan dari mediasi tersebut.


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di era Globalisasi sekarang pemenuhan kebutuhan masyarakat sangat lah banyak. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya pembelian produk-produk yang sangat tinggi. Masyarakat sebagai konsumen diharapkan bisa lebih teliti dalam membeli suatu produk. Dengan adanya Undang-undang tentang perlindungan konsumen masyarakat yang sekaligus sebagai konsumen mempunyai pelindung atau payung hukum yang bisa melindungi hak-haknya.

Dalam Undang–undang No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang disingkat UUPK pada pasal (1) angka 1 berbunyi :

“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Akhir-akhir ini masalah perlindungan konsumen mendapatkan sorotan tajam masyarakat. Berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen menjadi polemik yang berkepanjangan, yang dalam penyelesaian kasus sering menemui jalan buntu atau merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan dengan pelaku usaha. Ketidaktahuan serta ketidakberdayaan konsumen dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan tanpa memperhatikan konsumen.

Padahal salah satu hak konsumen adalah untuk mendapatkan produk yang kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan oleh


(9)

 

pelaku usaha, termasuk hadiah apabila pelaku usaha menawarkan hadiah bagi konsumen yang membeli produknya. Yang menjadi persoalan adalah diantara pelaku usaha sering terjadi persaingan tidak sehat. Pengusaha tertentu dalam kondisi ini kerap berpikiran pendek dan melakukan hal-hal yang merugikan konsumennya.

Kasus penyalahgunaan promo berhadiah pernah terjadi pada awal bulan April tahun 2009. Seorang konsumen bernama Ibu Isnaeni Insiyah asal Surabaya mengirimkan surat pengaduan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya (LPKS) bahwa dirinya dan suaminya telah menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha “212” dengan menggunakan promo undian berhadiah, yang dimana sebenarnya hanya sebagai kedok untuk menipu konsumen guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Berdasarkan kasus di atas, menunjukkan bahwa konsumen menjadi sasaran para pelaku usaha demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha dikarenakan kesadaran masyarakat yang sangat rendah serta tidak cakapnya masyarakat tentang hukum.

Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, maka dengan adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur hak-hak konsumen serta memuat kewajiban maupun tanggung jawab pelaku usaha, konsumen memiliki perlindungan hukum dengan tujuan untuk meningkatkan harkat kehidupan konsumen, menghindarkan konsumen dari perilaku pelaku usaha yang


(10)

 

merugikan konsumen, meningkatkan tanggung jawab pelaku usaha dan mengembangkan dunia usaha yang sehat.

1.2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas adalah tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Dengan Promo Berhadiah adalah :

a. Bagaimana Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap upaya penipuan melalui promo berhadiah?

b. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo berhadiah?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui Tanggung Jawab dari pelaku usaha terhadap produk dengan promo berhadiah.

b. Mengetahui penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan promo berhadiah.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah untuk :

a. Memberi gambaran secara jelas tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap modus penipuan dengan menggunakan promo berhadiah.

b. Memberikan pengetahuan pada masyarakat tentang proses penyelesaian sengketa konsumen.


(11)

 

1.5 Kajian Pustaka

1.5.1. Pengertian Konsumen Secara Umum

a. Pengertian Konsumen Berdasarkan Undang – undang

Pengertian konsumen menurut UU Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasaal 1 ayat (2) yakni :

‘Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,keluarga,orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur definisi konsumen’.

1) Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim atau termasuk juga badan hukum. Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam pasal 1 anka (3),yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian individual diatas, dengan menyebutkan kata-kata: “ Orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas dari pada badan hukum.


(12)

  2) Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil transaksi jual beli, Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual.

3) Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminology tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jens-jenis layanan perbankan.

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak. Baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak


(13)

 

menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai,dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawar kepada masyarakat. Artinya,harus lebih dari satu orang, jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

4) Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran (lihat bunyi Pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin komplek dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, Perusahaan pengembang perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, keberadaan barang yang diperjual belikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5) Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang lain , Makhluk Hidup Lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk diri sendiri, keluarga,orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang


(14)

 

diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri,keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain ( diluar diri sedndiri dan keluarga), bahkan utuk makluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya.

Oleh sebab itu, Penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.

6) Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara. Secara teoretis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan, sulit menetapkan batasan-batasan seperti itu.1

      

1


(15)

 

b. Pengertian Konsumen Menurut Pendapat Pakar

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata

consumer (inggris Amerika), atau consument/konsument(Belanda).

Pengertian dari consumer atau konsument itu tergantung dalam posisi mana ia beda. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen)setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis, maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. Dalam naskah-naskah akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah akademik itu yang patut mendapat perhatian, antara lain:

1) Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN),menyusun batasan tentang konsumen akhir,yaitu pemakaian akhir dari barang,digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain,dan tidak untuk diperjual belikan.


(16)

 

2) Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia: Pemakaian barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri,keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

3) Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ( FH-UI ) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi :

Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk diperdagangkan.

Peraturan perundang-undangan Negara lain, memberikan berbagai perbandingan. Umumnya dibedakan antara konsumen dan konsumen akhir. Dalam merumuskannya, ada yang secara tegas mendefinisikan dalam ketentuan umum perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal tertentu bersama-sama dengan pengaturan sesuatu bentuk hubungan hukum

c. Klasifikasi Konsumen

Di dalam kepustakaan ekonomi juga dikenal konsumen dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adaalha konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari


(17)

 

proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.2

c. Hak dan kewajiban Konsumen

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Menurut pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, hak konsumen adalah:

1. Hak atas kenyamanan,keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk untuk mendapatkan advokasi,perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif ;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan / atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.3

Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 5, kewajiban konsumen adalah:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.4

      

2

Ahmadi Miru, “Hukum Perlindungan Konsumen” Raja Grafindo Persada, Jakarta ,2004. Hal 4 3

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Himpunan peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2003, hal.6


(18)

 

e. Perlindungan Hukum bagi Konsumen

Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain5 :

1) Undang-undang dasar 1945

2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

3) Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

4) Kitab Undang-undang Hukum Dagang

5) Dan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.

1.5.2. Pengertian Umum Pelaku Usaha

a. Pengertian Menurut Undang-undang

Dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 1 angka 3 menjelaskan pengertian Pelaku Usaha, yakni :

‘Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedududkan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendira maupun bersama-sanma melalui perjanjian menyelenggrakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

       

4

Ibid, hal.7

5  


(19)

 

Pengertian Pelaku Usaha yang dimaksudkan dlam undang-undang ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

b. Pengertian Menurut Para Pakar

Meurut CelinaTri Siwi Kristiyanti pengertian Pelaku Usaha dibagi menjadi 3 yaitu6 :

1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang- barang manufaktur mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka edarkan kemasyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen dalam proses produksinya

2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk

3) Siapa saja,yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.

c. Klasifikasi Pelaku Usaha

Para ahli ekonomi ( Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ) yang mengatakan bahwa pelaku usaha itu terdiri dari 3 kelompok besar yaitu:

1) Kelompok penyedia dana atau biasa disebut investor. Investor disini untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha atau orang perorangan (konsumen) contoh: Bank, koperasi atau lembaga penyedia dana lainnya.

       6  


(20)

 

2) Kelompok pembuat barang (produsen) seperti pabrik atau industry rumah tangga

3) Kelompok pengedar barang, seperti warung, PKL, toko dll.

d. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 6 hak pelaku usaha adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriinatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi,ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.


(21)

 

e. Asas Hukum Perlindungan Konsumen

1) Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada asas yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 2, ada 5 (lima) asas perlindungan konsumen yaitu:

a. Asas Manfaat b. Asas Keadilan c. Asas Keseimbangan

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen e. Asas Kepastian Hukum

Perlindungan konsumen sendiri bertujuan untuk:

a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b)Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalm memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

1.5.3. Pengertian Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Pengertian Tanggung jawab produk (Pelaku Usaha) adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.


(22)

 

Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3 (tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:

a. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”

1.5.4, Penyelesaian Sengketa Konsumen a. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 23 mengatakan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atau tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan penyelesaian sengketa


(23)

 

konsumen, atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan ditempat kedudukan konsumen.7

Disini terlihat bahwa undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan alternative penyelesaian melalui badan diluar system peradilan yang disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Selain melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen.

Undang-Undang No.8 tahun 1999 membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 bagian, yaitu :

1) Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan

a) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri. b) Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang,

yaitu melalui BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi,mediasi atau arbitrase.

c) Penyelesaian sengketa melalui LPKSM dengan

menggunakan mekanisme mediasi.

2) Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi.

Masalah penyelesaian sengketa dalam undang-undang tentang perlindungan Konsumen diatur dalam bab X yang terdiri dari Empat pasal, yang dimulai dari pasal 45 sampai dengan 48.8

      

7

Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001,hal 72

8

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acra


(24)

 

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui BPSK bukanlah suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum pada akhirnya sengketa tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan. Walaupun demikian, hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberikan shock terapy bagi pelaku usaha yang nakal, karena putusan tersebut dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui BPSK, tidak menghilangkan tanggungjawab pidana menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, membedakan jenis gugatan yang dapat diajukan ke BPSK berdasarkan persona standi in judicio. Rumusan pasal 46 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :

a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.

b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinga yang sama.

c) Lembaga Perlindungan Konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat yaitu berbentk badan hukum atau yayasan , yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan bahwa didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai anggaran dasarnya.


(25)

 

d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit

Hal ini hanya merupakan aturan umum. Karena itu, dalam ketentuan pasal 46 ayat (2) ditentukan lebih lanjut bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah, sebagaimana dimaksut pada huruf B, huruf C, dan huruf D diatas, hanya dapat diajukann kepada peradilan umum.

b. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa.

Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dimaksud oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan tidak bertentangan dengan undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini.9

Penyelasaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada pasal 43 Ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang perlindungan       

9

Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001 Ibid,hal 75


(26)

 

konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikemikakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua pihak yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 Ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya hukum yang justru terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui BPSK atau badan peradilan.10

c. Penyelesaian sengketa oleh atau melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)

Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau disingkat BPSK, untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara ceapat, Mudah,dan murah. Cepat karena undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja,BPKS wajib memberikan putusannya. Mudah karena prosedur atministratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau.11

      

10

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum

Acra Serta Kendala Implementasinya,Kencana,2008 Ibid hal 99

11

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum


(27)

 

Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen BPSK membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil, yaitu terdiri dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur dan dibantu oleh seorang panitera. Menurut ketentuan pasal 54 ayat (4), ketentuan teknis dari pelaksanaan tugas majelis BPSK yang akan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen akan diatur tersendiri oleh menteri perindustrian dan perdagangan. Yang jelas BPSK diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.

Lembaga penyelesaian diluar pengadilan, yang dilaksanakan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) ini memang di khususkan bagi konsumen perorangan yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha.12

d. Penyelesaian sengketa melalui LPKSM dengan menggunakan

mekanisme mediasi

Menurut Pasal 1 butir 9 UUPK, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat. Yang dimaksud dengan       

12

Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001 Ibid,hal 78


(28)

 

memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak dibidang perlindungan konsumen.

Pasal 44 Ayat (4) UUPK ditegaskan tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, maka dalam pasal 2 menentukan bahwa : Ayat (1) Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat, yakni terdaftar pada Pemerintahan Kabupaten/kota dan bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.

Tugas LPKSM meliputi kegiatan :

1) Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; 3) Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen;

4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan

haknya,termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.


(29)

 

e. Penyelesaian Melalui Litigasi

Dalam pasal 54 ayat (3) Undang-undang tentang perlindungan konsumen dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan majelis (BPSK) bersifat final dan mengikat. Walaupun demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri untuk diputus. Terdapat putusan pengadilan negeri ini, meskipun dikatakan bahwa undang-undang tentang perlindungan konsumen hanya memberikan hak kepada pihak yang tidah merasa puas atas putusan tersebut untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun dengan mengingat akan relatifitas dari “tidak merasa puas” , peluang untuk mengajukan kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam setiap perkara. Selain itu, Undang-undang tentang perlindungan konsumen juga telah memberikan jangka waktu yang pasti bagi penyelesaian perselisihan konsumen yang timbul,yakni 21 (dua puluh satu) hari untuk proses pada tingkat pengadilan negeri, dan 30 (tiga puluh) hari untuk diselesaikan oleh Mahkamah Agung, dengan “jeda” masing-masing 14 (empat belas) hari untuk mengajukan keberatan ke pengadilan negeri maupun kasasi ke Mahkamah Agung”.

Pengajuan gegatan secara perdata diselesaiakan menurut instrument hukum perdata / Litigasi di Peradilan Umum Dengan memperhatikan pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan


(30)

 

umum yang berlaku. Jadi dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata biasa, dengan mengajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen.

Dengan berlakunya UUPK, ketentuan pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK ini merupakan lex specialis terhadap HIR/RBg, sesuai dengan adagum “lex specialis derogant lex generalis”, yang berarti ketentuan khusus menyimpangkan ketentuan umum, maka ketentuan pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara yang harus diterapkan dalam rangka pengajuan gogatan oleh konsumen kepada pelaku usaha.Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, dapat diajukan banding dan kemudian kasasi, sebagaimana perkara perdata biasa.

Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen melalui peradilan negeri, dengan menggunakan instrument hukum acar perdata (konvensional), dilakukan oleh seorang konsumen atau lebih atau ahli warisnya. Pasal 46 Ayat (1) butir a UUPK ini, tidak menegasikan instrument hukum tersebut,betapa pun lemahnya instrument hukum itu ditinjau dari segi perlindungan hukum terhadap konsumen. Dalam hukum acara


(31)

 

perdata konvensional dikenal siapa yang mendalilkan, ia yang harus membuktikan.

1.6 Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian hukum doktiner,juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian ini dapat juga dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).13

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya. Metode deskriptif ini di maksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang di teliti. Dalam hal ini untuk mendeskripsikan penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan produk dengan promo berhadiah

1.6.2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah Data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, sebagai berikut :

      

13


(32)

 

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan, yang dibahas terdiri dari :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase 4) SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK

5) Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 Tentang LPKSM (Lemabaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya

menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana terdiri dari :

1) Ahmadi Miru, “Hukum Perlindungan Konsumen” Raja Grafindo Persada, Jakarta ,2004

2) Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

3) Hukum Perlindungan Konsumen karya Gunawan Widjaja Ahmad Yani, sinar grafika, Jakarta 2008

4) Dr.Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa

Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acra Serta Kendala Implementasinya,Kencana,2008


(33)

 

5) Bambang Waluyo.”Penelitian Hukum Dalam Praktek”,Sinar Grafika,Jakarta,2004

6) Alternatif Penyelesaian Sengketa karya Gunawan Widjaja, sinar grafika, Jakarta 2008

7) Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pedoman Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara Konsiliasi

8) Kansil. ChristineST Kansil, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 08 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Jakarta,Pradnya Paramita,1999

9) Prof. Dr. Erman Rajagukguk,SH.LLM,et al, Hukum

Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung , 2000

10) Az. Nasution, , Konsumen dan Hukum , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995.

11) Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, 2000

12) Ari Purwadi,Jurnal Yustika, Fakultas Hukum Universitas Surabaya,Surabaya, 2001

13) Echols, John.M, Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta,1990

14) Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005

15) Ahmadi Miru,Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008 16) Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata, Keluarga UPN Veteran,


(34)

 

c. Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai perangkap dari kedua bahan hukum sebelumnya terdiri dari :

1) Kamus Hukum

2) Kamus bahasa Indonesia Balai Pustaka.

1.6.3. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan, perolehan bahan hukum melalui penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana.

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan pembahasan skripsi ini juga dikumpulkan, bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan tersebut selanjutnya akan dilakukan penyuntingan bahan hukum, pengklasifikasian bahan hukum yang relevan dan penguraian secara sistematis.

1.6.4.. Metode Analisis Data

Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis artinya data yang diperoleh berdasarkan kenyataan yang ada di Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya kemudian dikaitkan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dibahas, dianalisa, kemudian ditarik kesimpulan yang akhirnya digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada.


(35)

 

1.6.5. Sistematika Penulisan

Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.

Bab I, Pendahuluan Didalamnya terdiri dari empat belas sub bab yaitu sub bab pertama menguraikan tentang latar belakang masalah, kemudian sub bab kedua menguraikan tentang perumusan masalah. Selanjutnya di sub bab ketiga disajikan tujuan dan sub bab keempat mengenai manfaat penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada bagian sub bab kelima mengenai kajian pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi. Kemudian diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya sub bab keenam diuraikan tentang jenis penelitian yang merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian. Pada bagian sub bab ketujuh mengenai sumber data, sub bab kedelapan mengenai metode pengumpulan data dan pengolahan data, pada sub bab kesembilan mengenai metode penulisan data, pada sub bab kesepuluh mengenai lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Pada sub bab ke sebelas mengenai waktu penelitian dari awal sampai akhir, pada sub bab ke dua belas mengenai jadwal penelitian, sedangkan pada bab ketiga belas mengenai rincian pembayaran. Pada sub bab ke empat belas merupakan sub bab terakhir yaitu mengenai sistematika penulisan.


(36)

 

Bab II, menguraikan tentang tanggung jawab pelaku usaha tentang upaya penipuan dengan menggunakan promo berhadiah melalui produk yang dikeluarkan pelaku usaha. Pada bab ini terdapat dua sub bab yang mendukung dan memperjelas bab ini. Pada sub bab pertama menjelaskan tentang bentuk tanggung jawab Pelaku Usaha. Sedangkan pada sub bab kedua menjelaskan tentang kategori penipuan promo berhadiah

Bab III, Menguraikan tentang penyelesian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan produk dengan promo berhadiah sampai akhir. Pada bab ini terdapat dua sub bab yang mendukung dan memperjelas bab ini. Pada sub bab pertama menjelaskan penyelesaian sengketa melalui Litigasi. Sedangkan Pada sub bab kedua menjelaskan tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui Non Litigasi dengan mekanisme Mediasi.

Bab IV, berdasarkan uraian-uraian dalam bab II dan bab III diatas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya di Bab IV merupakan Bab penutup yang terdiri dari dua sub bab yaitu sub bab pertama mengenai kesimpulan dan sub bab kedua membahas tentang saran.


(37)

BAB II

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP UPAYA PENIPUAN DENGAN MENGGUNAKAN PROMO BERHADIAH

Tanggung Jawab pelaku usaha yang dimana telah diatur dalam UUPK mewajibkan setiap pelaku usaha yang secara sengaja membuat keadaan yang akibatnya merugikan konsumen haruslah melakukan ganti rugi sesuai kerugian yang ditimbulkan. Bentuk dari tanggung jawab tersebut diatur dalam pasal 19 UUPK yang dimana pelaku usaha diwajibkan bertanggung jawab atas kerusakan, pencemaran dan atas kerugian konsumen. Oleh karena itu setiap pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang berakibat adanya kerugian bagi konsumen akan berhadapan dengan hukum yang berlaku.

2.1. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Pelaku usaha yang melakukan melakukan penipuan menggunakan undian dengan promo berhadiah dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH). Pasal 1365 KUHPerdata yakni :

‘Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu; mengganti kerugian tersebut’.

Dalam Pasal 1365 KUHPerdata untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :


(38)

  a Ada perbuatan melanggar hukum.

Khusus untuk perbuatan melawan hukum diatur dalam bab III , buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang. “Perikatan yang lahir demi undang-undang”, dari pasal 1365 sampai dengan 1380. Menurut ketentuan Pasal 1353 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perbuatan melawan hukum melahirkan perikatan antara pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum dan pihak terhadap siapa perbuatan yang melawan hukum tersebut dilakukan. Jadi, perikatan lahir disaat perbuatan yang melawan hukum tersebut dilakukan.14

b Ada kerugian

Untuk menentukan besarnya ganti rugi yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegangan pada asas bahwa ganti kerugian harus dibayar sedapat mungkin harus membuat pihak yang rugi harus dikembalikan pada kedudukan semula seandainya tidak terjadi kerugian atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seharusnya andaikata perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Dengan demikian ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya tanpa memperhatikan unsur-unsur yang tidak terkait langsung dengan kerugian itu, seperti kemampuan/kekayaan pihak yang bersangkutan.15

      

14

Gunawan Widjaja, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2001 hal 63

15

Ahmadi Miru,”Hukum Perlindungan Konsumen”, Raja Grafindo Persada,Jakarta2004 hal, 134


(39)

 

c Ada hubungan kausalitas (sebab akibat) antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian

Bahwa adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat merupakan akibat yang disebabkan oleh adanya faktor yang secara yuridis relevan yakni yang dapat menimbulkan akibat hukum.16

d Ada kesalahan.

Berdasarkan pasal 1365 BW , salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalahan. Kesalahan ini memiliki 3 unsur, yaitu17 :

1) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan 2) Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya

a) Dalam arti objektif : sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya.

b) Dalam arti subjektif : sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya.

3) Dapat dipertanggung jawabkan ( pelaku usaha cakap )

Dari uraian diatas yang dimaksud dengan kesalahan yang disesalkan merupakan suatu perbuatan yang dimana seharusnya perbuatan tersebut tidak terjadi karena perbutan tersebut semata-mata tidak ada niatan atau keinginan dari pelaku, bisa dikatakan perbuatan ini merupakan sebuah kelalaian dari pelaku.

      

16

Ibid hlm, 140 17


(40)

 

Perbuatan yang dapat diduga akibatnya merupakan perbuatan yang akibatanya dapat langsung ditebak atau diduga karena perbuatan tersebut berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari bahkan orang normal pun langsung dapat menduganya serta ada perbuatan yang hanya bisa diduga oleh para ahli saja karena mereka lebih menguasai dibidang tersebut, misalnya perbuatan yang berakibatkan pada kehatan manusia yang bisa menduga adalah hanya ahli kesehatan saja.

Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan adalah perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar dan pelaku mengerti akan akibat hukum dari perbuatan tersebut yakni sebuah hukuman atau sanksi. Hukuman atau sanksi diatur dalam Pasal 60-63 UUPK yaitu berupa :

a. Sanksi Administratif b. Sanksi Pidana

Dalam Pasal 60 ayat (2) Sanksi Admistratif berupa ganti rugi paling bnyak sebesar Rp 200.000.000,00. Sanksi Administratif ini dikenakan karena adanya kerugian yang ditimbulkan pelaku usaha. Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada perbuatan pelaku usaha. Sanksi ini dapat dikenakan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya, menurut Pasal 62 UUPK sanksi pidana dapat berupa penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak dua milyar rupiah

Dari uraian diatas sanksi atau hukuman yang dapat dipakai sebagai alternatif pertama untuk pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen yang menggunakan undian dengan promo berhadiah adalah sanksi


(41)

 

admistrasi, karena isi dari sanksi ini lebih menjamin untuk mengembalikan keadaan konsumen yang telah dirugikan oleh pelaku usaha. Serta sanksi ini dinilai cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa konsumen khususnya sengketa tentang penipuan dengan menggunakan promo berhadiah.

Oleh karena itu pelaku usaha yang melakukan penipuan dengan menggunakan promo berhadiah dikenakan tanggung jawab seperti yang diatur dalam Pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 08 Tahun 1999. Sebagai konsekuensi hukum dari pelarangan yang diberikan oleh UUPK, dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dididerita oleh konsumen tersebut.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha diatur dalam pasal 19 ayat 1 dan ayat 2 UUPK yaitu :

1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(42)

 

Memperhatikan substansi pasal 19 ayat 1 dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

a. Tanggung jawab ganti rugi atas kerusakan b. Tanggung jawab ganti rugi atas pencemaran

c. Tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen

Dalam hal ini pelaku usaha dapat dibebani tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen. Dasar yang dapat dipakai untuk membuat pelaku usaha diwajibkan memberikan bentuk tanggung jawab ganti rugi atas kerugian konsumen dikarenakan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dijelaskan tentang hak-hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK yang berupa : Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa; Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Hak-hak ini lah yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh pelaku usaha sehingga tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu apabila pelaku usaha yang melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara penipuan yang berkedok adanya undian dengan promo berhadiah wajib melakukan suatu tanggung jawab terhadap konsumen karena hal ini jelas-jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


(43)

 

Berdasarkan uraian diatas, maka adanya produk barang dan atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggung jawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.18 Memperhatikan substansi ketentuan pasal 19 ayat 2 tersebut sesungguhnya memiliki kelemahan yang sifatnya merugikan konsumen, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Melalui pasal tersebut konsumen hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan kesehatan.

Pada Pasal 19 UUPK sebenarnya mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha pabrik dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk Pengambilan uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.

      

18


(44)

 

Jika kita kembali kepada asas umum dalam hukum perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang di alami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah di sebutkan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum.19

a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi

Dalam penerapan ketentuan yang berada dalam lingkungan hukum privat tersebut, terdapat perbedaan esensial antara tuntutan ganti kerugian yang di dasarkan pada wanprestasi dengan tuntutan ganti kerugian yang di dasarkan pada perbuatan melanggar hukum. Apabila tuntutan kerugian di dasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang di rugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.

Pada tindakan yang ini sudah terdapat hubungan hukum antara pihak, dimana salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan pihak lain, dengan cara tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang harus ia lakukan       

19


(45)

 

berdasarkan kesepakatan yang telah mereka capai. Tindakan yang merugikan ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk meminta pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat, beserta penggantian atas segala biaya, bunga, dan kerugian yang telah dideritanya.20

Dalam tanggung gugat berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban untuk membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara sukarela tunduk berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar ganti kerugian atau berapa besar ganti kerugian yang harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Disamping ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan tentang ganti kerugian yang bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian, seperti ketentuan tentang wan prestasi dan cacat tersembunyi serta ketentuan lainnya. Ketentuan-ketentuan ini melengkapi ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesampingkan jika para pihak menjanjikan lain.

      

20

Gunawan Widjaja, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2001 hal 63


(46)

 

b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum

Berbeda dengan ganti kerugian yang di dasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi), tuntutan ganti kerugian yang di dasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu di dahului dengan perjanjian antra produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat di lakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.21

2.2. Kategori Penipuan Dengan Menggunakan Promo Berhadiah

Penipuan yang menggunakan undian dengan promo berhadiah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (atau disingkat UUPK) Pasal 10 yaitu :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :

a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa

c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa

Dalam Pasal 10 ini menjelaskan tentang larangan prilaku pelaku usaha yang dimana tujuan dari pasal ini mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan iklim usaha yang sehat guna memastikan produk yang diperjual belikan dalam masyarajat dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum.

      

21

Ahmadi Miru,”Hukum Perlindungan Konsumen”, Raja Grafindo Persada,Jakarta2004 hal, 128


(47)

 

Dalam hal ini subjeknya adalah pelaku usaha, karena menunjukan orang yang melakukan pebuatan ini. Yang dimaksud menawarkan adalah dengan berbagai cara bisa dengan cara mendatangi konsumen secara langsung ataupan melalui media yang lain. Sedangkan yang dimaksud membuat

pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan yaitu membuat keadaan atau

pernyataan dimana merupakan suatu kebohongan yang dilakukan untuk memperoleh suatu keuntungan. Maksud dari pernyataan tersebut berisi tentang : tarif atau harga, yang dimaksud dari tarif atau harga itu sendiri adalah standart harga yang seharusnya dijual oleh pelaku usaha dengan tidak menaikan harga yang berlebihan atau sewajarnya. Kegunaan, yang dimaksud dari kegunaan tersebut yaitu pelaku usaha dalam menawarkan harus menjelaskan dengan benar tentang kegunaan dari barang yang ditawarkan dan tidak boleh membuat pernyataan yang tidak benar atas kegunaan dari barang dan/atau jasa tersebut. Yang dimaksud dengan kondisi, tanggungan, jaminan

dan hak ganti rugi adalah pelaku usaha harus menjelaskan tentang kondisi

suatu barang yang ditawarkan dengan sebenar-benarnya serta tanggungan yang dipikul oleh konsumen kalau memakainya, dan pelaku usaha harus memberikan suatu jaminan yang benar atas semua akibat yang ditimbulkan dari barang yang ditawarkan serta pelaku usah harus menjelaskan tentang bentuk ganti rugi atas pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Yang dimaksud dalam huruf d tentang tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang

ditawarkan adalah dimana pelaku usaha yang menawarkan produknya dengan

cara mengadakan suatu promo yang berisi tentang adanya potongan harga atau hadiah yang menarik haruslah benar-benar terjadi dan sesuai dengan kebenaran


(48)

 

yang disampaikan pelaku usaha dalam menawarkan sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan bahaya penggunaan barang dan/atau jasa yaitu pelaku usaha dalam penyampaiannya atau penjelasannya harus memberikan informasi yang sebenar-benarnya akan bahaya yang ditimbulakna akibat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut.

Pada bab ini penulis memberikan contoh kasus penipuan dengan menggunakan promo berhadiah yang dimana biasa dikategorikan masuk dalam penipuan dikarenakan mengandung unsur-unsur dari penipuan tersebut, Kasus ini terjadi pada hari kamis, 9 April 2099 sekitar jam 18.00WIB di Royal Plaza Surabaya, saat itu ibu Isnaeni sekeluarga selaku konsumen didatangi karyawan dari toko Two One Two yang bergerak dibidang produk-produk elektronik, karyawan yang bernama Amanda tersebut menawarkan sebuah souvenir gratis yang didapat dengan cuma-cuma setelah itu karyawan tersebut menyuruh ibu Isnaeni untuk mengikuti undian berhadiah dengan hadiah yang lebih besar nilai harganya dengan caramengambil kupon berhadiah dan menyerahkan KTP serta kartu kredit yang kemudian karyawan tersebut menyodorkan kertas untuk ditandatangani serta kupon berhadiah dan ternyata kupon tersebut bertuliskan Home Teater dengan harga Rp 2.117.150 ,00 dan para karyawan yang lainnya pun ikut memberi selamat kepada konsumen karena telah mendapatkan hadiah tersebut, tanpa disadari kartu kredit ibu Isnaeni sudah digesek oleh karyawan toko tersebut, karyawan lainnya pun memberikan barang-barang elektronik tersebut beserta print out dengan jumlah Rp 2.117.150,00 setelah menerima barang-barang tersebut konsumen baru sadar kalau mereka telah diperdaya oleh toko Two One Two karena barang-barang elektronik tersebut tidak


(49)

 

bermerek dan harganya dipasaran lebih murah dari harga tersebut, kemudian konsumen menolak barang–barang tersebut dan meminta uangnya kembali tapi pihak Two One Two bersikeras kalau transaksi tersebut tidak dapat dibatalkan setelah konsumen dan pelaku usaha ini saling adu mulut, pihak konsumen mengingkan penukaran barang tersebut dengan barang elektronik lain yaitu sebuah Laptop yang harganya sama seperti Home Teater menurut brosur dari toko tersebut akan tetapi karyawan Two One Two hanya menberikan janji dan membuat surat perjanjian yang berisikan penukaran barang elektronik dan karyawan tersebut akan menghubungi konsumen secepatnya akan tetapi setelah lima hari tidak ada kepastian dari pihak Two One Two serta kalau dihubungi pun sulit.

Dari uraian contoh kasus diatas Two One Two selaku pelaku usaha telah melakukan penipuan yang berkedok promo berhadiah yang dimana perbuatan tersebut melanggar Pasal 10 UUPK, ada pun unsur-unsur penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha menurut Pasal 10 UUPK yaitu :

a. Pelaku usaha (Two One Two) melanggar ketentuan Pasal 10 huruf A dimana pelaku usaha menaikan tarif atau harga yang sebenarnya dimana harga tersebut jauh lebih tinggi dari harga dipasaran, yang akibatnya merugikan pihak konsumen.

b. Pelaku usaha dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 10 huruf d dengan melakukan penipuan atas pernyataan yang tidak benar akan adanya hadiah yang menarik yang ternyata adalah sebagai cara dari pelaku usaha untuk menipu konsumen dan akibat dari perbuatan pelaku usaha tersebut konsumen mengalami kerugian.


(50)

BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA

Menurut Pasal 45 ayat (2) UUPK membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 bagian, yaitu :

a. Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan

b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi

3.1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Litigasi

Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan produk dengan promo berhadiah melalui jalur pengadilan atau jalur Litigasi sama dengan penyelesaian sengketa perdata pada umumnya, hal yang membedakannya adalah dalam hal pembuktian dimana dalam penyelesaian sengketa konsumen akibat penyalahgunaan produk dengan promo berhadiah pembuktian hanya dengan menunjukan semua bukti – bukti transaksi yang ada dalam kejadian tersebut tanpa harus ada saksi yang harus menguatkan bukti tersebut, sedangkan dalam sengketa perdata pada umumnya diharuskan mendatangkan saksi – saksi untuk memperkuat bukti – bukti tersebut.

Ketentuan mengenai pembuktian selain dapat ditemukan dalam hukum acara yang berlaku (HIR dan RBg), juga dapat ditemukan dalam buku IV kitab undang-undang hukum perdata. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam pasal 163 HIR dan pasal 1865 kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak mendalilkan adanya sesuatu hak, (yang dalam hal ini, konsumen sebagai pihak yang dirugikan) maka pihak konsumen, harus dapat membuktikan bahwa :


(51)

 

a. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian

b. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan atau jasa tertentu, yang tidak layak

c. Bahwa ketidak layakan penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian dari barang dan atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu

d. Konsumen tidak “berkonstribusi” baik secara langsung maupun tidak langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.

Dalam dua pasal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan pelaku usaha dalam UUPK, yaitu dalam Pasal 22 dan Pasal 28, kewajiban pembuktian tersebut dibalikkan menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal yang demikian, selama pelaku usaha tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang diderita konsumen tersebut.

Pembuktian ini merupakan hal terpenting untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab dan membuktikan bahwa adanya bukti dari perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Dalam kasus yang penulis angkat, barang bukti yang membuat dasar dari aduan konsumen yaitu berupa : kwitansi pembayaran dari pelaku usaha (Two One Two), slip pengambilan uang dari bank Permata, surat perjanjian penukaran barang antara konsumen dan pelaku usaha. Semua bukti-bukti tersebut dapat


(52)

 

dijadikan dasar gugatan atas tindakan pelaku usaha yang telah melakukan perbuatan yang merugikan konsumen serta sebagai bukti yang akurat dengan membuktikan akan fungsi dan akibat dari bukti-bukti tersebut, oleh karena itu konsumen harus bisa menujukan bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa pelaku usaha (Two One Two) benar-benar salah dan merugikan konsumen (ibu Isnaeni), ada pun tindakan atau perbuatan yang telah dilakukan Two One Two yaitu :

a. Two One Two selaku Pelaku usaha menaikan tarif atau harga yang sebenarnya dimana harga tersebut jauh lebih tinggi dari harga dipasaran, yang akibatnya merugikan pihak konsumen hal ini melanggar Pasal 10 huruf a UUPK.

b. Two One Two selaku Pelaku usaha dengan sengaja melakukan penipuan atas pernyataan yang tidak benar akan adanya hadiah yang menarik yang ternyata adalah sebagai cara dari pelaku usaha untuk menipu konsumen dan akibat dari perbuatan pelaku usaha tersebut konsumen mengalami kerugian, hal ini dengan jelas melanggar Pasal 10 huruf d UUPK.

c. Pelaku usaha tidak menepati janjinya untuk melakukan penukaran barang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, hal ini secara jelas pihak Two One Two melakukan wanprestasi.

Dalam hal ini Ibu Isnaeni selaku konsumen yang dirugikan dapat melukukan upaya hukum agar semua kerugian yang dideritanya dapat diganti oleh pelaku usaha, hal-hal yang dilakukan ibu Isnaeni yaitu melaporkan tindakan Two One Two kepada LPKSurabaya untuk menindak lanjuti permasalahan ini agar pihak pelaku usaha dapat bertanggung jawab dengan


(53)

 

mengembalikan segala kerugian yang diderita ibu Isnaeni selaku konsumen yang dirugikan, adapun yang diminta oleh konsumen yaitu : Pelaku usaha (Two One Two) bertanggung jawab dengan mengembalikan segala kerugian yang diderita ibu Isnaeni.

Dari barang bukti tersebut dapat dipakai sebagai dasar gugatan atau aduan oleh konsumen agar gugatan tersebut dapat diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pelaku usaha bersedia bertanggung jawab atas semua tindakannya. Sedangkan apabila pelaku usaha tidak dapat menujukan barang bukti yang dapat membantunya untuk lepas dari tanggung jawab maka pelaku usaha tersebut berkewajiban melakukan tanggung jawab sesuai aturan yang berlaku.

3.2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Non Litigasi Dengan Mekanisme Mediasi

Penyelesaian sengketa non litigasi atau di luar pengadilan dijadiakn pilihan banyak kalangan, hal ini dikarenakan banyaknya keunggulan dibanding penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau litigasi. Keunggulan dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu :masalah dapat diselesaiakan dengan waktu yang cepat dan tidak membutuhkan banyak biaya, rahasia terjamin, penyelesaian ditentukan kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui non litigasi kebanyakan menggunakan mekanisme mediasi, hal ini dikarenakan kedua belah pihak dapat menentukan kesepakatan sendiri tanpa merugikan pihak yang lain.

Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak


(54)

 

bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya . Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyertakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Dalam proses mediasi ini mediator bertindak lebih aktif dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran, dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk menyelesaikan proses mediasi. Pengalaman dan kemampuan mediator diharapkan dapat mengefektifkan proses mediasi diantara para pihak yang bersengketa.

3.2.1. Tahap Pengajuan Gugatan

Permohonan diajukan secara tertulis,kepada sekertariat BPSK, maka secretariat BPSK akan memberikan tanda terima kepada pemohon, dan jika permohonan diajukan secara lisan ,maka sekretariat BPSK akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan


(55)

 

secara khusus, dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi apabila permohonan ternyata tidak lengkap (tidak sesuai dengan pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) atau permohonan bukan merupakan kewenangan BPSK, maka ketua BPSK menolak permohonan tersebut. Jika permohonan memenuhi persyaratan dan diterima, maka ketua BPSK harus memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan kopi permohonan dari konsumen, selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak diterimanya permohonan.

Jika pada hari yang ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampaui 3 hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi. Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka berdasarkan ketentuan pasal 52 huruf I UUPK jo. Pasal 3 huruf I Kepmenperindag No.350/MPP/Kep/12/2001,BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.

Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha. Cara yang bisa dipilih dan disepakati para pihak adalah : konsiliasi,mediasi atau arbitrase. Jika cara yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai dengan ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika cara yang dipilih para pihak adalah arbitrase, maka prosedurnya adalah para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dan unsure pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Arbiter yang


(56)

 

terpilih memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsure pemerintahan sebagai ketua majelis. Persidangan pertama dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya permohonan.22

3.2.2 Tahap Persidangan

a. Persidangan dengan cara konsiliasi

Konsiliasi suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.23 Dalam praktik istilah mediasi dan konsiliasi memang sering saling dipertukakan. Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator hanyalah sebagai pihak fasilisator untuk melakukan komunikasi di antara pihak sehingga dapat diketemukan solusi aleh para pihak sendiri.

Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa sengan didampingi majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya.

Pada penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini, majelis BPSK sebagai konsiliator memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, dan memanggil saksi-saksi serta saksi ahli, dan bila diperlukan, menyediakan forum konsiliasi bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dan menjawab pertanyaan konsumen dan       

22

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum

Acra Serta Kendala Implementasinya,Kencana,2008 Ibid hal 105

23


(57)

 

pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.

Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.

Apabila diilustrasikan, maka proses penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi menurut UUPK sebagai berikut :

Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi:

Majelis BPSK (pasif)

Konsumen Kesepakatan Pelaku Usaha

Dituangkan dalam putusan BPSK

b. Persidangan dengan cara mediasi

Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak

a. Panggilan pelaku usaha & konsumen yang bersengketa.  b. Panggil sanksi/ahli, bila diperlukan. 

c. Menyediakan forum bagi konsumen dan para pelaku  usaha untuk menyelesaikan sengketa. 

d. Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha  tentang alternative penyelesaian & masalah hukum. 


(58)

 

(impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.24

Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya . Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ke tiga memegang peranan penting untuk menyertakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika pihak yang bersegketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen.

Dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi, dalam proses mediasi ini, mediator bertindak lebih aktif dengan memberikan nasihat,petunjuk,saran, dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa.

Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk menyelesaikan proses mediasi. Pengalaman dan kemampuan       

24


(59)

 

mediator diharapkan dapat mengefektifkan proses mediasi diantara para pihak yang bersengketa.25

Peranan majelis BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi secara deskripsi, meliputi tugas sebagai berikut :

1) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. 2) Memanggil saksi dan saksi ahli apabila diperlukan.

3) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

4) Secara aktif mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. 5) Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian

sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.

Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa,selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertuls, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak. Keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administrative.

Apabila diilustrasikan, maka proses penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi menurut UUPK sebagai berikut :

      

25


(1)

permasalahn yang di adukan oleh konsumen,setelah adanya kebenaran tentang permasalahan tersebut maka pihak LPKS menghubungi kedua belah pihak untuk menentukan kapan dan dimana mediasi dilakukan.

Setelah waktu dan tempat ditentukan maka mediasi dilakukan dengan kehadiran keduabelah pihak dan para mediator serta saksi ahli yang berasal dari LPKS dalam mediasi ini kedua belah pihak diberikan hak sepenuhnya untuk menentukan jalan keluar karena disini LPKS hanya sebagai penengah dan membantu mencari solusi yang terbaik untuk kedua belah pihak, setelah melalui berbagai pendapat serta keterangan oleh pihak – pihak terkait kemudian tercapai lah hasil atau jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak dimana salah satu pihak tidak ada yang merasa dirugikan serta tidak ada unsur paksaan dari siapa pun. Kemudian pihak LPKS selaku mediator akan membuat Berita Acara Penyelesaian (BAP) dan para pihak harus mematuhi isi dari BAP tersebut karena kedua belah pihak telah sepakat dengan jalan keluar yang dihasilkan dalam mediasi tersebut.

Dari hasil mediasi tersebut disepakati kedua belah pihak untuk mengakhiri sengketa ini dengan cara mediasi dan mematuhi segala hasil dari mediasi tersebut. Dalam mediasi ini pelaku usaha selaku pihak yang bersalah bersedia bertanggung jawab atas segala perbuatannya yang telah merugikan pihak konsumen dengan bersedia membatalkan transaksi dan mengembalikan sejumlah uang yang telah dikeluarkan oleh konsumen, serta konsumen bersedia


(2)

64   

   

BAP yang dikeluarkan LPKS bersifat mengikat dan final, hal ini dikarenakan BAP atau hasil mediasi tersebut dikeluarkan dan berisi tentang kesepakatan kedua belah pihak dengan keadaan sadar dan tanpa paksaan, serta telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, mediator dan saksi-saksi termasuk saksi ahli. Dan apabila salah satu pihak melanggar dari isi yang ada di BAP tersebut bisa dituntut ke jalur hukum formal karena sudah mengandung unsur wanprestasi. Oleh karena itu BAP dari LPKS bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa.


(3)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

a. Tanggung Jawab Pelaku usaha yang melakukan penipuan dengan

menggunakan promo berhadiah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UUPK.

b. Bentuk dari tanggung jawab tersebut adalah pelaku usaha diwajibkan bertanggung jawab atas kerusakan, pencemaran dan atas kerugian konsumen.

c. Hak-hak konsumen yang harus diperhatikan pelaku usaha yang melakukan penipuan dengan promo berhadiah adalah Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa; Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

d. Menurut Pasal 45 ayat (2) UUPK Penyelesaian Sengketa Konsumen Akibat Penyalahgunaan Promo Berhadiah di bagi menjadi 2 :

1) Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan


(4)

66   

   

f. Dalam mediasi ini pelaku usaha selaku pihak yang bersalah bersedia bertanggung jawab atas segala perbuatannya yang telah merugikan pihak konsumen dengan bersedia membatalkan transaksi dan mengembalikan sejumlah uang yang telah dikeluarkan oleh konsumen, serta konsumen bersedia mengembalikan semua barang yang telah diterima dari pelaku usaha.

4.2 Saran

a. Agar konsumen dalam transaksi harus lebih cemat, cerdas dan teliti supaya tidak dirugikan akan proses jual beli tersebut.

b. Konsumen harus lebih mengerti akan keadaan dan lebih cakap hukum agar apabila mengalami kerugian dapat melapor langsung kepada pihak-pihak yang dapat menyelesaikan permasalahan ini.

c. Pelaku usaha dalam melakukan transaksi jual beli haruslah berbuat sesuai peraturan yang berlaku karena apabila melanggarnya langsung berhadapan dengan hukum yang berlaku.

d. Pelaku usaha haruslah berbuat jujur dalam menawarkan suatu produk yang akan dijual serta tidak merugikan konsumen demi memperoleh keuntungan pribadi.

 


(5)

Aditya Bakti, 2000

Ahmadi Miru, “Hukum Perlindungan Konsumen” Raja Grafindo Persada, Jakarta

,2004

Ahmadi Miru, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2008

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1995

Bambang Waluyo.”Penelitian Hukum Dalam Praktek”,Sinar Grafika,Jakarta,2004

Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Erman Rajagukguk,et al, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung ,

2000

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa , Sinar Grafika, Jakarta 2008

Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Perlindungan Konsumen , sinar grafika,

Jakarta, 2008

Kansil. Christine ST Kansil, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 08 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta,Pradnya Paramita,1999

Marhainis Abdulhay, Hukum Perdata, Keluarga UPN Veteran, Jakarta, 1982

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari

Hukum Acra Serta Kendala Implementasinya,Kencana,2008

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005

B.

PER UNDANG-UNDANGAN

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pedoman Penyelesaian Sengketa

Konsumen dengan cara Konsiliasi.


(6)

Pedoman Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara Konsiliasi,Departemen

Perindustrian dan Perdagangan,Jakarta,2003

PERMA Nomor 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi

Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 Tentang LPKSM (Lemabaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat)

Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

C.

LAIN-LAIN

Ari Purwadi,Jurnal Yustika, Fakultas Hukum Universitas Surabaya,Surabaya, 2001

Echols, John.M, Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta,1990