Kematangan emosi tiga suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang sedang menjalani studi tahun 2009/2010 - USD Repository

  

KEMATANGAN EMOSI TIGA SUSTER YUNIOR

KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

YANG SEDANG MENJALANI STUDI

TAHUN 2009/2010

  

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Astuti Christina

  

NIM: 051114004

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2010

  

KEMATANGAN EMOSI TIGA SUSTER YUNIOR

KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

YANG SEDANG MENJALANI STUDI

TAHUN 2009/2010

  

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  Program Studi Bimbingan dan Konseling

  

Oleh:

Astuti Christina

NIM: 051114004

  

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  MOTTO

“Akulah Pokok Anggur,

barangsiapa tinggal dalam Aku

dan Aku dalam dia ia berbuah banyak.

  

Jikalau kamu tinggal didalam Aku

dan firman-Ku tinggal dalam kamu,

mintalah apa saja yang kamu kehendaki

dan kamu akan menerima-Nya”

  

(Yohanes 15: 5-7)

“Ia tahu menyesuaikan diri dengan semua, Ia bergembira dengan orang

yang gembira dan turut berduka dengan yang berdukacita.

  

Ia selalu bersedia membantu semua. Terutama dalam waktu sulit ia

mendampingi kami sambil membantu dan membesarkan hati kami”

(Sr. Benedicta, tentang ibu Josepha, Konstitusi SSpS)

  

PERSEMBAHAN

  Skripsi ini kupersembahkan kepada: Semua suster SSpS Provinsi Maria Bunda Allah Jawa yang telah mendukung dan menyemangati saya selama menjalani tugas studi di Program Studi Bimbingan dan Konseling

  Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

  Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  ABSTRAK KEMATANGAN EMOSI PADA TIGA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) YANG SEDANG MENJALANI STUDI TAHUN 2009/2010 Astuti Christina Universitas Sanata Dharma 2010

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang sedang studi tahun 2009/2010 dan untuk menemukan program pendampingan yang sebaiknya dilakukan untuk tiga suster SSpS yunior dan sebayanya untuk dapat meningkatkan kematangan emosi mereka.

  Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Subjek dalam penelitian ini ada tiga (3) suster yunior yang berada di Komunitas Yogyakarta dan Surabaya. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data menggunakan wawancara mendalam dengan para subjek. Instrumen penelitian berupa pertanyaan- pertanyaan pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti dan dikonsultasikan dengan pembimbing. Data yang diperoleh dari hasil wawancara direkam dengan menggunakan tape-recorder dan disusun dalam bentuk transkrip.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek penelitian menampakkan kematangan emosi mereka. Hal ini bisa terlihat dari sikap, tutur kata dan perbuatan mereka dalam kehidupan bersama baik di komunitas maupun di kampus. Dalam menghadapi dan menanggapi sesuatu mereka tidak mudah terbawa oleh emosi sesaat, melainkan mereka mampu menanggapi dengan tenang setelah menenangkan diri dan berefleksi. Meskipun demikian mereka masih perlu untuk terus-menerus melatih diri dengan tekun karena emosi yang muncul belum diolah secara mendalam sehingga masih mengganggu dalam berproses untuk menerima diri dan orang lain. Mereka juga menyadari betapa pentingnya hidup dalam kesadaran karena hal ini sangat membantu mereka dalam mengolah diri dan mengolah emosi dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang religius yang sedang menjalani tugas studi. Selain itu mereka juga mampu menemukan manfaat dan mampu memaknai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bersama, sehingga membuat mereka semakin berkembang dalam kepribadian dan mencapai kematangan dalam hidup beriman. Nilai-nilai yang semakin bertumbuh dengan kuat dalam proses kematangan emosi adalah kerendahan hati, kasih, berani ambil resiko, pengampunan, penghargaan diri, empati dan beriman kuat.

  Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti mengusulkan beberapa topik pendampingan untuk meningkatkan kematangan emosi. Usulan kegiatan yang bisa dilakukan meliputi: Peningkatan Kematangan Emosi dalam konteks visi, misi dan spiritualitas Kongregasi, Manajemen emosi selama menjalani studi, Menjadi Pribadi yang bebas dan dewasa secara holistik. Topik - topik ini dimaksudkan agar para suster SSpS yunior mampu mengolah emosi, menerima diri, memiliki kepekaan, empati, dan keberanian mengambil keputusan serta menjadi misionaris yang berkualitas dan tangguh.

  

ABSTRACT

THE EMOTIONAL MATURITY OF THREE JUNIOR SISTERS

OF THE HOLY SPIRIT MISSION CONGREGATION (SSpS)

WHO ARE STUDYING IN THE YEAR 2009/2010

  

Astuti Christina

Sanata Dharma University 2010

  This research is aimed to know the level of the emotional maturity of the junior sisters of the Holy Spirit Mission Congregation (SSpS) who are studying in the year 2009/2010, and it is to find out the assisting programme which should be done for the three SSpS junior sisters, and their friends of the same age, in order to improve their emotional maturity.

  The type of this research is a qualitative one. The subjects of this research are three junior sisters who are living in Yogyakarta and Surabaya. The method used for the data collecting is by using the profound interview with the subjects. The research instrument is using the form of directive questions which were compiled by the researcher and were consulted with the advisor. The Data that obtained from the interview is recorded using a tape-recorder and is arranged in the form of transcription.

  The result of the research indicated that the three subjects of the research showed up their emotional maturity. It is see through their attitude, words and actions in their social life, both in the religious community and in the campus. When facing something, they are not easily affected by their emotion at that moment, but they are able to respond calmly after going through some quiet time for themselves and through personal reflections. However, they still need to practize diligently and continuously because the emotion shown is not yet processed deeply and therefore it is still disturbing in the process of accepting oneself and others. They are aware of how important to live consciously, which help them for personal and emotional development in everyday-life as religious who are still in the study progress. They also find the benefits and meanings of events that happen in community life which make them more developed in their personalities and becoming mature in faith. Values that grow stronger in their emotional maturity are: humility, love, courage to take risks, forgiveness, self respect, emphaty and strong faith.

  Based on this research, the researcher suggested some topics for assistance to improve the emotional maturity. Suggestions that can be done are: Improvement of emotional maturity in the context of vision, mission and Congregation Spirituality; Emotion Management during study period; Becoming free, mature and holistic persons. The topics above are meant for the SSpS junior sisters, in order to be able to process emotion; to accept oneself; to have sensitivity, emphaty and to have courage in making decision and to be strong and qualified missionaries.

KATA PENGANTAR

  Puji Syukur kepada Allah Yang Maha Kasih yang telah membimbing dalam proses penyusunan sampai dengan selesainya skripsi ini melulu hanya karena PenyelenggaraanNya, anugerah dan belaskasih serta bimbinganNya dan berkat bantuan, bimbingan, perhatian serta dorongan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat selesai.

  Atas bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak, dengan hati yang tulus penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

  1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

  2. Dr. M. M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah memberi kesempatan, dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

  3. Drs. YB. Adimassana, M.A., selaku pembimbing I yang telah berkenan membimbing penulis dengan penuh kesabaran, empati, bijaksana dan memberikan ide-ide yang bagus.

  4. Drs. H. Sigit Pawanta, SVD, M.A., selaku pembimbing II yang telah berkenan membimbing penulis dengan penuk kasih, kesabaran, empati dan bijaksana.

  5. Para dosen dan karyawan Program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan mendidik penulis selama menempuh tugas studi.

  6. Tim Pimpinan Provinsi yang telah memberi kepercayaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri dalam studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Progaram Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, serta setiap suster SSpS di Provinsi Maria Bunda Allah Jawa yang telah mendukung lewat cinta, doa-doa dan perhatiannya sehingga dapat menyelesaikan tugas studi ini dengan baik.

  7. Sr. A, Sr. B dan Sr. C (nama samaran) yang telah berkenan membagikan dan mempercayakan sebagian pengalaman hidupnya kepada penulis demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

  8. Para suster komunitas Biara Roh Suci Yogyakarta yang telah memberikan dukungan, doa, perhatian khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini.

  9. Para suster komunitas St. Vincentius a Paulo Surabaya yang telah memberikan dukungan dan ijin untuk penelitian.

  10. Pater Thobias Muda Kraeng SVD, Andreas Nugroho WH, yang telah berkenan mengoreksi, mengkritisi dan memberi semangat dalam proses akhir penyusunan skripsi ini.

  11. Teman-teman seangkatan 2005 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  12. Sanak saudara, rekan-rekan, sahabat dan kenalan baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberi dukungan dan bantuannya demi kelancaran penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritikan dan saran demi penyempurnaannya. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan membantu para suster yunior dalam usaha meningkatkan kemampuan mengelola emosi mereka sehingga mereka semakin matang dan dewasa dalam hidup panggilan sebagai religius misionaris SSpS yang berkualitas dan tangguh.

  Penulis.

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii HALAMAN MOTTO ........................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................ vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

  ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................ vii ABSTRAK ..................................................................................................... viii

  

ABSTRACT ..................................................................................................... ix

  KATA PENGANTAR ....................................................................................... x DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi

  BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 7 E. Devinisi Operasional dan Variabel Penelitian ............................. 8

  1. Definisi Operasional .............................................................. 8

  2. Variabel Penelitian ................................................................ 8

  3. Keterbatasan Penelitian ......................................................... 9

  BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kecerdasan/Kematangan Emosi .................................................. 10 B. Kedewasaan pribadi ..................................................................... 14 C. Pembinaan masa Yuniorat ........................................................... 19 BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ........................................................................ 21 B. Fokus Penelitian .......................................................................... 22 C. Subjek Penelitian ......................................................................... 23 D. Pengumpulan Data ....................................................................... 24

  1. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 24

  2. Format .................................................................................. 26

  3. Tahap Penelitian ................................................................... 27

  4. Cara Mengolah Jawaban ....................................................... 28

  5. Pertanggungjawaban mutu alat penelitian ............................ 29

  6. Teknik Analisa Data ............................................................. 31

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ............................................................................ 34

  B. Pembahasan ................................................................................. 36

  C. Usulan topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan Kematangan Emosi Para Suster SSpS Yunior yang Sedang Menjalani Studi ..................................................... 44

  BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. 49 B. Saran ............................................................................................ 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52 LAMPIRAN…. . ................................................................................................ 54

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel Instrumen Wawancara .......................................................................... 24

DAFTAR LAMPIRAN

  LAMPIRAN I: Surat Ijin Penelitian LAMPIRAN II: Hasil Wawancara LAMPIRAN III: Hasil Penelitian

  BAB I PENDAHULUAN Dalam bab I ini akan dibahas pendahuluan yang meliputi latar belakang

  masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan variabel penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

  Kematangan emosi setiap pribadi sangat dibutuhkan dalam kehidupan, juga dalam kehidupan bersama di biara. Hal tersebut merupakan salah satu tuntutan dalam kehidupan membiara. Mengingat emosi atau perasaan sangat penting dalam hidup manusia, setiap pribadi hendaknya menata emosinya agar lebih tenang dalam bertingkah laku, lebih aman bersama orang lain, lebih bijak dalam mengambil keputusan dan lebih damai. Dalam hidup membiara, pengaturan emosi sangatlah penting bahkan juga dalam hubungan dengan Tuhan.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 368) Emosi adalah: 1) luapan perasaan yang berkembang dan surut di waktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat subyektif; 3) cak marah. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Psikologi J.P.

  Chaplin (Kartini Kartono, 2006 :163), kata “emosi” dapat diartikan sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Kematangan emosi adalah kecerdasan seseorang dalam mengatur, mengendalikan dan menata emosi yang ada dalam dirinya. Emosi yang matang dapat dilihat dan dirasakan dari kemampuan seseorang menguasai, dan mengatur emosi sesuai dengan kebutuhan. Pengungkapan emosi tidak boleh lepas, tanpa kendali, tetapi harus yang terkendali dan konstruktif sehingga tidak menjadi batu sandungan dan menyakitkan bagi orang lain. Kematangan emosi sangat dibutuhkan oleh seseorang yang ingin menjadi biarawan atau biarawati karena adanya tuntutan tiga kaul sebagaimana tertulis dalam dokumen Gerejani dalam konstitusi “Lumen Gentium” pada akhir artikel 44 (1) bahwa status kebiaraan “diadakan dengan pengikraran nasihat- nasihat Injil (kaul keperawanan, kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan)”. Hidup membiara adalah tanda, yaitu tanda dari Tuhan. Tuhanlah yang mau menyatakan Diri dalam hidup membiara itu. Kristus hadir di dalamnya secara istimewa, yaitu untuk menyatakan kebenaran kebangkitan-Nya. Oleh sebab itu hidup membiara merupakan suatu concecratio yang berarti bahwa Tuhan mau memakai hidup membiara untuk menarik orang akan kemuliaan surgawi. Kutipan artikel 44 (1) Lumen Gentium tersebut mengasumsikan bahwa sebagai religius seseorang harus sudah memiliki kematangan dalam emosinya, sehingga ia mampu menghayati kaul-kaul kebiaraan yang telah diikrarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan bahwa seorang religius masih harus terus-menerus berjuang dalam berproses untuk meningkatkan dan mengembangkan kematangan emosinya.

  Kebanyakan para religius yang hidup membiara mempunyai optimisme dan idealisme hidup yang dijalaninya. Namun demikian idealisme dan optimisme tersebut secara perlahan dapat hilang bersama berjalannya waktu dan digantikan oleh kelemahan manusiawi yang kerap dirasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Ciri melemahnya idealisme dan optimisme antara lain: orang condong mengikuti gejolak emosi yang muncul oleh adanya tawaran- tawaran dari dunia sekitarnya, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi idealismenya.

  Kebersamaan dalam keanekaragaman yang tercipta dalam hidup membiara memang sudah sepatutnya menjadi realitas yang harus dihayati oleh setiap anggota. Hal ini menjadi suatu tuntutan karena sebuah Kongregasi religius bukanlah persatuan minat yang sama, seragam, budaya/suku yang sama, pekerjaan yang sama, melainkan karena panggilan dan perutusan atas dasar iman yang sama. Mereka dipersatukan dalam hidup bersama dalam Kongregasi bukan karena pilihan pribadi, melainkan setiap manusia diciptakan dan dipanggil untuk turut serta dalam kebersamaan hidup dengan Allah secara rohani, mengambil bagian pada kehidupan Allah Tritunggal.

  Dalam kebersamaan sering muncul gejolak emosi yang jika tidak dikendalikan akan merongrong nilai-nilai yang dicita-citakan. Kebersamaan dalam keanekaragaman yang ada bisa jadi tidak menjadi sebuah nilai yang mudah untuk dihayati dan dihidupi dalam hidup membiara. Hal ini membutuhkan sebuah perjuangan yang terus-menerus. Berkaitan dengan hal ini Konstitusi Misi Servae Spiritus Sancti (SSpS) mengungkapkan demikian:

  Roh Kudus yang mempersatukan kita dalam cinta persaudaraan yang tulus. Dalam keanekaan kebudayaan, bangsa, kepribadian dan usia kita mengalami kekayaan karunia Roh Kudus dalam diri kita masing-masing. Hendaknya kita saling menghargai, menyemangati, membantu, saling berbagi rasa dan saling memberi perhatian pada hidup dan karya. Kehadiran Roh Cinta di tengah-tengah kita dinyatakan dalam saling percaya dan cinta yang penuh perhatian. (Konstitusi SSpS, artikel 304, hal 75). Keanekaragaman suku di dalam komunitas, jika disikapi dengan emosi yang belum matang, dapat menimbulkan keretakan, pertengkaran, atau ketidak harmonisan dalam kehidupan bersama (komunitas). Bisa jadi keanekaragaman menjadi alasan untuk mengundurkan diri dari hidup membiara karena mengalami

  

shock budaya. Oleh karena itu sebagai suster yunior perlu mengolah kematangan

  emosinya sebagai anggota komunitas SSpS dan melatih emosinya agar lebih teratur dan tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri dalam tugas perutusan.

  Keanekaragaman usia pun bisa menjadi suatu penyebab kesalahpahaman dalam kebersamaan hidup membiara. Masing-masing generasi (generasi tua dan generasi muda) dapat saja saling mempertahankan gaya dan cara hidup mereka. Hal inilah yang kerap menjadi pemicu terjadinya konflik dalam sebuah lembaga hidup bakti.

  Hidup bakti merupakan sebuah lembaga atau institusi, yang tak lepas dari tugas jabatan atau fungsi tertentu. Tugas jabatan atau fungsi ini bukannya mempermudah bagaimana mengorganisasikan kongregasi dengan lebih baik, tetapi kadang-kadang justru sebaliknya bisa menjadi alasan bagi kemacetan suatu komunikasi dan relasi antar pribadi. Keanekaan jenjang pendidikan termasuk juga bagian dalam kebersamaan hidup di biara. Setiap anggota diharapkan memiliki kerendahan hati dan keterbukaan hati untuk saling melengkapi dan saling belajar satu dengan yang lainnya, bersama-sama untuk memajukan dan mengembangkan kongregasi dimungkinkan adanya anggota komunitas yang kurang rendah hati dalam status pendidikan. Oleh sebab itu Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang merupakan salah satu lembaga religius Kepausan, dengan kaul-kaul umum, berada di bawah wewenang tertinggi Tahta Suci, masih terus-menerus berbenah diri untuk meningkatkan dan mengembangkan kerasulan yang bisa dimulai dari masing-masing pribadi.

  Tidaklah mudah bagi seorang suster yunior untuk mencapai kematangan emosi manusiawi dalam hidup religiusnya. Ada banyak faktor yang dapat menghambat perkembangan mereka, baik dari dalam diri maupun dari luar diri mereka. Hambatan dari dalam diri antara lain: masih adanya luka-luka batin yang belum diolah dengan tuntas tidak disiplin dalam memupuk hidup rohani, jarang melakukan refleksi, malas membaca dan mendalami Konstitusi, suka menunda, malas mengolah perasaan, hidup doa hambar dan dangkal, kurang memperdalam nilai-nilai spiritualitas kongregasi, dan sibuk dengan dunianya sendiri. Hal-hal seperti inilah yang akan semakin mengancam hidup panggilan mereka, merasa terbebani, mengalami kejenuhan, dan tidak menemukan arah, tujuan serta makna hidupnya.

  Hambatan dari luar yang sering dialami para suster yunior antara lain: kesibukan dalam tugas studi, situasi komunitas yang kurang mendukung, kurangnya teguran dalam cinta persaudaraan, serta adanya krisis keteladanan dan kesungguhan dari suster yang lebih senior. Selain itu perkembangan teknologi yang semakin canggih juga bisa mempengaruhi mereka bahkan melemahkan prinsip-prinsip kedewasaan emosi mereka.

  Dari gejala yang mengemuka demikian nampak adanya masalah yang mempengaruhi penghayatan tri kaul para suster yunior dalam hidup membiara.

  Menurut dugaan penulis akar penyebabnya adalah kurangnya pengolahan gejolak emosi yang terjadi dalam diri mereka. Maka dari itu penulis terdorong untuk meneliti salah satu dari permasalahan diatas yaitu kematangan emosi para suster SSpS yunior dalam menjalani tugas studi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk membantu mereka mengolah emosi dengan program pendampingan.

  B. Perumusan Masalah

  Masalah yang akan dijawab/diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

  1. Sejauhmana kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi?

  2. Topik-topik pendampingan apa yang dapat membantu meningkatkan kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

  1. Mengetahui sejauhmana kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi.

  2. Tersusunnya topik-topik pendampingan yang dapat membantu meningkatkan kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi.

D. Manfaat hasil penelitian

  1. Manfaat teoretis

  Kepada program studi Bimbingan dan Konseling memberikan sumbangan teoritis tentang tingkat kematangan emosi para suster yunior yang sedang menjalani masa studi, sehingga prodi dapat dengan efektif dalam mendampingi para biarawan – biarawati dan mahasiswa melalui mata kuliah yang berkaitan langsung dengan kematangan emosi.

  2. Manfaat praktis

  a. Bagi peneliti sendiri Semakin mengerti dan memahami serta mampu mengolah emosi yang ada dalam diri.

  b. Bagi para suster SSpS Memberikan wawasan yang dapat membantu sesama dalam menemukan dan memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kematangan emosi dalam tanggung jawab sebagai suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi dan memberikan masukan bagi para formator (tim pimpinan provinsi, pemimpin komunitas, pendamping novis) untuk dapat mendampingi para formandi dan memberikan bantuan secara tepat sesuai dengan kebutuhannya.

E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian

  1. Definisi Operasional

  a. Kematangan emosi adalah suatu sikap batin untuk mengakui keberadaan diri secara bebas, memampukan pribadi yang bersangkutan untuk mengidentifikasi setiap rasa perasaan yang muncul sebagai bagian dari dirinya sebagai manusia dan menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggungjawab akan segala sesuatu yang dilakukannya sebagai manusia.

  b. Suster Yunior SSpS studi adalah suster SSpS yang masih dalam tahap formasi masa yuniorat dan belum kaul kekal yang sedang mendapat tugas studi tahun 2009/2010 di Provinsi Jawa.

  c. Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) adalah suatu lembaga hidup bakti/kongregasi internasional. Khusus untuk maksud dan tujuan penelitian ini Kongregasi SSpS Provinsi Maria Bunda Allah Jawa yang berpusat di Jl. Jambi 20 Surabaya, Jawa Timur Indonesia berpusat di Roma-Italia.

  2. Variabel Penelitian

  Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat kematangan emosi tiga suster SSpS yunior yang sedang menjalani studi pada tahun akademik 2009/2010.

3. Keterbatasan Penelitian

  Mengingat bahwa penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan 3 suster yunior SSpS sebagai subjek, sekalipun hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga suster matang dalam emosinya, akan tetapi penelitian ini masih sangat terbatas. Karena hasil penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dari masing-masing subjek. Sehingga penelitian ini belum dapat mewakili kebanyakan orang.

BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini memuat landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu

  kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani studi pada tahun akademik 2009/2010.

A. Kecerdasan/Kematangan Emosi

  Banyak pihak yang belum bersepakat mengenai definisi secara pasti tentang arti kecerdasan. Hal ini bisa dilihat dari cukup lamanya orang beranggapan bahwa IQ (Intellegence quotient) merupakan ukuran penentu kesuksesan belajar dan hidup seseorang. Bila IQ-nya tinggi, maka orang itu akan sukses dalam belajarnya dan akhirnya sukses dalam kehidupan. Ternyata pendapat itu tidak selalu benar, ada banyak orang yang IQ-nya tinggi tapi gagal dalam hidupnya. Karenanya banyak pihak berpendapat bahwa selain IQ ukuran kesuksesan juga ditentukan dengan emotional quotient (EQ) kemampuan emosional dan juga spiritual quotient (SQ) kemampuan spiritual. Kedua hal ini juga harus diperhatikan dalam kehidupan agar seseorang dapat sukses.

  Beragamnya definisi inteligensi membuka ruang bagi semua orang untuk yakin akan kecerdasan mereka (Goleman, 1997).

  Gardner (2003) dalam buku Kecerdasan Majemuk (terjemahan) banyak mengumpulkan kemampuan manusia yang dimasukkan dalam pengertian inteligensi. Setelah semua kemampuan itu dianalisis secara teliti, Gardner mendapati ada tujuh inteligensi yang dimiliki manusia. Dalam buku Intellegence

  

Reframed, ia menambahkan ada dua inteligensi baru, yaitu inteligensi lingkungan

  atau naturalis (naturalist intellegence) dan inteligensi eksistensial (existensial

  intellegence). Dengan demikian saat

  ini ada sembilan inteligensi yang telah dirumuskan. Dari sembilan kecerdasan, menurut Gardner, peneliti mengambil tiga intelegensi yang berkaitan langsung dengan kematangan emosi, yaitu:

a. Inteligensi Interpersonal yaitu kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain.

  Orang yang kuat dalam inteligensi Interpersonal biasanya sangat mudah bekerja sama dengan orang lain dan mudah berkomunikasi dengan orang lain.

  b. Inteligensi Intrapersonal yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptatif berdasar pengenalan diri. Orang yang menonjol dalam inteligensi intrapersonal biasanya mudah berkonsentrasi dengan baik.

  c. Inteligensi Eksistensial, inteligensi ini lebih menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan dalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang yang menonjol dengan inteligensi eksistensial akan mempersoalkan keberadaannya di tengah alam raya yang besar ini.

  Ketiga kecerdasan tersebut merupakan bagian yang integral dalam proses mencapai kematangan emosi. Beragam kecerdasan inteligensi yang dimiliki memampukan seseorang untuk mengakui kemampuan/bakat yang dimilikinya. Hal ini akan membantu seseorang untuk mengakui dan menerima keterbatasan- keterbatasan yang dimilikinya. Jika seseorang tidak memahami keanekaragaman inteligensi ini bisa men- jadi pemicu gejolak emosi yang tidak seimbang dalam dirinya.

  Kecerdasan emosi ditandai dengan adanya kematangan emosi. Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri (Goleman, 1997:xiii). Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi diri, bertahan dalam menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak berlebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati mengatur dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman,1997:45).

  Menurut Goleman (1997:58-59), kecerdasan emosi mencakup banyak kemampuan dalam mengelola emosi, yang dapat dirangkum sebagai berikut: a. Mengenali emosi diri :

  Kesadaran diri mengenali perasaannya sendiri pada saat perasaan itu sedang terjadi, dan memahami penyebab perasaan yang timbul, serta mengenali perbedaan perasaan dan emosi yang sedang bergejolak di dalam dirinya tanpa diingkari atau ditutupi.

  b. Mengelola emosi : Orang mampu untuk mengendalikan dan mengelola emosi-emosi (yang merusak) agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Toleransi lebih tinggi terhadap frustasi, berkurangnya ungkapan emosi dalam bentuk kata-kata ejekan, emosi terungkap dengan pas, mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi, tidak berperilaku agresif, perasaan lebih positif terhadap diri, sesama, keluarga, mengatasi ketegangan jiwa, dan mengurangi kesepian, kecemasan dalam pergaulan.

c. Memotivasi diri sendiri :

  Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri dan menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Lebih bertanggung jawab, dan mampu memusatkan perhatian pada tugas, lebih produktif dan efektif dalam hidup.

  d. Kemampuan berempati : Mampu menerima sudut pandang orang lain, memperbaiki rasa empati pada orang lain, dan lebih bisa mendengarkan orang lain.

  e. Mengenali emosi orang lain.

  Orang yang empatik adalah orang yang mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Atau orang yang mampu untuk mengerti dan memahami perasaan-perasaan ataupun emosi-emosi orang lain.

  f. Membina hubungan : Membina relasi dengan orang lain, terampil dalam mengelola emosi orang lain dan memahami orang lain, berkomunikasi dengan baik, membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain.

  Menurut kamus Oxfortd English Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Goleman(1997:411), diidentifikasikan bahwa “emosi” adalah “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Emosi atau perasaan sangat penting dalam hidup, akan tetapi perlu ditata dan empati dalam diri juga perlu dibangun berdasarkan kesadaran diri, sehingga diri kita semakin terbuka terhadap emosi diri sendiri, dan semakin terampil membaca perasaan sendiri maupun perasaan orang lain melalui ungkapan kata maupun tingkah laku yang diisyaratkan. Kaum religius dituntut untuk memiliki kematangan emosi agar semakin menjadi religius yang penuh empati serta memiliki tujuan hidup yang jelas.

B. Kedewasaan Pribadi

  Dalam buku Psikologi Hidup Rohani 2 (Mardi Prasetya,1992:100-104), dituliskan bahwa “pribadi yang dalam hidupnya menunjukkan kedewasaan dalam dimensi-dimensinya dan juga memiliki kebebasan efektif lebih besar untuk membatinkan nilai-nilai panggilan, maka ia mempunyai disposisi untuk mengikuti panggilannya secara lebih baik.”, ciri-ciri kedewasaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  1. Kemampuan untuk menerima kenyataan: Ia terbuka untuk mengetahui dan menerima dirinya dan orang lain, karena ia mempunyai keyakinan diri dan kepastian untuk berpijak, mempunyai integritas pribadi yang dapat ditunjukkannya melalui perilakunya.

  2. Menerima dan menghayati apa yang bernilai: Sebagai religius ia berani menerima dan menghayati nilai-nilai injili (nilai hidup rohani) dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan yang menguntungkan diri, membela diri dan sekedar memamerkan kesalehan.

  Dengan kata lain ia berusaha mengatur dan menghayati hidup atas dorongan motivasi yang lurus dalam panggilan, yaitu nilai-nilai hidup rohani, dengan ini akan tampak bahwa ia ambil bagian dalam kebebasan untuk memeluk cinta dan afeksi rohani.

  3. Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup: Ia mampu mengendalikan ketegangan yang mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya, mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya.

  4. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme : Ia memiliki fleksibilitas sekaligus sikap seorang ‘hamba Tuhan’ yang setaraf dengan kedewasaannya, lebih-lebih dalam membela nilai-nilai Kristus dalam arti bahwa ia tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab. Ia lebih peka dan lebih terbuka terhadap perasaan orang lain.

  5. Memiliki cinta yang tidak egois: Cinta yang tidak egois adalah cinta yang melampaui ‘personalisme’ dan tanpa pamrih. Maka orang yang memiliki cinta ini tidak akan mudah frustrasi, dan menomorsatukan nilai cinta kasih Kristus.

  6. Sikap realistis. Sikap realistis yang dimaksudkan di sini khususnya berhubungan dengan pelaksanaan nilai dan sikap hidup panggilan. Ia mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang prinsip, ia mampu membedakan antara kompromi fakta dan kompromi prinsip. Ia pun tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.

  7. Mampu mempercayai orang lain, ini adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri. Ia tidak mendominasi dan tidak merendahkan orang lain.

  8. Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri, ia selalu siap dengan pertobatan manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membaharui diri sejauh mungkin atas rahmat dan kemampuan diri sendiri.

  9. Relasi sosial yang berciri ‘dependibility’, mampu mengambil keputusan dan tanggung jawab, mampu menyesuaikan diri, memiliki kepekaan, menghargai kebebasan orang lain dan diri sendiri.

  10. Mampu membatinkan nilai panggilan, dapat menerima iman dan kepercayaan karena memang sesuai dengan sistem dasariah nilai dan tujuan hidupnya. Ia berusaha maju dan bertekun dalam panggilan dan hidup rohaninya.

  Tentang kedewasaan manusia Cencini (2008:99-105) dalam buku “Kematangan Rohani dan Emosi” menuliskan ciri-ciri kedewasaan yang secara ringkas mencakup karakteristik sebagai berikut:

  1. Dari ketulusan menuju kebenaran, seseorang yang dewasa mampu mengenal dirinya sendiri. Ketulusan merupakan kebebasan untuk mengenali apa yang dirasakan seseorang dan mengatakannya secara terbuka mengenai hal tersebut, kepada dirinya sendiri, dan pada orang lain bila perlu. Kebenaran merupakan suatu kebebasan untuk memahami bukan saja emosi, yang biasanya jelas, tapi juga akar-akarnya.

  2. Kekuatan dalam kelemahan, menjadi dewasa berarti menjadi kuat untuk mampu menghindari ketidakkonsistenan dan sifat-sifat tidak matang sebelumnya.

  3. Kebebasan untuk mengungkapkan diri, pada hakikatnya manusia dipanggil untuk menyatakan dirinya, untuk menghadapi sebuah panggilan untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dengan mengatasi dirinya.

  4. Penyerahan hidup, orang yang matang biasanya tidak mencukupi dirinya sendiri, ia mengakui perlunya orang lain, mempercayai mereka yang barada di sisinya pada saat ia siap menyerahkan hidupnya ke dalam tangan orang lain dan saat membiarkan dirinya dibatasi oleh kelemahan orang lain.

  Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi yang ada dalam dirinya baik emosi positif (syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll), maupun emosi negatif (jengkel, marah, sedih, tersinggung, hilang harapan, dll). Kematangan emosi menyebabkan seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan dirinya secara optimal dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu seseorang memiliki keberanian untuk mengalami dan menerima rasa-perasaan yang muncul dalam dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau sikap batin untuk mengakui keberadaan diri secara bebas. Kematangan emosi memampukan pribadi yang bersangkutan memberi nama/mengidentifikasi setiap rasa-perasaan yang muncul sebagai bagian dari dirinya. Emosi adalah suatu reaksi batin yang wajar dan manusiawi, yang tidak harus cepat-cepat diikuti atau ditolak, melainkan harus dipahami asal-usulnya. Emosi adalah perasaan yang muncul secara spontan sebagai reaksi atas adanya suatu hal yang menyentuh atau merangsang batin kita. Hal itu bisa menimbulkan reaksi berupa emosi positif dan negatif. Emosi itu akan merangsang munculnya pikiran tertentu dalam keinginan ke arah tindakan tertentu. Di sinilah orang sudah memiliki kematangan emosi tidak akan begitu saja terbawa oleh emosi yang muncul secara spontan dalam dirinya, tanpa berpikir secara mendalam. Kematangan emosi menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan sebagai manusia. Seperti yang diharapkan oleh SpSS, yang tertulis dalam konstitusi SpSS sebagai berikut:

  “…Perkembangan menuju kematangan terjadi, dengan belajar mengenal diri semakin baik, mengembangkan bakat-bakat pribadi secara harmonis, menerima keterbatasan dan mampu mengatasi konflik dan penderitaan. Dengan demikian kita mencapai kebebasan hati yang memungkinkan kita mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan” (Konstitusi SpSS, artikel 503, baris ke 4, hal 106).

C. Pembinaan Masa Yuniorat

  Mengenai tarekat hidup bakti Gereja dalam buku Kitab Hukum Kanonik (Kan 573- art 1) menegaskan sebagai berikut:

  Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili adalah bentuk kehidupan tetap di mana orang beriman, dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.

  Pada Kanon 659 art 1 dikatakan bahwa: Dalam masing-masing tarekat, hendaknya pendidikan semua anggota diteruskan sesudah profesi pertama, agar dapat menghayati hidup khas tarekat secara lebih penuh serta untuk dapat melaksanakan perutusan mereka secara lebih baik (Kan 659 art 1)

  Bertitik tolak dari Kitab Hukum Kanonik di atas, diharapkan suster yunior SSpS dapat menemukan dan merasakan suasana rohani dengan meningkatkan kematangan emosinya dalam mempertanggungjawabkan terhadap tugas studinya.

  Konstitusi SSpS tentang yuniorat juga menuliskan: Yuniorat berlangsung dari kaul pertama sampai kaul kekal.

  Selama waktu ini, suster mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Kongregasi. Selama tahun yuniorat para suster melanjutkan perkembangan dalam iman, kesediaan untuk pengabdian misioner, kesetiaan pada Kongregasi. Mereka diharapkan berkembang dalam tingkat kematangan manusiawi dan religius yang memampukan mereka untuk mengambil keputusan dalam penyerahan diri kepada Kristus lewat kaul kekal (Konstitusi SSpS artikel 528) Pendampingan untuk para yunior diusahakan secara integral dan intensif untuk membantu mereka dalam meningkatkan kematangan emosi dalam bertanggung jawab sebagai suster studi dan semakin siap melibatkan diri dalam tugas perutusan lainnya yang dipercayakan oleh Kongregasi. Dalam mendampingi para suster yunior hendaknya penuh empati dan integral agar yunior mampu membina diri dan meleburkan dirinya serta menerima, menghayati kharisma dan hidup kerohanian kongregasinya, sehingga semakin menjadi religius yang matang dan dewasa dalam melaksanakan tugas perutusannya dengan penuh dedikasi.

  Kondisi kematangan emosi para suster SSpS yang sedang menjalani studi pada umumnya akan tampak lebih jelas dalam bagaimana para suster tersebut mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini dijelaskan desain penelitian, fokus penelitian, subjek penelitian, dan alat pengumpul data. A. Desain Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi. Menurut Arikunto (2002:12), salah satu dari empat dasar filosofis dari penelitian

  kualitatif adalah “fenomenologis” yang berpendapat bahwa kebenaran sesuatu itu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari subjek yang diteliti. Seperti yang dikutip dalam buku Poerwandari, (2005:24-25)

  Secara umum pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan bahwa pandangan-pandangan dasar interpretatif dan fenomenologis antara lain: (1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu: (2) manusia tidak secara sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani hidupnya:(3) ilmu didasarkan pada kehidupan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta (4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan sosial (Sarantakos, 1993)

  Penelitian dengan desain fenomenologi ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa studi dalam penghayatan hidup membiara dan untuk mengetahui bagaimana mereka melatih diri dalam pengendalian emosi agar menjadi pribadi yang lebih matang.

  Menurut Poerwandari, (2005:36-49) ada beberapa ciri dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode kualitatif adalah untuk dapat mengungkapkan kompleksitas realitas sosial yang diteliti bertumpu pada kekuatan narasi untuk memahami kedalaman makna dan interpretasi terhadap keutuhan fenomena. Dalam pengamatan dan wawancara tak berstruktur, peneliti tidak memanipulasi tetapi melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi di mana fenomena itu berada dan dilihat dalam konteks alamiah (‘apa adanya’) serta lebih menekankan pada dinamika dan proses sehingga akan diperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena subjek yang diteliti.