Peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.

(1)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.

Pemilihan judul ini didasarkan pada realitas dan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan bimbingan rohani yang sudah diupayakan dan diberikan oleh pemimpin komunitas bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa belum sepenuhnya membantu mereka menjadi pribadi yang matang rohani dan emosi. Itu terjadi karena pelaksanaan bimbingan rohani belum maksimal. Ada beberapa faktor yang manjadi kendala sehingga bimbingan rohani bagi para suster yunior menjadi terhambat. Salah satunya adalah faktor pemimpin komunitas yang kurang profesional dan bahkan kurang matang emosinya. Faktor dari dalam suster yunior sendiri bisa juga menghambat dalam bimbingan, misalnya pribadi yunior yang tertutup tidak mau terbuka, adanya keterpaksaan, dan kurang disiplin diri dalam mengolah batin. Semuanya itu sangat mempengaruhi proses bimbingan rohani mereka sendiri. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pemimpin komunitas dalam usaha meningkatkan kualitas bimbingan rohani bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para pemimpin komunitas akan pentingnya bimbingan rohani untuk kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, penulis mengkaji dengan metode deskriptif analisis. Artinya penulis menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang ada sehingga ditemukan jalan pemecahannya. Data ini diperoleh melalui pengisian Skala Likert kepada para suster yunior itu. Selain itu penulis menggunakan refleksi pribadi selama menjadi yunior SSpS dan studi pustaka untuk mendapatkan gagasan dari para ahli yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan dalam pelaksanaan bimbingan rohani dalam komunitas-komunitas Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa bagi kematangan emosi para suster yunior.

Mengingat peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior sangat penting, penulis menawarkan usaha-usaha untuk meningkatkan pelaksanaan bimbingan rohani bagi para pemimpin komunitas, sehingga dapat memberikan bantuan bagi para pemimpin komunitas untuk menjadi pembimbing rohani yang profesional. Dengan menjadi pembimbing rohani yang profesional, diharapkan para pemimpin komunitas dapat membantu para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa dalam mencapai kematangan rohani dan emosi.


(2)

ix

ABSTRACT

The title of this small thesis is ”The Role of the Spiritual Direction for the Emotional Maturity of Junior Sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit Sisters (SSpS) of the Java Province.”

This title was chosen based on the author’s concern on the practice of the spiritual direction that has been given by the superior of the community for the SSpS junior sisters of the Java Province. The spiritual direction has not totally helped the junior sisters to become spiritually and mentally mature. There are several factors that may have caused this to happen. One of them is the role of the superior of the community that is not competent and emotionally immature. The second one is the role of the personality of the junior sisters themselves. The personality of junior sisters that is not quit open to the spiritual director, the feeling of being forced to go for spiritual direction, and the lack of discipline in making spiritual reflection can be obstacles in the process of spiritual direction. Based on this kind of concern, this small thesis wants to help the superior of the community of SSpS Sisters of the Java Province to intensify the quality of spiritual direction for the junior sisters.

The main problem of this thesis is to discuss how far the role of spiritual guidance is, for the emotional maturity of junior sisters and what efforts to be done to improve the awareness of the community leaders, to see how important the spiritual guidance is for emotional maturity of the junior sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit (SSpS) of the Java Province. To analyze this matter, the writer uses analysis descriptive method, which means the writer reflects and analyses the problems in order to solve them. These data were collected with the Likert Scale by the junior sisters. In addition, the writer uses her personal reflections of her own experiences as junior sister, and some literature studies to get more ideas from experts that help communities of the Mission Congregation of the Servants of the Holy Spirit Sisters, in the efforts of spiritual direction for the emotional maturity of the junior sisters.

Considering the important role of spiritual direction for the emotional maturity of SSpS junior sisters, the author offers some solutions to intensify the practice of spiritual direction of the superior of the community, so that they can be professional spiritual directors. As the professional spiritual director, the superior of the community may help the SSpS junior sisters of the Java Province for emotional and spiritual maturity.


(3)

PERANAN BIMBINGAN ROHANI

TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

PROVINSI JAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan KekhususanPendidikanAgamaKatolik

Oleh

Sulis Erna Prawati

NIM: 081124045

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2012


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Saya mempersembahkan skripsi ini kepada

Para suster Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus Provinsi Jawa

yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menjalani perutusan studi

di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Program Studi Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Universitas Sanata Dharma


(7)

v

MOTTO

Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup,

Dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.

(Yoh10:10)

Kuberikan kebaikan untuk kebaikan itu sendiri

Karena kebaikan selalu melengkapi lingkaran hidup kita.


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.

Pemilihan judul ini didasarkan pada realitas dan keprihatinan penulis terhadap pelaksanaan bimbingan rohani yang sudah diupayakan dan diberikan oleh pemimpin komunitas bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa belum sepenuhnya membantu mereka menjadi pribadi yang matang rohani dan emosi. Itu terjadi karena pelaksanaan bimbingan rohani belum maksimal. Ada beberapa faktor yang manjadi kendala sehingga bimbingan rohani bagi para suster yunior menjadi terhambat. Salah satunya adalah faktor pemimpin komunitas yang kurang profesional dan bahkan kurang matang emosinya. Faktor dari dalam suster yunior sendiri bisa juga menghambat dalam bimbingan, misalnya pribadi yunior yang tertutup tidak mau terbuka, adanya keterpaksaan, dan kurang disiplin diri dalam mengolah batin. Semuanya itu sangat mempengaruhi proses bimbingan rohani mereka sendiri. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pemimpin komunitas dalam usaha meningkatkan kualitas bimbingan rohani bagi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior dan usaha apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para pemimpin komunitas akan pentingnya bimbingan rohani untuk kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, penulis mengkaji dengan metode deskriptif analisis. Artinya penulis menggambarkan dan menganalisis permasalahan yang ada sehingga ditemukan jalan pemecahannya. Data ini diperoleh melalui pengisian Skala Likert kepada para suster yunior itu. Selain itu penulis menggunakan refleksi pribadi selama menjadi yunior SSpS dan studi pustaka untuk mendapatkan gagasan dari para ahli yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan dalam pelaksanaan bimbingan rohani dalam komunitas-komunitas Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa bagi kematangan emosi para suster yunior.

Mengingat peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior sangat penting, penulis menawarkan usaha-usaha untuk meningkatkan pelaksanaan bimbingan rohani bagi para pemimpin komunitas, sehingga dapat memberikan bantuan bagi para pemimpin komunitas untuk menjadi pembimbing rohani yang profesional. Dengan menjadi pembimbing rohani yang profesional, diharapkan para pemimpin komunitas dapat membantu para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa dalam mencapai kematangan rohani dan emosi.


(11)

ix

ABSTRACT

The title of this small thesis is ”The Role of the Spiritual Direction for the Emotional Maturity of Junior Sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit Sisters (SSpS) of the Java Province.”

This title was chosen based on the author’s concern on the practice of the spiritual direction that has been given by the superior of the community for the SSpS junior sisters of the Java Province. The spiritual direction has not totally helped the junior sisters to become spiritually and mentally mature. There are several factors that may have caused this to happen. One of them is the role of the superior of the community that is not competent and emotionally immature. The second one is the role of the personality of the junior sisters themselves. The personality of junior sisters that is not quit open to the spiritual director, the feeling of being forced to go for spiritual direction, and the lack of discipline in making spiritual reflection can be obstacles in the process of spiritual direction. Based on this kind of concern, this small thesis wants to help the superior of the community of SSpS Sisters of the Java Province to intensify the quality of spiritual direction for the junior sisters.

The main problem of this thesis is to discuss how far the role of spiritual guidance is, for the emotional maturity of junior sisters and what efforts to be done to improve the awareness of the community leaders, to see how important the spiritual guidance is for emotional maturity of the junior sisters of the Mission Congregation of the Servant of the Holy Spirit (SSpS) of the Java Province. To analyze this matter, the writer uses analysis descriptive method, which means the writer reflects and analyses the problems in order to solve them. These data were collected with the Likert Scale by the junior sisters. In addition, the writer uses her personal reflections of her own experiences as junior sister, and some literature studies to get more ideas from experts that help communities of the Mission Congregation of the Servants of the Holy Spirit Sisters, in the efforts of spiritual direction for the emotional maturity of the junior sisters.

Considering the important role of spiritual direction for the emotional maturity of SSpS junior sisters, the author offers some solutions to intensify the practice of spiritual direction of the superior of the community, so that they can be professional spiritual directors. As the professional spiritual director, the superior of the community may help the SSpS junior sisters of the Java Province for emotional and spiritual maturity.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan limpah terima kasih kepada Allah Tritunggal Mahakudus

yang telah menyertai, membimbing, menuntun, dan menerangi penulis dengan

rahmat serta kasih setia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA.

Skripsi ini disusun oleh penulis berdasarkan penemuan bahwa bimbingan

rohani merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan dalam kematangan

emosi para suter yunior. Melalui bimbingan rohani, para suster yunior mampu

melihat kembali kesatuan hidupnya yang utuh dengan Allah, sesama manusia dan

kesatuan dengan ciptaan.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para suster yunior untuk setia melaksanakan bimbingan rohani guna mencapai kematangan emosi. Selain itu skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menempuh ujian Program Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dapat selesai pada waktunya berkat bantuan dari berbagai pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendampingi, membimbing dengan penuh kerelaan, kesabaran dan kesetiaan serta mendukung lewat doa-doa sehinga memotivasi penulis untuk setia dan bertekun menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:


(13)

xi

1. Suster Ines Setiono, SSpS beserta Tim Pimpinan Provinsi Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa yang telah memberikan perutusan studi di Prodi IPPAK-JIP, Fakultas dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, serta setiap suster SSpS di Provinsi Jawa yang telah mendukung lewat cinta, doa-doa, dan perhatiannya sehingga dapat menyelesaikan tugas studi ini dengan baik.

2. Seluruh suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa yang telah memberikan banyak bantuan dalam pengumpulan data penelitian. 3. Para suster komunitas Biara Roh Suci Yogyakarta yang telah memberikan

dukungan, doa, perhatian khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini. 4. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen pembimbing utama yang telah

menyediakan diri dan meluangkan waktu untuk mendampingi, membimbing penulis dengan kesabaran serta kesetiaan, memberi masukan dan kritikan sehingga penulis termotivasi untuk menuangkan ide dan gagasan dalam seluruh proses penulisan skripsi ini.

5. Dr. C. Putranta, SJ, selaku dosen penguji II dan sekaligus dosen wali yang telah menyediakan diri untuk membimbing dan memberikan peneguhan pada penulisan skripsi ini.

6. Dra. Yulia Supriati, M.Pd, selaku dosen III yang telah memberikan perhatian, bimbingan dalam penelitian, serta memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini.

7. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing, mendukung dan mendidik penulis selama belajar sampai selesainya skripsi ini.


(14)

(15)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii

HALAMAN PENGESAHAN………... ii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

MOTTO……….. v

PERNYATAAN KEASLIAN………... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK………. vii

ABSTRAK………. viii

ABSTRACT……….. ix

KATA PENGANTAR………... x

DAFTAR ISI……….. xiii

DAFTAR SINGKATAN………... xvii

BAB I. PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 5

C. Pembatasan Masalah……….. 6

D. Rumusan Masalah………... 6

E. Manfaat Penulisan……….. 7

F. Metode Penulisan………... 8

G. Sistematika Penulisan………. 8

BAB II. BIMBINGAN ROHANI DAN KEMATANGAN EMOSI... 10

A. Tahap Pembinaan Religius………. 10

1. Pembinaan Postulat………... 11

2. Pembinaan Novisiat……….. 11

3. Pembinaan Yuniorat………. 12

B. Bimbingan Rohani……….. 14

1. Pengertian Bimbingan Rohani……….. 14


(16)

xiv

a. Pembimbing Rohani………... 17

b. Bimbingan Rohani……….. 23

c. Waktu Bimbingan Rohani……….. 24

3. Dampak dari Bimbingan Rohani……….. 26

C. Kematangan Emosi………. 29

1. Pengertian Emosi……….. 29

2. Kematangan Emosi………... 30

3. Faktor yang Mempengaruhi Emosi……….. 32

4. Dampak dari Kematangan Emosi………. 34

5. Kedewasaan Pribadi……….. 35

D. Kerangka Pikir………... 38

BAB III. PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA……… 40

A. Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus………. 40

1. Identitas Kongregasi SSpS………... 40

2. Spiritualitas dan Kharisma Kongregasi SSpS………... 42

a. Spiritualitas Kongregasi SSpS……… 42

b. Kharisma Kongregasi SSpS……… 43

B. Metodologi Penelitian………. 46

1. Jenis Penelitian………. 46

2. Metode Penelitian………. 47

3. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 47

4. Responden Penelitian………... 47

5. Instrumen Penelitian………. 48

6. Variabel Penelitian………... 49

C. Hasil Penelitian………... 50

1. Proses Bimbingan Rohani………. 50

a. Pengetahuan dan Pengenalan akan Tuhan……….. 50

b. Kepercayaan, Relasi dan Menghargai Pembimbing…... 51


(17)

xv

d. Metode dalam Bimbingan………... 54

2. Proses Kematangan Emosi……… 55

a. Penilaian, Pengenalan dan Percaya Diri………. 55

b. Pengelolaan Emosi………. 56

c. Motivasi Diri………... 57

d. Pengenalan Emosi……….. 57

e. Membina Hubungan………... 58

D. Pembahasan Hasil Penelitian……….. 59

1. Proses Bimbingan Rohani………... 59

a. Pengetahuan dan Pengenalan akan Tuhan………. 59

b. Kepercayaan, Relasi dan Menghargai Pembimbing…... 60

c. Suasana dalam Melaksanakan Bimbingan……….. 61

d. Metode dalam Bimbingan………... 62

2. Proses Kematangan Emosi……… 64

a. Penilaian, Pengenalan dan Percaya Diri………. 64

b. Pengelolaan Emosi……….. 65

c. Motivasi Diri………... 65

d. Pengenalan Emosi………... 66

e. Membina Hubungan………... 67

3. Rerata Proses Bimbingan Rohani terhadap Proses Kematangan Emosi para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa……… 68

E. Kesimpulan………. 71

F. Keterbatasan Penelitian………... 72

BAB IV. USAHA MENINGKATKAN PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA………... 73


(18)

xvi

A. Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS)

Provinsi Jawa………... 73

B. Usaha Meningkatkan Proses Pelaksanaan Bimbingan Rohani……… 74

1. Latar Belakang Usaha Meningkatkan Pelaksanaan Proses Bimbingan Rohani………... 74

2. Profil Pembimbing Rohani……….. 76

3. Alternatif dan Pilihan Pendekatan Pembinaan Bagi Para Pemimpin Komunitas……….. 77

BAB V. PENUTUP……… 79

A. Kesimpulan………. 79

B. Saran………... 81

DAFTAR PUSTAKA……… 85

LAMPIRAN………... (1)

Lampiran 1: Skala Likert Penelitian………... (1)


(19)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

PC : Perfectae Caritatis

B. Singkatan Lain

Art : Artikel

Kan : Kanon

SVD : Societas Verbi Divini

SSpS : Servae Spiritus Sancti


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bimbingan rohani sangat diperlukan untuk mendewasakan iman religius supaya tangguh dalam menanggapi tantangan zaman saat ini.

Para suster yunior perlu memiliki kematangan emosi supaya dapat menanggapi tantangan zaman ini. Perkembangan zaman yang semakin pesat mulai dari teknologi alat-alat canggih, mode sampai dengan makanan cepat saji menimbulkan begitu banyak tawaran duniawi yang menggiurkan. Dalam kehidupan sehari-hari mau tidak mau orang dihadapkan pada banyaknya pilihan tersebut. Gaya hidup zaman sekarang sangat mempengaruhi watak dan pola hidup kaum muda. Gambaran penerus zaman sekarang dapat digambarkan sebagai generasi instan yang ingin cepat-cepat menerima hasil tanpa harus berusaha.

Menghadapi begitu pesatnya perkembangan zaman, para yunior membutuhkan dukungan dari berbagai pihak agar semakin bertumbuh dan berkembang dalam iman dan kematangan emosinya. Dalam hal ini Konstitusi SSpS mengatakan:

Masa Yuniorat adalah masa dimana para suster muda telah menyelesaikan masa novisiatnya. Selama masa Yunior ini, para suster melanjutkan perkembangan dalam hidup iman, kesediaan untuk pengabdian misioner, kesetiaan kepada Kongregasi dan adanya kenyakinan bahwa mereka dapat menemukan pemenuhan dirinya dalam panggilan religius. Mereka juga harus berkembang dalam percaya diri dan kematangan, demikian pula kemampuan untuk hidup dan bekerjasama dengan orang lain. Mereka harus mencapai tingkat kematangan manusia dan religius, yang memampukan mereka mengambil keputusan untuk penyerahan terakhir pada Kristus dalam kaul kekal (Konst. SSpS. art. 528).


(21)

Bagi seorang yunior, untuk mencapai kematangan emosi dan religius tidaklah mudah. Banyak hal yang turut mewarnai cita-cita dan harapan mereka. Dinamika perjalanan hidup untuk menuju tingkat kematangan emosi dan religius sangat kompleks. Ada benturan idealisme (cita-cita/harapan kongregasi) dan harapan pribadi serta situasi nyata yang dihadapi dapat mengaburkan tujuan. Ada banyak faktor yang menjadi penghambat baik dari luar maupun dari dalam diri yunior itu sendiri. Hambatan dari luar yang sering dijumpai oleh yunior misalnya kesibukan studi, tuntutan kerja yang terlalu banyak, situasi dari komunitas yang kurang mendukung misalnya, sesama suster yang kurang memberi sapaan atau teguran, pemimpin yang terlalu banyak menuntut dan kurang peka dengan keadaan dan situasi yang sedang dihadapi oleh yunior. Selain itu tidak adanya keteladanan dan kesungguhan dari suster yang lebih senior, hal itu jelas berpengaruh dalam pembentukan kepribadian dan kematangan emosi seorang religius muda tersebut. Bagaimanapun juga seorang yunior yang tinggal di dalam komunitas akan menyerap nilai-nilai yang ada di komunitasnya. Kemajuan teknologi yang semakin canggih kadang-kadang juga membawa hambatan bagi suster muda tersebut, bila pribadi itu kurang dewasa dan matang emosinya, sehingga mereka menjadi orang yang labil dan mudah terbawa arus, tidak mempunyai prinsip, emosional, dan tidak jelas dimana dia akan berpijak.

Sedangkan hambatan dari dalam diri yunior misalnya: tidak disiplin dalam membuat jurnal harian dan merefleksikan, malas membaca dan merenungkan Kitab Suci dan Konstitusi, enggan untuk mengolah perasaan, hidup doa yang dangkal dan terlalu terlena dengan dunianya sendiri. Keadaan seperti itu tidak jarang bagi yunior akan mengalami kelesuan hidup, kehilangan arah hidup, jiwa menjadi terbebani, hidup asal hidup dan tidak tahu mendalami serta memberi makna kehidupan bagi


(22)

dirinya. Bila keadaannya ini dibiarkan terus-menerus akan menggerogoti dan mengakibatkan yunior tidak krasan dan tidak at home dengan hidup panggilannya yang efeknya yunior akan menanggalkan jubahnya atau keluar dari biara.

Menanggapi masalah-masalah yang terjadi dalam diri para suster yunior tersebut, Kongregasi berusaha membantu meningkatkan pembinaan pribadi yang dapat mendukung dan mengembangkan iman para suster yunior dalam proses kematangan rohani dan pribadi. Pembinaan pribadi tersebut diupayakan melalui: pembinaan spiritualitas, pembinaan misioner (formasi SSpS berusaha mempersiapkan anggotanya agar mampu melaksanakan tugas dalam sikap apostolis dan semangat pengabdian. Hal ini diusahakan salah satunya dengan cara melatih setiap suster khususnya para postulant, novis dan yunior untuk mengalami live-in dengan tujuan agar mereka bisa berdialog dengan masyarakat sekitarnya. Selain itu saling berbagi tentang pengalaman misi berserta suka dukanya dan tantangan-tantangannya sangat membantu para suster untuk menambah wawasan tentang misi, dilatih keberanian untuk berdialog dengan semua orang dengan hati dan pikiran terbuka dan dengan orang-orang dari agama dan kebudayaan lain), pembinaan komunitas, pembinaan afeksi, pembinaan sosial, pembinaan hidup dalam pilihan-pilihan hidup, dan bimbingan rohani (manuale untuk pembinaan Kongregasi SSpS, 2001: 54-63). Tujuan dari bimbingan rohani itu sendiri agar para suster yunior semakin mengenal dirinya baik dalam segi positif dan negatif.

Dalam formasi lembaga religius, tugas pembinaan tersebut dipercayakan kepada para pemimpin komunitas atau pembina khusus. Adanya pembina khusus bagi yunior adalah untuk membantu para suster yunior mencapai kematangan pribadi dan emosional. Menanggapi pentingnya seorang pembina bagi yunior, maka dibutuhkan tenaga-tenaga pembina yang memiliki kemampuan untuk membina dan


(23)

mendampingi para yunior tersebut. Pembinaan para suster yunior ini diharapkan menjawab kebutuhan mereka dan mengena. Konsili Vatikan II dalam Dekrit

Perfectae Caritatis mengatakan:

….penyesuaian hidup religius dengan tuntutan-tuntutan zaman sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Hendaknya dilakukan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang sesuai sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota untuk mencapai keutuhan hidup. (PC art. 18).

Ini suatu tantangan bagi para pembina maupun yunior itu sendiri yang menuntut bagaimana seorang religius hidup di tengah-tengah dunia dan dalam pelayanannya dapat membawa Kabar Sukacita Kristus. Di sinilah dapat dilihat pentingnya pembinaan lewat bimbingan rohani agar para suster yunior semakin memiliki kepribadian yang dewasa dan matang emosinya. Istilah “bimbingan” dapat diartikan sebagai bantuan, pertolongan dan petunjuk. Dengan kata lain, bantuan atau pertolongan yang diberikan seseorang terhadap orang tertentu. Sedangkan istilah”rohani” berasal dari kata Roh yang berarti nafas hidup atau hidup yang dijiwai oleh roh.

Melalui bimbingan rohani, seseorang semakin mengenal dirinya. Baik dalam segi postif dan negatif. Dengan mengenal potensi yang dimilikinya maka seseorang juga mampu untuk mengolah emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Semakin mereka tekun dan setia dalam bimbingan rohani semakin ditumbuh kembangkan dalam hidup rohaninya dan kematangan emosinya. Dalam Kongregasi SSpS, bimbingan rohani adalah: “Wawanhati” dengan pendamping untuk melihat sejauh mana perkembangan hidup rohani para suster yunior. Setiap yunior wajib untuk bimbingan rohani dengan pemimpin rumah secara bergilir. Mereka mengadakan wawanhati satu kali dalam setiap bulan dan dilakukan secara rutin.


(24)

Seorang pemimpin rumah wajib memberi bimbingan kepada para suster yunior agar mereka dapat memupuk kerelaan hati dan kepekaan terhadap karya Roh Kudus (Konst. SSpS. art. 520). Wawanhati juga dimaksudkan untuk membantu para suster yunior agar semakin berkembang dalam hidup bersama, hidup misi, hidup rohani dan kematangan emosi.

Kembali kepada pemimpin komunitas atau pembina yunior. Persoalan yang dihadapi adalah tidak semua pemimpin komunitas berpotensi sebagai pembina profesional dimana mereka sungguh mampu mendampingi para yunior sampai mereka dewasa dalam kepribadian dan matang dalam emosinya.

Berdasarkan keprihatinan dan realitas yang ada dalam diri para suster yunior SSpS di Provinsi Jawa ini, yang masih membutuhkan bimbingan rohani supaya mereka dapat berkembang dalam iman serta dapat mencapai kedewasaan pribadi serta kematangan dalam emosi, penulis memilih judul skripsi PERANAN BIMBINGAN ROHANI TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS) PROVINSI JAWA.

Pemilihan judul ini didasarkan pada pemikiran bahwa para yunior masih membutuhkan bimbingan rohani yang terus menerus untuk semakin dewasa dalam iman dan matang dalam emosi agar dapat menjadi seorang religius misionaris yang tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.

B. Identifikasi Masalah

Atas dasar latar belakang penelitian tersebut, diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah para suster yunior SSpS Provinsi Jawa menggunakan waktu bimbingan rohani yang telah diatur oleh pemimpin komunitas?


(25)

2. Bagaimanakah sikap para suster yunior SSpS Provinsi Jawa pada saat melaksanakan bimbingan rohani?

3. Apakah para suster yunior SSpS Provinsi Jawa mempunyai kesetiaan dalam melaksanakan bimbingan rohani?

4. Sejauh mana para suster yunior SSpS Provinsi Jawa matang emosinya selama melaksanakan bimbingan rohani?

5. Seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior SSpS Provinsi Jawa?

C. Pembatasan Masalah

Mengingat waktu yang terbatas dan penelitian yang dilakukan dapat mendalam penulis membatasi permasalahan pada “Peranan Bimbingan Rohani Terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa”.

D. Rumusan Masalah

Berdasar pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses bimbingan rohani dalam komunitas khususnya Kongregasi SSpS Provinsi Jawa?

2. Bagaimana proses kematangan emosi para suster yunior dalam komunitas khususnya Kongregasi SSpS Provinsi Jawa?

3. Seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi bagi para Suster Yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa?


(26)

E. Tujuan Penulisan

Dengan melihat beberapa rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam penulisan ini ialah:

1. Menguraikan proses bimbingan rohani dalam komunitas khususnya Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.

2. Memaparkan proses kematangan emosi dalam komunitas khususnya Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.

3. Untuk mengetahui seberapa besar peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para Suster Yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.

F. Manfaat Penulisan 1. Bagi para yunior

Memberikan sumbangan berupa informasi, pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya mengupayakan bimbingan rohani dalam hidup religius yang dapat memberikan peranan terhadap kematangan emosi bagi para suster yunior. Penelitian ini diharapkan dapat membantu dan mendorong para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa untuk membina diri dengan setia melaksanakan bimbingan rohani untuk mencapai kematangan emosi. Dengan demikian dapat menjadi seorang suster misionaris Abdi Roh Kudus yang tangguh dalam tugas perutusan yang dipercayakan Kongregasi.

2. Bagi Para Pendamping/Pembimbing

Memberikan wawasan yang dapat membantu para pendamping/pembimbing yunior dalam usaha memberikan bimbingan rohani kepada para suster yunior yang berkaitan dengan kematangan rohani dan emosi.


(27)

3. Bagi Kongregasi SSpS Provinsi Jawa

Semakin meneguhkan Kongregasi untuk terus berupaya memberikan dukungan dan pembinaan kepada para pendamping/pembimbing yunior untuk mengambil bagian dalam karya kongregasi.

4. Bagi penulis

Menambah pemahaman akan pentingnya mengusahakan bimbingan rohani dalam hidup religius yang berperan bagi kematangan emosi para suster yunior. 5. Bagi Ilmu Kateketik

Memberikan sumbangan berupa pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya peranan bimbingan rohani sebagai landasan utama dalam kematangan emosi para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa.

G. Metode Penulisan

Dalam penulisan ini penulis akan menggunakan metode deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta serta sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 1983: 75), sehingga ditemukan jalan pemecahan yang tepat dalam membantu para suster yunior untuk mencapai kematangan emosi.

H. Sistematika Penulisan

Supaya memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis akan menyampaikan pokok-pokok gagasan dalam penulisan ini.

BAB I berisi pendahuluan, yang meliputi latar belakang penulisan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.


(28)

BAB II berisi Bimbingan Rohani dan Kematangan Emosi yang meliputi: tahap pembinaan religius, bimbingan rohani, kematangan emosi dan kerangka berpikir. Tahap pembinaan religius terdiri dari: pembinaan postulant, pembinaan novisiat dan pembinaan yuniorat. Bimbingan rohani terdiri dari: pengertiaan bimbingan rohani, faktor-faktor yang mempengaruhi bimbingan rohani dan dampak dari bimbingan rohani. Kematangan emosi terdiri dari: pengertian emosi, kematangan emosi, faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, dampak dari kematangan emosi dan kedewasaan pribadi, dan kempat menerangkan kerangka berpikir.

BAB III mengenai Peranan Bimbingan Rohani terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa yang meliputi sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus dan metodologi penelitian. Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus yang meliputi identitas Kongregasi SSpS, spiritualitas dan kharisma Kongregasi SSpS. Metodologi penelitian yang meliputi jenis penelitian, metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian, instrumen penelitian dan variabel penelitian. Tahap berikutnya penulis akan mengkaji hasil penelitian dan membahas hasil penelitian.

BAB IV Meningkatkan Peranan Bimbingan Rohani Terhadap Kematangan Emosi Para Suster Yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa

BAB V penulis ingin menegaskan kembali intisari dari skripsi ini dengan memberikan usul dan saran.


(29)

BAB II

BIMBINGAN ROHANI DAN KEMATANGAN EMOSI

Pada bab ini akan diuraikan tentang peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa. Bagian pertama menerangkan dinamika pembinaan yuniorat. Bagian kedua membahas bimbingan rohani, yang terdiri dari: pengertian bimbingan rohani, faktor-faktor yang mempengaruhi bimbingan rohani, dan dampak bimbingan rohani. Bagian ketiga menguraikan tentang kematangan emosi yang terdiri dari: pengertian emosi, kematangan emosi, faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan emosi, dampak dari kematangan emosi, dan kedewasaan pribadi. Bagian keempat mengenai kerangka pikir.

Para anggota muda Kongregasi SSpS Provinsi Jawa adalah kaum muda yang lahir dalam arus jaman globalisasi. Kaum muda ini banyak dipengaruhi oleh situasi jaman dan berdampak pula dalam kehidupan bersama. Berhadapan dengan pembinaan hidup religius itu sendiri, Kongregasi SSpS juga berupaya untuk memberikan pembinaan bagi para yuniornya. Karena pembinaan itu merupakan proses yang terjadi seumur hidup, maka pendampingan bagi para religius muda perlu mendapat perhatian.

A. Tahap Pembinaan Religius

Setiap calon yang masuk dalam salah satu Lembaga Hidup Bakti tertentu harus memasuki melalui beberapa tahap pembinaan. Mereka ditempa dalam proses pengenalan Kongregasi yang mereka masuki. Kongregasi SSpS yang termasuk


(30)

dalam salah satu Lembaga Hidup Bakti juga melewati tahap-tahap secara umum dari pembinaan di Postulat, Novisiat, Yuniorat maupun yang sudah berkaul kekal

(OnGoing Formation). Berikut ini akan diuraikan secara singkat tahap-tahap

pembinaan religius untuk: 1. Pembinaan Postulat:

Kata “Postulat” berasal dari kata “Postulare” yang berarti “mengajukan permohonan”, juga mempunyai dua arti, yaitu tempat pembinaan calon dalam suatu kongregasi dan masa pembinaan. Tujuan khusus dari masa pembinaan di postulant menurut Konstitusi SSpS adalah:

Hendaknya mereka mencapai kematangan manusiawi dan rohani yang memadai untuk mampu menjawab panggilan Tuhan dengan bebas. Dibawah bimbingan pemimpin, mereka berusaha mengembangkan hidup doa, pengajaran, studi dan membantu mereka untuk memperdalam pengetahuan. Melalui kehidupan bersama mereka dibantu untuk lebih mengenal dan menerima diri (Konst. SSpS. art. 514).

Masa postulat merupakan masa peralihan dan perkenalan bagi si calon agar dapat berorientasi dan mengenal kehidupan membiara melalui kongregasi yang dimasukinya (Mardi Prasetya, 1992: 292). Selama masa postulan ini, calon dibantu oleh pemimpin postulan untuk mencapai kematangan manusiawi dan kristiani.

2. Pembinaan Novisiat:

Novisiat adalah suatu masa dimana seorang belajar untuk mengalami kehidupan religius yang sesungguhnya. Kata “Novis” menurut kamus bahasa Latin sendiri berasal dari bahasa latin “novicius” yang berarti “orang yang belum berpengalaman” (Verhoeven:1969).

Dalam masa novisiat ini seorang novis diajak untuk menjajaki kesungguhan sikap dan motivasi dasar panggilan mereka bersama dengan seorang


(31)

magister/magistranya. Pada masa ini mereka sudah melibatkan diri untuk menjalankan hidup berkomunitas dan belajar untuk memulai melaksanakan nasihat-nasihat Injil (Mardi Prasetya seri 2, 2001: 43).

Tentang novisiat ini Konstitusi SSpS mengatakan:

Dalam latihan menghayati hidup religius, para novis dipersiapkan untuk penyerahan total kepada Allah dalam kaul-kaul. Mereka dibimbing untuk belajar hidup sesuai dengan nasihat-nasihat Injil dan Konstitusi kita dan semakin berkembang pengertian mereka tentang hidup religius. Pada waktu yang sama mereka tumbuh dalam semangat Kongregasi dan mengenal tradisi-tradisi kita. (Konst. SSpS. art. 528).

Lama masa novisiat adalah dua tahun. Tahun pertama dinamakan tahun kanonik, dalam tahun ini yang menjadi penekanan ialah melatih seorang novis untuk menghayati cara hidup kongregasi yang masih dirasa baru bagi si calon. Sedangkan masa novisiat tahun kedua merupakan masa untuk mengalami kenyataan hidup religius secara realistis. Dalam tahun kedua ini calon dilibatkan dalam kegiatan kerasulan kongregasi.

3. Pembinaan Yuniorat

Tahap berikutnya adalah masa yuniorat. Setelah melewati masa postulat dan novisiat, seseorang memasuki masa yunior. Mengenai yuniorat ini Kitab Hukum Kanonik menegaskan:

“Dalam masing-masing tarekat, hendaknya pendidikan semua anggota diteruskan sesudah profesi pertama, agar dapat menghayati hidup khas tarekat secara lebih penuh serta dapat melaksanakan perutusan mereka secara lebih baik” (Kan. 659 - § 1).

Pada Kan. 573 - § 1 dikatakan sebagai berikut:

Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat Injili adalah bentuk kehidupan tetap di mana orang beriman, dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi


(32)

pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.

Bertitik tolak dari kita Kitab Hukum Kanonik di atas, diharapkan suster yunior SSpS dapat menemukan dan merasakan suasana rohani dengan meningkatkan kematangan emosinya dalam mempertanggungjawabkan terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya.

Konstitusi SSpS tentang yuniorat menuliskan:

Yuniorat berlangsung dari kaul pertama sampai kaul kekal.Selama waktu ini, suster mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Kongregasi. Selama tahun yuniorat para suster melanjutkan perkembangan dalam iman, kesediaan untuk pengabdian misioner kesetiaan pada Kongregasi. Mereka diharapkan berkembang dalam tingkat kematangan manusiawi dan religius yang memampukan mereka untuk mengambil keputusan dalam penyerahan diri kepada Kristus lewat kaul kekal (Konst. SSpS. art. 528).

Pendampingan untuk para yunior tetap didampingi oleh pemimpin komunitas dan pembimbing khusus yunior serta diusahakan secara integral dan intensif untuk

membantu mereka dalam meningkatkan kematangan emosi dalam

bertanggungjawab sebagai anggota SSpS dan semakin siap melibatkan diri dalam tugas perutusan lainnya yang dipercayakan oleh Kongregasi. Pendampingan para suster yunior hendaknya dilakukan dengan empati dan integral agar yunior mampu membina diri dan meleburkan dirinya serta menerima, menghayati kharisma dan hidup kerohanian kongregasinya, sehingga semakin menjadi religius yang matang dan dewasa dalam melaksanakan tugas perutusannya dengan penuh dedikasi.


(33)

B. Bimbingan Rohani

1. Pengertian Bimbingan Rohani

Dewasa ini, istilah bimbingan rohani masih tetap digunakan meskipun zaman terus berkembang dan mengalami kemajuan yang cepat, sebab bimbingan rohani itu sendiri digunakan untuk menunjukkan isi dari sebuah pengalaman hidup manusia dalam menghayati hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta. Penghayatan tersebut merupakan sebuah usaha menuju pada sebuah kepenuhan hidup.

Dalam konteks bimbingan rohani dalam Gereja, kerohanian Kristiani selalu berkaitan erat dengan peranan Roh Kudus. Roh Kudus hadir dalam setiap diri orang kristiani. Maka setiap orang kristiani diharapkan mengikuti bimbingan Roh Kudus dalam dirinya. Ia diharapkan semakin mampu berelasi dengan Allah. Bimbingan rohani merupakan sarana yang memungkinkan agar orang semakin memperdalam relasinya dengan Allah dalam Roh Kudus (Darminta, 2006: 33).

Bimbingan rohani merupakan usaha untuk menyadari dan menghayati bimbingan roh dalam hidup seseorang. Usaha tersebut akan tampak ketika seseorang mencari pribadi lain yang dimintai bantuan untuk membimbingnya dalam mengikuti bimbingan Roh dalam hidupnya (Darminta, 2006: 16).

Dengan demikian, bimbingan rohani merupakan usaha untuk menumbuhkan hidup iman, sebab dasarnya hidup merupakan penyerahan diri secara penuh pada Allah. Adapun arah bimbingan rohani adalah hidup sesuai dengan bimbingan Roh dalam menghayati hidup panggilan sehari-hari. Istilah bimbingan rohani juga biasanya merupakan suatu usaha untuk menghayati hidup sesuai dengan bimbingan Roh Kudus.


(34)

Proses menyadari bimbingan Roh tersebut dapat terjadi dengan mendengarkan panggilan Allah secara konkret. Proses ini sedikit demi sedikit memberikan sebuah jawaban atas panggilan untuk melakukan suatu tindakan atau tingkah laku yang konkret. Bimbingan rohani lebih mengarah pada usaha untuk memahami bagaimana bimbingan Roh bekerja dalam diri seseorang dan bagaimana bimbingan Roh itu hidup dalam diri orang tersebut (Darminta, 2006: 17).

Banyak orang yang mendalami hidup rohani mencoba merumuskan pengertian bimbingan rohani. Beberapa rumusan akan dikemukakan di bawah ini antara lain:

Menurut St. Ignatius Loyola (1993: 215), seperti yang diungkapkan oleh

Darminta, SJ., dalam bukunya Latihan Rohani, merumuskan bimbingan rohani

sebagai berikut: “Bimbingan rohani merupakan usaha untuk membantu sesama masuk dalam pengalaman rohani yaitu pengalaman akan anugerah rahmat dalam peristiwa hidup konkret. Fokus bimbingan rohani adalah mengalami kehadiran Allah dalam segala peristiwa hidup yang tidak lain dan tidak bukan menyadari secara mendalam arah hidup sesuai dengan kehadiran Allah yang dinamis. Bimbingan rohani bergerak dalam hidup manusia seutuhnya, pikiran, kecenderungan, perasaan dan emosi, peristiwa hidup dalam menjawab kehadiran Allah. Bimbingan rohani merupakan usaha untuk mengarahkan hidup konkret dan aktual sesuai dengan orientasi hidup kristiani yaitu kesempurnaan”.

Menurut Frans Harjawiyata (1993: 138-141) bimbingan rohani adalah hubungan antara seorang Bapa rohani (guru, pembimbing) yang berilmu dan berpengalaman dalam hidup rohani dan seorang murid yang ingin memanfaatkan ilmu dan pengalaman guru tersebut. Dalam hal ini pembimbing bertindak sebagai


(35)

alat Roh Kudus. Inisiatif biasanya datang dari pihak murid. Karena dorongan Roh Kudus, ia mencari seorang bapa rohani untuk minta bimbingan.

Menurut Barry dan Connoly (1982: 8) bimbingan rohani adalah bantuan yang diberikan oleh sesama orang beriman kristiani pada yang lain agar ia memperhatikan komunikasi pribadi dengan Tuhan, dan menjawab secara pribadi, menumbuhkan kedekatan relasi dengan Tuhan serta menghayati konsekuensi-konsekuensi dari relasi dengan Tuhan tersebut.

Ketiga rumusan di atas mempunyai unsur-unsur yang sama yaitu segi pelayanan, pembimbing, orang yang dibimbing, hubungan, proses dan tujuan bimbingan. Dari ketiga pendapat di atas dapat dikatakan bimbingan rohani adalah hubungan antara seorang pembimbing dengan orang yang dibimbing dalam rangka pelayanan pastoral agar orang yang dibimbing berkembang menuju kedewasaan hidup rohani. Dengan melakukan bimbingan rohani diharapkan seseorang dapat juga menyadari dan mengalami bahwa Allah hadir dalam peristiwa hidup sehari-hari. Sebagai seorang religius bimbingan rohani merupakan suatu hal yang tidak asing, karena setiap pribadi pasti punya dan pernah melakukan bimbingan rohani. Dalam melakukan bimbingan rohani tersebut juga diharapkan bahwa seorang religius dapat menghayati hidup panggilan dan membentuk emosinya baik dalam hidup bersama, hidup rohani, kerasulan, maupun dalam hidup berkaul.

2. Faktor yang Mempengaruhi Bimbingan Rohani

Perlu disadari bahwa keberhasilan dalam bimbingan rohani sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu Tuhan, terbimbing dan pembimbing, metode pendekatan serta beberapa hal lain yang mendukung keberhasilan dalam bimbingan rohani, seperti halnya: relasi antara terbimbing dan pembimbing berperanan penting bagi


(36)

relasi terbimbing dengan Tuhan demikian juga sebaliknya, serta lingkungan yang kondusif (Barry dan Connoly, 1982: 31). Beberapa faktor yang mempengaruhi bimbingan rohani akan diuraikan di bawah ini:

a. Pembimbing Rohani

1) Pengertian Pembimbing Rohani

Pembimbing Rohani adalah orang yang mendampingi orang yang dibimbing dalam pertumbuhan dan perkembangan hidup rohaninya. Ia menghantar dan membantu orang tersebut agar semakin mampu berelasi dengan Allah. Tugasnya adalah menciptakan kemungkinan dan situasi agar relasi tersebut berjalan lancar (Darminta, 2006: 17-18).

Seorang pembimbing rohani harus memenuhi syarat tertentu agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Secara khusus, pembimbing rohani para suster yunior harus sesuai dengan kebutuhan para suster yunior.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi menyangkut aspek spiritualitas, kepribadian, pengetahuan dan ketrampilan sebagai pembimbing rohani.

Menurut Darminta (2006: 68-71), ada beberapa aspek spiritualitas pembimbing rohani, yaitu:

a) Relasi pribadi dengan Yesus Kristus

Pembimbing rohani harus mempunyai relasi dengan Yesus Kristus dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempunyai relasi dengan Yesus Kristus, hidupnya juga akan berpusat kepada Allah. Dengan demikian seorang pembimbing diharapkan dapat menjadi penopang orang yang dibimbing dan tetap mampu memusatkan hidupnya kepada Allah.


(37)

b) Hidup dalam bimbingan Roh

Pembimbing harus menyadari bahwa pembimbing utama adalah Roh Kudus. Pembimbing adalah “alat” Roh Kudus dalam mendampingi orang yang dibimbing. Jelas seorang pembimbing rohani haruslah seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam penghayatan konkrit iman, dekat bergaul dengan Allah, kenal dengan gerakan Roh dan seorang pendoa sejati. Untuk itu pembimbing rohani perlu

mengadakan pembedaan roh atau discernment untuk melihat dorongan dalam

proses bimbingan rohani.

c) Pribadi yang beriman dewasa

Seorang pembimbing rohani haruslah orang yang mempunyai iman yang kuat dan dalam. Artinya, ia mampu mengambil tindakan berdasarkan pertimbangan imannya, ia mampu menyerahkan diri dan memercayakan diri kepada Allah, sekaligus mampu menyerahkan dan memercayakan orang yang dibimbingnya kepada bimbingan Roh. Dia menjadi orang yang diharapkan mempermudah pertemuan orang yang dibimbing dengan Allah dalam hidupnya yang konkrit sehari-hari.

d) Bersemangat mendalami dan menghidupi firman Allah dalam Kitab Suci

Seorang pembimbing rohani dapat mengetahui kehendak Allah, jika ia setia merenungkan firman dalam Kitab Suci. Sabda itu juga merupakan sumber inspirasi dan kekuatan baginya untuk mendampingi orang yang dibimbingnya.

e) Bersemangat doa

Seorang pembimbing rohani adalah seorang pendoa. Artinya, ia adalah orang yang bergaul akrab dengan Allah, kenal akan gerakan-gerakan roh, mempunyai pengalaman dan penegasan rohani. Lebih lanjut dapat dikatakan dia akrab dengan


(38)

hidup manusia, penuh pengertian dan pemahamam atas lika-liku dan kesukaran dalam hidup rohani.

Beberapa aspek spiritualitas di atas sangat penting dan merupakan dasar dalam bimbingan rohani. Keberhasilan bimbingan rohani sangat ditentukan oleh keadaan spiritualitas pembimbing. Bimbingan rohani hanya dapat berlangsung dengan baik kalau pembimbing mempunyai kepercayaan yang kuat kepada penyelenggaraan Allah. Spiritualitas pembimbing akan tampak dalam proses bimbingan rohani, apakah pembimbing mengandalkan Allah atau mengandalkan dirinya.

2) Kepribadian Pembimbing Rohani

Kepribadian adalah sifat-sifat, sikap-sikap yang tercermin dalam tindak-tanduk seseorang. Seorang pembimbing rohani diharapkan mempunyai kepribadian yang sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pembimbing rohani. Aspek ini juga menentukan keberhasilan bimbingan rohani. Beberapa aspek kepribadian pembimbing rohani yang diharapkan adalah:

a) Pribadi yang dewasa

Seorang disebut dewasa bila mencapai kematangan rohani dan emosinya. Menurut Mardi Prasetya (1992: 100-104), pribadi yang dewasa adalah: ia mampu menerima kenyataan, menerima dan menghayati apa yang bernilai, mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakan dalam hidup, tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme, memiliki cinta yang tidak egois dan bersikap realistis, mampu mempercayai orang lain dan memiliki kepercayaan serta keyakinan pada diri


(39)

sendiri. Ia telah mengenal dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ia tidak lagi bersikap kekanak-kanakan.

b) Kesesuaian antara perkataan dan tindakan

Seorang pembimbing rohani harus mampu menyesuaikan perkataan dan tindakannya. Artinya apa yang dikatakan juga terwujud dalam tingkah lakunya sehari-hari. Misalnya seorang pembimbing memberi nasihat kepada orang yang dibimbingnya agar bersikap sabar dalam meningkatkan hidup doa, diandaikan bahwa dia sendiri telah menghidupi dan mempraktekkan kesabaran dan hidup doa dalam kehidupannya sehari-hari.

c) Sikap Sabar

Seorang pembimbing rohani harus mempunyai sikap sabar. Dalam proses bimbingan rohani tidak selalu menyenangkan tetapi bisa sangat membosankan dan menyakitkan. Ada kalanya orang yang dibimbing memberontak terhadap Allah, terhadap dirinya, orang lain atau lingkungannya. Orang itu mungkin merasa kesepian dan kekosongan dalam hidupnya. Untuk itu pembimbing perlu memiliki sikap sabar dalam mengatasi berbagai permasalahan dalam melaksanakan bimbingan rohani.

d) Sikap rendah hati dan optimis

Bimbingan rohani tidak selalu berhasil sesuai dengan rencana, adakalanya gagal dan orang yang dibimbing tidak pernah kembali lagi. Pembimbing merasa bahwa orang yang dibimbing tidak menemukan apa yang menjadi harapannya dan tidak mengalami perubahan dalam hidupnya. Keadaan seperti itu menuntut sikap rendah hati dari para pembimbing. Sikap rendah hati itu juga diperlukan apabila dirasa bimbingan berhasil. Demikian juga dalam menghadapi orang yang menghadapi kegagalan. Seorang pembimbing harus menunjukkan sikap optimis


(40)

segingga orang yang dibimbing merasa optimis. Seorang pembimbing yang pesimis akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan orang yang dibimbingnya. Kita perlu rendah hati dan optimis bahwa keberhasilan dalam membimbing itu adalah semat-mata adalah bantuan dan rahmat Allah. Pembimbing adalah “alat” Allah. Maka keberhasilan pembimbing adalah keberhasilan Allah.

e) Sikap percaya diri dan kejujuran

Seorang pembimbing rohani harus memiliki sikap kepercayaan diri dan kejujuran. Percaya diri dan kejujuran yang dimiliki orang pembimbing akan menimbulkan sikap percaya diri pada orang yang dibimbing serta mampu mengungkapkan diri yang sesungguhnya tanpa menutup-nutupinya.

3) Pengetahuan dan Ketrampilan Pembimbing Rohani

Seorang pembimbing rohani rohani harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Pengetahuan dan ketrampilan yang memadai akan memudahkan pembimbing untuk mendayagunakan bimbingan rohani. Pengetahuan ini harus meliputi beberapa bidang yang menyangkut hidup rohani (Verbeek, 1981: 116-117). Orang yang kurang pengetahuannya dan tidak trampil akan mengalami kesulitan bila menjadi seorang pembimbing rohani. Beberapa pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh seorang pembimbing rohani adalah:

a) Pengetahuan tentang bimbingan rohani

Pembimbing rohani harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang bimbingan rohani, tidak harus sangat “ahli” tetapi mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi bimbingan rohani. Keberhasilan bimbingan rohani juga dipengaruhi dan ditentukan oleh pengetahuan pembimbing tentang bimbingan rohani.


(41)

b) Pengetahuan tentang kematangan rohani dan emosi

Kematangan rohani dan emosi merupakan faktor pokok yang digeluti dalam bimbingan rohani. Maka pembimbing rohani harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang kematangan rohani dan emosi. Orang yang kurang memahami proses kematangan rohani dan emosi tidak cocok untuk menjadi pembimbing rohani. Pengetahuan yang minim tentang proses kematangan rohani dan emosi akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan hidup rohani orang yang dibimbing. c) Pengetahuan tentang biarawan-biarawati muda

Banyak pembimbing yang tidak mengetahui secara pasti persoalan yang dihadapi oleh para biarawan-biarawati muda, salah satunya adalah kurangnya pengetahuan dan pemahaman pembimbing tentang realitas yang dihadapi oleh para biarawan-biarawati muda, maka kita perlu mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang realitas hidup yang dihadapi oleh para biarawan-biarawati muda. Pengetahuan yang memadai itu akan membantu pembimbing untuk mengetahui kebutuhan, permasalahan, harapan-harapan para biarawan-biarawati muda. Setelah pembimbing mengetahui kebutuhan dan permasalahan yang sesungguhnya, pembimbing bisa memberikan bantuan yang tepat.

d) Ketrampilan dalam praktek bimbingan rohani

Pengetahuan tentang bimbingan rohani belum pasti menjamin keberhasilan dalam memberikan bimbingan rohani. Pengetahuan tentang bimbingan rohani perlu diimbangi dengan ketrampilan dalam praktek bimbingan rohani seperti ketrampilan berwawancara rohani, ketrampilan memilih tempat dan menentukan waktu untuk bimbingan rohani.


(42)

b. Bimbingan Rohani

Keberhasilan dalam bimbingan rohani sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, serta beberapa hal lain yang mendukung keberhasilan dalam bimbingan rohani, seperti halnya.

1) Metode Bimbingan Rohani

Bimbingan rohani terjadi melalui kehadiran personal antara dua pribadi. Kehadiran personal ini terjadi melalui dialog atau wawancara. Wawancara ini mempunyai ciri khasnya, yaitu wawancara dalam Roh, atau yang biasa disebut wawancara rohani.

Wawancara rohani berarti tanya jawab antara pembimbing dengan orang yang dibimbing dalam rangka bimbingan rohani. Fungsi wawancara rohani adalah untuk menggali dan mengangkat pengalaman orang yang dibimbing kemudian merefleksikan dari sudut pandang kristiani.Tujuannya adalah untuk menghantar orang yang dibimbing masuk ke dalam pengalaman rohaninya dan kemudian mengambil langkah-langkah dan tindakan baru untuk memperbaiki dan meningkatkan kehidupannya (Darminta, 2006: 39-43).

2) Tempat Bimbingan Rohani

Tempat merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam kegiatan bimbingan rohani. Situasi tempat akan mempengaruhi suasana bimbingan rohani. Dengan tersedianya tempat yang baik, niscaya akan mendukung kelancaran komunikasi antara pembimbing dengan orang yang dibimbing.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan tempat:

a) Tempat harus diatur sedemikian rupa sehingga orang yang dibimbing merasa nyaman dan aman. Suasana tempat yang teratur dan rapi membuat orang kerasan, sedangkan tempat yang kotor akan membuat orang terganggu.


(43)

b) Tempat harus memungkinkan pembimbing dan orang yang dibimbing untuk berkomunikasi dengan bebas. Hal ini berarti bahwa hasil pembicaraan mereka tidak boleh didengar oleh orang lain. Maka sebagai contoh, bimbingan rohani tidak bijaksana dilakukan di dekat orang lain karena hasil pembicaraan akan didengarkan.

c) Tempat harus memungkinkan orang yang dibimbing dapat mengungkapkan emosinya dengan bebas. Contohnya orang yang dibimbing dapat menangis dengan bebas tanpa kuatir disaksikan oleh orang banyak.

d) Tempat harus diusahakan agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain.

Misalnya bimbingan rohani tidak bijaksana dilakukan di kamar yang tertutup rapat atau di kamar tidur. Khususnya jika pembimbing lawan jenis, perlu dihindari tempat-tempat yang bisa mengundang kecurigaan orang lain.

Di atas telah diungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan tempat bimbingan rohani. Tentu saja masih banyak hal yang perlu diperhatikan di samping hal yang telah disebutkan di atas. Untuk itu pembimbing perlu bijaksana dalam menentukan tempat bimbingan rohani.

c. Waktu Bimbingan Rohani

Sebelum melaksanakan bimbingan rohani, hendaknya pembimbing dan orang yang dibimbing menentukan kapan waktu bimbingan rohani diadakan. Pada prinsipnya, bimbingan rohani dapat dilaksanakan setiap saat. Namun pemilihan waktu yang tepat tentu saja berpengaruh terhadap proses bimbingan rohani. Penetapan waktu bimbingan rohani secara tepat dapat membantu proses bimbingan rohani. Untuk itu pembimbing dan orang yang dibimbing perlu mencari dan menentukan waktu yang tepat untuk mengadakan bimbingan rohani.


(44)

Selain pengetahuan dan ketrampilan yang telah disebutkan di atas, seorang pembimbing harus mempunyai:

1) Pengetahuan yang cukup mengenai kelemahan-kelemahan manusia yang

menjadi penghambat bagi karya Roh, pembimbing harus tahu tentang cacat cela dan keutamaan dan apa yang menjadi akibatnya dsb.

2) Kemampuan membedakan roh-roh secara praktis, supaya lebih mudah dapat

menolong orang yang dibimbingnya di jalan yang penting itu.

3) Pengetahuan arti ketiga tahap hidup rohani (permulaan, kemajuan,

kesempurnaan), apa yang menjadi tanda dan gejala khusus untuk tahap masing-masing.

4) Pengetahuaan cukup tentang doa dan tingkat-tingkatnya. Karena lebih-lebih di situ pembimbing tidak boleh mengganti Allah yang membimbing orang dengan Roh-Nya.

Tidak jarang bimbingan rohani mengalami kemacetan karena faktor-faktor yang disebut di atas tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari pihak yunior, bimbingan rohani dirasa tidak penting/perlu, banyak kegiatan yang menyita banyak waktu, merasa terpaksa karena diwajibkan, kurang adanya keterbukaan dan konsisten, kurang sabar dalam berproses, individualisme, egoisme (sebagai akibat dari arus globalisasi), permasalahan luka-luka batin yang menghambat hidup rohani dan emosi, sulit untuk masuk ke dalam diri, sehingga mereka kurang mampu melihat kehadiran Allah dalam hidup mereka.

Permasalahan yang lain adalah para suster yunior yang masuk Kongregasi SSpS adalah remaja yang sangat dekat dengan dunia teknologi. Mereka mudah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Budaya instan, budaya individualisme, egoisme sangat kuat mempengaruhi mereka. Hal ini perlu juga menjadi


(45)

pertimbangan dalam memberi bimbingan rohani. Bimbingan rohani perlu melihat situasi awal, latar belakang para yunior dan perkembangan zaman.

Dari pihak pembimbing, adanya tugas yang rangkap sehingga mengakibatkan bimbingan rohani merupakan tugas sampingan, pembimbing kurang mengenal secara mendalam dengan yang dibimbing, pembimbing tidak profesional terutama untuk mendampingi pribadi-pribadi yang mempunyai kesulitan dan hambatan psikologis, traumatis dll.

3. Dampak dari Bimbingan Rohani

Soenarja (1984: 88-104) menegaskan bahwa dampak dari bimbingan rohani ialah “Hidup dalam Roh” dan penerusan kabar gembira. Orang dewasa menerima tanggung jawab atas hidupnya secara penuh. Kedewasaan rohani mengandaikan tanggungjawab yang sama di bidang rohani, dengan kata lain tidak melarang orang minta nasihat atau bimbingan kepada orang lain, tetapi tanggungjawab pribadi yang dilakukan dengan kemantapan dan penuh percaya.

Kemantapan dan kepercayaan ini diperoleh karena dengan bimbingan yang akhirnya orang sudah langsung dapat menemukan dan mengalami perjumpaan dengan Allah dalam setiap waktu. Seorang pribadi yang mengalami perjumpaan dengan Allah dalam setiap waktu tentu ia juga mampu menemukan dan senantiasa melakukan kehendak Allah dalam hidupnya, hal ini tampak dalam sikapnya, misalnya saja: (1) ia mampu mengubah cara pandang lama menjadi cara pandang baru; (2) mampu bergaul dan berkomunikasi dengan siapa saja tanpa memandang status; (3) memiliki emosi yang matang dan stabil sehingga bisa menghadapi konflik dengan bijaksana; (4) memiliki kebebasan dan kemandirian dalam hidup; (5) mempunyai rasa tanggung jawab terhadap hal-hal yang dipercayakan


(46)

kepadanya; (6) memiliki diskresi dalam menentukan pilihan hidup. Orang yang sering melakukan bimbingan rohani akan menjadi orang yang peka dan hidupnya senantiasa mencari kehendak Allah.

Bimbingan rohani perlu dilaksanakan terus menerus karena dengan bimbingan manusia mampu membawa gerak perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Hidup yang dijiwai oleh semangat “Roh” tentu saja berdampak pada sikap-sikap yang sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki Allah. Dengan demikian hidupnya menjadi bagian dari perpanjangan kasih Tuhan dan menjadi kekuatan, sehingga ia mampu melaksanakan kehendak Allah dalam hidup bersama dengan orang lain maupun dalam tugas yang dipercayakan kepadanya. Hal ini tampak dalam sikap hidupnya yang membawa dan menghidupi nilai-nilai: (1) melihat sesama secara positif; (2) mempunyai kemauan untuk maju dan mengembangkan diri; (3) memiliki kerendahan hati; (4) mempunyai semangat berbagi (Darminta, 2006: 90-91).

Bimbingan rohani merupakan sebuah sarana yang digunakan oleh para kaum religius dalam menumbuh kembangkan hidup penghayatannya sebagai seorang yang secara khusus di panggil Allah untuk mengikuti-Nya secara radikal. Konstitusi SSpS mengatakan:

Roh Kuduslah yang selalu menyanggupkan kita untuk hidup terarah kepada Allah. Di bawah bimbingan-Nya kita mengenal semakin jelas kehendak Bapa dalam hidup kita sehari-hari dan semakin rela menjawabnya, mengangkat salib dan mengikuti Kristus secara radikal. Hal ini menuntut dari kita usaha terus-menerus untuk menanggalkan manusia lama dan membaharui diri dalam roh dan pikiran…… (Konst. SSpS. art. 414).

Melalui beberapa penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa dampak dari bimbingan rohani ialah mengantar orang kepada kesadaran perlunya mengenali kriteria kesejatian relasi dengan Tuhan: mampu membuat diskresi, yaitu mampu


(47)

membedakan mana roh baik dan roh jahat, mana penghiburan mana penghiburan yang semu, mana kehendak Tuhan dan mana kepentingan diri sendiri. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kesatuan antara alam batin dan realitas yang dihadirkan dalam hidup kesehariannya atau buah-buahnya. Pengalaman rohani yang benar itu semakin menyatukan orang dengan sesamanya dan membuat orang menjadi rendah hati untuk mendengarkan suara orang lain selain diri kita. Orang yang hidupnya senantiasa melakukan bimbingan rohani dengan demikian akan merasa hidup dan pengabdiannya merupakan hidup di hadirat Allah.

Keadaan tersebut berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukan bimbingan rohani dalam hidupnya. Bagi orang yang jarang melaksanakan bimbingan rohani, segala yang dilakukan hanya berdasar pada kesenangan sesaat dan tidak mempunyai orientasi hidup yang jelas sehingga tidak bisa memaknai setiap peristiwa dalam hidupnya, memandang segala sesuatu dengan negatif serta senantiasa menyalahkan Tuhan. Hal ini disebabkan hidupnya tidak dijiwai oleh Roh Allah, melainkan roh dirinya sendiri. Dampak yang nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah atau tindakan-tindakan yang sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dengan demikian ia tidak pernah berkembang dalam hidup rohani dan hanya dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Bimbingan rohani merupakan bagian dari pembinaan para yunior. Fungsi dari pembinaan ini, adalah untuk membantu para yunior agar semakin mampu menghayati nilai-nilai hidup religius. Pada dasarnya pembinaan selalu menuju kepada kematangan rohani dan kematangan emosi yang lebih dalam dan utuh. Untuk mencapai kematangan rohani dan kematangan emosi tersebut, orang perlu terus-menerus berproses untuk mengintegrasikan hidup rohaninya agar semakin mencapai kebebasan batin.


(48)

C. Kematangan Emosi 1. Pengertian Emosi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 368) Emosi adalah: 1) luapan perasaan yang berkembang dan surut di waktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat subjektif.

Albin (1986: 11) memahami emosi sebagai perasaan yang kita alami seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, benci, cinta. Perasaan-perasaan tersebut berpengaruh terhadap pikiran dan tindakan seseorang. Misalnya tingkah laku seorang ibu dalam keadaan sedih berbeda dengan tingkah laku pada saat ia dalam keadaan gembira.

Goleman (1997: 411) memahami emosi dalam konteks yang lebih luas yang merujuk pada perasaan dan pikiran-pikiran yang khas sekaligus mencakup keadaan biologis dan psikologis dengan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak dan bereaksi terhadap setiap stimulus dari luar diri individu, seperti halnya emosi gembira mendorong seseorang untuk tertawa sehingga terjadi perubahan suasana hati, emosi sedih mendorong seseorang untuk menangis.

Dari ketiga rumusan di atas dapat penulis rumuskan emosi merupakan dorongan seseorang untuk bertindak dan bereaksi terhadap rangsangan yang datang baik dari dalam maupun dari luar karena pengaruh situasi lingkungan sekitar. Perubahan situasi dalam diri seseorang menimbulkan bermacam-macam reaksi baik itu reaksi yang menggembirakan maupun yang mengecewakan.


(49)

2. Kematangan Emosi

Sebelum banyak orang mengenal kecerdasan emosional, sebagian besar berpendapat bahwa kesuksesan sangat ditentukan oleh kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh seseorang. Ternyata pendapat itu tidak selalu benar. Suparno (2004) berpendapat ada banyak orang yang berinteligensi tinggi karena tidak stabil emosinya dan mudah marah, seringkali keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan hidup. Keadaan semacam itu dapat menimbulkan konflik dan kegagalan dalam hidupnya.

Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegence menjelaskan bahwa

selain kecerdasan inteligensi kita semua mempunyai kecerdasan lain yaitu kecerdasan emosional. Secara menyakinkan Goleman mengemukakan bahwa dalam kehidupan kecerdasan emosional lebih penting daripada kecerdasan intelektual (Goleman, 1997: 38).

Istilah kecerdasan emosional pertama kalinya dipelopori oleh seorang psikolog Israel, Reuven Bar-On pada tahun 1980 dan dilontarkan kembali pada tahun 1990 oleh psikolog Pater Salovey dari Harvard University dan Jonh Mayer

dari University of New Hamsphire. Salove dan Mayer mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. Yang dimaksud dengan himpunan bagian kecerdasan sosial tersebut adalah kualitas-kualitas emosional dalam diri seseorang. Kualitas-kualitas ini antara lain: empati, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat (Shapiro, 1999: 5).


(50)

Kecerdasan emosi ditandai dengan adanya kematangan emosi. Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri (Goleman, 1977: xiii).

Menurut Goleman (1997: 58-59) kematangan emosi mencakup banyak kecerdasan kemampuan dalam mengelola emosi, yaitu:

1) Mengenal emosi diri yaitu kesadaran diri mengenali perasaannya sendiri pada saat perasaan itu sedang terjadi, dan memahami penyebab perasaan yang timbul, serta mengenali perbedaan perasaan dan emosi yang sedang bergejolak di dalam dirinya tanpa diingkari atau ditutupi.

2) Mengelola emosi yaitu orang mampu untuk mengendalikan dan mengelola emosi-emosi (yang merusak) agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Toleransi lebih tinggi terhadap frustasi, berkurangnya ungkapan emosi dalam bentuk kata-kata ejekan, emosi terungkap dengan pas, mampu mengungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi, tidak berperilaku agresif, perasaan lebih positif terhadap diri, sesama, keluarga, mengatasi ketegangan jiwa, dan mengurangi kesepian, kecemasan dalam pergaulan.

3) Memotivasi diri sendiri yaitu menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri dan menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Lebih bertanggungjawab, dan mampu memusatkan perhatian pada tugas, lebih produktif dan efektif dalam hidup.

4) Kemampuan berempati yaitu mampu menerima sudut pandang orang lain, memperbaiki rasa empati pada orang lain, dan lebih bisa mendengarkan orang lain. 5) Mengenali emosi orang lain yaitu orang yang empatik adalah orang yang mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang


(51)

dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Atau orang yang mampu untuk mengerti dan memahami perasaan-perasaan ataupun emosi-emosi orang lain.

6) Membina hubungan yaitu membina relasi dengan orang lain, terampil dalam mengelola emosi orang lain dan memahami orang lain, berkomunikasi dengan baik, membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain.

Kematangan emosi merupakan dasar dari semua tindakan dan perilaku seseorang. Kematangan emosi mencakup aspek perkembangan pribadi dan peranan seseorang dalam lingkungan sosial. Kematangan emosi adalah kecerdasan seseorang dalam mengatur, mengendalikan dan menata emosi yang ada dalam dirinya. Emosi yang matang dapat dilihat dan dirasakan dari kemampuan seseorang menguasai, dan mengatur emosi sesuai dengan kebutuhan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi

Emosi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan seseorang. Kehidupan menjadi berarti karena adanya emosi. Emosi seseorang berkembang selama individu mulai mengalami suatu perubahan dalam dirinya. Maka dari itu dapat dimengerti bahwa keadaaan yang mempengaruhi seseorang memberikan corak dalam perkembangan emosinya, misalnya keadaan keluarga, tempat tinggal, lingkungan sosial, pergaulan, sekolah, jabatan, bahkan cita-cita dan harapan-harapannya.

Pengaruh emosi terhadap sikap manusia: emosi memberi arah sikap yang akan dilakukan oleh pribadi. Dalam perkembangan anak emosi lebih ditujukan kepada orang dewasa yang ada di sekitarnya, sehingga sikap orang dewasa turut menentukan perkembangan emosi anak selanjutnya. Sikap emosi dari orang dewasa yang bijaksana dapat membantu anak untuk mengembangkan emosi yang baik.


(52)

Banyak anak yang bertingkah nakal, bersikap brutal, liar dan susah diatur disebabkan oleh situasi emosi pada saat itu. Pengaruh emosi sangat besar sekali terhadap perkembangan pribadi, dan penyembuhan yang disertai dengan suasana yang menyenangkan akan mempercepat proses penyembuhan perkembangan pribadi.

Menurut Goleman (1997: 371-374), pendidikan emosi membantu seseorang untuk melatih dan menyalurkan emosi dengan baik atau yang disebut dengan pengendalian emosi, serta membiasakan bereaksi dengan emosi yang positif yaitu melalui sikap hidup yang wajar atau sesuai dengan sikap hidupnya.

Bila seseorang mampu mengolah emosinya dan sadar siapa dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya dihadapan Allah dan sesamanya, orang tersebut akan bertumbuh dalam hidup rohaninya dan kepribadiannya.

Menjadi pribadi yang matang rohani dan matang emosi merupakan harapan dari semua orang. Hal ini mengandaikan seseorang berani menghadapi

pergulatan-pergulatan batin yang ada dalam dirinya. Sebagaimana dikatakan dalam Konst.

SSpS. art. 503: “bahwa untuk menjadi pribadi yang utuh dan integral perlu orang tersebut mengusahakan tercapainya kematangan manusiawi, mampu mengintegrasikan antara hidup iman dan karya”. Untuk mencapai kematangan pribadi, orang dituntut untuk mengenal diri sebaik-baiknya, mampu mengembangkan bakat-bakatnya, sehingga sanggup menerima keterbatasan dirinya serta sanggup mengatasi konflik dan tabah dalam menghadapi kesulitan-kesulitannya. Dengan demikian dia akan mencapai kebebasan batin yang membantunya untuk mampu mengambil keputusan-keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.


(53)

4. Dampak dari Kematangan Emosi

Dari uraian di atas, emosi adalah suatu reaksi batin yang wajar dan manusiawi. Emosi adalah perasaan yang muncul secara spontan sebagai reaksi atas adanya suatu hal yang menyentuh atau merangsang batin kita, hal itu bisa menimbulkan reaksi positif maupun negatif. Mengalami dua keadaan yang berbeda ini Goleman mengatakan (1997: 78) penderitaan maupun kebahagiaan adalah bumbu kehidupan. Dalam perasaan, rasio antara emosi positif dan negatif yang menentukan sebuah rasa sejahtera. Menderita atau bahagia semuanya menentukan nilai hidup manusia. Tanpa emosi kita tidak akan pernah memahami arti hidup yang sesungguhnya. Emosi dengan segala kualitasnya memperkaya eksistensi manusia sebagai pribadi.

Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi yang ada dalam dirinya baik emosi yang positif (syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll), maupun emosi negatif (jengkel, marah, sedih, tersinggung, dll). Kematangan emosi menyebabkan seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan dirinya secara optimal dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu seseorang memiliki keberanian untuk mengalami dan menerima rasa perasaan yang muncul dalam dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau sikap batin untuk mengakui keberadaan diri secara bebas.

Sedangkan orang yang tidak matang dalam emosinya akan menjadi pribadi yang senantiasa labil, pribadi yang sering bertindak seturut perasaan saja tanpa memakai akal budi, pribadi yang tertutup dan sulit untuk berelasi dengan sesama, pribadi yang tidak mampu untuk menerima diri apa adanya/pribadi yang “unik” sehingga sulit juga untuk menerima kelebihan orang lain serta sulit memaafkan


(54)

kesalahan orang lain. Dengan kata lain orang yang tidak mampu mengolah emosinya dengan baik akan menjadi pribadi yang sangat sulit untuk bekerja sama baik dengan sesama maupun bersama rahmat Tuhan. Ia memiliki fisik yang lemah, mudah jatuh dalam kegagalan yang mengakibatkan frustasi yang berkepanjangan, depresi yang berdampak pada gangguan jiwanya. Dengan demikian ia merugikan diri sendiri.

Bimbingan rohani dalam hidup religius pada zaman ini merupakan suatu tuntutan, karena setiap orang yang masuk dalam Lembaga Hidup Bakti tertentu diharapkan memiliki kematangan emosi dan kematangan rohani. Tentunya ini merupakan proses seumur hidup. Untuk mencapai kematangan emosi dan kematangan rohani, bimbingan rohani merupakan salah satu sarana untuk mencapai kematangan tersebut.

Bimbingan rohani membantu para yunior untuk mengenali emosi-emosi yang tidak teratur yang membuat orang tidak konsisten. Dengan bimbingan rohani diharapkan orang bisa mengenali siapa dirinya dihadapan Allah dan sesama dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bimbingan rohani hendaknya dijadikan satu kebutuhan bagi para yunior demi perkembangan pribadinya. Dengan demikian ia menjadi orang yang memiliki pribadi yang utuh dan integral.

5. Kedewasaan Pribadi

Kematangan emosi menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang dilakukan sebagai manusia. Seperti yang diharapkan oleh Kongregasi SSpS dan ditegaskan dalam Konstitusi Kongregasi.

“…Perkembangan menuju kematangan terjadi, dengan belajar mengenal diri semakin baik, mengembangkan bakat-bakat pribadi secara harmonis,


(55)

menerima keterbatasan dan mampu mengatasi konflik dan penderitaan. Dengan demikian kita mencapai kebebasan hati yang memungkinkan kita

mengambil keputusan yang dapat dipertanggung-jawabkan”. (Konst. SSpS.

art. 503).

Menurut Mardi Prasetya (1992: 100-104) “pribadi yang dalam hidupnya menunjukkan kedewasaan dalam dimensi-dimensinya dan juga memiliki kebebasan efektif lebih besar untuk membatinkan nilai-nilai panggilan, ia mempunyai disposisi untuk mengikuti panggilannya secara lebih baik”. Ciri-ciri kedewasaan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Kemampuan untuk menerima kenyataan yaitu ia terbuka untuk mengetahui dan menerima dirinya dan orang lain, karena ia mempunyai keyakinan diri dan kepastian untuk berpijak, mempunyai integritas pribadi yang dapat ditunjukkan melalui perilakunya.

2) Menerima dan menghayati apa yang bernilai yaitu sebagai religius ia berani menerima dan menghayati nilai-nilai Injili (nilai hidup rohani) dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan yang menguntungkan diri, membela diri dan sekedar memamerkan kesalehan. Dengan kata lain ia berusaha mengatur dan menghayati hidup atas dorongan motivasi yang lurus dalam panggilan, yaitu nilai-nilai hidup rohani, dengan ini akan tampak bahwa ia ambil bagian dalam kebebasan untuk memeluk cinta dan afeksi rohani.

3) Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup yaitu ia mampu mengendalikan ketegangan yang mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya, mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya.


(56)

4) Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme yaitu ia memiliki fleksibilitas sekaligus sikap seorang hamba Tuhan yang setaraf dengan kedewasaannya, lebih-lebih dalam membela nilai-nilai Kristus dalam arti bahwa ia tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab. Ia lebih peka dan lebih terbuka terhadap perasaan orang lain. 5) Memiliki cinta yang tidak egois yaitu cinta yang tidak egois adalah cinta yang melampaui ’personalisme’ dan tanpa pamrih. Maka orang yang memiliki cinta ini tidak akan mudah frustasi, dan menomorsatukan nilai cinta kasih Kristus.

6) Sikap realistis. Sikap realistis yang dimaksudkan di sini khususnya berhubungan dengan pelaksanaan nilai dan sikap hidup panggilan.Ia mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang prinsip, ia mampu membedakan antara kompromi fakta dan kompromi prinsip. Ia pun tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. 7) Mampu mempercayai orang lain, ini adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri. Ia tidak mendominasi dan tidak merendahkan orang lain.

8) Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri, ia selalu siap dengan pertobatan manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membaharui diri sejauh mungkin atas rahmat dan kemampuan diri sendiri.

9) Relasi sosial yang berciri dependibility, mampu mengambil keputusan dan

tanggung jawab, mampu menyesuaikan diri, memiliki kepekaan, menghargai kebebasan orang lain dan diri sendiri.

10) Mampu membatinkan nilai panggilan, dapat menerima iman dan kepercayaan karena memang sesuai dengan sistem dasariah nilai dan tujuan hidupnya, ia berusaha maju dan bertekun dalam panggilan dan hidup rohaninya.


(57)

D. Kerangka Pikir

Bimbingan rohani sebagai proses yang terjadi antara orang yang membimbing dan yang dibimbing. Proses tersebut terjadi karena ada hubungan yang dibina antara orang yang membimbing dan yang dibimbing dengan tujuan pasti yaitu pertumbuhan, perkembangan rohani dan kematangan emosi. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan bimbingan secara intensif dan berkelanjutan. Melalui bimbingan rohani, seseorang mengalami bahwa Allah hadir dalam peristiwa hidup sehari-hari sehingga ia dapat menghayati hidup panggilan dan membentuk emosinya baik dalam hidup bersama, kerasulan, maupun dalam hidup berkaul.

Dampak dari bimbingan rohani seseorang mampu membawa gerak perubahan hidup kearah yang lebih baik. Hidup yang dijiwai oleh semangat “Roh” tentu saja berdampak pada sikap-sikap yang sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah. Dengan demikian hidupnya menjadi perpanjangan kasih Tuhan dan menjadi kekuatan, sehingga mampu melaksanakan dalam hidup bersama dengan orang lain maupun dalam tugas yang dipercayakan kepadanya. Keadaan tersebut berbeda dengan seseorang yang tidak pernah melakukan bimbingan rohani dalam hidupnya. Bila seseorang jarang melaksanakan bimbingan rohani, tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan kehendak Allah.

Orang yang memiliki kematangan emosi akan trampil dalam mengelola emosi-emosi sehingga mampu mengakui keberadaan dirinya secara bebas, mampu mengidentifikasi setiap rasa perasaan yang muncul dan mengantarnya pada kedewasan pribadi yang bertanggungjawab akan segala sesuatu yang dilakukannya.

Berdasarkan penjelasan dan uraian dari kajian teori di atas, bimbingan rohani mempunyai peranan yang besar terhadap kematangan emosi para suster yunior SSpS. Kematangan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor: (1) kondisi dan situasi


(58)

komunitas, (2) relasi dengan teman dan pimpinan komunitas, (3) demi pengabdian yang tulus, (4) demi Kerajaan Allah, (5) demi motivasi yang murni, (6) penghayatan iman yang tampak pada sikap-sikap positif yang sesuai dengan hidup kaulnya.

Bila suster yunior SSpS senantiasa setia menjalankan bimbingan rohani, dampaknya tampak pada sikap-sikap baik yang sesuai dengan hidup yang dibaktikan kepada Allah. Sebaliknya suster yunior tidak setia menjalankan bimbingan rohani, dampaknya adalah tampak sikap-sikapnya tidak sesuai dengan hidup yang dibaktikan kepada Allah. Dalam hal ini bimbingan rohani mempunyai peranan terhadap kematangan emosi para suster yunior. Oleh karena itu bimbingan rohani berdampak pada kematangan emosi para suster yunior yaitu dapat memiliki sikap-sikap yang baik dalam hidup yang dibaktikan kepada Allah, peranan bimbingan rohani sangat penting bagi kematangan emosi para suster yunior SSpS.


(59)

BAB III

PERANAN BIMBINGAN ROHANI

TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)

PROVINSI JAWA

Bab ini akan menguraikan dua bagian pokok. Pertama akan diuraikan mengenai gambaran umum sejarah Kongregasi SSpS yang meliputi: identitas SSpS, Kharisma dan Spiritualitas SSpS. Kedua menguraikan penelitian peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior, hasil penelitian dan pembahasan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data tentang peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior Kongregasi SSpS Provinsi Jawa sehingga akan menemukan permasalahan yang akan dianalisa lebih lanjut.

A. Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus 1. Identitas Kongregasi SSpS

Gereja dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira Keselamatan dan membawa seluruh kekayaan cinta penyelamatan dari Allah Tritunggal kepada semua umat manusia. Santo Arnoldus Janssen dipanggil untuk mengambil bagian dalam rencana keselamatan Allah dengan mendirikan tiga Kongregasi yaitu: SVD, SSpS, SSpS AP. Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus didirikan pada tanggal 8 Desember 1889 di Steyl Belanda. Nama Kongregasi ini biasa disingkat SSpS, kependekan dari bahasa Latin Servae Spiritus Sancti (Konstitusi SSpS, 1984). Dalam bahasa Indonesia biasa disebut Suster-suster Misi Abdi Roh Kudus. Kata


(1)

[2]

NO PERNYATAAN SL SR KD

1 Saya melihat suara pembimbing merupakan suara Tuhan. 2 Saya dituntun untuk menemukan Tuhan dalam panggilan

keseharian.

3 Saya menemukan kehendak Tuhan dalam pengalaman yang menyakitkan sekalipun.

4 Kehendak Tuhan bagi saya yang masih samar-samar menjadi jelas dalam bimbingan.

5 Sebelum menemukan kehendak Tuhan dalam pengalaman tertentu hati saya belum tenteram.

6 Saya bahagia misteri Tuhan yang tak terpahami dapat saya cerna dalam bimbingan.

7 Saya semakin mengagungkan Tuhan setelah bimbingan rohani.

8 Saya merasa kosong kalau tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam karya saya yang sukses.

9 Saya merasa sulit menemukan Tuhan dalam pembimbing yang sulit mengampuni kesalahan saya.

10 Ketika hidup rohani saya kering saya sulit menemukan kehadiran Tuhan dalam hidup saya.

11 Saya malas melakukan bimbingan karena pembimbing tidak menarik.

12 Saya tetap bimbingan walau sering ditantang oleh pembimbing.

13 Saya senang karena pembimbing membicarakan masalah pribadi dengan pembimbing .

14 Saya takut cerita semua masalah pada pembimbing. 15 Saya enggan untuk bimbingan karena pembimbing


(2)

[3]

16 Bimbingan saya teratur saya mempunyai relasi yang baik dengan pembimbing.

17 Saya senang melaksanakan bimbingan karena pembimbing memiliki hati keibuan.

18 Dalam bimbingan pendapat saya mendapat apresiasi dari pembimbing.

19 Setiap melaksanakan bimbingan saya takut karena pembimbing terlalu kritis.

20 Saya bahagia karena pembimbing memahami pergulatan saya.

21 Saya terbuka dalam bimbingan ada suasana saling percaya. 22 Penerimaan yang hangat dari pembimbing menenangkan

hati saya.

23 Saya mempunyai waktu untuk mencatat hal yang perlu selama bimbingan.

24 Saya antusias melaksanakan bimbingan karena didengarkan.

25 Saya merasa lega setelah bimbingan.

26 Waktu yang terbatas dalam bimbingan membuat saya tergesa-gesa.

27 Pembimbing yang optimis membuat suasana bimbingan bersemangat.

28 Saya menaruh hormat terhadap pembimbing meskipun seusia.

29 Pembimbing mengesampingkan masalah pribadinya dalam bimbingan.

30 Ada suasana doa dalam proses bimbingan.

31 Pembimbing mengarahkan jalannya bimbingan dengan baik.


(3)

[4]

sebelum memulai.

33 Bahasa non verbal dari pembimbing membantu saya terbuka.

34 Saya senang kalau proses pendampingan sesuai dengan waktu yang ditentukan.

35 Saya senang kalau proses pendampingan berstruktur. 36 Saya kecewa karena proses bimbingan tidak terarah. 37 Saya lebih berminat bimbingan karena pembimbing yang

kompeten.

38 Saya senang karena tempat bimbingan berfariasi.

39 Saya tidak fokus kalau bahan bimbingan tidak terstruktur. 40 Bimbingan yang efektif bagi saya adalah dari pengalaman

pembimbing.

41 Saya lebih suka mengungkapkan diri saya apa adanya. 42 Saya mudah mengekpresikan perasaan saya kepada siapa

saja.

43 Apabila saya marah saya cenderung bereaksi diam, mengurung diri.

44 Saya mudah menerima kekurangan yang ada pada diri saya.

45 Saya berani mengakui kesalahan yang saya buat. 46 Saya mudah terpancing apabila ada sesama yang

menggoda saya.

47 Saya gelisah kalau mempunyai masalah yang belum terselesaikan.

48 Ketika ada masalah saya mencari solusi.

49 Saya mudah tersinggung kalau pendapat saya tidak dihargai.

50 Saya merasa senang karena saya mampu mengerjakan tugas yang diberikan kepada saya.


(4)

[5]

51 Saya berusaha tidak berkecil hati apabila ada sesama yang mengejek saya.

52 Saya menerima emosi saya apa adanya. 53 Saya tertarik dengan hal-hal baru.

54 Kalau diberi tanggungjawab saya takut gagal.

55 Saya berusaha untuk mensyukuri setiap peristiwa yang saya alami.

56 Saya melihat kegagalan sebagai kesuksesan yang tertunda. 57 Saya berusaha menjalankan tugas pada waktunya.

58 Saya adalah orang yang suka mengambil inisiatif. 59 Saya lebih suka berfikir positif tentang orang lain.

60 Saya sensitif terhadap perasaan teman waktu memberikan evaluasi.

61 Saya menyediakan diri untuk mendengarkan sesama yang punya masalah .

62 Saya merasa bosan mendengar sharing sesama yang tidak ada ujungnya.

63 Saya mudah terharu oleh perasaan orang lain.

64 Teman saya marah kalau saya memotong pembicaraannya. 65 Saya sulit untuk menyakinkan pendapat saya kalau

dikritik.

66 Saya adalah pribadi yang menyenangkan.

67 Supaya disukai saya melakukan apa saja yang diinginkan oleh teman.

68 Saya senang dengan sesama yang saling mendengarkan satu dengan yang lain.

69 Saya terbuka dengan sesama yang dekat dengan saya. 70 Saya sulit menyimpan rahasia sesama saya.


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Peranan meditasi terhadap mutu pelayanan para suster Abdi Kristus Regio Yogyakarta.

0 4 140

Komunikasi efektif antar pribadi untuk membangun semangat persaudaraan dalam hidup berkomunitas para Suster Tarekat Misi Abdi Roh Kudus di Komunitas Roh Suci Yogyakarta.

0 33 135

Peranan hidup doa dalam meningkatkan kecerdasan spiritual para suster yunior Kongregasi Suster-Suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 1 189

Upaya kontekstualisasi spiritualitas pendiri implikasinya bagi pembinaan suster-suster yunior Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi.

1 11 224

Persepsi para suster yunior kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus di Provinsi Indonesia tahun 2007-2008 tentang relasinya dengan lawan jenis - USD Repository

0 0 90

Peranan ekaristi dalam meningkatkan hidup rohani bagi para Suster PRR di wilayah Jawa - USD Repository

0 0 139

Kematangan emosi tiga suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang sedang menjalani studi tahun 2009/2010 - USD Repository

0 0 103

Makna spiritualitas cinta kasih bagi para suster yunior Kongregasi Suster Cinta Kasih Putri Maria dan Yosef Provinsi Indonesia tahun 2011 - USD Repository

0 0 179

Peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) Provinsi Jawa - USD Repository

0 1 111

Pengaruh bimbingan rohani terhadap kemampuan komunikasi antarpribadi para suster yunior dan yang berkaul kekal lima tahun ke bawah Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia Pematangsiantar - USD Repository

0 0 137