KONTINUITAS DAN PERUBAHAN GONDANG NAPOSO PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA DESAGAJAH KECAMATAN SEI BALAI KABUPATEN ASAHAN

KONTINUITAS DAN PERUBAHAN GONDANG NAPOSO PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA DESAGAJAH KECAMATAN SEI BALAI KABUPATEN ASAHAN SKRIPSI DISUSUN OLEH: LEONALD NAINGGOLAN NIM: 030707007 DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MED AN 2008

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, yang telah melimpahkan kasih dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul : KONTINUITAS DAN

PERUBAHAN GONDANG NAPOSO PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

DI DESA DESAGAJAH KECAMATAN SEI BALAI KABUPATEN ASAHAN, disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S1) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan.

Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dan hormat yang tulus dan tiada terhingga kepada Ayahanda J.Nainggolan dan Ibunda R. Br. Manullang, yang tiada lelah memberikan bimbingan, dorongan semangat serta iringan doa yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Begitu juga kepada kedua Kakak tercinta Elem Br Nainggolan dan Imelda Br Nainggolan, Abangku Ribur Nainggolan dan kedua Adikku tersayang Nentiara Br Nainggolan dan Herlina Br Nainggolan atas dorongan semangat dan doa yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

• Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra USU • Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, selaku Ketua Departemen Etnomusikologi dan

Pembimbing I. • Bapak Drs. Setia Dermawan Purba. M.Si, selaku Pembimbing II

• Ibu Dra. Heristina Dewi. M. Pd, selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi

• Seluruh Staf Pengajar di Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU • Bapak Sari Simangunsong dan Oppu Hellen Gultom, selaku informan dan

penuntun penulis dalam melakukan pengumpulan data. • Rekan-rekan seperjuangan : Bang Hardoni Sitohang, Martahan Sitohang,

Saridin Sinaga. • Rekan-rekan mahasiswa Etnomusikologi: Dina M Sitopu, Flora Hutagalung,

Wely Simbolon, Frendy Sirait. • Cory Ester P Br. Rajagukguk yang telah banyak memberikan dukungan dan

dorongan semangat kepada penulis. • Seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan selanjutnya. Penulis juga berharap agar tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis sangat berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran dan bermanfaat bagi pembaca, khususnya dalam bidang Etnomusikologi.

Medan, Desember 2008

Penulis

Leonald Nainggolan

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kelompok etnik……..…………………………24 Tabel 2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur…..……………………………24 Tabel 3. Jumlah penduduk menurut dusun…………..………………………………26 Tabel 4. Komposisi penduduk menurut agama……...………………………………27 Tabel 5. Komposisi jumlah tempat ibadah…..………………………………………27 Tabel 6. Keadaan mata pencaharian…………………………………………………29

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1………………………………………………………………………….100 Lampiran 2………………………..………………………………………………...102 Lampiran 3………………………………………………………………………….104

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seni adalah suatu nilai hakiki yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dunia seni adalah dunia kita bersama. Hidup dan matinya merupakan tanggung jawab kita bersama pula (Maran 2000:103). Kesenian tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian yang paling penting dalam kebudayaan, kesenian merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan.

Masyarakat yang menyangga kebudayaan demikian pula kesenian mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, serta menularkan, mengembangkan serta kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi. Apa yang disebut seni atau kesenian meliputi penciptaan dari segala macam hal yang atau benda yang karena keindahan bentuknya senang orang melihat atau mendengarnya. (Ensiklopedia Nasional Indonesia).

Kita mengenal masyarakat Batak Toba adalah masyarakat yang suka merantau apalagi ketika seseorang tersebut dianggap sudah dewasa. Bila kita melihat langsung ke daerah asal (Bona Pasogit), yang banyak kita jumpai adalah orang-orang yang sudah tua dan anak-anak. Sedangkan para pemuda/i lebih banyak yang merantau keluar daerah.

Kebiasaan merantau pada masyarakat Batak Toba ini didorong oleh rasa ingin mencari dan memiliki kehidupan yang lebih layak (Simatupang 2002:168) . Selanjutnya Siahaan (1982:48) mengatakan bahwa sekalipun di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Mereka mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. Salah satu daerah perantauan masyarakat Batak Toba adalah Kabupaten Asahan. Di daerah ini mereka hidup pada umumnya sebagai petani dan pedagang.

Masyarakat Batak Toba mempunyai budaya yang sangat kaya yang mereka peroleh dari leluhurnya secara turun-temurun. Warisan budaya tersebut adalah budaya tradisional yang harus dijaga kesinambungannya. Salah satu budaya yang diwariskan pada masyarakat Batak Toba adalah Gondang Naposo.

Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi pada masyarakat Batak Toba yang merupakan sarana untuk membina hubungan antara generasi muda. Dahulu acara ini biasa dilakukan pada saat terang bulan (Rondang Bulan) dan pada saat masyarakat mendapatkan hasil panen yang baik.

Gondang Naposo adalah pesta yang ditunggu-tunggu muda-mudi. Dimana dalam acara tersebut muda-mudi dari berbagai desa diundang untuk turut berpatisipasi dalam acara Gondang Naposo tersebut dan disana mereka bisa berkenalan satu dengan yang lain. Kesempatan untuk para muda-mudi untuk saling berkenalan satu dengan yang lain sangatlah besar karena di dalam acara Gondang

Naposo tersebut dilengkapi dengan perilaku tortor (Thompson HS dalam artikel “Gondang Naposo Di Jakarta” 2008). Tortor dalam gondang naposo pada masyarakat Batak Toba juga dapat berfungsi sebagai ajang melepas rindu, sehingga nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup serta pengharapan dapat diwujudkan melalui tortor yang diiringi musik gondang (Sinaga 1994:9).

Dibeberapa tempat sub etnis Batak tradisi untuk muda-mudi seperti ini juga sering dilakukan, seperti di Tanah Karo dengan Guro-guro Aron dan di Simalungun dengan Rondang Bintang.

Pada dasarnya acara Gondang Naposo tidak semata-mata urusan naposo (muda-mudi) saja. Acara seperti ini justru diprakarsai oleh orang tua yang ingin memberi peluang kepada anak-anak mereka untuk bergembira, dan pembiayaannya digalang oleh penduduk setempat. Karena menurut tradisi Batak, naposo belum bisa

“pahundul pargonsi” 2 . Sehingga untuk dapat menghadirkan pargonsi sebagai pemain musik pengiring dalam acara ini peran orang tua sangat dibutuhkan

(Naipospos dalam Dialog Gondang Naposo Tahun 1998).

Acara ini dimulai dengan “pahundul” atau “manggalang pargonsi”, tahap ini merupakan ajakan atau sambutan secara adat kepada pargonsi untuk dapat memulai acara. Setelah tahap manggalang pargonsi selesai, acara dilanjutkan dengan tahap “mambuat tua ni Gondang” oleh orang tua, dimana orang tua meminta

1 Pahundul pargonsi adalah menyambut pargonsi ditempat yang telah disediakan 2 Pargonsi adalah orang-orang yang memainkan ensambel gondang

(maminta) kepada pargonsi untuk memainkan gondang sebagai tanda dimulainya acara ini. Kemudian orang tua dan para naposo manortor (menari) bersama. Acara kemudian di lanjutkan dengan kata-kata sambutan dan nasehat-nasehat dari orang tua kepada naposo. Setelah acara manggalang pargonsi dan mambuat tua ni gondang selesai, kemudian acara dilanjutkan dengan manortor bersama oleh orang tua dan seluruh naposo yang menjadi panitia. Kemudian acara diserahkan sepenuhnya kepada naposo namun sepanjang acara berlangsung orang tua tetap memantau jalannya acara

agar tidak melenceng dari aturan etika kesopanan dan ketertiban 3 .

Naipospos mengatakan bahwa keberadaan Gondang Naposo pada masa sekarang ini boleh dikatakan sudah jarang kita jumpai, khususnya di daerah-daerah perantauan masyarakat Batak Toba. Hal ini disebabkan oleh pengaruh modernisasi yang kuat pada masyarakat Batak Toba khususnya muda-mudi Batak Toba, sehingga rasa ingin tahu akan budaya Batak pun sudah berkurang.

Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan adalah salah satu daerah yang sampai saat ini masih tetap menyelenggarakan acara Gondang Naposo yang dilaksanakan dua kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Januari dan bulan Juni karena pada saat itulah mereka panen. Hal ini sesuai dengan konsep Gondang Naposo yang selalu dilaksanakan setelah musim panen.

Walaupun penduduk Desa Desagajah bukan hanya terdiri dari masyarakat Batak Toba saja melainkan ada Melayu dan Jawa, namun tradisi Gondang Naposo

3 Hasil wawancara dengan Pasu. Sirait tanggal 21 maret 2008 di desa Desagajah 3 Hasil wawancara dengan Pasu. Sirait tanggal 21 maret 2008 di desa Desagajah

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi tersebut juga berpengaruh dan membawa perubahan terhadap acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah. Perubahan pada acara Gondang Naposo tersebut di antaranya yaitu yang menjadi musik pengiring. Pada awalnya musik pengiring dalam acara ini adalah Gondang Sabangunan yang terdiri dari instrumen Taganing, Gordang, Sarune, seperangkat Ogung(Gong) dan Hesek. Namun pada acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah saat ini yang menjadi musik pengiring adalah Sulkibta ( Sulim Keyboard Taganing ).

Perubahan yang terjadi bukan hanya pada ensambel pengiringnya saja tetapi juga pada repertoar-repertoar yang dimainkan untuk mengiringi tortor 4 . Menurut

Hotman ( http://mandosi wordpress.com ) Gondang Naposo sendiri ada 20 macam; Goar-goar ni gondang naposo (Nama-nama Gondang Naposo) itu; (1) Gondang siburuk (2) Gondang sibane doli (3) Gondang sitapitola (4) Gondang siboru illa-illa (5) Gondang siboru enggan (6) Gondang siboru sanggul miling-iling (7) Gondang sibunga jambu (8) Gondang pinasa sidung-dungon (9) Gondang sibintang purasa (10) Gondang silote dolok (11) Gondang alit-alit aman jabatan (12) Gondang marhusip (13) Gondang parhabang ni siruba (14) Gondang sahali tuginjang sahali

4 Hasil wawancara dengan personil Iwans Entertainment tanggal 22 maret 2008 4 Hasil wawancara dengan personil Iwans Entertainment tanggal 22 maret 2008

Namun, walaupun banyak perubahan-perubahan dalam acara Gondang Naposo tersebut, masih ada nilai-nilai budaya yang tetap bertahan sampai sekarang di antaranya fungsi acara Gondang Naposo tersebut, tata cara dalam menari (manortor)

dan maminta gondang (meminta gondang) yang masih tetap seperti dulu 5 .

Melihat keadaan tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam acara tersebut. Serta bermaksud untuk mengangkat topik ini menjadi satu tulisan atau karya ilmiah Dengan demikian penulis memberi judul penelitian ini Kontinuitas dan Perubahan

Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Desagajah- Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian penulis dalam tulisan ini antara lain:

5 Hasil wawancara dengan Bapak Sari Simangunsong tanggal 22 Maret 2008

1. Bagaimana pertunjukan Gondang Naposo pada masyarakat Batak toba di Desa Desagajah-Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

2. Aspek apa yang mengalami perubahan pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

3. Aspek apa yang tetap berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

4. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkap:

1. Bentuk penyajian acara Gondang Naposo pada masyarakat Batak di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan..

2. Perubahan yang terdapat pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan..

3. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba Di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

4. Aspek-aspek yang tetap berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Memberikan informasi baru bagi masyarakat luas tentang keberadaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di luar daerah kebudayaannya.

2. Untuk mengetahui perubahan yang terdapat pada pelaksanaan Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

3. Untuk mengetahui aspek-aspek yang tetap bertahan dan berlanjut pada pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan

4. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan Batak Toba yang dapat menjadi bahan masukan bagi Departemen Etnomusikologi.

1.5 Konsep

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan menghindari penyimpangan, maka diperlukan pengertian atau definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini akan menjadi kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik yang menjadi pokok penelitian. Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di rumuskan (Mardalis 2003:46). Tulisan ini membahas tentang Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo di Desa Desagajah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kontinuitas dapat di artikan sebagai kelangsungan, kelanjutan dan kesinambungan. Kelanjutan yang dimaksud di dalam tulisan ini menyangkut aspek-aspek budaya dalam hal ini lebih menitikberatkan pada fungsi musik dalam Gondang Naposo di Desa Desagajah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran . Berangkat dari pengertian tersebut, perubahan yang dimaksud pada Gondang Naposo yaitu peralihan atau pergantian musik pengiring dari ensambel Gondang Sabangunan menjadi Sulkibta (Sulim Keyboard Taganing) serta repertoar-repertoar yang dimainkan dalam acara Gondang Naposo . Selain itu juga perubahan yang dimaksud menyangkut aspek-aspek dari materi acara dalam acara Gondang Naposo tersebut.

Secara harfiah perubahan berarti keadaaan berubah, peralihan atau pergantian. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau Secara harfiah perubahan berarti keadaaan berubah, peralihan atau pergantian. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau

Gondang pada masyarakat Batak Toba mengandung banyak pengertian diantaranya: sebagai sebuah ensambel musik, komposisi, repertoar, tempo komposisi, upacara atau bagian dari satu rangkaian upacara.(Hutajulu 2005:19)

Kata Gondang dalam konteks Gondang Naposo bermakna untuk menyatakan “giliran para muda-mudi untuk manortor” (menari) dalam sebuah acara atau upacara tertentu.(Harahap 2005:19)

Naposo dalam bahasa Batak berarti muda-mudi yang belum berkeluarga. Sehingga dalam acara Gondang Naposo, kata Naposo berarti pertunjukan yang diselenggarakan dan diperuntukkan kepada muda-mudi. Dimana dalam acara ini muda-mudi berperan sebagai penyelenggara dan sekaligus pendukung acara Gondang Naposo tersebut.

Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa Gondang Naposo adalah acara atau pesta yang diadakan oleh muda-mudi dan ditujukan untuk muda-mudi itu sendiri dimana dalam acara tersebut para muda-mudi berkumpul dan melakukan kegiatan manortor (menari).

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo adalah suatu kajian tentang acara pesta muda-mudi Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo adalah suatu kajian tentang acara pesta muda-mudi

1.6 Teori

Teori dalam pembahasan ini digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Penulis mengambil beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Untuk menganalisis kontinuitas dan perubahan dalam tulisan ini penulis menggunakan teori evolusi kebudayaan. Pada prinsipnya teori ini melihat perkembangan-perkembangan dan pergeseran-pergeseran kebudayaan. Seperti yang dikemukakan oleh Merriam dalam Skripsi Martuah (2003:13) sebagai berikut:

... there are few musicologist, indeed who have interested them selves in the broader study of music as a human phenomenon, as apposed to the more limited study of music in a single western culture...

The music of other people is sometimes used vaguely, as an introduction to courses in the “history of music” and, more particulary, as an example of what is “primitif” in music, fitting thereby, into a deductive schemata organized around invalid concept of cultural evolution. It is also sometimes used by western musicologist to support theories of the supposed origin of music, and on accasion it has formed the basic for melodic or rhythmic materials used composition (1964:17).

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa teori evolusi kebudayaan berkaitan dengan sejarah musik. Teori ini mendukung asal-usul musik, bagaimana ia dibentuk dari materi melodi atau ritmik dasar yang dipergunakan pada suatu komposisi.

Kontinuitas yang dimaksud dalam tulisan ini di lihat dari segi fungsi, dimana fungsi Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai sarana untuk membina hubungan antara generasi muda dan fungsi tersebut tidak berubah atau tetap berlanjut sampai sekarang.

Gondang Naposo tidak terlepas dari unsur musik. Sehubungan dengan fungsi Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba, penulis mengutip teori yang dikemukakan oleh Merriam (1964:219-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional ), (2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of comunication ), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation), (6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of validation of social institution and religious rituals ), (9) fungsi kesinambungan budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture ), (10) fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of society).

Dari sepuluh fungsi musik yang dikemukakan oleh Merriam, dalam fokus tulisan ini penulis mengacu pada fungsi pengungkapan emosional, fungsi penghayatan estetis, fungsi hiburan, fungsi komunikasi dan fungsi kesinambungan budaya.

Tulisan ini dapat dikatakan sebagai tulisan yang membahas tentang perubahan kebudayaan. Koentjaraningrat (1965:135) mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.

Untuk lebih lengkap lagi penulis penulis juga mengacu pada teori yang dikemukakan Soekanto, dalam Skripsi Gurning (2006:14), yaitu: difusi (persebaran kebudayaan) adalah setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan dalam arti luas maupun perubahan dalam arti sempit, perubahan secara cepat maupun lambat.

Berubahnya musik pengiring dalam acara Gondang Naposo adalah gejala pergeseran nilai-nilai budaya. Untuk membahas masalah tersebut penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa gejala-gejala yang sedang berlangsung dan bergeser disebut dengan dinamika sosial. (Koentjaraningrat 1985 :20). Selanjutnya Akwan (1983:410-411) mengemukakan Berubahnya musik pengiring dalam acara Gondang Naposo adalah gejala pergeseran nilai-nilai budaya. Untuk membahas masalah tersebut penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa gejala-gejala yang sedang berlangsung dan bergeser disebut dengan dinamika sosial. (Koentjaraningrat 1985 :20). Selanjutnya Akwan (1983:410-411) mengemukakan

Modernisasi adalah penerapan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, modernisasi hanya akan berkembang sejauh didukung oleh sikap-sikap budaya yang mampu memberikan kondisi yang mengimbanginya. Artinya suatu proses modernisasi memerlukan proses penyesuaian budaya. (Zulkarnain 1999:625)

Lauwer berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi, dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan. (Lauwer 1989:402). Sejalan dengan pendapat tersebut dalam tulisan ini penulis juga akan meneliti apakah perubahan yang terjadi dalam acara Gondang Naposo adalah merupakan akibat dari adanya akulturasi dengan kebudayaan lain.

Perubahan yang terjadi pada acara Gondang Naposo tentulah memakan waktu atau melalui proses yang panjang. Menurut Richard, perubahan yang terjadi pada Perubahan yang terjadi pada acara Gondang Naposo tentulah memakan waktu atau melalui proses yang panjang. Menurut Richard, perubahan yang terjadi pada

Menurut Soekanto (1990:292) perubahan yang terjadi secara lambat (evolusi) memerlukan waktu yang lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil berlangsung secara lambat laun. Perubahan secara evolusi terjadi dengan sendirinya, tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.

Perubahan juga dapat terjadi karena perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan perubahan yang berasal dari luar masyarakat. Perubahan dari masyarakat itu meliputi perkembangan ilmu pengetahuan, jumlah penduduk, pertentangan dan pemberontakan. Sedangkan perubahan dari luar masyarakat meliputi pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan (Pelly 1994:191)

Lebih lanjut Maran (2005) mengatakan, tidak ada kebudayaan yang bersifat statis, setiap individu dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zaman.

1.7 Metode Penelitian

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2003:24). Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekwensi atau penyebaran dari suatu gejala kegejala lain dalam suatu masyarakat.

1.8 Pemilihan Lokasi Penelitian

Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai kabupaten Asahan dengan studi kasus Persatuan Muda-mudi Simpang Desagajah (PERMUSIMDES). Desa Desagajah sebagai lokasi penelitian karena daerah ini adalah salah satu daerah yang sampai saat ini masih tetap menyelenggarakan tradisi Gondang Naposo. Walaupun penduduk di desa Desagajah bukan hanya masyarakat Batak Toba melainkan ada Melayu dan Jawa, namun tradisi Gondang Naposo tetap dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba yang ada di sana.

1.9 Pemilihan Informan

Sebelum melakukan penelitian penulis terlebih dahulu menentukan informan pangkal 6 yang dapat membantu memberikan informasi untuk keperluan penelitian.

Dalam hal ini penulis memilih Bapak M Simangunsong selaku Kepala Desa Desagajah untuk menjadi informan pangkal. Dari informan pangkal inilah penulis mendapat informasi mengenai siapa orang yang banyak mengetahui tentang Gondang Naposo . Setelah mendapat informasi dari informan pangkal selanjutnya penulis

menentukan informan kunci 7 . Dalam hal ini yang menjadi informan kunci adalah Bapak Sari Simangunsong dan Oppu Helen Gultom. Dari informan kunci inilah

penulis memperoleh data dan masukan mengenai permasalahan yang ada dalam

6 Informan pangkal adalah orang yang memberikan informasi awal tentang Gondang Naposo 7 Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi mendalam mengenai pokok permasalahan

dalam tulisan ini.

tulisan ini, serta dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan oleh masyarakat di Desa Desagajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan.

Untuk kelengkapan data tentang permasalahan yang ada dalam tulisan ini terutama dalam hal perubahan musik, penulis mendapat informasi dari para personil musik yang tergabung dalam Grup Udut Manik Raja yaitu grup musik yang berasal dari Tiga Dolok, yang mana mereka juga adalah grup musik yang menjadi pengiring dalam acara Gondang Naposo yang ada di Desa Desagajah.

1.10 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tetang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan didalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam wawacara penulis dengan informan.

1.11 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, buku-buku yang yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, buku-buku yang yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan

1.12 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, diproses didalam kerja laboratorium. Proses analisa data penelitian di mulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisa data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian.

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA DESAGAJAH

2.1. Lokasi dan Keadaan Geografis.

Desa Desagajah merupakan salah satu desa yang berada di kecamatan Sei Balai kabupaten Asahan, berada pada ketinggian 5 meter dari permukaan laut. Luas wilayah Desa Desagajah adalah 1.187 Ha, sebagian besar dari wilayah desa ini digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk lahan pertanian dan perkebunan. Desa ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah utara berbatasan dengan desa Kuala Sikasim • Sebelah selatan berbatasan dengan desa Durian • Sebelah timur berbatasan dengan desa PS Balai • Sebelah barat berbatasan dengan desa Sei Mentaram

Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari kantor kepala desa, Desa Desagajah memiliki jumlah penduduk sebanyak 3800 jiwa dengan 889 kepala keluarga dan terdiri dari beraneka ragam etnis. Sebagai pusat pemerintahan desa, desa ini memiliki 10 dusun yang berada di Desa Desagajah yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Dusun I, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan dusun II; sebelah Timur berbatasan dengan dusun III. (b) Dusun II, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun IX; sebelah Selatan berbatasan dengan

Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun VIII; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun I. (c) Dusun III, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai dan Dusun VII; sebelah Selatan berbatasan dengan persawahan Dusun I; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun I; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Dusun X. (d) Dusun IV, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Putih; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Dusun X; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai. (e) Dusun V, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kuala Sikasim; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun VI; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Desa Kuala Sikasim; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai. (f) Dusun VI, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Putih; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun IV; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan desa PS Balai. (g) Dusun VII, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun III; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun V. (h) Dusun VIII, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun IX; sebelah Selatan berbatasan dengan persawahan Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun II. (i) Dusun IX, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun VIII; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram; sebelah Timur berbatasan dengan Desa PS Balai. (j) Dusun X, letaknya Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun VIII; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun I. (c) Dusun III, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai dan Dusun VII; sebelah Selatan berbatasan dengan persawahan Dusun I; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun I; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Dusun X. (d) Dusun IV, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Putih; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Dusun X; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai. (e) Dusun V, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kuala Sikasim; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun VI; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Desa Kuala Sikasim; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai. (f) Dusun VI, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun V; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Putih; sebelah Barat berbatasan dengan Dusun IV; sebelah Timur berbatasan dengan persawahan desa PS Balai. (g) Dusun VII, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun III; sebelah Barat berbatasan dengan persawahan Desa PS Balai; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun V. (h) Dusun VIII, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Dusun IX; sebelah Selatan berbatasan dengan persawahan Desa Durian; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram; sebelah Timur berbatasan dengan Dusun II. (i) Dusun IX, letaknya yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Desa PS Balai; sebelah Selatan berbatasan dengan Dusun VIII; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram; sebelah Timur berbatasan dengan Desa PS Balai. (j) Dusun X, letaknya

2.2 Sejarah Desa Desagajah

Pada awalnya Desa Desagajah adalah hutan belantara yang dihuni berbagai macam binatang liar termasuk Gajah. Daerah hutan ini berbatasan dengan perkebunan masyarakat. Pada waktu itu belum ada masyarakat yang mendiami daerah tersebut, sehingga pemilik perkebunan sering merasa resah akibat ulah Gajah yang sering merusak kebun mereka.

Sekitar tahun 1952 masuklah masyarakat untuk membuka lahan di daerah tersebut yang akan mereka gunakan untuk persawahan. Orang pertama yang datang untuk membuka lahan di daerah ini adalah orang Batak Toba yang bermarga

Samosir 8 . Sehingga sampai saat ini mayoritas masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Desagajah adalah bermarga Samosir.

Meskipun masyarakat telah membuka lahan di daerah tersebut, namun Gajah- Gajah tersebut juga tetap merusak persawahan mereka. Untuk mengatasi Gajah tersebut akhirnya masyarakat membangun sebuah pondok untuk menjaga dan mengawasi lahan persawahan mereka dari Gajah-Gajah tersebut. Kemudian pondok itu mereka beri nama Pondok Gajah dan Pondok Gajah tersebut akhirnya menjadi sebuah kampung yang bernama kampung Pondok Gajah.

8 Wawancara dengan Oppu Helen Gultom tanggal 20 Juli 2008

Dengan bertambahnya masyarakat yang tinggal di daerah tersebut akhirnya Gajah-Gajah yang dulu sering mengganggu dan merusak lahan persawahan warga pun pindah tempat dan tidak pernah lagi muncul sampai sekarang.

Pada tahun 1960 setelah terjadi pemekaran dari Kampung Durian, sehingga nama Kampung Pondok Gajah berubah menjadi Desa Desagajah hingga sekarang. Hingga tahun 1999 Desa Desagajah termasuk Kecamatan Tanjung Tiram, namun setelah terjadi pemekaran Desa Desagajah termasuk Kecamatan Sei Balai hingga sekarang.

2.3. Keadaan Penduduk. Desa Desagajah memiliki jumlah penduduk sebanyak 3800 jiwa, dan 889 kepala keluarga. Penduduk Desa Desagajah bersifat heterogen, karena memiliki berbagai macam etnis di dalamnya. Adapun etnis yang mendominasi di desa ini adalah etnis Batak Toba. Fenomena ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Naim (1984:9) bahwa ada beberapa suku bangsa yang mempunyai mobilitas yang cukup tinggi seperti etnis Batak Toba, Minangkabau, Banjar, Bugis. Oleh sebab itu, dengan beraneka ragamnya etnis di daerah tersebut tidak menutup kemungkinan adanya terjadi perubahan kebudayaan pada masing-masing etnis, seperti halnya pada masyarakat Batak Toba juga terjadi perubahan pada upacara adat ataupun acara yang bersifat hiburan.

Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara kelompok etnis yang berbeda di desa tersebut. Kelompok-kelompok etnis yang berada di Desa Desagajah Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara kelompok etnis yang berbeda di desa tersebut. Kelompok-kelompok etnis yang berada di Desa Desagajah

Tabel.1. Jumlah Penduduk menurut kelompok Etnik. NO. KELOMPOK ETNIK

JUMLAH

1. Batak Toba

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

Disamping itu untuk jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur juga dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel.2. Jumlah penduduk menurut kelompok umur NO KELOMPOK UMUR

JUMLAH

1. 0-4 tahun

202 jiwa

2. 5-9 tahun

199 jiwa

3. 10-14 tahun

710 jiwa

4. 15-19 tahun

280 jiwa

5. 20-24 tahun

300 jiwa

6. 25-29 tahun

310 jiwa

7. 30-34 tahun

305 jiwa

8. 35-39 tahun

300 jiwa

9. 40-44 tahun

320 jiwa

10. 45-49 tahun

340 jiwa

11. 50-54 tahun

200 jiwa

12. 55-59 tahun

245 jiwa

13. 60 tahun ke atas

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008

Dari tabel diatas dapat kita ketahui bahwa penduduk Desa Desagajah yang paling banyak adalah berusia 10-14 tahun yaitu sebanyak 710 jiwa.

Seluruh penduduk dengan jumlah 3800 jiwa tersebut terbagi kedalam sepuluh dusun yang ada di Desa Desagajah. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk menurut dusun.

Tabel.3. Jumlah Penduduk Menurut Dusun.

NO. DUSUN JUMLAH PENDUDUK

1. Dusun I 366 jiwa

2. Dusun II 445 jiwa

3. Dusun III 409 jiwa

4. Dusun IV 398 jiwa

5. Dusun V 197 jiwa

6. Dusun VI 280 jiwa

7. Dusun VII 238 jiwa

8. Dusun VIII 673 jiwa

9. Dusun IX 423 jiwa

10. Dusun X 371 jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

Dalam hal pendidikan formal, masyarakat Desa Desagajah sudah menyadari akan arti pentingnya pendidikan bagi kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari antusiasme para orang tua yang berusaha keras menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi.

Sarana pendidikan yang tersedia di desa ini adalah untuk Sekolah Dasar (SD) sebanyak 3 (tiga) unit, ketiga Sekolah Dasar tersebut adalah Sekolah Dasar Negeri, 1 (satu) unit (SLTP) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Desa Desagajah, 1 (satu) unit (SLTA) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri I Desa Desagajah.

2.4. Agama. Masyarakat di Desa Desagajah pada umumnya telah memeluk beberapa agama yang diakui di Indonesia, yaitu: Kristen Protestan, Katholik, Islam. Penduduk di Desa Desagajah mayoritas memeluk agama Kristen Protestan dan selebihnya adalah agama lain. Ada beberapa tempat pelaksanaan ibadah di Desa Desagajah, yaitu Gereja sebanyak 19 unit, Mesjid sebanyak 2 unit, mushollah sebanyak 1 unit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel.4. Komposisi Penduduk Menurut Agama NO.

Agama dan kepercayaan Jumlah

1. Kristen Protestan 2799 jiwa

2. Katholik 205 jiwa

3. Islam 796 jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

Tabel.5. komposisi Jumlah Tempat Ibadah.

NO. Nama Tempat Ibadah Jumlah

1. GEREJA

19 UNIT

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008.

2.5. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Desa Desagajah sangat bervariasi, namun mata pencaharian yang utama adalah sebagai petani. Hal dapat dilihat dari pemanfaatan tanah di desa yang didominasi oleh lahan pertanian antara lain areal persawahan dan perkebunan.

Areal persawahan yang mereka tanami dengan padi terletak disekitar pemukiman penduduk. Selain itu mereka juga mengelola tanah perladangan dengan tanaman palawija seperti jenis umbi-umbian, jagung dan lain-lain. Diluar pertanian masyarakat di desa ini juga mengusahakan peternakan walaupun dalam skala yang kecil, seperti: kerbau, itik, babi dan kambing.

Selain bertani dan beternak, mata pencaharian lain penduduk desa ini ada yang berdagang. Kriteria berdagang disini juga dalam skala kecil yaitu ada yang berusaha sendiri dengan membuka warung-warung kecil menjual keperluan rumah tangga, membuka kedai-kedai kopi dan kedai tuak. Selain warung-warung dan kedai- kedai kopi, ada juga sebagian masyarakat desa yang membuka bengkel sambil Selain bertani dan beternak, mata pencaharian lain penduduk desa ini ada yang berdagang. Kriteria berdagang disini juga dalam skala kecil yaitu ada yang berusaha sendiri dengan membuka warung-warung kecil menjual keperluan rumah tangga, membuka kedai-kedai kopi dan kedai tuak. Selain warung-warung dan kedai- kedai kopi, ada juga sebagian masyarakat desa yang membuka bengkel sambil

Sebagian kecil dari penduduk desa desagajah ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri di instansi seperti pegawai di kantor Kecamatan, pegawai di Kantor Kepala Desa, Guru, TNI dan POLRI.

Hasil dari pertanian dan peternakan yang mereka peroleh, selain digunakan untuk kebutuhan rumah tangga pada hari pekan (pasar) akan mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pekan (pasar) di Desa Desagajah dilaksanakan satu kali dalam seminggu yaitu setiap hari Jumat di tanah lapang disekitar Balai Desa.

Berikut ini adalah tabel yang menerangkan tentang keadaan mata pencaharian penduduk di Desa Desagajah.

Tabel.6. Keadaan Mata Pencaharian

NO Jenis mata pencaharian

2. Pedagang 104 jiwa

3. Pegawai negeri

Sumber: Kantor Kepala Desa Desagajah Tahun 2008

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian utama penduduk Desa Desagajah adalah dari sektor pertanian yang mencapai 838 jiwa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis mata pencaharian lain seperti pegawai negeri ataupun pedagang belum dapat menggeser sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama di Desa Desagajah.

2.6. Sistem Kemasyarakatan

Setiap masyarakat memiliki suatu sistem kemasyarakatan yang mana sistem tersebut berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Sistem kemasyarakatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Desagajah tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain.

Dimana dalam masyarakat Batak Toba terdapat sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang disebut Dalihan Na Tolu. Secara harfiah, Dalihan Na Tolu mengandung arti “tungku yang tiga”. Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur dasar yaitu hula-hula, boru, dongan tubu. Berikut ini penulis akan menguraikan secara singkat pengertian umum dari ketiga unsur Dalihan Na Tolu tersebut.

Yang pertama adalah hula-hula yaitu pihak orang tua dan saudara dari pihak keluarga perempuan atau pihak pemberi istri dalam suatu perkawinan pada masyarakat Batak Toba. Pada masyarakat Batak Toba hula-hula merupakan golongan yang harus dihormati, karena hula-hula dalam masyarakat Batak Toba dianggap sebagai pemberi berkat. Sehingga sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Batak Toba untuk menghormati hula-hulanya.

Yang kedua adalah boru yaitu pihak keluarga penerima istri. Dalam sebuah upacara atau acara adat, pihak boru sangat berperan besar di dalam kelangsungan acara tersebut. Sehingga tanpa kehadiran dari pihak boru maka acara tidak dapat berlangsung. Dengan demikian pihak boru juga harus mendapat perhatian dan dilindungi oleh pihak hula-hulanya.

Yang ketiga adalah dongan tubu yaitu para turunan atau saudara semarga dari satu leluhur atau dari keturunan yang sama. Hubungan sesama dongan tubu sangatlah penting dijaga karena hubungan mereka merupakan hubungan yang telah terjalin dari leluhur atau turunan mereka.

Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” (Gultom 1992:53). Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (membujuk) dan sayang terhadap pihak boru , manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu.

Selanjutnya pada masyarakat Batak Toba dapat kita lihat dengan jelas struktur sosial dalam kehidupan masyarakatnya, dimana terdapat banyak marga (klan) yang merupakan suatu kelompok kekerabatan besar yang menunjukkan nama dan asal nenek moyang serta merupakan lambang identitas suku bangsa.

kemudian dari sistem marga tersebut dapat dilihat garis keturunan yang berlaku pada suku Batak Toba yaitu Patrilineal (garis keturunan ayah). Oleh karena itu setiap orang Batak Toba, pria maupun wanita mempunyai marga menurut marga ayahnya.

Dengan demikian dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga sangat berperan dalam kehidupan masyarakat.

BAB III DESKRIPSI GONDANG NAPOSO

3.1 Sejarah Gondang Naposo

Gondang Naposo merupakan suatu tradisi pada masyarakat Batak Toba, dimana acara ini telah berlangsung secara turun-temurun. Acara Gondang Naposo ini diadakan oleh masyarakat Batak Toba sebagai rasa ucapan syukur masyarakat atas hasil panen atau pertanian yang mereka dapat. Selain sebagai rasa ucapan syukur, acara Gondang Naposo juga diadakan sebagai sarana hiburan dan sarana pertemuan antara muda-mudi yang diharapkan dapat mempererat hubungan antara muda-mudi daerah yang satu dengan yang lain(Naipospos dalam Dialog Gondang Naposo tahun 1998).

Di Desa Desagajah sendiri acara Gondang Naposo pertama kali diadakan sekitar tahun 70-an (Wawancara dengan Oppu Hellen Gultom tanggal 21 Juni 2008). Hal ini sangat berkaitan dengan terbentuknya kelompok-kelompok marga, dimana pada masa itu sudah mulai banyak terdapat kelompok marga (Raja Sonang, Gultom, Parna, Borbor Marsada, Sipitu Ama/Situmorang, Toga Simatupang), dan Serikat Tolong Menolong (STM) seperti Serikat Jalan Siantar, Serikat Jalan Kisaran dan Serikat Jalan Gereja.

Dalam acara atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh serikat marga maupun Serikat Tolong Menolong (STM) biasanya yang berperan adalah para orang tua, sedangkan para muda-mudi tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut Dalam acara atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh serikat marga maupun Serikat Tolong Menolong (STM) biasanya yang berperan adalah para orang tua, sedangkan para muda-mudi tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut

PERMUSIMDES dibentuk pada tahun 1971 pada bulan Juni dan beranggotakan muda-mudi simpang Desa Desagajah dan dibina oleh para tokoh masyarakat. Adapun yang menjadi anggota dari organisasi ini adalah muda-mudi yang berusia minimal lima belas tahun dan belum menikah.

Apabila ada acara-acara atau pesta yang diadakan oleh Serikat marga atau Serikat Tolong Menolong yang ada di Desa Desagajah, PERMUSIMDES juga sering dilibatkan dalam membantu kelangsungan acara. Melihat kinerja dari organisasi PERMUSIMDES tersebut membawa dampak yang baik bagi orang tua dan juga muda-mudi, maka tokoh masyarakat dan para orang tua beserta dengan pengurus dari organisasi tersebut mengadakan rapat dan hasil dari rapat tersebut disepakati untuk merayakan ulang tahun PERMUSIMDES.

Perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan mengadakan acara gondang Batak khusus untuk muda-mudi atau yang lebih dikenal dengan Gondang Naposo . Hari ulang tahun PERMUSIMDES berdekatan dengan masa panen di Desa Desagajah sehingga acara perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dicocokkan dengan masa panen maka konsep awal diadakannya Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba yakni sebagai rasa ucapan syukur setelah panen tetap Perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan mengadakan acara gondang Batak khusus untuk muda-mudi atau yang lebih dikenal dengan Gondang Naposo . Hari ulang tahun PERMUSIMDES berdekatan dengan masa panen di Desa Desagajah sehingga acara perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dicocokkan dengan masa panen maka konsep awal diadakannya Gondang Naposo pada masyarakat Batak Toba yakni sebagai rasa ucapan syukur setelah panen tetap

Untuk mempermudah dalam proses mendeskripsikan acara Gondang Naposo, penulis membagi kedalam dua periode yaitu periode pertama (1972-1985) dan periode kedua (1999-2008).

3.2. Acara Gondang Naposo Periode Pertama (1972-1985)

Seperti yang telah dijelaskan pada sub BAB III, bahwa awal diadakannya Gondang Naposo pada masa ini adalah dalam rangka memperingati hari ulang tahun PERMUSIMDES. Namun perayaan acara ulang tahun PERMUSIMDES tersebut juga bertepatan dengan masa panen di Desa Desagajah pada saat itu. Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai pelaku acara, waktu dan tempat acara, alat-alat pendukung acara serta tahapan-tahapan dalam acara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.

3.2.1. Pelaku Acara

3.2.1.1. Panitia pelaksana

Pada dasarnya yang menjadi panitia pelaksana dari acara Gondang Naposo adalah muda-mudi ( naposo ), namun yang memprakarsai dilaksanakannya acara ini adalah orang tua dari muda-mudi ( naposo ) yang ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk bergembira dan berkumpul bersama dengan muda- mudi yang lain. Selain naposo dan orang tua, tokoh masyarakat juga turut terlibat Pada dasarnya yang menjadi panitia pelaksana dari acara Gondang Naposo adalah muda-mudi ( naposo ), namun yang memprakarsai dilaksanakannya acara ini adalah orang tua dari muda-mudi ( naposo ) yang ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk bergembira dan berkumpul bersama dengan muda- mudi yang lain. Selain naposo dan orang tua, tokoh masyarakat juga turut terlibat

3.2.1.2. Pemusik

Awalnya yang menjadi musik pengiring dalam acara Gondang Naposo adalah ensambel Gondang Sabangunan sehingga untuk menyelenggarakan acara tersebut para pemain musik didatangkan dari Samosir, karena tidak ada pemain musik gondang atau pargonsi di Desa Desagajah. Untuk mengundang pargonsi dari Samosir biasanya dikirim utusan ke daerah tersebut. Orang yang dikirim adalah orang yang memiliki hubungan kerabat di Samosir, hal ini untuk lebih mempermudah mengundang pargonsi tersebut.

Pemusik atau pargonsi dalam acara Gondang Naposo terdiri dari delapan orang yaitu: pemain taganing, pemain gordang, pemain sarune bolon, pemain ogung oloan , pemain ogung ihutan, pemain ogung doal, pemain ogung panggora, pemain hesek .

3.2.1.3. Peserta Acara