Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009098 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Agresivitas

2.1.1 Pengertian Agresivitas

Sebuah definisi klasik diusulkan oleh Buss (dalam Krahe, 2005). Mengungkapkan bahwa mengkarakterisasikan agresi sebagai ”sebuah respons yang mengantarkan stimulus ’beracun’ kepada mahluk hidup lain”. Dalam arti tertentu, ternyata definisi yang behavioristis ini dianggap terlalu luas, karena mencakup banyak bentuk perilaku yang seharusnya tidak dapat digolongkan sebagai agresi. Tetapi dalam arti lain, definisi ini terlalu sempit karena mengesampingkan semua proses nonperilaku, seperti pikiran dan perasaan. Perilaku agresif adalah perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis (Buss & Perry, 1992).

Chaplin (1981) menyebutkan bahwa aggression (agresi, penyerangan, serangan) merupakan satu serangan atau serbuan, tindakan permusuhan yang ditujukan pada seseorang atau benda. Freud (dalam Chaplin, 1981) mengungkapkan agresi merupakan pernyataan kesadaran atau proyeksi dari naluri kematian atau yang sering disebut Thanatos. Menurut Adler (dalam Chaplin, 1981) agresi merupakan perwujudan kemauan untuk berkuasa dan menguasai orang lain. Chaplin (1981) juga mengungkapkan definisi yang lain tentang agresi, yaitu suatu upaya dengan kekerasan atau pengejaran dengan berani suatu tujuan. Sedangkan Murray (dalam Chaplin 1981) mengungkapkan definisi lain yaitu kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk


(2)

meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara jahat, menghukum berat atau melakukan tindakan sadistis lainnya.

Berkowits (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi dalam hubunganya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial berarti mengabaikan masalah bahwa evaluasi normatif mengenai perilaku yang sering kali berbeda, bergantung pada perspektif pihak yang terlibat. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap hukuman fisik adalah cara pengasuhan anak yang efektif dan dapat diterima, sementara yang lainnya berlawanan dengan koersi, yang lebih luas dibandingkan dengan agresi, istilah kekerasan merupakan salah satu substansi agresi yang menunjuk pada bentuk-bentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum atau mengontrol Geen (dalam Krahe, 2005). Archer dan Browne (dalam Krahe, 2005) merumuskan definisi kekerasan sebagai serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah tingkah laku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri, baik secara fisik, verbal maupun secara psikis.


(3)

2.1.2 Perilaku dan Jenis Agresivitas

Menurut Breakwell (dalam Priliantini, 2008), agresi secara tipikal didefinisikan oleh para psikolog sebagai setiap bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu.

Menurut Deaux (Priliantini, 2008), ada dua jenis perilaku agresi yaitu: (1) Agresi secara fisik meliputi tingkah laku seperti memukul teman, menarik

baju teman dengan kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman dengan benda, berkelahi, merusak barang miliki, mengganggu teman, mengancam teman dengan mengacungkan tinju, membuang barang milik teman, mencakar teman, memaksa teman untuk memenuhi keinginannya, melukai diri sendiri.

(2) Agresi secara verbal meliputi tingkah laku seperti mengejek teman, menghina teman, mengeluarkan kata-kata kotor, bertengkar mulut, menakuti-nakuti teman, memanggil teman dengan nada kasar, mengancam dengan kata-kata mengkritik, menyalahkan dan menertawakan.

Millon dan Davis (dalam Priliantini, 2008) mengemukakan beberapa ranah penyimpangan sikap antisosial dan agresif:

(1) Perilaku yang kelihatan: menunjukkan adanya ketahanan yang rendah terhadap frustasi karena tidak terpenuhinya harapan-harapan.

(2) Hubungan antarpribadi: perilaku menghindar (avoidance), ekspresi tingkah laku mengungkapkan kegelisahan, ketakutan yang menetap. Status gelisah: bertindak melebihi batas terhadap peristiwa yang tidak membahayakan dan


(4)

dengan penuh minat dirinya menilain untuk menandakan ejekan, kritikan dan penolakan.

2.1.3 Bentuk-bentuk Agresi

Manusia akan cenderung melakukan perilaku agresi bila ada faktor-faktor eksternal ataupun internal yang membuat seseorang merasa terancam atau terusik ketenangannya. Setiap kondisi dan situasi, individu akan mengekspresikan perilaku agresifnya ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.

Buss dan Perry (1992) berpendapat bahwa ada empat bentuk pola agresi yang biasa dilakukan oleh individu, yaitu agresi fisik, verbal, kemarahan, dan kebencian.

1) Agresi Fisik. Agresi yang dilakukan untuk melukai diri sendiri maupun orang lain secara fisik, seperti memukul, menendang dan lain-lain.

2) Agresi verbal. Agresi yang dilakukan secara verbal kepada lawan, seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek, membentak, dan berdebat.

3) Kemarahan. Agresi yang semata-mata dilakukan sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti atau agresi yang tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban. Reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada system syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik; dan


(5)

secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatik atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.

4) Permusuhan. Agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Permusuhan cenderung untuk menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada orang lain, kecenderungan melontarkan rasa kemarahan pada orang lain.

2.1.4 Faktor- Faktor Agresivitas

Menurut Sarlito (2009) faktor penyebab remaja berperilaku agresif bermacam-macam sehingga dapat dikelompokkan menjadi beberapa faktor yaitu :

1. Faktor Sosial

Frustrasi adalah situasi yang menghambat individu dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, dari frustasi maka akan timbul perasaan-perasaan agresif. Tetapi agresi tidak selalu muncul oleh frustrasi. Sarlito mencontohkan petinju dan tentara dapat melakukan agresi karena alasan lain. Frustrasi dapat menimbulkan agresi jika penyebab frustrasi dianggap tidak sah atau dibenarkan. Pelaku agresi provokasi dilihat sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman tersebut. Faktor alkohol dan obat- obatan bahwa ada petunjuk agresi berhubungan dengan kadar alkohol dan obat-obatan. Subyek yang menerima alkohol dalam takaran- takaran yang tinggi menunjukkan taraf agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subyek yang tidak menerima alkohol atau menerima alkohol dalam


(6)

taraf yang rendah. Alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf agresivitas juga tinggi.

2. Faktor Personal

Pola tingkah laku berdasar kepribadian, orang yang agresif akan bepola tingkah laku buru- buru dan kompetitif. Orang yang kurang agresinya akan berpola tingkah laku kooperatif, nonkompetisi dan nonagresi.

3. Kebudayaan

Lingkungan berperan pada tingkah laku, lingkungan geografis pesisir akan lebih menunjukkan sikap keras dibandingkan dengan orang yang hidup di pedalaman. Nilai dan norma mendasari sikap dan tingkah laku juga berpengaruh pada agresivitas pada suatu kelompok.

4. Situasional

Kondisi cuaca yang panas lebih sering memunculkan aksi agresi. Hal yang paling sering muncul ketika udara panas adalah rasa tidak nyaman yang berujung pada meningkatnya agresi sosial.

5. Sumber Daya

Manusia yang tidak bisa memenuhi kebutuhannya pertama akan memunculkan sikap pemenuhan dan kedua mengambil paksa dari pihak yang meilikinya.


(7)

Kekerasan yang terjadi dipengaruhi oleh tayangan pada televisi yang secara langsung memberikan ide maupun pengetahuan tentang suatu tindakan agresi yang dilihat pada tayangan televisi.

2.1.5 Mengukur Perilaku Agresif

Mengukur perilaku agresif dapat dilakukan melalui dua pendekatan umum yaitu observasi dan bertanya Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005). Observasi yaitu tindakan-tindakan observasional pencatatan perilaku agresif pada saat perilaku itu berlangsung dalam konteks alamiah.

1) Observasi alamiah yaitu salah satu tujuan observasi dalam konteks alamiah adalah untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk-bentuk agresi dalam setting tertentu dan frekuensi kejadiannya. Pendekatan ini biasanya disebut sebagai observasi naturalistik. Humpert dan Dann (dalam Krahe, 2005) mencatat interaksi yang berhubungan dengan agresi selama pelajaran sekolah dengan menggunakan sistem pengkodean yang dikembangkan secara khusus, yang meliputi 10 kategori perilaku agresif. Dalam tipe penilaian ini, alur alamiah perilaku pertama-tama dicatat, kemudian dipecah menjadi unit-unit analisis yang lebih kecil, dan yang terakhir dimasukkan kedalam kategori-kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertanyaan tentang kapan dan dimana sampel perilaku itu diambil, dan bagaiman cara menetapkan unit-unit analisi dasar, itu semua sangat penting dalam pendekatan metodologis. 2) Eksperimen lapangan penelitian yang diarahkan untuk mengekplorasi situasi


(8)

kondisi-kondisi anteseden tertentu dengan respon-respons agresif yang mengikutinya. Penelitian ini menggabungkan variasi sebuah variabel independen dan efeknya terhadap sebuah variabel dependen sehingga memenuhi kriteria eksperimen lapangan. Baron (dalam Krahe, 2005) menggunakan situasi kemacetan lalu lintas biasa, reaksi agresif para pengemudi yang ditetapkan berdasarkan latensi dan durasi membunyikan klakson dikaji sebagai respons terhadap frustrasi karena seorang petugas eksperimen sengaja menghalangi mobilnya sehingga individu tidak mampu menjalankan mobilnya ketika lampu hijau menyala.

3) Eksperimen Laboratoris

Beberapa contoh eksperimen laboratoris yang sangat menonjol dalam penelitian agresi dapat dilihat dari beberapa temuan seperti berikut:

1) Paradigma guru-murid

Milgram (dalam Krahe, 2005) menggunakan eksperimen belajar dengan cara menunjuk seorang untuk memainkan peran guru yang harus mempresentasikan tugas asosiasi kata kepada orang lain yang berperan sebagai murid. Untuk kesalahan yang dibuat oleh murid akan diberikan hukuman oleh guru dengan menerapkan stimulus advertif kepada murid. Penunjukan kedua peran ini dilakukan secara bergantian sehingga setiap responden berkesempatan memainkan peran guru, yang pilihan intensitas hukumannya merupakan indeks kritis bagi perilaku agresifnya.


(9)

2) Paradigma evaluasi esai

Paradigma ini diperkenalkan pertama kali oleh Berkowitz (dalam Krahe, 2005). Paradigma ini digunakan untuk menginvestigasi perilaku agresif sebagai respons terhadap frustrasi atau provokasi yang telah dialami sebelumnya. Subyek diminta menulis bagi sebuah tugas mengatasi masalah. Kemudian tugas tersebut akan dievaluasi yang akan diekspresikan dalam bentuk jumlah kejutan listrik. Tanpa mempedulikan kualitas solusi yang subjek tulis, masing – masing subjek akan menerima satu sampai tujuh kejutan listrik. Dalam fase kedua peran dibalik subjek mendapat kesempatan untuk mengevaluasi solusi yang dibut orang lain. Jumlah kejutan listrik yang diberilakan oleh subjek merupakan variabel dependen dan menunjukkan kekuatan respon agresif mereka.

3) Paradigma boneka Bobo

Bandura, Ross, dan Ross (dalam Krahe, 2005) dalam penelitiannya mengukur perilaku agresif dengan cara memperlihatkan seorang model yang bertindak agresif terhadap boneka Bobo. Selanjutnya perilaku anak terhadap boneka Bobo diobservasi dan diukur dalam bentuk frekuensi tindakan yang dilakukan.

4) Agresi verbal

Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) pengukuran perilaku agresif dilakukan dengan cara subjek dihadapkan pada sejumlah manipulasi yang dirancang untuk memunculkan respon agresif. Setelah itu reaksi verbal mereka dicatat, baik secara respons bebas yang nantinya akan dianalisis isi agresifnya maupun sebagai evaluasi terstandar dari orang yang memprovokasi reaksi agresif.


(10)

Bertanya difokuskan tidak pada perilaku, tetapi pada variabel-variabel internal, seperti pikiran dan khayalan agresif, yang juga tidak dapat diobservasi. Pengumpulan data di lakukan menggunakan strategi-strategi dibawah ini;

1) Laporan diri tentang perilaku (behavioral self-report)

Dalam metode ini, subjek diminta untuk memberikan keterangan verbal mengenai perilaku agresif mereka sendiri, baik dalam konteks survei berskala besar maupun sebagai bagian dari penelitian uji hipotesis. Berdasarkan tujuan pertanyaannya, subjek dapat diminta untuk melaporkan pola perilaku agresifnya secara umum, atau hanya tindakan khusus pada ranah tertentu. Ukuran perilaku agresif umum itu diukur, misalnya dengan skala agresi fisik dan verbal dari kuesioner agresi (aggression questionnaire) yang disusun oleh Buss dan Perry (1992).

Laporan diri mengenai perilaku agresif dapat dikombinasikan dengan laporan lain, misalnya untuk mengukur korespondensi antara laporan diri dan laporan orang lain. Contoh skala yang dapat digunakan adalah skala taktik konflik (conflict tactics scale) yang dikembangkan oleh Straus (dalam Krahe, 2005) untuk mengukur kekerasan rumah tangga

2) Nominasi orang lain/teman sebaya, masalah social-desirability agak kurang menojol bila orang-orang lain yang tahu banyak mengenai subyek diminta untuk menyumbangkan informasinya mengenai orang lain misalnya guru, orang tua, dan teman sebaya. Tentunya yang memiliki pengetahuan mengenai perilaku agresif orang yang dimaksud.


(11)

3) Catatan arsip dari pada dengan cara menanyai individu mengenai perilakunya sendiri atau perilaku orang lain, peneliti bisa mendapatkan informasi mengenai perilaku agresif dari data arsip yang aslinya dikumpulkan untuk keperluan lain.

4) Digunakan dua pendekatan, pendekatan pertama ada dalam pengembangan skala kepribadian terstandar dimana responden diminta untuk mendiskripsikan tentang keadaan yang ada dalam dirinya saat ini atau disposisi yang bersifat lebih menetap. Kuesioner agresi yang dikembangkan oleh Buss dan Perry (dalam Krahe, 2005) berisi dua skala semacam itu, yaitu mengukur amarah dan permusuhan. Perbedaan antara keadaan saat ini dan ciri sifat yang stabil dicerminkan dalam state trait anger scale yang dikembangkan oleh Spielberger, Jacobs, Russel, dan Crane (dalam Krahe, 2005). Pendekatan kedua untuk mengeksplorasi faktor pendukung intrapersonal perilaku agresif melibatkan teknik-teknik proyektif. Dalam metode ini subjek dihadapkan pada stimulus yang ambigu, seperti bercak-bercak tinta pada tes Rorschach atau picture frustration test.

2.2 Penyesuaian Sosial

2.2.1 Pengertian Penyesuaian Sosial

Hurlock (1999) penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Orang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain baik teman maupun orang yang


(12)

tidak dikenal sehingga sikap orang lain terhadap dirinya menyenangkan. Biasanya orang yang berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan seperti kesediaan untuk membantu orang lain, meskipun dirinya sendiri mengalami kesulitan.

Penyesuaian sosial diartikan sebagai kemampuan untuk mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi. Remaja dituntut untuk memiliki kemampuan penyesuaian sosial baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Yusuf, 2001).

Kartono (2000) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai suatu keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dan tingkah laku yang berasal dari diri sendiri, yang dapat diterima oleh lingkungannya sesuai dengan apa yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan.

Sedangkan penjelasan Primadi dan Ratnaningtyas (1996) mengatakan bahwa penyesuaian sosial adalah kapasitas kemampuan individu untuk memberikan reaksi efektif terhadap realita, situasi, dan relasi sosial yang memuaskan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan penyesuaian sosial dalam penelitian ini adalah kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan teman sebaya dan lingkungan sekitar.


(13)

2.2.2 Kriteria penyesuaian sosial

Guna memperoleh penyesuaian sosial sosial yang baik sehingga dapat diterima oleh masyarakat, seseorang harus dapat menyesuaikan diri dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam upaya menyesuaikan diri sudah dimulai sejak masa kanak- kanak awal, dimana anak mulai belajar bermain dengan teman sebayanya yang merupakan latihan bagi penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial yang dicapai dengan baik dapat menghantarkan seseorang remaja atau anak untuk memperoleh kematangan sosial (Rifai, 2000).

Hurlock (1999) memaknai penyesuaian diri secara sosial sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya pada kelompoknya. Kriteria penyesuaian sosial menurut Hurlock:

a. Penampilan nyata

Bila perilaku sosial dinilai berdasarkan standar kelompok, memenuhi harapan kelompok dan menjadi anggota yang diterima kelompok.

b. Penyesuaian sosial terhadap berbagai kelompok

Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik pada berbagai kelompok di masyarakat, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik.

c. Sikap sosial

Remaja harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial dan terhadap perannya dalam kelompok sosial.


(14)

d. Kepuasan pribadi

Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, anak harus merasa puas karena kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota.

Remaja sebagai harapan serta pemimpin di masa depan, sangat diharapkan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang, dalam arti remaja yang memiliki penyesuaian sosial yang tepat (Yusuf, 2001). Tidak dapat dipungkiri dengan adanya pengaruh teman dalam perkembangan sosial remaja. Penyesuaian sosial ada masa ini banyak perkembangan conformity yaitu kecenderungan untuk mengikuti atau mengimitasi sikap atau perilaku. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti atau yang diimitasinya itu menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan, seperti kelompok remaja yang taat beribadah, memiliki budi pekerti yang luhur, rajin belajar dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, maka kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadi yang baik.

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Yusuf, 2001).

Perkembangan mental sering pula menyebabkan kegoncangan batin dan dalam perkembangan sosialnya dengan penerimaan kelompok, adanya persaingan


(15)

yang sehat, rasa iri dan sebagainya merupakan masalah tersendiri bagi remaja. Selain itu penyesuaian sosial diarahkan terhadap seorang individu oleh “motornya” berupa aspek psikis sehingga setiap penyesuaian meliputi 2 faktor, yaitu psikis yang memikirkan dan mengatur penyesuaian dan faktor fisik sebagai yang menjalankan rencana penyesuaian tersebut (Gunarso, 2000).

2.2.3 Proses Terbentuknya Penyesuaian Sosial

Menurut Hurlock (1990) proses sosialisasi seorang remaja atau anak dalam masyarakat meliputi 3 tahapan yang masing- masing terpisah dan sangat berbeda antara satu dengan yang lain, tapi saling berkaitan sehingga kegagalan dalam salah satu tahap akan menurunkan kadar sosialisasi individu, ketiga proses tersebut yaitu :

1. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima untuk masyarakat, remaja atau anak tidak harus mengetahui perilaku dengan patokan yang dapat diterima.

2. Memainkan peran sosial yang dapat diterima. Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh anggota dan dituntut untuk dipatuhi.

3. Perkembangan sikap sosial. Untuk bermasyarakat, remaja harus menyukai orang lain dan aktifitas sosial agar dapat diterima sebagai anggota dalam kelompok sosial sehingga berhasil dalam penyesuaian sosialnya.

Dari tiga proses pembentukan kemampuan bersososialisasi tersebut dapat diketahui bahwa faktor penting yang sangat mempengaruhi terciptanya


(16)

kemampuan seseorang remaja untuk bersosialisasi adalah masyarakat dan lingkungan tempat tinggal. Dalam hal ini, lingkungan remaja tidak hanya terbatas pada orang – orang di dalam keluarga saja, melainkan juga masyarakat tempatnya senantiasa berinteraksi dan bermain serta lingkungan sekolah, tempat remaja belajar dan bergaul dengan teman sebayanya. Tentu saja kemampuan untuk mencapai kematangan sosial ini sangat berkaitan dengan bimbingan dan arahan serta kerjasama dengan pihak- pihak dalam ketiga lingkungan tersebut. Dengan demikian yang terpenting dalam terbentuknya penyesuaian sosial remaja adalah untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dengan cara mencari dan menemukan respon yang sesuai dengan dirinya, kemudian akan dibawa kepada lingkungan dimana individu tersebut besosialisasi sebagai wadah untuk aktualisasi diri, baik dengan teman sebaya atau dimana remaja bersama kelompoknya atau di lingkungan masyarakat umum sekitar remaja tinggal.

2.2.4 Faktor- Faktor Penyesuian Sosial

Agustian (2006) penyesuaian sosial yang dilakukan oleh individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor :

1. Faktor kondisi fisik, yang meliputi faktor keturunan, kesehatan, bentuk tubuh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik.

2. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi perkembangan intelektual, sosial, moral dan kematangan emosional.


(17)

3. Faktor psikologis, yaitu faktor- faktor pengalaman individu, frustasi dan konflik yang dialami, dan kondisi- kondisi psikologis seseorang dalam penyesuaian diri.

4. Faktor lingkungan, yaitu kondisi yang ada pada lingkungan, seperti kondisi keluarga, kondisi rumah, kondisi sekolah dan sebagainya.

Menurut Pramadi dan Ratnaningtyas (1996) faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah :

1. Keadaan fisik dan jenis kelamin

Keadaan fisik sangat mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang, adanya cacat fisik atau penyakit kronis sering menjadi latar belakang terjadinya hambatan- hambatan sosial, selain itu lingkungan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pria dan wanita. Pria cenderung lebih dapat diterima jika menentang suatu aturan dibanding dengan wanita.

2. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, penuh penerimaan, penuh pengertian dan memberikan perlindungan kepada anggota- anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian individu. Adanya rasa aman dalam kelompok atau perasaan yang dibutuhkan dan menjadi bagian dari suatu masyarakat merupakan hal yang penting bagi perkembangan kepribadian dan penyesuaian sosial.


(18)

3. Pengaruh kebudayaan dan agama

Kebudayaan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada pembentukan tingkah laku individu. Hal ini dapat memudahkan atau bahkan menyulitkan penyesuaian sosial seseorang yang dapat bertingkah laku sesuai budaya yang berlaku akan mudah menyesuaikan diri dengan orang lain.

4. Tingkat pendidikan dan intelegensi

Tingkat pendidikan berpengaruh pada penyesuaian seseorang individu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, cenderung dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik jika dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya dan intelegensi rendah. 5. Keadaan psikologis individu

Individu yang sehat dan matang secara psikologis akan dapat meyelaraskan dorongan- dorongan internalnya dan tuntutan yang berasal dari lingkunganya. Keadaan psikologis itu paling tidak mencakup dalam tiga hal :

a) Emosi

Emosi yang menyenangkan akan menimbulkan emosi yang baik pada individu. Hal ini sangat diperlukan untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.


(19)

b) Ciri Pribadi

Merupakan penentu utama dalam penyesuaian sosial karena ciri pribadi merupakan suatu totalitas yang menentukan reaksi terhadap konflik stres atau frustasi.

c) Penerimaan Diri

Penyesuaian sosial melibatkan pengertian terhadap dirinya. Individu merasa yakin akan kemampuan diri sendiri. Penerimaan diri yang baik sebagai syarat tercapainya suatu penyesuaian sosial yang baik.

2.3 Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas

Remaja dengan segala potensi yang dimilikinya tumbuh dan berkembang menuju tahap dewasa. Dalam perkembangannya remaja memiliki ciri yang khas dan menonjol, Terutama dalam perkembangan sosial remaja yang dapat dilihat adanya dua macam arah gerak yaitu gerakan memisahkan diri dengan orang tua dan menuju ke arah teman sebaya. Kebutuhan remaja untuk diterima di kelompoknya membawa pengaruh yang kuat dan besar terhadap pemikiran, sikap, perasaan dan perilaku. Bila remaja ditolak oleh kelompoknya akan menimbulkan rasa kecewa dan memungkinkan remaja bertingkah laku menarik diri dari lingkungan atau menjadi agresif (Mappiare, 2002).

Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan sekitar, penyesuaian sosial sebagai salah satu aspek dari penyesuaian diri individu


(20)

yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat individu berada dan berinteraksi secara efektif dan efesien. Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan orang lain (Nurdin, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Soliha (2010) menunjukkan semakin positif persepsi terhadap penerimaan teman sebaya maka semakin rendah tingkat tendensi agresivitas relasional siswa, begitu pula sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap penerimaan teman sebaya maka tingkat tendensi agresivitas relasionalnya semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan orang lain berpengaruh terhadap tendensi agresi seseorang.

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Wulyaningsih (2010) dengan judul pengaruh penyesuaian sosial terhadap kecenderungan agresi siswa di SMA N 9 Malang. Menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara penyesuaian sosial dengan kecenderungan siswa di SMA N 9 Malang.

Relasi sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu mengerti dan melakukan apa yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga memudahkannya untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan. Sebaliknya, individu dengan penyesuaian sosial buruk adalah individu yang mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya, menilai dirinya sebagai figur yang mengecewakan. Penilaian yang negatif terhadap diri sendiri akan mengarah pada penolakan diri, sehingga individu akan cenderung mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, dan kurang percaya diri. Individu merasa tidak percaya diri ketika harus berpartisipasi


(21)

dalam suatu aktivitas sosial dan memulai hubungan baru dengan orang lain. Penolakan diri juga dapat memicu munculnya sikap agresif dan perilaku negatif, sehingga individu menjadi tertutup dan kurang tertarik untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain.

Siswanto (2007) menambahkan individu bisa mengalami kondisi ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan baik, ketika mengalami tekanan dalam hidup dan masih dalam proses melakukan penyesuaian. Namun bila individu tidak mampu mengatasi keadaan menekan tersebut secara konstruktif, akhirnya individu tersebut akan mengalami abnormalitas yaitu gangguan mental dimana sumber tekanan sudah tidak dialami lagi, namun individu yang bersangkutan sudah terlanjur membentuk kebiasaan stres dan frustrasi yang dialaminya sehingga menimbulkan berbagai perilaku menyimpang lainya.

2.4 Hipotesis

Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara penyesuaian sosial dengan agresivitas siswa kelas XI IPS SMA N 2 Salatiga.


(1)

kemampuan seseorang remaja untuk bersosialisasi adalah masyarakat dan lingkungan tempat tinggal. Dalam hal ini, lingkungan remaja tidak hanya terbatas pada orang – orang di dalam keluarga saja, melainkan juga masyarakat tempatnya senantiasa berinteraksi dan bermain serta lingkungan sekolah, tempat remaja belajar dan bergaul dengan teman sebayanya. Tentu saja kemampuan untuk mencapai kematangan sosial ini sangat berkaitan dengan bimbingan dan arahan serta kerjasama dengan pihak- pihak dalam ketiga lingkungan tersebut. Dengan demikian yang terpenting dalam terbentuknya penyesuaian sosial remaja adalah untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dengan cara mencari dan menemukan respon yang sesuai dengan dirinya, kemudian akan dibawa kepada lingkungan dimana individu tersebut besosialisasi sebagai wadah untuk aktualisasi diri, baik dengan teman sebaya atau dimana remaja bersama kelompoknya atau di lingkungan masyarakat umum sekitar remaja tinggal.

2.2.4 Faktor- Faktor Penyesuian Sosial

Agustian (2006) penyesuaian sosial yang dilakukan oleh individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor :

1. Faktor kondisi fisik, yang meliputi faktor keturunan, kesehatan, bentuk tubuh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik.

2. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi perkembangan intelektual, sosial, moral dan kematangan emosional.


(2)

3. Faktor psikologis, yaitu faktor- faktor pengalaman individu, frustasi dan konflik yang dialami, dan kondisi- kondisi psikologis seseorang dalam penyesuaian diri.

4. Faktor lingkungan, yaitu kondisi yang ada pada lingkungan, seperti kondisi keluarga, kondisi rumah, kondisi sekolah dan sebagainya.

Menurut Pramadi dan Ratnaningtyas (1996) faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah :

1. Keadaan fisik dan jenis kelamin

Keadaan fisik sangat mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang, adanya cacat fisik atau penyakit kronis sering menjadi latar belakang terjadinya hambatan- hambatan sosial, selain itu lingkungan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap pria dan wanita. Pria cenderung lebih dapat diterima jika menentang suatu aturan dibanding dengan wanita.

2. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, penuh penerimaan, penuh pengertian dan memberikan perlindungan kepada anggota- anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian individu. Adanya rasa aman dalam kelompok atau perasaan yang dibutuhkan dan menjadi bagian dari suatu masyarakat merupakan hal yang penting bagi perkembangan kepribadian dan


(3)

3. Pengaruh kebudayaan dan agama

Kebudayaan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada pembentukan tingkah laku individu. Hal ini dapat memudahkan atau bahkan menyulitkan penyesuaian sosial seseorang yang dapat bertingkah laku sesuai budaya yang berlaku akan mudah menyesuaikan diri dengan orang lain.

4. Tingkat pendidikan dan intelegensi

Tingkat pendidikan berpengaruh pada penyesuaian seseorang individu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, cenderung dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik jika dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya dan intelegensi rendah. 5. Keadaan psikologis individu

Individu yang sehat dan matang secara psikologis akan dapat meyelaraskan dorongan- dorongan internalnya dan tuntutan yang berasal dari lingkunganya. Keadaan psikologis itu paling tidak mencakup dalam tiga hal :

a) Emosi

Emosi yang menyenangkan akan menimbulkan emosi yang baik pada individu. Hal ini sangat diperlukan untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.


(4)

b) Ciri Pribadi

Merupakan penentu utama dalam penyesuaian sosial karena ciri pribadi merupakan suatu totalitas yang menentukan reaksi terhadap konflik stres atau frustasi.

c) Penerimaan Diri

Penyesuaian sosial melibatkan pengertian terhadap dirinya. Individu merasa yakin akan kemampuan diri sendiri. Penerimaan diri yang baik sebagai syarat tercapainya suatu penyesuaian sosial yang baik.

2.3 Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas

Remaja dengan segala potensi yang dimilikinya tumbuh dan berkembang menuju tahap dewasa. Dalam perkembangannya remaja memiliki ciri yang khas dan menonjol, Terutama dalam perkembangan sosial remaja yang dapat dilihat adanya dua macam arah gerak yaitu gerakan memisahkan diri dengan orang tua dan menuju ke arah teman sebaya. Kebutuhan remaja untuk diterima di kelompoknya membawa pengaruh yang kuat dan besar terhadap pemikiran, sikap, perasaan dan perilaku. Bila remaja ditolak oleh kelompoknya akan menimbulkan rasa kecewa dan memungkinkan remaja bertingkah laku menarik diri dari lingkungan atau menjadi agresif (Mappiare, 2002).

Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan


(5)

yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat individu berada dan berinteraksi secara efektif dan efesien. Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan orang lain (Nurdin, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Soliha (2010) menunjukkan semakin positif persepsi terhadap penerimaan teman sebaya maka semakin rendah tingkat tendensi agresivitas relasional siswa, begitu pula sebaliknya semakin negatif persepsi terhadap penerimaan teman sebaya maka tingkat tendensi agresivitas relasionalnya semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan orang lain berpengaruh terhadap tendensi agresi seseorang.

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Wulyaningsih (2010) dengan judul pengaruh penyesuaian sosial terhadap kecenderungan agresi siswa di SMA N 9 Malang. Menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara penyesuaian sosial dengan kecenderungan siswa di SMA N 9 Malang.

Relasi sosial yang luas akan menjadikan inidividu mampu mengerti dan melakukan apa yang diharapkan oleh lingkungan, sehingga memudahkannya untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungan. Sebaliknya, individu dengan penyesuaian sosial buruk adalah individu yang mempunyai pandangan negatif terhadap dirinya, menilai dirinya sebagai figur yang mengecewakan. Penilaian yang negatif terhadap diri sendiri akan mengarah pada penolakan diri, sehingga individu akan cenderung mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, dan kurang percaya diri. Individu merasa tidak percaya diri ketika harus berpartisipasi


(6)

dalam suatu aktivitas sosial dan memulai hubungan baru dengan orang lain. Penolakan diri juga dapat memicu munculnya sikap agresif dan perilaku negatif, sehingga individu menjadi tertutup dan kurang tertarik untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain.

Siswanto (2007) menambahkan individu bisa mengalami kondisi ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan baik, ketika mengalami tekanan dalam hidup dan masih dalam proses melakukan penyesuaian. Namun bila individu tidak mampu mengatasi keadaan menekan tersebut secara konstruktif, akhirnya individu tersebut akan mengalami abnormalitas yaitu gangguan mental dimana sumber tekanan sudah tidak dialami lagi, namun individu yang bersangkutan sudah terlanjur membentuk kebiasaan stres dan frustrasi yang dialaminya sehingga menimbulkan berbagai perilaku menyimpang lainya.

2.4 Hipotesis

Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara penyesuaian sosial dengan agresivitas siswa kelas XI IPS SMA N 2 Salatiga.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009098 BAB I

0 1 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009098 BAB IV

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009098 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Penyesuaian Sosial dengan Agresivitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Kreativitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009023 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Kreativitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009023 BAB II

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Kreativitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009023 BAB IV

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan Kreativitas Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Salatiga T1 132009023 BAB V

0 0 2

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Konformitas Negatif Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1 Salatiga T1 BAB II

0 0 18