Kualitas Pelayanan Pengadaan Paspor Di Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai Chapter III VI

BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
3.1 Sejarah Singkat Kantor Imigrasi
3.1.1 Zaman Penjajahan
Kekayaan sumber daya alam, khususnya sebagai penghasil komoditas perkebunan yang
diperdagangkan di pasar dunia, menjadikan wilayah Indonesia yang sebagian besar dikuasai oleh
Hindia Belanda menarik berbagai negara asing untuk turut serta mengembangkan bisnis
perdagangan komoditas perkebunan. Untuk mengatur arus kedatangan warga asing ke wilayah
Hindia Belanda, pemerintah kolonial pada tahun 1913 membentuk kantor Sekretaris Komisi
Imigrasi dan karena tugas dan fungsinya terus berkembang, pada tahun 1921 kantor sekretaris
komisi imigrasi diubah menjadi immigratie dients (dinas imigrasi).
Dinas imigrasi pada masa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda ini berada di bawah
Direktur Yustisi, yang dalam susunan organisasinya terlihat pembentukan afdeling-afdeling
seperti afdeling visa dan afdeling (bagian) lain-lain yang diperlukan. Corps ambtenaar
immigratie diperluas. Tenaga-tenaga berpengalaman serta berpendidikan tinggi dipekerjakan di
pusat. Tidak sedikit di antaranya adalah tenaga-tenaga kiriman dari negeri Belanda (uitgezonden
krachten). Semua posisi kunci jawatan imigrasi berada di tangan para pejabat Belanda.
Kebijakan keimigrasian yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda adalah politik
pintu terbuka (opendeur politiek). Melalui kebijakan ini, pemerintah Hindia Belanda membuka
seluas-luasnya bagi orang asing untuk masuk, tinggal, dan menjadi warga Hindia Belanda.
Maksud utama dari diterapkannya kebijakan imigrasi “pintu terbuka” adalah memperoleh sekutu

dan investor dari berbagai negara dalam rangka mengembangkan ekspor komoditas perkebunan
di wilayah Hindia Belanda. Selain itu, keberadaan warga asing juga dapat dimanfaatkan untuk
bersama-sama mengeksploitasi dan menekan penduduk pribumi.
Walaupun terus berkembang (penambahan kantor dinas imigrasi di berbagai daerah),
namun struktur organisasi dinas imigrasi pemerintah Hindia Belanda relatif sederhana. Hal ini
diduga berkaitan dengan masih relatif sedikitnya lalu lintas kedatangan dan keberangkatan dari

40
Universitas Sumatera Utara

dan/atau keluar negeri pada saat itu. Bidang keimigrasian yang ditangani semasa pemerintahan
Hindia Belanda hanya 3 (tiga), yaitu: (a) bidang perizinan masuk dan tinggal orang; (b) bidang
kependudukan orang asing; dan (c) bidang kewarganegaraan. Untuk mengatur ketiga bidang
tersebut, peraturan pemerintah yang digunakan adalah Toelatings Besluit (1916); Toelatings
Ordonnantie (1917); dan Paspor Regelings (1918).
3.1.2 Era Revolusi Kemerdekaan
Era kolonialisasi Hindia Belanda mulai berakhir bersamaan dengan masuknya Jepang ke
wilayah Indonesia pada tahun 1942. Namun pada masa pendudukan Jepang hampir tidak ada
perubahan yang mendasar dalam peraturan keimigrasian. Dengan kata lain, selama pendudukan
Jepang, produk hukum keimigrasian Hindia Belanda masih digunakan. Eksistensi pentingnya

peraturan keimigrasian mencapai momentumnya pada saat Indonesia memproklamirkan
kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945.
Ada 4 (empat) peristiwa penting pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang
terkait dengan keimigrasian, yaitu : (1) Repatriasi APWI dan serdadu Jepang; dalam peristiwa ini
ditandai dengan pengangkutan ex APWI dan pelucutan serta pengangkutan serdadu Jepang di
Jawa Tengah khususnya, di pulau Jawa dan Indonesia umumnya yang ditangani oleh Panitia
Oeroesan Pengangkoetan Djepang (POPDA); (2) Kegiatan barter, pembelian senjata dan pesawat
terbang; pada masa Revolusi Kemerdekaan para pejuang sering bepergian ke luar negeri, misal
masuk ke Singapore dan Malaysia, masih tanpa paspor; (3) Perjuangan Diplomasi; diawali
dengan penyelenggaraan Inter Asian Conference di New Delhi. Dalam kesempatan itu
Kementerian Luar Negeri Indonesia akhirnya berhasil mengeluarkan “Surat Keterangan
dianggap sebagai paspor” sebagai dokumen perjalanan antar negara yang pertama setelah
kemerdekaan bagi misi pemerintah Indonesia yang sah dalam konferensi tersebut. Delegasi
Indonesia yang dipimpin oleh H. Agus Salim ikut memperkenalkan “Paspor Diplomatik”
pemerintah Indonesia kepada dunia Internasional; dan (4) Keimigrasian di Aceh; Aceh sebagai
satu-satunya wilayah Indonesia yang tidak pernah diduduki Belanda, sejak tahun 1945 telah
mendirikan kantor imigrasi di lima kota dan terus beroperasi selama masa revolusi kemerdekaan.
Pendirian kantor imigrasi di Aceh sejak tahun 1945 adalah oleh Amirudin. Peristiwa cukup

41

Universitas Sumatera Utara

penting pada masa ini, Jawatan Imigrasi yang sejak semula di bawah Departemen Kehakiman,
pada tahun 1947 pernah beralih menjadi di bawah kekuasaan Departemen Luar Negeri.
Selain itu, untuk mengatasi kevakuman hukum, peraturan perundang-undangan
keimigrasian produk pemerintah Hindia Belanda harus dicabut dan digantikan dengan produk
hukum yang selaras dengan jiwa kemerdekaan. Selama masa revolusi kemerdekaan ada dua
produk hukum Hindia Belanda yang terkait dengan keimigrasian dicabut, yaitu (a) Toelatings
Besluit (1916) diubah menjadi Penetapan Ijin Masuk (PIM) yang dimasukkan dalam Lembaran
Negara Nomor 330 Tahun 1949, dan (b) Toelatings Ordonnantie (1917) diubah menjadi
Ordonansi Ijin Masuk (OIM) dalam Lembaran Negara Nomor 331 Tahun 1949. Selama masa
revolusi kemerdekaan lembaga keimigrasian masih menggunakan struktur organisasi dan tata
kerja dinas imigrasi (Immigratie Dients) peninggalan Hindia Belanda.
3.1.3 Era Republik Indonesia Serikat
Era Republik Indonesia Serikat merupakan momen puncak dari sejarah panjang
perjalanan pembentukan lembaga keimigrasian di Indonesia. Di era inilah dinas imigrasi produk
Hindia Belanda diserahterimakan kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 26 Januari 1950.
Struktur organisasi dan tata kerja serta beberapa produk hukum pemerintah Hindia Belanda
terkait keimigrasian masih dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
bangsa Indonesia. Kepala Jawatan Imigrasi untuk pertama kalinya dipegang oleh putra pribumi,

yaitu Mr. H.J Adiwinata. Struktur organisasi jawatan imigrasi meneruskan struktur immigratie
dients yang lama, sedangkan susunan jawatan imigrasi masih seder hana dan berada dalam
koordinasi Menteri Kehakiman, baik operasional-taktis, administratif, maupun organisatoris.
Pada permulaan tahun 1950, sebagai bangsa yang baru merdeka dan masih dalam suasana
pergolakan, tentunya sarana dan prasarana penunjang jawatan imigrasi pada saat itu masih sangat
terbatas dan sederhana. Kesulitan yang dirasakan sangat mendasar adalah masih sangat
sedikitnya putra pribumi yang memahami tugas dan fungsi keimigrasian. Untuk itu, sebagai
bagian dari periode transisi, jawatan imigrasi masih menggunakan pegawai berkebangsaan
Belanda. Dari 459 orang yang bekerja di jawatan imigrasi di seluruh Indonesia, 160 orang adalah
orang Belanda. Peraturan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar oleh jawatan imigrasi

42
Universitas Sumatera Utara

RIS adalah masih warisan dari Pemerintah Hindia Belanda, yaitu: (a) Indische Staatsregeling,
(b) Toelatings Besluit, (c) Toelatings Ordonnantie.
Dalam masa yang relatif singkat, jawatan imigrasi pada era Republik Indonesia Serikat
telah menerbitkan 3 (tiga) produk hukum, yaitu (a) Keputusan Menteri Kehakiman RIS Nomor
JZ/239/12 tanggal 12 Juli 1950 yang mengatur mengenai pelaporan penumpang kepada
pimpinan bea cukai apabila mendarat di pelabuhan yang belum ditetapkan secara resmi sebagai

pelabuhan pendaratan, (b) Undang-Undang Darurat RIS Nomor 40 Tahun 1950 tentang Surat
Perjalanan Republik Indonesia, dan (c) Undang- Undang Darurat RIS Nomor 42 Tahun 1950
tentang Bea Imigrasi (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 77).
3.1.4 Era Demokrasi Parlementer
Periode krusial pada era Republik Indonesia Serikat berlanjut pada Era Demokrasi
Parlementer, yang salah satunya terkait dengan berakhirnya kontrak kerja pegawai keturunan
Belanda pada akhir tahun 1952. Berakhirnya kontrak kerja mereka menjadi persoalan penting
karena pada saat itu pemerintah Indonesia sedang bergerak cepat mengembangkan jawatan
imigrasi. Pada periode 1950-1960 jawatan imigrasi berusaha membuka kantor-kantor dan kantor
cabang imigrasi, serta penunjukan pelabuhan-pelabuhan pendaratan yang baru.
Pada dasawarsa imigrasi tepatnya 26 Januari 1960, jawatan imigrasi telah berhasil
mengembangkan organisasinya dengan pembentukan Kantor Pusat Jawatan Imigrasi di Jakarta,
26 kantor imigrasi daerah, 3 kantor cabang imigrasi, 1 kantor inspektorat imigrasi dan 7 pos
imigrasi di luar negeri. Di bidang sumber daya manusia (SDM) keimigrasian, pada bulan Januari
1960 jumlah total pegawai jawatan imigrasi telah meningkat menjadi 1256 orang yang
kesemuanya putra-putri Indonesia, mencakup pejabat administratif dan pejabat teknis
keimigrasian.
Di bidang pengaturan keimigrasian, mulai periode ini pemerintah Indonesia memiliki
kebebasan untuk mengubah kebijaksanaan opendeur politiek imigrasi kolonial menjadi

kebijaksanaan yang sifatnya selektif atau saringan (selective policy). Kebijakan selektif
didasarkan pada perlindungan kepentingan nasional dan lebih menekankan prinsip pemberian
43
Universitas Sumatera Utara

perlindungan yang lebih besar kepada warga negara Indonesia. Pendekatan yang dipergunakan
dan dilaksanakan secara simultan meliputi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan
pendekatan keamanan (security approach). Beberapa pengaturan keimigrasian antara lain yang
diterbitkan: (1) pengaturan lalu lintas keimigrasian; yaitu pemeriksaan dokumen keimigrasian
penumpang dan crew kapal laut yang dari luar negeri dilakukan di atas kapal selama pelayaran
kapal, (2) Pengaturan di bidang kependudukan orang asing, dengan disahkannya Undang
Undang Darurat Nomor 9 Tahun 1955 tentang Kependudukan Orang Asing (Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 812), (3) Pengaturan di bidang
pengawasan orang asing, dengan disahkannya Undang-Undang Darurat Nomor 9 Tahun
1953 tentang Pengawasan Orang Asing (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 463), (4) Pengaturan mengenai delik/perbuatan pidana/peristiwa
pidana/tindak pidana di bidang keimigrasian, dengan disahkannya Undang-Undang Darurat
Nomor 8 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi (Lembaran Negara Tahun 1955
Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 807), (5) Pengaturan di bidang
kewarganegaraan, pada periode ini disahkan produk perundangan penting mengenai

kewarganegaraan yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tentang Persetujuan Antara
Republik Indonesia Dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganegaraan
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor), (6), dan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 113,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647), (7) Masalah kewarganegaraan turunan Cina, (8)
Pelaksanaan Pendaftaran Orang Asing (POA).
Selain itu pada era ini, produk hukum yang terkait dengan keimigrasian juga secara
bertahap mulai dibenahi, seperti visa, paspor dan surat jalan antar negara, penanganan tindak
pidana keimigrasian, pendaftaran orang asing, dan kewarganegaraan. Salah satu produk hukum
penting yang dikeluarkan selama era Demokrasi Parlementer adalah penggantian Paspor
Regelings (1918) menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 1959 tentang Surat Perjalanan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1799).

44
Universitas Sumatera Utara

3.1.5 Era Orde Baru
Era pemerintahan Orde Baru adalah yang terpanjang sejak Indonesia merdeka. Masa
pemerintahan yang cukup panjang tersebut turut memberikan kontribusi besar terhadap

pemantapan lembaga keimigrasian, walaupun dalam pelaksanaannya mengalami beberapa kali
penggantian induk organisasi. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi
selama era Orde Baru mendorong lembaga keimigrasian di Indonesia untuk semakin
berkembang dan profesional dalam melayani masyarakat. Pada era ini terjadi beberapa kali
perubahan organisasi kabinet dan pembagian tugas departemen, yang pada gilirannya membawa
perubahan terhadap organisasi jajaran imigrasi. Pada tanggal 3 November 1966 ditetapkan
kebijakan tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Departemen, yang mengubah
kelembagaan Direktorat Imigrasi sebagai salah satu pelaksana utama Departemen Kehakiman
menjadi Direktorat Jenderal Imigrasi yang dipimpin oleh Direktur Jenderal Imigrasi. Perubahan
inipun berlanjut dengan pembangunan sarana fisik di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi
yang luas. Pembangunan gedung kantor, rumah dinas, pos imigrasi maupun asrama tahanan
dijalankan tahun demi tahun. Di bidang SDM dan pembinaan karier, sistem penempatan dan
pembinaan karier pegawai yang direkrut Direktorat Jenderal Imigrasi yang zig zag, tidak terpaku
di satu pos, diteruskan. Sistem pembinaan karir di bidang imigrasi juga terus disempurnakan
dengan tetap mengedepankan prinsip profesionalisme dan keadilan.
Beban kerja yang semakin meningkat dan kebutuhan akan akurasi data, mendorong
Direktorat Jenderal Imigrasi untuk segera menerapkan sistem komputerisasi di bidang imigrasi.
Pada awal tahun 1978 untuk pertama kalinya dibangunlah sistem komputerisasi di Direktorat
Jenderal Imigrasi, sedangkan penggunaan komputer pada sistem informasi keimigrasian dimulai
pada tanggal 1 Januari 1979.

Di bidang peraturan perundangan keimigrasian pada masa Orde Baru, dalam rangka
mendukung program Pembangunan Nasional Pemerintah, banyak produk regulasi keimigrasian
yang dibuat untuk mengifisienkan pelayanan keimigrasian dan/atau untuk mendukung berbagai
sektor pembangunan, antara lain pengaturan terkait: (1) pelayanan jasa keimigrasian, (2)
penyelesaian dokumen pendaratan di atas pesawat jemaah haji 1974, (3) penyelesaian
pemeriksaan dokumen di pesawat garuda Jakarta-Tokyo, (4) perbaikan kualitas cetak paspor, (5)
45
Universitas Sumatera Utara

pengaturan masalah lintas batas, (6) pengaturan dispensasi fasilitas keimigrasian, (7) penanganan
TKI gelap di daerah perbatasan, (8) pengaturan penyelenggaraan umroh, (9) pengaturan masalah
pencegahan dan penangkalan, (10) pengaturan keimigrasian di sektor ketenagakerjaan, (11)
pengaturan visa tahun 1979, (12) masalah orang asing yang masuk ke dan atau tinggal di wilayah
Indonesia secara tidak sah, (13) penghapusan exit permit bagi WNI.
Di masa Orde Baru ini yang tidak bisa dilupakan adalah lahirnya Undang-Undang
Keimigrasian baru yaitu Undang Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3474), yang disahkan oleh DPR pada tangal 4 Maret 1992. Undang Undang
Keimigrasian ini selain merupakan hasil peninjauan kembali terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan sebelumnya yang sebagian merupakan peninggalan dari Pemerintah Hindia

Belanda,

juga

menyatukan/mengkompilasi

substansi

peraturan

perundang-undangan

keimigrasian yang tersebar dalam berbagai produk peraturan perundangan keimigrasian
sebelumnya hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 ini diikuti dengan ditetapkannya
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaannya dalam: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3561), (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan
Tindakan Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 54,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3562), (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3563), dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1994 tentang Surat Pejalanan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3572).

46
Universitas Sumatera Utara

3.1.6 Era Reformasi
Krisis ekonomi 1997 telah mengakhiri periode panjang era Orde Baru dan memasuki era
reformasi. Aspirasi yang hidup dalam masyarakat, menginginkan komitmen yang kuat terhadap
nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), tegaknya hukum dan keadilan, pemberantasan KKN, dan
demokratisasi, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), transparansi, dan
akuntabel terus didengungkan, termasuk diantaranya tuntutan percepatan otonomi daerah.
Sementara itu globalisasi informasi membuat dunia menyatu tanpa batas, mendorong
negara-negara maju (WTO) untuk menjadikan dunia berfungsi sebagai sebuah pasar bebas mulai
tahun 2000, serta mengutamakan perlindungan dan penegakam HAM serta demokratisasi. Arus
globalisasi juga mengakibatkan semakin sempitnya batas-batas wilayah suatu negara (bordeless
countries) dan mendorong semakin meningkatnya intensitas lalulintas orang antarnegara. Hal ini
telah menimbulkan berbagai permasalahan di berbagai negara termasuk Indonesia yang letak
geografisnya sangat strategis, yang pada gilirannya berpengaruh pada kehidupan masyarakat
Indonesia serta bidang tugas keimigrasian. Dalam operasional di lapangan ditemukan beberapa
permasalahan menyangkut orang asing yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Lingkungan
strategis global maupun domestik berkembang demikian cepat, sehingga menuntut semua
perangkat birokrasi pemerintahan, termasuk keimigrasian di Indonesia untuk cepat tanggap dan
responsif terhadap dinamika tersebut. Sebagai contoh, implementasi kerja sama ekonomi
regional telah mempermudah lalu lintas perjalanan warga negara Indonesia maupun warga
negara asing untuk keluar atau masuk ke wilayah Indonesia. Lonjakan perjalanan keluar atau
masuk ke wilayah Indonesia tentu membutuhkan sistem manajamen dan pelayanan yang
semakin handal dan akurat. Tugas keimigrasian saat ini semakin berat seiring dengan semakin
maraknya masalah terorisme dan pelarian para pelaku tindak pidana ke luar negeri. Untuk
mengatasi dinamika lingkungan strategis yang bergerak semakin cepat, bidang keimigrasian
dituntut mengantispasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan sarana-prasarana
yang semakin canggih. Peraturan dan kebijakan keimigrasan juga harus responsif terhadap
pergeseran tuntutan paradigma fungsi keimigrasian. Jika sebelumnya paradigma fungsi
keimigrasian dalam pelaksanaan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1992 lebih menekankan
efisiensi pelayanan untuk mendukung isu pasar bebas yang bersifat global, namun kurang

47
Universitas Sumatera Utara

memperhatikan fungsi penegakan hukum dan fungsi sekuriti, mulai pada era ini harus diimbangi
dengan fungsi keamanan dan penegakan hukum.
Dalam menghadapi masalah dan perkembangan dalam dan luar negeri tersebut,
Direktorat Jenderal Imigrasi pada Era Reformasi ini telah melakukan beberapa program kerja
sebagai berikut:
a. Penyempurnaan Peraturan Perundang-Undangan
Pemerintah memperbaharui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian. Hal ini berdasarkan beberapa perkembangan yang perlu diantisipasi,
yakni: (1) Letak geografis wilayah Indonesia (kompleksitas permasalahan antar
negara), (2) Perjanjian internasional/konvensi internasional yang berdampak terhadap
pelaksanaan fungsi keimigrasian, (3) Meningkatnya kejahatan internasional dan
transnasional, (4) Pengaturan mengenai deteni dan batas waktu terdeteni belum
dilakukan secara komprehensif, (5) Pendekatan sistematis fungsi keimigrasian yang
spesifik dan universal dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
yang modern, (6) Penempatan struktur kantor imigrasi dan rumah detensi imigrasi
sebagai unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Imigrasi, (7) Perubahan
sistem kewarganegaraan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, (8) Hak kedaulatan negara sesuai prinsip
timbal balik (resiprositas) mengenai pemberian visa terhadap orang asing, (9)
Kesepakatan dalam rangka harmonisasi dan standarisasi sistem dan jenis pengamanan
dokumen perjalanan secara internasional, (10) Penegakan hukum keimigrasian belum
efektif sehingga kebijakan pemidanaan perlu mencantumkan pidana minimum
terhadap tindak pidana penyelundupan manusia, (11) Memperluas subyek pelaku
tindak pidana Keimigrasian, sehingga mencakup tidak hanya orang perseorangan
tetapi juga korporasi serta penjamin masuknya orang asing ke wilayah indonesia yang
melanggar ketentuan keimigrasian, (12) Penerapan sanksi pidana yg lebih berat
terhadap orang asing yang melanggar peraturan di bidang keimigrasian karena selama
ini belum menimbulkan efek jera.
Usulan untuk memperbarui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian-pun segera dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
48
Universitas Sumatera Utara

untuk dibahas oleh lembaga legistlatif (DPR). Setelah melalui pembahasan yang
cukup panjang dengan Komisi III DPR, akhirnya Rancangan Undang-Undang
Keimigrasian yang baru disetujui dan diusulkan untuk disahkan menjadi UndangUndang pada Rapat Paripurna DPR tanggal 7 April 2011. Selanjutnya pada tanggal 5
Mei 2011, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yang diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5126.
b. Kelembagaan
Sebagai dampak pelaksanaan otonomi daerah dan perkembangan yang terjadi di
beberapa negara, maka tugas keimigrasian di daerah provinsi, kota/kabupaten
maupun di negara yang bersangkutan terus mengalami peningkatan sejalan dengan
karakteristik dinamika kehidupan masyarakat. Untuk mengantisipasi fenomena
demikian Direktorat Jenderal Imigrasi telah membuat langkah kebijakan: (1)
Pembentukan kantor-kantor imigrasi di daerah, (2) Peningkatan kelas beberapa kantor
imigrasi, (3) Pembentukan direktorat intelijen, (4) Pembentukan rumah detensi
imigrasi, (5) Penambahan tempat pemeriksaan imigrasi, dan (6) Pembentukan
atase/konsul imigrasi pada perwakilan RI di Guangzhou-RRC.
Adapun jumlah kelembagaan imigrasi yang tersebar di daerah dan di luar negeri
sampai dengan saat ini adalah sebagai berikut:
1. 115 kantor imigrasi, yang terdiri dari terdiri dari :
a) 7 kantor imigrasi kelas I khusus di :
Soekarno-Hatta, Batam, Ngurah Rai, Jakarta Barat, Jakarta Selatan,
Medan, dan Surabaya.
b) 38 kantor imigrasi kelas I di :
Ambon,

Balikpapan,

Banda

Aceh,

Bandar

Lampung,

Bandung,

Banjarmasin, Bengkulu, Denpasar, Gorontalo, Jakarta Pusat, Jakarta
Timur, Jakarta Utara, Jambi, Jayapura, Kendari Kupang, Makassar,
Malang, Manado, Mataram, Padang Palangkaraya, Palembang, Palu,
Pangkal Pinang, Pekanbaru, Polonia, Pontianak, Samarinda, Semarang,

49
Universitas Sumatera Utara

Serang, Surakarta, Tangerang, Tanjung Pinang, Tanjung Perak, Tanjung
Priok, Ternate, Yogyakarta.
c) 60 kantor imigrasi kelas II di :
Atambua, Bagan Siapi Api, Belakang Padang, Belawan, Bengkalis, Biak,
Bitung, Blitar, Bogor, Bukit Tinggi, Cilacap, Cilegon, Cirebon, Depok,
Dumai, Entikong, Jember, Karawang, Kota Baru, Kuala Tungkal, Langsa,
Lhokseumawe, Madiun, Mamuju, Manokwari, Maumere, Merauke,
Meulaboh, Muara Enim, Nunukan, Pare-Pare, Pati, Pemalang, Pematang
Siantar, Polewali Mandar, Ranai, Sabang, Sambas, Sampit, Sanggau, Selat
Panjang, Siak, Sibolga, Singaraja, Singkawang, Sorong, Sukabumi,
Sumabawa Besar, Tahuna, Tanjung Balai Asahan, Tanjung Balai
Karimun, Tanjung Pandan, Tanjung Uban, Tarakan, Tasikmalaya,
Tembaga Pura, Tembilahan, Tobelo, Tual, dan Wonosobo.
d) 10 kantor imigrasi kelas III di :
Bekasi, Dabo Singkep, Kalianda, Tarempa, Kota Bumi, Pamekasan,
Kediri, Tanjung Redep, Takengon, dan Labuan Bajo.
2. 13 rumah detensi imigrasi di :
Tanjung Pinang, Balikpapan, Denpasar, DKI Jakarta, Kupang, Makassar,
Manado, Medan, Pekanbaru, Pontianak, Semarang, Surabaya, dan Jayapura.
3. 33 tempat pemeriksaan imigrasi :
a. Bandar udara di :
Sultan Iskandar Muda Banda Aceh, Maimun Saleh Sabang, Binaka Sibolga,
Polonia Medan, Minangkabau Padang, Fatmawati Soekarno Bengkulu, Kijang
Tanjung Pinang, Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Hang Nadim Batam,
Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Belitung Tanjung Pandan, Pangkal
Pinang Pangkal Pinang, Soekarno-Hatta Jakarta, Halim Perdana Kusuma
Jakarta, Husein Sastranegara Bandung, Ahmad Yani Semarang, Adi Sumarmo
Surakarta, Adi Sucipto Yogyakarta, Juanda Surabaya, Supadio Pontianak,
Sepinggan Balikpapan, Tarakan, Sam Ratulangi Manado, Hasanuddin
Makassar, Ngurah Rai Bali, Selaparang Mataram, El Tari Kupang, Pattimura

50
Universitas Sumatera Utara

Ambon, Sentani Jayapura, Jeffman Sorong, Frans Kaisiepo Biak, Mopah
Merauke, dan Timika Tembagapura.
b. Pelabuhan laut di :
Sabang, Malahayati Aceh, Krueng Raya Aceh, Lhokseumawe, Kuala Langsa
Aceh, Belawan, Sibolga, Gunung Sitoli Sibolga, Teluk NibungTanjung Balai
Asahan, Kuala Tanjung Tanjung Balai Asahan, Teluk Bayur Padang, Yos
Sudarso Dumai, Pekanbaru, Bagan Siapiapi, Bengkalis, Tembilahan, Selat
Panjang, Sungai Guntung Tembilahan, Kuala Enok Tembilahan, Sri Bintan
Pura Tanjung Pinang, Sri Baintan Tanjung Pinang, Tanjung Uban, Bandar
Bentan Telani Lagoi Tanjung Uban, Bandar Seri Udana Lobam Tanjung
Uban, Tanjung Balai Karimun, Belakang Padang, Nongsa Terminal Bahari
Batam, Kabil Batam, Marina Teluk Senimba Batam, Batam Centre Batam,
Citra Tritunas Batam, Batu Ampar Batam, Sekupang Batam, Ranai, Tarempa,
Pulau Baai Bengkulu, Panjang Lampung, Palembang, Pangkal Balam Pangkal
Pinang, Tanjung Kelian Bangka Belitung, Tanjung Gudang Bangka Belitung,
Tanjung Pandan, Jambi, Kuala Tungkal, Tanjung Priok Jakarta, Cirebon,
Ciwandan Cilegon, Tanjung Mas Semarang, Cilacap, Tanjung Perak
Surabaya,

Pasuruan,

Probolinggo,

Besuki,

Panarukan,

Banyuwangi,

Pontianak, Singkawang, Pemangkat Singkawang, Sintete Singkawang, Tri
Sakti Banjarmasin, Kota Baru, Sampit, Balikpapan, Samarinda, Tarakan,
Nunukan, Manado, Marore, Miangas, Tahuna, itung, Pantoloan Palu,
Soekarno-Hatta Makassar, Pare-Pare, Kendari, Buleleng Bali, Benoa Bali,
Padang Bai Bali, Benete Mataram, Lembar Mataram, Tenau Kupang,
Maumere, Ambon, Ternate, Tual, Jayapura, Biak, Merauke, Amamapare
Tembagapura, Sorong, Siak Sri Indrapura Siak.
4. 79 pos lintas batas, di provinsi :
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara,
Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

51
Universitas Sumatera Utara

5. 19 atase/konsul imigrasi pada Perwakilan RI di :
Bangkok, Beijing, Berlin, Den Haag, Kuala Lumpur Malaysia, Singapura, Tokyo,
Davao, Hongkong,Jeddah, Los Angeles, Penang, Sydney, Taipei, Johor, Dili,
Guang Zhou, Kuching, dan Tawao.

c. Ketatalaksanaan
Hasil-hasil yang telah dicapai di bidang ketatalaksanaan sampai tahun 2003 adalah:
(1) Pengolahan data kedatangan dan keberangkatan WNI/WNA di Direktorat Jenderal
Imigrasi telah terekam yang dikirim dari tempat pemeriksaan imigrasi dengan
sistem inteligent character recognation (ICR), (2) Perekaman dan penyimpanan data
keimigrasian melalui electronic filing system, (3) Penyusunan pola umum kriteria
klasifikasi kantor imigrasi, (4) Perencanaan SIMKIM, standarisasi pola umum
bangunan UPT imigrasi dan standarisasi pelayanan imigrasi.
d. Sumber Daya Manusia
Pada era globalisasi ini diperkirakan pelanggaran keimigrasian akan meningkat dan
lebih canggih sebagai ekses meningkatnya jumlah dan frekuensi lalulintas orang
antarnegara. Keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesiaakan semakin
meningkat. Untuk itu Direktorat Jenderal Imigrasi memerlukan sumber daya manusia
(SDM) yang lebih berkualitas, profesional, memiliki etos kerja yang baik, berdedikasi
tinggi dan bermoral. Implementasi kebijakan pengembangan SDM yang bersinergi
dengan penataan sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan, antara lain dilakukan
dengan penyelenggaraan: (1) Pembukaan kembali Akademi Imigrasi Tahun 2000, (2)
Pendidikan dan Pelatihan Teknis Keimigrasian, dan (3) Pendidikan dan Latihan
Penjenjangan. Selain itu program pendidikan luar negeri bagi pejabat/pegawai
imigrasi

mulai

dilaksanakan

yang

bersifat

akademis

yaitu

Strata

S-2

(Magister/Master) dan Strata S-3 (Doktoral/PhD), maupun shortcourse (diklat
singkat), antara lain di Negara Australia, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan. Untuk
dalam negeri juga telah dikembangkan program pendidikan beasiswa bekerja sama
dengan perguruan tinggi negeri antara lain Universitas Indonesia dan Universitas
Padjajaran. Ini tidak termasuk dengan peningkatan kapasitas pegawai imigrasi secara
personal yang bersifat swadaya dengan menempuh pendidikan baik Strata S-1
52
Universitas Sumatera Utara

maupun pascasarjana di beberapa perguruan tinggi terkemuka seperti Universitas
Diponegoro, Universitas Sumatera Utara, Universitas Udayana, Universitas Sebelas
Maret, dan lainnya.
e. Sarana dan Prasarana
Program pengembangan sarana dan prasarana yang difokuskan oleh Direktorat
Jenderal Imigrasi antara lain: (1) Pembangunan fisik gedung kantor-kantor Imigrasi di
daerah, (2) Pembangunan fisik rumah detensi imigrasi, (3) Peningkatan fasilitas pos
lintas batas di daerah-daerah perbatasan antarnegara, (4) Pengadaan fasilitas visa on
arrival/visa kunjungan saat kedatangan di beberapa bandara internasional, (5)
Pengadaan full inteligent character recognation (ICR) di beberapa unit pelaksana
teknis yang membawahi tempat pemeriksaan imigrasi (TPI), (6) Pengadaan electronic
filing system di Direktorat Jenderal Imigrasi, (7) Perencanaan pembangunan sistem
informasi manajemen keimigrasian (SIMKIM), (8) Pembangunan laboratorium
forensik di Direktorat Jenderal Imigrasi, (9) Pengadaan alat EDISON untuk
mengetahui spesifikasi paspor kebangsaan seluruh negara, (10) Pengadaan alat untuk
mendeteksi dokumen palsu, (11) Rencana pembangunan border management
information system dan alert system bekerja sama dengan Department of Imigration
and Multi Cultural and Indigeneous Affairs (DIMIA) dan International Organization
for Migration (IOM).
f. Pengaturan Keimigrasian
Pada era reformasi Direktorat Jenderal Imigrasi telah melakukan beberapa pengaturan
mengenai masalah keimigrasian antara lain: (1) Pengaturan bebas visa secara
resiprokal, dan pengaturan visa on arrival (VOA), (2) Pengaturan visa khusus bagi
turis lanjut usia (Lansia), (3) Pengaturan fasiltas APEC business travel card (ABTC),
(4) pengawasan, penangkalan dan penindakan orang asing, (5) visa stiker, (6) kerja
sama keimigrasian baik di dalam negerimaupun di luar negeri, (7) pendeportasian
imigran ilegal, (8) Kasus pemalsuan paspor paspor untuk TKI, (9) pencegahan dan
penangkalan, (10) clearence house (CH), yaitu forum koordinasi dengan anggota
terdiri dari instansi yang menangani orang asing untuk melakukan penelitian dalam
rangka memberikan persetujuan visa bagi negara-negara tertentu yang dikategorikan
sebagai negara rawan dari sisi ipoleksosbudhankamnas serta keimigrasian.
53
Universitas Sumatera Utara

3.2 Visi, Misi dan Janji Layanan Organisasi
3.2.1

Visi
Masyarakat memperoleh kepastian hukum.

3.2.2

Misi
Melindungi hak asasi manusia

3.2.3

Motto
Melayani dengan tulus

3.2.4

Janji Layanan
1. Kepastian persyaratan
2. Kepastian biaya
3. Kepastian waktu penyelesaian

3.3 Struktur Organisasi
Struktur organisasi Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai adalah:
1. Kepala Kantor Imigrasi
2. Kepala Seksi Informasi Keimigrasian
3. Kepala Sub Seksi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian
4. Kepala Sub Seksi Komunikasi Keimigrasian
5. Kepala Seksi Lalulintas dan Status Keimigrasian
6. Kepala Sub Seksi Status Keimigrasian
7. Kepala Sub Seksi Lalulintas Keimigrasian
8. Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian
9. Kepala Sub Seksi Penindakan Keimigrasian
10. Kepala Sub Seksi Pengawasan Keimigrasian
11. Kepala Sub Bagian Tata Usaha
12. Kepala Urusan Keuangan
13. Kepala Urusan Kepegawaian
14. Kepala Urusan Umum

54
Universitas Sumatera Utara

Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai

KEPALA KANTOR
SOIMAM,SH.,MH
NIP. 196404041986031003

KASUBAG TU
RODHIATI SIREGAR
S.Kom

KAUR
KEUANGAN
NETTI WATI

KAUR
KEPEGAWAIAN
KOSONG

KAUR UMUM
MANGAPUL
PARLINDUNGA
N

KASI INSARKOM

KASI LALINTUSKIM

KASI WASDAKIM

BENYAMIN KALI P.
HRP,SH

RODINSON
SARAGIH,SH

BAHRUDIN,SH

KASUBSI INFOKIM

KASUBSI STATUSKIM

KASUBSI DAKIM

MOCHAMAD
AZIS,SH

DIANTA KITA S,SE

ALI HUSNI,SH

KASUBSI
KOMUNIKASI
HENDRA
WAHYUDI,ST

KASUBSI
LANTASKIM
FAQIH RAMADHANI
P, Amd. Im

KASUBSI WASKIM
TITO TEGUH RMT
S,Amd. Im., S.Sos

Gambar 3.1 Struktur Organisasi

55
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
PENYAJIAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dipaparkan berbagai data yang dihimpun selama penelitian yakni
berupa data yang diperoleh dari berbagai teknik pengumpulan data baik itu primer maupun
sekunder. Hasil penelitian data ini tidak bersifat baku karena penyajian seluruhnya diisesuaikan
dengan hasil penelitian di lapangan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diperoleh data berikut ini dengan
berdasarkan angket penelitian Kualitas Pelayanan Pengadaan Paspor di Kantor Imigrasi Kelas II
Tanjung Balai.
Keseluruhan hasil penelitian ini merupakan bentuk pertanyaan dan pernyataan yang
akurat sesuai dengan pendapat masyarakat berdasarkan angket penelitian yang di isi oleh 30
orang responden yang terdiri dari masyarakat yang sudah pernah mengurus paspor maupun yang
sedang mengurus paspor di Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai.
Adapun untuk mengukur bagaimana Kualitas Pelayanan Pengadaan Pasporr di Kantor
Imigrasi Kelas II Tanjung Balai peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif yang mengukur kualitas pelayanan melalui 4 indikator utama yaitu
efisiensi, efektivittas, keadilan, dan daya tanggap yang mana masing-masing dari indikator
tersebut telah diurrutkan di dalam angket penelitian yakni sebagai berikut:

56
Universitas Sumatera Utara

No

Indikator

Deskripsi

1

Efisiensi

Ukuran tingkat penggunaan sumber daya dalam suatu
proses. Semakin hemat/ sedikit penggunaan sumber
daya maka prosesnya dikatakan semakin efisien. Proses
yang efisien ditandai dengan perbaikan proses sehingga
menjadi lebih murah dan lebih cepat.

2

Efektivitas

Apakah tujuan didirikannya organisasi pelayanan pubik
tersebut tercapai? Hal ini erat kaitannya dengan
rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi serta
fungsi agen pembangunan.

3

Keadilan

Memberikan sesuatu pada tempatnya, adil bukan berarti
sama rata, melainkan memberikan sesuatu pada orang
yang tepat sesuai dengan aturan yang berlaku.

4

Daya Tanggap

Kemauan

atau

kesiapan

para

pegawai

untuk

memberikan pelayanan yang dibutuhkan pelanggan.
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh
perusahaan

swasta,

organisasi

pelayanan

publik

merupakan bagian dari daya tanggap Negara atau
pemerintah akan kebutuhan masyarakat yang mendesak.

57
Universitas Sumatera Utara

4.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Pengadaan Paspor di Kantor
Imigrasi Kelas II Tanjung Balai
Tabel 4.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas Pelayanan Pengadaan Paspor di Kantor
Imigrasi Kelas II Tanjung Balai.
Pertanyaan

Respon

Jumlah

SS

S

KK

TP

STP

20

10

0

0

0

30

66,67%

33,33%

0%

0%

0%

100%

21

9

0

0

0

30

70%

30%

0%

0%

0%

100%

20

10

0

0

0

30

66,67%

33,33%

0%

0%

0%

100%

20

10

0

0

0

30

66,7%

33,33%

0%

0%

0%

100%

0

0

6

18

6

30

0%

0%

20%

60%

20%

100%

I. EFISIENSI
Kewajaran Biaya
Apakah biaya yang dikeluarkan untuk
mengurus paspor sangat terjangkau?

Produk yang dihasilkan
Apakah hasil yang didapatkan sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan saat
pengurusan paspor?

Keterpaduan
produk

antara

prosedur

dan

Apakah persyaratan yang berpadu
dengan produk yang dihasilkan?

Penggunaan teknologi informasi
Apakah pelayanan paspor sudah
menggunakan teknologi informasi?

Jumlah pelaksana
Apakah jumlah pelaksana sudah
mencukupi
untuk
melakukan
pelayanan paspor?

58
Universitas Sumatera Utara

Respon
SS

S

KK

TP

23

7

0

0

0

30

76,67%

23,33%

0%

0%

0%

100%

5

16

8

1

0

30

16,67%

53,33%

36,67%

3,33%

0%

100%

9

21

0

0

0

30

30%

70%

0%

0%

0%

100%

0

4

10

16

0

30

Apakah pegawai selalu ada pada saat
jam kerja?

0%

13,33%

33,3%

53,3%

0%

100%

Hasil akhir memuaskan masyarakat

23

7

0

0

0

30

76,67%

23,33%

0%

0%

0%

100%

Pertanyaan

Jumlah
STP

II. EFEKTIVITAS
Sarana dan Prasarana
Apakah sarana dan prasarana dalam
pengurusan paspor sangat memadai
dan mendukung dalam melakukan
pelayanan kepada masyarakat?

Tepat Waktu
Apakah petugas dapat menyelesaikan
pembuatan paspor tepat waktu?

Kemudahan Akses
Apakah lokasi Kantor Imigrasi mudah
dijangkau?

Kepastian Jadwal Pelayanan

Apakah hasil akhir pembuatan paspor
memuaskan masyarakat?

59
Universitas Sumatera Utara

Respon
Pertanyaan

Jumlah

SS

S

KK

TP

STP

25

5

0

0

0

30

83,33%

16,67%

0%

0%

0%

100%

0

2

7

21

0

30

0%

6,66%

23,33%

70%

0%

100%

0

3

3

22

2

30

0%

10%

10%

73,33%

6,66%

100%

20

10

0

0

0

30

66,67 %

33,33%

0%

0%

0%

100%

4

18

8

0

0

30

13,33%

60%

26,67%

0%

0%

100%

III. KEADILAN

Sistem Pelayanan Berdasarkan Nomor
Antrian
Apakah dalam pengurusan paspor
pelayanan dilakukan berdasarkan
nomor antrian?

Pelayanan Merata
Apakah
pegawai
memberikan
pelayanan yang merata kepada
masyarakat?

Tidak mendahulukan
keluarga

kerabat

dan

Apakah pegawai tidak mendahulukan
kerabat
dan
keluarga
dalam
pengurusan paspor?

Adanya
tempat
menerima keluhan

khusus

untuk

Apakah pihak kantor menyediakan
tempat khusus untuk menerima
keluhan masyarakat?

Transparansi
Apakah pegawai memberikan arahan
secara jelas dan transparan mengenai
kepastian biaya, waktu, prosedur.

60
Universitas Sumatera Utara

SS

S

Respon
KK

TP

STP

10

13

7

0

0

30

33,33%

43,33%

23,33%

0%

0%

100%

21

9

0

0

0

30

70%

30%

0%

0%

0%

100%

19

11

0

0

0

30

63,33%

36,37%

0%

0%

0%

100%

9

1

0

0

30

Pertanyaan

Jumlah

IV. DAYA TANGGAP

Cepat Tanggap
Apakah pegawai cepat tanggap dalam
memberikan pelayanan pembuatan
paspor kepada masyarakat?

Prosedur tidak berbbelit-belit
Apakah prosedur yang diberikan
pegawai dalam pelayanan paspor
mudah dipahami dan tidak berbelitbelit?

Perhatian
disabilitas

kepada

penyandang

Apakah pihak kantor memberikan
perhatian khusus kepada masyarakat
penyandang disabilitas?

Tidak menunda pelayanan

20

Apakah
pegawai
tidak
pernah
menunda-nunda pelayanan paspor?

66,67%

30%

3,33%

0%

0%

100%

Tanggung jawab
Apakah pegawai bertanggung jawab
terhadap pekerjaannya?

0
0%

5
16,67%

4
13,33%

21
70%

0
0%

30
100%

61
Universitas Sumatera Utara

Sumber: Hasil Penelitian, 2017
Keterangan:
SS = Sangat Sering
S = Sering
KK = Kadang-kadang
TP = Tidak Pernah
STP = Sangat Tidak Pernah

Dari table 4.1 dapat dilihat bahwa persentase Kualitas Pelayanan Pengadaan Paspor di
Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai yakni sebagai ber
4.1.1 Efisiensi
Berdasarkan jawaban dari 30 responden, pada pertanyaan pertama mengenai kewajaran
biaya paspor presentase terbesar menjawab SS (Sangat Sering) dengan jumlah 66,67% (20
rersponden), dan jawaban S (Sering) berjumlah 33,33% (10 responden), sedangkan untuk
persentase jawaban KK (Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah) dan STP (Sangat Tidak Pernah)
masing-masing adalah 0% (0 responden). Berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan,
responden menilai biaya yang dikeluarkan untuk mengurus paspor sangat terjangkau. Kemudian
pada pertanyaan kedua mengenai kesesuaian produk yang dihasilkan dengan biaya yang
dikeluarkan, persentase terbesar yang diperoleh adalah jawaban SS (Sangat Sering) dengan
jumlah 70% (21 responden), kemudian menyusul jawaban S (Sering) dengan jumlah 30% (9
responden), sedangkan persentase untuk jawaban KK (Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah) dan
STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing adalah 0% (0 responden). Berdasarkan fakta yang
diperoleh di lapangan responden menilai bahwa hasil yang mereka dapatkan sesuai dengan biaya
yang mereka keluarkan saat pengurusan paspor. Pada pertanyaan ketiga mengenai keterpaduan
antara persyaratan yang digunakan dengan produk yang dihasilkan, persentase tertinggi
diperoleh dari jawaban SS (Sangat Sering) dengan jumlah 66,67% (20 responden) dan disusul
oleh jawaban S (Sering) dengan jumlah 33,33% (10 responden), sedangkan untuk jawaban KK
62
Universitas Sumatera Utara

(Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah), STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing memperoleh
persentase 0% (0 responden). Hal ini menunjukkan persayaratan yang digunakan sudah sesuai
dengan produk yang dihasilkan.
Pertanyaan keempat mengenai penggunaan teknologi informasi, diperoleh persentase
tertinggi untuk jawaban SS (Sangat Sering) dengan jumlah 66,67% (20 responden) dan jawaban
S (Sering) dengan jumlah 33,33% (10 responden), sedangkan untuk jawaban KK (KadangKadang), TP (Tidak Pernah), STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase
0% (0 responden). Ini membuktikan bahwa responden kantor imigrasi sudah menggunakan
teknologi informasi dalam pelayanan paspor. Terakhir adalah pertanyaan kelima mengenai
jumlah pelaksana. Persentase tertinggi diperoleh dari jawaban TP (Tidak Pernah) dengan jumlah
60% (18 responden), selanjutnya jawaban KK (Kadang-kadang) dan jawaban STP (Sangat Tidak
Pernah) masing-masing memperoleh 20% (6 responden), sedangkan untuk jawaban SS (Sangat
Sering) dan S (Sering) masing-masing memperoleh 0% (0 responden). Hal ini menggambarkan
bahwa jumlah pelaksana di Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai masih belum memadai untuk
menciptakan pelayanan yang berkualitas.
4.1.1

Efektivitas
Indikator kedua adalah efektivitas. Berdasarkan jawaban dari 30 responden, pada

pertanyaan pertama mengenai sarana dan prasarana yang tersedia dalam pengurusan paspor
masyarakat memilih jawaban SS (Sangat Sering) dengan jumlah persentase 76,67% (23
responden) dan memilih jawaban S (Sering) dengan jumlah 23,33% (7 responden), sedangkan
untuk jawaban KK (Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah), STP (Sangat Tidak Pernah) masingmasing memperoleh persentase 0% (0 responden). Ini membuktikan bahwa sarana dan prasarana
63
Universitas Sumatera Utara

yang tersedia dalam pengurusan paspor sangat memadai dan mendukung dalam melakukan
pelayanan kepada masyarakat. Pertanyaan kedua adalah ketepatan waktu pegawai dalam
menyelesaikan pembuatan paspor yang memperoleh persentase tertinggi dari jawaban S (Sering)
dengan jumlah 53,33% (16 responden), kemudian disusul oleh jawaban KK (Kadang-Kadang)
dengan jumlah 36,67% (8 responden), jawaban SS (Sangat Sering) dengan jumlah 16,67% (5
responden) dan jawaban TP (Tidak Pernah) berjumlah 3,33% (1 responden), sedangkan untuk
jawaban STP (Sangat Tidak Pernah) memperoleh persentase 0% (0 responden). Hal ini
menggambarkan bahwa pegawai mampu menyelesaikan pembuatan paspor tepat waktu.
Pertanyaan ketiga membahas mengenai kemudahan akses menuju Lokasi Kantor Imigrasi Kelas
II Tanjung Balai. Sebanyak 70% (21 responden) menyatakan S (Sering), adapun yang memilih
jawaban SS (Sangat Sering) berjumlah 30% (9 responden), sedangkan untuk jawaban KK
(Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah) dan STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing
memperoleh persentase 0% (0 responden). Ini menggambarkan bahwa lokasi Kantor Imigrasi
Kelas II Tanjung Balai mudah dijangkau oleh masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan kepastian waktu pelayanan, persentase tertinggi
untuk jawaban dari pertanyaan ini diperoleh pada jawaban TP (Tidak Pernah) dengan jumlah
53,33% (16 responden), kemudian jawaban KK (Kadang-Kadang) dengan jumlah 33,33% (10
responden) dan jawaban S (Sering) berjumlah 13,33% (4 responden), sedangkan untuk jawaban
SS (Sangat Sering) dan STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0%
(0 responden). Ini artinya pegawai Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai masih tidak selalu ada
pada saat jam kerja. Pertanyaan terakhir adalah mengenai hasil akhir pembuatan paspor yang
diterima oleh masyarakat. Untuk pertanyaan ini persentase tertinggi diperoleh dari jawaban SS
(Sangat Sering) dengan jumlah 76,67% (23 respondenn) dan jawaban S (Sering) dengan jumlah
64
Universitas Sumatera Utara

23,33% (7 responden), sedangkan untuk jawaban KK (Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah) dan
STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0% (0 responden). Hal ini
membuktikan bahwa responden merasa puas dengan hasil akhir pembuatan paspor yang mereka
terima.
4.1.2

Keadilan
Pada indikator keadilan, berdasarkan jawaban dari 30 responden pada pertanyaan

pertama mengenai pelayanan yang dilakukan berdasarkan nomor antrian, sebanyak 83,33% (25
responden) memilih jawaban SS (Sangat Sering) dan 16,67% (5 responden) memilih jawaban S
(Sering), sedangkan untuk jawaban KK (Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah) dan STP (Sangat
Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0% (0 responden). Hal ini membuktikan
bahwa dalam proses pengurusan paspor pelayanan dilakukan berdasarkan nomor antrian.
Pertanyaan kedua mengenai pelayanan pegawai yang merata dan tidak ada diskriminasi,
persentase tertinggi diperoleh dari jawaban TP (Tidak Pernah) dengan jumlah persentrase 70 %
(21 responden), kemudian jawaban KK (Kadang-Kadang) dengan jumlah 23,33% (7 responden)
dan jawaban S (Sering) dengan jumlah 6,67% (2 responden), sedangkan untuk jawaban SS
(Sangat Sering) dan STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0% (0
responden). Hal ini menggambarkan bahwa pegawai Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai
belum memberikan pelayanan yang merata kepada masyarakat dalam hal pengurusan paspor.
Pertanyaan selanjutnya berkenaan dengan pegawai dalam memberikan pelayanan kepada
kerabat dan keluarga, diperoleh persentase tertinggi dari jawaban TP (Tidak Pernah) dengan
jumlah 73,33% (22 responden), kemudian jawaban S (Sering) dan KK (Kadang-Kadang)
masing-masing 10% (3 responden), untuk jawaban STP (Sangat Tidak Pernah) berjumlah 6,67%
65
Universitas Sumatera Utara

(2 responden), sedangkan untuk jawaban SS (Sangat Sering) dan memperoleh persentase 0% (0
responden). Hal ini juga membuktikan bahwa pegawai Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai
masih sering mendahulukan kerabat dan keluarga dalam pelayanan paspor. Pertanyaan keempat
mengenai ketersediaan tempat khusus untuk menerima keluhan masyarakat. Berdasarkan hasil
yang diperoleh dari lapangan, persentase tertinggi berasal dari jawaban SS (Sangat Sering)
dengan jumlah 66,67% (20 responden) dan jawaban S (Sering) dengan jumlah 33,33% (10
responden), sedangkan untuk jawaban KK (Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah), STP (Sangat
Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0% (0 responden). Artinya, pihak Kantor
Imigrasi Kelas II Tanjung Balai sudah menyediakan tempat khusus untuk menerima keluhan dan
aspirasi dari masyarakat. Pertanyaan terakhir berkaitan dengan transparansi pegawai dalam
menjelaskan kepastian biaya, waktu, prosedur teknis dan administrasi dalam pembuatan paspor.
Persentase tertinggi dari jawaban untuk pertanyaan ini diperoleh dari jawaban S (Sering) dengan
jumlah 43,33% (13 responden), kemudian jawaban SS (Sangat Sering) dengan jumlah 33,33%
(10 responden) dan jawaban KK (Kadang-Kadang) dengan jumlah 23,33% (7 responden),
sedangkan untuk jawaban TP (Tidak Pernah) dan STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing
memperoleh persentase 0% (0 responden). Ini artinya pegawai sudah cukup terbuka dalam
menjelaskan kepastian biaya, waktu, prosedur teknis dan administrasi kepada masyarakat dalam
pembuatan paspor.
4.1.3

Daya Tanggap
Indikator daya tanggap merupakan indikator terakhir dalam mengukur Kualitas

Pelayanan Pengadaan Paspor di Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai. Berdasarkan jawaban
dari 30 responden pada pertanyaan pertama mengenai kecepat tanggapan pegawai dalam
memberikan pelayanan paspor kepada masyarakat, maka diperoleh persentase tertinggi pada
66
Universitas Sumatera Utara

jawaban S (Sering) dengan jumlah 43,33% (13 responden), kemudian jawaban SS (Sangat
Sering) dengan jumlah 33,33% (10 responden) dan untuk jawaban KK (Kadang-Kadang) dengan
jumlah 23,33% (7 responden), sedangkan untuk jawaban TP (Tidak Pernah) dan STP (Sangat
Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0% (0 responden). Hal ini menunjukkan
bahwa pegawai Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai sudah cukup cepat tanggap dalam
memberikan respon kepada masyarakat terkait dengan pelayanan pembuatan paspor. Pertanyaan
kedua untuk indikator keadilan ini adalah berkaitan dengan kesederhanaan prosedur yang
diberikan pegawai. Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan, persentase tertinggi berasal
dari jawaban SS (Sangat Sering) dengan jumlah 70% (21 responden) dan jawaban S (Sering)
dengan jumlah 30% (9 responden), sedangkan untuk jawaban KK (Kadang-Kadang), TP (Tidak
Pernah) dan STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0% (0
responden). Hal ini menggambarkan bahwa prosedur yang diberikan pegawai dalam pelayanan
paspor kepada masyarakat sudah mudah dipahami oleh masyarakat. Pertanyaan ketiga mengenai
perhatian yang diberikan pihak kantor bagi penyandang disabilitas dengan jumlah persentase
tertinggi untuk jawaban SS (Sangat Sering) yang berjumlah 63,33% (19 responden), kemudian
untuk jawaban S (Sering) dengan jumlah 36,37% (11 responden), sedangkan untuk jawaban KK
(Kadang-Kadang), TP (Tidak Pernah) dan STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing
memperoleh persentase 0% (0 responden). Hal ini menunjukkan bahwa pihak Kantor Imigrasi
Kelas II Tanjung Balai memberikan perhatian lebih kepada masyarakat penyandang disabilitas.
Pertanyaan selanjutnya adalah berkaitan dengan pegawai tidak pernah menunda-nuda
peayanan. Hasil persentase tertinggi diperoleh dari jawaban SS (Sangat Sering) dengan jumlah
66,67% (20 responden), kemudian untuk jawaban S (Sering) berjumlah 30% (9 responden) dan
jawaban KK (Kadang-Kadang) dengan jumlah 3,33% (1 responden), sedangkan untuk jawaban
67
Universitas Sumatera Utara

TP (Tidak Pernah) dan STP (Sangat Tidak Pernah) masing-masing memperoleh persentase 0%
(0 responden). Ini membuktikan bahwa pegawai Kantor Imigrasi Kelas II Tanjung Balai sudah
tidak pernah menunda-nunda pelayanan pembuatan paspor yang diberikan kepada masyarakat.
Selan