Hubungan antara Spiritualitas dengan Pro

HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL SKRIPSI

Oleh:

ARDIMAN ADAMI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006

HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL SKRIPSI

Diajukan Kepada Program Studi Psikologi

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Oleh:

ARDIMAN ADAMI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006

HALAMAN PENGESAHAN

Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Pada Tanggal

Mengesahkan, Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Ketua Program Studi

Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si.

Dewan Penguji Tanda Tangan

1. Rr. Indah Ria Sulistiyorini, S.Psi., Psi.

2. Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S.Psi., M.Si.

3. Dr. Sukarti

HALAMAN PERNYATAAN

Bersama ini saya menyatakan bahwa selama melakukan penelitian dan dalam membuat laporan penelitian, tidak melanggar etika akademik, seperti penjiplakan, pemalsuan data, dan manipulasi data. Apabila di kemudian hari saya terbukti melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima konsekuensi berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Yang menyatakan,

Ardiman Adami

Syair

Sabtu, 27 Mei

Siang dan malam semuanya menatap utara siapa yang pernah menyangka selatan justru mengguncangkan bencana

Sekian ribu nyawa melayang dalam cekam rumah-rumah dan gedung berdebam desa dan kota tinggallah puing reruntuhan

Duhai jiwa yang pagi-pagi tersentak derita masihkah cermin tak retak untuk berkaca bagi langkah yang limbung tak lagi gempa

AM Azzet

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Risalah ini kutulis buat jiwa yang merengkuh jiwaku, buat segumpal hati yang mengalirkan rahasia-rahasianya ke dalam hatiku, buat jemari yang menyalakan bara kasihku.” (Kahlil Gibran)

Ibunda dan Ayahanda tercinta: Rusniah dan Adami...

“Selaksa sujud Ananda buat orang yang telah memberikan nafas kasih kehidupannya, belaian sayang dan dekapan ketulusannya, pengorbanan serta untaian doa restu yang dialirkan dalam setiap detik nafas kehidupannya untuk merajut benang kehidupan menjadi lembaran-lembaran kesuksesan.”

Kakak-kakakku terkasih: Arman, Arniawati, dan Aryani...

“Hamparan kecintaan, kesabaran dan kekagumannya telah memberikan motivasi bagi saya dalam meraih impian dan menggapai cita-cita.”

Teman-teman seperjuangan di Imamupsi...

“Terbanglah dengan sayap keilmuan, naiki tangga-tangga ketuhanan, nikmati indahnya kebersamaan, genggam erat persaudaraan.”

Kekasihku yang selalu istimewa: Dinda...

“Engkaulah yang telah menghidupkan relung-relung jiwa, meniupkan gairah kehidupan ke dalam dada, teman berbagi cerita dalam suka maupun duka untuk meniti jalan panjang kehidupan bersama.”

HALAMAN MOTTO

#Zô£ç„ 9ô£ãã y‰÷èt/ ª!$# ã≅yèôfuŠy™ 4 $yγ8s?#u™ !$tΒ ωÎ) $²¡øtΡ ª!$# ß#Ïk=s3ムŸω

“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq [65]: 7)

Take time to THINK. It is the source of power. Take time to READ. It is the foundation of wisdom. Take time to QUITE. It is the opportunity to seek God. Take time to DREAM. It is the future made of.

Take time to PRAY. It is the greatest power on earth. (Author Unknown)

PRAKATA

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Seiring dengan tumbuh dan berseminya bunga kebahagiaan di hati, tiada yang lebih tepat untuk mewakili bahasa nurani, kecuali puji syukur ke hadirat ILLAHI ROBBI atas petunjuk serta tuntunan-Nya selama ini, sehingga saya tegar meniti jalan panjang kehidupan, melewati hamparan padang ujian dan jurang- jurang romantika kehidupan untuk merengkuh cita-cita masa depan. Untaian salam dan sanjungan shalawat sudah sepantasnya dihaturkan kepada Nabi agung, penyampai risalah kebenaran, panutan kemuliaan, Rasulallah Muhammad SAW putra Abdullah, buah hati Aminah.

Bantul berduka. Ketika orang-orang sibuk, juga cemas, siang-malam menunggu dan mewaspadai letusan Gunung Merapi, tiba-tiba kita dikejutkan oleh musibah yang jauh lebih dramatis: gempa bumi! Padahal, tak ada isyarat apapun dari alam ketika itu. Bencana itu pun meninggalkan kesedihan, penderitaan, juga kerugian. Kita bisa menyaksikan wajah-wajah para korban tampak murung, putus asa. Leleh air mata tiada henti mengalir.

Guncangan hebat berkekuatan 6,2 skala Richter itu merupakan peristiwa traumatis terburuk yang pernah menimpa Yogyakarta. Syukur tidak disertai tsunami. Namun, sekian ribu nyawa melayang dalam cekam. Rumah-rumah luluh lantak, rata dengan tanah. Jerit dan tangis bersahutan, sungguh memilukan. Masikah ada ‘cahaya’ bagi asa yang nyaris tenggelam?

Pasca gempa memang masih menyesakkan dada. Peristiwa memilukan tersebut menyisakan berbagai kondisi yang sungguh memprihatinkan. Tidak hanya luka fisik, para korban pun mengalami gangguan psikologis yang berdampak pada kondisi psikis dan spiritual mereka. Mereka cenderung mengalami masalah penyesuaian perilaku dan emosional.

Penanganan korban stres akibat gempa memang tidak mudah. Pengalaman traumatis telah mengguncangkan pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Karena itu, saya merasa perlu mengangkat tema “ Hubungan antara Spiritualitas dengan Proactive Coping pada Survivor Bencana Gempa Bumi di Bantul ” untuk diteliti.

Harapannya, penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap proses rehabilitasi psikologis pada survivor bencana gempa bumi. Selain itu, penelitian ini dapat pula menjadi masukan yang berarti bagi para relawan atau siapapun untuk melibatkan pendekatan psikologis dan spiritual dalam penanganan masalah pada survivor bencana gempa bumi.

Ibarat musafir di padang sahara yang menemukan air pelepas dahaga, mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kebahagiaan saya setelah berhasil menyelesaikan skripsi ini. Betapa tidak, skripsi ini bukan yang pertama. Saya pernah gagal menyelesaikan skripsi dengan tema lain. Agaknya, benar kata orang bijak, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.

Saya menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak bisa terselesaikan dengan baik manakala tidak mendapatkan dorongan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses ini. Karena itu, sudah selayaknya saya secara khusus mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, yang juga telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Arief Fahmie, S.Psi., M.A., Psikolog, dan Ibu Hj. Ratna Syifa’a Rahmahana, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik, yang dengan kesabarannya memberikan dukungan dan semangat kepada saya untuk segera menyelesaikan skripsi.

4. Ibu Rr. Indah Ria Sulistyorini. S.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing, yang dengan ketulusan dan kesabarannya memberikan arahan dan bimbingan yang luar biasa kepada saya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dalam kurun waktu yang relatif cepat.

5. Kedua orangtua saya; Rusniah dan Adami, atas sujud panjang dan lantunan doa yang senantiasa menyertai saya. Kakak-kakak saya; Arman, Atha, dan Ani, serta keponakan saya; Farid, atas pengertian dan kesabarannya untuk menunggu saya menyelesaikan kuliah. Mohon maaf atas keterlambatan ini. Mudah-mudahan saya bisa selalu memberikan yang terbaik.

6. Dosen dan karyawan Program Studi Psikologi FPISB UII; Bu Sukarti, Bu Uly, Bu Utami, Bu Emi, Bu Yuli, Bu Mira, Bu Miftah, Pak Bachtiar, Pak Irwan, Pak Sus, Pak Sonny, Pak Bagus, Pak Sumaryono, Pak Fauzil, Pak Kuncoro, Pak Sentot, Pak Farid, Pak Sukirno, Mbak Mus, Mbak Tiwi, Mas Wid, Mas Feri, Pak Arif, Pak Sumino, Pak Zainal, Pak Imron, dan Mas Tamid, yang telah menjadi bagian penting selama proses saya menuntut ilmu di sini.

7. Warga Bantul di Dusun Blunyahan, Pendowoharjo, Sewon; Dusun Ngentak, Wijirejo, Pandak; Dusun Prayan, Srimulyo, Piyungan; Desa Priyan, Trirenggo; Dusun Plebengan, Sidomulyo, Bambanglipuro; Dusun Turi, Sidomulyo, Bambanglipuro; dan Desa Karanggayam, Bantul, yang bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi angket penelitian saya. Mugi Gusti Allah tansah paring kanugerahan dumateng panjenengan sedoyo .

8. Teman-teman yang mau membantu kelancaran penelitian ini; Ravi, Eko, Pandu, Ayu, Angga, Anwar, Nico, Taufik, Keristo, Al-Husna, Mas Budi, Mas Soleh, Mas Rizky, dan Jo, serta adik-adik saya; Henny, Chika, Evi, dan Nunuy. Dukungan dan bantuan kalian sangat berarti bagi saya.

9. Saudara dan adik-adik saya di Imamupsi UII; Finta, Laras, Eko, Nita, Ikhwan, Anton, Hariz, Elin, Galuh, Tina, Rulan, Mamat, Asri, Vista, Ajie, Yanti, Dessi, Ema, Nana, Ria, Syuhada, Ardian, Shinta, Ermi, Metha, dan kawan-kawan, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Perjuangan ini belum berakhir. Keep the spirit of creative !

10. Teman-teman KKN Angkatan 29 Unit SL-60; Arif, Jack, Fadhil, Yudi, Yunan, Nino, Danang, Sita, Uut, Ajeng, Jatu, Septin. Akhirnya, saya bisa juga menyusul kalian menjadi sarjana.

11. Warga Sporty Community; Pak Bingar dan keluarga, Bang Sandra, Ipunk, Boy, Zoon, Bang Didit, Mas Eko, Edi, Mas Dedy, Bang Nandar, Mas Yudi, Gusta, Udin, Ifan, Yusuf, Rio, dan Risky, yang telah berbagi keceriaan sehingga saya bisa melupakan sejenak kepenatan yang ada.

12. Serta siapa saja yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu, yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Semoga segala amal baik yang telah kalian berikan mendapatkan keridhaan dan balasan yang setimpal dari Allah ‘Azza wa jalla . Mahabenar Allah dalam firman-Nya: “ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. ” (QS. Al-Zalzalah [99]: 7)

Kritik dan saran apapun yang sifatnya membangun sangat saya harapkan sebagai masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, mudah-mudahan skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua. Amin. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 6 Desember 2006

Ardiman Adami

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1: Distribusi Item Skala Spiritualitas Sebelum Uji Coba .................

52 Tabel 2: Distribusi Item Skala Proactive Coping Sebelum Uji Coba ........

54 Tabel 3: Distribusi Item Skala Spiritualitas Setelah Uji Coba ...................

60 Tabel 4: Distribusi Item Skala Proactive Coping Setelah Uji Coba ..........

61 Tabel 5: Deskripsi Subjek Penelitian ........................................................

62 Tabel 6: Deskripsi Data Penelitian ...........................................................

63 Tabel 7: Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Spiritualitas ..................

64 Tabel 8: Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Proactive Coping ..........

65

HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL

Ardiman Adami Rr. Indah Ria Sulistyorini INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Semakin tinggi tingkat spiritualitas survivor gempa, semakin baik proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat spiritualitas survivor gempa, semakin buruk proactive coping yang dilakukannya.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 92 orang adalah warga Bantul yang menjadi survivor bencana gempa bumi pada 27 Mei 2006 lalu. Adapun skala yang digunakan adalah Skala Proactive Coping pada Survivor Gempa yang mengacu pada Proactive Coping Inventory (Greeanglass, 2002). Skala ini terdiri atas enam aspek, yaitu proactive coping , reflective coping , strategic planning , preventive coping , instrumental support seeking , dan emotional support seeking yang dikemukakan oleh Greenglass (2001). Koefisien reliabilitas ( α) skala proactive coping sebesar 0,909 dan memiliki korelasi item-total bergerak yang dari 0,253-0,772. Sementara Skala Spiritualitas yang digunakan mengacu pada Spiritual Transendence Scale (Piedmont, 1999). Skala ini terdiri atas tiga aspek, yaitu prayer fulfillment (pengamalan ibadah), universality (universalitas), dan connectedness (keterkaitan) yang dikemukakan oleh Piedmont (2001). Koefisien reliabilitas ( α) skala spiritualitas sebesar 0,933 dan memiliki korelasi item-total yang bergerak dari 0,268-0,789.

Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi product moment Pearson melalui prosedur bivariate correlation dari komputer program SPSS 12.0 for Windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kedua variabel. Analisis data menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan sebesar 0,741 (p = 0,000 atau p < 0,01), dengan sumbangan efektif sebesar 54,9 %. Hal ini berarti, baik atau buruknya proactive coping pada survivor gempa dipengaruhi oleh tingkat spiritualitas individu, di mana spiritualitas memiliki peranan sebesar 54,9 % terhadap proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul.

Kata Kunci: Spiritualitas, Proactive Coping , Survivor Gempa

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Bencana gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter telah mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/05/2006) pukul 05:53 WIB. Bencana ini merupakan peristiwa katastropik dan traumatis terburuk yang pernah terjadi di Indonesia, setelah bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan Sumatrera Utara di penghujung Desember 2004 yang menewaskan sekitar 170.000 jiwa ( Kompas , 28/05/2006).

Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta kali ini telah menewaskan lebih dari 6.000 jiwa serta meluluhlantakkan ribuan bangunan, infrastruktur, dan memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul. Khusus wilayah Bantul, sebanyak 4.143 korban tewas dan 779.287 jiwa lainnya harus tinggal di tenda-tenda pengungsian. Adapun kerusakan rumah warga yang ditimbulkan oleh gempa adalah sebanyak 71.763 unit roboh, 71.372 unit rusak berat/sedang, serta 73.669 unit rusak ringan (http://www.portalinfaq.org).

Pasca-bencana tersebut menyisakan berbagai kondisi yang sungguh memprihatinkan. Selain menderita luka fisik, para korban yang selamat ( survivor ) juga mengalami gangguan psikologis yang berdampak pada kondisi psikis dan spiritual mereka. Banyak analisis telah memaparkan berbagai hal tentang realitas bencana yang terjadi hingga rencana ke depan dalam membangun kembali daerah gempa dari keterpurukan. Untuk rehabilitasi tersebut, tentunya tidak lepas dari pemahaman yang kongkrit mengenai kondisi wilayah dan masyarakat yang meliputi kondisi pra-bencana dan pasca-bencana. Dalam hal ini, tentunya penting Pasca-bencana tersebut menyisakan berbagai kondisi yang sungguh memprihatinkan. Selain menderita luka fisik, para korban yang selamat ( survivor ) juga mengalami gangguan psikologis yang berdampak pada kondisi psikis dan spiritual mereka. Banyak analisis telah memaparkan berbagai hal tentang realitas bencana yang terjadi hingga rencana ke depan dalam membangun kembali daerah gempa dari keterpurukan. Untuk rehabilitasi tersebut, tentunya tidak lepas dari pemahaman yang kongkrit mengenai kondisi wilayah dan masyarakat yang meliputi kondisi pra-bencana dan pasca-bencana. Dalam hal ini, tentunya penting

Penanganan stres pada survivor akibat gempa di Yogyakarta memang tidak mudah. Pengalaman traumatis karena gempa telah menggoncangkan dan melemahkan pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari-hari. Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik dan mental, aspek kepribadian masing-masing survivor tidak sama.

Masyarakat yang menjadi survivor dari suatu bencana cenderung memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh survivor tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka. Kejadian gempa di Yogyakarta menjadi beban dan tekanan tersendiri bagi para survivor karena musibah ini baru pertama kali dialami dan merupakan kejadian yang tidak terduga sama sekali.

Bagi sebagian orang yang luput dari maut, menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat gempa adalah hal yang menyakitkan dan sulit dilakukan. Meski terasa lebih ringan karena bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang begitu mendadak dan dianggap bernilai karena mencakup penghidupan selanjutnya, cukup sulit untuk diterima. Hal ini terlihat pada beberapa survivor gempa yang belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan rumah dan sanak keluarga. Mereka masih merasa bahwa segalanya baik-baik saja, sikap mudah tersinggung bila orang bertanya mengenai gempa atau kondisi dirinya setelah gempa terjadi, menjadi mudah marah akan hal-hal kecil, kehilangan semangat untuk hidup, dan menjadi terlalu pasrah akan kehidupan (fatalistik).

Ketika melakukan pendampingan psikologis kepada beberapa survivor di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta (18-20/06/2006), penulis melihat langsung kondisi mereka. Korban luka di rumah sakit tersebut banyak yang mengalami berbagai tekanan psikologis sekaligus rasa sakit yang mendalam. Kehilangan anggota keluarga telah membuat luka psikis yang dalam. Apalagi kejadiannya begitu mendadak dan mereka menyaksikan langsung anggota keluarga yang luka maupun meninggal. Kehilangan tempat tinggal juga merupakan pukulan berat bagi mereka yang harus menyaksikan rumahnya yang dibangun dengan berbagai usaha hancur berantakan. Ada yang dengan menabung selama bertahun-tahun, hasil bekerja di luar kota maupun luar negeri, bahkan dengan pinjaman bank yang belum lunas.

Seminggu setelah bencana gempa (07/06/2006), penulis juga sempat mewawancarai beberapa warga di Pedukuhan Jombok, Desa Sumbermulyo, Bantul. Bagi beberapa survivor , kehilangan rumah yang roboh bukan sekedar kehilangan fisik bangunan semata, akan tetapi kehilangan kenangan dan sejarah. Hal ini terjadi karena banyak rumah yang sudah berumur puluhan tahun yang mempunyai nilai sejarah bagi penghuninya. Kehilangan rumah dan anggota keluarga serta masa depan yang tidak menentu membuat tekanan psikologis yang berat. Kondisi ini diperparah dengan adanya tindak pencurian dan penjarahan di tengah bencana yang membuat mereka marah dan menghancurkan kepercayaan terhadap sesama. Begitu pula dengan distribusi bantuan yang kurang merata membuat emosi mereka mudah tersulut.

Hasil observasi kondisi psikologis survivor yang berhasil dihimpun Tim Relawan PULIH dan RIFKA ANNISA di beberapa daerah pasca-gempa bumi di Yogyakarta (2-9/06/2006) menunjukkan kondisi yang cukup serius. Masalah- Hasil observasi kondisi psikologis survivor yang berhasil dihimpun Tim Relawan PULIH dan RIFKA ANNISA di beberapa daerah pasca-gempa bumi di Yogyakarta (2-9/06/2006) menunjukkan kondisi yang cukup serius. Masalah-

1. Keputusasaan. Rasa putus asa dialami oleh beberapa anggota masyarakat karena melihat tumpukan reruntuhan yang begitu parah dan mereka bingung harus memulai dari mana untuk menata kembali kehidupan mereka. Kondisi ini menyebabkan mereka merasa tidak berdaya.

2. Marah kepada Tuhan. Hal ini disebabkan oleh adanya perasaan ketidakadilan Tuhan terhadap mereka karena kenapa Tuhan menurunkan musibah yang begitu besar kepada mereka. Apalagi sehari pasca gempa, hujan turun selama tiga hari berturut-turut. Hujan itu telah menghancurkan sebagian harta benda mereka yang tertimbun puing-puing. Selain itu, beberapa dokumen penting, seperti ijazah anak-anak mereka hanyut dan hancur. Padahal, menurut mereka, selama ini mereka tidak melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan, bahkan kelompok pengajian berjalan rutin.

3. Individualistis. Sikap ini muncul dari orang-orang yang merasa dirinya memiliki status sosial lebih baik dari orang lain. Seperti yang dulunya kaya, mereka tidak mau satu tenda dengan orang-orang yang tidak sama status sosial dengan dirinya. Hal ini dapat dilihat dari pengelompokkan diri mereka pada tenda-tenda tertentu atau mereka umumnya lebih memilih tinggal di tenda pribadi dan tidak mau bergabung dengan orang lain.

4. Perasaan jenuh, bosan, dan lelah. Perasaan jenuh dan bosan terjadi karena mereka sudah beberapa hari tidur di tenda dan mereka tidak melakukan aktifitas lain, seperti bekerja. Mereka hanya menggantungkan hidupnya pada logistik yang diberikan oleh para donatur. Mereka tidak tahu sampai kapan mereka hidup di tenda-tenda tersebut dengan kondisi yang sangat terbatas.

Sedangkan perasaan lelah terjadi karena sebagian masyarakat sudah mulai membersihkan puing-puing reruntuhan rumah mereka, baik secara individual maupun secara bersama-sama dengan kepala keluarga yang lain. Selain lelah fisik, beberapa di antara mereka mengalami lelah secara psikis. Kondisi ini terjadi karena mereka melihat orang-orang di sekelilingnya sudah mulai membersihkan reruntuhan rumahnya, sementara beberapa masyarakat belum mampu berbuat apa-apa karena faktor tenaga dan biaya yang tidak memungkinkan. Hal tersebut terpikirkan terus oleh orang tadi dan akhirnya menimbulkan kelelahan secara psikis.

5. Beberapa anak menjadi pendiam dan jarang sekali berbicara dan tertawa. Menurut informasi dari ibunya, anak tersebut mengalami perubahan sikap sejak gempa terjadi. Menurut ibunya, mungkin hal ini disebabkan karena anak itu satu-satunya anggota keluarga yang tertimbun reruntuhan dan berada di dalam rumah pada saat gempa terjadi.

6. Orangtua menjadi kurang memperhatikan anak-anaknya karena mereka masih sibuk membersihkan reruntuhan rumahnya yang roboh. Anak-anak mereka kadangkala dibiarkan saja dengan kondisinya, seperti diam, bermain sendiri, atau menangis.

7. Trauma tidak mau masuk rumah atau bangunan, meskipun bangunan atau rumah itu termasuk aman (tidak roboh) dan masih layak digunakan. Hal ini dirasakan oleh anak-anak dan ibu-ibu. Mereka lebih memilih tinggal di tenda pengungsian atau kandang hewan ternak yang sudah dibersihkan.

8. Anak-anak menjadi penakut, misalnya mereka tidak mau ditinggal sendiri oleh ibunya. Kalau ditinggal, mereka selalu menangis dan berteriak-teriak (http://www.echoprojects.com).

Berbagai masalah tersebut di atas sangat sering ditemui pada survivor bencana alam di mana saja. Apalagi datangnya bencana tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Gejala-gejala stres yang muncul pasca-bencana adalah reaksi wajar dari pengalaman yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dialami. Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mu’tadin, 2002).

Menurut Lazarus (Taylor, 1995), cara untuk mengatasi permasalahan kehidupan adalah dengan jalan mengatur berbagai sumber masalah berdasarkan potensi yang dimilikinya. Artinya, individu akan memilih kemampuannya yang tepat dalam menghadapi masalah yang menekannya. Perilaku inilah yang biasa disebut sebagai coping .

Dalam menghadapi masalah, coping yang dilakukan oleh masing-masing individu sangat beragam. Setelah gempa mengguncang Bantul, tidak semua warga yang menjadi survivor langsung bergerak membersihkan puing-puing rumah mereka yang roboh. Sebagian orang terlihat duduk termenung memandangi rumah mereka yang hancur. Seolah mereka belum dapat menerima kenyataan tersebut. Namun demikian, tidak sedikit pula warga yang segera mendirikan tenda beratap plastik dan kain batik sekedar untuk tempat berteduh.

Di Pedukuhan Suko, Desa Karang Asem, Kecamatan Pundong, Bantul, terdapat kandang sapi milik seorang warga yang sudah beralih fungsi menjadi tempat tinggal sementara. Sejak malam pertama setelah gempa, anak-anak, ibu- ibu rumah tangga, dan perempuan lanjut usia, menghabiskan malam dengan bau kotoran sapi. Sementara kaum laki-laki memberanikan diri tidur di pelataran rumah yang rusak berat. Sebenarnya sudah ada sumbangan tenda, tetapi belum mencukupi untuk semua warga. Pamong desa setempat tidak mau mengambil risiko membagikannya. Mereka khawatir dapat memicu kecemburuan karena tidak semua warga kebagian tenda ( Tempo , 11 Juni 2006).

Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi semuanya bermuara pada kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah secara lebih realistis. Tentu saja hal tersebut harus segera dicari pola penanganan dalam bentuk perilaku coping yang efektif agar masalahnya tidak berlarut-larut. Dalam hal ini, para survivor gempa dituntut untuk memiliki kemampuan proactive coping yang baik untuk keluar dari tekanan psikis yang dialami dan menata kembali kehidupan mereka pasca-bencana berdasarkan tujuan hidup yang hendak dicapai.

Greenglass (2001) mengungkapkan bahwa secara teoritis, proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu, di mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya. Lebih lanjut menurut Greenglass, dkk. (1999), proactive coping ditunjukkan dengan tiga hal utama, yaitu:

1. Kemampuan untuk mengintegrasikan rencana, strategi-strategi preventif

dengan cara proaktif untuk pengaturan diri dalam rangka mencapai tujuan.

2. Kemampuan untuk melakukan identifikasi dan menggunakan sumber-sumber sosial dalam rangka mencapai tujuan secara proaktif.

3. Menggunakan penyelesaian masalah secara emosional dengan proaktif untuk pengaturan diri dalam rangka mencapai tujuan.

Proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul berkisar pada usaha untuk menata kembali kehidupan mereka, seperti membangun rumah seadanya, sampai mencari dukungan emosional untuk mengurangi tekanan psikis yang mereka alami. Sampai saat penelitian ini dilakukan, masih ada warga yang tinggal di tenda-tenda ataupun di rumah gedheg (rumah bambu sementara). Bantuan dana rekonstruksi dan rehabilitasi untuk membangun kembali rumah warga korban gempa bumi di Yogyakarta belum sepenuhnya diterima. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadikan warga berdiam diri. Keterbatasan biaya dan tenaga tidak menghalangi mereka untuk membangun kembali rumah mereka yang rusak akibat gempa.

Seperti yang dilakukan oleh Kasidi dan Parjinah (bukan nama sebenarnya). Warga Dusun Prayan, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul ini mulai membangun kembali rumah mereka dari puing-puing bangunan yang ada. Dengan kayu sisa dan batu bata yang tak utuh, pasangan suami istri ini mencoba membangun tempat tinggal di bekas tapak rumah mereka yang ambruk karena gempa. Sejak gempa bumi yang menghancurkan rumahnya tiga bulan lalu, keluarga Kasidi terpaksa tinggal di tenda. Meskipun rumah yang mereka bangun dari uang simpanan dan sumbangan dermawan itu hanya bertiang kayu dan berdinding gedhek (anyaman bambu).

Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar warga Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Mereka bersyukur masih diberi keselamatan, sehingga menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan serta menyadari berbagai dosa dan kesalahan yang telah diperbuat selama ini. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta (Maarif, 2006).

Kenyataan tersebut mengingatkan bahwa manusia adalah satu kesatuan utuh yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial, dan spiritual). Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para survivor bencana gempa bumi di Bantul.

Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional ( motivational trait ); kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Richards, dkk. (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran ketuhanan ( universal order ).

Sementara itu, Elkins, dkk. (Smith, 1994) mengungkapkan bahwa spiritualitas merupakan jalan untuk menjadi dan mengalami kesadaran spiritual Sementara itu, Elkins, dkk. (Smith, 1994) mengungkapkan bahwa spiritualitas merupakan jalan untuk menjadi dan mengalami kesadaran spiritual

Sementara itu bagi seorang muslim, spiritualitas adalah perasaan tunduk dan berserah diri pada Sang Pencipta; pada kekuasaan dan ilmu-Nya, yang muncul lantaran kesadarannya terhadap hubungannya dengan Tuhan. Spiritualitas yang meningkat akan menjadikan seorang muslim senantiasa hidup dalam suasana iman. Dia pun akan semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya. Dia akan semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Selain itu, spiritualitas seorang muslim akan menimbulkan rasa takut kepada Allah ( khasyiatullah ). Rasa takut tersebut menjadikannya memiliki kekuatan dan ketegaran yang luar biasa (http://www.hizbut-tahrir.or.id).

Menurut Nashir (2006), seorang muslim yang bertauhid akan memaknai bencana sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Meskipun boleh jadi bencana tersebut terdapat dimensi azab (siksa) Tuhan di dalamnya, terutama dalam menghukum perilaku manusia yang merusak ( fasad ) di alam semesta. Sebuah musibah tentu selalu memerlukan kepasrahan iman dalam sabar dan tawakal, juga hikmah bagi kehidupan. Para survivor gempa tak boleh berlama- lama dalam duka dan nestapa karena jalan hidup masih terbuka dan dibukakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, sebagai sebuah musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul?”

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris ada atau tidaknya hubungan antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah kajian spiritualitas dalam hubungannya dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul, serta memberi wacana baru bagi khasanah pengembangan kajian psikologi Islami, khususnya usaha yang berkenaan dengan peningkatan spiritualitas, serta memberi informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas spiritual dan dinamika pembentuknya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap proses rehabilitasi psikologis pada survivor gempa di Bantul. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan yang berarti bagi para relawan dan konselor untuk melibatkan pendekatan psikologis dan spiritual dalam penanganan masalah pada survivor gempa di Bantul.

D. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang proactive coping belum banyak dilakukan. Pandu (2006) meneliti hubungan antara kematangan emosi dengan proactive coping pada mahasiswa berorganisasi. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dalam hal variabel tergantung serta teori dan alat ukur penelitian, yaitu proactive coping yang mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Greenglass (2001). Perbedaannya terletak pada variabel bebas dan subjek penelitian. Variabel bebas dalam penelitian tersebut adalah kematangan emosi, sedangkan penulis akan menggunakan spiritualitas sebagai variabel bebas. Adapun subjek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswa yang aktif pada Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia, sedangkan subjek dalam penelitian penulis adalah survivor bencana gempa bumi di Bantul.

Nisa’ (2006) meneliti proactive coping mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir ditinjau dari self-efficacy . Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dalam hal variabel tergantung serta teori dan alat ukur penelitian, yaitu proactive coping yang mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Greenglass (1999). Perbedaannya terletak pada variabel bebas dan subjek penelitian. Variabel bebas dalam penelitian tersebut adalah self-efficacy , sedangkan penulis akan menggunakan spiritualitas sebagai variabel bebas. Adapun subjek dalam penelitian tersebut adalah mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang sedang mengerjakan tugas akhir, sedangkan subjek dalam penelitian penulis adalah survivor bencana gempa bumi di Bantul.

Penelitian lain yang menggunakan proactive coping sebagai salah satu variabel penelitian juga dilakukan di luar negeri. Greenglass (2001) meneliti hubungan antara proactive coping dengan stres kerja ( burnout ). Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dalam hal variabel tergantung serta teori dan alat ukur penelitian, yaitu proactive coping yang mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Greenglass (1999) berdasarkan teori Aspinwall & Taylor (1997). Perbedaannya terletak pada variabel bebas dan subjek penelitian. Variabel bebas dalam penelitian tersebut adalah stres kerja ( burnout ), sedangkan variabel bebas yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah spiritualitas. Adapun subjek dalam penelitian tersebut adalah para pekerja di sebuah kota besar di Kanada, sedangkan subjek dalam penelitian penulis adalah survivor bencana gempa bumi di Bantul.

Schwarzer & Taubert (2002) meneliti hubungan antara proactive coping dengan self-efficacy , self-regulation , dan procrastination . Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dalam hal variabel tergantung serta teori dan alat ukur penelitian, yaitu proactive coping yang mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Greenglass (2001). Perbedaannya terletak pada variabel bebas dan subjek penelitian. Variabel bebas dalam penelitian tersebut adalah self-efficacy , self-regulation , dan procrastination , sedangkan variabel bebas yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah spiritualitas. Adapun subjek dalam penelitian tersebut adalah para guru di Jerman, sedangkan subjek dalam penelitian penulis adalah survivor bencana gempa bumi di Bantul.

Sundberg (2005) meneliti tentang hubungan antara proactive coping dengan kepuasan kerja, ketidakhadiran, keterlambatan dan prestasi kerja.

Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh proactive coping yang mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Greenglass (2001). Perbedaannya terletak pada variabel bebas dan subjek penelitian. Variabel bebas dalam penelitian tersebut adalah kepuasan kerja, ketidakhadiran, keterlambatan dan prestasi kerja, sedangkan variabel bebas yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah spiritualitas. Adapun subjek dalam penelitian tersebut adalah para perawat di Rumah Sakit Midwestern, Inggris, sedangkan subjek dalam penelitian penulis adalah survivor bencana gempa bumi di Bantul.

Penulis sendiri akan meneliti hubungan antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan menggunakan skala dalam proses pengumpulan data. Variabel penelitian adalah spiritualitas dan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi. Sedangkan subjek penelitian adalah survivor bencana gempa bumi di Bantul. Jadi, penelitian ini memiliki perbedaan yang mendasar dari penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka penulis meyakini bahwa penelitian ini masih bersifat orisinil (asli).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Proactive Coping

1. Pengertian Coping

Dalam menghadapi masalah, konsep coping merupakan hal yang penting untuk dibicarakan. Konsep coping digunakan untuk menjelaskan hubungan antara masalah dengan perilaku individu dalam menghadapi masalah tersebut. Kata coping itu sendiri berasal dari kata cope yang dapat diartikan sebagai menghadapi, melawan, ataupun mengatasi. Walaupun demikian, belum ada istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk mewakili istilah ini.

Pengertian coping hampir sama dengan adjusment (penyesuaian). Bedanya, adjusment mengandung pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan coping , yaitu semua reaksi terhadap tuntutan, baik yang berasal dari lingkungan maupun dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan (Lazarus, 1976).

Sementara itu, Shin, dkk. (1984) mengungkapkan bahwa coping adalah usaha untuk mengurangi stres dan tekanan perasaan. Tekanan tersebut bisa terjadi karena adanya hal-hal atau masalah-masalah yang tidak dapat terpecahkan. Oleh karena itu, coping berfungsi untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh dengan tekanan (Solomon, dkk. 1988).

Pearlin dan Schoaler (Taylor, 1995) mengartikan coping sebagai bentuk perilaku individu untuk melindungi diri dari tekanan-tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh problematika pengalaman hidup. Coping juga digambarkan sebagai cara seseorang mengatasi tuntutan-tuntutan yang dirasa menekan, Pearlin dan Schoaler (Taylor, 1995) mengartikan coping sebagai bentuk perilaku individu untuk melindungi diri dari tekanan-tekanan psikologis yang ditimbulkan oleh problematika pengalaman hidup. Coping juga digambarkan sebagai cara seseorang mengatasi tuntutan-tuntutan yang dirasa menekan,

Sedangkan Keliat (1998) mendefinisikan coping sebagai cara yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, dan merespon situasi yang mengancam. Upaya individu tersebut dapat berupa perubahan pola pikir (kognitif), perubahan perilaku (afeksi), atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi stres yang dihadapi. Perilaku coping yang efektif akan menghasilkan adaptasi.

Coping menurut Miller (Folkman & Lazarus, 1988) didefinisikan sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari yang membantu untuk kelangsungan hidup dalam menghadapi bahaya yang mengancam. Baron & Byrne (1991) mengemukakan bahwa coping adalah respon terhadap stres, yaitu apa yang dilakukan oleh individu yang dirasakan dan dipikirkannya untuk mengontrol dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi. Levine (Garmezy & Rutter, 1983) menyatakan bahwa coping merupakan proses aktif yang terjadi karena usaha untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang menekan.

Namun pada umumnya, para ahli mendefinisikan istilah coping dengan mengacu pada konsep Lazarus. Menurut Lazarus & Folkman (1984), coping merupakan usaha-usaha yang meliputi tindakan dan usaha-usaha intrafisik untuk mengatur tuntutan-tuntutan lingkungan maupun internal serta konflik-konflik yang dinilai dapat membebani atau melampaui potensi yang dimiliki oleh individu. Proses pengaturan tersebut meliputi usaha untuk menguasai, mengurangi, mentoleransi, dan meminimalkan tuntutan yang dihadapi oleh individu.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh individu Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh individu

2. Fungsi Coping

Taylor (1995) mengungkapkan bahwa coping berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kejadian yang negatif, dan tetap menjaga interaksi dengan orang lain.

Sementara itu, Pearlin dan Schoaler (Siegel & Smith, 1991) mengemukakan bahwa fungsi coping meliputi usaha untuk:

1. Menghilangkan atau mengubah situasi yang menyebabkan masalah.

2. Mengendalikan makna dari situasi yang dialami, sehingga situasi tersebut menjadi kurang bermasalah.

3. Menerima konsekuensi emosional dalam batas yang dapat diatur. Sedangkan White (Lazarus & Folkman, 1984) menyebutkan beberapa fungsi coping yang pada dasarnya tidak berbeda dengan pendapat Pearlin dan Schoaler di atas, yaitu:

a. Menyimpan informasi mengenai lingkungan yang dihadapi.

b. Memelihara kondisi internal dengan sebaik-baiknya agar dapat memproses informasi tersebut dan merencanakan tindakan yang diperlukan.

c. Menjaga atau memelihara kebebasan dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan dirinya.

3. Pengertian Proactive Coping

Aspinwall dan Taylor (1997) mengungkapkan bahwa perilaku proaktif merupakan suatu proses di mana seseorang mengantisipasi penyebab stres yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosinya dan bertindak dalam rangka mencegah hal tersebut terjadi dalam dirinya.

Menurut Schwarzer (Greenglass, 2001), proactive coping adalah suatu pencapaian tujuan menuju sikap mandiri dan perbaikan diri dengan berusaha merealisasikan tujuan tersebut melalui proses pengaturan diri untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan menjelaskan apa yang memotivasi seseorang dalam mencapai tujuan tersebut, serta berkomitmen terhadap diri sendiri untuk memanajemen kualitas pribadi.

Sementara itu, Greenglass (2001) mendefinisikan proactive coping sebagai strategi coping yang multidimensional dan lebih banyak melihat pada pencapaian tujuan akhir. Proactive coping memfokuskan pada perbaikan kualitas hidup ( personal quality of life management ) dengan menggabungkan elemen- elemen psikologi positif. Lebih jauh menurut Greenglass, proactive coping mengintegrasikan proses dari kualitas personal dalam memanajemen kehidupan dengan pengaturan diri ( self regulatory ) untuk mencapai tujuan. Proactive coping ditunjukkan dengan tiga hal utama, yaitu:

a. Kemampuan untuk mengintegrasikan rencana dan strategi-strategi preventif dengan cara proaktif untuk pengaturan diri dalam rangka pencapaian tujuan.

b. Kemampuan untuk melakukan identifikasi dan menggunakan sumber-sumber sosial ( social resources ) untuk mencapai tujuan secara proaktif.

c. Menggunakan penyelesaian masalah secara emosional dengan proaktif untuk pengaturan diri dalam rangka mencapai tujuan.

Proactive coping berbeda dengan konsep coping yang sifatnya tradisional. Hal ini dibedakan Greenglass (2001) dalam tiga hal, yaitu:

a. Coping tradisional ( reactive coping ) cenderung menjadi coping yang sifatnya reaktif ketika berhadapan dengan kejadian-kejadian penyebab stres yang telah terjadi di masa lampau dengan mengganti kehilangan dan mengurangi kerugian yang dialami. Sedangkan proactive coping lebih melihat orientasi ke masa depan yang terdiri dari usaha-usaha untuk mengembangkan sumber- sumber umum ( general resources ) atau potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang menantang dan pertumbuhan personal.

b. Coping tradisional ( reactive coping ) lebih memperhatikan manajemen resiko yang dihadapi, sedangkan proactive coping lebih memperhatikan manajemen tujuan. Pada proactive coping , individu memiliki visi, di mana mereka melihat resiko serta tuntutan dan peluang di masa depan. Akan tetapi, mereka tidak melihat situasi yang sulit tersebut sebagai sesuatu yang mengancam atau merugikan, bahkan rasa kehilangan. Lebih dari itu, mereka melihat situasi sulit sebagai sesuatu yang menantang bagi dirinya.

c. Motivasi yang terdapat dalam proactive coping lebih bersifat positif daripada coping tradisional. Hal tersebut dapat dilihat dari penerimaan situasi sebagai hal yang menantang dan membangkitkan semangat, sedangkan coping tradisional ( reactive coping ) lebih melihat penilaian pada resiko yang dihadapi. Sebagai contoh, coping tradisional melihat tuntutan lingkungan dari sisi negatif, yakni sebagai ancaman atau hambatan.

Proactive coping merupakan bagian dari empat tipe coping yang disusun oleh Schwarzer & Knoll (2003), yaitu: Proactive coping merupakan bagian dari empat tipe coping yang disusun oleh Schwarzer & Knoll (2003), yaitu:

b. Anticipatory Coping , yakni usaha individu untuk menghadapi ancaman yang akan mengancam dirinya. Resiko yang dihadapi ketika coping ini digunakan adalah kemungkinan akan menyebabkan kerugian dan kehilangan atas sesuatu. Coping ini dapat juga dimaknai sebagai manajemen untuk mengetahui resiko, termasuk di dalamnya penanaman sumber-sumber kemampuan diri ( investing one’s resources ) untuk mencegah dan melawan sumber stres, atau memaksimalkan pengharapan yang menguntungkan.

c. Preventive Coping , yakni usaha individu untuk membangun sumber-sumber pertahanan umum ( general resistance resources ) untuk mengurangi kemungkinan stres yang hendak menyerang seseorang.

d. Proactive Coping , yakni usaha individu untuk membangun sumber-sumber yang memfasilitasi seseorang dalam pencapaian tujuan ( challenging goals ) dan pertumbuhan personal ( personal growht ). Sumber-sumber tersebut meliputi: strategi penanganan masalah, kepribadian individu, seperti self efficacy , dan dukungan sosial.

Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proactive coping merupakan suatu usaha bagaimana individu mampu mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan mengintegrasikan kualitas personal seseorang dalam hal perencanaan, penentuan strategi-strategi preventif, dan identifikasi masalah dengan dukungan sosial, sikap optimis, serta kemampuan Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proactive coping merupakan suatu usaha bagaimana individu mampu mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan mengintegrasikan kualitas personal seseorang dalam hal perencanaan, penentuan strategi-strategi preventif, dan identifikasi masalah dengan dukungan sosial, sikap optimis, serta kemampuan

4. Aspek-aspek Proactive Coping

Greeglass, Schwarzer, Jakubiec, Fiksenbaum, dan Taubert (Greenglass, 2001) mengungkapkan bahwa proactive coping terdiri dari enam aspek, yaitu:

1. Proactive Coping , yakni mekanisme pengatasan masalah yang mengkombinasikan potensi kognitif dan perilaku individu untuk mencapai tujuan ( goal attainment ) dengan cara mengatur diri.

2. Reflective Coping , yakni mekanisme penanganan masalah yang mengacu pada ranah kognitif secara maksimal untuk berimajinasi ( imagined effectiveness ) ataupun melakukan refleksi atas pengalaman yang telah lalu berkaitan dengan pencarian solusi. Individu mengingat dan meniru alternatif tindakan yang memungkinkan untuk dilakukan dengan membandingkan apa yang ada di pikirannya, seperti melakukan brainstorming , menganalisa masalah dan sumber-sumber yang ada, serta memikirkan segala kemungkinan hasil akhir yang akan dicapai.

3. Strategic Planning , yakni strategi pengatasan masalah yang memfokuskan pada proses pencapaian tujuan yang berorientasi pada aksi yang telah terjadwal dan telah disusun dengan cara memilah-milah masalah menjadi beberapa bagian masalah yang lebih kecil.

4. Preventive Coping , yakni strategi pengatasan masalah yang sifatnya mencegah segala bentuk kemungkinan buruk atau sumber stres ( stressor ) yang sewaktu-waktu dapat menekannya. Hal tersebut dilakukan dengan 4. Preventive Coping , yakni strategi pengatasan masalah yang sifatnya mencegah segala bentuk kemungkinan buruk atau sumber stres ( stressor ) yang sewaktu-waktu dapat menekannya. Hal tersebut dilakukan dengan

5. Instrumental Support Seeking , yakni strategi pengatasan masalah yang memfokuskan pada masalah yang dihadapi dengan pencarian dukungan berupa nasihat atau masukan dari orang lain, informasi-informasi yang ada, dan mendapatkan timbal balik dari orang lain ketika dalam keadaan tertekan atau ketika menghadapi masalah.

6. Emotional Support Seeking , yakni strategi pengatasan masalah yang berupa pencarian dukungan emosional ketika dalam keadaan stres atau tertekan dengan lebih memfokuskan pada pencarian dukungan emosional untuk mengatur diri daripada pemecahan masalah itu sendiri. Strategi ini dilakukan melalui pendekatan perasaan, membangkitkan empati, dan mencari dukungan emosional dari orang-orang terdekat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proactive coping teridiri atas enam aspek, yaitu proactive coping , reflective coping , preventive coping , strategic coping , instrumental support seeking , dan emotional support seeking .

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proactive Coping