SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

NAMA: BONGGUD TYSON SIDABUTAR NIM: 070707022 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Skripsi ini akan membahas instrument 1 sulim mulai dari aspek keberadaannya hingga pada berbagai fenomena yang terjadi pada fungsi dan

pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari mulai dari masa-masa yang silam hingga pada masa kini,dan secara lebih spesifik lagi akan memfokuskan pembahasan pada kajian kontinuitas dan perubahan yang terjadi terhadap berbagai aspek yang terkait dengan fungsi dan penggunaan sulim yang membawa pengaruh besar dalam berbagai fenomena kebudayaan musikal Batak Toba.

Sulim (seruling) adalah sejenis instrumen tiup bambu yang berasal dari daerah Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis aerophone dengan spesifikasi side blown flute yang terdiri dari sebuah lobang tiupan dan 6 (enam) buah lobang nada. Dilihat dari karakteristik organologisnya, sulim hampir sama dengan jenis seruling yang ada pada etnis lain pada umumnya. Yang membedakannya hanya pada penambahan lobang yang dibalut oleh sebilah kertas tipis ataupun plastik tipis pada pertengahan antara lobang tiupan dengan lobang nada. Lobang tambahan ini dapat menciptakan warna bunyi yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan instrumen seruling yang lain.

Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya sulim hanya tergolong kepada sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kehidupan

1 Instrument (Kamus Musik M.Suharto,1992 : 4) dalam bahasa inggris, yaitu alat musik

yang digolongkan berdasarkan cara memakainya.

sehari-hari instrument ini lazim dipakai oleh seseorang diwaktu-waktu senggang baik ketika menggembalakan kerbau, menjaga ladang/sawah, bermain ataupun saat melakukan berbagai aktivitas lainnya. Kemudian seiring dengan perkembangan

zaman, dengan hadirnya opera Batak 2 yang dari tahun 1920-an hingga 1970-an, sulim membawa pengaruh dan perubahan dalam hal pola pikir dan selera musik

masyarakat Batak Toba pada masa itu. Lagu-lagu opera Batak yang didominasi oleh karya almarhum Tilhang Gultom 3 pada masa itu sangat digemari oleh

masyarakat Batak mulai dari kawula muda hingga kalangan orang tua. Sehingga para musisi opera Batak kala itu dianggap sebagai sosok layaknya seorang artis yang selalu dipuja-puja oleh para penggemarnya.

Sebelum hadirnya opera Batak, sulim bukanlah sebuah instrumen yang biasa dimainkan dalam ensambel 4 . Sebab pada masa itu, hanya ada 2 jenis

ensambel yang berkembang dalam tradisi Batak Toba yakni ensambel gondang sabangunan dan ensambel gondang hasapi, dimana di antara kedua ensambel ini tidak mencakup sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya walau pun sulim mampu berperan sebagai pembawa melodi utama dalam sebuah repertoar. Tetapi seiring perkembangan zaman dan rasa musikal masyarakat Batak Toba pada masa itu maka terjadilah sedikit pergeseran dimana instrumen sulim dan taganing mulai dipadukan dengan instrumen-instrumen yang ada dalam ensambel gondang hasapi. Dalam ensambel ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi penuh disamping instrumen lain yang juga pembawa melodi utama seperti hasapi inang (lute),

2 Opera Batak merupakan seni pertunjukan masyarakat Batak Toba yang

melibatkan/menggabungkan seni teater, musik, tari, dan nyanyian (vokal) 3

Seorang pelopor musik dan lagu Opera Batak 4

Ensambel/Ansambel (Kamus Musik M. Suharto,1992 : 4) dalam bahasa perancis adalah kelompok kegiatan seni musik dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya

tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih.

sarune etek (oboe) dan garantung (xylophone). Selain sebagai pembawa melodi, sulim juga berperan sebagai pembawa melodi variatif yang mampu keluar dari wilayah nada pokok sebagai wujud dari improvisasi nada-nada yang dimainkan baik dari sebuah lagu maupun repertoar sesuai kemampuan pemainnya. Menurut para narasumber pemusik tradisional Batak Toba, masuknya sulim ke dalam gondang hasapi merupakan pengaruh dari ensambel musik opera Batak yang disebut dengan uning-uningan.

Selain itu, sulim termasuk instrumen yang unik jika dibandingkan dengan instrumen tradisi Batak Toba lainnya. Salah satu keunikannya adalah, sulim mampu mengubah sebuah tradisi yang sudah dilestarikan bertahun-tahun tanpa mengubah ciri khas dari instrumen itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai aspek yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya sulim hadir dalam sebuah kajian musikologis khususnya dalam Budaya Batak. Sebagai bukti selain dari pada beberapa fakta di atas adalah ;

Pertama , selain memberikan pengaruh pada era opera Batak sulim juga hadir dalam formasi Brass Band atau dikenal dengan ensambel Musik Tiup Logam 5

yang juga digemari pada masa itu dimana ensambel ini acapkali dipakai dalam setiap acara adat orang Batak. Dalam konteks ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi yang pada akhirnya mampu mengubah tradisi musik tiup yang didominasi oleh instrumen tiup modern dari Eropa menjadi sebuah formasi yang lebih sederhana yang dikenal dengan istilah ‘Sulkibta’ (sulim, kibot, taganing) atau ‘Sulkib’ (sulim, kibot) saja, sehingga berbagai instrumen tiup dari Eropa tersebut jadi sangat jarang dipakai;

5 Musik tiup logam merupakan ensambel yang terdiri seperangkat alat musik tiup logam

yang tersaji dalam bentuk semi combo band yang terdiri dari instrumen terompet, trombone, saxofon, tuba, dan 1 set drum yg terbuat dari logam.

Kedua , sulim tidak hanya memberikan pengaruh dalam eksistensi opera Batak atau pun musik tiup dalam konteks hiburan maupun adat, tetapi sulim juga hadir dalam perkembangan Musik Gereja. Hal ini dapat kita lihat ketika sulim dipakai sebagai salah satu intrumen pengiring lagu-lagu ibadah ketika ada perayaan tertentu di dalam sebuah gereja atau pun dalam perayaan akbar di luar gereja sekali pun seperti Perayaan Hari Besar Agama Kristen dan acara Kebangkitan Kebangunan Rohani (KKR) jemaat Kristiani.

Selain dari itu, sulim juga sudah sering dipakai sebagai salah satu media pengiring lagu rohani mau pun sekuler bernuansa tradisi yang dibawakan oleh berbagai Paduan Suara ;

Ketiga , setelah berakhirnya kejayaan opera Batak pada akhir 1970-an maka muncullah Hits-hits Album Batak popular yang diwarnai dengan nuansa Musik Barat yang pada masa itu didominasi oleh lagu-lagu karya almarhum Nahum

Situmorang 6 dan sudah berkembang hingga pada masa kini. Seiring perkembangan tersebut tidaklah pula warna tradisi malah menghilang dari berbagai lagu Batak

yang disajikan. Kehadiran sulim dalam mengisi setiap lagu Batak (tradisonal dan popular) yang diciptakan menjadi keunikan tersendiri bagi setiap pendengar. Hal ini menunjukkan bahwa sulim tidak selamanya hanya dipakai dalam memainkan melodi sebuah lagu atau repertoar secara utuh tetapi juga mampu memainkan sebagian atau penggalan dari beberapa repertoar tertentu untuk mengisi intro (musik pembuka) dan interlude (musik tengah) dari sebuah lagu popular (pop) dan tradisional Batak yang dihasilkan dalam industri rekaman ;

Keempat , selain menjadi instrumen yang sering disandingkan dengan instrumen Batak yang lain, sulim juga mampu berperan sebagai instrumen tunggal

6 Seorang pelopor musik dan lagu Pop Batak 6 Seorang pelopor musik dan lagu Pop Batak

semakin langkanya sordam maka pada masa sekarang ini alunan andung-andung tersebut dapat dimainkan pada sulim. Hal ini dimungkinkan karena produksi nada sulim selain dihasilkan oleh lobang nada juga dapat diproduksi melalui teknik tiupan, sehingga karakter bunyi sordam dapat dihasilkan walau tidak terlalu persis tapi setidaknya mirip dengan yang aslinya ;

Kelima , selain sebagai instrumen tunggal maupun instrumen yang selalu dimainkan dengan isntrumen Batak yang lainnya, pada masa sekarang ini sulim juga sudah sering ditampilkan dengan suguhan yang berbeda yakni mampu berkolaborasi dengan intrumen tradisi dari berbagai sub-etnis Batak atau bahkan etnis-etnis yang lain. Hal ini bisa terbukti dengan terbentuknya berbagai group musik antar lintas etnis di kota Medan seperti “D’Tradisi” yang baru-baru ini sudah mengharumkan nama baik Sumatera Utara di kancah blantika musik Indonesia, dan juga group antar lintas etnis yang lain seperti “Group Incidental Music”, “Metronom” serta group musik yang lainnya yang sudah tidak asing lagi dalam mengiringi berbagai tari garapan etnis yang ada di kota Medan.

Terlepas dari gaya atau teknik yang dimainkan, instrumen sulim sudah memberikan warna baru dan dinamika tersendiri dalam keberlangsungan atau eksistensi musik Batak dan kolaborasi antara musik Batak dengan musik etnis lainnya di tanah air.

Selain beberapa hal yang penulis paparkan di atas, mungkin masih banyak lagi hal unik lain tentang pemakaian sulim yang berkembang hingga pada saat ini

7 Sejenis instrument tiup bambu Batak Toba yang lain dengan spesifikasi end blown flute

dimana lobang tiupan ada pada ujung badan instrumen yang memiliki 4 (empat) buah lobang nada.

yang belum penulis paparkan. Oleh karena itu, penulis masih butuh informasi atau referensi dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini, dan dengan memperhatikan berbagai fakta unik tentang instrumen sulim yang penulis paparkan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian skripsi yang berjudul “SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN PERUBAHAN”.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana keberadaan (eksistensi) sulim terkait dengan fungsi dan penggunaannya ketika dimainkan dalam konteks tunggal (solo instrument), dengan ensambel serta kolaborasi dengan instrument yang lain dalam berbagai fenomena Budaya Batak Toba.

2. Hal-hal apa sajakah yang melatar-belakangi terjadinya perubahan dan kontinuitas baik pada instrumen itu sendiri maupun pengaruhnya terhadap berbagai aspek dimana instrument tersebut digunakan.

3. Bagaimana gambaran proses kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan yang terjadi dari berbagai aspek tersebut.

4. Aspek apa saja yang berubah dan berlanjut dalam keberadaannya di tengah- tengah masyarakat pendukungnya.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang menjadi kelebihan sulim dibandingkan isntrumen lain sehingga mampu dimainkan dalam berbagai konteks baik solo, ensambel, maupun kollaborasi dengan instrument lain sehingga mampu membawa perubahan dalam berbagai fenomena budaya Batak Toba.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya kontinuitas dan perubahan itu sendiri.

3. Untuk memberikan gambaran umum tentang proses bagaimana kontinuitas dan perubahan itu bisa terjadi.

4. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang berubah dan berlanjut (kontinu) dalam proses tersebut.

1.3.2 Manfaat penelitian

Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ni adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar etnomusikologi, khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan tentang budaya masyarakat Batak.

2. Untuk menambah referensi tentang pemahaman teori fungsional struktural serta kajian kontinutias dan perubahan dalam berbagai fenomena kebudayaan lainnya.

3. Sebagai dokumentasi tambahan mengenai fenomena Budaya Batak Toba yang bisa dipakai sebagai masukan bagi Departemen Etnomusikologi.

4. Semoga dapat digunakan oleh penulis lain yang ingin membahas tentang masalah yang sama dengan objek yang berbeda.

5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 2 (dua) hal pokok yang menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian kontinuitas dan perubahan.

Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata “kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti (Badudu, 1982: 132).

Kontinuitas memiliki arti keberlanjutan, keberlangsungan, dan kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat Kontinuitas memiliki arti keberlanjutan, keberlangsungan, dan kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)

Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) aspek yakni aspek fisik maupun non-fisik. Aspek fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kondisi fisik istrumen itu sendiri, sedangkan aspek non-fisik menyangkut fungsi dan penggunaan sulim itu sendiri dalam berbagai konteks penyajiannya.

Berbicara tentang aspek fisik, salah satu perubahan yang terjadi adalah bahwa awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang dihasilkan oleh piano.

Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi. Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano. Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi. Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano. Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah

Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer, lagu Rohani, maupun lagu Sekuler lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya sulim dengan 12 kunci (nada dasar) dengan pelarasan nada musik Barat.

Bicara mengenai aspek non-fisik, perubahan yang terjadi menyangkut hal- hal di luar aspek fisik yang berkaitan dengan fungsi dan penggunaan sulim yang mampu membawa perubahan besar dalam eksistensi musik Batak yang sedikit banyak sudah disinggung dalam bahasan yang dipaparkan di latar belakang masalah.

1.4.2 Teori

Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Teori juga dapat berarti sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji kebenarannya. Dan teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian.

Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992 : 21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987 :32).

Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan, dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat dielakkan (Merriam 1964 : 303).

Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang

Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi (acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (1989:402).

Perubahan juga merupakan sebuah konsep yang serba mencakup, menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat manusia. Perubahan sosial dapat dilihat pada suatu tingkat tertentu atau dengan menggunakan berbagai kawasan studi dan menganalisis. Perubahan sikap ini melambangkan perubahan hubungan sesama manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara jelas untuk mengetahui adanya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat merupakan cerminan masyarakat tersebut (Lauer 2001 : 5).

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur kebudayaan, termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perubahan adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur kebudayaan, termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat

Sehubungan dengan pengkajian instrument sulim, penulis juga mengacu pada teori yang yang dikemukakan oleh Kashima Susumu dengan menjelaskan dua pandangan yang mendasar yaitu :

“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the shape, size, construction and the materials used in making the instrument. The second deals with its function as a sound-producing tool researching, measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound

produced” 8 (Susumu, 1978 : 174).

“1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara Struktural, yaitu aspek fisik instrument musik – pengamatan, mengukur, dan merekam bentuk, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai dalam pembuatan instrument tersebut. Secara Fungsional yaitu berkaitan dengan fungsi instrument sebagai alat penelitian untuk memproduksi bunyi, metode pengukuran dan perekaman bunyi, metode penyelarasan nada, penggunaan bunyi yang diproduksi dan kekuatannya, ketepatan nada, warna bunyi, dan kualitas bunyi yang diproduksi.”

Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Susumu dan dengan melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, maka penulis melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument itu sendiri.

Dalam membicarakan aspek musikologis pada tulisan ini, penulis memperhatikan pendapat Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2) nada dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6) pola-pola

8 Lihat Martahan Sitohang, 2009 hal.9 8 Lihat Martahan Sitohang, 2009 hal.9

Untuk membahas tentang fungsi dan penggunaan musik dalam masyarakat Batak Toba terkait dengan penggunaan sulim dalam berbagai konteks penyajiannya, penulis berpedoman pada teori Uses and Function yang dikemukakan oleh Meriam (1964: 119-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi dalam musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional), (2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of comunication ), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation), (6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social norms ), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of validation of social institution and religious rituals ), (9) fungsi kesinambungan budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10) fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of society ).

1.5 Metode Penelitian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan

yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Dari beberapa kutipan tersebut dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian dalam disiplin ilmu tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian kongkrit.

Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work)

dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang diperoleh.

Untuk mendapatkan data secara sistematis, maka penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Dalam hal penentuan lokasi penelitian, penulis memilih berdasarkan tempat berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini melihat kasus yang sering terjadi di kota Medan sebagai bahan penelitian dan memilih wilayah Samosir sebagai perbandingan dan juga sebagai tempat tinggal para informan. Selain karena tempat berdomisilinya para informan, alasan memilih kedua tempat tersebut adalah bahwa kota Medan merupakan ibukota Sumatera Utara yang juga tempat berdomisilinya penulis dan mayoritas masyarakat Batak secara keseluruhan, dimana tempat ini berperan sebagai pusat kehidupan yang dinamis dan berkembang serta penuh dengan fenomena budaya Batak Toba, sedangkan Samosir merupakan tempat yang menjadi pusat peradaban masyarakat Batak Toba dan akar bertumbuhnya budaya masyarakat Batak Toba.

1.7 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam hasil wawacara dengan informan.

1.8 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, maupun buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan topik pembahasan.

Beberapa tulisan yang membahas tentang sulim Batak Toba, antara lain: Skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian

dalam Konteks Gondang Hasapi ”. Skripsi ini secara umum membahas tentang kajian musikologis sulim dalam konteks ensambel gondang hasapi saja. Selanjutnya Skripsi Frendy Sirait yang berjudul “Instrumen Sulim Pada Ansambel Musik Tiup Batak Toba Di Kota Medan : Kajian Terhadap Fungsi, Perkembangan Dan Organologis”. Skripsi ini secara umum juga hanya membahas tentang kajian fungsional, dan perkembangan penggunaan serta organologis sulim dalam konteks ensambel Musik Tiup saja. Kalo penulis melihat perbandingan antara kedua judul tersebut di atas, penulis menilai bahwa ada kesamaan topik konteks pembahasan yakni sama-sama membahas tentang kajian fungsional sulim dalam konteks ensambel. Hal yang membedakannya hanya terlihat ketika instrument tersebut dimainkan dalam nama ensambel yang berbeda,yakni antara ensambel gondang hasapi dan musik tiup.

Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih mendalam membahas tentang kajian struktural dan fungsional sulim dalam berbabagi konteks penyajian baik ketika dimainkan dalam konteks solo, ensambel maupun kollaborasi dengan Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih mendalam membahas tentang kajian struktural dan fungsional sulim dalam berbabagi konteks penyajian baik ketika dimainkan dalam konteks solo, ensambel maupun kollaborasi dengan

Selain dari kedua skripsi di atas, untuk mendukung bahasan tentang kajian organologis serta kajian kontinuitas dan perubahan yang juga dibahas dalam tulisan ini penulis juga mengambil referensi dari skripsi-skripsi lain seperti skripsi Martahan Sitohang yang berjudul “Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir”, skripsi Leonald Nainggolan yang

berjudul “Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan”, dan juga skripsi yang berjudul “Studi Organologis dan Musikologis Tulila Dalam Kebudayaan Batak Toba di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho Kabupaten Tapanuli Utara” serta banyak skripsi lain yang mungkin tidak dapat penulis paparkan satu persatu dengan alasan bahwa sejalan dengan proses penulisan skripsi ini kemungkinan akan ada referensi lain yang penulis dapatkan baik berupa skripsi atau sumber buku yang lain secara tiba-tiba atau dalam konteks situasi yang berbeda.

1.9 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam

BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT DAN DI PERANTAUAN

2.1 Konsep Adat

Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak itu sendiri.

Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang mengatur tentang hubungan manusia dan manusia.

Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na

9 Bolon yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi

hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan

9 Akan lebih dijelaskan pada bahasan selanjutnya 9 Akan lebih dijelaskan pada bahasan selanjutnya

Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan orang yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme, yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan (Pasaribu, 1986:61).

Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari,

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya. Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat yang telah dilakukan.

Pertama , komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masing- masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat, dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi.

Kedua , Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya. Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat Batak Toba sendiri.

Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.

Keempat , pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya.

Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.

2.2 Religi atau Kepercayaan

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula

Jadi Nabolon . Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang, 2009:21).

Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon , melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asi- asi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. (Tampubolon, 1978:9-10).

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk, 2006:8)

Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. (ibid. 1978:10).

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.

Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,

kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai- nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan hasangapon (kehormatan).

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.

Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.3 Konsep Kemasyarakatan

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1) Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem

pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3) Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan tanah. 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari- hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

2.4 Konsep Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal