TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS (Studi Kasus di Desa Sewan Kota Tangerang).

(1)

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUDAYA

MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA

SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

(Studi Kasus di Desa Sewan Kota Tangerang)

T E S I S

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Oleh

CHRISTINA WULANDARI NIM. 1308077

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015


(2)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS (Studi Kasus di Desa Sewan Kota Tangerang)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing I

Prof. Dr. Bunyamin Maftuh, M.Pd., M.A. NIP. 19620707 198601 1 002

Mengetahui

Ketua Prodi Pendidikan IPS

Prof. Dr. Bunyamin Maftuh, M.Pd., M.A. NIP. 19620707 198601 1 002


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Transformasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Etnis Tionghoa sebagai Sumber Pembelajaran IPS (Studi Kasus di Desa Sewan Kota Tangerang)” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas penyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi apabila di kemudian ditemukan hari ditemukan adanya pelanggaran etika keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini”.

Bandung, Agustus 2015 Yang Membuat Pernyataan,


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Nopember 1971. Merupakan anak pertama dari pasangan Slamet Tulus dan Respati Sudiyah Bintarni (alm). Penulis menempuh pendidikan dasar di Kota Jakarta. Menempuh pendidikan menengah di kota Tangerang. Pendidikan dasar ditempuh di SD Cipinang Muara 01 Pagi, Jakarta Timur (1978-1984), kemudian melanjutkan sekolah lanjutan di SMP Negeri 4 Kota Tangerang (1984-1987), kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 2 Kota Tangerang (1987-1990).

Di tahun 1990 Penulis berkesempatan mengenyam bangku pendidikan tinggi sebagai mahasiswa Universitas Negeri Jember pada Fakultas Sastra Jurusan Sejarah melalui jalur UMPTN. Selama pendidikannya penulis mendapatkan beasiswa Supersemar, dari semester 3 hingga lulus. Pada tahun 1995, Penulis dapat menyelesaikan studi S-1 nya dengan menjadi lulusan terbaik di jurusan.. Pada tahun 2013, lewat beasiswa peningkatan profesi guru dari P2TK Dikdas Kemendikbud, Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana program magister (S2) di Universitas Pendidikan Indonesia prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Setelah menyelesaikan pendidikan S-1, Penulis kemudian menjadi guru IPS. Pengalaman mengajarnya diawali dengan menjadi guru Bahasa Indonesia di SMK Giri Putra (2003-2005), SMK Tekhmindo (2004-2009) dan sebagai guru IPS di SMP Dharma Widya (2004-2006). Tahun 2006 Penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan di SMP Negeri 14 Kota Tangerang. Sejak tahun 2006 – saat ini penulis berstatus sebagai guru IPS di SMP Negeri 14 Kota Tangerang.

Penulis juga tercatat sebagai Ketua MGMP IPS di sekolah tempat mengajar. Selain itu penulis pernah beberapa kali menulis artikel yang dimuat di harian lokal Kota Tangerang.


(5)

i Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

ABSTRAK

Christina Wulandari. (2015). Transformasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Etnis Tionghoa sebagai Sumber Pembelajaran IPS (Studi Kasus di Desa Sewan Kota Tangerang). Tesis Program Studi Pendidikan IPS, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Pembimbing : Prof. Dr. H. Bunyamin Maftuh, M.Pd., M.A.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai budaya masyarakat etnis Tionghoa di Desa Sewan. Selain itu, penelitian ini juga berusaha menganalisis cara masyarakat etnis Tionghoa di desa Sewan kota Tangerang mensosialisasikan nilai-nilai budaya itu kepada generasi berikutnya, serta menganalisis strategi mentransformasikan nilai-nilai budaya masyarakat etnis Tionghoa sebagai sumber pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, dengan menggunakan metode studi kasus (case study). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah wawancara, observasi, studi dokumentasi dan triangulasi. Teknik validasi data menggunakan member-check , triangulasi dan expert opinion. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Nilai-nilai budaya yang sangat menonjol pada masyarakat etnis Tionghoa adalah nilai-nilai wirausaha. Ada lima karakteristik para pelaku wirausaha etnis Tionghoa di desa Sewan adalah: ciri percaya diri, berorientasikan tugas dan hasil, pengambil resiko, orisinalitas, berorientasi ke masa depan. Nilai budaya yang menonjol berikutnya adalah ketaatan terhadap tradisi atau adat istiadat (2) Proses sosialisasi nilai-nilai budaya masyarakat etnis Tionghoa di desa Sewan Kota Tangerang kepada generasi berikutnya melalui proses dengan tahap-tahap sebagai berikut: pertama, melalui fase pembentukan kebiasaan (habit forming). Kedua, fase pembentukan (formatif). Ketiga, fase embryonic. Keempat, fase productive. Fase terakhir adalah fase kemapanan / fase kematangan (maturation). (3) Nilai-nilai budaya masyarakat etnis Tionghoa di desa Sewan tersebut sangat memungkinkan ditransformasikan ke dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di sekolah, terutama di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), melalui pembelajaran kontekstual.

Kata Kunci: Transformasi, Nilai Budaya, Masyarakat Etnis Tinghoa, Sumber Pembelajaran IPS.


(6)

ii Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu ABSTRACT

Christina Wulandari. (2015). Transformation of Values of Chinese Ethnic Culture Society as a IPS Learning Resources (A Case Study in Sewan Village Tangerang City). Thesis IPS Education Program, Graduate School of Education University of Indonesia.

Supervisor: Prof. Dr. H. Bunyamin Maftuh, M.Pd., M.A.

The research aims to identify and describe the cultural values of the ethnic Chinese community in the village of Sewan. In addition, this study also seeks to analyze how ethnic Chinese community in Sewan village Tangerang City disseminate the cultural values to the next generation, and to analyze the strategies to transform the cultural values of the ethnic Chinese community as a source of learning of Social Studies. The approach in this study is a qualitative approach, using the case study method. Data collection techniques used were interviews, observation, documentation studies and triangulation. Data validation techniques using member-checking, triangulation, and expert opinion. The results showed that (1) Cultural values are very prominent in the ethnic Chinese community are the values of entrepreneurship. There are five characteristics of the ethnic Chinese entrepreneurs in the Sewan village are: the characteristics of confidence, and results-oriented tasks, risk takers, originality, oriented to the future. The next prominent cultural value is adherence to the traditions or customs (2) The process of socialization of the cultural values of the ethnic Chinese community in Sewan village Tangerang City to the next generation through a process with the following stages: first, through the phase formation of habits (habit forming). Second, the establishment phase (formative). Third, embryonic phase. Fourth, productive phase. The last phase is the phase of establishment / maturation phase (maturation). (3) The cultural values of ethnic Chinese people in the Sewan village are very possible transformed into Social Studies (IPS) learning in schools, especially at the level of junior high school (SMP), through contextual learning.

Keywords: Transformation, Cultural Values, Tionghoa Ethnic Society, IPS Learning Resources.


(7)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga. Atas pertolongan dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Transformasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Etnis Tionghoa sebagai Sumber Pembelajaran IPS (Studi Kasus di Desa Sewan Kota Tangerang). Tidak lupa shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, juga kita sebagai pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Ide awal penulisan tesis ini berangkat dari adanya kegelisahan penulis terhadap beberapa peristiwa masa silam yang memilukan yang dialami masyarakat etnis Tionghoa di wilayah sekitar Tangerang dan Jakarta khusunya dan di Indonesia umumnya. Penjarahan, pembunuhan, dan perundungan sosial yang dialami masyarakat etnis Tionghoa menjadi catatan suram sejarah bangsa Indonesia. Sementara di lain pihak keberagaman dan pluralisme adalah hal mutlak sebagaimana terkandung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Masyarakat etnis Tionghoa, di mana wilayah Tangerang merupakan wilayah yang paling banyak memiliki warga berketurunan Tionghoa, juga merupakan saudara sebangsa dan setanah air. Menjaga persatuan dan kesatuan negara Indonesia menghormati keberadaan masyarakat etnis Tionghoa dapat memebantu kesatuan, persatuan dan kedamaian di wilayah Indonesia. Saling menghargai, menghormati dan sikap toleransi perlu ditanamkan bahkan dimulai pada seluruh warga negara dimulai sejak dari buaian, di sekolah, dan di keluarga.

Melihat hal tersebut di atas, perlu kiranya dilakukan upaya bersama dalam menangulangi hal tersebut. Tidak terkecuali peranan yang dilakukan guru IPS dalam konteks pembelajaran di sekolah. Pembelajaran IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang mengkaji fenomena-fenomena sosial yang bertujuan untuk


(8)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu iv

mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepekaan terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

Peranan guru IPS dalam mengembangkan sikap dan keterampilan juga sangatlah penting. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan IPS sarat dengan nilai (value based). Guru dalam pembelajaran IPS seyogyanya tidak hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) melainkan dapat mengembangkan sejumlah aspek lain peserta didik seperti: keterampilan (skill), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat dijadikan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Dimensi keterampilan sosial (social skill) dalam pembelajaran IPS merupakan bagian penting yang tidak dapat terpisahkan. Untuk mencapai hal itu, pembelajaran IPS di sekolah harus didukung oleh model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian yang berwawasan sosial budaya, sehingga memungkinkan peserta didik mencapai tingkat multiliterasi sosial budaya yang optimal.

Oleh karena itu, berdasarkan kepada penjelasan di atas, maka studi tentang upaya guru IPS dalam mengembangkan wawasan mengenai pembelajaran kontestual dengan menjadikan masyarakat etnis Tionghoa dengan segala kehidupan dan nilai-nila budaya yang dianutnya sebagai sumber pembelajaran. Hal tersebut dipandang sebagai tolok ukur terhadap ekspektasi kinerja guru IPS yang ada saat ini. Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangan sederhana dalam memperkaya khazanah intelektual, khususnya pada pengembangan pendidikan IPS.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis masih banyak kekurangan dan kesalahan. Dalam rangka pengembangan ke arah yang lebih baik, maka penulis sangat mengharapkan masukan baik berupa saran ataupun kritik yang dapat membangun. Semoga karya kecil ini memberikan manfaat serta memberikan penguatan terhadap esensi utama dalam pembelajaran IPS ke depan.

Tangerang, Agustus 2015 Penulis


(9)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu v

Christina Wulandari UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian tesis ini terdapat orang-orang yang senantiasa memberikan doa, motivasi, dan kasih sayang kepada penulis. Maka kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Direktur P2TK Dikdas, Sumarna Surapranata, Ph.D, yang telah memberikan kesempatan pada penulis lewat beasiswa peningkatan profesi guru sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan magister (S2) di UPI Bandung.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana UPI, Prof. Dr. H. Didi Suryadi, M.Ed., yang telah memberikan segala kemudahan kepada Penulis terutama mengeluarkan surat penelitian beserta surat keputusan pengangkatan pembimbing tesis. 3. Ketua Program Studi Pendidikan IPS, Prof. Dr. Bunyamin Maftuh, M.Pd.,

M.A, yang telah berkenan untuk memberikan arahan, serta bimbingan bagi penulis dari mulai penulisan proposal hingga tesis. Keramahan, kesabaran, keikhlasannya, dan masukannya, benar-benar telah membuka wawasan pemikiran penulis yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Seluruh staf dosen Prodi Pendidikan IPS Sekolah Pasacasarjana UPI yang telah mencurahkan perhatian, bimbingan, dan ilmunya selama penulis kuliah. Semoga ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat bagi penulis.

5. Bu Rina, selaku staf prodi pendidikan IPS Sekolah Pascasarjana UPI yang telah memberikan kemudahan dan bantuan selama perkuliaha n.


(10)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu vi

6. Walikota Kota Tangerang, yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam membuat surat izin tugas belajar program magister (S2) dan bantuan dana yang sangat memadai selama penulis menjalani pendidikan ini. 7. Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala BKPP Kota Tangerang, yang telah

memberikan kemudahan kepada penulis dalam membuat surat izin tugas belajar program magister (S2).

8. Kepala SMP Negeri 14 Kota Tangerang, Slamet, M.Pd, yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis selama menjalankan tugas belajar program magister (S2) ini.

9. Bendahara SMP Negeri 14 Kota Tangerang, Ahmad Fauzi S.Pd., yang telah membantu kepengurusan perijinan surat tugas belajar sehingga penuls bisa berangkat menuntut ilmu.

10. Seluruh Guru dan Staf SMP Negeri 14 Kota Tangerang, yang selalu dengan ringan tangan membantu dan men-support penulis selama masa pendidikan. 11. Seluruh narasuumber dan informan, yang telah bersedia memberi waktu dan

kesediaannya untuk diwawancara dan direpoti oleh penulis selama penelitian: Oey Tjin Eng (Pengurus Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio), Ubaidilah Ansar (Camat Kampung Sewan, Neglasari, Kota Tangerang), Minawati (pengusaha dodol Cina), Bayong (pengusaha dodol Cina), Indra (pengusaha /pemilik perusahaan peti mati), Hendrayanto (karyawan dari pengusaha /pemilik perusahaan peti mati), Maman (pedagang kue dan dodol cina), Muhamad Dace S.Pd. (guru IPS dan ketua MGMP IPS SMP 14 Kota Tangerang), Komaruddin, S.Pd. (guru IPS dan ketua MGMP IPS SMP 14 Kota Tangerang).

12. Teman-teman seperjuangan mahasiswa S2 Prodi Pendidikan IPS P2TK (Pa Ato, Pa Hibar, Pa Badrud, Mas Udi, Pa Juslan, Edison, Bunda Yati, Mega, Ani, Gus Erik, Pa Agus, Pa Rizky, Acep, Opit, Valen, Toni, Catur), atas persahabatan, berbagi cerita, dan pengalaman baik suka maupun duka selama penulis kuliah yang tidak akan pernah terlupakan.


(11)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu vii

13. Sahabat penulis (Fh. Senowati, Arum Puri, Astrid Nuraini, Eny Sugarti, Fasuliyah, Fatimah), yang telah memberikan bantuan ide, tenaga dan saran menentramkan selama pendidikan.

14. Kedua orang tua (Bapak Slamet Tulus dan Mama Respati Sudiyah-alm.) dan Mertua (Bapak Hery Sutanto dan Ibu Soejati Ningsih-alm.) yang senantiasa mencurahkan perhatian, cinta, kasih sayang, dan doa dalam setiap langkah penulis. Semoga segala bantuan dan doa yang diberikan balasan yang lebih di sisi Allah SWT.

15. Adik tercinta: Cahyani Suryandari, M.H. dan keluarga, yang selalu mendengarkan setiap cerita suka dan duka,

16. Keluarga besar yang selalu mendoakan penulis agar diberi kemudahan dalam meraih cita-cita yang diinginkan. Terima kasih atas seluruh perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan.

17. Suamiku (Teguh Wawan Hermawanto, S.E.), yang telah memberikan dorongan, semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 18. Anak-anakku tercinta (Artanti Putri Candraningtyas dan Kresna Saktiawan

Tulus Hertanto), yang seringkali harus melihat Ibunya banyak menghabiskan waktu bersama buku dan laptop. Semoga kalian menjadi anak yang sholehah dan sholeh.

19. Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat dituliskan secara satu persatu yang telah membantu penyusunan skipsi ini.

Penulis mendoakan semoga seluruh amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama menyelesaikan pendidikan tercatat oleh Allah SWT sebagai amal kebaikan dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang senantiasa mengetahui kebaikan umat-Nya. Amin.


(12)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu viii

Christina Wulandari

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian... 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Nilai Budaya ... 16

B. Transformasi Nilai Budaya ... 16

C. Nilai-Nilai Budaya Etnis Cina Keturunan ... 18

D. Sumber Pembelajaran ... 19

E. Pembelajaran IPS ... 22

F. Pemanfaatan Sumber Belajar Lingkungan dalam Pembelajaran IPS ... 25


(13)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu ix

G. Penelitian Terdahulu... 29

H. Kerangka Pemikiran ... 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 37

B. Partisipan dan Tempat Penelitian ... 38

C. Pengumpulan Data... 41

D. Analisis Data... 45

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50

1. Keadaan Umum Lokasi dan Lingkungan Desa Sewan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang ... 50

2. Sejarah dan Kehidupan Masyarakat Etnis Tionghoa (Cina Benteng) Desa Sewan Kota Tangerang ... 51

3. Keadaan Ekonomi Mata Pencarian dan Sosial ... 56

4. Karateristik Masyarakat ... 61

5. Bahasa Masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Sewan Kota Tangerang ... 62

6. Kepercayaan, Persembahyangan dan Klenteng pada Masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Sewan Kota Tangerang ... 62

7. Sistem Kekerabatan ... 67

8. Kesenian ... 68

B. Temuan dan Pembahasan Penelitian ... 76

1. Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Sewan Kota Tangerang ... 76


(14)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu x

1.2 Kataatan Tradisi ... 100

2. Transformasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Sewan Kota Tangerang kepada Generasi Berikutnya ... 104

3. Strategi Integrasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Etnis Tionghoa di Desa Sewan Kota Tangerang Sebagai Sumber Pembelajaran IPS ... 110

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan ... 137

B. Implikasi dan Rekomendasi ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141


(15)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Komponen Sumber Belajar ... 21 2. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 36 3. Langkah Analisis Data Kualitatif Model Interakti ... 46


(16)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Surat-Surat Penelitian ... 136

2. Lembar Wawancara ... 136

3. Rekap Hasil Wawancara ... 139

4. Dokumentasi Penelitian ... 175


(17)

1

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia adalah sebuah negara yang dihuni lebih dari 200 juta umat manusia dari Sabang sampai Merauke, terbentang di atas ribuan pulau lebih dari 5000 kilometer, dengan ratusan bahasa, suku, adat istiadat, budaya, serta beraneka ragam agama yang terdapat di dunia juga ada di negara kepulauan ini (Emmeson, 2001, hlm xxi). Kesemua itu, merupakan elemen penting yang turut mengkonstruksi Indonesia seperti sekarang ini, sehingga tepatlah untuk mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralis.

Pluralisme Indonesia merupakan kekayaan sekaligus modal sosial (social capital) yang teramat berharga yang semestinya disyukuri dan dirawat. Pluralisme atau keragaman tersebut sebaliknya justru akan membawa malapetaka bagi negeri ini jika tidak dikelola dengan baik. Selama ini perbedaan-perbedaan tersebut relatif tidak sampai merobek keutuhan dan kesatuan bangsa, meski acap kali mengalami kegoncangan, gangguan dan benturan. Keindahan dan kedamaian dalam perbedaan tersebut tentu saja tidak lepas dari pemahaman yang cukup mendalam terhadap makna pluralisme atau kemajemukan. Berbeda bukan berarti harus bertentangan. Beragam bahasa, budaya, keyakinan dan kelas sosial bukan bermakna harus saling berperang. Sebaliknya, perbedaan tersebut justru memiliki makna yang mendalam untuk membangun kekuatan yang lebih besar.

Upaya menyatukan keberagaman bangsa bukanlah tindakan dengan harga gratis, tetapi telah menjadi sejarah yang cukup panjang dan melelahkan, bahkan telah menguras pikiran dan energi para pendiri republik bernama “Indonesia” ini. Upaya menyatukan keberagaman bangsa Indonesia ini terkait juga dengan keberadaan masyarakat etnis Tionghoa, yang jauh sebelum negeri ini merdeka, bangsa Cina yang disebut dengan etnis Tionghoa, sebagai bagian dari keragaman negeri ini sudah bermukim dan berbaur dengan masyarakat sekitar (Setiono, 2003, hlm. 113).


(18)

2

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Sekali pun tidak ada dokumen mengenai kapan pastinya orang-orang Tionghoa masuk Nusantara, berbagai catatan mengemukakan bahwa pada abad ke 16 keturunan Tonghoa telah menyebar dari negara asalnya Tiongkok ke kawasan

Nusantara, yang sering dikenal dengan istilah “overseas Chinese

(Soemardjan,1988, hlm. 221). Selanjutnya gelombang kedatangan besar-besaran orang Tionghoa ke Indonesia diperkirakan terjadi hingga XIX di Jawa dan Sumatra (Setiono, 2003, hlm. 81 & 215). Meninggalkan negeri mereka akibat kesulitan hidup dan perang berkepanjangan, kehadiran mereka menimbulkan berbagai masalah. Salah satunya menurut Koentjaraningrat dalam Soemardjan (1988, hlm. 222) adalah belum terjadinya integrasi antara kehidupan mereka dengan cara atau kebudayaan Indonesia, sehingga masih terdapat garis pemisah antara golongan etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia, yang disebabkan oleh: (1) kebijakan penggolongan masyarakat pemerintah kolonial Belanda yang membuat masyarakat keturunan Tionghoa berbeda dalam kedudukan hukum dan sosial dari masyarakat Indonesia; (2) perasaan Chinese Culturalism yang masih sangat kuat.

Sekalipu demikian, masyarakat etnis Tionghoa memang dikenal memiliki budaya bukan hanya bentuk fisik saja melainkan mewujud secara psikis dalam

bentuk “Etika Moral” atau “Budi Pekerti” yang justru sangat berharga bukan

hanya bagi semua bangsa di dunia ini. Budaya Tionghoa dalam bentuk psikis tidaklah inklusif melainkan bersifat universal serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan. Hal ini bisa kita lihat banyaknya buku modern yang membahas masalah kesehatan, ekonomi, ilmu pengetahuan, yang berkaitan dengan pemikiran Confucius, sebagai dasar dari budaya Tionghoa. Pemikiran Confucius, yang menjadi dasar nilai bagi etnis Tionghoa, sangat releven dapat memajukan martabat manusia secara universal.

Sikap harmonis dalam keluarga dan menjauhkan diri dari konflik serta hidup selaras dengan watak sejati, bersahaja, jujur, dapat dipercaya, bekerja keras, tahan bantingan, tidak menyakiti orang lain, bijaksana dan seterusnya, merupakan sikap yang bercirikan Ketionghoaan. Ciri-ciri di atas merupakan ajaran moral


(19)

3

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

yang harus dimiliki dan dipahami oleh orang-orang Tionghoa dimanapun berada, termasuk juga yang berada di Indonesia (Kuncono, 2012, hlm 1).

Ciri-ciri positif yang melekat pada diri etnis Tionghoa, ternyata kurang dirasakan justru oleh komunitas asli penduduk Indonesia. Komunitas etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya, dan di Tangerang pada khususnya, dilukiskan memiliki perjalanan yang panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Potret buram etnis Tionghoa begitu kentara dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Periodenya sangat panjang (longue duree), diawali dengan kedatangan nenek moyang mulai abad XIV yang akhirnya diikuti migrasi besar-besaran dari Tiongkok abad XIX sampai awal abad XX (Lombard, 1999, hlm. 200).

Perjalanan hidup etnis Tionghoa diwarnai dengan belenggu kebijakan / aturan dan peristiwa kelam. Pada masa Orde Lama diterbitkan PP No. 10 / tahun 1959 yang berisi larangan bagi Warga Negara Tionghoa untuk berdagang eceran di luar ibukota propinsi dan kabupaten. Pemerintah RI juga memberlakukan ketentuan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang “masih dipertanyakan” (Effendi, 2008, hlm 38). Pada masa pemerintah Orde Baru, muncul pula Inpres No 14 / tahun 1967 yang disusul SKB Tiga Menteri, yang berisi larangan bagi WNI Tionghoa untuk melaksanakan ibadah sesuai agama dan kepercayaan leluhur mereka (Konghucu), dengan menampilkan tapekong dan baronsai dalam perayaan Tahun Baru Imlek.

Sentimen anti-Tionghoa tumbuh dengan cepat di Indonesia setelah tuduhan percobaan kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965. Indonesia menengarai Beijing berada di belakang percobaan kudeta. Selanjutnya berimbas kepada Warga Negara Indonesia etnis Tionghoa dalam bentuk kebijakan diskriminatif oeh pemerintahan Orde Baru (Suhandinata, 2009, hlm.352).

Catatan sejarah bangsa Indonesia, menorehkan tinta peristiwa kelam yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan/pembantaian massal dan penjarahan. Peristiwa Valckenier di Batavia tahun1740, Peristiwa Tangerang di Tangerang tahun 1946, dan Peristiwa


(20)

4

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Tragedi Mei 1998. Keseluruhan peritiwa tersebut telah mengorbankan jiwa, harta benda, bahkan kehormatan dari kaum hawa warga etnis keturunan Tionghoa, yang merupakan noda hitam sejarah masa lalu negeri ini (Lohanda, 2007a; Setiono, 2002, hlm. 577).

Pertanyaan yang sangat mungkin muncul kepermukaan adalah, “mengapa harus selalu etnis Tionghoa yang menjadi sasaran dari kerusuhan rasial?” Tentu saja tidak ada jawaban tunggal untuk persoalan ini, sebagaimana tidak ada jawaban tunggal untuk persoalan-persoalan social lainnya. Kemungkina jawaban untuk pertanyaan tersebut dapat ditelisik dari ungkapan-ungkapan bebarapa tokoh sejarah.Setidak-tidaknya unsur ketimpangan ekonomliah yang menjadi faktor dominan terjadinya kerusuhan-kerusuhan di atas. Hal tersebut diungkapkan dalam pandangan Marx sebagaimana dikutip oleh Franz Magnis Suseno, bahwa bidang ekonomi merupakan bidang yang akan menentukan kehidupan politik dan

pemikiran masyarakat (1999, hlm 51). Marx juga berkeyakinan bahwa “bukan

kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka (Suseno, 1999, hlm. 138).

Suryadinata (1984 , hlm 7) memberikan pendapat bahwa ada kesan di benak orang-orang pribumi bahwa orang-orang Tionghoa yang dipandang sebagai

“tamu” justru hidup lebih makmur daripada orang-orang pribumi sebagai tuan rumah. Tidak dapat disangkal bahwa beberapa di antara mereka memang hidup secara eksklusif. Di samping itu etnis Tionghoa memang sangat patuh dan konsisten dalam mempertahankan kebudayaan dan adat istiadat yang diwarisi dari leluhurnya.

Keberadaan etnis Tionghoa pada perkembangannya telah memunculkan komunitas-komunitas Tionghoa di Indonesia yang tersebar hampir di setiap kota-kota besar. Mereka selanjutnya mendiami suatu wilayah yang kemudian dikenal dengan Kampung Pecinan. Salah satunya adalah komunitas Tionghoa yang terdapat di wilayah Kota Tangerang, yang dikenal dengan sebutan Cina Benteng.

Menurut Oey Tjin Eng, tokoh masyarakat Cina Benteng, (Fuad, 2012,

hlm. 39), kata Tangerang diduga berasal dari kata “Tang-Ren” yang berarti Orang Tang. Hal ini bermakna bahwa orang Cina Tangerang adalah orang-orang Cina


(21)

5

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

yang mempunyai tali ikatan darah dengan Dinasti Tang, atau dapat diartikan merupakan keturunan dari Dinasti Tang.

Etnis Tionghoa yang terdapat di wilayah Kota Tangerang biasa dikenal

dengan istilah “Cina Benteng”. Istilah “Cina Benteng” muncul dari adanya

sebuah Benteng Makasar yang didirikan pada jaman Kumpeni Belanda yang terletak di tepi sungai Cisadane di kawasan Pusat Kota Tangerang yang sekarang telah rata dengan tanah (Santosa, 2002, hlm. 17).

Tidak seperti etnis Cina pada umumnya. Orang Cina Benteng di kawasan kota Tangerang memiliki ciri-ciri fisik berkulit hitam atau gelap dan bermata lebar, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin. Salah satu kantong kemiskanan wilayah Pecinan di Kota Tangerang adalah wilayah desa Sewan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang.

Istilah Sewan berasal dari kata Sewa atau sewaan. Istilah sewaan ini berasal dari terjadinya sewa menyewa antara sesepuh atau tuan tanah masyarakat Cina Benteng yang menyewa tanah-tanah dari pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu. Mereka menyewa tanah cukup luas, dan ketika pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, maka tanah-tanah tersebut kemudian dikuasai oleh masyarakat keturunan para penyewa tadi. Masyarakat Cina keturunan Kampung Sewan kemudian mengajukan pemilikan dengan hak milik atas tanah yang telah mereka tempati tersebut melalui Program Sertifikasi Nasional (Prona), walaupun demikian tidak semua tanah-tanah tersebut telah bersertifikat (Fuad, 2012, hlm. 3)

Komunitas Cina Keturunan Kampung Sewan adalah keturunan penduduk Cina yang datang ke Tangerang dengan terdamparnya Tjen Tji Lung pada sekitar abad ke-15 di pantai Tangerang. Gelombang kedua terjadi pada abad ke-18 dari Batavia akibat pembunuhan orang-orang Cina di Batavia pada tahun 1740 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (Lohanda , 2007a, hlm. 167).

Kehidupan ekonomi masyarakat dan pola kekeluargaan menarik untuk dikaji, karena secara ekonomi komunitas Kampung Sewan merupakan komunitas yang berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan dapat diartikan sebagai


(22)

6

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

sebuah kondisi di mana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk bertahan hidup. Secara sederhana, orang miskin dimaknai sebagai orang yang dalam keadaan normal tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan juga munculnya resiko kematian akibat ketidakmampuan tersebut (Dixon & Macarov, 1998, hlm.1). Kemiskinan sendiri tidak dapat diberlakukan absolut dalam setiap wilayah, setiap wilayah sangat bervariatif terhadap tingkat kemiskinan, sehingga kemiskinan dikatakan sebagai kemiskinan relative (relative poverty) (Dixon & Macarov, 1998, hlm. 7).

Tingkat kemiskinan penduduk Sewan tampak dari pendapatan rata-rata per hari komunitas Tionghoa di Kampung Sewan pada tahun 2010. Sebanyak 31,7% memiliki pendapatan kurang dari Rp.20.000,- . Sebanyak 60% memiliki pendapatan Rp. 20.001 sampai Rp.50.000,- Sebanyak 8,3% memiliki penghasilan lebih besar dari Rp. 50.000,- (Fuad, 2012, hlm. 96).

Kondisi tersebut tampak kontras dengan persepsi masyarakat yang pada umumnya berpandangan bahwa etnis Tionghoa dilambangkan dengan kisah suskses, penguasaan ekonomi raksasa dan konglomerasi. Kajian terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa kelas bawah (low level society) masih jarang dilakukan dan hanya sedikit kajian yang menelaah kehidupan masyarakat Tionghoa pada kelas bawah ini (Gondomono, 1996, hlm. 44).

Hidup masyarakat Cina Benteng di Kampung Sewan demikian marginal, serba kekurangan dan hidup sederhana. Namun dalam lingkungan tersebut terdapat kisah keuletan individu-individu yang memilih bekerja di sektor informal, yaitu dengan wirausaha.

Wirausaha menurut Masngudi (1998, hlm. 22) adalah, (a) merupakan naluri yang dibawa sejak lahir oleh seseorang dan karenanya tidak dapat dipelajari, yang disebut dengan istilah “Born Entrepreneurship”; dan (b) kewirausahaan dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan yang disebut dengan “Trained Entrepreneurship”.

Geoffrey G. Meredith (1996, hlm. 42) mengartikan kewirausahaan sebagai

“proses untuk melakukan sesuatu yang baru (kreatif) dan mengerjakan sesuatu yang berbeda atau (inovatif) yang bertujuan untuk menghasilkan kekayaan untuk


(23)

7

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

orang dan nilai tambah terhadap masyarakat”. Kewirausahaan merupakan proses

penciptaan sesuatu usaha baru yang menekankan pada kreativitas dengan menggunakan sumber daya yang ada secara konsisten. Kewirausahaan dilakukan untuk mencapai keuntungan maksimal bagi perusahaan.

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kewirausahaan. Secara garis besar faktor tersebut dibedakan dalam faktor yang bersifat internal dan yang bersifat eksternal. Faktor internal yang berasal dari dalam diri individu meliputi keluarga, agama atau keyakinan, kultur atau budaya yang melekat dan mewarnai kehidupan. Faktor-faktor yang bersifat eksternal meliputi: lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat (Ahmadi, 2008, hlm xiv).

Mayoritas mutlak masyarakat etnis Tiongkok di Sewan adalah pedagang. Bahkan, menurut penelitian Fuad (2012, hlm. 94), dari total sampling responden dalam wawancara sebanyak 60 orang, keseluruhan responden tersebut 100%, merupakan kalangan yang bermata pencarian pedagang. Keenam puluh responden tersebut, terdiri dari pedagang makanan dan minuman (sebanyak 90%), pedagang bensin eceran (sebanyak 3,3%), sisanya adalah pedagang teh, pedagang VCD, penjual kayu, dan penjual alat rumah tangga (masing- masing sebanyak 1,6 %).

Berdasarkan data tersebut di atas, maka terdapat gambaran bahwa komunitas Tionghoa di Sewan bukan merupakan penguasa ekonomi. Masyarakat berada dalam kategori low level class, di mana mereka dari berdagang kecil-kecilan.

Dikenal dengan sebutan “Cina Benteng” atau “Hitachi” (Hitam tapi

China), dengan kondisi serba kekurangan, masyarakat Sewan tersebut tidak lantas meninggalkan adat istiadat dan budaya dari leluhurnya. Di tengan deraan himpitan kesulitas perekonomian, masyarakat Sewan dikenal tetap memegang teguh tradisi / adat istiadat leluhur mereka. Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan, antara lain ritual persembahyangan dan perkawinan tradisional Chio Tao. Dalam pelaksanaan perkawinan tradisional, orang Tionghoa Sewan akan mempertahankan kesenian mereka, antara lain musik gambang kromong dan tarian cokek. Musik gambang kromong dan tarian cokek, yang wajib ada dalam tata ritual perkawinan orang Tionghoa Sewan, adalah merupakan akulturasi antara


(24)

8

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

masyarakat China Benteng dengan masyarakat Betawi (Julianto , 2009, hlm. 166 & 181).

Keseluruhan elemen kehidupan masyarakat Tionghoa di Sewan, merupakan hal yang sangat menarik untuk menjadi kajian pendidikan IPS, karena sarat nilai-nilai. Keberadaan masyarakat Tionghoa di Sewan akan mengajarkan pada semua pihak mengenai banyak hal. Makna nilai perjuangan hidup, nilai-nilai wirausaha, dan semangat mempertahankan kebudayaan leluhur di tengah kesulitan ekonomi mereka yang tidak beruntung, adalah hal utama yang bisa menjadi pembelajaran dalam keilmuan Pendidikan Ilmu Pengatahuan Sosial (PIPS).

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai salah satu mata ajar, mengkaji berbagai aspek kehidupan masyarakat secara interdisipliner. Masyarakat dipandang sebagai totalitas atau integritas dari berbagai sudut pandang ilmu sosial, sehingga masyarakat dalam IPS tidak tersekat-sekat secara monodisipliner. Hal ini memungkinkan IPS memiliki padangan yang komprehensif dalam mengkaji masyarakat yang ada dalam suatu lingkungan. Misi IPS mengantarkan peserta didik agar mampu mengenal masyarakat dan lingkungannya, mampu beradaptasi bahkan menjadi agen perubahan, diharapkan berpartisipasi aktif dalam mengatasi masalah sosial sesuai psikologi perkembangan peserta didik (Maryani, 2011, hlm 2)

Selama ini pembaharuan pendidikan lebih banyak berkaitan dengan faktor akademik guru. Sementara itu, faktor lain seperti faktor sosial dan budaya dan religi kurang mendapat perhatian. Aspek metodologis lebih banyak diperhatikan dari pada aspek sosial dan budaya subjek peserta didik. Akibatnya, kualitas dan produktivitas baik proses maupun hasil sangat memprihatinkan, yang seharusnya sarat dengan muatan paedagogis dan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, sehingga mereka memiliki kesadaran terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsanya dalam proses kehidupan masyarakat. Perancangan dan pengembangan pendidikan di sekolah, logikanya harus lebih mengedepankan aspek sosial dan budaya, sebagai pra-kondisi dan pembekalan awal kepada generasi muda agar menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab (NCSS, 1994; Lasmawan, 2005).


(25)

9

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Akomodasi nilai-nilai sosial dan budaya dan religi dalam konteks pembelajaran IPS bisa dilakukan dengan memasukkan aspek sosial budaya masyarakat, mulai dari saat perancangan program pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan pelaksanaan penilaian terhadap capaian hasil belajar siswa (Hasan, 2006, hlm. 15). Hal ini penting dilakukan dengan harapan bahwa melalui nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat, melalui proses pembelajaran akan menjadi nilai-nilai yang dihayati dan diinternalisasi serta dipahami oleh peserta didik baik sebagai warga masyarakat maupun secara individual.

Preposisi tersebut di atas, sejalan dengan penekanan yang diberikan oleh Somantri (2001, hlm 125), yang mengatakan bahwa pembelajaran IPS di sekolah harus mampu menjembatani dan memfungsionalkan segala aspek sosial dan budaya masyarakat dalam proses pembelajaran yang kondusif, sehingga peserta didik mempunyai ketahanan dan literasi terhadap masalah-masalah sosial dan budaya masyarakatnya.

Pembelajaran IPS sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan manusia, memanusiakan manusia (Stahl, 2008, hlm. 76) harus mampu mengkondisikan dan memediasi pengembangan potensi peserta didik secara optimal, sehingga mereka benar-benar merasakan dampak dan manfaat dari belajarnya (meaningful learning). Untuk itu, pembelajaran yang dilakukan di sekolah hendaknya tidak terlepas dari referensi sosial dan budaya dari masyarakat itu sendiri. Referensi sosial-budaya jika digunakan dalam pengembangan pendidikan, diduga akan menghindarkan para pemikir, pengambil kebijakan, dan para pelaksana serta

pelaku pendidikan dari kondisi “keterbelengguan” dan “determinisme” pemikiran

pendidikan (Al Muchtar, 2014; Lasmawan, 2005, hlm. 98).

Iklim pembelajaran dan model pengorganisasian materi ajar yang termuat dalam silabus (kurikulum operasional) hendaknya tidak hanya mengandung rekayasa “instrumentalistik”, sehingga semakin menjauhkan kodrat dan bakat peserta didik yang terlepas dari referensi sosial budaya kemasyarakatan (Arthur 2000; Somantri, 2001). Sejalan dengan konsepsi tersebut, berdasarkan pengamatan dan antisipasi pendidikan pada era hightech-information dan pemberlakuan kembali KTSP saat ini, maka tampaknya pembelajaran IPS harus


(26)

10

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

dapat memainkan peran dan fungsinya secara tepat dan komprehensif, sehingga mampu menjauhkan peserta didik dari dampak negatif revolusi sosial-budaya gelombang ketiga (Hasan, 2006; Toffler, 1980). Untuk itu, pembelajaran IPS di Sekolah Menengah Pertama, yang secara umum peserta didiknya masih ada dalam usia operasional-formal (Piaget & Inhelder, 2010, hlm. 15-32), memerlukan instrumen-instrumen khusus pembentukan pribadi dan tata nilai yang nantinya menjadi keyakinan yang dimiliki siswa. Untuk mencapai hal itu, pembelajaran IPS di sekolah harus didukung oleh model pengorganisasian materi, model pembelajaran, buku ajar, dan perangkat penilaian yang berwawasan sosial budaya, sehingga memungkinkan peserta didik mencapai tingkat multiliterasi sosial budaya yang optimal (Piaget, 1980, hlm. 76).

Pendekatan sosial budaya merupakan pengorganisasian materi yang menghadirkan kondisi riil kehidupan masyarakat sehari-hari, baik dimensi sosial maupun budaya secara komprehensif ke dalam kelas dalam suasana yang terbuka, aktual, dan faktual (NCSS, 1994; Jarolimek, 1986).Melalui kenyataan ini, dimensi sosial budaya di kelas diharapkan siswa merasa belajar dalam realitas kehidupannya sehari-hari, sehingga tidak mengalami shock-learning situation (Woolever, R & Scoott, K.P. , 1990, hlm. 123).

Guru diharapkan melakukan strategi pembelajaran yang baik agar motivasi belajar siswa lebih meningkat. Artinya, bagaimana seorang guru harus berperan dengan baik agar para peserta didiknya tidak bosan menerima pelajaran IPS. Seorang guru disamping mentrasfer pengetahuan dasar, juga menanamkan nilai-nilai moral.Tentu nilai-nilai moral ini sangat penting karena menjadi landasan bagi para peserta didik untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan standar benar dan salah. Guru bertanggung jawab terhadp siswa yang lulus dari sekolah dasar memiliki nilai-nilai moral yang sesuai dengan norma agama dan norma-norma hukum. Pendidikan moral ini sangat penting dan menjadi tolok ukur seseorang yang berpendidikan. Hal yang memprihatinkan jika seorang anak pandai secara akademis atau secara intelektual, namun tidak mampu memerankan dirinya sebagai seorang yang berperilaku baik. Hal ini tentu menjadikan dia cacat bahkan tidak akan dihargai dalam pergaulan di masyarakat. Hasil pendidikan yang


(27)

11

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

dilihat oleh masyarakat yang pertama kali adalah sikap moral dari lulusan lembaga pendidikan. Sikap moral ini menjadi penentu seseorang sukses atau tidak dalam menjalani kehidupan di masyarakat, karena masyarakat tidak akan memandang kepandaian seseorang, prestasi seseorang dalam bidang eksakta, misalnya atau dalam bidang hitung menghitung jika moralnya tidak baik (Suastika, 2011, hlm. 1).

Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan salah satu mata pelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama. Pada hakikatnya IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran dalam bentuk integrated sciences dan integrated social studies. Muatan IPS berasal dari sejarah, ekonomi, geografi, dan sosiologi. Mata pelajaran ini mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan program pendidikan yang berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungan social. Tujuan pendidikan IPS menekankan pada pemahaman tentang bangsa, semangat kebangsaan, patriotisme, dan aktivitas masyarakat di bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Kemendikbud, 2013, hlm. 97).

Dalam program pendidikan dasar di Indonesia, mata pelajaran IPS mempunyai beban jam yang hampir sama dengan bidang studi IPA atau Matematika. Walaupun memiliki beban jam pelajaran yang hampir sama dengan kedua bidang studi tersebut, IPS bila tidak dikelola dengan baik dalam pembelajaran, memiliki peluang untuk menjadi mata pelajaran yang membosankan, misalnya siswa tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran serta buku paket sebagai satu-satunya sumber belajar.

Al Muchtar (2014, hlm. 5) menguatkan hal tersebut dalam kutipannya sebagai berikut,” Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan bidang studi yang menjemukan dan kurang menantang minat belajar siswa, bahkan lebih dari itu dipandang sebagai ”kelas dua” oleh siswa maupun oleh orang tua siswa ”. Hal ini diduga bersumber pada lemahnya mutu proses belajar.


(28)

12

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Kelemahan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial selama ini adalah kurang mengikutsertakan peserta didik dalam proses pembelajaran (teacher centred). Guru tidak mengembangkan berbagai pendekatan maupun metode dalam pembelajaran. Kebanyakan para pendidik menempuh cara yang paling mudah, yaitu dengan menggunakan metode ceramah dan mengandalkan penghafalan fakta-fakta belaka. Menurut Somantri (2001, hlm. 303-304) salah satu kelemahan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah menekankan pada strategi ceramah dan ekspositori atau transfer of knowledge yang menjadikan guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar.

Selain itu, dalam pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial nilai sosial dan budaya yang berkembang di lingkungan masyarakat atau peserta didik belum dijadikan sebagai sumber belajar. Sehingga kadangkala peserta didik tidak merespon kejadian-kejadian yang disekitarnya. Hal ini sesuai yang diutarakan oleh Al Muchtar (2014, hlm. 220), yaitu :

”...Nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat lingkungan peserta didik tidak dijadikan sumber pelajaran IPS. Kalaupun dilakukan amat terbatas hanya sebagai bahan pelengkap tidak merupakan inti bahasan untuk melatih kemampuan penalaran nilai. Dampaknya pendidikan IPS tidak mendekatkan dan mengakrabkan peserta didik dengan lingkungan sosial budayanya. Akibatnya pendidikan IPS belum mampu berperan sebagai media bagi pengembangan kemampuan penalaran nilai bagi peserta didik. ”

Terkait dengan permasalahan di atas, maka upaya peningkatan kualitas proses belajar mengajar pendidikan IPS yang melibatkan peserta didik dalam pembelajaran atau student centered, merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu upaya yang dapat menjembatani permasalahan tersebut yaitu dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar dalam proses belajar mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah sangat penting. Hal ini ditegaskan Sumaatmadja (1980:16) bahwa:

“Ilmu pengetahuan sosial adalah bidang-bidang yang digali dari kehidupan praktis sehari-hari di masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran IPS yang melupakan masyarakat sebagai sumber dan obyeknya, merupakan suatu bidang pengetahuan yang tidak berpijak kepada kenyataan. IPS yang


(29)

13

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

tidak bersumber kepada kenyataan tidak mungkin mencapai sasaran dan tujuannya, dan tidak akan memenuhi tuntutan kemasyarakatan.”

Selanjutnya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Sayakti (2003) mengenai pemanfaatan lingkungan mengatakan bahwa pembelajaran yang menggunakan konsep lingkungan hidup sebagai sumber belajar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan perolehan hasil belajar yang diselenggarakan oleh guru menjadi bermakna. Sedangkan menurut Istianti (2004) pemanfaatan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar sangat efektif dalam memberikan kedalaman makna materi dan pengertian kepada siswa berkenaan dengan topik yang menjadi bahan pelajaran. Kebermaknaan pengembangan materi terkait dengan kinerja guru dalam menciptakan pola kegiatan belajar yang kreatif dan inovatif. Menurut Wiriaatmadja (2002, 307-308) proses belajar mengajar ilmu- ilmu sosial akan tangguh apabila melakukan banyak kegiatan aktif, seperti:

1. Belajar mengajar aktif harus disertai dengan berfikir reflektif dan pengambilan keputusan selama kegiatan berlangsung, karena proses pembelajaran berlangsung dengan cepat dan peristiwa dapat berkembang tiba-tiba.

2. Melalui proses belajar aktif, siswa lebih mudah mengembangkan dan memahami pengetahuan baru mereka.

3. Proses belajar aktif membangun kebermaknaan pembelajaran yang diperlukan agar peserta didik dapat mengembangkan pemahaman sosialnya.

4. Peran guru secara bertahap bergesar dari berbagai sumber pengetahuan atau model kepada peranan yang tidak menonjol untuk mendorong siswa agar mandiri dan disiplin.

5. Proses belajar mengajar ilmu-ilmu sosial yang tangguh menekankan proses pembelajaran dengan kegiatan aktif di lapangan untuk mempelajari kehidupan nyata dengan menggunakan bahan dan keterampilan yang ada di lapangan.

Memasuki abad ke-21, banyak terdapat tuntutan kehidupan yang harus disikapi dan direspon dengan tepat. Termasuk juga pada dunia pendidikan. Sebagaimana kutipan Trilling dan Fadel (2009: xxviii): “…the world has changes so fundamentally in the last few decades that the roles of learning and education in day-to-day living have also changed forever.”

Perkembangan abad mutakhir, seluruh warga negara tidak hanya dituntut memiiki kemampuan standar dalam hal baca, tulis dan berhitung. Namun juga


(30)

14

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

wajib memiliki kemampuan-kemampuan yang lebih maju lagi. Salah satu kemampuan tersebut menurut Metiri Group (2009) adalah kemampuan komunikasi interaktif, ketrampilan social dan personal yang meliputi: (1) bekerja dalam kelompok dan bekerja sama (kolaborasi); (2) tanggung jawab pribadi dan kelompok; (3) komunikasi dua arah. Selain mencakup pada kemampuan literasi digital, inventif nalar, dan aplikatif kekinian.

Menjawab kebutuhan tersebut, penting bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk membawa siswa didik mengerti tentang keberadaan masyarakat etnis Cina Benteng sebagai bagian integral Warga Negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat J. A. Banks dan C.A. Banks (2008, hlm. 10), bahwa “…Children are not born prejudiced, but by the time they enter kindergarten they may process misconceptions and negative attitudes about culture group different from their own”. Hal ini dapat mencegah terjadinya kesenjangan prasangka terhadap para etnis Cina Benteng, dan meminimalisir kemungkinan terjadinya peristiwa seperti Peristiwa Valckenier tahun 1740 dan Peristiwa Kekerasan Anti Cina Tahun1998.

Faktor lain yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang budaya masyarakat China adalah masih sangat jarangnya materi tentang Sumber Pembelajaran IPS yang mengetengahkan tentang Pecinan. Serta keinginan untuk mengetahui lebih dalam tentang implementasi dan transformasi nilai-nilai budaya, terutama tentang kewirausahaan dan ritual perkawinan, dari masyarakat keturunan Tionghoa.

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian

Penelitian ini berada pada kajian Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan cara mengambil data dari etnis Cina Keturunan tentang cara bagaimana nilai-nilai budaya mereka ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan bagaimana mereka mentransformasi nilai-nilai tersebut kepada generasi berikutnya.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan penelitian ini diajukan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:


(31)

15

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

1. Apa sajakah nilai-nilai budaya yang masih dipegang secara kuat oleh masyarakat etnis Tionghoa di Sewan kota Tangerang?

2. Bagaimanakah masyarakat etnis Tionghoa di Sewan kota Tangerang mensosialisasikan nilai-nilai budaya itu kepada generasi berikutnya?

3. Bagaimana strategi mentranformasikan nilai-nilai budaya masyarakat etnis Tionghoa di Sewan kota Tangerang sebagai sumber pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan nilai-nilai budaya apa saja yang secara kuat masih dipegang oleh masyarakat etnis Tionghoa di Sewan kota Tangerang.

2. Menganalisis cara masyarakat etnis Tionghoa di Sewan kota Tangerang mensosialisasikan nilai-nilai budaya itu kepada generasi berikutnya.

3. Menganalisis strategi mentransformasikan nilai-nilai budaya masyarakat etnis Tionghoa sebagai sumber pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat dijadikannya sebagai sarana untuk menambah wawasan tentang pendidikan IPS, khususnya pada kajian-kajian budaya lintas etnis baik dalam konteks sekolah ataupun masyarakat, terutama berkaitan erat dengan pelaksanaan kurikulum 2013. Mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang mengkaji tentang multi etnik dengan unsur kajiannya dalam konteks peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah: Sebagai bahan masukan bagi guru bidang studi IPS, terutama dalam melakukan proses pembelajaran hendaknya dapat memperhatikan pemanfaatan lingkungan sekitar yang sarat akan unsur sikap dan nilai (attitudes and values) positif yang bersifat multietnis. Pembelajaran IPS sarat dengan nilai, sehingga seyogyanya pembelajaran IPS bukan hanya diarahkan sekedar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan adanya keseimbangan antara unsur yang ada meliputi : Pengetahuan (Knowledge),


(32)

16

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Keterampilan (Skills), Sikap dan nilai (Attitudes and values). Dengan melakukan aternatif inovasi pembelajaran IPS dengan mengaitkan terhadap unsur multikulural dari negara kesatuan Republik Indonesia, diharapkan akan menumbuhkan penerimaan dan pemahaman terhadap budaya lain di luar diri siswa didik, dan bermuara pada aksi nyata siswa didik sebagai warga negara kelak (Citizen action). Dengan begitu, terwujudnya tujuan IPS yakni menjadi warga negara yang baik (good citizenship) akan mudah dicapai. Sedangkan bagi pemegang kebijakan, penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk memaknai secara positif kebudayaan masyarakat etnis Tionghoa sebagai suatu kekayaan lokal bukan benda.


(33)

1

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Lincoln dan Guba (1985, hlm. 226) mendefinisikan rancangan penelitian sebagai usaha merencanakan kemungkinan-kemungkinan tertentu secara luas tanpa menunjukkan secara pasti apa yang akan dikerjakan dalam hubungan denga unsur masing-masing. Desain penelitian menurut Mc Millan dalam Ibnu Hadjar (1999, hlm. 102) adalah rencana dan struktur penyelidikan yang digunakan untuk memperoleh bukti-bukti empiris dalam menjawab pertanyaan penelitian.

Sesuai dengan judul, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-nilai budaya masyarakat etnis Tionghoa di wilayah Sewan Kota Tangerang, terutama mengenai mental wirausaha dan ritual perkawinan mereka. Kedua aspek tersebut kemudian akan diimplementasikan sebagai sumber pembelajaran IPS. Untuk itu maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus.

Menurut Creswell (1985: 5) :

Qualitative research is an inquiry process o f understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem, the researcher builds a complex, holistic pisture, analyzes words, report detailed views of informants, and conducts, the study in a natural setting.

Pengertian studi kasus telah memunculkan perdebatan tentang studi kasus. Perdebatan tersebut menyangkut apakah studi kasus merupakan format/bentuk yang sesuai untuk penelitian pendidikan / berbasis sekolah. Bahkan banyak peneiti yang kerap menyebut studi kasus sebagai etnografi atau bagiannya. Belum lagi, bahwa beberapa penelitian studi kasus menggunakan pendekatan kuantitatif. Padahal studi kasus merupakan studi yang sangat kualitatif, yang memfokuskan perhatian terhadap kajian mengenai peristiwa naturalistik sehari-hari, budaya dan peristiwa interaksi sehari-hari. Hal yang paling penting untuk diingat terkait antara studi kasus dengan metode lainnya, adalah terletak pada obyek yang akan


(34)

2

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

dieksplor dan digali, bukan pada orientasi metodologi penelitiannya (Hitchock dan Hughes, 1995, hlm. 316-317).

Menurut Creswell (1998, hlm. 37-38), studi kasus adalah sebuah eksplorasi dari “suatu sistem yang terikat” atau “suatu kasus/beragam kasus” yang dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang “kaya” dalam suatu konteks. Sistem terikat ini diikat oleh waktu dan tempat sedangkan kasus dapat dikaji dari suatu program, peristiwa, aktivitas atau suatu individu. Dengan perkataan lain, studi kasus merupakan penelitian dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi atau kelompok sosial) serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu.

Yin, R.K. (1989, hlm. 28) mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu : (1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan (4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus.

Lebih jauh mengenai studi kasus, Salim (2001, hlm. 92-93) mengatakan bahwa alasan pemilihan pendekatan studi kasus pada dasarnya terfokus pada: (1) Studi kasus merupakan salah satu metode atau strategi penelitian kualitatif yang muncul pada masa keemasan penelitian kualitatif yang bersifat spesifik, khusus, dan berskala lokal sehingga amat pas dengan momentum postmodernisme yang menjadi acuan paradigma baru dalam penelitian kualitatif masa kini; (2) studi kasus banyak dilakukan dalam penelitian bidang pendidikan, yang berusaha menjawab suatu pertanyaan “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).


(35)

3

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Guna kelancaran penelitian, peneliti dibantu oleh informan. Informan inilah yang merupakan sumber berita sebagai pembicara asli (native speaker). Informan yang sekaligus menjadi subyek penelitian terdiri dari pihak-pihak yang berdasarkan pertimbangan penelitian dinilai memiliki kapasitas yang tepat dalam arti subyek penelitian atau bertindak sebagai informan penelitian memiliki kualitas dan ketepatan sebagai subyek penelitian yang representative sesuai dengan tuntutan karakteristik masalah. Meliputi: Camat / perangkat Kecamatan Neglasari, pengusaha dodol cina, pengusaha peti mati, pengelola rumah kawin, dan beberapa guru IPS di SMP Kota Tangerang .

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menentukan kategori subyek penelitian sebagai informan adalah sebagai berikut:

No Nama Informan Alamat Posisi

1. Oey Tjin Eng Jl. Bhakti No. 14 Pengurus Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Boen Tek Bio

2. Ubaidilah Ansar Jl. Iskandar Muda No 54

Camat Kampung Sewan, Neglasari, Tangerang

3. Minawati Jl. Bora Rt. 001 / 02, No. 59

Pengusaha Dodol Cina

4. Bayong Samping Kuburan

Kristen, Pintu Air

Pengusaha Dodol Cina

5. Indra, Hendrayanto

Jl. Bora Rt. 001 / 02, No. 58

Pengusaha Peti Mati

6. Lie Seng Jl. Iskandar Muda

Sewan Kongsi Rt. 006 / Rw. 04 No. 20

Pengusaha Rumah Kawin dan Pengelola vihara.

7. Maman Jl. Lio, Pintu Air Pedagang kue dan dodol cina

8. Teguh Tanah Tinggi,

Tangerang

Pedagang kue dan roti


(36)

4

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu 03/01, Poris Plawad, Cipondoh

Ketua MGMP IPS SMPN 14 Kota Tangerang

10. Komaruddin, S.Pd.

Jl. Kalingga X Rt. 005/016, No. 17, Uwung Jaya

Guru IPS SMPN 4, &

Ketua MGMP IPS Kota Tangerang

Tempat penelitian dilakukan di wilayah Desa Sewan, Kecamatan Neglasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang Banten. Beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pemilihan lokasi penelitian, adalah:

1. Bahwa wilayah desa Sewan, termasuk pada wilayah yang banyak penduduk etnis Tionghoa, merupakan wilayah miskin Kota Tangerang.

2. Meskipun merupakan wilayah miskin, namun tampak bebarapa aktivitas kehidupan masyarakatnya yang tetap mempertahankan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-harinya dan dominannya mental kewirausahaan masyarakat etnis Tionghoa itu. Hal tersebut tampak dalam bentuk usaha dan aktivitas perorangan, seperti: adanya pabrik dodol cina, pabrik peti mati, dan rumah kawin.

3. Bahwa kekontradiktivan (kemiskinan versus semangat wirausaha dan kekuatan tradisi) merupakan hal yang menarik untuk dijadikan sebagai sumber pembelajaran IPS.

Dalam penetapan lokasi penelitian ini, peneliti sebagai pengumpul data utama dalam penelitian ini mendasarkan pada asumsi (1) peneliti akan mampu berinteraksi dengan subjek penelitian dan lingkungan yang ada, memiiki kepekaan terhadap segala stimulus yang berkaitan dengan penelitian; (2) peneliti akan dapat menyesuaikan diri dengan semua aspek keadaan sehingga dapat memahami situasi dalam segala bentuknya; (3) peneliti akan dapat merasakan, memahami dan menghayati secara kompeten dan simultan terhadap segala fenomena yang muncul secara kontekstual, sehingga pada gilirannya akan dapat menganalisis, menafsirkan dan merumuskan kesimpulan sementara dalam menentukan proses analisis arah wawancara dengan subjek penelitian untuk memperdalam atau memperjelas temuan penelitian; (4) peneliti akan dapat mengungkap lebih lanjut dlan mendalami terhldap kemungkinan respon yang menyimpang dari jawaban


(37)

5

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

subjek penelitian. Keragaman respon ini selanjutnya dapat digunakan untuk mempertinggi pemahaman dan validitas mengenai aspek yang diteliti, karena hanya peneliti yang dapat menginterpretasikan data secara kontekstual.

C. Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrument penelitian utama. Moleong ( 2006:9) menjelaskan”kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, anais, penafsir data, dan pada akhirnya sebagai pelapor hasil penelitian”. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan focus peneitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuan”. (Sugiyono, 2010 : 306). Peneliti sebagai instrument menurut Nasution (2003: 55-56), cocok untuk tradisi penelitian kualitatif karena:

1) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakan bermakna atau tidak bagi peneliti. Tidak ada peneliti lain yang dapat bereaksi dan berinteraksi terhadap demikian banyak factor dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah; 2) Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpukan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian lain, seperti yang digunakan dengan macam-macam situasi yang serupa; 3) Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada instrument berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. Hanya manusia sebagai instrument dapat memahami situasi dalam segala seluk beluknya; 4) suatu situasi yang dapat melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannnya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita; 5) Peneliti sebagai instrument dapat segera menganalisis data yang diperoleh; 6) Hanya manusia sebagai instrument dapat mengambil kesimpuan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan, dan; 7) Dengan manusia sebagai instrument, respon yang aneh,


(1)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Kantor Penelitian, Pengembangan & Statistik Kota Tangerang dan Bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang. (2013). Kota Tangerang

dalam Angka 2012 dan Angka Sementara 2013: Tangerang Municipality in Figures 2013. Tangerang: Kantor Penelitian Pengembangan & Statistik

Kota Tangerang dan Bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik Kota Tangerang.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama /Madrasah Tsanawiyah.

Jakarta: Depdikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Materi Pelatihan Guru:

Implementasi Kurikulum 2013 – SMP – Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta:

Pusat Pengembangan Profesi Pendidik, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat. (1986). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. (1993). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

Koentjaraningrat. (1993). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Komalasari, K. (2014). Pembelajaran Konstekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.

Kuncono, O.S. (2012). Nilai-Nilai Positif Budaya Tionghoa. Study Park of

Confusius: Journal. Jakarta: SPOC.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Lan, N.J. (1961). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Kong Po Pintu Besar Selatan.

Lasmawan, Wayan. (2005). Pendidikan dalam Konteks Globalisasi. Denpasar: IKIP Negeri Singaraja.

Latuhere, J.D. (1988). Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar

Masa Kini. Jakarta: Depdikbud.

Liang, K.W. ( 2001). Buku. Kenang-Kenangan 50 Tahun Kenteng Pak Tik


(2)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inqury. Beverly Hills: Sage Publications.

Lindsay, T. ed. (2005). Chinese Indonesian: Remembering, Distorting,

Forgetting. Singapore: Institute of South East Asian Studies.

Lohanda M. (1996). The Kapiten Cina of Batavia, 1837-1942. Jakarta: Djambatan.

Lohanda, M. (2007a). Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Jakarta: Masup. Lohanda, M. (2007b). Tragedi Seorang Kapitan Cina. Dalam Hoetink, N.H.

Kapitein Tiong Hoa di Betawi dalem Tahon 1740. Cetakan kedua. Jakarta:

Masup.

Lombard, D. (1999). Nusa Jawa: Silang Budaya (terj.). Yogyakarta: LKIS.

Lubis, M. (2008). Transformasi Budaya untuk Masa Depan. Jakarta: Haji Masagung.

Mahfuh, B. (2010). Memperkuat Peran IPS dalam Membelajarkan Ketrampilan

Sosial dan Resolusi Konflik:Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar FP-IPS UPI. Bandung.

Moleong, L. J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Maryani, E. (2011). Kearifan Lokal sebagai Sumber Pembelajaran IPS dan

Keunggulan Karakter Bnagsa : Makalah, Disajikan pada Acara Konvensi Nasional Pendidikan IPS, 13-14 Juli 2011. Bandung: UPI.

Masngudi. (1998). Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: Universitas Borobudur.

Mc Clelland, D.C. and Winter, D.G. (1987). Kunci Sukses Keberhasilan Ekonomi. Jakarta: Gunung Jati.

Melalatoa, M.J. (2005). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilia A-K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Meredith, G.G. (1996). Kewirausahaaan: Teori dan Praktek. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo.


(3)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Miles, B. M. (1992). Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Method. (third edition). Bevery Hills: Sage Publication

Moedjiono dan Dimyati M. (1991/1992), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Departemen P dan K DIKTI.

Nasution, S. (2003). MetodePenelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. National Council for the Social Studies. (1994). Expectatiton of Excellence

Curricullim Standard fro Social Studies. United States of America.

Overton, R. (2002). Are You Enterpreneur?. Singapre: Wharton Book Pte Ltd. Piaget, J. & Inhelder, B. (2010). Psikologi Anak (terj.). Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Piaget, J. (1980). Psychology and Epistemology: Toward a Theory of Knowledge (transalated by Arnold Rosin). England: Pinguin Books.

Pratomo, S. (2006). Pendidikan Lingkungan untuk SD. Bandung: Sonagar Press. Rockeach, M. (1973). The Nature of Human Value. New York: The Free Press. Rusyan, A. T. (1995). Meningkatkan Mutu Kegiatan dalam Proses Belajar

Mengajar di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Kertanegara.

Salim, A. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Denzin Guba dan

Penerapannya. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Salmon, C.L. & Lombart, D. ( 2003). Klenteng-Klenteng dan Masyarakat

Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Santosa, I. (2012). Peranakan Tionghoa di Indonesia: Catatan Perjalanan dar

Barat ke Timur. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Satori, Dja’man dan Aan Komariah. (2010). Metodolgi Penelitian Kualitatif.

Bandung: Alfabeta.

Sayakti, L. (2003). Implementasi Konsep Lingkungan Hidup Sebagai Sumber

Belajar dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar: Tesis S2 PS PIPS UPI. Bandung: UPI.

Setiono, B.G. (2003). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.

Sitepu, B.P. (2014). Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


(4)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Soemardjan,S. (1988). Steriotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika Kita.

Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Stahl, E. (2008). Personal Epistemologies: Research [Online]. Tersedia di www//roedu.au/cgi/viewcontent.cgi. 2012

Stephen, R.P. (1996). Perilaku Organisasi. Jakarta: Prenhallindo.

Suastika, E. (2011, 2 Mei). Perencanaan Pendidikan. [Online]. Diakses dari http:// blog.um.ac.id/suastika/2011/perencanaan-pendidikan.html.

Sudjana, N. dan Wari S. (1991). Model-Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sudjana, Nana. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sudjana, Nana. (2005). Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru Algensido Offset.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R &D. Bandung: Alfabeta.

Suhandinata, J. (2009). WNI Keturunan Tionghoa daam Stabilitas Ekonomi dan

Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sumaatmadja, H. N. (1980). Metodologi Pengajaran Pengetahuan Sosial di

Sekolah Dasar. IKIP Bandung.

Somantri, N. (2001). Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sumardjo, Yacob. (2003). Transformasi Pendidikan Nilai. Jakarta: Garba Budaya. Supriadi, D. (1989). Kreativitas dan Orang Kreatif dalam Lapangan Keilmuan.

Bandung: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Supriadi, D. (1994). Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan IPTEK. Bandung: Alfabeta.


(5)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Supriatna, N. Makalah Media/Sumber Pembelajaran IPS di Sekolah, disampaikan pada Semiloka Guru—guru IPS, Kabupaten Majalengka Jawa Barat, tanggal 11 Desember 2007.

Suryadinata, L. (1984). DilemaMinoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press. Suseno, F.M. (1999). Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tjwan, G.G. (2008). Desa Dadap: Wujud Bhineka Tunggal Ika. Jakarta: Elkasa. Toffler, A. (1980). The Tirth Wave. London: Pan Books, Ltd.

Trilling, B. & Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2014). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. UPI Bandung.

Usman, M. U. (1995). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Vermullen, J.T. (2010). Tionghoa di Batavia dan Huru-Hara 1740. Depok: Komunitas Bambu.

Wahana, P. (2004). Nilai Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius. Wanardi, J. (2003). Entrepreneur and Entrepreneurship. Jakarta: Prenada Media. Woolever, R & Scoott, K.P. (1990). Active learning in Social Studies:

Promoting Cognitive and Social Growth. Boston: Scott, Foresman and

Company.

Wasti S. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rineka Cipta

……….(1994). Didaktik & Metodik Umum. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar.

………..,(2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan-Standar Isi Mata Pelajaran IPS Untuk SD/MI Kelas VI. Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional.

Wibowo, I. (2001). Harga yang Harus Dibayar Cina: Sketsa Pergulatan Etnis

Cina Di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yang, T.P. (2004). Elite Bisnis Cina di Indonesia. Yogyakarta: Niagara. Yin, R.K. (1989). Case Study Research Design and Methods. Washington:


(6)

Christina Wulandari, 2015

TRANSFORMASI NILAI-NILAI BUD AYA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS

Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu Jurnal:

Swami R. ―A Transformation of Values‖ dalam Journey Home Book, 20 Agustus

2012. Majalah:

Khazanah vol I No. 6 tahun 2002

Website:

Arthur, E. Teori dan Konsep Pembelajaran. Tersaji dalam

http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/01/teori-dan-konsep-pembelajaran.html. (13 Mei 2010)

BPS Banten. Tabel Penduduk Propinsi Banten 2012. Diakses dari

http://banten.bps.go.d/pop1.php.

BPS Kota Tangerang. Tangerang dalam Angka 2012. Diakses dari http://litbang.tangerangkota.go.id: Publikasi, publikasi Statistik.

Efendi, M. (2013). Lingkungan sebagai Media Pembelajaran.

Diakses dari http:// ramadhani032.blogspot.com/…/ lingkungan-sebagai-media-pembelajaran, tanggal 11 Nopeber 2013.

Haryanto. (2010). Biografi Abraham Maslow dan Beberapa Teorinya. Diakses dari http:// belajarpsikologi.com, tanggal 17 Oktober 2010.

Sugianta A., (dkk). Analisa Perubahan Sosial Masyarakat Sewan Lebak Wangi

(Perbandingan Era Reformasi dan Orde Baru). Diakses dari:

http://eprint.binus.ac.id/2329/1/2011-2-00735-MD Abstrak001.pdf http://id.wikipedia.org/wiki/Pecinan