NILAI-NILAI BUDAYA GOTONG ROYONG ETNIK BETAWI SEBAGAI SUMBER PEMBELAJARAN IPS.

(1)

(Penelitian Verifikatif Kualitatif Di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan)

DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

Promovendus :

Ajat Sudrajat NIM. 0908737

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2014


(2)

Promovendus :

Ajat Sudrajat NIM. 0908737

Universitas Pendidikan Indonesia, 2014

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor (Dr) pada Prodi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

© Ajat Sudrajat 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

November 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

Prof. Dr. R. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si

Ko-Promotor merangkap Sekretaris,

Prof. Dr. Darsiharjo, MS

Anggota,

Prof. Dr. Awan Mutakin, M.Pd

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan IPS

Prof. Dr. H. Bunyamin Maftuh, MA NIP. 196207021986011002


(4)

Ajat Sudrajat. 2014. Disertasi ini tentang Nilai-nilai budaya gotong royong etnik Betawi sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Penelitian ini dilakukan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan, dengan Promotor Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si., Co-Promotor Prof. Dr. Darsiharjo, MS., Anggota Prof. Dr. Awan Mutakin, M.Pd. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh mulai lunturnya nilai-nilai gotong royong di etnik Betawi terutama generasi mudanya, padahal di sisi lain nilai-nilai tersebut merupakan salah satu tradisi yang bagus untuk memupuk rasa solidaritas sosial dan juga kebersamaan, hal ini bisa terjadi karena proses perubahan sosial yang signifikan terutama marjinalisasi etnik Betawi asli oleh adanya urbanisasi ke Ibu Kota. Tujuan penelitian ini adalah: Pertama, mengungkap informasi tentang kondisi terkini nilai-nilai budaya gotong-royong etnik Betawi. Kedua, Menggali dan mencari makna nilai-nilai budaya gotong-royong pada etnik Betawi dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Ketiga, mengimplementasikan nilai-nilai budaya gotong-royong etnik Betawi dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar. Keempat, mengetahui peran pembelajaran IPS dalam mengintegrasikan nilai-nilai budaya gotong-royong etnik Betawi. Lokasi penelitian ini adalah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penelitian ini melibatkan tokoh-tokoh Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Dosen PGSD FIP UNJ, kepala sekolah dan guru SDN 06 Srengseng sawah 06 Pagi Jakarta Selatan. Masalah utama penelitian ini adalah sejauhmana nilai-nilai budaya gotong royong etnik Betawi dapat dijadikan sumber pembelajaran IPS. Penelitian ini didasarkan pada teori Durkheim tentang solidaritas mekanis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan desain kualitatif verifikatif. metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan diperoleh hasil penelitian yaitu sebagai berikut: Pertama, kondisi terkini nilai-nilai budaya gotong royong Etnik betawi terdapat dua nilai budaya yaitu nilai budaya gotong royong tolong menolong yang meliputi:1) Nyambat. 2) Pembuatan dodol makanan khas betawi. 3) Memasarkan dan menyalurkan hasil kebun. 4) Ngubek empang. 5) Upacara Perkawinan. 6) Sambatan bikin rume dan pinde rume. 7) Upacara Sunatan. 8) Upacara Kematian. 9) Paketan. 10) Upacara Akeke. Dan nilai budaya gotong royong keja bakti yang meliputi: 1) Memperbaiki saluran irigasi. 2) Membersihkan jalan kampung. 3) Membersihkan kober. 4) Ronda atau jaga malam. 5) Pembangunan masjid. Kedua, nilai-nilai budaya gotong yong dapat digali dan dilestarikan pada etnik Betawi. Nilai gotong royong pada etnik Betawi dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Etnik Betawi, seperti hajatan, nyambat, andilan, dan paketan. Ketiga, implementasi pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya gotong royong disajikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Implementasi ini dilaksanakan di SDN 06 pagi Srengseng Sawah dengan lembar penilaian afektif. Keempat, peran pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dalam nilai-nilai budaya gotong royong. Hasil penelitian ini adalah perlunya mempertahankan nilai budaya gotong royong etnik betawi sebagai sumber pembelajaran IPS, selain itu nilai-nilai budaya gotong royong etnik betawi dapat diimplementasikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.


(5)

ABSTRACT

Ajat Sudrajat. 2014. This dissertation is about Betawi Ethnic Group’s Cultural Values of Mutual Aid as Learning Resources for Social Sciences. The research was conducted in Betawi Cultural Village Setu Babakan, Srengseng Sawah Administrative Village, Jagakarsa District, South Jakarta) with Promoter: Prof. Dr. Gurniwan Kamil Pasya, M.Si., Co-Promoter: Prof. Dr. Darsiharjo, M.S., Member: Prof. Dr. Awan Mutakin, M.Pd. The background to the research is the diminishing values of mutual aid among Betawi ethnic group communities, ultimately among the younger generation; while, in fact, those values are one of the appropriate traditions to cultivate social solidarity and togetherness. The diminishing values can be resulted from social changes that are quite significant, especially the marginalization of Betawi ethnic group by the rush of urbanization to the Capital City. The research aimed to: First, reveal information concerning the recent conditions of

Betawi ethnic group’s cultural values of mutual aid; secondly, explore and search for the meanings of Betawi ethnic group’s cultural values of mutual aid in the teaching and learning of social sciences (IPS) in primary school; thirdly, implement Betawi ethnic

group’s cultural values of mutual aid in the teaching and learning of social sciences in

primary school; and fourthly, find the roles of social sciences teaching and learning in its integration with Betawi ethnic group’s cultural values of mutual aid. The research took place in Betawi Cultural Village Setu Babakan. It involved the figures of Betawi Cultural Village Setu Babakan, lecturers of the Primary School Teacher Education Department, Faculty of Educational Sciences, State University of Jakarta, and principals and teachers of SDN Srengseng Sawah 06 Pagi, South Jakarta. The primary issue of this research is the extent to which Betawi ethnic group’s mutual aid cultural values can be made learning

resources for social sciences. The research is drawn upon Durkheim’s theory of

mechanical solidarity. It employed qualitative approach, with qualitative-verificative design. Data collection method and analysis technique used were in-depth interview, participant observation, documentary, and visual material as well as internet browsing for content materials. Based on the analysis of research data, the following results have been obtained: First, the recent condition of the values of Betawi ethnic group’s mutual aid culture constitutes two cultural values, namely the cultural value of mutual aid in mutual help, including: 1) Nyambat livelihood system. 2) dodol betawi ethnic specialties. 3) maket and distribute crops. 4) drain the pool. 5) nuptial. 6) help make homes and help move house. 7) circumcision ceremoni. 8) funerals. 9) paketan. 10) aqiqah ceremony; and the cultural value of mutual aid in communal work, covering: 1) improve irrigation. 2) clean up the village street. 3) Clean the grave. 4) pat rolling or night watch. 5) construction of mosques. secondly, the values of mutual aid culture can be explored and conserved in Betawi ethnic group. The values are observable in the activities conducted by Betawi ethnic group, such as hajatan, nyambat, andilan, and paketan; thirdly, the implementation of teaching and learning based on mutual aid cultural values can be done in the teaching and learning of social sciences in primary school. The implementation was conducted in SDN 06 Pagi Srengseng Sawah with affective assessment sheet; and finally, social sciences teaching and learning in primary school plays its roles in the cultural values of mutual aid. Research results recommend the need to sustain Betawi ethnic group’s mutual aid cultural values as learning resources for social sciences; in addition, Betawi ethnic group’s cultural


(6)

District, South Jakarta.

Keywords: Cultural Values, Mutual Aid, Betawi Ethnic Group, Social Sciences (IPS) Teaching and Learning.


(7)

Ajat Sudrajat, 2014

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iv

UNTAIAN HIKMAH ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRAC ... vii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian dan Perumusan Masalah ... 5

1. Fokus Penelitian ... 7

2. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORETIK A. Solidaritas Sosial ... 10

B. Gotong royong Sebagai Solidaritas Mekanik ... 14

1. Gotong Royong Tolong Menolong ... 20

2. Gotong Royong Kerjabakti ... 21

C. Pergeseran dan Perubahan Nilai Budaya ... 24


(8)

Ajat Sudrajat, 2014

3. Konsep Perubahan Budaya ... 28

D. Budaya Lokal Sebagai Sumber Belajar ... 31

E. Pembelajaran IPS ... 36

1. Hakikat dan Tujuan Pendidikan IPS ... 36

a. Hakikat IPS ... 36

b. Tujuan IPS ... 39

2. Model Pembelajaran IPS ... 43

3. Ruang Lingkup IPS ... 47

F. Penelitian yang Relevan ... 50

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 52

B. Desain Penelitian ... 55

C. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 59

1. Lokasi Penelitian ... 59

2. Subjek Penelitian ... 59

D. Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data ... 61

E. Teknik Pengumpulan Data ... 63

F. Teknik Analisis Data ... 65

G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN TEMUAN HASIL PENELITIAN. A. Hasil Penelitian ... 69

1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ... 69

a. Lokasi penelitian ... 69

b. Sejarah Etnik Betawi ... 76

2. Kondisi Terkini Nilai-nilai Budaya Gotong royong Etnik Betawi ... 89

a. Nilai-nilai budaya gotong royong tolong menolong pada etnik betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ... 90 b. Nilai-nilai Budaya Gotong Royong Kerja Bakti pada Etnik Betawi di


(9)

Ajat Sudrajat, 2014

3. Nilai-nilai budaya gotong royong yang dapat digali dan dilestarikan pada etnik

Betawi ... 128

4. Implementasi Pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya Gotong royong dapat disajikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar ... 131

5. Peran Pembelajaran IPS di Sekolah dasar dalam Nilai-nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi di Perkampungan Budaya Setu Babakan ... 159

B. Pembahasan ... 161

C. Temuan Hasil Penelitian ... 172

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Umum ... 188

B. Simpulan Khusus ... 189

C. Rekomendasi ... 190

DAFTAR PUSTAKA ... 191

LAMPIRAN ... 195

1. Siklus Tindakan Kesatu ... 195

2. Siklus Tindakan Kedua ... 200

3. Siklus Tindakan Ketiga ... 208

4. Siklus Tindakan Keempat ... 212

5. Siklus Tindakan Kelima ... 216

6. RPP Siklus Tindakan Kesatu ... 221

7. RPP Siklus Tindakan Kedua ... 229

8. RPP Siklus Tindakan Ketiga ... 236

9. RPP Siklus Tindakan Keempat ... 243

10. RPP Siklus Tindakan Kelima ... 251

11. Instrumen Observasi Aspek Afektif ... 258

12. Instrumen Observasi Pemantuan Tindakan Peneliti ... 268


(10)

Ajat Sudrajat, 2014


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negara kesatuan yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan khas dan nilai-nilai budaya yang berbeda. Keragaman budaya yang tumbuh dan berkembang dalam etnik bangsa yang ada di Indonesia merupakan khasanah kekayaan budaya yang memperkaya kebudayaan bangsa Indonesia. Hal itu dapat menjadi alat untuk mempersatukan suku bangsa dalam bingkai dan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan semboyan Bangsa Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu, yaitu Indonesia. Dalam konsep ini jelas bahwa kita sebagai warga negara tidak memandang perbedaan etnik, ras, bahasa, budaya, dan agama.

Kusumohamidjojo (2010: 52) menyatakan bahwa dalam kerangka global, Indonesia sebenarnya sedang mengalami pergeseran struktur kebudayaan yang bersifat revolusioner. Revolusi yang begitu cepat akan mengakibatkan perubahan di berbagai bidang termasuk bidang kebudayaan. Revolusi tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada etnik atau suku bangsa yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Etnik Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Walaupun pada dasarnya mereka masih memegang adat istiadat, norma, tradisi, dan nilai-nilai luhur Etnik Betawi, pastilah mengalami perubahan, baik besar maupun kecil yang sangat relatif sehingga akan terjadi anomie.

Kuntowijoyo (2006:13) bahwa:

Anomie terjadi karena kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya tradisional di lain pihak. Industrialisasi telah melahirkan budaya massa yang mengarah ke semangat kolektif dalam tata nilai; teknologisasi telah menuntut penerapan metode teknik dalam segala bidang, dan urbanisasi telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai komunal sebuah masyarakat tradisional.”


(12)

Hal ini senada diperkuat oleh Sindhunata (2000: 207) bahwa:

“Masyarakat dan kebudayaan yang baru itu bukanlah hasil penjumlahan dari masyarakat dan kebudayaan etnis yang ada, ia merupakan suatu kualitas baru. Kehadiran kebudayaan Barat dan kebudayaan global membuat nilai-nilai budaya etnis menemukan titik singgung dalam membentuk budaya Indonesia. Meskipun kebudayaan yang baru itu merupakan sistem dan nilai budaya yang baru. Melalui kreativitas, nilai-nilai budaya etnis yang kuat dan lentur akan memberi kontribusi yang penting di dalam proses pembentukan kebudayaan baru.”

Pembentukan atau perubahan kebudayaan baru yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan termasuk munculnya fenomena budaya global yang bersifat universal atau mondial. Akibat dari perubahan kebudayaan tersebut membawa serta pergeseran nilai-nilai pada masyarakat tertentu. Nilai-nilai yang bersifat komunal pada masyarakat tradisional yang masih bersifat budaya agraris acapkali tersingkirkan dengan adanya industrialisasi, mekanisasi, dan perkembangan teknologi informasi. Di sinilah terjadi paradoks tarik-menarik kepentingan antara kepentingan budaya global dengan budaya lokal.

Beberapa sentra dan kantong-kantong kebudayaan haruslah ditumbuhkan dan dikembangkan guna memungkinkan nilai-nilai budaya etnis dapat dipadukan dan menemukan titik singgung dengan nilai budaya global. Ketersinggungan tersebut terjadi karena proses pembentukan kebudayaan Indonesia berlangsung tidak melalui proses sentralistis. Nilai-nilai budaya demikian akan membentuk sistem budaya yang mampu menghadapi tantangan kebudayaan di masa depan. Nilai budaya tersebut memiliki suatu identitas sehingga mampu menjawab tantangan-tantangan yang universal dan global.

Pembentukan kebudayaan yang baru pada hakikatnya lebih banyak berlangsung di kota. Kota menjadi pusat-pusat kebudayaan baru, dan di kota-kota terjadi pertemuan berbagai nilai budaya. Secara kreatif dan inovatif berbagai nilai budaya dibentuk menjadi budaya baru dalam menghadapi tantangan-tantangan budaya yang baru pula. Di dalam masyarakat telah terjadi perubahan


(13)

penting dan mendasar, masyarakat agraris yang mengandalkan tanah telah bergeser menjadi masyarakat industri yang menjadikan modal sebagai penentu dan selanjutnya bergeser menjadi masyarakat informasi yang mengandalkan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Perubahan yang demikian jelas akan mempengaruhi nilai-nilai budaya dan struktur kekuasaan. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya yang ada harus dilihat sebagai bagian dari masa depan dan dikembangkan secara kreatif dalam suatu proses perubahan yang eksistensial. Pergeseran nilai budaya di kota besar seperti disinggung di atas salah satunya adalah di DKI Jakarta.

DKI Jakarta adalah salah satu pusat peradaban budaya di Indonesia. Pada awal pembentukannya, DKI Jakarta dihuni beberapa suku, yaitu Sunda, Jawa, Bali, Melayu, Maluku, dan beberapa suku lain. Selain itu, juga terdapat etnis China, Belanda, Portugis, India, dan Arab. Kemudian suku bangsa tersebut berbaur dan melebur menjadi sebuah budaya yang disebut Etnik Betawi. Etnik Betawi sebagai salah satu entitas budaya di Indonesia memiliki kebudayaan

“khas” yang boleh jadi tidak dimiliki oleh Etnik bangsa lain. Dalam kerangka etnografi, fakta menunjukkan bahwa Etnik Betawi memiliki karakteristik khusus yang dapat membedakan eksistensinya dari Etnik suku bangsa lain.

Sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa, Etnik Betawi telah memberikan kontribusi terhadap nilai budaya bangsa Indonesia. Pada perkembangan berikutnya, Etnik Betawi telah mengalami perubahan. Hal ini karena kedudukan entitas budaya Betawi yang berada di daerah Ibu Kota Jakarta. Sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta hidup berbaur dengan berbagai etnik bangsa dan budaya lain. Etnik Betawi tentu memiliki sistem budaya dengan sejumlah nilai dan norma yang menjadi acuan dalam berbagai tindakannya. Nilai-nilai budaya Betawi yang tercipta tentu membawa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Saputra, 2008: 3). Nilai-nilai tersebut sangat mengikat dan mengakar pada Etnik Betawi sebagai adat-istiadat yang tidak mudah luntur. Salah satu nilai budaya Betawi yang sangat kuat dan melekat adalah nilai gotong royong, seperti pada acara perkawinan, sunatan, kematian, ronda malam, membersihkan jalan desa, dan


(14)

sebagainya. Mereka dengan antusias dan tanpa paksaan dari pihak manapun langsung membantu tanpa pamrih.

Nilai gotong royong tersebut telah tertanam sejak 450 M dengan sikap yang masih memegang nilai adat istiadat dan norma-norma. Nilai budaya gotong royong telah mengakar dan membudaya sehingga Etnik Betawi masih hidup dalam kebersamaan dan kerjasama yang tinggi. Tapi, seiring berjalannya waktu sampai memasuki abad 21 ini, muncul pertanyaan “Apakah nilai-nilai gotong royong masih tetap mengakar dan membudaya pada Etnik Betawi pada saat ini?” Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan Ibukota Negara dan kota metropolitan yang menjadi pusat urbanisasi terbesar di Indonesia. Dengan kedudukannya sebagai ibukota negara maka DKI Jakarta sangat terbuka pada berbagai informasi, budaya, dan pola hidup baru, baik yang berasal dari budaya berbagai suku bangsa di Indonesia maupun budaya bangsa lain. Dengan keterbukaan seperti itu, dapat menyebabkan nilai budaya Etnik Betawi mulai terkikis. Nilai budaya yang di maksud adalah nilai gotong royong yang berada di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Alasan peneliti memilih Setu babakan sebagai objek kajian penelitian karena kawasan ini merupakan pusat budaya Etnik Betawi dilihat dari adat istiadat, bahasa, norma, nilai-nilai. Hal ini termasuk di dalamnya adalah nilai gotong-royong sebagai model penerapan budaya Betawi yang ditopang oleh jumlah penduduk terbesar di wilayah Jabodetabek.

Nilai-nilai peninggalan kebudayaan betawi itu masih dapat kita saksikan sampai sekarang terutama di Perkampungan budaya Betawi Setu Babakan yang merupakan miniatur Etnik Betawi di Provinsi DKI Jakarta yang “kaya” akan sejarah masa lalu. Hal ini hendaknya dapat ditangkap oleh para pendidik khususnya Guru IPS di SD untuk dijadikan sumber dalam materi pembelajaran IPS di kelas agar mereka tidak kehilangan jati diri dan identitas etnik dan kulturalnya. Peluang ini tampaknya belum dimaksimalkan oleh para guru walaupun sesungguhnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan kewenangan yang besar, proporsional, dan bertanggung jawab bagi


(15)

sekolah untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran IPS, baik itu sumber, bahan maupun metode sesuai dengan kebutuhan lokal institusi dan daerah masing-masing. Hal ini merupakan kesempatan “emas” bagi guru dan manajemen sekolah untuk mengembangkan kebutuhan kurikulum dan materi pelajaran sesuai dengan karakteristik di daerahnya. Pengembangkan kurikulum dan materi ajar terutama yang berkaitan dengan dinamika budaya lokal setempat dapat diangkat menjadi sumber, bahan atau materi pembelajaran IPS berbasis kearifan lokal.

Pada kenyataannya, acapkali cita-cita besar tersebut kandas di tangan guru yang berkedudukan sebagai satu-satunya sumber belaja, tidak mampu menyajikan pembelajaran yang menarik bagi siswa sehingga dalam pembelajaran IPS siswa merasakan adanya kebosanan, tidak menarik, parsial, dan hampa akan nilai. Sebagaimana disinggung oleh Soemantri (2001: 216), dalam pembelajaran IPS, masih banyak guru yang menggunakan metode ekspositori dalam pembelajaran IPS. Metode ceramah yang tidak menarik membuat siswa menjadi pasif dan tidak merangsang daya pikir siswa. Metode konvensional ini dalam pemakaiannya hendaknya dibatasi dan sebaiknya guru lebih banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan kemampuannya untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Suwarma (2008: 42), dalam penelitiannya mengemukakan bahwa peran peserta didik tampak belum secara optimal diperlakukan sebagai subjek didik yang memiliki potensi untuk berkembang secara mandiri. Posisi peserta didik masih dalam situasi dan kondisi belajar-mengajar yang didominasi guru dalam menyampaikan informasi yang secara garis besar bahan-bahannya telah tertulis dalam buku paket. Dengan demikian, pembelajaran IPS tidak merangsang siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar.

Berdasarkan hasil penelitian Sutarjo (2000:71) yang meneliti faktor kegagalan pendidikan ilmu-ilmu sosial bahwa kegagalan tersebut disebabkan guru hanya menjejalkan informasi-informasi hafalan dan tidak menyentuh pembentukan watak, moralitas, sikap, dan proses berpikir peserta didik.


(16)

Sedangkan hasil penelitian dari Daldjoeni (1981: 43) menemukan empat syarat yang perlu dipenuhi oleh seorang guru IPS, dengan rincian sebagai berikut. Pertama; Ia adalah orang yang memiliki cukup pengetahuan. Untuk itu, Ia harus suka membaca tentang perkembangan masyarakat, baik mengenai situasi di dalam negeri maupun luar negeri. Kedua; Ia harus bersikap hati-hati dalam mengeluarkan pendapatnya, Ia harus waspada, tidak serba ngawur dalam berbicara. Ketiga; Ia harus jujur dalam mengemukakan pendapatnya. Keempat; Ia harus komunikatif dalam pergaulan, luwes dan mampu berkomunikasi lancar.

Dalam hal ini siswa diperankan bukan sebagai penerima pengetahuan yang pasif, tetapi sebagai pembangun pengetahuan dan sikap yang aktif melalui cara pandang secara akademik terhadap realita. Tampaknya, pandangan ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang menitikberatkan pada “process of knowing” akan menjadi salah satu pilar dan “social studies” pada abad ke-21 tersebut, menggeser pandangan behaviorisme yang mengasumsikan pengetahuan

ada di luar dari manusia dan menempatkan siswa sebagai “recipient” dari pengetahuan. Akan tetapi, dalam penelitian ini juga selain konstruktivisme

sebagai pilar dalam menjembatani “learning process”, diperlukan juga pilar

perenialisme yang menitikberatkan pada “Penanaman nilai-moral pada diri siswa” karena sesuai dengan kondisi kultural masyarakat Indonesia yang sejatinya masih tradisional (Supriatna, 2012:10-13).

Untuk menanamkan nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia pada masa lalu tersebut, diperlukan usaha dari para pemangku kepentingan terutama para akademisi dan pemerhati budaya, salah satunya dengan cara melakukan penelitian. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud menggali nilai budaya gotong royong Etnik Betawi dapat dijadikan sebagai sumber belajar dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Nilai budaya gotong royong Etnik Betawi merupakan suatu sumber belajar yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Pembelajaran IPS tidak saja bertujuan untuk mengembangkan dan memenuhi ingatan para peserta didik. Tetapi, lebih dari itu, melainkan untuk membina dan mengembangkan mental anak untuk sadar akan tanggung jawabnya,


(17)

baik bagi dirinya maupun masyarakat dan negara. Pendidikan IPS mengupayakan dan menerapkan teori, konsep serta prinsip keilmuan sosial untuk menelaah pengalaman, peristiwa, gejala, dan masalah sosial yang secara nyata terjadi dalam kehidupan di masyarakat.

Tujuan pembelajaran IPS (Depdiknas No.22 Tahun 2006) adalah:

1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

2) Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

Berdasarkan pada paparan di atas, nampak bahwa pembelajaran IPS sangat diperlukan eksistensinya dalam rangka mengembangkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tentang nilai-nilai budaya yang majemuk dan berbeda di Indonesia. Etnik Betawi yang ada di Jakarta, khususnya di Jakarta Selatan merupakan warisan budaya nasional dan modal yang besar bagi generasi selanjutnya. Warisan budaya nasional ini dapat ditumbuhkembangkan bagi dunia pendidikan dalam mewujudkan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang sudah mulai hilang. Oleh karena itu, nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran IPS, khusunya pada jenjang Pendidikan Dasar sehingga dapat berkontribusi bagi dunia pendidikan yang bermuatan budaya lokal.

B. Fokus Penelitian dan Perumusan Masalah 1. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pembelajaran nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi dan implementasinya dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Aspek-aspek yang menjadi fokus penelitian ini adalah:


(18)

b. Penggalian nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi.

c. Implementasi proses pembelajaran nilai budaya gotong-royong dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

d. Peran pembelajaran IPS di Sekolah Dasar terhadap nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian tersebut, penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kondisi terkini dari nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi? b. Bagaimanakah nilai budaya gotong-royong dapat digali dan dilestarikan pada

Etnik Betawi?

c. Bagaimanakah proses implementasi pembelajaran berbasis nilai budaya gotong-royong dapat disajikan dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar ? d. Bagaimanakah peran Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dalam nilai budaya

gotong royong Etnik Betawi ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengungkap informasi tentang kondisi terkini nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi.

b. Menggali dan mencari makna nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

c. Mengimplementasikan nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

d. Mengetahui peran Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar dalam nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi.


(19)

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan sebagai berikut: a. Manfaat Teoretis

Nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi sebagai pengembangan kerangka teori dan konsep dalam:

1) Pengembangan nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi ini menjadi warisan budaya nasional di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi sebagai referensi hasil penelitian nilai-nilai budaya.

3) Nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi sebagai bahan pembelajaran IPS di SD.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:

1) Berimplikasi positif bagi pelestarian budaya Betawi di DKI Jakarta. 2) Berimplikasi positif bagi dunia pendidikan, khususnya pada pembelajaran

IPS sebagai salah satu sumber pembelajaran.

3) Berimplikasi positif bagi dunia wisata dan pariwisata sebagai aset bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4) Berimplikasi positif bagi guru IPS, khususnya di kelas IV dalam pengembangan nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi.

5) Berimplikasi positif bagi siswa mengenai kajian lintas budaya dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika.


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada aspek gejala sosial yang terjadi di masyarakat atau lingkungan. Creswell (1998: 15), mengemukakan bahwa Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Kaitannya dengan penelitian ini, penelitian mengarah pada pendekatan mengenai nilai-nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami.

Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian (Hadjar, 1996: 33-34). Di lain pihak, Basrowi dan Suwandi (2008: 20) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Pengertian serupa juga dikemukakan Emzir (2010: 28) bahwa pendekatan kualitatif merupakan salah satu pendekatan yang secara primer menggunakan paradigma pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktivisme (seperti makna jamak dari pengalaman individu, makna yang secara sosial dan historis dibangun dengan maksud mengembangkan suatu teori atau pola).

Guba dan Lincoln (1985: 39-43) secara rinci membahas 14 karakteristik pendekatan kualitatif sebagai berikut.

1) Latar alamiah

2) Manusia sebagai instrumen


(21)

4) Metode-metode kualitatif 5) Sampel purposif

6) Analisis data secara induktif

7) Teori dilandaskan pada data di lapangan 8) Desain penelitian mencuat secara ilmiah 9) Hasil penelitian berdasarkan negosiasi 10) Cara pelaporan kasus

11) Interpretasi idiografik 12) Aplikasi tentatif

13) Batas penelitian ditentukan fokus 14) Keterpercayaan dengan kriteria khusus

Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas sehingga mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.

Satori dan Komariah (2013: 25), mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah.

Penelitian kualitatif berangkat dari filsafat konstruktivisme, yang memandang kenyataan kita berdimensi jamak, interaktif dan menuntut interpretatif berdasarkan pengalaman sosial. Mc. Millan dan Schumacker (2001: 11) menyatakan: “Reality is multilayer, interactive and a shared social experience interpretation by individuals”. Peneliti kualitatif memandang kenyataan sebagai konstruksi sosial, individual atau kelompok yang menarik atau memberi makna kepada suatu kenyataan dengan mengkonstuksinya. Orang membentuk konstruksi untuk mengerti kenyataan-kenyataan, dan memahami konstruksi sebagai suatu sebagai suatu sistem pandangan, persepsi atau kepercayaan.


(22)

Alwasilah (2011: 100), mengemukakan bahwa tujuan penelitian kualitatif secara garis besarnya dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1) membangun keakraban dengan responden; 2) penentuan sampel; 3) pengumpulan data, dan; 4) analisis data.

Tujuan penelitian kualitatif yang lain juga dikumukakan oleh Sukmadinata (2013: 94) bahwa:

“Penelitian kualitatif ditunjukkan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan. Partisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya. Pemahaman diperoleh melalui analisis

berbagai keterkaitan dari partisipan, dan melalui penguraian ‘pemaknaan

partisipan’ tentang situasi-situasi dan peristiwa-peristiwa. Pemaknaan

partisipan meliputi perasaan, keyakinan, ide-ide, pemikiran dan kegiatan dari partisipan. Beberapa penelitian kualitatif diarahkan lebih dari sekedar memahami fenomena, tetapi juga mengembangkan teori.”

Alwasillah (2011: 64), mengemukakan 6 keunggulan pendekatan kualitatif, yaitu:

1) Pemahaman makna; makna di sini merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah “perspektif

partisipan” (participant’s perspectives).

2) Pemahaman konteks tertentu; dalam penelitian kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya

terkuras ‘habis-habisan’ pada analisis kekhasan kelompok atau situasi

itu saja.Pengumpulan data dari banyak responden atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif. Justru dengan pisau kualitatif, para peneliti malah mampu membedah kejadian, situasi, dan perilaku dan

bagaimana semua ini dipengaruhi oleh sang ‘situasi’ yang perkasa.

3) Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga; bagi peneliti kualitatif setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk memdukung hipotesis kerja (hipotesis kini, hipotesis sementara waktu)

4) Kemunculan teori berbasis data (grounded theory); teori yang sudah jadi atau pesanan, atau apriori tidaklah mengesankan kaum naturalis karena teori-teori ini akan kewalahan jika disergap oleh informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks baru. 5) Pemahaman proses; para peneliti naturalis berupaya untuk lebih


(23)

diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling berkesan, bukannya fenomena itu sendiri.

6) Penjelasan Sababiyah (causal explanation); dalam paradigma kualitatif yang dipertanyakan adalah sejauh mana X memainkan peran sehingga menyebabkan Y? Jadi, hal yang dicari adalah sejauhmana kejadian-kejadin itu berhubungan satu sama lain dalam kerangka penjelasan Sababiyah lokal.

Miles and Huberman (1994: 6-7) mengemukakan bahwa metode kualitatif berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Bogdan and Taylor (1992: 22), pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif pada hakikatnya peneliti terlibat dan terjun secara langsung dalam waktu yang relatif lama di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai aneka aktivitas yang terjadi pada masyarakat tersebut dan mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan warga masyarakat, berusaha memahami bahasa, dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif verifikatif. Bungin (2011: 70) menyatakan:

“Format desain kualitatif verifikatif merupakan sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian yang akan dilakukan karena format desain penelitiannya secara total berbeda dengan format deskriptif kualitatif. Format ini lebih banyak mengkonstruksi format penelitian dan strategi memperoleh data di lapangan, sehingga format penelitiannya menganut model induktif. Namun dalam hal memperlakukan teori, format kualitatif verifikatif lebih longgar dalam arti tetap terbuka pada teori, pengetahuan tentang data dan tidak mengharuskan peneliti menggunakan


(24)

(25)

Data

Data

Data

Data

Peneliti Teori

Kemudian Bungin (2011: 71), mengemukakan bahwa alur informasi dalam penelitian kualitatif verifikatif ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 3.1 : Alur Informasi Kualitatif Verifikatif

Lebih lanjut, Bungin (2011: 151) mengungkapkan bahwa strategi analisis data kualitatif verifikatif merupakan sebuah upaya analisis induktif terhadap data penelitian yang dilakukan pada seluruh proses penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu, format strategi analisis data penelitiannya secara total berbeda dengan format penelitian kuantitatif.

Berdasarkan pendapat tersebut, penelitian ini berupaya untuk memahami fenomena-fenomena yang terjadi pada subjek penelitian. Peneliti akan berupaya untuk mengkonstruksi makna tentang suatu fenomena berdasarkan pendapat atau pandangan-pandangan dari partisipan dan informan. Penelitian ini diarahkan untuk mengungkapkan, meggambarkan, dan menyimpulkan makna-makna atau simbol-simbol yang diteliti. Dengan demikian, peneliti berusaha untuk membangun makna tentang nilai-nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi yang tercermin pada daur hidup Etnik Betawi kemudian diimplementasikan kepada peserta didik melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada pembelajaran IPS kelas IV di SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan.

Wiriaatmadja (2012: 13), mengemukakan bahwa Penelitian Tindakan Kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat mengorganisasikan kondisi praktik pembelajaran mereka dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Mereka dapat mencobakan sesuatu gagasan perbaikan dalam praktik pembelajaran mereka dan melihat pengaruh nyata dari upaya itu.


(26)

Menurut Arikunto (2012: 16), terdapat empat tahapan dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu: 1) Perencanaan; 2) Pelaksanaan; 3) Pengamatan; 4) Refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut.

Tahap I: Perencanaan (planning), dalam tahap ini peneliti menjelaskan

tentang implementasi nilai-nilai budaya gotong-royong Etnik Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Penelitian tindakan yang ideal sebetulnya dilakukan secara berpasangan antara pihak yang melakukan tindakan dan pihak pihak yang mengamati proses jalannya tindakan. Istilah untuk cara ini adalah penelitian kolaborasi. Cara ini dikatakan ideal karena adanya upaya untuk mengurangi unsur subjektivitas pengamat serta mutu kecermatan amatan yang dilakukan. Untuk itu, peneliti bekerjasama dengan Guru Kelas IV SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan, yaitu Sri Wiyanti, S.Pd dan Reviewer Ahli, Dosen PGSD FIP UNJ, yaitu Drs. Andi Ali Saladin, M.Pd.

Tahap II: Pelaksanaan Tindakan (Acting), yaitu pelaksanaan yang

merupakan implementasi atau penerapan isi rancangan. Hal yang perlu diingat bahwa dalam tahap ke-2 ini pelaksanaan peneliti harus diingat dan berusaha mentaati apa yang sudah dirumuskan dalam rancangan, tetapi harus pula berlaku wajar, tidak dibuat-buat. Dalam refleksi, keterkaitan antara pelaksanaan dengan perencanaan perlu diperhatikan secara seksama agar sinkron dengan maksud semula.

Tahap 3: Pengamatan (observing), yaitu kegiatan pengamatan yang

dilakukan oleh pengamat. Sebenarnya, diistilahkan kurang tepat jika pengamatan ini dipisahkan dengan pelaksanaan tindakan karena seharusnya pengamatan dilakukan pada waktu tindakan sedang dilakukan. Jadi, keduanya berlangsung dalam waktu yang sama. Sebutan tahap ke-2 diberikan untuk memberikan peluang kepada peneliti pelaksana yang juga berstatus sebagai pengamat. Ketika peneliti tersebut sedang melakukan tindakan. Oleh karena hatinya menyatu dengan kegiatan, tentu tidak sempat menganalisis peristiwanya ketika sedang terjadi. Oleh karena itu, kepada guru pelaksana yang berstatus sebagai pengamat agar


(27)

melakukan “pengamatan balik” terhadap apa yang terjadi ketika tindakan

berlangsung. Sambil melakukan pengamatan, guru pelaksana mencatat yang terjadi agar memperoleh data yang akurat untuk perbaikan siklus berikutnya.

Tahap 4: Refleksi (reflecting), yaitu kegiatan untuk mengemukakan

kembali apa yang sudah dilakukan. Kegiatan refleksi ini sangat tepat dilakukan ketika peneliti telah selesai melakukan tindakan lalu berhadapan dengan Reviewer untuk untuk mendiskusikan implementasi rancangan tindakan berikutnya. Dengan kata lain, peneliti kembali melakukan dialog untuk menemukan hal-hal yang sudah dirasakan memuaskan sesuai dengan rancangan dan secara cermat mengenali hal-hal yang masih perlu diperbaiki. Jika penelitian tindakan dilakukan melalui beberapa siklus maka dalam refleksi terakhir, peneliti menyampaikan rencana yang disarankan kepada peneliti lain apabila dia menghentikan kegiatannya atau kepada peneliti sendiri apabila akan melanjutkan di kesempatan lain. Catatan-catatan penting yang dibuat sebaiknya rinci sehingga siapa pun yang akan melaksanakan tidak akan menemui kesulitan.

Perencanaan

Pelaksanaan

Siklus I

Pengamatan Refleksi

Perencanaan

Pelaksanaan

Siklus II

Pengamatan Refleksi


(28)

Gambar 3.2 : Model Penelitian Tindakan Kelas

C. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perkampungan Budaya Betawi yang beralamatkan di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lokasi ini dipilih karena perkampungan ini telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu pilot atau model Perkampungan Budaya Betawi dan etnik ini dianggap masih kuat melaksanakan nilai-nilai budaya Betawi, khususnya nilai budaya gotong-royong dalam kehidupan sehari-hari.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan segala hal yang akan diteliti. Hal-hal yang menjadi subjek dapat berupa orang, benda atau organisasi dan akan diteliti sifat-sifat atau karakteristiknya. Dengan demikian, subjek penelitian adalah segala hal yang di dalamnya melekat atau terkandungobjek penelitian.Lincoln dan Guba

(1985:201) menjelaskan bahwa, “Subjek penelitian ini merupakan sumber

informasi atau data yang ditarik dan dikembangkan secara purposif, bergulir

hingga mencapai titik jenuh di mana informasi telah terkumpul secara tuntas.”

Informan awal (pokok) adalah orang yang paling memahami karakteristik nilai-nilai budaya gotong-royong etnikBetawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dan informan lain yang ditunjuk (pangkal) merupakan orang yang mampu memberikan pengembangan/perluasan data informasi. Informan pangkal diharapkan menunjuk atau memilih informan lain sebagai pelengkap/pembanding atas informasi yang diperoleh sehingga data informasi semakin luas, detail, dan mendalam seperti bola salju (rolling snowball). Jumlah informan menurut Kanto (dalam Bungin, 2003:53), yaitu:

“... jumlah informan bisa sedikit bisa juga banyak terutama tergantung dari; a) tepat tidaknya pemilihan informan kunci, dan b) kompleksitas dan


(29)

keragaman fenomena sosial yang diteliti. Ketepatan dalam menentukan informan awal akan berpengaruh terhadap kelancaran pengumpulan informasi, yang pada gilirannya akan menentukan efisiensi dan efektivitas penelitian.”

Ciri-ciri informan yang baik adalah: a) Informan harus memiliki data informasi yang potensial atas budaya Betawi, b) informan harus memiliki keterlibatan langsung dalam masalah penelitian, c) memiliki ketersediaan waktu banyak dalam memberikan data informasi, d) informan yang baik menyampaikan apa yang mereka ketahui dan alami dalam bahasanya sendiri dengan tata runtutan fenomena waktu, subtansi pengetahuan, dan pengalaman serta harapannya.

Tabel 3.1Kategori Informan Penelitian

No Informan Pokok Informan Pangkal

1 Tokoh sejarawan yang mengetahui seluk-beluk nilai-nilai Budaya gotong-royong etnik Betawi

Tokoh lain yang mengetahui seluk-beluk nilai-nilai Budaya gotong-royong etnik Betawi

2 Pengelola Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan.

Warga Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan yang mengetahui nilai-nilai Budaya gotong-royong etnik Betawi

3 Tokoh Pemerintahan sebagai warga asli Betawi yang mengetahui Nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi.

Warga asli betawi yang bekerja di lingkungan pemerintahan yang

mengetahui nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi

4 Akademisi asli orang Betawi yang mengetahui nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi.

Akademisi Etnik Betawi lainnya yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap nilai budaya gotong-royong

masyarakat Betawi 5 Pemerhati kurikulum

Pendidikan Dasar

Dosen PGSD FIP UNJ

6 Kepala Sekolah SDN Srengseng sawah 06 Pagi Jakarta Selatan

Kepala Sekolah lain yang masih berada di Jakarta Selatan yang memahami nilai budaya gotong-royong Betawi sebagai sumber pembelajaran IPS. 7 Guru Kelas IV SDN

Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan

Guru lain yang masih berada di Jakarta Selatan yang memahami nilai budaya gotong-royong Betawi sebagai sumber Pembelajaran IPS.


(30)

lingkungan seni yang medukung nilai-nilai Budaya gotong-royong Etnik Betawi

Sumber: Rancangan Penelitian Tahun 2013.

Penentuan informan diukur dari kemungkinan kepemilikan informasi data yang terkait dengan masalah penelitian untuk dijadikan bahan analisis. Banyaknya informan disesuaikan dengan kebutuhan pengumpulan data informasi sehingga memperoleh data secara lengkap dan akurat untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan baik.

D. Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data

Metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet (Bungin, 2011: 110).

1. Wawancara mendalam (in-depth interview)

Bungin (2011: 111) mengemukakan bahwa wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya-jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau menggunakan pedoman (guide) wawancara. Pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Wawancara yang peneliti lakukan secara intensif dan mendalam adalah dengan Bang Indra selaku Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan karena Beliau yang mengerti dan tahu seluk-beluk Etnik Betawi di wilayah tersebut.

Penjelasan lain mengenai wawancara mendalam disampaikan Mc. Millan dan Schumacher (2001: 443), mengemukakan bahwa wawancara mendalam adalah tanya-jawab yang terbuka untuk memperoleh data tentang maksud hati partisipan menggambarkan dunia mereka dan bagaimana mereka menjelaskan atau menyatakan perasaannya tentang kejadian-kejadian penting dalam hidupnya.


(31)

Senada dengan hal itu, Satori dan Komariah (2013: 130) mengemukakan bahwa wawancara mendalam adalah suatu proses mendapatkan informasi untuk kepentingan penelitian dengan cara dialog antara peneliti sebagai pewawancara dengan informan atau yang memberi informasi dalam konteks observasi partisipasi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wawancara mendalam adalah suatu cara atau trik yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data yang diinginkan oleh peneliti dengan tanya jawab langsung secara akurat dan kredibel.

Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan dengan Tokoh Sejarawan, Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Tokoh Pemerintahan sebagai warga asli Betawi, Akademisi asli orang Betawi yang mengetahui budaya gotong-royong, Pemerhati kurikulum Pendidikan Dasar, Kepala Sekolah SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan, Guru Kelas IV SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan, Tokoh Kesenian.

2. Observasi Partisipasi

Bungin (2011: 118) mengemukakan bahwa observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya, seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan.

Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian, peneliti betul-betul menyelami kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamat kemudian mengambil bagian dalam kehidupan budaya mereka. Di lain pihak,

Maleong (2001: 164) mengemukakan bahwa observasi partisipasi adalah “...pada

dasarnya berarti mengadakan pengamatan dan mendengarkan secara secermat mungkin sampai pada yang sekecil-kecilnya sekalipun”.


(32)

Dengan demikian, observasi partisipan adalah peneliti terlibat dan ikut serta dalam berbagai aktivitas sehari-hari sehingga diperoleh data yang lebih lengkap, akurat, dan terpercaya. Diharapkan peneliti dapat terlibat pada berbagai aktivitas yang sedang berlangsung di Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.

3. Metode Studi Dokumenter

Metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam yaitu: 1) Otobiografi; 2) Surat-surat pribadi, buku-buku atau catatan harian, memorial; 3) Kliping; 4) Dokumen pemerintah maupun swasta; 5) Cerita roman dan cerita rakyat; 6) Data di server dan flashdisk; 7) Data tersimpan di web site, dan lain-lain (Bungin, 2011: 124).

4. Metode Bahan Visual

Bungin (2011: 126) mengemukakan bahwa bahan visual meliputi: foto, grafis, film, video, kartun, mikrofilm, slide, dan sebagainya. Bahan visual bermanfaat untuk mengungkapkan suatu keterkaitan antara objek penelitian dan peristiwa di masa silam atau peristiwa saat ini. Bahan visual juga memiliki makna secara spesifik terhadap objek atau informan penelitian.

5. Metode Penelusuran Data Online

Metode penelurusan data online menurut Bungin (2011: 128) adalah:

“Metode penelusuran data online yang dimaksud adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online, sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data-informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.”

Metode ini menitikberatkan pada pemahaman dan penguasaan peneliti terhadap penguasaan ICT dan perangkatnya sehingga dalam pencarian data-data yang berbasis online dapat dengan mudah ditemukan dan sesuai harapan dari peneliti.


(33)

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian menggunakan berbagai teknik untuk memperoleh data penelitian yang lengkap, akurat, dan mendalam. Teknik-teknik yang ditempuh adalah:

1. Melalui analisis dokumentasi.

Teknik ini dilakukan terhadap himpunan dokumen primer yang memuat tentang eksistensi nilai-nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi. Sumber primer ini diperoleh dari berbagai sumber dokumen yang ditemukan. Sumber sekunder antara lain berasal dari buku-buku yang relevan, jurnal, disertasi, tesis serta sumber lain yang dianggap relevan.

2. Dilakukan dengan wawancara terhadap pihak-pihak yang terlibat dan memahami nilai-nilai budaya gotong-royong di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.

Agar wawancara dapat terarah, terlebih dahulu peneliti menetapkan panduan wawancara sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Panduan Wawancara

Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Narasumber

1. Bagaimanakah kondisi terkini nilai-nilai budaya gotong-royong masyarakat Betawi?

Mengungkap informasi tentang kondisi terkini nilai-nilai budaya gotong-royong masyarakat Betawi.

a. Tokoh sejarah Betawi. b. Pengelola Setu

Babakan c. Tokoh Seni

2. Bagaimanakah nilai-nilai budaya gotong-royong dapat digali dan dilestarikan pada masyarakat Betawi?

Menggali dan mencari makna nilai-nilai budaya gotong-royong pada masyarakat Betawi dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

a. Pemerhati Kurikulum Pendidikan Dasar b. Akademisi Pendidikan

Dasar orang Betawi asli 3. Bagaimanakah implementasi pembelajaran berbasis nilai-nilai budaya gotong-Mengimplementasikan nilai-nilai budaya gotong-royong masyarakat Betawi dalam pembelajaran IPS

a. Tokoh Pemerintahan orang Betawi asli


(34)

Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Narasumber

royong dapat disajikan dalam pembelajaran IPS di tingkat

persekolahan?

di Sekolah Dasar.

4. Bagaimanakah peranan

pembelajaran IPS dengan

memanfaatkan nilai-nilai budaya gotong-royong pada Etnik Betawi dalam pembelajaran IPS pada jenjang SD?

Mengetahui manfaat nilai-nilai budaya gotong-royong masyarakat Betawi dalam pembelajaran IPS di Sekolah Dasar.

a. Kepala SDN

Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan b. Guru IPS SDN

Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan

F. Teknik Analisis Data

Setelah data penelitian terkumpul, langkah selanjutnya peneliti melakukan analisis data. Satori dan Komariah (2013: 200) mengemukakan bahwa analisis adalah suatu usaha untuk mengurai suatu masalah atau fokus kajian menjadi bagian-bagian (decomposition) sehingga susunan/tatanan bentuk sesuatu yang diurai itu tampak dengan jelas dan secara lebih terang ditangkap maknanya atau lebih jernih dimengerti duduk perkaranya. Analisis dilakukan dengan cara menelaah setiap fenomena atau peristiwa secara keseluruhan, maupun terhadap bagian-bagian yang membentuk fenomena.

Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah Analisis Model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (1992: 16-20) mengemukakan bahwa analisis data penelitian kualitatif dilakukan dengan langkah-langkah: 1) reduksi data; 2) penyajian data; dan (3) menarik kesimpulan/verifikasi.

Tiap langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Reduksi Data (Reduction)

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian


(35)

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diferivikasi. Data yang diperoleh dari penelitian kemudian dipilah berdasarkan konsep, tema, dan kategorinya.

Dengan reduksi data, kita tidak perlu mengartikannya sebagai kuantifikasi. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara; melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkannya dalam satu pola yang lebih luas, dan sebagainya.

2. Penyajian Data (Data Display)

Setelah melakukan reduksi data, selanjutnya peneliti melakukan penyajian data (data display). Dalam hal ini, peneliti menyajikan data secara ferivikatif kualitatif. Namun demikian, penyajian data juga disajikan dalam bentuk jenis matrik, grafik, jaringan, dan bagan. Hal itu dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, dengan demikian seorang peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar atau terus melangkah melakukan analisis menurut saran penyaji sebagai sesuatu yang berguna. 3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification).

Kesimpulan yang dipaparkan dalam penelitian ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Artinya, temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum jelas atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori.


(36)

Agar penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, peneliti melakukan upaya pemeriksaan keabsahan data penelitian. Menurut Moleong (2007: 320), keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus memenuhi:

a. Mendemonstrasikan nilai yang benar,

b. Menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan, dan

c. Memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk menghasilkan penelitian kualitatif yang dapat dipertanggungjawabkan, harus dilakukan pemeriksaan keabsahan data agar penelitian menghasilkan nilai yang benar dan dapat diterapkan. Berkenaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, peneliti melakukan pemeriksaan keabsahan dengan cara kredibilitas, defendabilitas, konfirmabilitas, dan transperabilitas. Tiap-tiap cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Keterpercayaan/Kredibilitas (Credibility/Validitas Internal)

Untuk menjamin kredibilitas data hasil penelitian maka dalam penelitian ini peneliti berusaha memperoleh data dari sumber/informan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang fokus masalah yang akan diteliti.

2. Keteralihan (Transferability/Validitas Eksternal)

Selain adanya kredibilitas, dalam penelitian ini peneliti berusaha melakukan transferabilitas. Transferibilitas berkaitan dengan sejauh mana hasil penelitian dapat digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi. Berkenaan dengan itu, maka transferabilitas merupakan kewenangan yang diserahkan kepada pemakai hasil penelitian.

3. Kebergantungan/Dependabilitas (Dependability/Reliabilitas)

Untuk mencapai derajat dependabilitas, peneliti berusaha menunjukkan konsistensi dan stabilitas data hasil temuan yang dapat direplikasi. Dengan mengambil tempat penelitian lingkungan Etnik Betawi, diharapkan tingkat konsistensi dan stabilitas data dapat diperoleh sebab kemungkinan perubahan


(37)

setting sosial dalam penelitian ini relatif tidak/belum mengalami banyak perubahan.

4. Konfirmabilitas/Kepastian (Confirmability/Objektivitas)

Untuk mencapai tingkat kepastian, data yang diperoleh dapat dilacak kebenarannya dan sumber informannya jelas. Oleh karena itu, keberadaan data penelitian ini dapat ditelusuri keberadaannya secara jelas dan pasti. Dalam penelitian ini, untuk mencapai objektivitas, peneliti melakukan pemeriksaan untuk meyakinkan bahwa hal-hal yang dilaporkan memang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan tidak direkayasa.

Selain itu, untuk memperoleh derajat pertanggungjawaban akademik, peneliti menetapkan teknik uji keabsahan data dengan Triangulasi (Bungin, 2011: 257).

“Uji keabsahan data dapat dilakukan dengan triangulasi pendekatan dengan kemungkinan melakukan terobosan metodologis terhadap masalah-masalah tertentu yang kemungkinan dapat dilakukan seperti apa

yang dikemukakan oleh Burgess dengan “strategi penelitian ganda” atau seperti yang dikatakan oleh Denzin dengan “triangulasi”. Istilah

penggabungan metode ini dikenal lebih akrab di kalangan pemula dengan istilah “meta-metode” atau “mix-method”, yaitu metode campuran, di mana metode kuantitatif dan kualitatif digunakan bersama-sama dalam sebuah penelitian.”

Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan melakukan triangulasi peneliti.


(38)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi UmumLokasi Penelitian a. Lokasi Penelitian

Kecamatan Jagakarsa merupakan salah satu Kecamatan di wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan, sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor:1251 Tahun 1986, Nomor:435 Tahun 1966, dan Nomor: 1986 tahun 2000, maka luas wilayah Kecamatan Jagakarsa adalah 25,01 km2 yang terdiri atas 54 RW dan 541 RT dengan luas masing-masing Kelurahan sebagai berikut:

a. Kelurahan Cipedak: 3,97 Km2

b. Kelurahan Srengseng Sawah: 6,75 Km2 c. Kelurahan Ciganjur: 3,51 Km2

d. Kelurahan Jagakarsa: 4,85 Km2 e. Kelurahan Lenteng Agung: 2,28 Km2 f. Kelurahan Tanjung Barat: 3,65 Km2

Letak Geografis Kecamatan Jakarsa pada batas astronomi 06015’40,8’’ LS dan 106045’00,0’’ BT.

Kelurahan Srengseng Sawah merupakan salah satu dari 6 Kelurahan di wilayah Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986, dengan luas wilayah 674,70 Ha yang berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kelurahan Lenteng Agung dan Kelurahan Jagakarsa Sebelah Timur : Kali Ciliwung

Sebelah Selatan : Kota Depok


(39)

Pola pembangunan Kelurahan Srengseng Sawah senantiasa mengacu kepada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) tahun 2005 dan Rencana bagian wilayah Kota (RBWK) wilayah selatan ditetapkan sebagai Daerah Resapan Air. Hal ini didukung dengan keberadaan potensi air tanah yang ada antara lain Setu Babakan, Setu Mangga Bolong, Setu Salam UI dan Setu ISTN. Disamping itu potensi Daerah Hijau yang sarat dilindungi oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berupa Hutan Kota yang berada di kawasan Wales Barat Universitas Indonesia.

Perkembangan penduduk di kelurahan Srengseng Sawah cukup pesat. Hal ini selain suasana yang cukup menyenangkan karena kelestarian alam masih terjaga dengan baik, juga disebabkan oleh tersedianya fasilitas sarana umum yang memadai, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan dan lain-lain. Pada umumnya penduduk kelurahan Srengseng Sawah adalah masyarakat Betawi, sehingga adat istiadat yang berlaku adalah Budaya Betawi. Mayoritas penduduk Kelurahan Srengseng Sawah adalah beragama Islam. Namun demikian kerukunan antar umat beragama sudah berjalan dengan baik sehingga kehidupan bermasyarakat antar pemeluk agama satu dengan yang lain saling menghormati. Sarana peribadatan yang ada selain Masjid dan Musholla, di kelurahan ini pun telah terdapat 3 buah gereja dan 1 buah Pura. Penduduk Kelurahan Srengseng Sawah Mayoritas memiliki mata pencaharian buruh dan pedagang. Sisanya petani ladang dan pensiunan.

Program yang sedang dilaksanakan dalam pengembangan pembangunan wilayah kelurahan adalah Pembangunan cagar Budaya Betawi yang disebut Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan RW.08 Kelurahan Srengseng Sawah.

Sutisna (2014: 1) mengatakan bahwa Perkampungan budaya betawi adalah suatu kawasan di Jakarta Selatan dengan komunitas yang ditumbuhkembangkan oleh Budaya yang meliputi gagasan dan karya baik fisik maupun non fisik yaitu: adat istiadat, foklor, sastra, kuliner, pakaian serta arsitektur yang bercirikan


(40)

kebetawian. Perkampungan Budaya Betawi mempunyai luas lahan sekitar 289 Hektar. Dengan batas geografis:

Sebelah Utara : Jl. Mochammad Kahfi II dan Jl.H. Pangkat Sebelah Timur : Jl.H. Pangkat, Jl. Pratama, Jl.Lapangan Merah Sebelah Selatan : Kota Depok

Sebelah Barat : Jl. Mochammad Kahfi II

Visi dan Misi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Visi-nya adalah: 1) Membina dan melindungi secara sunguh-sunguh dan terus menerus tata kehidupan serta nilai-nilai Budaya Betawi baik fisik maupun non fisik. Sedangkan Misi-nya adalah: 1) tumbuh dan berkembangnya kesadaran masyarakat khususnya penduduk setempat akan pentingnya lingkungan kehidupan komunitas berbudaya betawi sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian keberadaan Perkampungan Budaya Betawi Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. 2) Terbina dan terlindunginya lingkungan perkampungan yang memiliki sistem nilai, sistem norma dan sistem kegiatan Budaya Betawi.

Perkampungan Budaya Betawi Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan sudah tercetus sejak tahun 90-an, kemudian oleh Bamus Betawi keinginan ini dituangkan dalam sebuah rancangan program kerja yakni

“Membangun Pusat Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan”.

Pada tahun 2000 Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No.92 Tahun 2000 tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Kemudian pada tanggal 20 Januari 2001, Bamus Betawi mengadakan Halal Bihalal dengan organisasi pendukung dan masyarakat Betawi pada umumnya, dan pada saat itu pulalah Gubernur Provinsi DKI Jakarta Yaitu Bapak Sutiyoso menandatangani Prasasti Penggunaann awal Perkampungan Budaya Betawi.

Mengingat Perkampungan Budaya Betawi semakin banyak mendapat perhatian publik, sementara payung hukum yang ada yaitu SK Gubernur No. 92 Tahun 2000 belum dapat menaungi secara utuh, maka pada tanggal 10 Maret


(41)

2005 akhirnya keluarlah Perda Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Di dalam Perda tersebut, terdapat 7 amanah/turunan yang harus dijabarkan, yaitu: a) Kelurahan tersendiri (Pergub: Bab II, Pasal 3 ayat 2); b) Pedoman pelaksanaan pembangunan fisik & non fisik (Pergub: Bab IV, Pasal 8 ayat 3); c) Pemberian insentif (Pergub: Bab IV, pasal 9 ayat 6); d) Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (Kep.Gub: Bab V, pasal 11 ayat 3); e) Tata cara pengawasan dan pengendalian (Pergub: Bab IV, pasal 12 ayat 2); f) Besarnya biaya penegak hukum (SK.Gub: Bab VII, pasal 3 ayat 3); g) Sanksi Administrasi (Pergub: Bab IX, pasal 15 ayat 2).

Dengan dasar itu pula maka organisasi ke Betawian & Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Prov. DKI Jakarta mendukung segera di bentuk Lembaga Pengelola yang definitif. Akhirnya melalui kajian dengan Biro Ortala di tetapkan

Pergub Nomor 129 tahun 2007 tentang “Lembaga Pengelola Perkampungan

Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Pada tahun 2009 karena ada kebijakan baru dari Pemda Prov. DKI Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Prov. DKI Jakarta dengan Dinas Pariwisata digabungkan dan sejak itu pula Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi di koordinasikan langsung dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Dalam kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan tersebut dengan mudah dijumpai aktifitas keseharian masyarakat Betawi berkenaan dengan nilai-nilai budaya gotong royong yang sampai saat ini masih terpelihara dan terjaga kelestariannya.


(42)

Gambar 4.1: Pintu Masuk Perkampungan Budaya Betawi Setu BabakanKelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.

Sumber : Hasil Penelitian tahun 2014

Gambar 4.2: Kantor Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.


(43)

Sumber : Hasil Penelitian tahun 2014

Gambar 4.3 : Papan Informasi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.

GAMBAR 4.4


(44)

GAMBAR 4.5

PETA LOKASI PENELITIAN PERKAMPUNGAN BUDAYA

BETAWI SETU BABAKAN KELURAHAN SRENGSENG

SAWAH KECAMATAN JAGAKARSA JAKARTA SELATAN


(45)

b. Sejarah Etnik Betawi 1) Asal Mula Etnik Betawi a) Mukimin Awal

Sejumlah pihakberpendapat bahwa etnik Betawi berasal dari hasil percampuran antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka etnik dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Asal mula etnik Betawi diuraikan oleh Saidi (1997: 1-20) dalam bukunya “Profil Orang Betawi:

Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya”. Buku tersebut mempertegas bahwa orang Betawi bukanlah orang “kemarin sore”. Ridwan Saidi berpendapat bahwa, tidak benar jika ada yang mengatakan orang Betawi itu keturunan budak yang didatangkan Kompeni untuk mengisi intramuros alias kota Benteng Batavia. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan kota di atas reruntuknya kota Batavia.

Cikal bakal sejarah orang Betawi menurut Ridwan Saidi dikaitkan dengan tokoh bernama Aki Tirem yang hidup di daerah kampung Warakas (Jakarta Utara) pada abad ke-2. Aki Tirem hidup dari membuat priuk dan saban-saban bajak laut menyatroni tempatnya untuk merampok priuk. Karena Aki Tirem, merasa kewalahan melawan bajak laut, maka diputuskan untuk mencari perlindungan dari sebuah kerajaan. Saat itulah Dewawarman, seorang berilmu dari India yang menjadi menantunya dimintanya mendirikan kerajaan dan raja.Pada tahun 130


(46)

berdirilah kerajaan pertama di Jawa yang namanya Salakanagara. Salakanagara nagara menurut Ridwan Saidi berasal ari bahasa Kawi,salaka yang artinya perak.

Secara etimologis, kemudian Salakanagara itu oleh Ridwan Saidi dikaitkan dengan laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Dikaitkan pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien.

Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman. Termasuk dalam hal ini yang disebut Prof. Slamet Mulyana (Lihat Ridwan Saidi, 1997: 4) sebagai Kerajaan Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam bukunya “Dari Holotan Sampai Jayakarta”, adalah Salakanagara. Mengenai letak Salakanagara, Ridwan Saidi menunjuk kepada daerah Condet. Alasan penunjukan tempat ini, karena di Condet tumbuh subur salak dan banyak sekali nama-nama tempat yang bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah pasangrahan raja dan Batu Ampar adalah batu besar tempat sesaji diletakkan.

Di Condet juga terdapat makam kuno yang disebut penduduk Kramat Growak dan makam Ki Balung Tunggal yang ditafsirkan Ridwan Saidi sebagai tokoh dari zaman kerajaan penerus Salakanagara, yaitu Kerajaan Kalapa. Tokoh ini menurut Ridwan Saidi adalah pemimpin pasukan yang tetap melakukan peperangan, walaupun tulangnya tinggal sepotong. Oleh karena itu, tokoh ini dijuluki Ki Balung Tunggal.

Setelah menunjuk bukti secara geografis, Ridwan Saidi pun melengkapi teorinya tentang cikal bakal sejarah orang Betawi, dengan sejarah perkembangan bahasa dan budaya Melayu. Dengan bahasa dan budaya iniakan semakin terlihat batas antara orang Betawi dengan orang Sunda. Menurut pendapat Ridwan Saidi, Pada abad ke-10,ketika terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perangdan membawa Cina ikut campur sebagai penengah,


(47)

karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah timur mulai dari Cimanuk dikendalikan oleh Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Kemudian, Sriwijaya meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata, Syailendara abai.Maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya-karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awalmaka bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.Ridwan Saidi mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan

membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda). Orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan

“milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

b) Studi Lance Castles

Berbagai penelitian dan teori tentang asal-usul etnik Betawi, salah satunya ditulis oleh Lance Castles. Meskipun penelitian ini kurang tepat dan cenderung

“menyakiti” masyarakat etnik Betawi, namun sampai saat ini studi Lance Castles itulah yang dianggap sebagai jawaban paling memuaskan oleh banyak pihak, terutama para akademisi.

Dikutip dari laman http://staff.blog.ui.ac.id/syam-mb/2009/05/18/siapa-dan-darimanakah-orang-betawi, disebutkan bahwa pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul


(1)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Ajat Sudrajat, M.Pd NIM. 0908737


(2)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

SIKLUS TINDAKAN KESATU

Fokus Pembelajaran : IPS Hari/Tanggal : 4 Maret 2014

Pembelajaran/Sub Tema : I/Keindahan Alam Negeriku Pukul : 06.30 – 08.30

Kelas : IV

SDN : Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan

Menit Ke Deskripsi Selama Proses Pembelajaran Berlangsung

Komentar Dari Reviewer Ahli Analisis

06.30 – 06.35 Peneliti sudah berada di kelas IV bersama dengan Reviewer Ahli yaitu Drs. Andi Ali Saladin, M.Pd. Peneliti memandu siswa untuk berbaris didepan kelas, satu persatu peneliti cek kerapihan dari mulai rambut, kuku, dan pakaian yang dikenakannya. Kemudian dengan tertib dan antri siswa masuk ke kelas. Seperti biasa sebelum pembelajaran IPS di mulai siswa berdoa terlebih dahulu dengan di pimpin oleh Ketua Kelasnya, setelah selesai berdoa siswa memberikan salam pada peneliti dan peneliti menjawab dengan salam.

Kehadiran peneliti sebagai guru tepat waktu sebelum bel berbunyi merupakan suatu tanda ketaatan terhadap disiplin waktu jam masuk sekolah atau jam pelajaran sehingga siswa memacu siswa untuk dapat melihat kedisiplinan guru.

06.40 – 07.00 Sebagai pembuka pembelajaran peneliti terlebih dahulu memperkenalkan peneliti dimulai dari identitas peneliti, tempat tinggal, tempat bekerja, dan bidang studi yang diampu. Kemudian setelah itu peneliti menyuruh siswa untuk membuka Buku Paket kelas IV Kurikulum 2013, sub tema Keindahan Alam Negeriku. Setelah siswa menyimak dan

Metode pembelajaran yang dikembangkan adalah metode ceramah, diskusi kelompok, dan tanya jawab. Peneliti belum menyentuh pada metode yang mengaktifkan siswa secara lansung.

Ruang kelas sebagai dimensi aktivitas proses belajar mengajar hendaknya dapat menciptakan suasana pembelajaran yang dapat menyenangkan siswa terlepas dari belenggu ketegangan yang pada akhirnya proses pembelajaran IPS menjadi tidak bermakna.


(3)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

membaca subtema tersebut, peneliti menjelaskan secara umum terlebih dahulu tentang: 1) etnik betawi, DKI Jakarta adalah salah satu pusat peradaban budaya di Indonesia. Pada awal pembentukannya DKI Jakarta dihuni oleh orang-orang Sunda, Jawa, Bali, Melayu, Maluku, dan beberapa suku lain. Selain itu juga terdapat budaya China, Belanda, Portugis, India, dan Arab. Kemudian suku bangsa tersebut tersebut berbaur dan melebur menjadi sebuah budaya yang disebut Etnik Betawi. 2) gotong oyong tolong menolong nyambat, adalah meminta bantuan kepada sanak saudara atau tetangga untuk membantu dalam acara bertani atau berkebun. 3) gotong royong tolong menolong membuat dodol makanan khas betawi, Pembuatan dodol dilakukan dengan tangan manusia yang membutuhkan tenaga antara 6-8 orang etnik betawi dari mulai membuka kelapa, menguliti kelapa, memarut kelapa, sampai pada proses pengadukan dodol. Bahan dasar pembuatan dodol adalah beras keta, gula merah, gula putih, dan santan kelapa asli. Proses pengadukan menjadi dodol membutuhkan waktu sekitar 8-9 jam dengan kondisi bara api yang panas sedang, bara api yang terlalu panas akan mengakibatkan dodol menjadi kering dan gosong. 4) gotong royong tolong menolong nyambat pada kegiatan menggarap lahan

Pemilihan Metode pembelajaran hendaknya diharapkan dapat mendorong siswa untuk belajar kearah yang lebih baik dan bermakna.


(4)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pertanian atau kebun, Kegiatan mengarap lahan pertanian atau kebun pada zaman dulu kental dengan nuansa gotong royong tolong-menolong. Kemudian peneliti menanyakan kepada peserta didik apakah sudah mengerti, peserta didik menjawab dengan serempak

“sudah pak”.

07.00 – 07.30 Guru kemudian menugaskan siswa untuk membuat kelompok menjadi 7 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 6 orang, kelompok tersebut diberi tugas untuk mengerjakan LKS dengan menggunakan metode cooperative learning tipe broken triangle. Sebelum siswa mengerjakan lembar kerja siswa terlebihdahulu peneliti menjelaskan aturan main dari model cooperative learning

tipe broken triangle. Broken Triangle

merupakan salah satu permainan adu kecepatan dalam menyusun pecahan-pecahan dalam bentuk puzzle sehingga membentuk sebuah segi tiga yang utuh. Pemanfaatan bentuk permainan ini dalam pembelajaran dilakukan dengan cara menyisipkan pertanyaan atau pernyataan pada setiap puzzle sesuai dengan materi yang disampaikan. Siswa dapat menyusun

puzzle-puzzle tersebut apabila telah mampu

menyelesaikan pertanyaan atau pernyataan yang tertulis dalam setiap puzzle atau sebaliknya. Cooperative lerning tipe broken

triangle adalah suatu metode pembelajaran

Materi yang disajikan oleh peneliti tentang Keindahan Alam Negeriku pada dasarnya adalah

untuk membuka peluang

mengenalkan budaya lokal yaitu Etnik Betawi yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Siswa diajak untuk menggali budaya yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Diharapkan siswa dapat dengan mudah mengenal budaya setempat lewat tempat wisata yaitu Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.


(5)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

yang dilaksanakan dalam bentuk kelompok kecil beranggotakan 5-7 orang yang heterogen (jenis kelamin, latar belakang agama, sosial ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis) untuk bekerja sama dimana siswa yang mempunyai topik yang sama berkumpul dalam kelompok ahli untuk mendiskusikannya dan kemudian kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan topik tersebut kepada teman satu kelompok.

07.30 – 08.00 Peseta didik bersama kelompoknya mulai berdiskusi mengerjakan LKS. Peneliti mengamati jalannya diskusi kelompok dan menceklis lembar penilaian afektif dan aktivitas siswa.

Media yang digunakan adalah LKS, Buku Paket Kurikulum 2013.

08.00 – 08.45 Setelah selesai mengerjakan kerja kelompoknya. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasilnya dimulai dari kelompok 1 sampai pada kelompok 7. Namun ada satu kelompok yang menyebutkan lokasi wisata yang sering di kunjungi adalah objek wisata Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan. Peneliti langsung merespon dan menanyakan kepada kelompok tersebut

“Kenapa sering berkunjung ke Perkampungan Budaya Betawi Setu Bababkan?”. Siswa menjawab “Karena di Perkampungan tersebut

menampilkan budaya-budaya betawi seperti: lenong, marawis, gambus, tanjidor,tari khas betawi dan biasanya disajikan dan di tampilkan

Peran aktivitas siswa belum terlibat secara maksimal ada sebagian siswa yang terlihat masih ngobrol dan bercanda dengan temannya sehingga materi yang disampaikan oleh peneliti kurang dikuasai oleh siswa.

Penilaian merupakan salah satu komponen dalam berakhirnya proses belajar mengajar di kelas. Namun penilaian yang di lihat dalam penelitian ini hanya Penilaian aktivitas peneliti/guru dan penilaian aktivitas siswa dilakukan untuk mengukur sejauhmana tingkat penguasaan proses pembelajaran.


(6)

Ajat Sudrajat, 2014

Nilai-Nilai Budaya Gotong Royong Etnik Betawi Sebagai Sumber Pembelajaran IPS

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pada hari Minggu dari Pukul 08.00 – sampai Pukul 15.00. dikarenakan waktu pembelajaran akan berakhir maka peneliti mengingatkan dan peneliti menginformasikan bahwa pertemuan akan diakhiri. Tidak lupa peneliti memberikan PR yang berkaitan dengan nilai budaya Betawi.

Jakarta, 4 Maret 2014

Peneliti, Reviewer Ahli,

Ajat Sudrajat Drs. Andi Ali Saladin, M.Pd

Mengetahui,

Kepala Sekolah SDN Srengseng Sawah 06 Pagi Jakarta Selatan

Dra. Hj. Widi Fatmah NIP. 19409251979122001