Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga T2 912013002 BAB II

(1)

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan panduan teoritis yang menjadi dasar dari penelitian ini yaitu mengenai stigma negatif, dukungan sosial, stress kerja dan kinerja.

2.1. Stigma Negatif 2.1.1. Pengertian Stigma

Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „Stigma‟

diartikan sebagai “ciri negatif yang menempel pada pribadi

seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan pada kamus

Oxford, „stigma‟ dimaknai dengan “a mark of disgrace associated with particularcircumstances, quality, or person” (suatu cap keaiban yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Dalam tesaurus bahasa Indonesia, sinonim kata stigma antara lain aib, cemar, noda cap, ciri, nama buruk. Sedangkan pengertian dan penjelasan kata stigma yang dikutip dari Wikipedia yakni :

“Stigma dari bahasa Yunani ( ιγμα: "tanda" atau "bercak"; majemuk: stigmata, ιγμα α) mengandung beberapa arti. Istilah ini berasal dari tanda-tanda yang dimiliki seseorang pada tubuhnya (bekas bakaran atau torehan) yang antara lain menandakan bahwa orang itu adalah budak, penjahat, atau pengkhianat. Ia adalah orang yang cacat moralnya dan karena itu harus dihindari, khususnya di tempat umum. Di dalam sejarah Gereja Khatolik, istilah ini kemudian bisa mengandung dua arti, yaitu tanda-tanda fisik yang diyakini berasal dari Tuhan (misalnya tonjolan pada kulit), dan acuan medis kepada tanda -tanda keagamaan ini sebagai petunjuk adanya cacat fisik. Contohnya, St. Fransiskus dari Asisi


(2)

2 dipercayai mempunyai stigmata, tanda -tanda pada tubuhnya yang sama seperti tanda-tanda bekas luka karena penyaliban pada diri Yesus. Kata "stigma" juga dipergunakan dalam istilah "stigma sosial", yaitu tanda bahwa seseorang dianggap ternoda dan karenanya mempunyai watak yang tercela, misalnya seorang bekas narapidana yang dianggap tidak layak dipercayai dan dihormati. (http://id.wikipedia.org/wiki/Stigma ).

Dari beberapa definisi tersebut, jelas tergambar bahwa kata

„stigma‟ secara inheren selalu bersifat negatif (terkecuali istilah

stigmata dalam sejarah Gereja Khatolik, disini kata Stigmata

mengandung nuansa positif dan kudus). Kata „stigma negatif‟ merupakan bentuk gaya bahasa pleonasme, yaitu kata-kata yang berlebihan untuk menggambarkan sesuatu hal.

2.1.2 Stigma Negatif Terhadap PNS

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, fungsi pegawai negeri sipil (PNS) berperan utama sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik. Akan tetapi dalam kenyataannya, PNS dalam melaksanakan tugas-tugas umum pelayanan publik tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda dari pandangan masyarakat. Salah satu persoalan mendasar dalam sistem kepegawaian adalah pekerjaan tempat Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam berbagai kebijakan dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat tidak dianggap sebagai aset negara, bahkan kadang-kadang dipandang menjadi beban negara. Akibatnya kebijakan-kebijakan dan manajemen


(3)

3

kepegawaian yang disusun semata-mata untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan politik yang kadangkala justru menjadikan PNS semakin tersisih. (Rudita, 2014). Akibatnya, aparatur negara selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).

Para pegawai negeri sipil didalam menyelenggarakan tugas pemerintahan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan.

Stigma atau citra negatif terlanjur melekat pada PNS dan bahkan bisa dianggap sebuah fenomena. Stigma tersebut kemungkinan juga diperkuat oleh kecenderungan orang untuk

melakukan “over-generalization” yaitu penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat umum, dan itu adalah suatu bentuk kesalahan berpikir (Fallacy of Dramatic Instance).

Kesalahan berfikir dari beberapa kasus yang didapati pada beberapa oknum PNS, misalnya: ada PNS dipilih dan diangkat melalui jalur KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), oportunis, memanfaatkan posisi, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, tidak disiplin, suka belanja di mall atau pasar saat jam kerja, lebih banyak nongkrong, baca koran, main catur bahkan ngerumpi di tempat kerja. Kasus-kasus yang seperti itulah yang nampaknya mendukung terbangunnya citra negatif tersebut dan digeneralisir pada semua Aparatur Sipil Negara.


(4)

4

Pembuktian akan adanya stigma negatif terhadap PNS tersebut mudah sekali di temui pada pemberitaan pada media berita online. Cukup hanya dengan mengetik „kinerja buruk PNS‟ pada laman penelusuran google akan ditemukan ribuan hasil pencarian yang berisikan berita, opini, maupun pembahasan mengenai citra buruk PNS.

Beberapa opini dari masyarakat yang mewakili penilaian negatif terhadap PNS/Aparatur Sipil Negara salah satunya dapat

ditemui pada rubrik kompasiana dengan judul „Rendahnya Kinerja PNS Pemda‟:

...PNS pemda banyak memiliki kinerja yang rendah. Seharusnya jam kerja dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk bekerja namun malah digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Dalam jam kerja PNS banyak berkeliaran di pasar, mall atau ditempat lainnya. Pulang tidak tepat waktu, Ja dwal yang seharusnya pulang jam 4 sore tidak dipatuhi, mereka pulang siang sekitar jam 1 dan banyak yang tidak kembali lagi ke kantor. Sungguh sangat memprihatinkan, sebagai abdi negara memakan gaji buta. Tugas melayani masyarakat disia-siakan. Sebelum menjadi PNS masyarakat berbondong-bondong mengikuti tes PNS, bahkan sampai menyogok puluhan juta untuk menjadi PNS. Namun setelah diangkat, kedudukan yang diperoleh tidak dipergunakan dengan sebaik mungkin”. (http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-pns-pemda-475413. html) .

Mengutip berita yang bersumber dari beritasatu.com hari Minggu, 02 November 2014, Menteri Pemberdayaan Aparatur


(5)

5

Negara dan Reformasi Birokrasi juga menyampaikan bahwa kinerja PNS dinilai masih negatif oleh publik.

Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), Yuddy Chrisnandi meminta setiap daerah menerapkan revolusi mental guna mereformasi birokrasi dan untuk menghilangkan penilaian negatif terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Yuddy melakukan kunjungan ke beberapa daerah, termasuk bertemu Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Sabtu (1/11), guna mengampanyekan gerakan revolusi mental reformasi birokrasi. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesan negatif di publik, terkait kinerja PNS yang buruk selama ini.

"Kesan di publik saat ini, kinerja PNS lambat, masuk siang, pulang cepat, jam 4 sudah di mal, dan di kantor hanya baca koran," katanya, Bogor, Sabtu (1/11).

Yuddy menilai sudah saatnya PNS menjadi pelayan masyarakat. "Intinya puaskan dulu masyarakat. Terkait regulasi akan segera dikeluarkan. Bila ditanya kapan, segera," terangnya. (http://www.beritasatu.com/pelayanan- publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html)

Menurut Adnan (2013) kesan atau citra negatif terhadap birokrasi karena birokrasi selama ini kurang merespon keinginan warga masyarakat. Birokrasi yang selama ini bekerja lambat, sangat


(6)

6

berhati-hati dan cara kerjanya sulit diterima oleh masyarakat yang memerlukan layanan cepat, efisien, tepat waktu dan sederhana. Menurut Sarundajang, 2005 (dalam Adnan, 2013) ada sejumlah kelemahan birokrasi yang dihadapi oleh pemerintah daerah, yaitu : 1.) Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh masing-masing Pemerintah Daerah hanya sekedar menampung personil dalam suatu jabatan struktural; 2.) Partisipasi masyarakat masih rendah; 3.) Transparansi belum berjalan; 4.) Mekanisme kerja dan pembagian tugas yang tumpang tindih menyulitkan kalangan internal dan masyarakat dalam berurusan dengan pemerintah daerah; 5.) Politisasi PNS masih menggejala; 6.) Sistem karir tidak sehat membuat persaingan tidak sehat; 7.) Belum siapnya aparatur birokrasi menghadapi tuntutan perubahan. Dwiyanto,et.al 2006, (dalam Adnan, 2013) mengatakan bahwa birokrasi memang belum mampu mewujudkan nilai-nilai akuntabilitas dan efisiensi dalam pelayanan publik. Citra negatif atau stigma negatif terhadap kinerja aparatur negara menjadi salah satu alasan segera dilakukannya reformasi birokrasi (Adnan,2013).

Menurut Daryanto (2007) ada beberapa indikator yang mencerminkan buruknya potret kinerja aparat pelayanan publik /PNS, antara lain ditunjukkan oleh pelayanan yang bertele-tele dan cenderung birokratis; biaya yang tinggi (high cost economy); pungutan-pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat; pelayanan yang diskriminatif; mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau kelompok (termasuk kepentingan atasannya ketimbang kepentingan publik); adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif di luar


(7)

7

peraturan; masih kuatnya kecenderungan untuk menunggu petunjuk atasan; sikap acuh terhadap keluhan masyarakat; lamban dalam memberikan pelayanan; kurang berminat dalam mensosialisasikan berbagai peraturan kepada masyarakat.

2.2. Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan informasi verbal dan non verbal berupa suatu tindakan yang didapat dari keakraban sosial atau karena kehadiran orang yang mendukung dimana hal ini bermanfaat secara emosional bagi pihak yang menerima dukungan sosial (Gotlieb, 1983 dalam Lestari, 2003). Menurut Bakhri (2011) dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang melibatkan satu atau lebih aspek yang terdiri dari dukungan emosional, penghargaan, instrumental dan informasi; hal tersebut memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima, sehingga dapat membantu individu dalam menjalani kehidupannya atau ketika dalam menghadapi masalah yang dihadapinya.

Dukungan sosial sangat diperlukan oleh individu dalam berhubungan dengan orang lain demi melangsungkan hidupnya ditengah masyarakat. Dengan adanya dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok; dan dukungan sosial tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber (Bakhri, 2011). Pendapat senada disampaikan oleh Muhaimin et.al. (2013) bahwa dukungan sosial yang didapat oleh seseorang dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan


(8)

8

sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai.

Konsep dukungan sosial dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan sumber dukungan (House,1978 dalam Lestari 2003). Berdasarkan bentuk, dukungan sosial dapat terdiri dari : a) Dukungan Emosional; perilaku dalam memberi bantuan dalam bentuk sikap memberi perhatian, mendengarkan dan simpati pada orang lain. Dukungan ini terlihat dari sikap menghargai, percaya, peduli dan tanggap terhadap individu yang didukungnya. Bentuk dukungan emosional paling sering terlihat dalam interaksi antar individu. b) Dukungan Instrumental; merupakan bentuk dukungan berupa bantuan nyata dalam merespon kebutuhan yang khusus seperti pelayanan barang dan bantuan finansial. c) Dukungan Informasi; berupa saran, nasehat atau berupa feed back individu yang mendukungnya. d) Dukungan Penilaian; dukungan dalam bentuk penilaian yang berisi penghargaan positif, dorongan maju atau persetujuan terhadap gagasan yang positif, dorongan maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan pada individu yang lainnya.

Berdasarkan sumber dukungan, dukungan sosial dapat bersumber dari pasangan hidup (suami/istri), keluarga, rekan kerja dan atasan. Dukungan dari atasan dan rekan kerja dapat mereduksi beban yang diterima dalam pekerjaan, sedangkan dukungan dari pasangan hidup dan keluarga lebih berperan dalam bentuk dukungan emosional (Lestari, 2003).


(9)

9 2.3. Stress Kerja

2.3.1. Pengertian Stress Kerja

Perkataan stress berasal dari bahasa latin Stringere, yang digunakan pada abad XVII untuk menggambarkan kesukaran, penderitaan dan kemalangan. Kata stres seringkali digunakan untuk menunjuk gejala atau fakta yang kadang tidak sama atau bahkan beda sama sekali. Misal, bagi sebagian orang kata stres digunakan untuk menunjuk pada suatu keadaan fisis yang tengah dilanda berbagai tekanan yang tidak tertahankan dan melampaui batas ketahanannya. Sementara bagi yang lain digunakan untuk menunjuk gejala yang menghasilkan tekanan-tekanan itu. Bagi sebagian orang, stres adalah suatu kesatuan fisis yang berkait dengan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya, sedang bagi sebagian yang lain stres dianggap sesuatu yang bersifat subyektif dan hanya berhubungan dengan kondisi psikologis dan emosional seseorang. Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan kesamaan persepsi tentang batasan stres (Margiati, 1999).

Hariandja, 2002 (dalam Tunjungsari, 2011) mendefinisikan stress sebagai ketegangan atau tekanan emosional yang dialami sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang.

Menurut Handoko (2001) stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Hasilnya, stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, yang akhirnya


(10)

10 mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya dan berarti mengganggu prestasi kerjanya.

Luthans (2013) mendefinisikan stress sebagai respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi. Secara konseptual dan praktik, konflik dan stress adalah sama terutama dalam tingkat individu.

2.3.2 Penyebab dan Gejala Stress Kerja

Mangkunegara (2008) berpendapat bahwa: “Penyebab stress kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan

dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja”. (dalam Tunjungsari, 2011).

Handoko (2001) mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kondisi kerja yang sering menyebabkan stress bagi para karyawan , diantaranya adalah: Beban kerja yang berlebihan, tekanan atau desakan waktu, kualitas supervisi yang jelek, iklim politis yang tidak aman, umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai, kemenduaan peranan, frustasi, konflik antar pribadi dan antar kelompok, perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan, berbagai bentuk perusahaan. Menurut Doelhadi (1997) salah satu hal yang menyebabkan stres adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Apabila individu tidak merasakan tuntutan dari lingkungan sebagai stresor, maka individu tersebut tidak mengalami stres.


(11)

11 Kondisi tertentu dalam lingkungan merupakan sumber potensial bagi munculnya stres. Bagaimana bentuk stres yang dihayati tergantung dari karakteristik yang unik dari individu yang bersangkutan serta penghayatannya tehadap faktor-faktor dari lingkungan yang potensial memunculkan stres padanya, walaupun hampir setiap kelompok orang dihadapkan pada jenis atau kondisi stress yang serupa, tetapi hal ini akan menghasilkan reaksi yang berbeda, bahkan dalam menghadapi jenis stress atau kondisi yang sama setiap individu dapat berbeda-beda pola reaksinya (Tunjungsari, 2011). Sarafino,1990 (dalam Solihat, 2009) mengatakan bahwa stress bersumber dari tiga hal, yaitu dari diri individu (sources within the person); dari keluarga (sources in the family); dari lingkungan dan masyarakat (sources in the community and society). Luthans (2013) berpendapat penyebab stress bisa dari luar dan dalam organisasi, dari kelompok yang dipengaruhi karyawan dan dari karyawan itu sendiri.

Gambar 2.1 Model stress kerja versi Cartwright dan Cooper

(Sumber : http://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-satisfaction.html, di unduh 15/10/2015)

Dilihat dari model Cartwright and Cooper diatas, ada beberapa gejala stress kerja : (1) Gejala Individual : tekanan darah


(12)

12

naik, depressed mood, makan-minum berlebih, iritabilitas, dada nyeri; (2) Gejala Organisasi : sering bolos, keluar masuk kerja, hubungan kerja tidak baik, kendali kualitas buruk.

Gambar 2.2 Model of Stressors, Stress, and Outcomes versi Ivancevich, Konopaske dan Matteson, Organizational, Behavior and Management Eight Edition, 2008 (dalam Lindawati, 2014)

Sumber : Lindawati, 2014

Dilihat dari Skema pada Gambar 2.2 Model of Stressors, Stress, and Outcomes versi Ivancevich, Konopaske dan Matteson, gejala perilaku yang dihasilkan oleh stres kerja adalah ketidakhadiran dan pergantian pegawai. Gejala kognitif yang dihasilkan oleh stres kerja seperti salah dalam mengambil keputusan, kurang konsentrasi dalam bekerja dan mudah tersinggung, apatis dan frustasi. Sedangkan gejala fisiologis yang dihasilkan oleh stres kerja seperti naiknya tekanan darah dan penyakit jantung koroner. Model tersebut menyatakan bahwa hubungan antara stres dan hasil (individu dan organisasi) tidak selalu secara langsung, demikian juga dengan hubungan antara stresor dan stres. Hubungan ini mungkin dipengaruhi oleh moderator stres. Perbedaan individu seperti usia,


(13)

13

mekanisme dukungan sosial, dan kepribadian diperkenalkan sebagai moderator potensial. (Lindawati, 2014).

Gejala stres menurut Braham (dalam Harianto et. al. 2008) dapat berupa tanda-tanda sebagai berikut :

Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit

buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi.

Emosional, yaitu marah-marah mudah tersinggung dan terlalu

sensitif gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental.

Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat

menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja .

Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain,

kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, sering mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, dan mudah menyalahkan orang lain..


(14)

14 2.4. Kinerja

Prawirosentono, 2006 (dalam Supriadi 2013) mengartikan kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Sejalan dengan pendapat tersebut, Harbani Pasolong, 2007 (dalam Supriadi, 2013) mengatakan kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi.

Menurut Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Nomor: 598/IX/6/X/1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / program / kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi suatu organisasi.

Menurut pendapat Hasibuan (dalam Supriadi 2013), kinerja pegawai dapat dikatakan baik atau dapat dinilai dari beberapa hal : a) Kesetiaan; seorang pegawai dikatakan memiliki kesetiaan jika ia

melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan organisasi. b) Prestasi kerja; merupakan hasil kerja yang dicapai pegawai dalam

melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya prestasi kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman dan kesanggupan pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun demikian prestasi kerja seorang pegawai tidak hanya tergantung dari kemampuan


(15)

15

dan keahlian yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

c) Kedisiplinan; sejauh mana pegawai dapat mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melaksanakan instruksi yang diberikan kepadanya. Disiplin dapat diartikan melaksanakan apa yang telah disetujui bersama antara pimpinan dengan para pegawai baik persetujuan tertulis, lisan ataupun berupa peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan.

d) Kreatifitas; yaitu kemampuan pegawai dalam mengembangkan ide-ide dan mengeluarkan potensi yang dimiliki dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga pegawai dapat bekerja dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

e) Kerjasama; yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja sama dengan pegawai lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan, sehingga hasil pekerjaannya akan semakin baik. f) Kecakapan; dapat diukur dari tingkat pendidikan pegawai yang

disesuaikan dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya.

g) Tanggungjawab; adalah kesanggupan seorang pegawai menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menerima resiko pekerjaan yang dilakukan.

Pengakuan sosial juga bisa menjadi salah satu pendorong untuk meningkatkan kinerja, sebagaimana dikatakan oleh Luthans (2013) bahwa memberikan penghargaan non finansial berupa umpan balik kinerja dan perhatian/pengakuan sosial bisa menjadi salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja karyawan.


(16)

16 2.5. Dampak Stigma Negatif Terhadap Perilaku Kerja (Stress

Kerja dan Kinerja)

Berbagai bentuk stigma negatif terhadap PNS seperti misalnya PNS loyalitasnya masih rendah, tidak disiplin, malas bekerja, (lihat

sinarharapan.co/news/read/23298/menguji-loyalitas-pns), kinerja PNS lambat (lihat http://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html), dan bentuk stigma negatif terhadap PNS lainnya diduga berdampak terhadap stress kerja dan berdampak terhadap kinerja para pegawai di Pemerintah Kota Salatiga, karena dimungkinkan berbagai tudingan tersebut bisa memunculkan rasa frustasi dalam diri PNS. Sebagaimana pendapat Handoko (2001), bahwa sejumlah kondisi kerja yang salah satunya adalah frustasi bisa menyebabkan stress kerja bagi karyawan.

Dalam teori peran (role theory) ditegaskan bahwa stress dapat mengurangi kinerja, karena stress dapat merusak perilaku seseorang (pshychological well-being) (Keaveney et.al. 1992 dalam Lestari, 2003). Meskipun stress berpotensi menurunkan kinerja, ada pandangan lain yang berpendapat jika stress juga bisa berpotensi meningkatkan kinerja; sebagaimana pendapat Dientsbier (1989) kinerja pegawai justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat stress yang rendah atau tidak ada sama sekali, karena mereka tidak merasa tertantang atau terdorong untuk mencapai kinerja yang tinggi. Sebaliknya stress yang terlalu tinggi akan mendorong pegawai hanya terfokus pada usaha untuk mengatasi stress tersebut dibandingkan dengan usahanya untuk meningkatkan kinerja. Pada tingkatan moderat, stress dapat mendorong pegawai untuk bekerja


(17)

17

lebih baik tanpa harus mencurahkan energinya untuk mengatasi stress (dalam Lestari, 2003).

Doelhadi (1997) berpendapat bahwa salah satu hal yang menyebabkan stress adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Akan tetapi sebaliknya apabila individu tidak merasakan tuntutan dari lingkungan sebagai stresor, maka individu tersebut tidak mengalami stress. Dari hasil penelitian Daniel, et.al. 2005 menunjukkan bahwa apresiasi kepada pegawai bisa membantu meningkatkan semangat kerja, stress yang lebih rendah, menurunkan ketidakhadiran dan perputaran, dan meningkatkan produktivitas (dalam Mardalis et.al., 2012).

Menurut pendapat Lestari (2003) terdapat hubungan langsung antara variabel-variabel stress dengan variabel-variabel hasil kerja, namun dukungan sosial dapat mempengaruhi hubungan tersebut dengan mengubah sikap pegawai dalam bereaksi terhadap stress yang berkaitan dengan situasi-situasi tertentu.

2.6Pengembangan Hipotesis

Berdasar latar belakang permasalahan dan landasan pemikiran yang telah diuraikan, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:

 Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;

 Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;


(18)

18

 Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;

2.7 Kerangka Pemikiran Teoritis

Berdasarkan telaah teoritis yang dilakukan pada bagian awal, selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang akan menjadi kerangka penelitian dan panduan bagi pemecahan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa variabel, diantaranya variabel stigma negatif (X1), variabel dukungan sosial sebagai variabel moderasi (X2), variabel stress kerja (Y1), dan variabel kinerja (Y2). Model dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.4 Model Kerangka Pemikiran

X1 Y1 Y2

X2

H1 : Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di

Pemerintah Kota Salatiga;

STIGMA NEGATIF STRESS KERJA KINERJA


(19)

19

H2 : Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam

hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga

H3 : Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah


(1)

14 2.4. Kinerja

Prawirosentono, 2006 (dalam Supriadi 2013) mengartikan kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Sejalan dengan pendapat tersebut, Harbani Pasolong, 2007 (dalam Supriadi, 2013) mengatakan kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi.

Menurut Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Nomor: 598/IX/6/X/1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / program / kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi suatu organisasi.

Menurut pendapat Hasibuan (dalam Supriadi 2013), kinerja pegawai dapat dikatakan baik atau dapat dinilai dari beberapa hal : a) Kesetiaan; seorang pegawai dikatakan memiliki kesetiaan jika ia

melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan organisasi. b) Prestasi kerja; merupakan hasil kerja yang dicapai pegawai dalam

melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya prestasi kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh kecakapan, keterampilan, pengalaman dan kesanggupan pegawai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun demikian prestasi kerja seorang pegawai tidak hanya tergantung dari kemampuan


(2)

15 dan keahlian yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

c) Kedisiplinan; sejauh mana pegawai dapat mematuhi peraturan-peraturan yang ada dan melaksanakan instruksi yang diberikan kepadanya. Disiplin dapat diartikan melaksanakan apa yang telah disetujui bersama antara pimpinan dengan para pegawai baik persetujuan tertulis, lisan ataupun berupa peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasaan.

d) Kreatifitas; yaitu kemampuan pegawai dalam mengembangkan ide-ide dan mengeluarkan potensi yang dimiliki dalam menyelesaikan pekerjaannya sehingga pegawai dapat bekerja dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

e) Kerjasama; yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja sama dengan pegawai lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan, sehingga hasil pekerjaannya akan semakin baik. f) Kecakapan; dapat diukur dari tingkat pendidikan pegawai yang

disesuaikan dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya.

g) Tanggungjawab; adalah kesanggupan seorang pegawai menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menerima resiko pekerjaan yang dilakukan.

Pengakuan sosial juga bisa menjadi salah satu pendorong untuk meningkatkan kinerja, sebagaimana dikatakan oleh Luthans (2013) bahwa memberikan penghargaan non finansial berupa umpan balik kinerja dan perhatian/pengakuan sosial bisa menjadi salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja karyawan.


(3)

16 2.5. Dampak Stigma Negatif Terhadap Perilaku Kerja (Stress

Kerja dan Kinerja)

Berbagai bentuk stigma negatif terhadap PNS seperti misalnya PNS loyalitasnya masih rendah, tidak disiplin, malas bekerja, (lihat sinarharapan.co/news/read/23298/menguji-loyalitas-pns), kinerja PNS lambat (lihat http://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html), dan bentuk stigma negatif terhadap PNS lainnya diduga berdampak terhadap stress kerja dan berdampak terhadap kinerja para pegawai di Pemerintah Kota Salatiga, karena dimungkinkan berbagai tudingan tersebut bisa memunculkan rasa frustasi dalam diri PNS. Sebagaimana pendapat Handoko (2001), bahwa sejumlah kondisi kerja yang salah satunya adalah frustasi bisa menyebabkan stress kerja bagi karyawan.

Dalam teori peran (role theory) ditegaskan bahwa stress dapat mengurangi kinerja, karena stress dapat merusak perilaku seseorang (pshychological well-being) (Keaveney et.al. 1992 dalam Lestari, 2003). Meskipun stress berpotensi menurunkan kinerja, ada pandangan lain yang berpendapat jika stress juga bisa berpotensi meningkatkan kinerja; sebagaimana pendapat Dientsbier (1989) kinerja pegawai justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat stress yang rendah atau tidak ada sama sekali, karena mereka tidak merasa tertantang atau terdorong untuk mencapai kinerja yang tinggi. Sebaliknya stress yang terlalu tinggi akan mendorong pegawai hanya terfokus pada usaha untuk mengatasi stress tersebut dibandingkan dengan usahanya untuk meningkatkan kinerja. Pada tingkatan moderat, stress dapat mendorong pegawai untuk bekerja


(4)

17 lebih baik tanpa harus mencurahkan energinya untuk mengatasi stress (dalam Lestari, 2003).

Doelhadi (1997) berpendapat bahwa salah satu hal yang menyebabkan stress adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Akan tetapi sebaliknya apabila individu tidak merasakan tuntutan dari lingkungan sebagai stresor, maka individu tersebut tidak mengalami stress. Dari hasil penelitian Daniel, et.al. 2005 menunjukkan bahwa apresiasi kepada pegawai bisa membantu meningkatkan semangat kerja, stress yang lebih rendah, menurunkan ketidakhadiran dan perputaran, dan meningkatkan produktivitas (dalam Mardalis et.al., 2012).

Menurut pendapat Lestari (2003) terdapat hubungan langsung antara variabel-variabel stress dengan variabel-variabel hasil kerja, namun dukungan sosial dapat mempengaruhi hubungan tersebut dengan mengubah sikap pegawai dalam bereaksi terhadap stress yang berkaitan dengan situasi-situasi tertentu.

2.6Pengembangan Hipotesis

Berdasar latar belakang permasalahan dan landasan pemikiran yang telah diuraikan, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:

 Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;

 Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;


(5)

18

 Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;

2.7 Kerangka Pemikiran Teoritis

Berdasarkan telaah teoritis yang dilakukan pada bagian awal, selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang akan menjadi kerangka penelitian dan panduan bagi pemecahan masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa variabel, diantaranya variabel stigma negatif (X1), variabel dukungan sosial sebagai variabel moderasi (X2), variabel stress kerja (Y1), dan variabel kinerja (Y2). Model dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.4 Model Kerangka Pemikiran

X1 Y1 Y2

X2

H1 : Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga;

STIGMA NEGATIF STRESS KERJA KINERJA


(6)

19 H2 : Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam

hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga

H3 : Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah Kota Salatiga


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya di Kota Salatiga T2 322013008 BAB II

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga T2 912013002 BAB I

0 1 4

T2 912013002 BAB III

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga T2 912013002 BAB IV

0 2 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga T2 912013002 BAB V

0 0 5

T2 912013002 Daftar Pustaka

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Respon PNS terhadap Stigma Negatif dan Dampaknya terhadap Perilaku Kerja: studi pada PNS di Pemerintah Kota Salatiga

0 0 31

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Siswa dan Dampaknya Terhadap Loyalitas Siswa di SMK Kristen Salatiga T2 942009050 BAB II

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Adopsi Teknologi Informasi terhadap Perilaku PNS Menggunakan Pendekatan UTAUT : Studi Kabupaten Maluku Barat Daya T2 912012036 BAB II

0 0 12