Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka Pemerataan Pendapatan.
Bidang Unggulan : Ekonomi Pembangunan Pariwisata
LAPORAN HASIL PENELITIAN UNGGULAN
Penelitian Pengembangan Pariwisata Berbasis
Kerakyatan (CBT) Bali Utara Dalam Rangka
Pemerataan Pendapatan
TIM PENELITI
Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, SE, Msi
NIDN : 0022115407
Dr. I.B. Purbadharmaja, SE, ME
NIDN : 0018066801
Drs I Ketut Sutrisna, MSi
NIDN : 0011125708
Jurusan Studi Pembangunan
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2014
ABSTRAK(2)
Arah perkembangan perekonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di daerah Bali.
World Travel Tourism Council (2011) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2010.
Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan masyarakat, sehingga dengan sendirinya berpotensi menciptakan permintaan pasar pariwisata (Loandse dan Debbage, 2004). Pemerataan pembangunan pariwisata di Bali dengan membangun bandara internasional di wilayah Bali utara, adalah upaya mendekatkan destinasi pariwisata Bali utara melalui pengadaan sarana transportasi udara.
Penelitian ini melakukan penelitian persepsi dengan mengembangkan community-based tourism (CBT) sebagai strategi pembengan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat di Bali utara. Penelitian melakukan konstruksi model berdasarkan referensi teoritik yang membentuk CBT dimaksud. Sejumlah variabel antara lain Infras (X1), Commitment (X2), Modal social Network (X3), kebijakan pemerintah (X4), Kolaborasi (Y1) serta destinasi wisata CBT (Y2).
Berdasarkan penggunaan analisis SEM dan path variance-based PLS, diperoleh hasil analisis bahwa modal social ternyata merupakan asset strategis masyarakat yang mampu diangkat sebagai kekuatan baru dalam mengembangkan destinasi wisata berbasis kepemilikan rakyat. Kebijakan pemerintah (X4), Commitment (X2) dan Modal social (X3) adalah signifikan terhadap pembentukan kolaborasi (Y1), sedangkan kolaborasi (Y1) berpengaruh secara langsung membentuk destinasi wisata berbasis masyarakat.
Melalui penggunaan second order procedure pada SmartPls, diperoleh dukungan bahwa komponen modal social linkage (Z1), trust (Z2) dan norma (Z3) memiliki kontribusi yang seimbang dalam membentuk laten variabel Network (X3). Hasil penelitian dengan menelusuri peran intermediasi antar variabel amatan, ternyata modal social memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap kolaborasi (Y1) melalui commitment (X2) dan kebijakan pemerintah (X4). Destinasi wisata CBT (Y2) tidak terbukti dipengaruhi secara intermediasi oleh sejumlah variabel yang membentuk destinasi wisata CBT tersebut, melainkan hanya terbukti dapat diwujudkan melalui hubungan langsung kolaborasi (X2) dan kebijakan pemerintah (X4).
Rekomendasi yang dapat dirumuskan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah untuk memperhatikan dengan cermat partsipasi pengusaha lokal non pariwisata sebagai komponen commitment (X2) yang memiliki tanda parameter negative, dalam hal mana prilaku dalam membentuk kolaborasi berlawanan arah, sehingga pemberdayaan melalui capacity building serta sosialisasi tentang manfaat pentingnya kebersamaan adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengajak pengusaha non pariwisata menjadi satu kesatuan gerak langkah dalam mewujudkan destinasi wisata di kabupaten Buleleng. ***
(3)
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pariwisata sebagai salah satu sektor kegiatan perekonomian telah mengalami pertumbuhan sangat pesat di berbagai negara, tidak saja berperan sebagai penyedia lapangan kerja, tetapi juga berdampak nyata sebagai sumber pendapatan devisa, serta membantu mengurangi tekanan defisit pada neraca pembayaran ( Dapatdoran, 2001).
World Travel Tourism Council (2002) menyajikan laporan bahwa sebanyak 255 miliar penduduk dunia bekerja pada sektor pariwisata. World Travel Tourism juga mencatat sebanyak 955 miliar dari penduduk dunia melakukan perjalanan wisata, sehingga telah mewujudkan pendapatan lebih dari 955 juta US dollar pada tahun 2002 tersebut.
Kegiatan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama di berbagai kawasan negara berkembang, telah menciptakan perbaikan pendapatan masyarakat, sehingga berpotensi dengan sendiriya menciptakan permintaan pasar pariwisata ( Loandse dan Debbage, 2004).
Arah perkembangan pereonomian dunia yang semakin memperkuat fundamental perekonomian dibanyak negara, akan menciptakan potensi pasar pariwisata, sehingga dapat dijadikan pedoman mengapa pariwisata menjadi semakin penting untuk dikaji dan dianalisis dalam rangka mempersiapkan perencanaan dan penyiapan industri pariwisata yang berdaya saing tinggi dan bisa disajikan sebagai produk pariwisata berkualitas di Indonesia.
Berkaitan dengan potensi sektor pariwisata dengan arah perkembangan pasar dunia yang sangat menjanjikan bagi upaya perluasan lapangan kerja dan pembentukan pendapatan masyarakat, maka destinasi pariwisata perlu diperluas wilayahnya untuk tidak saja terpusat pada Bali selatan, tetapi juga dapat diperlebar ke wilayah Bali utara yang relatif memiliki obyek wisata pantai, pegunungan dan atraksi maupun obyek kawasan suci, tetapi potensi
(4)
yang sedemikian besar tidak didukung oleh kesiapan infrastruktur pariwisata, terbatasnya akses pariwisata, serta kendala sumber daya terlatih dalam menyediakan akomodasi, restaurant dan hotel yang memadai sebagai komponen strategis penunjang pariwisata.
Meskipun banyak pihak telah menyadari bahwa pemusatan kegiatan pariwisata di Bali selatan telah berdampak nyata pada kemacetan lalu-lintas dan aktivitas wisatawan yang padat telah menghasilkan persoalan sampah yang mengurangi kenyamanan wiisatawan dimasa depan.
Perencanaan pemerintah pusat dalam rangka pengembangan bandara Bali Baru yang ditempatkan di Bali utara dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan melalui pengembangan sektor pariwisata, namun keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia untuk mampu mewujudkan kualitas pelayanan pariwisata yang bermutu, tentu masih menjadi permasalahan yang perlu ditelusuri peran serta masyarakat untuk dapat berfungsi menggerakkan industri pariwisata yang berkelanjutan.
Collaboration network yang saat ini banyak muncul ke permukaan sebagai salah satu
bentuk solidaritas komunitas dapat difungsikan sebagai lokomotif dalam pengembangan industri pariwisata pada kawasan Bali utara. Palmer dan Bejau (2005) merumuskan colloaboration network sebagai keterpaduan langkah bersama dalam produk pelayanan pariwisata, sehingga dapat menyajikan produk berdaya saing. Potensi sumber daya manusia yang dapat memuat kolaborasi dalam menghasilkan produk barang dan jasa pada industri pariwisata adalah issue strategis saat ini sebagai upaya menyajikan produk wisata bernilai tambah tinggi dimasa depan.
( Sriram, et al, 1999).
Faktor penentu yang dapat membentuk networ collaboration adalah sejumlah komponen yang lazim ditemukan pada pembahasan modal sosial sebagai bagian dari human capital development, adalah yang dikenal dengan konsep trust. Mengikuti Cook, (2005), dan
(5)
juga Dwyer, (1999), menyatakan bahwa konsep trust merupakan proses pembentukan
komunikasi antar kelompok yang saling percaya satu sama lainnya, tentunya sebagai proses awal terbentuknya collabration network,
Kerangka hubungan trust yang dapat dipetakan pada kondisi industri pariwisata tertentu, akan dicermikan oleh pola hubungan transaksi antara hotel sebagai sarana kepariwisataan dengan travel agent dan komponen pendukung industri pariwisata lainnya ( Diego dan Juan, 2000).
Collaboration network juga dapat dibentuk oleh komponen modal sosial commitment,
sebagai variabel yang akan membentuk collaboration network. Anderson dan White (1992) menyatakan bahwa commitment adalah kehendak untuk mewujudkan relasi bisnis dalam jangka panjang.
Komponen pembentuk collaboration network berkutnya adalah komponen modal sosial norma atau tradisi yang dapat menjadi pedoman dan garis kebijakan orang perorangan pada anggota masyarakat, tetapi terikat kuat dengan tradisi norma kemasyarakatan pada komunitas masyarakat bersangkutan. Keterikatan pada aturan organisasi dalam bentuk lisan atau tertulis, adalah merupakan potensi yang akan membentuk collaboratian network.
Infrastruktur pariwisata dilain fihak, adalah accomodation services, food and
beverages services, attractions, events and activities ( Ontario TourismCompetitiveStudy,
2009), serta akses yang dapat mempermudah tercapainya lokasi destinasi ( Shara, et al (2009).
(6)
Pemetaan potensi ekonomi kerakyatan yang tersedia saat ini di wilayah kabupaten Buleleng dilakukan melalui penelitian persepsi, untuk melihat keberadaan ekonomi rakyat dan kemungkinannya dapat ditingkatkan menjadi potensi modal sosial untuk mendukung kegiatan industri pariwisata berbasis komunitas. Potensi modal sosial pada sebuah struktur sosial kemasyarakatan dapat dilihat dari tiga pilar utama modal sosial ( Putnam, 1998), mencakup antara lain networking, trust dan norma. Apabila ketiga komponen modal sosial tersebut hidup berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan pada masyaraat lokal, maka sangat mungkin dapat ditingkatkan menjadi fondasi dalam rangka pengembangan
community-based tourism (CBT) di kabupaten Buleleng.
1.2 Rumusan Pokok Masalah
(7)
permasalahan sebagai berikut.
a. Bagaimana pengaruh kolaborasi yang terbentuk dari potensi social capital
berpengaruh terhadap terwujudnya komunitas industri pariwisata CBT di kabupate Buleleng.
b. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1) berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).
c. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi commitment (X2) berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).
d. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).
e. Bagaimana pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah (X4) berpengaruh terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi komunitas (Y1).
1.3 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah potensi modal sosial masyarakat lokal serta pengkaitannya dimasa depan dengan kemungkinan
terwujudnya industri pariwisata berbasis komunitas lokal CBT.
a. Untuk mengetahui pengaruh signifikansi secara langsung variabel kolaborasi yang terbentuk dari potensi social capital terhadap terwujudnya komunitas industri pariwisata CBT di kabupaten Buleleng.
b. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari infrastruktur pariwisata (X1) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).
(8)
c. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari bentuk komunikasi commitment (X2) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).
d. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari network (X3) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi (Y1).
e. Untuk mengetahui pengaruh secara tidak langsung dari peran kebijakan pemerintah (X4) terhadap pembentukan komunitas pariwisata CBT melalui kolaborasi(Y1).
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Sebagai masukan bagi kegiatan pembelajaran bagi perguruan tinggi, terutama pada
bidang ilmu ekonomi pembangunan pariwisata, yang semakin berkembang dewasa ini sejalan dengan arah pertumbuhan ekonomi yang menciptakan dengan sendirinya peningkatan permintaan pasar pariwisata.
b. Sebagai masukan bagi pemerintah kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan kebijakan rencana induk pariwisata daerah (RIPDA) serta arah perumusan kebijakan jangka pendek untuk mengantsipasi pembangunan bandara Bali Baru yang telah mencapai rintisan lokasi di kecamata Kubutambahan Buleleng.
c. Sebagai sarana pelatihan bagi mahasiswa yang ikut serta menjadi peneliti lapangan, sehingga dapat memberikan wadah kegiatan diluar kampus yag bermanfaat bagi mahasiswa dimasa depan.
(9)
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Fondasi Ekonomi Kerakyatan Social Capital
Community-based tourism adalah sebuah tatanan industri pariwisata masyarakat berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai owner ( Cavaye, 2000). Model bisnis pariwisata berbentuk CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada masyarakat lokal bersangkutan memiliki fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan, 2009).
S.C. Narayan (2005) menggambarkan social capital sebagai komponen yang terbentuk dari sejumlah prilaku yang terdapat pada struktur kemasyarakatan, seperti kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang masyarakat yang melahirkan aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan yang mengikat masyarakat, pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan kepentingan organisasi sosial dan kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup bersosialisasi dalam jaringan komunikasi dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan komunikasi dalam pelbagai kepentingan, prilaku dan cara pandang untuk mendahuukan kepentingan orang lain, sehingga dapat menjadi balas jasa atas perbuatan baik kepada sesama dimasa depan, serta adanya kebutuhan untuk membangun fondasi kepercayaan (trust) dengan keberadaan pimpinan kelompok sebagai panutan. Lihat Gambar 1.1.
Bentuk sosial capital dalam kebersamaan (better together) tercermin dari prilaku kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Pada fondasi dimana social capital memegang peranan penting, maka partisipasi dalam kegiatan pengambilan komunitas dilaksanakan atas upaya mewujudkan kepentingan bersama.
(10)
Trust adalah komponen social capital berikutnya yang akan menjadi bagi terwujudnya industri paruwusata berbasis masyarakat, termasuk terkondisikannya trust dalam membangun komunikasi antar tetangga, antar anggota masyarakat dengan pimpinan kelompok, pimpinan pemerintahan serta komunitas lainnya.
Kesediaan untuk berbuat dan menolong anggota kelompok lain yang sedang memerlukan bantuan, adalah bentuk kebersamaan (togethesness) yang berpotensi menjadi kekuatan baru dalam suatu aktivitas bisnis, karena akan membentuk kekuatan kolaborasi.
Gambar 1.2
Komponen Pembentuk Social Capital
UNEP (2002) merekomendasikan peranan pemerintah dan komponen aliansi non pemerintah untuk membangun capacity building masyarakat lokal dalam mewujudkan kondisi yang memungkinkan terbentuknya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
(11)
keputusan yang lebih luas. S.C. Nayaran (2005) melihat pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan kebersamaan dapat ditelusuri melalui dua penentu pembentukan social capital yang kuat pada masyarakat lokal, yaitu melalui bentuk penyeragaman komunikasi, penyamaan cara pandang dan tujuan organisasi bersama, serta upaya pemberdayaan 9empowerment) melalui peranan dan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan dan membangkitkan social capital sebagai cara dalam mencapai tujuan akhir bersama.
Gambar 1.3
Peranan Pemerintah Dalam pembentukan Modal Sosial
2.2 Komunitas Industri Berbasis Masyarakat CBT.
Proses pembangunan masyarakat berbasis CBT tidak terwujud begitu saja, melainkan dilaksanaan melalui pendekatan konsep dan strategi yang terarah, konsisten dan berkesinambungan. Aref dan Redzuan (2009), memberikan tahapan capacity building melalui tahapan pengembangan dan pemberdayaan the ability to act, dari peranan individual ke tingkat kelompok, kemudian memasuki proses yang lebh luas yaitu komunitas masyarakat.
(12)
Peningkatan keterampilan dan pengetahuan anggota komunitas yang memiliki kecakapan khusus, dapat ditingkatkan peranan mereka untuk memasuki komunitas bisnis, dimana mereka memiliki kecakapan yang memadai dalam ikut serta melaksanaan proses perencanaan dan pengendalian bersama. Kecakapan anggota komunitas dalam proses pengambikan keputusan ini kemudian ditingkatkan perananya sebagai pemilik atas kegiatan bisnis, maka pada industri pariwisata, maka peranan anggota dalam komunitas adalah sebagai pemilik atas kegiatan industri. Kepemilikan ini yang selanjutnya dikenal sebagai industri pariwisata berbasis masyaarakat CBT (Akama dan Kieti, 2007).
Gambar 1.4
Proses Pembentukan Masyarakat Industri Wisata Berbasis Masyarakat Lokal
Berdasarkan Gambar 1.4 maka tampak bahwa untuk mencapai sasaran akhir pelayanan industri wisata yang berdaya saing (municipal services), diperlukan dukungan perencanaan yang terarah dan konsisten didukung oleh infrastruktur dan kapasitas sumber daya, serta pada sisi lain adalah pengelolaan jasa pelayanan yang tepat sasaran, sehingga menjadi destinasi wisata yang akan dikunjungi secara berulang.
Gambar 1.5
Tahapan Community Capacity Building Mencapai Sasaran Sustainable Community based Development
(13)
Sustainable community based tourism akan dapat dicapai jika pemberdayaan masyarakat menuju tahapan ownership dapat diwujudkan, sehingga proses partisipasi dalam pengambilan keputusan bisnis manageent destinasi wisata tentu menjadi lebih stabil dan berkesinambungan, karena kolaborasi berbasis modal sosial memiliki fondasi komunitas sharing profit together, dibandingkan usaha swasta nasional yang tidak memiliki basis masyarakat sebagai pengawal konservasi destinasi wisata.
(14)
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Model Kerangka Pikir
Penyusunan kerangka piker penelitian dirumuskan berdasarkan konsep teori yang telah disajikan pada BAB 2, serta berdasarkan rumusan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka model teoritik disusun untuk menjawab tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada BAB 1.
Model kerangka penelitian yang akan disusun merupakan pendekatan pemecahan masalah yang disusun berdasarkan teori, berdasarkan kerangka teoritik tersebut diharapkan menjadi panduan dalam rangka memilih variabel penelitian yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
Penelitian ini melakukan kajian tentang peluang dan kemungkinan pengembangan community-based tourism di wilayah kabupaten Buleleng, yaitu suatu tatanan industri pariwisata masyarakat berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal bertindak sebagai pemilik atas inustri pariwisata tersebut ( Cavaye, 2000). Model bisnis pariwisata berbentuk CBT tersebut hanya akan bisa diwujudkan jika pada masyarakat lokal bersangkutan memiliki fondasi social capital yang kuat ( Aref dan Redzuan, 2009). Basis industri pariwisata setdaknya diharapkan dapat mewujudkan kolaborasi tiga pilar industry, yaitu masyarakat lokal dimana destinasi wisata itu diselenggarakan, pengusaha lokal dan pemerintah kabupaten sebagai fasilitator dan legasi atas keberadaan destinasi wisata yang terbangun. Kerangka konsep hubungan CBT dengan basis komunitas disajikan pada Gambar 3.1
(15)
Masterplan
Pengembangan Destinasi Wisata Berbasis Komunitas Masyarakat Lokal
( Community-based Tourism)
Destinasi Wisata Berbasis Masyarakat Lokal (CBT) PARTISIPASI PENGUSAHA LOKAL DALAM RANGKA PELAYANAN PRODUK WISATA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM RANGKA MENCIPTAKAN KONDISI KENYAMANAN PARIWISATA FASILITAS HOTEL AKOMODASI WISATA RESTAURANT ATRAKSI WISATA PRAMUWISATA INFORMATION CENTER PELAYANAN KESEHATAN SOUVERNIR DAN CENDRAMATA
Gambar 3.1 Model Kerangka Pikir
Partisipasi Masyarajat Umum dan Pengusaha terhadap Pembangunan Destinasi Wisata Berkelanjutan
S.C. Narayan (2005) menggambarkan potensi social capital yang telah tersedia pada masyarakat dapat dimanfaatkan dalam rangka memantapkan dan penguatan struktur kemasyarakatan, seperti kebutuhan hidup berkelompok, keseragaman cara pandang masyarakat yang melahirkan aturan tertulis atau tidak tertulis yang disefakati sebagai aturan yang mengikat masyarakat (norms), pola prilaku sosial kemasyarakatan yang mengutamakan kepentingan organisasi sosial dan kebersamaan (togetherness), kebutuhan untuk hidup bersosialisasi dalam jaringan komunikasi dalam cara pandang tertentu, membangun jaringan komunikasi dalam pelbagai kepentingan yang berbasis kepada kebersamaan. Kerangka
(16)
konsep CBT sebagaimana dipetakan berbasis kepada modal social disajikan pada Gambar 3.1.
Berdasarkan Gambar 3.1 diatas, maka secara operasional kebijakan pemerintah Kabupaten Buleleng dalam rangka perumusan strategi pembangunan yang berbasis ekonomi kerakyatan pada industri pariwisata dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat (capacity building), untuk menggerakkan potensi modal sosial sebagai basis kebersamaan (better together) mencakup potensi norma dan budaya masyarakat, potensi network masyarakat Buleleng, serta membangkitkan rasa percaya diri, kebersamaan dalam organisasi kemasyarakatan, serta menempatkan aparat pemerintah sebagai motivator dan fasilitator untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat dalam merumuskan kepentingan mereka melalui pola kekerabatan dan kebersamaan.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan dorongan bagi pembentukan trust pada masyarakat sebagai modal dasar bagi pembangunan kawasan, (Hilde & Benny (2005), Pepfar (2000), UNEP (2005). Pengembangan potensi social capital trust akan berdampak positif bagi etos kerja kebersamaan sebagai modal kerja masyarakat diluar modal dalam bentuk uang dan fasilitas financial lainnya.
Kajian peneliti Noya & Clarence (2009), dan Kimmo (2010), menyatakan pembentukan social capital merupakan proses yang berkaitan dengan dukungan tradisi, norma masyarakat serta semangat tradisi kebersamaan yang berjalan searah dengan dinamika masyarakat menuju terwujudnya kesejahtraan yang dikelola bersama.
2.3 Kerangka Pikir Penelitian
(17)
permasalahan dan tujuan penelitian, maka keterkaitan ketiga hal tersebut diatas, dipetakan menjadi kerangka pikir penelitian, yang juga dapat dirumuskan sebagai hipotesis penelitian yang dissusun secara parsial dengan kerangka hubungan model penelitian sebagaimana disajikan pada Gambar 3.2 .
Model CBT yang dibangun dan tersajikan pada Ganbar 3.2 mencakup basis modal social yang diharapkan dapat diwujudkan melalui dua sumber utama, yaitu partisipasi masyarakat yang bermukim disekitar destinasi wisata, dan kompoen pengusaha lokal yang dipersiapkan senagai enterprenenurs dalam membangun sarana destinasi termasuk penginapan, restaurant, ketersediaan pramuwisata, pengadaan atraksi budaya, kesenian dan atraksi seni lainnya. Partisipasi masyarakat secara garis besar dinyatakan sebagai infrastruktur pariwisata (INFRAS). Dukungan komponen partisipasi dalam rangka mewujudkan ekonomi kerakyatan pada industry pariwisata juga akan ditentukan oleh tokoh masyarakat dalam lingkungan detinasi wisata yang dikonstruksi sebagai commitment (COMTT), yaitu persepsi yang diharapkan dapat memberikan ruang yang konsisten dalam mengawal dan mendorong terwujudnya masyarakat industry wisatya berbasis kepemilikan masyaraat lokal.
Persepsi tentang ruang entrepreneurs untuk masyarakat lokal dipetakan pada potensi network, yaitu adanya kebersamaan para pengusaha dalam mewujudkan kawasan industri berbasis masyarakat lokal. Potensi network dipetakan dengan linkage, norma dan trust. Linkage adalah potensi modal social dalam melihat tingkatan network para pengusaha dalam menjangkau transaksi bisnis, mencakup wilayah lokal desa, antar desa, network kecamatan atau bahkan kabupaten/propinsi. Potensi network akan menjadi acuan bagi kesiapan pengusaha lokal dalam membangun jaringan dan menetapkan target dalam melaksanakan pelayanan pada industry kepariwisataan. Keterbatasan kemampun membangun jaringan, tentu akan memperkecil peluang masyarajat lokal dapat mewujudkan bisnis pariwisata berbasis
(18)
masyarakat.
Trust adalah salah satu komponen modal sosial yang memiliki peranan strategis dalam mewujudkan kebersamaan dalam komunitas. Apabila komponen trust adalah rendah pada komunitas masyaraat, maka peluang pengembangan industri wisata berbasis masyarakat relative sulit untuk diwujudkan.
Variabel Infras (X1) mencakup dukungan prasarana termasuk didalamnya kondisi dan karakter kependudukan dan kualitas lingkungan alam dengan managemen pelestariannya ( Gooroochurn dan Sugiyarto, 2005). Aspek yang lain dari Infrastruktur pariwisata adalah destination infrastructure yang sangat menentukan permintaan atas layanan destinasi ( Murphy et al, 2000). Crouch dan Riche (1999) serta Kadaroo dan Seetanah (2007) menyatakan bahwa kualitas destinasi tidak mungkin mengabaikan peranan transortasi udara, laut, jalan darat yang memadai, serta dukungan fasilitas listrik dan ketersediaan air untuk berbagai kepentingan.
Infrastructure tourism tidak sebatas dalam pengertian transportasi jalan raya, tetapi juga termasuk ketersediaan jaringan telekomunikasi dan sistem informasi, serta dukungan atas fasilitas pelayanan wisata termasuk sarana hotel, restaurant dan dukungan yang layak dan memadai bagi pelayanan wisatawan ( Crouch dan Richie, 1999).
Commtt (X2) adalah bentuk hubungan yang memiliki dimensi jangka panjang. Dweyer et al (1997) menyatakan bahwa commitment adalah bentuk pertanggung-jawaban seorang individu atau organisasi yang konsisten yang akan berdampak pada keberlangsungan organisasi yang bersangkutan. Anderson dan Weitz (1992) menjelaskan bahwa commitment adalah upaya dari organisasi untuk mewujudkan langkah kebijakan secara konsisten dalam rangka mempertahankan hubungan yang bersifat jangka panjang. Ganesan (1994) bahkan menyatakan keberhasilan organisasi dalam memelihara dan mewujudkan tindakan pengorbanan dalam rangka memenuhi kewajiban tertentu adalah basis organanisasi dalam
(19)
mencapai sustainable competitive advantages bagi sebuah organisasi. Dengan demikian, commitment adalah intangible asset dan merupakan komponen yang sangat strategis dalam mewujudkan perluasan usaha dan memantapkan nilai tambah atas perusahaan dalam suatu rangkaian proses bisnis pariwisata ( Anderson dan Weitz, 1992).
Schulz (1994) menyatakan bahwa commitment hotels dapat memberikan jaminan akan keberlangsungan dalam meraih lebih banyak pelanggan dengan dukungan travel agent dalam suatu tatanan komunikasi dan kepatuhan terhadap commitment yang telah disepakati dalam kerangka kerja sama bisnis. Jika terbentuk commitment yang kuat dari pengusaha, maka potensi commitment bisa diwujudkan dalam kerangka collaboration untuk menghasilkan destinasi wisata yang berdaya saing.
Collab (Y1) adalah bentuk komunikasi saling keterkaitan satu sama lainnya dengan persepsi yang sama dalam menghasilkan tujuan akhir organisasi yang diinginkan. Studi tentang peranan kolaborasi pada bisnis parwisata telah dilakukan oleh Bramwell dan Sharman (1999), dimana proses kolaborasi dilihat dalam kerangka perumusan bersama atas kebijakan bisnis pariwisata. Penguatan atas peran kolaborasi akan menjadi penentu bagi keberhasilan suatu wilayah dalam menyajikan destinasi wisata berdaya saing.
Mohr et al (1996) merumuskan collaboration sebagai bentuk komunikasi dalam tahapan kerja sama tertentu, membangun komunikasi, sehingga tingkatan kolaborasi yang dapat diwujudkan akan sangat tergantung kepada kedalaman atas peran komunikasi dan proses pengambilan kebijakan. Keberhasilan atas kolaborasi akan sangat ditentukan oleh kepatuhan para pihak dama menjaga commitment yang telah mereka sepakati. Keberlangsungan atas peran kolaborasi sebagai penggerak strategis untuk mendorong terwujudnya basis destinasi CBT akan sangat ditentukan oleh rangkaian proses yang menentukan terbentuknya kolaborasi dari Inftas (X2), Commtt (X2) dan Network (X3).
(20)
jauh dari kebutuhan berkomunikasi dalam suatu jaringan yang saling mempengaruhi. Logsdon (1991) menyatakan bahwa dalam membangun komunikasi terdapat benefit tertentu yang diperoleh, sehingga basis kemampuan setiap individu dalam membangun kolaborasi adalah potensi modal sosial yang akan membentuk lebih jauh peluang pengembangan destinasi wisata berbasis komunitas (CBT). Dalam rangka mengembangkan kemampuan personal dalam membangun komunikasi dalam kebersamaan, maka potensi network akan dibentuk oleh tiga variabel yaitu pertama, adalah linkage (potensi keterkaitan antar individu) baik dalam lingkungan terbatas pada satuan keluarga maupun pada jalur komunikasi diluar keluarga dapat mencakup wilayah tempat tinggal, satuan wilayah desa, kabupaten atau propinsi. Kedua, adalah trust, yang mendorong semakin berkembangnya komunikasi dalam bentuknya yang lebih permanent melalui hubungan personal dalam sebuiah kolaborasi organisasi uapun sebaliknya, pola hubungan organisasi dengan individu sebagai bagian dari organisasi tersebut. Trust seringkali dikaitkan dengan network ( Cook, 2005). Trust sebagai salah satu komponen modal social dapat dipandang sebagai aspek fundamental dalam membangun perikatan transaksi antar kelompok masyarakat yang dapat memberikan jaminan suasana kenyamanan. Ketika trust adalah variabel yang dapat ditempatkan dalam kerangka hubungan saling ketergantungan dalam masyarakat, maka trust menjadi komponen penggerak transaksi yang didukung oleh fondasi commitment yang sangat kuat ( Emmer et al ( 1993).
Moorman et al (1993) mengemukakan definisi trust sebagai tindakan setiap orang yang dapat memberikan jaminan bahwa kepentingan antar pihak akan berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan. Trust berkaitan dengan kepercayaan (belief), sikap prilaku, yang terkondisikan menjadi percaya bahwa partner bisnis dapat memberikan sesuatu yang dapat diwujudkan sesuai dengan harapan semestinya.
Trust merupakan komponen modal social yang akan menciptakan penguatan dalam kebersamaan, terbukti telah berhasil membangun keterkaitan hubungan jangka panjang antara
(21)
pembeli dan penjual dalam suatu proses dimana konsumen berkeyakinan selalu mendapatkan nilai tambah atas transaksi dengan penjual ( Ramayah et al, 2003).
Diego dan Juan, (2000) bahkan menyatakan modal social trust merupakan komonen strategis yang sangat mementukan pembentukan hubungan jangka panjang antara management hotel dengan travel agent. Sangat tidak mungkin dapat dikembangkan business partner hotel dan travel agent, apabila tidak dilandasi oleh kondisi trust dalam saling keterkaitan kepentingan antara management hotel dengan travel agent, sehingga terbentuknya proses network akan terhenti dan tidak berkelanjutan.
Morgan dan Hunt (2004) merumuskan bahwa trust adalah causal antecedent terhadap commitment, sedangkan commitment adalah factor yang mendorong terbentuknya jalinan hubungan yang berkualitas. Ndubisi (2007) telah mengembangkan studi tentang peranan network dalam mendorong terbangunnya kualitas detinasi wisata yang dapat diwujudkan melalui inter-organization learning. Deniscolai et al (2010), menyajikan aspek yang sama, yaitu peranan positif dari komponen trust dalam mendorong stabilitas pelayanan destinasi wisata berkelanjutan.
Sigala (2004) melihat komponen trust sebagai aspek strategis dalam mengurangi transaction coast melalui pengendalian dan berbagi informasi bersama. Barney dan Hansen, (2004) menyajikan peta analisis tentang peranan trust sebagai pendorong terbentuknya kepercayaan antar pihak yang berkepentingan, telah menciptakan sustainable long-term
relationship.
Studi tentang potensi network sebagai penggerak modal social dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis komunitas (CBT) telah banyak digagas selama 5 tahun terakhir ini. Saxena (2005), Cravens dan Piercy (2004), menyatakan bahwa network dapat berfungsi secara fleksibel dalam menggerakkan marketing information sharing, innovation, peluang untuk menjalin transaksi baru dengan network yang lain, pengelolaan resources
(22)
management serta pemberdayaan organisasi untuk meingkatkan kecakapan dan pengetahuan serta keterampilan.
Novelli et al (2006), menyajikan peta studi tentang network dan clustering sebagai kerangka strategi dalam upaya menciptakan nilai tambah yang bermanfaat bagi local community. Aspek lain dari social capital adalah norms yang membentuk prilaku pada
social structures dan social networks. Pada kondisi dimana social capital memiliki struktur
jaringan yang sangat kuat, maka interaksi masyarakat telah mencapai norms of trust and
reciprocity. (Putnam, 2000). Sebaliknya, apabila norma masyarakat yang berlaku tidak
memiliki keterikatan yang kuat serta kurang memiliki prilaku yang memandang kebersamaan adalah penting, maka keberadaan struktur network dan struktur social dalam menyatukan kebersamaan juga otomatis akan menjadi rendah. Stone ( 2001) menyatakan pengukuran
social capital dapat dilihat dari structure of network dan normative attribute.
Coleman (1990) dan Krisna and Shrader (1999) menyatakan bahwa struktur potensi network masyarakat dapat dipetakan dari sejumlah komponen mencakup ukuran (size), kapasitas dan derajat keterbukaan masyarakat. Pelebaran jaringan (size) berkaitan dengan kemampuan individu pada masyarakat dalam membangun jaringan secara geografik, mulai dari dusun, desa, kota dengan dengan wilayah propinsi. Capacity, berkaitan dengan kualitas
dari jaringan yang mereka miliki dalam membangun kebersamaan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan keterbukaan adalah gaya masyrakat dalam berkomunikasi. Pada masyarakat tertutup, yaitu norma yang banyak ditemukan pada budaya tertetu, peluang untuk m=membangun jaringan yang berkualitas relative kecil untuk berhasil. (Coleman, 1990).
Potensi social capital tidak dapat dipisahkan dari nroma atau cara pandang masyarakat terhadap kebutuan kebersamaan, yang ternyata keduanya bisa saling meniadakan, karena kompleksitas struktur masyarakat atas berbagai perbedaan, mencakup dominasi ras tertentu, gender, usia, status ekonomi dan social serta banyak kendala lain termasuk norma yang tidak
(23)
sejaklan dengan potensi network sebagai salah satu kpomponen modal social yang paling strategis (Uslaner 1999), sehingga apabila norma tentang kebersamaan adalah cara pandang, gaya hidup dan kebutuhan yang telah diterima sebagai kebutuhan bersama, maka peluang perluasan struktur network menjadi lebih terbuka (Cox and Caldwell,2000)
DEST CBT (Y2) sebagai tujuan akhir yang ingin diwujudkan dalam rangka pengembangan destinasi wisata berbasis kepemilikan masyarakat lokal telah dikembangkan di banyak negara. Studi tentang CBT memiliki orientasi yang berbeda dengan pendekatan pembangunan destinasi wisata secara trandisional yang umumnya memiliki pola top-down tourism planning.
CBT mengupayakan keterlibatan seluruh lokal input proses pengendalian management pariwisata, sehingga komunitas memiliki peluang untuk mendapatkan nilai tambah atas kegiatan bisnis pariwisata (Mowfort dan Munt, 2003).
Berbeda dengan pendekatan tradisional pembangunan sektor pariwisata, pada CBT menekankan kepada bootom-up community dalam rangka pengembangan destinasi wisata, pengembangan jasa pelayanan wisata termasuk komponen penunjang penginapan, restaurant, jasa pramuwisata, akomodasi dan atraksi budaya serta produk terkait lainnya ( Hall, 2000).
Blackstock (2005) menyatakan bahwa bisnis pariwisata berbasis CBT merupakan konsep pengembangan destinasi wisata yang melibatkan sepenuhnya local community, memberdayakan sepenuhnya masyarakat lokal sebagai pemegang kendali bisnis pariwisata, membagikan laba atas bisnis pariwisata dalam kebersamaan pada komunitas tersebut.
Berdasarkan orientasi bottom-up policy, maka sudah barang tentu dengan tidak disertakannya modal besar pada investasi pada sebuah destinasi wisata tertentu, maka business setting pada model CBT memiliki karakter small-scale production ( Amin et al (2002). CBT juga disebut sebagai social economy enterprises yang tetap ber-orientasi kepada laba tetapi memiliki basis pengembangan sumber daya bersama dan pusat training.
(24)
Sehubungan dengan itu, maka penguatan modal social dan kebersamaan adalah basis kekuatan bisnis yang dikelola oleh komunitas lokal. Amin et al (2002) bahkan menyatakan bahwa konsep CBT dapat menjadi alternative dalam rangka memperhatikan komunitas lokal yang juga berhak untuk mendapatkan kesejahtraan dan peranan yang lebh besar sebagai the new stages of capitalism.
Blackstock (2005), Koster dan Rendall (2005) menyatakan CBT adalah sejalan dengan social economy dimana tujuan yang ingin dicapai adalah mewujudkan community benefits melalui pembangunan yang berorientasi dari proses bottom-up dimana komunitas lokal mendapat ruang dalam pengambilan keputusan management, sehingga diperlukan upaya pemberdayaan (capacity bilding), yang akhrinya juha diperlukan dalam rangka menyediakan alternative pendekatan yang berbeda dengan neoliberal economic.
Pendekatan konsep CBT yang berbeda dari kebijakan pemerintah selama ini yang secara tradisional lebih memberikan ruang kepada investor dalam pembangunan destinasi wisata, maka perubahan pendekatan ini menghendaki lebih banyak penyiapan sumber daya pemerintahan untuk menjadi fasilitator dan memahami dengan benar gagasan tentang keberadaan CBT sebagai kerangka pendekatan dalam pembangunan pariwisata yang berbasis kepada kesejahtraan masyarakat lokal (Harvey, 1989).
(25)
COLLAB (Y1) DEST CBT (Y2) INFRAS (X1) COMMTT (X2) NETWORK (X3) H4 H3
I1 I2 I3
C1 C2 C3 L1 L2 L3 D1 D2 D3 H1 GOVERM (X4) H5
G1 G2 G3
Linkage
Trust
Norma
T1 T3 T3
N1 N2 N3
C3
H2
Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4
Gambar 3.1
Kerangka Operasional Penelitian CBT Sudjana Budhi - 2014
Y2 = α1 + β1Y1 (1)
Y1 = α2 + β2X1 + β3X2 + β4X3 + β5X4 (2)
Persamaan (1) dan (2) adalah model persamaan struktural (simultaneous equation
model) dengan pengembangan hierarchy latent model ( Loehlin, 2004), juga Hair (2010),
serta Lin, et al (2008). Variabel Y1 dan Y2 dinyatakan sebagai endogen variable, juga
disebut sebagai dependent variable, sehingga perubahan variasi nilainya ditentukan oleh
(26)
dari variabel lainnya, disebut variabel eksogen atau variable dimana nilainya ditentukan diluar model. Semua variabel X1, X2, X3 dan X4 adalah variabel eksogen, karena pembentukannya tidak terikat pada variabel lain, kecuali pada X3, dimana pembentukan nilai X3, sepenuhnya secara formative ditentukan oleh latent variable linkage, trust dan norma.
Seluruh variabel yang diamati dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut. Y2 = Destinasi Wisata CBT ( komponen pramuwisata lokal mewakili wisatawan ) Y1 = Kolaborasi adalah tokoh masyarakat dan desa adat sekitar destinasi wisata X1 = Infras adalah partisipasi masyarakat sekitar destinasi wisata
X2 = Commitment adalah pengusaha non pariwisata lokal X3 = Modal sosial Network adalah pengusaha pariwisata lokal X4 = Persepsi kebijakan pemerintah versi penerima layanan publik
(27)
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian mempergunakan data primer dengan melakukan perekaman data melalui penyusunan daftar pertanyaan kepada responden terpilih. Pertanyaan disusun berdasarkan kebutuhan model hipotesis yang dirancang penelitian ini, karena itu daftar pertanyaan disusun atas item-item indikator yang mendukung pembentukan variabel latent penelitian ini. Pengambilan responden terpilih dilaksanakan pada 4 lokasi penelitian terpilih, yang dilaksanakan berdasarkan karakteristik lokasi destinasi wisata, yaitu wisata pegunungan dan wisata pantai. Pada destinasi wisata pegunungan dipilih lokasi air terjun Gitgit kecamata Sukasada kabupaten Buleleng dan desa wisata Munduk kecamatan Banjar kabupaten Buleleng.
Destinasi wisata pantai dipilih destinasi wisata air sanih kecamatan Kubutambahan kabupaten Buleleng dan destinasi wisata Lovisa desa lovina kecamatan Banjar kabupaten Buleleng. Berdasarkan 4 pemilihan lokasi destinasi wisata dapat dipandang telah mewakili seluruh potensi destinasi wisata berdasarkan pola karakteristik daerah wisata, yang umumnya terpolakan menjadi dua kelompok besar, yaitu wisata wilayah pegunungan dan wisata wilayah pantai, sesuai dengan potensi destinasi yang memiliki tofografis pantai dan pegunungan.
Tabel 3.1 : Pemilihan Lokasi Penelitian
No. Nama Obyek Wisata Lokasi Penelitian Type Wisata
1 Air Terjun Gitgit Desa Gitgit Kec. Sukasada Wisata Pegunungan 2 Desa Wisata Munduk Desa Munduk Kec. Banjar Wisata Pegunungan 3 Desa Wisata Lovina Desa Lovinsa Kec. Banjar Wisata Pantai 4 Air Sanih Desa Sanih Kec. Kubutambahan Wisata Pantai
(28)
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Obyek penelitian penelitian yang akan ditelusuri untuk mendapatkan jawaban atas tujuan penelitian yaitu mencakup dua kelompok pembentuk destinasi wisata yaitu, pertama, adalah masyarakat lokal yang bertempat tinggal disekitar destinasi wisata. Kedua, adalah pengusaha lokal yang berada disekitar destinasi wisata yang bertindak sebagai penjual jasa pariwisata termasuk usaha parkir, pedagang dan jasa lainnya. Sampel penelitian ditentukan dengan metode pengambilan sampel (sampling method) sebagai berikut:
1. Sampel untuk masyarakat lokal dipilih secara purposive dengan memperhatikan ketokohan dari masing-masing individu sampel. Pada setiap lokasi dipilih sebanyak 10 (sepuluh) anggota masyarakat yang dianggap dapat mewakili masyarakat desa yang berada disekitar destinasi wisata yang bersangkutan. Individu-individu masyarakat yang terpilih diharapkan dapat mewakili persepsi tentang potensi network sosial kemasyarakatan (X3), commitment (X2), kondisi infrastruktur wisata (X1) serta persepsi masyarakat tentang peran kebijakan dan layanan pemerintah terhadap pembentukan kenyamanan destinasi wisata di masing-masing lokasi wisata (X4). Jumah seluruh sampel yang diambil pada komponen masyarakat warga sekitar destinasi usaha pada 4 lokasi terpilih adalah 40 responden.
2. Sampel untuk pengusaha lokal dipilih sebanyak 10 (sepuluh) pengusaha lokal pada masing-masing destinasi wisata, untuk mewakili persepsi pengusaha dalam membangun network dan pengembangan modal sosial sebagai basis kegiatan enterpreneur ang bergerak bersama masyarakat dalam menetapkan pelayanan wisata yang berdaya saing. Keterkaitan antara kolaborasi masyarakat (Y1) yang terbentuk dari partisipasi masyarakat disekitar destinasi wisata dengan pelaku usaha (Y1) akan membentuk sebuah destinasi wisata berbasis komunitas lokal CBT, dimana masyarakat umum dan pengusaha akan menerima manfaat yang sesuai dengan peran dan kontribusi masing-masing fihak yaitu
(29)
masyarakat warga desa disekitar lokasi usaha dan pengusaha sebagai penggerak dan penyaji pelayanan wisata. Total responden yang terpilih untuk ditetapkan sebagai responden adalah 10 x 4 lokasi = 40 responden pengusaha lokal yang berada disekitar lokasi destinasi wisata.
4.3 Definis Operasional Variabel
Penelitian mempergunakan 6 variabel latent yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas tujuan penelitian yang diracang penelitian ini. Ke 6 variabel penelitian dijelaskan sebagai berikut.
a. Destinasi wisata berbasis CBT, adalah pengukuran variabel latent tentang persepsi pengguna destinasi wisata, yaitu wisatawan. Sehubungan dengan terbatasnya frekuensi kunjungan wisatawan dan pola kunjungan tidak teratur, maka untuk mendapatkan data tentang kualitas layanan wisata yang diinginkan oleh pengguna, maka penelitian mempergunakan data proksi dengan memilih pramuwisata (guide) sebagai wakil pengguna jasa pariwisata. Besarnya jumlah responden pramuwisata disesuaikan dengan pasangan sample lainnya, yaitu sebesar 40 sample. Notasi yang dipergunakan untuk variabvel destinasi wisata CBT adalah Y2.
b. Kolaborasi (Y1) adalah didefinisikan sebagai komponen yang memiliki kekuatan untuk mengatur, mengendalikan dan memiliki leadership yang memadai dalam rangka mengkombinasikan seluruh potensi yang ada dalam rangka mewujudkan kebersamaan dalam gerak dan langkah dalam rangka mewujudkan destinasi wisata berbasis CBT. Komponen kolaborasi dinyatakan dengan Y1, adalah tokoh masyarakat dan adat, yang digali karakter dan prilakunya berdasarkan penelitian persepsi yang dipandu dengan rekeman wawancara berdasarkan daftar pertanyaan.
(30)
c. Infrastruktur Infras (X1) didefiniskan sebagai sarana penunjang yang memberikan ruang bagi kenyamanan wisatawan, termasuk pelayanan keamanan, kenyamanan wisatawan, penataan lingkugan kebersihan, komunikasi dan dukungan masyarakat terhadap atraksi wisata dan pelestarian alam ( Warnken, 2002), Philips dan Jones (2006). Notasi variabel untuk konstruk latent infrastruktur adaah X1. Penelitian dipersepsikan sebagai prilaku dan partisipasi masyarakat dalam ikut serta mnewujudkan destinasi wisata yang memungkinkan wisatawan mendapatkan kenyamanan, dan keramahan masyarakat sebagai obyek wisata, dengan didalamnya adalah budaya dan kehidupan keseharian masyarakat.
d. Commitment adalah sikap budaya masyarakat lokal yang akan menjadi penentu terbentuknya kolaborasi masyarakat dalam menetapkan acuan pelayanan wisatawan. Pola prilaku yang dapat memberi jaminan bagi komunikasi yang terarah dan produktif akan menjamin dukungan bagi kepentingan organisasi kemasyarakatan dalam menetapkan pelayanan wisatawan secara nyaman, konsisten dan berkesinambungan. Notasi yang diberikan untuk pengukuran persepsi latent dari commitment adalah X2. Pemetaan terhadap persepsi commitment ditetapkan dari pengusaha lokal non pariwisata.
e. Network adalah potensi modal sosial yang terpendam dalam struktur budaya kemasyarakatan. Network merupakan variabel latent yang dibentuk oleh variabel pendukung lainnya, mencakup linkage, trust dan norma ( Putnam, 1994), yang membentuk social capital. Melalui pengembangan hierarchy latent variabel ( Lohlien,
2004), dapat diketahui peranan pembentuk latent variabel network dari pembentuk latent dibawahnya.Network (X3) dipetakan dari pengusaha lokal pariwisata
f. Peranan pemerintah melalui kebijakan pelayanan terhadap masyarakat juga menjadi penentu terbentuknya kolaborasi yang memungkinkan terciptanya kondisi awal bagi
(31)
terselenggaranya pelayanan pariwisata yang berdaya saing. Peran kebijakan pemerintah juga dapat berdampak secara langsung kepada destinasi wisata melalui pembinaan pengusaha lokal, sehingga peluang bagi terbentuknya destinasi wisata yag berbasis komunitas CBT tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan pemerintah dalam ikut serta membentuk dan mempengaruhi keberadaan destinasi wisata berbasis masyarakat CBT. Notasi peran pemerintah dinayatakan sebagai latent variabel X4. Kebijakan pemerintah dipersepsikan dari pengguna layanan pemerintah terkait dengan wilayah destinasi, sehingga yang menjadi obyek peneliotian adalah masyarakat pengguna layanan publik, termasuk masyarakat umum dan pengusaha.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang dibangun untuk mendapatkan data penelitian ini direkam melalui kuesioner yang dibuat secara terpisah untuk masing-masing jenis responden. Item-item pernyataan atau pertanyaan pada kuesioner disusun berdasaran kerangka teori yang melandasi dari masing-masing variabel amatan, dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan pendapat responden yang diukur berdasaran penggunaan skala Likert berderajat 5.
Berdasarkan penelitian dengan penggunaan kuesioner sebagai instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, maka menjadi sangat penting untuk mengukur reliabilitas dan validitas dari masing-masing item (pernyataan atau pertanyaan) diperiksa. Validitas suatu variabel laten akan ditentukan dengan meneliti setiap item sebagai unsur pembangun latencontruct yang bersesuaian, sedangkan reliabilitas merupakan ukuran
yang menggambarkan tingkat keandalan (degree of reliability) sekumpulan item yang
merepresentasikan variabel laten (Hair et al., 2010). Sekumpulan indikator/item dapat dianggap tingkat keandalan dipercaya apabila memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach (α) – sebagai ukuran reliabilitas menunjukkan sebaran lebih besar atau sama dengan 0,7 (Nunnaly,
(32)
1975).
Koefisien Alpha Cronbach yang diintroduksi oleh Lee J. Cronbach pada tahun 1951 (Cronbach, 2004) dapat dihitung dengan menggunakan formula berikut:
Persamaan matematika diatas, k menyatakan jumlah item-item pengukur suatu laten,
si 2
menyatakan ragam (variance) dari item ke-i dan st 2
menyatakan ragam dari total item untuk seluruh responden. Nilai dari koefisien Alpha Cronbach (α) berkisar antara 0 sampai dengan 1. Konsistensi internal dianggap memenuhi syarat apabila nilai α lebih besar atau sama dengan 0,7.
Jika ukuran keandalan sekumpulan item/indikator dalam merepresentasikan sebuah variabel laten diukur melalui koefisien Alpha Cronbach, maka validitas yang merujuk kepada kemampuan sebuah indikator dalam menjelaskan suatu konsep dapat diukur dengan mengamati koefisien korelasi Pearson untuk data yang telah diskalakan ulang. Sebuah item dinyatakan valid sebagai indikator laten jika memiliki nilai koefisien korelasi sekurang-kurangnya 0,3 dan memiliki tanda (sign) yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya.
Jika sebuah item memiliki nilai koefisien korelasi yang kurang dari 0,3 tetapi memiliki tanda yang sama dengan nilai koefisien korelasi lainnya dan nilai tersebut tidak menyimpang terlalu jauh dari nilai-nilai lainnya, maka masih dianggap cukup memadai untuk dilanjutkan ke proses analisis berikutnya.
4.5 Metode Analisis Data
Kerangka teori yang dijadikan acuan dalam pemetaan pemodelan menunjukkan bahwa tidak semua latent variable memiliki karakter reflective, seperti network (X3) dan peran pemerintah (X4) yang dipandang memiliki karakter formative ( Diamantopolous, 2002), Jarvis, et al (2004), sehingga pendekatan yang paling mungkin dipergunakan untuk
(33)
analisis statistik adalah pendekatan Varian-bases PLS ( Hair, 2010), Christian C. Ringer (2011).
Pertimbangan dalam memilih PLS-PM sebagai metode analisis kuantitatif adalah model konseptual dari penelitian ini sebagaimana telah dinyataja diatas, adalah melibatkan indikator-indikator formatif pada model persamaan struktural yang dibangun. Apabila seluruh konstrak penyusun model tergolong ke dalam konstrak reflektif, maka model struktural yang terbentuk disebut model reflektif, sebaliknya, jika sekurang-kurangnya ter-dapat sebuah konstrak formatif, maka model struktural yang terbentuk disebut model formatif (Petter et al., 2007). Memperhatikan model yang dikembangkan adalah model formatif, maka model persamaan struktural berbasis peragam (variance-based SEM) seperti LISREL
dan SmartPLS. Dalam hal ini, PLS-PM merupakan solusi untuk menyelesaikan sebuah model formatif (Henseler et al., 2009). Pada model PLS-PM, terdapat dua sub-model yang dipisahkan secara konsep pendekatan, yaitu:
1. Measurement Model: atau juga disebut sebagai outer model yang menjelaskan hubungan antara variabel-variabel pengukurnya (manifest variables) dengan variabel laten yang
yang bersesuaian dengan itu.
2. Structural Model: atau disebut juga sebagai inner model, menjelaskan hubungan antar variabel laten yang menjadi perhatian dari periset. Pada penelitian ini, variabel-variabel destinasi wisata CBT Y1 dan kolaborasi Y2, beserta latent variabel X1, X2, X3 dan X4 merupakan variabel-variabel termasuk dalam lingkaran inner model.
4.5.1 Variabel Laten Reflective
Pengukuran model latent reflective adalah metode pengukuran latent yang merefleksikan kondisi terbentuknya variabel latent atau konstruk berdasarkan item-item pengukuran dimana indikator sebagai pemetaan pengukuran skala merupakan reflektif dari
(34)
latent variable, sehingga tanda panah bergerak dari variabel laten menuju kepada indikator. Penggambaran tanda panah tersebut dimaksudkan sebagai metode yang diartikan sebagai hubungan fungsi, yaitu dimana variable laten berpengaruh terhadap pembentukan indikator tersebut ( Hair et al, 2013).
Sejumlah penulis lain seperti Henseller (2010) dan Straub et al, (2004) menyatakan bahwa karakter laten reflektif adalah karakter yang memiliki sifat uni-dimensional, yaitu adanya kesamaan covary dari loading factor, sehingga menghilangkan salah satu dari indikator tidak akan menyababkan terjadinya perubahan nilai terhadap model structural (Jarvis, et al (2003).
Berdasarkan karakter yang memiliki kondisi uni-dimensional tersebut, kemudian dapat ditentukan metode analisis dan prosedur pengujian dengan melakukan pengujian internal consistency reability, indikator reability, pengujian corvergent reability serta discriminan reability. Pengujian atas kelayakan model reflective yang bersifat uni-dimensional dapat dilakukan dengan mempergunakan software SPSS ver 17, untuk melengkapi sejumlah pengujian yang tidak tersedia pada SmartPLS ver 2. Sejumlah peneliti ( Afthanorhan, 2013 ) bahkan menyarankan untuk melakukan drop-out terhadap sebaran item indikator yang memiliki factor loading dibawah 0.50, sehingga dapat ditemukan sebaran item indikator menjadi lebih memiliki kesetaraan (covary) sebagai syarat sebagaimana direkomendasi oleh Hanseler, 2013. Prosedur pengujian kelayakan model model disajikan selengkapnya pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment reflective
Jenis Uji Validitas
Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti Uni-dimensional Explanatory Factor
Analysis (EFA)
Melakukan seleksi variable dengan menetapkan nilai Eigen value >1
Garbing and Anderson, 1988.
(35)
Internal consistency Reability
Cronbach Alpha Reabilitas item Indikator harus lebih besar dari 0.70
Nunanlly and Bernstein (1994) Internal consistency Reability Composite Reability Perbandingan dari factor loading terhadap penjumlahan factor loading ditambah variance. Chin (1978)
Indicator Reability Indicator Loading
Memberikan informasi seberoa banyak variasi dari item indikator dapat dijelaskan oleh latent variable Chin (1978) Convergent Validity Average Variance Extracted (AVE)
Sebaran nilai AVE diharapkan lebih besar dari 0.50
Fornell dan Larcker (1981)
Discriminant Validity
Fornell and Larcker criterion
Sebaran nilai AVE dari latent variable lebih besar dari korelasi antar laten variable
Fornell dan Larcker (1981)
4.5.2 Variabel Laten Formative
Diamantopolous Dan Winkhover (2004), serta Jarvis et al (2003) menyatakan perlunya penelitian memperhatikan dengan seksama akan adanya fenomena formative dalam menetapkan status variabel laten tertentu. Syarat bahwa sebuah latent variable memiliki kecenderungan formative adalah apabila antara lain, bahwa variabel latent yang dijadikan variabel penelitian memiliki nuansa kuantitatif, sehingga berpeluang untuk memposisikan indikator sebagai penentui atau pembentuk variabel latent.
Berbeda dengan pendekatan covariance-based SEM yang menganut persyaratan ketat dalam menerapkan asumsi SEM, tetapi sekaligus hanya mampu menyajikan latent reflective,
(36)
yaitu pembentukan indikator yang dipengaruhi kepada latent variable itu, sendiri, maka pada konsep pendekatan SEM PLS dapat dikembangkan konsep pengukuran model latent yang memiliki karakter formative.
Berdasarkan pendekatan metodologi yang berbeda dengan variabel latent yang reflective, maka sebagai konsekusnsinya, penerapan model uji kelayakan model sebagaimana disajikan pada Tabel 4.1 tidak dapat diterapkan pada latent yang memiliki karakter formative ( Bollen, 1989). Sejumlah peneliti lain, Hair (2013), Henseller (2010), Ringer et al (2013) menyatakan bahwa karakter latent formative dapat diuji kelayakannya dengan mempergunakan uji korelasi antar VIF yang diharapkan berkisar antara 0.20 sampai dengan 0.50, sehingga diluar nilai tersebut maka model formative memiliki persoalan multi-collinearity, sehingga model menjadi tidak layak untuk diteruskan atau diperlukan cara re-sampling untuk memperbaiki kualitas prediksi latent variable. Prosedur re-re-sampling ayau teknik bootstrapping diperkenalkan oleh Efron dan Tashabrani (1991) yang dapat menjadi pertimbangan dalam upaya melakukan pembenahan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan. Berikut disajikan kriteria model pengujian kelayakan model latent formative.
Tabel 4.2 : Kriteria Pengujian Latent Measurenment yang Formative
Jenis Uji Validitas
Kriteria Pengujian Diskripsi Penulis/Peneliti Indicator
Validity
Indicator Weight Loading factor tidak memiliki sebaran covary
Jarvis, et al (2003)
Indicator Validity
Variance Inflation Factor (VIF)
VIF memiliki sebaran antara 0.20 sampai 0.50, maka diperlukan metode lain seperti second order apabila syarat tersebut tidak terpenuhi.
Ringer et al (2013), Diamantopolous and Siguaw (2006).
(37)
Construct Validity
Interconstruct Correlations
Jika korelasi antar variable laten dibawah 0.85, meng-indikasikan terdapat perbedaan nyata antar latent, yang
menunjukkan model cukup layak untuk diteruskan.
Mackenzie et al (2005), Bruhn et al (2008).
4.5.3 Pengujian Model Struktural ( Inner-model)
Langkah pengujian structural model dilakukan untuk mengkaitkan hubungan variable laten yag satu terhadap latent lainnya berdasarkan kerangka hubungan model yang telah ditetapkan berdasarkan theoretical building yang telah disusun. Dalam rangka melakukan prosedur pengujian model structural tersebut, maka langkah pertama yang harus dipetakan adalah signifikansi model dan nilai R2 dari model penelitian secara keseluruhan. Pengujian
model hubungan dipolakan terlebih dahulu secara parsial, dengan menetapkan hubugan pengaruh signifikansi antar vaiabel bebas dengan variable terikat. Masing-masing dari variable terikat memiliki nilai R2 yang menjelaskan informasi sejauh mana variasi nilai
variable terikat dapat dijelaskan oleh factor factor yang mempengaruhinya. Semakin tinggi nilai R2, akan menunjukkan semakin besar variasi nilai variable latent terikat dapat dijelaskan
oleh factor factor yang mempengaruhinya. Sebaliknya, semakin kecil nilai R2 yang didapatkan, maka semakin terbatas informasi yang didapatkan dari pengaruh variabel bebas, sehingga menjadi penting dipertimbangkan penelitian lanjutan untuk menyertakan variable tambahan dalam rangka meningkatkan nilai R2.
Evaluasi menyeruh terhadap model penelitian untuk menentukan seberapa besar model structural dapat dijelaskan oleh seluruh interaksi model, maka perlu didapatkan koefisien determinasi R2 secara multivariate ( Hair et al, 2010).
(38)
model structural melalui pengujian statistic t secara parsial dengan tingkat keyakinan sebesar 5%, maka tahap berikutnya adalah melakukan pengembangan analisis intermediasi antar variable laten yang tidak secara langsung tertuju kepada sasaran akhir dari penelitiana ini yaitu destinasi wisata berbasis ekonomi rakyat.
Sobel (1991) dan Baron dan Kenny (1990) melakukan terobosan untuk mendapatkan signifikansi dari uji intermediasi. Berdasarkan metode Sobel (1990) dapat diketahui signifikansi koefisien beta secara gabungan dari jalur mediasi yang ditetapkan pada model, sehingga dapat diketahui seberapa besar parameter intermediasi itu berperan dibandingkan dengan apabila varabel laten bersangkutan berhubungan secara langsung (direct effect)
(39)
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Profil Destinasi Wisata Bali Utara
Destinasi wisata kabupaten Buleleng tersebar secara merata di 9 wilayah kecamatan, dengan tipologi pantai dan pegunungan. Sembilan wilayah kecamatan memiliki pola tanaman tadah hujan dan sawah beririgasi teknis, sehingga semua kecamatan memiliki pola karakter dataran rendah dan pegunungan sebagai sumber air irigasi. Dengan demikian, potensi kawasan pantai yang memanjang dari batas timur kecamatan Tejakula sampai dengan wilayah barat kecamatan Grokgak menggembarkan kawasan potensi wisata pantai yang dapat menjadi sumber kegiatan destinasi pariwisata dimasa depan.
Meskipun demikian, potensi kawasan pantai pada setiap kecamatan memiliki basis nilai jual wisata yang spesifik. Bulelelng barat dengan dukungan situs pura Pulaki, taman satwa serta kawasan pulau Menjangan adalah potensi wisata unik yang memiliki nilai jual dimasa depan. Sedangkan di wilayah kecamatan Tejakula terdapat pura Dang kayangan Ponjok Batu, desa wisata Julah sebagai prototype desa pra Bali dengan budaya adat yang relative unik, sedangan di kawasan Buleleng tengah terdapat desa wisata Munduk yaitu tipe wisata alam pegunungan yang telah berjalan dewasa ini dan mendapat kunjungan wisata cukup padat. Kawasan wisata danau Buyan di wilayah kecamatan Sukasada adalah potensi wisata yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka pengembangan destinasi wisata.
Desa wisata Julah merypakan salah satu obyek wisata yag sudah banyak dikunjungi wisatawan, tetapi tampak belum terlihat upaya yang sungguh-sungguh dari para pengusaha dan pemerintah kabupaten Buleleng untuk memanfaatkan peluang destinasi wisata tersebut sebagai media dalam menciptakan nilai tambah produksi dan pelayanan wisata. Hal ini
(40)
memberikan indikasi bahwa industri pariwisata belum dipetakan secara optimal dalam rangka mewujudkan nilai tambah tersebut, seperti kesiapan komponen pengusaha dalam meata bisnis pelayanan wisata termasuk pengadaan penginapan, restaurant, akomodasi bidang transportasi, bahkan pramusata dan atraksi seni budaya yag seharusnya dapat ditampilkan sebagai pelengkap dan keragaman pelayanan pada destinasi wisata yang bersangkutan. (Lihat Gambar 5.1).
Gambar 5.1
Desa Wisata Bali Mule Julah Kecamatan Tejakula
Potensi wisata air dan sumber air alami pegunungan tidak saja telah terbangun sejak lama kolam renang air sanih Kubutambahan yang sudah banyak dikenal sejak lama, tetapi juga terdapat air terjun Gitgit, desa Gitgit kecamatan Sukasada yang merupakan sumber air terjun dari mata air pegunungan yang sejuk dan dingin, banyak wisatawan telah memanfaatkan sebagai sarana untuk mandi, tetpi tidak terlihat terdapat dukungan industri pariwisata yang kuat sebagai pendamping destinasi wisata tersebut, sehingga tidak menghasilkan nilai tambah bagi komunitas lokal di wilayah desa Gitgit tersebut. Hal ini tentu merupakan bagian terpenting dari inisiatif dan kebijakan pemerintah kabupaten Buleleng
(41)
tidak saja sebagai fasilitator, tetapi juga dapat melakukan pendampingan dan upaya pemberdayaan masyarakat dan komponen pengusaha lokal untuk bangkit memanfaatkan peluang destinasi wisata tersebut sebagai proses untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat disekitar lokasi destinasi wisata. ( lihat Gambat 5.2)
Gambar 5.2
Air Terjun Gitgit Kecamatan Sukasada Buleleng Tengah
Potensi lain yang belum dipetakan secara optimal dalam rangka mewujudkan destinasi wisata bernilai tambah adalah potensi alam pegunungan desa Pancasari dengan latar belakang danau Buyan, serta desa wisata Bali Handara dan sekitarnya (lihat Gambar 5.3). Alam pegunungan dengan panorama yang indah dapat menjadi kawasan wisata yang menjanjikan dimasa depan. Desa wisata Munduk yang dikemas melalui kombinasi alam pegunungan yang indah dengan budaya masyarakat setempat, ternyata mampu mewujudkan nilai jual yang sangat baik, dimana penduduk desa menerima manfaat atas kehadiran pariwisata sebagai sumber mata pencaharian diluar mata pencaharian sebagai petani.
(42)
Gambar 5.3
Kawasan Wisata Desa Pancasari Sukasada Buleleng
Kawasan destinasi wisata sawah terrace terdapat di desa Ambengan kecamatan Sukasada, serta desa Busungbiu kecamatan Banjar (lihat Gambar 5.4). Sebagaimana juga terdapat pada destinasi wisata yang telah disampaikan pada pembahasan sebelumnya, destinasi wisata sawah terrace hanyak tampil sendirian sebagai obyek wisata, sehingga tidak menghasilkan nilai tambah bagi masyarakat sekitar destinasi wisata bersangkutan. Komponen industri pariwisata yang lebih dan terabaikan, menyebabkan peluang nilai tambah yang seharusnya terbentuk dikawasan tersebut menjadi hilang tidak termanfaatkan.
Penelitian ini dari awal mengajukan konsep pegembangan destinasi wisata berbasis komunitas lokal, dimana masayakat lokal bertindak menjadi pemilik atas industri wisata. Meskipun tidak mudah untuk diwujudkan, namun pengalaman dibanyak negara bahwa peran dan dukungan kebijakan pemerintah dapat bertindak melalui anggaran belanja melakukan pemberdayaan dalam rangka mewujudkan pariwisata berbasis kepemilikan masyarakat. Salah satu dari pendekatan strategi menuju pembangunan destinasi eisata berbasisi CBT tersebut adalah dengan mengkonstruksi industri komponen pendukung destinasi wisata yangselama
(43)
ini tidak tamak kehadirannya di pelbagai destinasi wisata di kabupaten Buleleng.
Gambar 5.4
Kawasan Sawah Teraserinf Busungbiu Kecamatan Banjar Buleleng Barat
Kebeadaan pantai Loviba di barat kota Singaraja adalah atraksi wisata laut dengan dukungan atraksi ikan Dolpin merupakan potensi alam wisata yang unik dan bernilai jual tinggi. Gambar 5.5 menyajikan pentas ikan Dolpin yang menari-nari dipermukaan laut adalah atraksi wisata yang telah mampu ditampilkan sebagai obyek wisata yang sangat diminati wisatawan manca negara. Para wisatawan diajak ketengah laut sekitar 300 meter dari permukaan laut melalui sarana transportasi sampan nelayan yang sangat sederhana.
Sebagimana juga ditemukan pada destinasi wisata pantai Lovina ini, bahwa kehadiran industri pendukung pariwisata tidak tampak seperti kehadiran handicraft produk kerajinan masyarakat Buleleng, serta tidak tersedianya pentas atraksi budaya lokal sebagai sajian alternative yang dapat dinikmati wisatawan.
(44)
Gambar 5.5
Pentas Ikan Dolpin Kawasan Laut Pantai Lovina Kecamatan Banjar Buleleng Barat
Potensi destinasi wisata di Buleleng barat menawarkan yang lebih spesfik dan bernilai jual tinggi, yaitu taman margasatwa Bali barat, situs terkemuka pura Pulaki, serta kawasan pulau Menjangan dengan pasir putih yang memukai serta habitat binatang menjangan sebagai penghuni utama pulau Menjangan.
Gambar 5.6 menyajikan areal transportasi lokal dari kawasan Buleleng barat menuju pulau menjangan dengan angkutan sampan penduduk tradisional untuk mencapai sekitar 2 km dari pantai daratan di desa Sumberkima menuju kawasan pulau Menjangan yang tidak berpenduduk tersebut.
(45)
Gambar 5.6
Kawasan Wisata Pulau Menjangan Buleleng Barat
Berdasarkan uraian tentang profile potensi destinasi wisata yang tersebar di sembilan kecamatan di kabupaten Buleleng tersebut, diperoleh kesimpulan sementara bahwa destinasi wisata belum ditata secara maksimal dalam rangka mewujudkan nilai tambah kesejahtraan bagi penduduk lokal. Kajian yang akan dikonstruksi adalah strategi pengembangan destinasi wisata community-based tourism (CBT) sebagaimana pendekatan konsep dan arah pengembangannya telah tersajikan pada BAB 3 kerangka piker penelitian ini.
(46)
5.2 Uji Outer-model Persepsi Destinasi Wisata Berbasis CBT
Model destinasi wisata berbasis CBT dikembangkan dengan sangat bergantung kepada daftar pertanyaan yang dirancang khusus menurut kebutuhan model teori yang melatar-belakanginya, sehingga terbentuk variabel laten sebagai alat ukur untuk menetapkan derajat kepekaan masing-masing variabel penunjang dalam membentuk destinasi wisata berbasis CBT (lihat Gambar 3.2 pada hipotesis penelitian BAB 3). Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.2 menyajikan hasil penelitian lapangan tentang persepsi masyarakat disekitar destinasi wisata yang terpilih mewakili responden, para pengusaha lokal, yang mewakili konstruk modal social network, serta kolaborasi yang didukung oleh satuan pemuka tokoh masyarakat sebagai pengikat konstruksi kolaborasi yang menghubungkan antara variabel Infras (X1) yang mewakili dinamika partisipasi masyarakat yang berada disekitar destinasi wisata, variabel X3 (network) adalah responden pengusaha lokal yang bergelut di sektor industri wisata yang dilihat dalam dimensi potensi modal sosial mencakup linkage, trust dan norma.
Sedangkan X2 adalah variabel commitment mencerminkan prilaku pengusaha non pariwisata dalam dimensi persepsi untuk mendukung kolaborasi dalam rangka penguatan basis industri pariwisata. Responden X2 dirumuskan sebagai komponen usaha lokal non pariwisata yang memiliki potensi memperkuat kolaborasi dalam rangka mewujudkan potensi kebersamaan dalam gerak dan langkah untuk mewujudkan community-based tourism yaitu tipe industry wisata berbasis kepemilikan dan partisipasi rakyat.
Variabel Y1 adalah kolaborasi yaitu keberadaan tokoh masyarakat dan peran desa adat sebagai kekuatan informal sebagai persepsi dinamis yang menjadi penentu keberhasilan dalam memadukan potensi partisipasi pengusaha lokal dan masyarakat yang bermukim disekitar destinasi wisata yang akan menjadi penentu kebersilan pengembangan destinasi wisata berbasis komunitas. Terakhir, variabel Y2 adalah destinasi wisata berbasis CBT yang
(47)
mencerminkan dinamika pasar pengguna jasa destinasi wisata dengan memanfaatkan pramuwisata sebagai proksi atas permintaan jasa pariwisata. Pramuwisata adalah komponen penggerak pelayanan yang menjadi partner wisatawan yang berkunjung ke wilayah Buleleleng. Dengan demikian, diharapkan terdapat tali sambungan antara peran partipasi masyarakat, tokoh masyarakat dan pengusaha lokal dalam membangun kolaborasi pelayanan wisata disatu pihak, dengan dinamika pasar wisata yang dipersepsikan oleh para pramusisata sebagai wakil dari dinamika pasar pariwisata di wilayah kabupaten Buleleng.
Hasil wawancara disampaikan dengan pengukuran skala Likert sebagaimana disajikan pada Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.2, sedangkan pola distribusi sebaran data skala Likert disajikan pada Lampiran 1.3 sampai dengan Lampiran 1.5 dalam bentuk sajian grafik. Meskipun syarat distribusi normal tidak menjadi pertimbangan utama pada penelitian ini, namun pola sebaran data setidaknya dapat memberikan indikasi awal tentang arah dinamika persepsi responden yang diwawancarai. Ternyata sebagian besar data terpolakan pada sisi kiri dan sisi kanan, dengan sedikit terkonsentrasi ditengah. Hal ini menujukkan pola sikap responden dengan pandangan yang lebih banyak bersifat memilih ketimbang berpandangan netral (Skala 3).
Penelitian ini membangun pemodelan persepsi dengan pengembangan outer-model sebagai focus konstruksi yang memuat didalamnya latent variable reflective dan latent variable formative, sehingga analisis yang memadai untuk dipetakan adalah pendekatan variance-based PLS. ( Ringers et al (2012), Hair et al (2013) serta Henseler (2010). Langkah pertama untuk menguji outer-model yang memenuhi syarat kecukupan untuk dapat diangkat ke tingkat lanjutan ke proses penyelesaian inner-model, adalah bahwa model reflective memiliki outer-loading yang memiliki syarat penyebaran nilai secara covary, sedangkan pada latent formative akan ditentukan sebaliknya ( Jarvis et al (2003).
(48)
yang telah ditabulasi untuk kemudian diuji dengan mempergunakan pendekatan explanatory factor analysisi sebagaimana direkomendasikan oleh Cohen (1987) serta Tenenhous et al (2005). Dengan demikian, evaluasi data mempergunakan software SPSS versi 17 untuk menetapkan tahaoan pengujian KMO dan Barlet test, serta sebaran nilai correlation image, yang bermanfaat untuk melihat kualitas masing indikator yang membentuk masing-masing variabel latent.
5.2.1 Uji Latent Variabel Infras (X1) – Laten Reflective
Uji analisis factor menunukkan nilai KMO relative rendah kurang dari 70% yang direkomendasikan, sehingga masih harus ditelusuri kualitas questionnaire, dengan kemungkinan terjadinya sampling error sebagai akibat dari daftar pertanyaan yang kurang dimengerti oleh responden. Jalan keluar untuk mendapatkan informasi sekitar kualitas indikator dalam membentuk latent variable X1, diperoleh melalui anti-image matrices, ternyata indikator X1.4 memiliki nilai jauh dibawah 0.50, sehingga harus dikeluarkan dari pembentuk indikator laten X1.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .510
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 164.284
Df 6
Sig. .000
Anti-image Matrices
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4
Anti-image Covariance X1.1 .052 .051 .029 .085
X1.2 .051 .075 -.033 .070
X1.3 .029 -.033 .208 .082
X1.4 .085 .070 .082 .174
Anti-image Correlation X1.1 .494a .816 .276 .887
X1.2 .816 .572a -.263 .612
X1.3 .276 -.263 .783a .429
X1.4 .887 .612 .429 .200a
(49)
menjadi 0.622 paling tidak medekati nilai 0.70 tetapi dengan perbaikan pada anti-image correlation dengan sebaran diatas 0.50. Dilihat dari criteria KMO, maka indkator X1.4 adalah titik lemah yang mengurangi kinerja prediksi atas variabel laten X1.
Kriteria lain yang dapat dijadikan pedoma untuk menguji kualitas indikator X1.1 sampai dengan X1.4 dalam membentuk latent X1 adalah uji reability, uji composite dan uji discriminant validity yang disajikan pada Lampiran 1. 12. Rekomendasi pengujian yang dianggap dapat mewakili ketiga uji indikator diatas adalah dengan melihat sebaran loading factor dari masing-masing indikator sebagaimana direkomendasikan oleh Jarvis et al (2003), yaitu bahwa model latent reflective wajib memiliki sebaran loading factor yang covary ( Jarvis et al (2003), Petter et al (2006).
X1
X1.1 X1.2 X1.3
0.964
0.613 0.967
Gambar 5.7
Loading Factor Latent Variable X1
Ternyata outer-model yang membentuk latent variable X1 tidak memiliki sebaran yang covary terbukti dengan indikator X1.1 yang tidak memiliki kesejajaran loading factor dengan indikator X1.2 dan X1.3, sehingga pembentukan variabel laten X1 masih memiliki kendala karena tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan seagai variabel laten yang memiliki karakter reflective. Mengeluarkan X1.4 dari model ternyata belum maksimal
(50)
beresiko karena akan menjauhkan model latent dari konstruksi teori yang dibangun sejak awal, karena metode SEM dan path dibangun berdasarkan confirmatory factor model ( Hair, 2010). Dengan demikian, hasil analisis ini akan menjadi catatan bagi perbaikan teknik wawancara dan upaya menemukan responden yang lebh tepat fungsi, sehingga dapat direkam data persepsi yang lebh berkualitas.
5.2.2 Uji Latent Variabel Commitment (X2) – Laten Reflective
Uji analisis factor menunjukkan nilai KMO untuk variabel X2 adalah 0.773 yaitu syarat terpenuhinya bahwa variasi nilai X2 telah mendapat dukungan variasi informasi yang memadai dan layak untuk diteruskan ke analisis factor berikutnya. Analisis anti-image correlation menujukkan nilai korelasi seluruh indikator berada diatas 0.50 sehingga cukup memberikan dukungan atas kualitas data persepsi untuk diteruskan ke tingkat penyelesaian model SEM dan Path berbasis variance-based PLS.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .773
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 198.651
df 10
Sig. .000
Anti-image Matrices
X2.1 X2.2 X2.3 X2.4 X2.5
Anti-image Covariance X2.1 .477 .034 .082 -.103 -.006
X2.2 .034 .062 .051 -.035 .075
X2.3 .082 .051 .090 .038 .014
X2.4 -.103 -.035 .038 .302 -.071
X2.5 -.006 .075 .014 -.071 .183
Anti-image Correlation X2.1 .825a .197 .397 -.271 -.019
X2.2 .197 .698a .679 -.258 .706
X2.3 .397 .679 .786a .233 .113
X2.4 -.271 -.258 .233 .868a -.302
X2.5 -.019 .706 .113 -.302 .746a
(51)
factor sebagaimana disajikan pada Gambar 5.8. Ternyata untuk variabel X2 memenuhi syarat dimana loading factor dari semua indikator yang ada menyebar secara covary, sehingga memenuhi syarat uni-dimensional ( Petter, 2006), dimana menghilangkan sala satu dari indikator tidak akan berpengaruh kepada variabel latent lainnya dalam suatu hungan struktural.
X2
X2.1 X2.2 X2.3
0.879 0.815
X2.4 X2.5
0.820 0.899 0.828
Gambar 5.8
Loading Factor Latent Variable X2
5.2.3 Uji Latent Variabel Commitment (X3) – Laten Formative
Berbeda dengan variabel laten reflective yang memiliki karaktek uni-dimensional dengan syarat indikator loading factor yang covary, maka untuk laten formative dimana indikator bertindak mempengruhi variabel laten X3, maka pada laten formative berlaku karakter multi-dimensional, dimana menggantikan salah satu dari indikator akan berdampak pada variabel laten lainnya dalam suatu hubugan model struktural. Pada model laten formative, pengukuran uji reability dan uji discriminate validity tidak berlaku, karena antar indikator tidak memerlukan syarat covary. Jika pada latent reflective berlaku syarat covary dengan sifat data hight multi-collinearity, maka pada laten formative, justru sebaliknya yaitu hubungan antar indikator tidak mengandung multi-collinearity. Dengan demkian, maka
(52)
indikator yang harus ditampilkan dari loading factor setiap indikator bersifat tidak covary. Uji KMO dan anti-image correlation menunjukkan informasi yang mendukung karakter laten formative yang multi-dimensional dimana KMO sebesar 0.149 dan anti-image correlation seluruhnya lebih rendah dari 0.50, menunjukkan bahwa antar indikator tidak menunjukkan gejala saling berhubungan satu indikator dengan indikator lainnya.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .149
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 265.072
df 36
Sig. .000
Anti-image Matrices
X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 X3.5 X3.6 X3.7 X3.8 X3.9
Anti-image Covariance X3.1 .050 .045 .065 .037 .073 .034 .049 .057 .065
X3.2 .045 .048 .070 .042 .072 .034 .049 .056 .062
X3.3 .065 .070 .145 .068 .117 .052 .084 .099 .092
X3.4 .037 .042 .068 .042 .066 .031 .045 .053 .058
X3.5 .073 .072 .117 .066 .151 .055 .091 .099 .111
X3.6 .034 .034 .052 .031 .055 .028 .032 .043 .048
X3.7 .049 .049 .084 .045 .091 .032 .080 .067 .079
X3.8 .057 .056 .099 .053 .099 .043 .067 .084 .081
X3.9 .065 .062 .092 .058 .111 .048 .079 .081 .116
Anti-image Correlation X3.1 .199a .915 .763 .813 .847 .913 .780 .875 .857
X3.2 .915 .127a .839 .932 .848 .926 .798 .881 .828
X3.3 .763 .839 .070a .875 .792 .811 .779 .893 .711
X3.4 .813 .932 .875 .189a .827 .917 .778 .892 .827
X3.5 .847 .848 .792 .827 .064a .846 .829 .875 .836
X3.6 .913 .926 .811 .917 .846 .217a .680 .886 .854
X3.7 .780 .798 .779 .778 .829 .680 .233a .822 .823
X3.8 .875 .881 .893 .892 .875 .886 .822 .074a .819
X3.9 .857 .828 .711 .827 .836 .854 .823 .819 .128a
Bukti analisis KMO dan anti-image correlation yang diolah dengan software SPSS versi 17, ternyata searah dengan hasil analisis SmartPls melalui proses outer-model, dimana variabel X4 dinyatakan sebagai laten formative.
(1)
Lampiran 3
(2)
Lampiran 4
Hasil Analisis Bootstrapping Path dan SEM SmartPls Second Order ( Sample Original N = 40 )
(3)
Lampiran 5
Hasil Analisis Outer-loading Bootstrapping N = 80 Statistik t Variable Original Sample Standard Standard T
Sample Mean Deviation Error Statistics
X1.1 <- X1 0.6126 0.6045 0.1295 0.1295 4.7307
X1.2 <- X1 0.9638 0.9615 0.009 0.009 106.5525
X1.3 <- X1 0.9671 0.9662 0.0065 0.0065 149.6447
X2.1 <- X2 0.8795 0.8771 0.0228 0.0228 38.6431
(4)
X2.3 <- X2 0.8188 0.8112 0.0585 0.0585 13.9882
X2.4 <- X2 0.8991 0.8974 0.0152 0.0152 59.3045
X2.5 <- X2 0.8239 0.8223 0.037 0.037 22.2881
X3.1 -> X3 0.8312 0.8283 0.0366 0.0366 22.72
X3.2 -> X3 0.9011 0.8942 0.0285 0.0285 31.5992
X3.3 -> X3 0.8482 0.8426 0.0466 0.0466 18.1846
X3.4 -> X3 0.8175 0.8036 0.0629 0.0629 12.9909
X3.5 -> X3 0.8139 0.8148 0.0362 0.0362 22.4641
X3.6 -> X3 0.8899 0.8856 0.0293 0.0293 30.3369
X3.7 -> X3 0.8166 0.8187 0.0385 0.0385 21.2019
X3.8 -> X3 0.8315 0.8259 0.056 0.056 14.8461
X3.9 -> X3 0.8685 0.8631 0.0331 0.0331 26.2313
X4.1 -> X4 0.9071 0.9006 0.0341 0.0341 26.6322
X4.2 -> X4 0.843 0.8353 0.0437 0.0437 19.2767
X4.3 -> X4 0.9002 0.8904 0.0376 0.0376 23.9679
X4.4 -> X4 0.9609 0.9543 0.0289 0.0289 33.2422
Y1.1 <- Y1 0.9075 0.9069 0.0218 0.0218 41.6325
Y1.2 <- Y1 0.927 0.9274 0.0167 0.0167 55.5471
Y1.3 <- Y1 0.8895 0.8886 0.0231 0.0231 38.4313
Y1.4 <- Y1 0.9105 0.9104 0.0231 0.0231 39.3373
Y2.1 <- Y2 0.863 0.8628 0.0339 0.0339 25.4935
Y2.2 <- Y2 0.9208 0.9222 0.0156 0.0156 58.9541
Y2.3 <- Y2 0.941 0.9419 0.0102 0.0102 91.9756
Y2.4 <- Y2 0.8116 0.8114 0.0428 0.0428 18.9457
Y2.5 <- Y2 0.8739 0.8718 0.037 0.037 23.6457
Lampiran 6
Hasil Analisis Outer-Weight Bootstrapping N = 80 Statistik t Original Sample Standard Standard T
Sample Mean Deviation Error Statistics
X1.1 <- X1 0.1073 0.1048 0.0863 0.0863 1.2426 X1.2 <- X1 0.4763 0.474 0.0362 0.0362 13.1642 X1.3 <- X1 0.4914 0.487 0.0329 0.0329 14.9384 X2.1 <- X2 0.2603 0.2612 0.0196 0.0196 13.2564 X2.2 <- X2 0.2439 0.2431 0.0206 0.0206 11.857
X2.3 <- X2 0.201 0.199 0.0273 0.0273 7.3676
X2.4 <- X2 0.2543 0.2554 0.0167 0.0167 15.256 X2.5 <- X2 0.2172 0.2197 0.0137 0.0137 15.905
X3.1 -> X3 0.0875 0.0708 0.098 0.098 0.8924
X3.2 -> X3 0.1478 0.1284 0.1123 0.1123 1.3166
X3.3 -> X3 0.2335 0.2318 0.054 0.054 4.321
(5)
X3.5 -> X3 0.1006 0.1065 0.081 0.081 1.2421 X3.6 -> X3 0.0009 0.0208 0.1216 0.1216 0.0076 X3.7 -> X3 0.0911 0.1104 0.0824 0.0824 1.1055 X3.8 -> X3 0.0405 0.0431 0.0778 0.0778 0.5204
X3.9 -> X3 0.2379 0.224 0.0723 0.0723 3.2911
X4.1 -> X4 0.4169 0.4025 0.1271 0.1271 3.2807 X4.2 -> X4 0.0242 0.0272 0.1042 0.1042 0.2318 X4.3 -> X4 0.0904 0.0809 0.1464 0.1464 0.6176 X4.4 -> X4 0.5412 0.5595 0.2093 0.2093 2.5861 Y1.1 <- Y1 0.2811 0.2809 0.0079 0.0079 35.4481
Y1.2 <- Y1 0.2816 0.2814 0.009 0.009 31.3517
Y1.3 <- Y1 0.2757 0.276 0.0088 0.0088 31.2656 Y1.4 <- Y1 0.2621 0.2628 0.0049 0.0049 53.9597 Y2.1 <- Y2 0.2129 0.2132 0.0081 0.0081 26.196
Y2.2 <- Y2 0.23 0.2308 0.0107 0.0107 21.5983
Y2.3 <- Y2 0.2468 0.247 0.0129 0.0129 19.1445 Y2.4 <- Y2 0.216 0.2153 0.0074 0.0074 29.3753 Y2.5 <- Y2 0.2254 0.2245 0.0068 0.0068 33.3107
Lampiran 7 `
Hasil Analisis Path Coefficient Bootstrapping N = 80 Statistik t Original Sample Standard Standard T
Sample Mean Deviation Error Statistics
X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131 X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864 X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148 X3 -> Y1 0.5394 0.5754 0.1037 0.1037 5.1991 X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472 Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697
Total Effects ( Standard Deviation)
Original Sample Standard Standard T
Sample Mean Deviation Error Statistics
X1 -> Y1 0.0281 0.0345 0.0681 0.0681 0.4131 X1 -> Y2 0.0266 0.0327 0.0646 0.0646 0.4124 X2 -> Y1 -0.3692 -0.3759 0.109 0.109 3.3864 X2 -> Y2 -0.3495 -0.3556 0.1023 0.1023 3.4163
(6)
************
X3 -> X2 0.8635 0.8734 0.0354 0.0354 24.4148 X3 -> Y1 0.2206 0.2461 0.1353 0.1353 1.6303 X3 -> Y2 0.2088 0.2335 0.1295 0.1295 1.6126 X4 -> Y1 0.6903 0.6611 0.1244 0.1244 5.5472 X4 -> Y2 0.6535 0.6255 0.1165 0.1165 5.6091 Y1 -> Y2 0.9467 0.9467 0.013 0.013 72.9697