Pengaruh Motivasi dan Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Karyawan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KOMITMEN KARYAWAN

1. Definisi Komitmen Karyawan

Komitmen merupakan salah satu sikap dalam organisasi. Luthans (2005), menjelaskan bahwa variasi definisi dan ukuran komitmen organisasi sangat luas. Sebagai sikap, komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan, dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

Mowday, Porter & Steers (1982) mendefinisikan komitmen terhadap organisasi sebagai (a) keyakinan (belief) dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan organisasi dan nilai-nilai organisasi, (b) Kemauan (willingness) berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan, dan (c) keinginan (desire) yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

Komitmen organisasi dapat diartikan sebagai sejauh mana seseorang karyawan mengalami rasa kesatuan dengan organisasi mereka. Komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam


(2)

berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Meyer & Allen (1997).

Greenberg & Baron (2008), menyatakan bahwa komitmen memiliki arti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai perusahaan, di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di perusahaan tersebut.

Robbins & Judge (2009), menjelaskan bahwa komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut.

Penelitian-penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa komitmen organisasi merupakan keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi, kepercayaan, dan penerimaan akan nilai-nilai dan tujuan organisasi, kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi (Mowday, 1982). Komitmen organisasi adalah prediktor terbaik dalam perubahan dibandingkan dengan kepuasan kerja, karyawan yang memiliki komitmen organisasi akan mengerahkan usaha lebih dalam proyek perubahan guna membangun sikap positif terhadap perubahan (Iverson,1996; Julita & Rafaei, 2010).

Komitmen organisasi ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk faktor individu (misalnya, usia, masa kerja dalam organisasi, disposisi, sifat internal atau kontrol eksternal), faktor organisasi (desain kerja dan gaya kepemimpinan atasan


(3)

seseorang), faktor non-organisasi (ketersediaan alternatif). Semua hal ini mempengaruhi komitmen berikutnya (Nortcraft & Neale, 1990)

Komitmen dapat berupa sifat hubungan seorang individu dengan organisasi yang memungkinkan seseorang mempunyai komitmen tinggi memperlihatkan 3 ciri sebagai berikut (Porter & Smith, 1974; Steers, 1982): 1. Dorongan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.

2. Kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi. 3. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai dan tujuan organisasi.

2. Aspek-aspek Komitmen Karyawan

Steers dan Porter (1983), mengemukakan aspek-aspek komitmen karyawan pada organisasi sebagai berikut :

a. Identifikasi yaitu kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai organisasi. Identifikasi terwujud dalam bentuk kepercayaan karyawan terhadap organisasi dan karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai dan sasaran organisasinya. Hal ini dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organsisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para karyawan ataupun dengan kata lain, organisasi itu memasukkan pula kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasinya maka akan tumbuh suasana saling dukung di antara para karyawan dengan organisasi.

b. Job involvement (keterlibatan karyawan) yaitu kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi. Keinginan untuk berusaha sebaik mungkin dapat dilihat dari usaha karyawan untuk melaksanakan setiap tugas dan


(4)

pekerjaan yang diberikan kepada mereka bahkan mereka selalu berusaha untuk melebihi standar minimal yang diberikan perusahaan. Keterlibatan dalam berbagai aktivitas kerja penting untuk diperhatikan, karena dengan adanya keterlibatan karyawan menyebabkan mereka bersedia dengan senang hati untuk bekerjasama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja.

Karyawan dalam keterlibatan yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu (Robbins, 2009). Karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan.

c. Loyalitas yaitu keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap organisasi/perusahaan tempatnya bekerja. Karyawan dengan loyalitas yang tinggi akan berusaha mempertahankan keberadaaannya dalam organisasi dan mereka hanya sedikit alasan untuk pindah atau keluar dari perusahaan. Sikap ini mencerminkan loyalitas atau kesetiaan mereka terhadap perusahaan. Loyalitas kerja atau kesetiaan merupakan salah satu unsur yang digunakan dalam penilaian karyawan yang mencakup kesetiaan terhadap pekerjaannya, jabatannya dan organisasi. Kesetiaan ini dicerminkan oleh kesediaan karyawan menjaga dan membela organisasi di dalam maupun di luar pekerjaan dari rongrongan orang yang tidak bertanggungjawab (Hasibuan, 2001).

Dari uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa aspek-aspek komitmen karyawan yang akan diukur dalam penelitian ini adalah identifikasi, keterlibatan kerja dan loyalitas.


(5)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Karyawan

Northcraft & Neale (1990), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi yaitu :

a. Faktor Personal

Komitmen organisasi umumnya lebih tinggi diantara para karyawan yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dan berusia lebih tua (lebih lama masa kerjanya). Mereka yang memiliki pekerjaan dengan nilai intrinstik yang tinggi akan lebih setia. Sebagai suatu kelompok, karyawan wanita lebih setia di bandingkan dengan karyawan pria dan pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah juga cenderung menunjukkan komitmen yang rendah dibandingkan dengan karyawan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

b. Ciri hubungan peran

Komitmen organisasi cenderung menjadi lebih kuat diantara karyawan dengan pekerjaan yang padat karya serta pekerjaan dengan tingkat konflik peran dan ambiguitas yang lebih rendah.

c. Karakteristik Struktural

Komitmen organisasi lebih kuat diantara karyawan di organisasi bersifat kooperatif dan terdesentralisasi yang mana lebih terlibat dalam pembuatan keputusan yang krusial.

d. Pengalaman Kerja

Komitmen organisasi cendrung lebih kuat diantara para karyawan dengan pengalaman kerja yang menyenangkan, seperti sikap kelompok kerja yang positif diantara pasangan kerja, perasaan bahwa seseorang penting atau diperlukan oleh organisasi. Karyawan akan menunjukkan lebih setia, ketika perusahaan telah


(6)

mengembangkan prosedur recruitment dan orientasi dengan baik serta mendefinisikan sistem nilai organisasi dengan baik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi (Allen & Meyer, 1997). Yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel disposisional.

Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat (Allen & Meyer, 1997).

Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi. Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang baik. Selain itu kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman masing-masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).

Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam


(7)

organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya (Allen & Meyer, 1997).

B. MOTIVASI KERJA 1. Definisi Motivasi Kerja

Motivasi merupakan karakteristik psikologis manusia yang memberikan kontribusi untuk tingkat komitmen seseorang (Stoke, 1999; Tella, Ayeni, & Popoola, 2007).

Handoko (1995) mengartikan bahwa motivasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan, menyalurkan, dan memelihara perilaku manusia. Motivasi ini merupakan subyek yang penting bagi manajer, karena menurut definisi manajer harus bekerja dengan dan melalui orang lain. Seiring dengan persepsi, kepribadian, sikap, dan belajar, motivasi merupakan bagian yang sangat penting dari memahami perilaku.

Luthans (2005) menegaskan bahwa motivasi tidak harus dianggap sebagai satu-satunya penjelasan perilaku, karena berinteraksi dengan dan bertindak dalam hubungannya dengan proses mediasi lainnya dan dengan lingkungan. Luthan menegaskan bahwa, seperti proses kognitif lainnya, motivasi tidak dapat dilihat. Semua yang bisa dilihat adalah perilaku, dan hal ini tidak boleh disamakan dengan penyebab perilaku.

Menurut Kreitner & Kinicki (1996), motivasi adalah kumpulan proses psikologis yang menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap sukarela yang mengarah pada tujuan. Menurut Colquitt, LePine & Wesson (2009), motivasi adalah suatu kumpulan kekuatan yang energik yang mengkoordinasi di


(8)

dalam dan di luar diri seorang pekerja, yang mendorong usaha kerja, dalam menentukan arah , intensitas, dan kegigihan.

Robbins & Judge (2009) menyatakan bahwa motivasi sebagai proses yang memperhitungkan intensitas, arah dan ketekunan usaha individual terhadap pencapaian tujuan. Motivasi pada umumnya berkaitan dengan setiap tujuan, sedangkan tujuan, organisasional memfokus pada perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan.

Motivasi adalah kekuatan dalam diri orang yang mempengaruhi arah (direction), intensitas (intensity), dan ketekunan (persistance) perilaku. Pekerja yang termotivasi berkeinginan menggunakan tingkat usaha tertentu (intensity), untuk sejumlah waktu tertentu (persistance), terhadap tujuan tertentu (direction). Motivasi merupakan salah satu dari empat pendorong penting perilaku dan kinerja individual (McShane & Glinow, 2010; Wibowo, 2013).

Kreitner dan Kinicki (1996) menyatakan pula bahwa motivasi merupakan proses psikologis yang membangkitkan (arousal), mengarahkan (direction) dan ketekunan (persistance) dalam melakukan tindakan secara sukarela yang diarahkan pada pencapaian tujuan.

Sedangkan Colquitt, LePine, & Wesson (2011) memberikan definisi motivasi sebagai sekumpulan kekuatan energetik yang dimulai baik dari dalam maupun di luar pekerja, dimulai dari usaha yang berkaitan dengan pekerjaan, dan mempertimbangkan arah, intensitas dan ketekunannya.

Wibowo (2013) menyimpulkan bahwa motivasi merupakan dorongan untuk bertindak terhadap serangkaian proses perilaku manusia dengan mempertimbangkan arah, intensitas, dan ketekunan pada pencapaian tujuan.


(9)

Sedangkan elemen yang terkandung dalam motivasi meliputi unsur membangkitkan, mengarahkan, menjaga, menujukkan intensitas, bersifat terus-menerus dan adanya tujuan.

Siagian (2002) mengemukaan definisi motivasi sebagai daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Dengan pengertian, bahwa tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai pula tujuan pribadi para anggota organisasi yang bersangkutan.

Motivasi adalah keinginan untuk bertindak. Setiap orang dapat termotivasi oleh beberapa kekuatan yang berbeda. Di pekerjaan kita perlu mempengaruhi bawahan untuk menyelaraskan motivasinya dengan kebutuhan organisasi (Heller (1998; Wibowo, 2013).

Motivasi kerja adalah hasil dari kumpulan kekuatan internal dan eksternal yang menyebabkan pekerja memilih jalan bertindak yang sesuai dan menggunakan perilaku tertentu. Idealnya, perilaku ini akan diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi (Newstrom, 1993).

Mangkunegara (2005) menyatakan : motivasi terbentuk dari sikap (attitude) karyawan dalam menghadapi situasi kerja di perusahaan (situation). Motivasi merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan. Sikap mental karyawan yang pro dan positif terhadap situasi kerja itulah yang memperkuat motivasi kerjanya untuk mencapai kinerja maksimal.


(10)

2. Aspek-aspek Motivasi Kerja

Rollinson (2005), menjelaskan mengapa seseorang berperilaku dengan cara tertentu. Pengertian ini menggambarkan tiga komponen perilaku yang berdampak pada kinerja :

- Arah perilaku, yang sangat dipengaruhi oleh apa yang paling diinginkan seseorang untuk dilakukan.

- Intensitas perilaku, yang secara kasar setara dengan seberapa keras individu berusaha untuk pergi ke arah itu.

- Ketekunan, yang merupakan kesediaan individu untuk tetap pada arah meskipun akan ditemui hambatan.

Sebagaimana pengertian motivasi menurut Kreitner dan Kinicki (1996) bahwa motivasi adalah kumpulan proses psikologis yang menyebabkan pergerakan, arahan, dan kegigihan dari sikap sukarela yang mengarah pada tujuan maka aspek-aspek motivasi dalam penelitian ini adalah :

a. Arah dan fokus perilaku pekerja yang dapat bersifat positif atau fungsional maupun bersifat negatif atau disfungsional. Sebagai faktor positif adalah kepercayaan, kreativitas, suka menolong, berketepatan waktu. Sedangkan sebagai faktor disfungsional adalah : kelambanan, kemangkiran, suka menyendiri, dan kinerja rendah.

b. Intensitas menjelaskan tentang seberapa keras seseorang berusaha, tingkat usaha yang diberikan, apakah pekerja memberikan komitmen penuh untuk mencapai keunggulan atau hanya melakukan pekerjaan sekadarnya saja. c. Ketekunan dalam berperilaku, apakah pekerja selalu mengulang dan


(11)

periodik. Ketekunan mengukur berapa lama orang dapat menjaga tingkat usahanya.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menggunakan aspek-aspek motivasi kerja pada penelitian ini yaitu arah perilaku (direction), intensitas perilaku (intensity), dan ketekunan kerja (persistance).

3. Dampak Motivasi Kerja

Menurut Hasibuan (2005) ada beberapa hal yang akan diperoleh jika karyawan memiliki motivasi yang tinggi dalam melakukan pekerjaannya antara lain :

a. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan b. Meningkatkan prestasi kerja karyawan

c. Meningkatkan kedisiplinan karyawan d. Mempertahankan kestabilan perusahaan e. Mengefektifkan pengadaan karyawan

f. Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik g. Meningkatkan loyalitas, kreatifitas dan partisipasi h. Meningkatkan tingkat kesejahtraan karyawan

i. Meningkatkan rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas j. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.


(12)

C. KEPUASAN KERJA 1. Definisi Kepuasan Kerja

Para pakar memberikan pengertian tentang kepuasan kerja atau job satisfaction dengan penekanan pada sudut pandang masing-masing. Namun, diantara pandangan tersebut tidak bertentangan, tetapi dapat saling melengkapi. Diantaranya Colquitt, LePine & Wesson (2009) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah tingkat perasaan menyenangkan yang diperoleh dari penilaian pekerjaan seseorang atau pengalaman kerja. Dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan bagaimana kita merasakan tentang pekerjaan kita dan apa yang kita pikirkan tentang pekerjaan itu.

Robbins & Judge (2009) memberikan definisi kepuasan kerja sebagai perasaan positif tentang pekerjaan sebagai hasil evaluasi dari karakteristik-karakteristiknya. Pekerjaan memerlukan interaksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan organisasional, memenuhi standar kinerja, hidup dengan kondisi kerja kurang ideal, dan semacamnya. Sedangkan McShane dan Glinow (2010) memandang kepuasan kerja sebagai evaluasi seseorang atas pekerjaannya dan konteks pekerjaan. Merupakan penilaian terhadap karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di pekerjaan yang dirasakan.

Luthans (2005) memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah


(13)

hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.

Kreitner & Kinicki (1996) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah respon afektif atau emosional terhadap berbagai aspek dari pekerjaan seseorang defenisi ini menyatakan secara tidak langsung bahwa kepuasan kerja bukanlah merupakan konsep tunggal, melainkan orang dapat secara relatif puas dengan satu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan satu atau lebih aspek yang lainnya. Davis & Newstrom (1993) menyatakan : kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan menguntungkan atau tidak menguntungkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja adalah perasaan relatif senang atau rasa sakit yang berbeda dari pemikiran obyektif dan niat perilaku.

Dari berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya kepuasan kerja adalah merupakan tingkat perasaan senang seseorang sebagai penilaian positif terhadap pekerjaannya dan lingkungan tempat pekerjaannya. Pekerja dengan kepuasan kerja tinggi mengalami perasaan positif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam aktivitas tugas. Pekerja dengan kepuasan kerja rendah mengalami perasaan negatif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian dalam aktivitas pekerjaan mereka (Wibowo, 2013).

2. Aspek-aspek Kepuasan Kerja

Menurut Luthans (2005), lima aspek yang diidentifikasi untuk merepresentasikan karakteristik pekerjaan sebagai respon afektif adalah :


(14)

Dalam hal dimana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab

b. Gaji (pay)

Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi.

c. Kesempatan promosi (promotion)

Kesempatan untuk maju dalam organisasi. d. Pengawasan (supervision)

Kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku.

e. Rekan kerja (coworker)

Tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial. Colquitt, LePine, & Wesson (2009) melihat adanya dua unsur yang terkandung dalam kepuasan kerja, yaitu Value fulfillment atau pemenuhan nilai dan Satisfaction with the work it self atau kepuasan atas pekerjaan itu sendiri. a. Value Fulfillment.

Pada umumnya, pekerja merasa puas apabila pekerjaan mereka memberikan sesuatu yang mereka hargai. Sesuatu yang berharga atau mempunyai nilai adalah segala sesuatu yang secara sadar atau tidak sadar orang ingin mencari atau mendapatkan.

Kepuasan kerja akan terjadi apabila pekerja merasakan bahwa nilai yang mereka inginkan terpenuhi, diperoleh dari value fulfillment. Teori yang


(15)

bersangkutan dengan pemenuhan nilai tersebut dinamakan Value-percept theory. Teori ini dapat disajikan dalam persamaan sebagai berikut :

Dissatisfaction = (Vwant – Vhave) (Vimportance).

Dalam persamaan ini Vwant mencerminkan seberapa banyak value yang diinginkan pekerja. Vhave mengindikasikan seberapa banyak dari value yang diberikan pekerjaan. Sedangkan Vimportance mencerminkan seberapa penting value tadi bagi pekerja. Perbedaan besar antara want atau keinginan dengan have atau yang dipunyai menimbulkan perasaan ketidakpuasan, terutama apabila value dalam persamaan importance atau penting.

Untuk mengukur kepuasan kerja (job satisfaction) menurut the value percept theory adalah : (1) Pay Satisfaction, (2) Promotion Satisfaction, (3) Supervision Satisfaction, (4) Coworker Satisfaction, dan (5) Satisfaction with the Work Itself

b. Satisfaction with the work it self

Terdapat tiga macam keadaan psikologis, yaitu (Colquitt, LePine, Wesson, 2011) :

- Meaningfullness of work. Keberartian pekerjaan mencerminkan tingkatan dimana tugas pekerjaan dipandang sebagai sesuatu yang diperhitungkan dalam sistem filosofi dan keyakinan pekerja.

- Responsibility for outcomes. Tanggung jawab terhadap hasil, menangkap tingkatan dimana pekerja merasa bahwa mereka adalah pendorong utama kualitas dari pekerjaan unit.

- Knowledge of results. Pengetahuan tentang hasil mencerminkan tingkatan terhadap mana pengetahuan pekerja baik, atau seberapa buruk


(16)

yang mereka lakukan. Banyak pekerja bekerja dalam pekerjaan dimana mereka tidak pernah menemukan kesalahan mereka atau memperhatikan waktu kapan mereka melakukan dengan baik.

3. Dampak Kepuasan Kerja a) Motivasi

Karena kepuasan dengan pengawasan/supervisi juga mempunyai korelasi signifikan dengan motivasi, atasan/manajer disarankan mempertimbangkan bagaimana perilaku mereka mempengaruhi kepuasan pekerja sehingga mereka secara potensial dapat meningkatkan motivasi pekerja melalui berbagai usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja.

b) Pelibatan Kerja

Hal ini menunjukkan kenyataan dimana individu secara pribadi dilibatkan dengan peran kerjanya. Karena pelibatan kerja mempunyai hubungan dengan kepuasan kerja, dan peran atasan/manajer perlu didorong memperkuat lingkungan kerja yang memuaskan untuk meningkatkan keterlibatan kerja.

c) Organizational citizenship behavior

Merupakan perilaku pekerja di luar dari apa yang menjadi tugasnya.

d) Organizational commitment

Mencerminkan tingkatan dimana individu mengidentifikasi dengan organisasi dan mempunyai komitmen terhadap tujuannya. Antara komitmen organisasi dengan kepuasan terdapat hubungan yang signifikan dan kuat, karena meningkatnya


(17)

kepuasan kerja akan menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja. e) Ketidakhadiran (Absenteism)

Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.

f) Perputaran (Turnover)

Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manajer dapat meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.

g) Perasaan stres

Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan negatif dimana dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.

h) Prestasi kerja/kinerja

Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Dikatakan kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan.

Dari uraian di atas peneliti mengambil teori yang diungkapkan Luthans (2005) dalam mengukur kepuasan kerja. Aspek-aspek kepuasan kerja dalam penelitian ini adalah kepuasan terhadap (a). Pekerjaan itu sendiri, (b). Gaji, (c). Kesempatan promosi, (d) Pengawasan, dan (e) Rekan kerja.


(18)

D. Dinamika Hubungan Antara Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja Dan Komitmen Karyawan

Hasil penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara motivasi kerja karyawan dengan komitmen organisasional karyawan (Devi, 2009; Tania & Sutanto, 2013). Motivasi kerja karyawan yang tinggi, akan menumbuhkan komitmen organisasional yang tinggi pula, demikian juga sebaliknya. Namun kenyataannya, masih ada karyawan yang kurang memiliki komitmen organisasional yang tinggi terhadap perusahaan tempat mereka bekerja.

Alimohammadi & Neyshabor (2013), dalam penelitiannya terhadap 163 karyawan perusahaan menunjukkan motivasi kerja memiliki dampak positif yang signifikan terhadap komitmen organisasi karyawan.

Jika adanya keseimbangan antara harapan dan kenyataan, akan membuat karyawan terpuaskan dan menunjukan hubungan yang positif dengan organisasi yang pada akhirnya mengarah pada terbentuknya komitmen (Aktami, 2008; Annisa & Zulkarnain, 2013).

Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan dari pengawasan dan kolegialitas dan komunikasi yang terbuka terhadap kepuasan kerja (Adnan & Ramay, 2010; Sonia, 2010). Hasil korelasi menunjukkan hubungan yang tinggi dari sistem penilaian kinerja dengan pengembangan karir dan manajemen, yang menunjukkan bahwa jika karyawan dipromosikan berdasarkan kinerja, maka meningkatkan kepuasan kerja. Kedua, komunikasi juga ditemukan sangat berkorelasi dengan kepuasan kerja dan komitmen kerja. Ketiga, kepuasan kerja ditemukan paling signifikan berkaitan dengan komitmen kerja.


(19)

Terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja keseluruhan, dimensi kerja, pendapatan, peluang kenaikan pangkat, rekan sekerja dengan komitmen organisasi (Ferlis, 2000; Adey & Bahari, 2010).

Kepuasan kerja dan motivasi kerja yang dirasakan oleh karyawan dapat menurunkan komitmen organisasional ataupun meningkatkan komitmen organisasional karyawan. Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaan yang diperoleh akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja sehingga akan berdampak pada meningkatnya keberhasilan perusahaan. Karyawan yang bekerja dengan senang hati dan tanpa adanya paksaan akan memberikan hasil yang baik dan akan menumbuhkan komitmen organisasional karyawan terhadap perusahaan (Tania & Sutanto, 2013)

Para ahli terdahulu telah menyatakan dalam penelitannya bahwa apabila seseorang merasa telah terpenuhinya semua kebutuhan dan keinginannya oleh organisasi maka secara otomatis dengan penuh kesadaran mereka akan meningkatkan tingkat komitmen yang ada dalam dirinya, hal ini sesuai pendapat dari Luthans (2005) yang menyatakan bahwa variabel yang positif terhadap kepuasan kerja yaitu tipe pekerjaan itu sendiri, gaji/bayaran, kesempatan dapat promosi, atasan mereka dan rekan kerja dapat terpenuhi maka komitmen terhadap organisasi akan timbul dengan baik, sehingga kepuasan akan berdampak terhadap komitmen organisasi.

Ketika karyawan termotivasi, mereka akan puas dengan organisasi mereka dan memahami bahwa organisasi memberi perhatian yang cukup kepada mereka dan memperhitungkan mereka sebagai faktor penting bagi organisasi. Karyawan


(20)

yang puas akan terlibat dalam perilaku yang positif. Salah satu perilaku positif tersebut adalah komitmen organisasi.

Karyawan yang termotivasi akan sekuat tenaga bekerja keras melakukan pekerjaannya dengan baik untuk keberhasilan perusahaan. Kerja keras yang dilakukan dengan adanya dorongan atau motivasi akan menghasilkan sebuah kepuasan tersendiri bagi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Kepuasan kerja dan motivasi kerja sangat berkaitan langsung dengan komitmen organisasional karyawan (Mathiew & Jones, 1991; Tania & Sutanto, 2013).

Penelitian Tania & Sutanto (2013), menunjukan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional karyawan. Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Sementara itu variabel motivasi kerja dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional karyawan.

Banyak hal yang mungkin saja akan dihadapi dalam melakukan pekerjaan, tetapi motivasi kerja yang tinggi dalam diri karyawan akan tumbuh ketika perusahaan tetap membangun motivasi dalam diri karyawan, sehingga komitmen untuk tetap bertahan dan memberikan kinerja maksimal akan tumbuh dan melekat dalam diri karyawan.

Tella (2007), mengutip kepuasan kerja sangat penting dimana ketiadaannya sering menyebabkan kelesuan dan mengurangi komitmen organisasi. Kurangnya kepuasan kerja merupakan prediktor berhenti dari pekerjaan.

Kepuasan kerja yang rendah (ketidakpuasan) menyebabkan tingkat pergantian karyawan menjadi tinggi karena komitmen yang rendah. Usia, kedudukan dalam organisasi, komitmen pada organisasi mungkin memainkan


(21)

peranan. Beberapa orang tidak dapat melihat dirinya bekerja di tempat lain, jadi mereka tetap bertahan meskipun mereka tidak puas. Sekalipun mereka merasa puas, banyak juga yang ingin keluar jika ada kesempatan lain yang lebih menjanjikan. Sebaliknya, jika pekerjaan sulit diperoleh dan terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja, merger, dan akuisisi, karyawan yang tidak puas akan secara sukarela tetap tinggal di pekerjaan mereka sekarang. Akan tetapi, pada dasarnya tepat untuk mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hal penting dalam komitmen karyawan (Luthans, 2005).

Untuk mengetahui pengaruh antara motivasi kerja dan kepuasan kerja terhadap komitmen karyawan maka digambarkan dalam kerangka konseptual seperti di bawah ini dimana motivasi kerja dan kepuasan kerja sebagai variabel bebas (independent variable) dan komitmen karyawan sebagai variabel tergantung (dependent variable) :

Komitmen Karyawan (Y)

Kepuasan Kerja (X2) Motivasi Kerja (X1)


(22)

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh positif motivasi kerja dan kepuasan kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Hal ini bermakna motivasi dan kepuasan kerja dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi.


(1)

kepuasan kerja akan menimbulkan tingkat komitmen yang lebih tinggi. Selanjutnya komitmen yang lebih tinggi dapat meningkatkan produktivitas kerja. e) Ketidakhadiran (Absenteism)

Antara ketidakhadiran dan kepuasan terdapat korelasi negatif yang kuat. Dengan kata lain apabila kepuasan meningkat, ketidakhadiran akan turun.

f) Perputaran (Turnover)

Hubungan antara perputaran dengan kepuasan adalah negatif. Dimana perputaran dapat mengganggu kontinuitas organisasi dan mahal sehingga diharapkan atasan/manajer dapat meningkatkan kepuasan kerja dengan mengurangi perputaran.

g) Perasaan stres

Antara perasaan stres dengan kepuasan kerja menunjukkan hubungan negatif dimana dengan meningkatnya kepuasan kerja akan mengurangi dampak negatif stres.

h) Prestasi kerja/kinerja

Terdapat hubungan positif rendah antara kepuasan dan prestasi kerja. Dikatakan kepuasan kerja menyebabkan peningkatan kinerja sehingga pekerja yang puas akan lebih produktif. Di sisi lain terjadi kepuasan kerja disebabkan oleh adanya kinerja atau prestasi kerja sehingga pekerja yang lebih produktif akan mendapatkan kepuasan.

Dari uraian di atas peneliti mengambil teori yang diungkapkan Luthans (2005) dalam mengukur kepuasan kerja. Aspek-aspek kepuasan kerja dalam penelitian ini adalah kepuasan terhadap (a). Pekerjaan itu sendiri, (b). Gaji, (c). Kesempatan promosi, (d) Pengawasan, dan (e) Rekan kerja.


(2)

D. Dinamika Hubungan Antara Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja Dan Komitmen Karyawan

Hasil penelitian menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara motivasi kerja karyawan dengan komitmen organisasional karyawan (Devi, 2009; Tania & Sutanto, 2013). Motivasi kerja karyawan yang tinggi, akan menumbuhkan komitmen organisasional yang tinggi pula, demikian juga sebaliknya. Namun kenyataannya, masih ada karyawan yang kurang memiliki komitmen organisasional yang tinggi terhadap perusahaan tempat mereka bekerja.

Alimohammadi & Neyshabor (2013), dalam penelitiannya terhadap 163 karyawan perusahaan menunjukkan motivasi kerja memiliki dampak positif yang signifikan terhadap komitmen organisasi karyawan.

Jika adanya keseimbangan antara harapan dan kenyataan, akan membuat karyawan terpuaskan dan menunjukan hubungan yang positif dengan organisasi yang pada akhirnya mengarah pada terbentuknya komitmen (Aktami, 2008; Annisa & Zulkarnain, 2013).

Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan dari pengawasan dan kolegialitas dan komunikasi yang terbuka terhadap kepuasan kerja (Adnan & Ramay, 2010; Sonia, 2010). Hasil korelasi menunjukkan hubungan yang tinggi dari sistem penilaian kinerja dengan pengembangan karir dan manajemen, yang menunjukkan bahwa jika karyawan dipromosikan berdasarkan kinerja, maka meningkatkan kepuasan kerja. Kedua, komunikasi juga ditemukan sangat berkorelasi dengan kepuasan kerja dan komitmen kerja. Ketiga, kepuasan kerja ditemukan paling signifikan berkaitan dengan komitmen kerja.


(3)

Terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja keseluruhan, dimensi kerja, pendapatan, peluang kenaikan pangkat, rekan sekerja dengan komitmen organisasi (Ferlis, 2000; Adey & Bahari, 2010).

Kepuasan kerja dan motivasi kerja yang dirasakan oleh karyawan dapat menurunkan komitmen organisasional ataupun meningkatkan komitmen organisasional karyawan. Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaan yang diperoleh akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja sehingga akan berdampak pada meningkatnya keberhasilan perusahaan. Karyawan yang bekerja dengan senang hati dan tanpa adanya paksaan akan memberikan hasil yang baik dan akan menumbuhkan komitmen organisasional karyawan terhadap perusahaan (Tania & Sutanto, 2013)

Para ahli terdahulu telah menyatakan dalam penelitannya bahwa apabila seseorang merasa telah terpenuhinya semua kebutuhan dan keinginannya oleh organisasi maka secara otomatis dengan penuh kesadaran mereka akan meningkatkan tingkat komitmen yang ada dalam dirinya, hal ini sesuai pendapat dari Luthans (2005) yang menyatakan bahwa variabel yang positif terhadap kepuasan kerja yaitu tipe pekerjaan itu sendiri, gaji/bayaran, kesempatan dapat promosi, atasan mereka dan rekan kerja dapat terpenuhi maka komitmen terhadap organisasi akan timbul dengan baik, sehingga kepuasan akan berdampak terhadap komitmen organisasi.

Ketika karyawan termotivasi, mereka akan puas dengan organisasi mereka dan memahami bahwa organisasi memberi perhatian yang cukup kepada mereka dan memperhitungkan mereka sebagai faktor penting bagi organisasi. Karyawan


(4)

yang puas akan terlibat dalam perilaku yang positif. Salah satu perilaku positif tersebut adalah komitmen organisasi.

Karyawan yang termotivasi akan sekuat tenaga bekerja keras melakukan pekerjaannya dengan baik untuk keberhasilan perusahaan. Kerja keras yang dilakukan dengan adanya dorongan atau motivasi akan menghasilkan sebuah kepuasan tersendiri bagi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Kepuasan kerja dan motivasi kerja sangat berkaitan langsung dengan komitmen organisasional karyawan (Mathiew & Jones, 1991; Tania & Sutanto, 2013).

Penelitian Tania & Sutanto (2013), menunjukan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional karyawan. Kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Sementara itu variabel motivasi kerja dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional karyawan.

Banyak hal yang mungkin saja akan dihadapi dalam melakukan pekerjaan, tetapi motivasi kerja yang tinggi dalam diri karyawan akan tumbuh ketika perusahaan tetap membangun motivasi dalam diri karyawan, sehingga komitmen untuk tetap bertahan dan memberikan kinerja maksimal akan tumbuh dan melekat dalam diri karyawan.

Tella (2007), mengutip kepuasan kerja sangat penting dimana ketiadaannya sering menyebabkan kelesuan dan mengurangi komitmen organisasi. Kurangnya kepuasan kerja merupakan prediktor berhenti dari pekerjaan.

Kepuasan kerja yang rendah (ketidakpuasan) menyebabkan tingkat pergantian karyawan menjadi tinggi karena komitmen yang rendah. Usia, kedudukan dalam organisasi, komitmen pada organisasi mungkin memainkan


(5)

peranan. Beberapa orang tidak dapat melihat dirinya bekerja di tempat lain, jadi mereka tetap bertahan meskipun mereka tidak puas. Sekalipun mereka merasa puas, banyak juga yang ingin keluar jika ada kesempatan lain yang lebih menjanjikan. Sebaliknya, jika pekerjaan sulit diperoleh dan terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja, merger, dan akuisisi, karyawan yang tidak puas akan secara sukarela tetap tinggal di pekerjaan mereka sekarang. Akan tetapi, pada dasarnya tepat untuk mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hal penting dalam komitmen karyawan (Luthans, 2005).

Untuk mengetahui pengaruh antara motivasi kerja dan kepuasan kerja terhadap komitmen karyawan maka digambarkan dalam kerangka konseptual seperti di bawah ini dimana motivasi kerja dan kepuasan kerja sebagai variabel bebas (independent variable) dan komitmen karyawan sebagai variabel tergantung (dependent variable) :

Komitmen Karyawan (Y)

Kepuasan Kerja (X2)


(6)

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh positif motivasi kerja dan kepuasan kerja terhadap komitmen karyawan pada organisasi. Hal ini bermakna motivasi dan kepuasan kerja dapat meningkatkan komitmen karyawan terhadap organisasi.